Anda di halaman 1dari 21

KATA PENGANTAR

Sebagai sebuah negara hukum, Indonesia memiliki peran penting dalam menjamin kepastian
hukum bagi seluruh rakyatnya. Namun, dalam kenyataannya, masih terdapat banyak masalah dan
problematika di sektor hukum yang menghambat terwujudnya tujuan tersebut. Beberapa di antaranya
adalah lambatnya proses peradilan, praktik korupsi yang merajalela, rendahnya tingkat kepatuhan
terhadap hukum, serta masih terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Semua hal ini menunjukkan
bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh pemerintah dan seluruh pihak terkait
dalam memperbaiki sistem hukum di Indonesia. Dalam kata pengantar ini, akan dibahas lebih lanjut
mengenai problematika hukum di Indonesia serta upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi
masalah tersebut.
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.....................................................................................................................

Daftar isi..............................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................

1.1 Latar Belakang...................................................................................................


1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................
1.3 Tujuan Penulis...................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................

2.1 problematika penegakkan hukum tindak pidana korupsi .................................


2.2 problematika penegakan hukum setya novanto.................................................
2.3 problematika penegakan hukum tindak piadana penistaan agama....................
2.4 problematika penegakan hukum Basuki Tjahya Purnama.................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 latar belakang

Sebagai sebuah negara yang berdasarkan hukum, Indonesia memiliki tugas untuk
menegakkan dan menjaga kepastian hukum bagi seluruh rakyatnya. Namun, dalam
kenyataannya, masih banyak terdapat masalah dan problematika yang terjadi di sektor hukum
Indonesia. Beberapa di antaranya adalah lambatnya proses peradilan, tingginya tingkat
korupsi, rendahnya tingkat kepatuhan terhadap hukum, serta masih terjadinya pelanggaran
hak asasi manusia. Semua hal ini menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang
harus dilakukan oleh pemerintah dan seluruh pihak terkait untuk memperbaiki sistem hukum
di Indonesia. Selain itu, masalah-masalah di sektor hukum juga memiliki dampak yang
signifikan terhadap kehidupan sosial, politik, dan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu,
diperlukan upaya yang serius dan berkelanjutan untuk mengatasi masalah dan problematika
di sektor hukum Indonesia agar dapat mencapai tujuan dari negara hukum itu sendiri. Dalam
pendahuluan ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai problematika hukum di Indonesia,
dampaknya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, serta upaya yang dapat dilakukan
untuk mengatasi masalah tersebut.

Latar belakang problematika hukum di Indonesia sangat kompleks dan tidak bisa
dipandang sebelah mata. Sejak awal kemerdekaannya, Indonesia telah berusaha untuk
membangun sistem hukum yang baik dan adil untuk seluruh rakyatnya. Namun, dalam
perjalanannya, masih banyak terdapat kendala dan tantangan yang harus dihadapi dalam
menegakkan hukum yang berkeadilan.

Lambatnya proses peradilan, praktik korupsi yang merajalela, rendahnya tingkat


kepatuhan terhadap hukum, serta masih terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, semuanya
menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan dalam
memperbaiki sistem hukum di Indonesia. Masalah-masalah ini mempengaruhi kehidupan
sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Indonesia, yang pada akhirnya dapat menghambat
perkembangan bangsa dan negara.
Sebagai sebuah negara yang berdaulat, Indonesia harus memastikan bahwa sistem
hukum yang ada dapat memberikan perlindungan dan keadilan bagi seluruh rakyatnya. Oleh
karena itu, perlu adanya upaya yang serius dan berkelanjutan dari semua pihak, baik
pemerintah, lembaga hukum, maupun masyarakat, untuk mencari solusi dan memperbaiki
sistem hukum yang ada agar dapat mencapai tujuan dari negara hukum itu sendiri.

Dalam konteks ini, pendahuluan ini akan membahas lebih lanjut mengenai
problematika hukum di Indonesia, dampaknya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara,
serta upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Tujuannya adalah
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan pihak-pihak terkait tentang urgensi perbaikan
sistem hukum di Indonesia dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan
tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, beberapa masalah yang terkait
dengan problematika hukum di Indonesia yang perlu diteliti dan dijawab adalah:

1. Apa faktor-faktor yang menyebabkan lambatnya proses peradilan di Indonesia?


2. Bagaimana praktik korupsi mempengaruhi keberhasilan sistem hukum di Indonesia?
3. Mengapa masih terjadi rendahnya tingkat kepatuhan terhadap hukum di Indonesia dan
bagaimana cara meningkatkannya?
4. Apa dampak dari pelanggaran hak asasi manusia terhadap kehidupan sosial, politik,
dan ekonomi masyarakat Indonesia?
5. Apa saja upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam
memperbaiki sistem hukum di Indonesia dan mengatasi masalah yang ada?

Dengan menjawab rumusan masalah ini, diharapkan dapat memberikan gambaran


yang lebih jelas tentang problematika hukum di Indonesia dan solusi yang dapat dilakukan
untuk mengatasi masalah tersebut.
1.3. Tujuan Penulis

Tujuan penulis dalam membahas problematika hukum di Indonesia adalah:

1. Menjelaskan secara lebih komprehensif mengenai problematika hukum yang terjadi di


Indonesia dan dampaknya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Meningkatkan kesadaran masyarakat dan pihak terkait tentang urgensi perbaikan
sistem hukum di Indonesia dan memperkuat implementasi negara hukum.
3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya masalah-masalah di
sektor hukum Indonesia.
4. Memberikan solusi dan rekomendasi yang konkrit dan memungkinkan untuk
memperbaiki sistem hukum di Indonesia dan mengatasi masalah-masalah yang ada.
5. Memberikan kontribusi dalam upaya meningkatkan kualitas dan efektivitas sistem
hukum Indonesia untuk mencapai tujuan pembangunan nasional dan kesejahteraan
masyarakat secara menyeluruh.

Dengan demikian, diharapkan pembahasan ini dapat menjadi referensi dan sumber
informasi yang berguna bagi masyarakat, lembaga hukum, akademisi, dan pihak-pihak terkait
lainnya untuk memperbaiki sistem hukum di Indonesia dan mencapai tujuan negara hukum
yang adil dan berkeadilan.

2.4 Problematika penegakan hukum Basuki Tjahya Purnama

Kasus penistaan agama yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau Ahok
merupakan salah satu kasus yang memicu perdebatan panjang tentang penegakan hukum dan
kebebasan berpendapat di Indonesia. Ahok, yang pada saat itu menjabat sebagai Gubernur
DKI Jakarta, diadukan ke pihak kepolisian oleh sejumlah pihak atas dugaan penistaan agama.

Permasalahan muncul karena dalam kasus ini, hukum dipengaruhi oleh faktor politik
dan sentimen agama. Ahok, yang merupakan seorang minoritas Tionghoa dan juga seorang
Kristen, dianggap telah menista agama Islam dalam pidatonya di Kepulauan Seribu pada
bulan September 2016. Pidato tersebut dituduh mengandung unsur penghinaan terhadap
agama Islam dan dituduh oleh sejumlah pihak sebagai bentuk penistaan agama.
Meskipun dalam sidang pengadilan terbukti bahwa Ahok tidak bersalah dalam kasus
penistaan agama, kasus ini memunculkan sejumlah kontroversi di kalangan masyarakat dan
menimbulkan pertanyaan tentang kesetaraan di depan hukum serta perlindungan terhadap hak
asasi manusia.

Beberapa masalah utama dalam kasus Ahok antara lain:

Faktor politik: Dalam kasus ini, terdapat tuduhan bahwa Ahok dituntut hukuman karena
faktor politik. Pada saat itu, Ahok merupakan pesaing politik sejumlah pihak dalam pemilihan
gubernur DKI Jakarta. Hal ini memunculkan spekulasi bahwa kasus penistaan agama yang
menjerat Ahok dimanfaatkan sebagai senjata politik untuk mengalahkan lawan politiknya.

Sentimen agama: Tuduhan penistaan agama Ahok memicu reaksi keras dari sejumlah
kelompok Islam di Indonesia, yang merasa bahwa agama Islam telah dihina oleh Ahok. Hal
ini menyebabkan terjadinya aksi protes dan unjuk rasa yang berujung pada kerusuhan dan
kekerasan.

Keadilan: Ada pihak yang menilai bahwa dalam kasus Ahok, terdapat ketidakadilan dalam
penegakan hukum. Mereka berpendapat bahwa Ahok dituntut secara berlebihan dan diadili
dengan standar yang berbeda dibandingkan dengan kasus serupa yang melibatkan orang yang
lebih berkuasa atau orang yang dianggap lebih dekat dengan penguasa.

Kebebasan berpendapat: Dalam kasus Ahok, terdapat pertanyaan tentang kebebasan


berpendapat dan hak untuk mengkritik para pemimpin, termasuk dalam hal agama. Beberapa
pihak menilai bahwa Ahok hanya menyampaikan pandangannya tentang agama Islam dan
bukan dengan niat untuk menista agama.

Pengaruh agama dalam hukum: Kasus Ahok menunjukkan pengaruh besar yang dimiliki
agama dalam hukum di Indonesia. Hal ini memicu pertanyaan tentang kebebasan beragama
dan juga perlindungan terhadap hak asasi manusia. Perlu dicatat bahwa Indonesia sebagai
negara yang berdasarkan Pancasila, harus menjamin kebebebasan beragama dan
berkeyakinan, serta tidak diskriminatif terhadap minoritas agama.
Dalam kasus Ahok, sejumlah pihak menilai bahwa hukum Indonesia tidak
memberikan perlindungan yang cukup terhadap minoritas agama dan cenderung berpihak
pada mayoritas agama. Hal ini terlihat dari respons yang berbeda-beda dalam kasus-kasus
penistaan agama yang melibatkan agama mayoritas dan minoritas. Beberapa kasus penistaan
agama yang melibatkan agama mayoritas tidak diambil tindakan hukum yang serius atau
tidak dianggap sebagai penistaan agama, sementara kasus-kasus yang melibatkan minoritas
agama diproses secara ketat dan seringkali mengakibatkan hukuman yang berat.

Problematika lain dalam kasus Ahok adalah bahwa hukum pidana di Indonesia masih
menggunakan pasal-pasal karet yang dapat diartikan secara luas dan memungkinkan
penyalahgunaan hukum dalam kasus-kasus penistaan agama. Pasal-pasal tersebut seringkali
digunakan untuk membungkam kritik terhadap agama atau tokoh agama tertentu, sehingga
memunculkan pertanyaan tentang kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi di
Indonesia.

Selain itu, dalam kasus Ahok, terdapat kekhawatiran tentang independensi lembaga
penegak hukum. Beberapa pihak menilai bahwa keputusan pengadilan terhadap Ahok
terpengaruh oleh tekanan dari kelompok-kelompok agama dan politik. Hal ini memunculkan
pertanyaan tentang independensi lembaga peradilan di Indonesia, serta perlindungan terhadap
hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat.

Dalam kesimpulannya, kasus penistaan agama Ahok menunjukkan kompleksitas dan


kontroversi dalam penegakan hukum di Indonesia, terutama terkait dengan isu-isu politik dan
agama. Kasus ini juga memunculkan pertanyaan tentang independensi lembaga penegak
hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia di Indonesia. Oleh karena itu,
perlu ada upaya yang lebih serius dan komprehensif dalam memperbaiki sistem hukum dan
kebijakan di Indonesia, sehingga dapat menjamin kebebasan berpendapat, kebebasan
beragama, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia untuk semua warga negara
Indonesia, tanpa terkecuali.
BAB II

PEMBAHASAN

1.2 Problematika Penegakkan Hukum Tindak Pidana Korupsi

Problematika penegakkan hukum terkait tindak pidana korupsi di Indonesia masih


menjadi masalah yang serius dan belum dapat diatasi dengan baik. Meskipun sudah ada
berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga hukum, korupsi tetap menjadi
persoalan yang meresahkan dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Beberapa masalah yang sering dihadapi dalam penegakkan hukum terkait tindak
pidana korupsi di Indonesia adalah:

1. Lemahnya sistem pengawasan dan pencegahan korupsi di Indonesia.


2. Kurangnya integritas dan profesionalisme para aparat penegak hukum dalam
menangani kasus korupsi.
3. Penggunaan wewenang dan kekuasaan oleh elite politik dan bisnis untuk menghalangi
proses penegakan hukum terkait kasus korupsi.
4. Lambatnya proses peradilan dan putusan hukum yang tidak sesuai dengan tingkat
kejahatan yang dilakukan.
5. Kurangnya dukungan dan partisipasi aktif dari masyarakat dalam memberantas
korupsi.

Dalam menghadapi problematika penegakkan hukum terkait tindak pidana korupsi


ini, perlu adanya sinergi dan kolaborasi antara pemerintah, lembaga hukum, dan
masyarakat. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut
adalah:

1. Memperkuat sistem pengawasan dan pencegahan korupsi di Indonesia, termasuk


dengan memperkuat peran dan kapasitas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
2. Meningkatkan integritas dan profesionalisme aparat penegak hukum dalam
menangani kasus korupsi.
3. Meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam memberantas korupsi, termasuk
dengan memberikan edukasi dan sosialisasi terkait pentingnya pemberantasan
korupsi.
4. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara.
5. Mempercepat proses peradilan dan memberikan sanksi hukum yang tegas dan adil
bagi para pelaku tindak pidana korupsi.
6. Dengan adanya upaya-upaya tersebut, diharapkan dapat mengurangi tingkat korupsi
di Indonesia dan meningkatkan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi
secara efektif dan efisien.

2.1 problematika penegakan hukum dalam Kasus Korupsi E-KTP setya novanto

Kasus korupsi E-KTP Setya Novanto merupakan salah satu kasus korupsi terbesar
yang pernah terjadi di Indonesia. Kasus ini melibatkan banyak pihak, termasuk pejabat tinggi
negara, anggota DPR, dan pengusaha. Setya Novanto sendiri saat itu menjabat sebagai Ketua
DPR.

Beberapa problematika penegakkan hukum dalam kasus ini antara lain:

1. Keterlambatan Penyidikan

Kasus korupsi E-KTP ini terjadi pada tahun 2010, namun penyidikan terhadap Setya
Novanto baru dilakukan pada tahun 2017. Keterlambatan penyidikan ini membuat publik
meragukan kemampuan aparat penegak hukum dalam menangani kasus korupsi.

Keterlambatan penyidikan menjadi salah satu problematika penegakkan hukum dalam


kasus korupsi E-KTP Setya Novanto. Kasus ini terjadi pada tahun 2010, namun penyidikan
terhadap Setya Novanto baru dilakukan pada tahun 2017, tujuh tahun setelah kasus terjadi.
Penyebab keterlambatan penyidikan ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti
kurangnya dukungan politik dan keuangan dari pemerintah, terbatasnya kemampuan aparat
penegak hukum, serta adanya intervensi atau tekanan dari pihak-pihak yang terlibat dalam
kasus tersebut.

Kasus korupsi E-KTP Setya Novanto merupakan kasus yang melibatkan pejabat
tinggi negara dan anggota DPR, sehingga ada kemungkinan adanya interferensi politik yang
memperlambat proses penyidikan. Selain itu, masalah finansial juga bisa menjadi
penghambat dalam proses penyidikan. Dalam kasus ini, sebagian besar anggaran yang
diberikan untuk proyek E-KTP diduga digunakan untuk kepentingan pribadi, sehingga
menghambat proses penyidikan.

Penyidikan kasus korupsi memerlukan waktu yang lama karena adanya tahapan-
tahapan yang harus dilalui, seperti pemeriksaan, pengumpulan bukti, dan pemanggilan saksi.
Namun, keterlambatan penyidikan yang terlalu lama dapat membuat publik meragukan
kemampuan aparat penegak hukum dalam menangani kasus korupsi. Hal ini juga dapat
menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap keadilan dan keberhasilan penegakan
hukum di Indonesia. Oleh karena itu, perlu ada perbaikan sistem dan dukungan yang
memadai dari pemerintah dalam menangani kasus korupsi agar proses penegakan hukum
dapat berjalan dengan lebih efektif dan efisien.

2. Interferensi Politik

Proses penegakan hukum dalam kasus ini sering terganggu oleh interferensi politik.
Beberapa pihak yang terlibat dalam kasus ini memiliki koneksi politik yang kuat, sehingga
membuat proses penyidikan dan penuntutan menjadi sulit.

Problematika penegakkan hukum dalam kasus korupsi E-KTP Setya Novanto yang
kedua adalah interferensi politik. Interferensi politik terjadi ketika pihak-pihak yang
berkepentingan atau memiliki koneksi politik yang kuat mencoba mempengaruhi proses
penegakan hukum.

Dalam kasus korupsi E-KTP Setya Novanto, banyak pihak yang terlibat dalam kasus
ini memiliki koneksi politik yang kuat. Setya Novanto sendiri saat itu menjabat sebagai Ketua
DPR, sehingga ada kemungkinan adanya intervensi atau tekanan dari pihak-pihak yang
memiliki koneksi politik di level yang lebih tinggi.

Interferensi politik dapat memperlambat atau bahkan menghentikan proses penegakan


hukum yang sedang berlangsung. Hal ini akan membuat publik meragukan kemampuan
aparat penegak hukum dalam menangani kasus korupsi, serta menimbulkan ketidakpercayaan
masyarakat terhadap keberhasilan penegakan hukum di Indonesia.

Untuk menghindari interferensi politik dalam penegakan hukum, perlu adanya


independensi dan kebebasan dalam menjalankan tugas. Aparat penegak hukum harus
bersikap netral dan bekerja berdasarkan hukum yang berlaku, tanpa memperhatikan latar
belakang atau koneksi politik dari pihak-pihak yang terlibat dalam kasus.

Selain itu, perlu juga adanya peran serta masyarakat dalam mendukung proses
penegakan hukum yang transparan dan akuntabel. Masyarakat dapat membantu dengan
memberikan informasi atau bukti yang relevan dengan kasus, serta memberikan dukungan
moral bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas mereka dengan baik.

3. Perlindungan Saksi

Beberapa saksi dalam kasus ini mengalami ancaman dan intimidasi sehingga sulit untuk
memberikan kesaksian yang jujur. Perlindungan terhadap saksi sangat penting dalam proses
penegakan hukum, namun perlindungan ini tidak selalu mudah untuk dilakukan.

Problematika penegakkan hukum dalam kasus korupsi E-KTP Setya Novanto yang
ketiga adalah masalah korupsi dan tindak pidana korupsi di Indonesia secara umum.
Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat korupsi yang cukup tinggi, dan hal ini
menjadi kendala dalam upaya penegakan hukum terutama dalam kasus-kasus korupsi.

Masalah korupsi di Indonesia bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti lemahnya
sistem pengawasan dan penegakan hukum, rendahnya integritas pejabat publik, serta
kurangnya kesadaran masyarakat akan bahaya korupsi dan pentingnya menjaga integritas.

Dalam kasus korupsi E-KTP Setya Novanto, uang ratusan miliar rupiah diduga
digunakan untuk kepentingan pribadi, dan ini merupakan salah satu bentuk tindak pidana
korupsi yang merugikan negara dan masyarakat secara luas. Korupsi dalam kasus E-KTP
tidak hanya melibatkan Setya Novanto, tetapi juga melibatkan sejumlah pejabat dan pihak
swasta lainnya.

Untuk mengatasi masalah korupsi di Indonesia, perlu adanya upaya yang konsisten
dan terus menerus dari pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat. Hal ini meliputi
peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran publik, pemberian
sanksi yang tegas bagi pelaku korupsi, serta peningkatan pengawasan dan penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi.

Masyarakat juga harus dilibatkan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan


korupsi, dengan cara meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tentang bahaya korupsi serta
pentingnya menjaga integritas. Selain itu, masyarakat juga dapat membantu dengan
memberikan informasi atau laporan jika mengetahui adanya praktik korupsi yang terjadi di
sekitarnya.

Dalam jangka panjang, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi harus dimulai
sejak dini, yaitu dengan memberikan pendidikan dan pengajaran tentang nilai-nilai integritas
dan anti-korupsi kepada anak-anak dan generasi muda. Dengan upaya yang terus menerus
dan konsisten dari semua pihak, diharapkan dapat tercipta sistem penegakan hukum yang
efektif dan efisien dalam mengatasi kasus-kasus korupsi di Indonesia.

4. Korupsi Sistemik

Kasus korupsi E-KTP Setya Novanto juga memperlihatkan adanya korupsi sistemik yang
terjadi di Indonesia. Hal ini terlihat dari jumlah uang yang terlibat dalam kasus ini yang
mencapai miliaran rupiah. Selain itu, banyak pejabat dan anggota DPR yang terlibat dalam
kasus ini, yang menunjukkan bahwa korupsi sudah menjadi budaya di kalangan pejabat dan
politisi.

Problematika penegakkan hukum dalam kasus korupsi E-KTP Setya Novanto yang
keempat adalah keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dan teknologi dalam aparat
penegak hukum. Keterbatasan SDM dan teknologi dapat mempengaruhi kualitas dan
efektivitas dalam proses penegakan hukum terutama dalam kasus-kasus yang kompleks
seperti kasus korupsi.

Dalam kasus korupsi E-KTP Setya Novanto, penegakan hukum memerlukan sumber
daya manusia yang mumpuni dan memiliki kemampuan yang baik dalam bidang investigasi,
audit, dan pengambilan keputusan. Selain itu, teknologi yang canggih dan modern juga
sangat dibutuhkan untuk mendukung proses penegakan hukum, seperti teknologi informasi,
forensik digital, dan analisis data.

Namun, keterbatasan sumber daya manusia dan teknologi dalam aparat penegak
hukum di Indonesia masih menjadi kendala utama dalam penegakan hukum, terutama dalam
kasus-kasus korupsi yang kompleks dan melibatkan banyak pihak.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan peningkatan investasi pada sumber daya
manusia dan teknologi dalam aparat penegak hukum. Hal ini meliputi pelatihan dan
pengembangan SDM yang terus menerus, serta pengadaan teknologi yang lebih canggih dan
modern untuk mendukung proses penegakan hukum.

Selain itu, perlu juga adanya kerjasama antara aparat penegak hukum, lembaga
pemerintah, dan sektor swasta untuk meningkatkan kemampuan SDM dan teknologi dalam
bidang penegakan hukum. Hal ini dapat dilakukan melalui program pelatihan dan pendidikan,
serta pengadaan sumber daya dan teknologi yang dibutuhkan.

Dalam jangka panjang, peningkatan kualitas SDM dan teknologi dalam aparat
penegak hukum akan memberikan manfaat yang besar dalam upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Dengan adanya SDM dan teknologi yang
mumpuni, diharapkan aparat penegak hukum dapat lebih efektif dan efisien dalam menangani
kasus-kasus korupsi dan menjamin keadilan bagi masyarakat.

5. Tuntutan Hukuman yang Rendah

Setelah melalui proses persidangan, pada tahun 2018, Setya Novanto divonis 15 tahun
penjara dan denda sebesar 500 juta rupiah. Namun, tuntutan hukuman yang diberikan
dianggap terlalu rendah mengingat besarnya jumlah uang yang terlibat dalam kasus ini. Hal
ini membuat publik meragukan keadilan dalam penegakan hukum di Indonesia.

Problematika penegakkan hukum dalam kasus korupsi E-KTP Setya Novanto yang
kelima adalah faktor politik dan kepentingan tertentu yang mempengaruhi proses penegakan
hukum. Dalam beberapa kasus korupsi di Indonesia, faktor politik dan kepentingan tertentu
dapat menjadi penghalang utama dalam proses penegakan hukum yang adil dan transparan.

Dalam kasus korupsi E-KTP Setya Novanto, terdapat dugaan adanya intervensi politik
yang mempengaruhi proses penegakan hukum. Hal ini tercermin dari beberapa tindakan yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kasus ini, seperti pemanggilan saksi-saksi
yang tidak relevan, pengalihan fokus penyidikan, dan tindakan intimidasi terhadap pihak
yang terait.

Faktor politik dan kepentingan tertentu dalam kasus korupsi juga dapat
mempengaruhi independensi dan integritas lembaga penegak hukum, seperti kepolisian,
kejaksaan, dan pengadilan. Hal ini dapat mengancam kepercayaan masyarakat terhadap
lembaga penegak hukum dan memperburuk situasi korupsi di Indonesia.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan adanya reformasi sistem politik dan hukum
di Indonesia, serta peningkatan independensi dan integritas lembaga penegak hukum. Hal ini
meliputi penegakan hukum yang adil dan transparan, perlindungan terhadap whistleblower
dan saksi, dan pemberian sanksi yang tegas dan sesuai hukum bagi pelaku korupsi.

Selain itu, perlu juga adanya dukungan dari masyarakat dan media massa dalam
upaya pemberantasan korupsi dan penguatan lembaga penegak hukum. Dengan adanya
dukungan ini, diharapkan proses penegakan hukum dapat berjalan dengan adil dan
transparan, serta memberikan efek jera bagi pelaku korupsi.

Secara keseluruhan, kasus korupsi E-KTP Setya Novanto memperlihatkan adanya


berbagai problematika dalam penegakan hukum di Indonesia, terutama dalam menangani
kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara dan politisi.

2.3 Problematika Penegakkan Hukum Tindak Pidana Penistaan Agama

Penegakan hukum terhadap tindak pidana penistaan agama di Indonesia seringkali


menimbulkan berbagai problematika, yang berkaitan dengan aspek hukum, politik, dan
sosial. Beberapa di antaranya adalah:

Ketidakjelasan definisi penistaan agama: Masalah pertama dalam penegakan hukum tindak
pidana penistaan agama adalah ketidakjelasan definisi penistaan agama itu sendiri. Pasal 156a
KUHP yang mengatur tentang penistaan agama tidak memberikan definisi yang jelas dan
objektif mengenai apa yang dianggap sebagai penistaan agama. Hal ini membuat tindakan-
tindakan yang dianggap sebagai penistaan agama bisa menjadi subjektif dan tergantung pada
interpretasi yang berbeda-beda, tergantung pada sudut pandang masing-masing pihak.
Penyalahgunaan pasal penistaan agama untuk kepentingan politik: Selain itu, tindakan
penistaan agama seringkali dimanfaatkan sebagai alat politik untuk menekan dan
mengeliminasi lawan politik atau kelompok yang dianggap tidak sejalan dengan pemerintah
atau kelompok yang berkuasa. Hal ini seringkali terjadi pada situasi politik yang memanas,
seperti dalam konteks pemilihan umum atau konflik sosial-politik yang kompleks.

Pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat: Ketika penegakan hukum
penistaan agama tidak dilakukan dengan baik, hal ini bisa menimbulkan pelanggaran hak
asasi manusia dan kebebasan berpendapat. Banyak kasus penistaan agama di Indonesia yang
diproses secara hukum dianggap tidak adil dan terdapat diskriminasi terhadap kelompok
minoritas. Selain itu, penegakan hukum penistaan agama juga seringkali membatasi
kebebasan berpendapat dan berekspresi, yang merupakan hak asasi manusia yang dijamin
oleh konstitusi.

Kontroversi terkait hukuman yang dijatuhkan: Masalah lain dalam penegakan hukum
tindak pidana penistaan agama adalah kontroversi terkait hukuman yang dijatuhkan oleh
pengadilan. Beberapa kasus penistaan agama yang telah diproses secara hukum di Indonesia
menimbulkan kontroversi, karena hukuman yang dijatuhkan dinilai tidak sesuai dengan
kesalahan yang dilakukan. Hal ini seringkali terjadi ketika faktor politik atau tekanan sosial
mempengaruhi putusan pengadilan.

Perlindungan terhadap kelompok minoritas: Terakhir, penegakan hukum tindak pidana


penistaan agama juga perlu memperhatikan perlindungan terhadap kelompok minoritas dan
rentan. Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, Indonesia harus menjamin hak-hak setiap
warga negaranya tanpa diskriminasi, termasuk hak atas kebebasan beragama dan
berkeyakinan. Oleh karena itu, penegakan hukum tindak pidana penistaan agama harus
dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan objektivitas, tanpa adanya diskriminasi atau
pengaruh politik, dan harus mengutamakan keadilan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia.
Dalam hal ini, perlu ditekankan bahwa penegakan hukum penistaan agama harus
dilakukan dengan berpegang pada prinsip-prinsip keadilan dan tidak hanya memenuhi
kepentingan kelompok tertentu atau kepentingan politik semata. Selain itu, perlu juga adanya
reformasi hukum dan kebijakan yang memperkuat dan menjaga hak-hak minoritas dan
kelompok rentan dari tindakan diskriminatif.

Penting juga untuk meningkatkan edukasi dan kesadaran masyarakat terkait nilai-nilai
toleransi, menghargai perbedaan, dan menghormati hak asasi manusia. Dengan meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang pentingnya kerukunan dan keberagaman, diharapkan dapat
mencegah terjadinya tindakan penistaan agama yang merusak tatanan sosial masyarakat dan
negara.

2.5 problematika penegakkan hukum Basuki Tjahya Purnama

Kasus penistaan agama yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau Ahok
merupakan salah satu kasus yang memicu perdebatan panjang tentang penegakan hukum
dan kebebasan berpendapat di Indonesia. Ahok, yang pada saat itu menjabat sebagai
Gubernur DKI Jakarta, diadukan ke pihak kepolisian oleh sejumlah pihak atas dugaan
penistaan agama.

Permasalahan muncul karena dalam kasus ini, hukum dipengaruhi oleh faktor politik dan
sentimen agama. Ahok, yang merupakan seorang minoritas Tionghoa dan juga seorang
Kristen, dianggap telah menista agama Islam dalam pidatonya di Kepulauan Seribu pada
bulan September 2016. Pidato tersebut dituduh mengandung unsur penghinaan terhadap
agama Islam dan dituduh oleh sejumlah pihak sebagai bentuk penistaan agama.

Meskipun dalam sidang pengadilan terbukti bahwa Ahok tidak bersalah dalam kasus
penistaan agama, kasus ini memunculkan sejumlah kontroversi di kalangan masyarakat
dan menimbulkan pertanyaan tentang kesetaraan di depan hukum serta perlindungan
terhadap hak asasi manusia.

Beberapa masalah utama dalam kasus Ahok antara lain:

Faktor politik: Dalam kasus ini, terdapat tuduhan bahwa Ahok dituntut hukuman
karena faktor politik. Pada saat itu, Ahok merupakan pesaing politik sejumlah pihak
dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta. Hal ini memunculkan spekulasi bahwa kasus
penistaan agama yang menjerat Ahok dimanfaatkan sebagai senjata politik untuk
mengalahkan lawan politiknya.

Sentimen agama: Tuduhan penistaan agama Ahok memicu reaksi keras dari sejumlah
kelompok Islam di Indonesia, yang merasa bahwa agama Islam telah dihina oleh Ahok.
Hal ini menyebabkan terjadinya aksi protes dan unjuk rasa yang berujung pada kerusuhan
dan kekerasan.

Keadilan: Ada pihak yang menilai bahwa dalam kasus Ahok, terdapat ketidakadilan
dalam penegakan hukum. Mereka berpendapat bahwa Ahok dituntut secara berlebihan
dan diadili dengan standar yang berbeda dibandingkan dengan kasus serupa yang
melibatkan orang yang lebih berkuasa atau orang yang dianggap lebih dekat dengan
penguasa.

Kebebasan berpendapat: Dalam kasus Ahok, terdapat pertanyaan tentang kebebasan


berpendapat dan hak untuk mengkritik para pemimpin, termasuk dalam hal agama.
Beberapa pihak menilai bahwa Ahok hanya menyampaikan pandangannya tentang agama
Islam dan bukan dengan niat untuk menista agama.

Pengaruh agama dalam hukum: Kasus Ahok menunjukkan pengaruh besar yang
dimiliki agama dalam hukum di Indonesia. Hal ini memicu pertanyaan tentang kebebasan
beragama dan juga perlindungan terhadap hak asasi manusia. Perlu dicatat bahwa
Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, harus menjamin kebebebasan
beragama dan berkeyakinan, serta tidak diskriminatif terhadap minoritas agama.
Dalam kasus Ahok, sejumlah pihak menilai bahwa hukum Indonesia tidak
memberikan perlindungan yang cukup terhadap minoritas agama dan cenderung berpihak
pada mayoritas agama. Hal ini terlihat dari respons yang berbeda-beda dalam kasus-kasus
penistaan agama yang melibatkan agama mayoritas dan minoritas. Beberapa kasus
penistaan agama yang melibatkan agama mayoritas tidak diambil tindakan hukum yang
serius atau tidak dianggap sebagai penistaan agama, sementara kasus-kasus yang
melibatkan minoritas agama diproses secara ketat dan seringkali mengakibatkan hukuman
yang berat.

Problematika lain dalam kasus Ahok adalah bahwa hukum pidana di Indonesia masih
menggunakan pasal-pasal karet yang dapat diartikan secara luas dan memungkinkan
penyalahgunaan hukum dalam kasus-kasus penistaan agama. Pasal-pasal tersebut
seringkali digunakan untuk membungkam kritik terhadap agama atau tokoh agama
tertentu, sehingga memunculkan pertanyaan tentang kebebasan berpendapat dan
kebebasan berekspresi di Indonesia.

Selain itu, dalam kasus Ahok, terdapat kekhawatiran tentang independensi lembaga
penegak hukum. Beberapa pihak menilai bahwa keputusan pengadilan terhadap Ahok
terpengaruh oleh tekanan dari kelompok-kelompok agama dan politik. Hal ini
memunculkan pertanyaan tentang independensi lembaga peradilan di Indonesia, serta
perlindungan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat.

Dalam kesimpulannya, kasus penistaan agama Ahok menunjukkan kompleksitas dan


kontroversi dalam penegakan hukum di Indonesia, terutama terkait dengan isu-isu politik
dan agama. Kasus ini juga memunculkan pertanyaan tentang independensi lembaga
penegak hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia di Indonesia.
Oleh karena itu, perlu ada upaya yang lebih serius dan komprehensif dalam memperbaiki
sistem hukum dan kebijakan di Indonesia, sehingga dapat menjamin kebebasan
berpendapat, kebebasan beragama, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia untuk
semua warga negara Indonesia, tanpa terkecuali.

2.6 problematika penegakkan hukum tindak pidana narkoba


Problematika dalam penegakan hukum terkait tindak pidana narkoba di Indonesia
sangat kompleks dan melibatkan banyak faktor, baik faktor internal maupun eksternal.
Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Keterbatasan Sumber Daya

Keterbatasan sumber daya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum tindak pidana narkoba di Indonesia. Hal ini terutama terkait dengan keterbatasan
anggaran dan personel yang dimiliki oleh lembaga penegak hukum seperti Kepolisian,
Kejaksaan, dan Pengadilan. Keterbatasan sumber daya ini dapat mempengaruhi kualitas
penyidikan, penuntutan, dan pengadilan kasus narkoba, sehingga dapat mempengaruhi
keberhasilan penegakan hukum.1

2. Korupsi

Korupsi merupakan masalah serius dalam penegakan hukum tindak pidana narkoba di
Indonesia. Terdapat banyak kasus di mana pelaku tindak pidana narkoba berhasil lolos
dari hukuman atau menerima hukuman yang ringan karena adanya praktik korupsi di
lembaga penegak hukum. Korupsi juga dapat mempengaruhi kualitas penyidikan dan
pengadilan kasus narkoba, sehingga dapat mengurangi efektivitas penegakan hukum.

3. Pengaruh Politik

Pengaruh politik juga dapat mempengaruhi penegakan hukum tindak pidana narkoba di
Indonesia. Terdapat banyak kasus di mana pelaku tindak pidana narkoba yang memiliki
hubungan dengan elit politik atau kelompok kepentingan tertentu berhasil lolos dari
hukuman atau menerima hukuman yang ringan. Pengaruh politik ini dapat mempengaruhi
independensi lembaga penegak hukum, sehingga dapat mengurangi efektivitas penegakan
hukum.

4. Keberadaan Sindikat Narkoba

1
Sindikat narkoba merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penegakan hukum
tindak pidana narkoba di Indonesia. Sindikat narkoba memiliki jaringan yang luas dan
kuat, sehingga sulit untuk membongkar dan memberantas kegiatan ilegal mereka. Selain
itu, sindikat narkoba juga seringkali menggunakan kekerasan dan ancaman untuk
mengintimidasi lembaga penegak hukum, sehingga dapat menghambat upaya penegakan
hukum.

5. Kurangnya Kesadaran dan Edukasi Masyarakat

Kurangnya kesadaran dan edukasi masyarakat tentang bahaya narkoba juga menjadi
faktor yang mempengaruhi penegakan hukum tindak pidana narkoba di Indonesia.
Masyarakat yang kurang sadar akan bahaya narkoba cenderung lebih mudah terjerat
dalam kegiatan ilegal yang terkait dengan narkoba. Hal ini dapat memperburuk masalah
narkoba di Indonesia dan mempersulit upaya penegakan hukum.

Dalam kesimpulannya, penegakan hukum terkait tindak pidana narkoba di Indonesia


sangat kompleks dan memerlukan upaya yang serius dan komprehensif

2.7 problematika penegakan hukum Fredy Budima

Kasus narkoba Freddy Budiman merupakan salah satu kasus narkoba yang sangat
terkenal di Indonesia. Freddy Budiman merupakan seorang pengusaha asal Indonesia
yang ditangkap pada 21 April 2015 atas tuduhan penyalahgunaan narkoba. Setelah diadili
dan dinyatakan bersalah, ia dieksekusi mati pada 29 Juli 2016.

Terdapat beberapa problematika penegakan hukum dalam kasus narkoba Freddy


Budiman, di antaranya:

1. Keterlibatan Pihak Berwenang


Salah satu hal yang menjadi sorotan dalam kasus narkoba Freddy Budiman adalah
adanya dugaan keterlibatan pihak berwenang. Beberapa orang, termasuk petugas
keamanan dan polisi, diduga terlibat dalam jaringan narkoba yang dipimpin oleh Freddy
Budiman. Hal ini menimbulkan keraguan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap
aparat penegak hukum, serta menunjukkan rendahnya integritas dan moralitas di kalangan
aparat tersebut.

2. Perlakuan Terhadap Tersangka

Selama proses penangkapan, penahanan, dan persidangan, terdapat beberapa laporan


mengenai perlakuan buruk terhadap Freddy Budiman dan beberapa tersangka lainnya.
Beberapa laporan tersebut meliputi pemukulan, penganiayaan, dan intimidasi. Hal ini
menimbulkan kekhawatiran mengenai hak asasi manusia dan perlindungan terhadap
tahanan.

3. Kerentanan Sistem Hukum

Kasus narkoba Freddy Budiman juga menunjukkan kerentanan dalam sistem hukum
Indonesia, terutama dalam hal perlindungan terhadap korban dan saksi, serta keadilan
dalam proses peradilan. Beberapa saksi dan korban dalam kasus ini mengalami intimidasi
dan ancaman, serta mendapatkan perlindungan yang minim dari aparat penegak hukum.
Selain itu, terdapat kekhawatiran mengenai keadilan dalam proses peradilan, termasuk
dalam hal penyediaan bukti dan konsistensi putusan hakim.

4. Kompleksitas Kasus

Kasus narkoba Freddy Budiman juga merupakan kasus yang sangat kompleks,
melibatkan banyak pihak dan aspek yang terkait. Hal ini menunjukkan perlunya sinergi
dan koordinasi antara berbagai pihak terkait, termasuk pihak kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan, dalam menangani kasus-kasus serupa di masa yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai