Anda di halaman 1dari 8

A.

Latar belakang
Pengaruh Hindu dan Buddha di Indonesia – Sudah bukan hal asing lagi jika budaya dan
agama Hindu dan Buddha sudah ada sejak lama di Indonesia. Bahkan, sudah ada sejak abad
ke-5 hingga abad ke-15. Datangnya budaya dan agama Hindu dan Buddha menghasilkan
sebuah akulturasi budaya dengan budaya Indonesia. Maka dari itu, banyak sekali bangunan
bersejarah Indonesia yang bercorak Hindu dan Buddha.
Akulturasi budaya Hindu dan Buddha dengan budaya Indonesia dapat terjadi karena adanya
pencampuran budaya tidak menghilangkan budaya asli Indonesia. Bahkan, sampai saat ini
banyak sekali ilmuwan dan masyarakat Indonesia yang sangat ingin mengetahui lebih dalam
tentang akulturasi budaya ini. Adanya akulturasi budaya Hindu dan Buddha dengan budaya
Indonesia memberikan pengaruh bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Di bawah ini akan
dijelaskan lebih lanjut tentang pengaruh Hindu dan Buddha dalam kehidupan masyarakat
Indonesia.

BERKEMBANGNYA HINDU-BUDHA DI INDONESIA

Sejak awal masehi telah terjalin hubungan perdagangan antara Asia Timur (Cina) dan Asia Selatan
(India) yang melintasi kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Indonesia merupakan daerah
yang strategis dalam pelayaran dan perdagangan internasional. Hal inilah yang menyebabkan
pengaruh Hindu-Budha yang berkembang di India menyebar sampai ke Indonesia.

Proses masuknya pengaruh Hindu-Budha di Indonesia ada 2 pendapat :

Pertama: Hindu-Budha dibawa oleh orang-orang India ke Indonesia dan masyarakat Indonesia hanya
bersikap pasif.

Kedua : masyarakat Indonesia telah bersikap aktif yakni dengan pergi ke India untuk mempelajari
Hindu-budha dan menyebarkannya kembali ke wilayah Indonesia.

Proses masuk dan berkembangnya Hindu-budha ke Indonesia didukung oleh beberapa teori yang
masing-masing mempunyai alasan. Teori yang menyatakan pembawa atau yang menyebarkan
Hindu-Budha di Indonesia adalah :

Teori Brahmana

Teori Ksatria

Teori Waisya

Teori Arus Balik

Teori Brahmana

Teori ini dekemukakan oleh J.C Van Leur yang menyatakan bahwa agama dan kebudayaan Hindu-
Budha yang datang ke Indonesia dibawa oleh golongan Brahmana (golongan agama) yang sengaja
diundang oleh penguasa Indonesia.

Teori ini mempertegas kembali bahwa penyebaran agama Hindu ke Indonesia hanya golongan
Brahmana yang mempunyai hak dan mampu membaca kitab Weda (kitab suci agama Hindu)
sehingga hanya kasta Brahmana yang memahami ajaran Hindu secara utuh dan benar. Selain itu
beberapa prasasti yang ditemukan di Indonesia menggunakan berbahasa Sansekerta. Di India bahasa
itu hanya digunakan dalam kitab suci dan upacara keagamaan dan hanya golongan Brahmana yang
mengerti dan menguasai penggunaan bahasa tersebut. Kontak penguasa Indonesia dengan
penguasa India terjadi berkat hubungan dagang.
Teori Ksatria

Teori ini dikemukakan oleh Prof.Dr.J.L. Moens yang menyatakan bahwa agama dan kebudayaan
Hindu-Budha dibawa oleh orang-orang dari India dari kasta Ksatria, dengan alasan bahwa di India
sekitar abad ke-4 hingga abad ke-6 sering terjadi peperangan sehingga kasta Ksatria yang terdiri dari
kaum bangsawan dan prajurit ada yang mengalami kekalahan dan melarikan diri mencari daerah
baru antara lain hingga ke Indonesia.

Teori Waisya

Teori ini dikemukakan oleh Prof. Dr.N.J.Krom yang menyatakan bahwa golongan Waisya (pedagang,
petani, pemilik tanah) merupakan golongan terbesar yang berperan dalam menyebarkan agama dan
kebudyaan Hindu-Budha. Para pedagang yang sudah terlebih dahulu mengenal Hindu-Budha datang
ke Indonesia selain untuk berdagang mereka juga memperkenalkan Hindu-Budha kepada rakyat
Indonesia. Para pedagang ini adakalanya menetap sementara waktu dan bahkan ada yang menetap
dan tinggal di Indonesia dan menikah dengan penduduk setempat.

Teori Arus Balik

Teori ini dikemukakan oleh F.D.K.Bosch yang menyatakan bahwa pada mulanya golongan agama
menyebar ke berbagai negara melalui jalur yang dilalui oleh para pedagang. Dibeberapa tempat
mereka berusaha menjalin hubungan yang baik dan memperkenalkan Hindu-Budha. Pada
perkembangan selanjutnya orang Indonesia sendiri datang ke India untuk mempelajari Hindu-Budha
setelah memperoleh ilmu yang banyak mereka kembali lagi ke Indonesia untuk menyebarkan ajaran
Hindu-budha

2.2 Perkembangan Agama Hindu Buddha Di Asia Timur

Agama Buddha di Asia Timur berkembang setelah para pedagang dari Asia Tengah memperkenalkan
agama Buddha di Tiongkok. Setelah Tiongkok menganut agama Buddha, para biksu Tiongkok pergi
ke Semenanjung Korea untuk memperkenalkan agama Buddha kepada kerajaan-kerajaan yang ada
di Korea. Agama Buddha berkembang di Tiongkok dan Korea pada abad ke-6 dan abad ke-7 Masehi.
Agama Buddha juga turut berkembang di Kepulauan Jepang.

a. Di Tiongkok

Agama Buddha kemungkinan besar muncul di Tiongkok sekitar abad pertama Masehi dari Asia
Tengah (meski menurut tradisi agama ini dibawa oleh seorang biksu pada masa pemerintahan raja
Asoka), sampai abad ke-8 ketika negara ini menjadi pusat agama Buddha yang penting. Agama
Buddha tumbuh dengan subur selama awal dinasti Tang(618–907). Dinasti ini memiliki ciri
keterbukaan kuat terhadap pengaruh asing, dan pertukaran unsur kebudayaan dengan India karena
banyaknya perjalanan biksu Buddha ke India dari abad ke-4 sampai abad ke-11.

Namun pengaruh asing kembali dianggap negatif pada masa akhir dinasti Tang. Pada tahun 845,
Kaisar Tang Wu-Tsung melarang semua agama “asing” (termasuk agama Kristen mazhab Nestorian,
Zoroastrianisme, dan Buddha) untuk lebih mendukung Taoisme yang merupakan ajaran pribumi. Di
seluruh wilayahnya, dia menyita harta milik Buddha, biara dan kuil dirusak, dan rahib Buddha
ditindas, Maka dengan ini berakhirlah kejayaan kebudayaan dan kekuasaan intelektual Buddha.
Namun aliran Buddha Tanah Murni dan Chan terus berkembang selama beberapa abad, dan
perkembangan ini akhirnya akan menimbulkan aliran Buddha Jepang Zen.

Di Tiongkok, Chan tumbuh dengan subur teristimewa di bawah dinasti Song (1127 – 1279), ketika
biara-biarannya menjadi pusat kebudayaan dan tempat belajar yang agung.

b. Di Korea

Agama Buddha diperkenalkan di Korea sekitar tahun 372, ketika para biksu dari Tiongkok yang
berkunjung ke kerajaan Goguryeo, membawa kitab-kitab dan gambar-gambar. Lalu agama Buddha
berkembang dengan pesat di Korea, dan terutama aliran Seon (Zen) mulai abad ke-7. Namun, saat
Dinasti Joseon yang menganut Konfusianisme berdiri pada tahun 1392, agama Buddha mengalami
diskriminasi.

c. Jepang

Agama Buddha diperkenalkan di Jepang pada abad ke-6 ketika para biksu melakukan perjalan ke
kepulauan mereka sembari membawa banyak kitab-kitab suci dan karya seni. Agama Buddha lalu
dipeluk menjadi agama negara pada abad selanjutnya. Karena secara geografis terletak pada ujung
Jalur Sutra, Jepang bisa menyimpan banyak aspek agama Buddha ketika agama ini mulai hilang dari
India dan ditindak di Asia Tengah serta Tiongkok.

Dari kurang lebih tahun 710 banyak sekali kuil dan vihara dibangun di ibu kota Nara, seperti pagoda
lima tingkat dan Ruang Emas Horyuji, atau kuil Kofukuji. Banyak sekali lukisan dan patung dibuat
sampai tak terhitung dan sering kali dengan sponsor pemerintah. Pembuatan seni Buddha Jepang
terutama sangat padat antara abad ke-8 dan abad ke-13 semasa pemerintahan di Nara, Heian, dan
Kamakura.

Dari abad ke-12 dan abad ke-13, perkembangan lebih lanjut ialah seni Zen, mengikuti perkenalan
aliran ini oleh Dogen dan Eisai setelah mereka pulang dari China. Seni Zen sebagian besar memiliki
ciri khas lukisan asli (seperti sumi-E dan Enso) dan puisi (khususnya haiku). Seni ini berusaha keras
untuk mengungkapkan intisari sejati dunia melalui gaya impressionisme dan gambaran tak terhias
yang tak “dualistik”. Pencarian untuk penerangan “sesaat” juga menyebabkan perkembangan
penting lain sastra derivatif seperti Chanoyu (upacara minum teh) atau Ikebana; seni merangkai
bunga. Perkembangan ini sampai sejauh pendapat bahwa setiap kegiatan manusia merupakan
sebuah kegiatan seni sarat dengan muatan spiritual dan estetika, pertama-tama apabila aktivitas itu
berhubungan dengan teknik pertempuran (seni beladiri). Agama Buddha
Sampai sekarang tetap masih aktif di Jepang. Sekitar 80.000 kuil-kuil Buddha masih dipelihara secara
teratur.

2.3 Perkembangan Agama Hindu Buddha Di Asia Tenggara

Perkembangan Agama Hindu di Asia Tenggara

Di Asia Tenggara agama Hindu lebih berkembang pesat, seperti di kerajaan Funan, Lin-Yi, Fyu, Mon
Dwarawati, Shen-La dan Khmer, Kutai, dan Tarumanegara.

Di Kamboja, terdapat bangunan peninggalan agama Hindu terbesar di Asia Tenggara, bahkan di
dunia. Bangunan tersebut adalah Angkor Wat yang dibangun oleh kerajaan Khmer semasa
pemerintahan Suryawarman II (1113-1150).

Perkembangan agama Hindu sempat terhambat ketika agama Buddha muncul. Menurunnya jumlah
pengikut agama Hindu berkenaan dengan sikap tamak kaum brahmana pada masa itu. Ditambah
lagi, orang-orang miskin tidak menyukai kedudukannya dalam kasta, sehingga banyak diantaranya
yang pindah ke agama Buddha.

Namun, beberapa abad kemudian keadaan itu berubah sejak Dinasi Sunga. Raja pertama Dinasti
Sunga adalah Pushyamitra Sunga, tidak menyukai agama Buddha dan memihak kepada agama
Hindu.Ia mengangkat kaum brahmana sebagai penasihat kerajaan. Keadaan ini kemudian
dimanfaatkan oleh kaum brahmana untuk melakukan tekanan terhadap pengikut Buddha, sehingga
pengaruh agama Buddha berangsur-angsu muaali surut di India.

Perkembangan agama Hindu di India menjadi semakin bersinar pada abad ke-4 Masehi, yaitu
semenjak kemunculan Dinasti Dinasti Gupta (320-656 M). Raja-raja Gupta memeluk agama Hindu
dan berusaha memperkuat pengaruh agama tersebut.

Perkembangan Agama Buddha di Asia Tenggara

Pertama kali berkembang di wilayah timur anak benua India, khususnya Myanmar pada abad ke-2
Sebelum Masehi. Penyebaran agama Buddha di Asia Tenggara diawali oleh suku Mon yang
terpengaruh dengan budaya India sehingga menerima agama Buddha sebagai kepercayaan mereka.
Agama Buddha di Asia Tenggara menyebar sebelum perpecahan antara aliran Mahayana dan
Hinayana terjadi pada masa pemerintahan Asoka di India. Candi-candi Buddha paling awal di Asia
Tenggara dibangun dengan wilayah Kerajaan Mon di Myanmar Tengah sebagai pusat pembangunan.
Penanggalan candi antara abad ke-1 hingga abad ke-5 Masehi. Aliran Theravada berkembang di Asia
Tenggara bagian utara selama abad ke-5 Masehi, tetapi digantikan secara bertahap oleh aliran
Mahayana sejak abad ke-6 Masehi.

Selama abad pertama Masehi, perdagangan di Jalur Sutra yang melalui darat cenderung dibatasi
oleh kenaikan kekaisaran Parthia di Timur Tengah, sebuah bebuyutan Kekaisaran Romawi yang
belum hancur. Sementara itu kala itu bersamaan dengan waktu di mana orang Roma sedang
menjadi sangat kaya dan permintaan mereka untuk kemewahan Asia naik.

Permintaan ini menghidupkan lagi hubungan laut di antara Laut Tengah dan Tiongkok, dengan India
sebagai perantara terpilih. Dari waktu itu, lewat hubungan perdagangan, koloni-koloni dagang, dan
bahkan intervensi politik, India memulai dengan kuat pengaruhnya di Asia Tenggara. Rute dagang
menghubungkan India dengan selatan Burma, pusat dan selatan Siam, Kamboja dan selatan
Vietnam, dan banyak pemukiman pesisir didirikan di sana.

Lebih dari seribu tahun, pengaruh India merupakan faktor utama yang membawa persatuan budaya
di antara banyak negara yang berbeda-beda di kawasan ini. Bahasa Pali dan bahasa sanskerta dan
aksara bersama dengan theravasa, mahayana, brahmanisme, dan agama hindu, disebarkan secara
langsung melalui teks-teks kesusastraan India seperti Ramayana dan Mahabharata.

Dari abad ke-5 sampai abad ke-13, Asia Tenggara memiliki kerajaan-kerajaan dan bahkan kekaisaran
yang kuat dan berkuasa dan menjadi aktif dalam pengembangan arsitektur dan seni Buddha.
Pengaruh utama Buddha berasal dari anakbenua India, sehingga negara-negara di sini menganut
aliran Mahayana. Sri Wijaya di selatan dan kerajaan Khmer di utara saling berusaha menjadi yang
paling berkuasa dan kesenian mereka mencermikan pantheon Bodhisattva Mahayana yang sangat
kaya.

2.4 Perkembangan Agama Hindu-Budha di Asia Selatan

Proses masuk dan berkembangnya agama Hindu-Budha tidak dapat lepas dari peradaban
lembah Sungai Indus, di India. Di Indialah mulai tumbuh dan berkembang agama dan budaya Hindu
dan Budha. Dari tempat tersebut mulai menyebarkan agama Hindu-Budha ke tempat lain di dunia.
Agama Hindu tumbuh bersamaan dengan kedatangan bangsa Aria (cirinya kulit putih, badan tinggi,
hidung mancung) ke Mohenjodaro dan Harappa (Peradaban Lembah Sungai Indus) melalui celah
Kaiber (Kaiber Pass) pada 2000-1500 SM dan membuat perpaduan kebudayaan dengan bangsa
Dravida (berhidung pesek, kulit gelap) dan bangsa Munda sebagai suku bangsa asli yang telah
mendiami daerah tersebut yang disebut dengan HINDU.
Agama Budha muncul dan dikenalkan oleh Sidharta (semua harapan dikabulkan), akibat
ketidakpuasan terhadap kekuasaan kasta brahmana yang semen-mena.

Perkembangan Agama Budha di Asia Selatan

Perkembangan Agama Budha mencapai puncaknya kejayaannya pada masa pemerintahan raja
Ashoka dari Dinasti Maurya. Ia mampu menjadikan ¾ wilayah India menganut agama Budha dan Ia
menetapkan agama Budha sebagai agama resmi negara. Perkembang agama Budha saat itu cepat
serta dapat diterima masyarakat India. Selain faktor utama ini terdapat juga faktor pendukung
diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Penyebaran agama Budha dilakukan dengan mengunakan bahasa rakyat sehari-hari seperti
bahasa Prakrit, dan bukan bahasa Sansekerta yang hanya dikuasai dan dimengerti oleh kaum
Brahmana.

2. Ajaran agama Budha dapat diterima/ dianut dan disebarkan pada siapapun tidak hanya pada
golongan tertentu sehingga dapat disebut ajaran Sidharta ini bersifat non-eksklusif.

3. Dalam agama Budha tidak dikenal adanya sistem kasta sebab sistem ini dipandang akan
membedakan masyarakat atas harkat dan martabatnya. Sehingga dalam Budha laki-laki
ataupun perempuan, miskin atupun kaya sama saja semuanya punya hak yang sama dalam
kehidupan ini.

Perkembangan Agama Hindu di Asia Selatan

1. Tahap Awal

Sebelum disebarkan di bawah perlindungan maharaja Asoka pada abad ke-3 SM, agama Budha
kelihatannya hanya sebuah fenomena kecil saja, dan sejarah peristiwa-peristiwa yang membentuk
agama ini tidaklah banyak tercatat. Dua sidang umum pembentukan dikatakan pernah terjadi, meski
pengetahuan kita akan ini berdasarkan catatan-catatan dari kemudian hari. Konsili-konsili (juga
disebut pasamuhan agung) ini berusaha membahas formalisasi doktrin-doktrin Buddhis, dan
beberapa perpecahan dalam gerakan Budha.

2. Abad ke-5 SM
Konsili pertama Budha diadakan tidak lama setelah Budha wafat di bawah perlindungan raja
Ajatasattu dari Kekaisaran Magadha, dan dikepalai oleh seorang rahib bernama Mahakassapa di
Rajagaha (sekarang disebut Rajgir).

Tujuan konsili ini adalah untuk menetapkan kutipan-kutipan Budha (sutta (Budha)) dan
mengkodifikasikan hukum-hukum monastik (vinaya): Ananda, salah seorang murid utama Budha dan
saudara sepupunya, diundang untuk meresitasikan ajaran-ajaran Budha, dan Upali, seorang murid
lainnya, meresitasikan hukum-hukum vinaya. Ini kemudian menjadi dasar kanon Pali, yang telah
menjadi teks rujukan dasar pada seluruh masa sejarah agama Budha.

3. Tahun 383 SM

Konsili kedua Budha diadakan oleh raja Kalasoka di Vaisali, mengikuti konflik-konflik antara mazhab
tradisionalis dan gerakan-gerakan yang lebih liberal dan menyebut diri mereka sendiri kaum
Mahasanghika.

Mazhab-mazhab tradisional menganggap Budha adalah seorang manusia biasa yang mencapai
pencerahan, yang juga bisa dicapai oleh para bhiksu yang mentaati peraturan monastik dan
mempraktekkan ajaran Budha demi mengatasi samsara dan mencapai arhat.

Namun kaum Mahasanghika yang ingin memisahkan diri, menganggap ini terlalu individualistis dan
egois. Mereka menganggap bahwa tujuan untuk menjadi arhat tidak cukup, dan menyatakan bahwa
tujuan yang sejati adalah mencapai status Buddha penuh, dalam arti membuka jalan paham
Mahayana yang kelak muncul. Mereka menjadi pendukung peraturan monastik yang lebih longgar
dan lebih menarik bagi sebagian besar kaum rohaniwan dan kaum awam (itulah makanya nama
mereka berarti kumpulan “besar” atau “mayoritas”).

Konsili ini berakhir dengan penolakan ajaran kaum Mahasanghika. Mereka meninggalkan sidang dan
bertahan selama beberapa abad di Indian barat laut dan Asia Tengah menurut prasasti-prasasti
Kharoshti yang ditemukan dekat Oxus dan bertarikh abad pertama.

4. Dakwa Asoka (+/- 260 SM)

Maharaja Asoka dari Kekaisaran Maurya (273–232 SM) masuk agama Budha setelah menaklukkan
wilayah Kalingga (sekarang Orissa) di India timur secara berdarah. Karena menyesali perbuatannya
yang keji, sang maharaja ini lalu memutuskan untuk meninggalkan kekerasan dan menyebarkan
ajaran Budha dengan membangun stupa-stupa dan pilar-pilar di mana ia menghimbau untuk
menghormati segala makhluk hidup dan mengajak orang-orang untuk mentaati Dharma. Asoka juga
membangun jalan-jalan dan rumah sakit-rumah sakit di seluruh negeri. Periode ini menandai
penyebaran agama Budha di luar India.

Menurut prasasti dan pilar yang ditinggalkan Asoka (piagam-piagam Asoka), utusan dikirimkan ke
berbagai negara untuk menyebarkan agama Budha, sampai sejauh kerajaan-kerajaan Yunani di barat
dan terutama di kerajaan Baktria-Yunani yang merupakan wilayah tetangga. Kemungkinan besar
mereka juga sampai di daerah Laut Tengah menurut prasasti-prasasti Asoka.

Anda mungkin juga menyukai