Anda di halaman 1dari 5

KERANGKA ACUAN

PERTEMUAN PERENCANAAN PROGRAM DAN ANGGARAN


KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA DI LINI LAPANGAN

A. LATAR BELAKANG

Keberhasilan program KB sejak dicanangkan menjadi program nasional pada 29 Juni


1970 telah memperoleh perhatian dan pengakuan dunia internasional. Tidak kurang dari 4
ribu dari 97 negara belajar program KB di Indonesia. Namun sejak reformasi, program
KB kurang memperoleh perhatian dan komitmen yang memadai. Tidak mengherankan
bila kemudian sasaran yang telah ditetapkan banyak yang tidak tercapai. Hal ini dapat
dilihat dari hasil SDKI tahun 2002, 2007 dan terakhir 2012 dimana TFR sebagai indikator
utama program KB tetap stagnan pada angka 2,6 anak per perempuan usia subur.

Banyak penyebab ketidakberhasilan tersebut, mulai dari masalah makin


berkurangnya kewenangan BKKBN sebagai sebuah lembaga, kurangnya komitmen dari
para pemangku kepentingan, sampai kepada makin rendahnya partisipasi mitra kerja
dalam pengelolaan dan pelaksanaan program KB di tingkat pusat sampai lini lapangan.
Kondisi ini makin mengemuka sejak pengelolaan dan pelaksanaan program KB
diserahkan kepada daerah. Sejak digulirkannya otonomi daerah pada tahun 2003, satuan
personil, pembiayaan, sarana prasarana dan dokumentasi (SP3D) yang semula menjadi
kewenangan pemerintah pusat (dalam hal ini BKKBN) telah diserahkan dan menjadi
kewenangan pemerintah kabupaten dan kota. Dengan demikian, BKKBN tidak lagi
memiliki kendali penuh terhadap pengelolaan program KKB di daerah.

Hasil capaian program KKB periode 2012-2014 menunjukkan hasil yang jauh dari
harapan. Hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk sebanyak
237,6 juta jiwa atau 3,4 juta jiwa lebih besar dari proyeksi penduduk sebesar 234,2 juta
jiwa atau bertambah 32,5 juta dari jumlah penduduk tahun 2000. Laju Pertumbuhan
Penduduk (LPP) pada tahun 2010 sebesar 1,49 persen atau naik dari 0,5% pertahun dari
kondisi tahun 2000.

Dengan LPP 1,49 persen, apabila pelaksanaan pengendalian penduduk utamanya


melalui program KB nasional masih berjalan seperti dekade 2000-2010, maka dalam
waktu 45 tahun lagi penduduk Indonesia akan menjadi dua kali lipat atau pada tahun
2055 akan menjadi sebesar 475 juta, dan pada tahun 2100 akan menjadi 950 juta.

1
Selain itu, angka kesertaan ber-KB (CPR) masih rendah. Hasil SDKI 2002/2003
menunjukkan CPR cara modern adalah 56,7 persen, tahun 2007 hanya meningkat 0,7
persen menjadi 57,4 persen dan tahun 2012 menjadi 57,9 persen atau hanya meningkat
0,5 persen selama lima tahun atau rata-rata hanya 0,1% per tahun. Dengan demikian,
kenaikan CPR yang sangat kecil tidak mampu mengungkit penurunan TFR secara
signifikan. Upaya peningkatan CPR cara modern yang ditargetkan sebesar 1,2 persen per
tahun tidak tercapai. Hal ini terutama dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain
mekanisme operasional KB di lapangan belum berjalan sebagaimana yang diharapkan,
kegiatan pembinaan kesertaan ber-Kb masih jauh dari optimal, rakor desa dan kecamatan
tidak berjalan dengan baik, pembinaan PKB/PLKB kepada Kader dan pembinaan
maupun penyuluhan Kader kepada keluarga belum berjalan dengan baik. Salah satu
penyebab utamanya adalah karena dukungan anggaran yang sangat terbatas dari
Pemerintah daerah maupun dukungan APBN yang masih terkendala oleh regulasi yang
tidak memungkinkan didistribusikan ke lini lapangan.

Untuk menjamin terselenggaranya mekanisme operasional program KKB secara


optimal, diperlukan dukungan manajemen dan fasilitasi, yaitu:
1. PKB/PLKB sebagai tenaga penggerak lini lapangan perlu diberikan peran yang lebih
besar untuk pengelolaan dan pelaksanaan program KKB di lapangan;
2. Peningkatan partisipasi dan peran serta mitra kerja di tingkat kabupaten sampai lini
lapangan dalam pengelolaan dan pelaksanaan program KKB;
3. PPKBD/Sub PPKBD sebaga tenaga operasional lini lapangan perlu mendapat
dukungan dalam kegiatan penyuluhan, pembinaan dan pendampingan keluarga baik
untuk peningkatan kesertaan ber-KB, keberlangsungan ber-KB, maupun
pendampingan dalam program Tribina dan UPPKS
4. Optimalisasi Balai Penyuluhan di tingkat Kecamatan sebagai Pusat Pengendali
Operasional Program KKB di lini lapangan;
5. Dukungan operasional yang memadai untuk pengelolaan dan pelaksanaan program
KKB di lini lapangan;
6. Peningkatan cakupan Pusat Informassi dan Konseling (PIK) Remaja dan Mahasiswa
jalur sekolah, keagamaan, masyarakat dan sebagainya;
7. Peningkatan cakupan Pusat Pelayanan Keluarga Sejahtera (PPKS) dalam memberikan
pelayanan informasi dan konseling KB dan keluarga sejahtera;
8. Bimbingan dan pembinaan secara berjenjang dari tingkat kabupaten/kota sampai
kepada keluarga

Berdasarkan Pasal 12 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang


Pemerintah Daerah disebutkan bahwa pengendalian penduduk dan keluarga berencana
merupakan urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar.
Selanjutnya, dalam pasal 20 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2014
tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Keluarga Berencana
2
dan Sistem Informasi Keluarga, Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyelenggarakan
upaya kebijakan Keluarga Berencana secara menyeluruh dan terpadu. Hal ini berarti
bahwa pemerintah Kabupaten/Kota mempunyai tanggung jawab penuh terhadap
pelaksanaan program KB di wilayahnya termasuk pula dalam penyediaan anggarannya.
Namun demikian, kegiatan operasional KB di tingkat Kabupaten/Kota ke bawah belum
sepenuhnya mendapat dukungan APBD II, dengan berbagai alasan antara lain
keterbatasan PAD dari kabupaten/kota tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, dalam rangka pencapaian sasaran yang telah ditetapkan
dalam RPJMN 2015-2019, maka perlu adanya peningkatan kegiatan operasional di lini
lapangan diantaranya meliputi:
1. Peningkatkan kesadaran PUS untuk mernjadi peserta KB khususnya bagi PUS
MUPAR;
2. Peningkatan demand masyarakat terhadap penggunaan metode Kontrasepsi Jangka
Panjang;
3. Pembinaan peserta KB untuk mencegah angka drop out;
4. Pelayanan KB bagi PUS untuk menurunkan unmet need;
5. Peningkatan kesadaran remaja PUS muda untuk menurunkan ASFR 15-19;
6. Peningkatan pelayanan, pendampingan dan pembinaan kelompok BKB, BKR, BKL
dan UPPKS.

Berdasarkan Pasal 75 ayat (1) PP Nomor 87 Tahun 2014, pendanaan yang berkaitan
dengan Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Keluarga Berencana,
dan Penyelenggaraan Sistem Informasi Keluarga yang dilaksanakan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah bersumber dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan/atau
c. sumber lain yang sah dan tidak mengikat.

Untuk mendukung kegiatan tersebut, maka sebagian pagu anggaran yang


dialokasikan untuk BKKBN, diperuntukkan guna mendukung kegiatan operasional di
lini lapangan dalam rangka meningkatkan capaian program sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam RPJMN dan Renstra 2014-2019. Hal ini penting dilakukan karena
keberhasilan program KKB secara nasional ditentukan oleh berhasil-tidaknya kegiatan
KKB di lini lapangan. Dengan demikian, dukungan APBN untuk kegiatan di lini
lapangan sangat penting. Hal ini terkait lemahnya dukungan anggaran dari APBD
Kabupaten/Kota. Tanpa ada dukungan anggaran dari APBN maka kegiatan operasional di
Kabupaten dan kota sampai lini lapangan tidak akan berjalan sebagaimana diharapkan
dan hal tersebut akan berpengaruh terhadap pencapaian sasaran yang telah ditetapkan
dalam RPJMN.

3
Dalam kaitan itu, berdasarkan lampiran Undang-undang Nomor 23 tahun 2014
tentang Pemerintah Daerah (sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-undang
23/2014) dijelaskan bahwa pemerintah pusat berfungsi untuk pengelolaan Penyuluh KB
dan Petugas Lapangan KB, sementara Pemerintah Kabupaten/Kota berfungsi dalam
pendayagunaan Penyuluh KB dan Petugas Lapangan KB. Dengan demikian, apakah
makna pengelolaan PKB/PLKB dalam undang-undang tersebut dapat diartikan bahwa
BKKBN berkewajiban atau setidak-tidaknya memiliki legalitas untuk memberikan
dukungan anggaran dalam hal ini APBN untuk kegiatan operasional PKB/PLKB di lini
lapangan?
Jika dimaknai BKKBN memiliki legalitas dalam penganggaran untuk operasional
PKB/PLKB, maka Balai Penyuluhan yang berada di kecamatan merupakan satuan
organisasi sebagai Pusat Pengendali Operasional Program KKB di lini lapangan yang
dapat dijadikan saluran dukungan APBN untuk kegiatan operasional di lapangan.

B. TUJUAN
Menyepakati legalitas dukungan untuk program dan anggaran kependudukan dan
keluarga berencana di lini lapangan.

C. HASIL YANG DIHARAPKAN


Disepakatinya dukungan untuk program dan anggaran kependudukan dan keluarga
berencana di lini lapangan berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku
untuk meningkatkan capaian program kependudukan dan keluarga berencana.

D. PESERTA PERTEMUAN
Peserta pertemuan perencanaan program dan anggaran KKB di lini lapangan berjumlah
24 orang terdiri dari:
1. Direktorat II, DJA Kementerian Keuangan
2. Direktorat KP3A, Bappenas
3. BPK RI
4. Ditjen Perimbangan Keuangan Daerah, Kemendagri
5. Ditjen Otonomi Daerah, Kemendagri
6. Direktorat Kelembagaan, Kemen PAN dan RB
7. instansi-instansi yang terkait langsung dengan pengambilan kebijakan program
KKB.
8. Biro Keuangan, BKKBN
9. Biro Hukum, Organisasi dan Humas, BKKBN
10. Ditjalpem, BKKBN
11. Ditlinlap, BKKBN
12. Ditlaptik, BKKBN
13. Pulap, BKKBN

4
14. Biro Perencanaan, BKKBN (Es II, III dan IV)

E. WAKTU DAN TEMPAT


Kegiatan pertemuan perencanaan program dan anggaran KKB di lini lapangan akan
dilaksanakan pada tanggal 11 November 2014 bertempat di Hotel IBIS Jl. Letjen MT.
Haryono No. 9 Jakarta Timur.

F. PEMBIAYAAN
Pembiayaan kegiatan pertemuan perencanaan program dan anggaran KKB di lini
lapangan bersumber dari DIPA Satker Sestama TA. 2014 (Biro Perencanaan).

Anda mungkin juga menyukai