Anda di halaman 1dari 21

PEMILIHAN TREATMENT KARBON UNTUK ADSORPSI 3-MCPD

ESTER DAN GLICIDIL ESTER

Muchammad Adriyan

Pembimbing
Dr. Elvi Restiawaty, S.T., P.D.Eng., Ph.D.

RISET SAWIT
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Minyak
goreng digunakan untuk membuat sebagian besar hidangan di Indonesia. Walaupun sudah
mengalami berbagai proses pemurnian, masih terdapat beberapa jenis pengotor salah satunya
adalah 3-MCPD ester dan GE.

MCPD dan GE tergolong senyawa karsinogenik (Goh dkk, 2021). Hal ini karena di dalam
tubuh manusia, 3-MCPD ester dan juga GE akan dimetabolisme menjadi senyawa alkoholnya
yang dapat menimbulkan kanker. Oleh karena itu, kandungan kedua senyawa ini di dalam
minyak goreng harus pada konsentrasi yang sangat kecil untuk menghindari efek negatif yang
dapat ditimbulkan.

Menurut standard Eropa, kadar maksimum GE dan 3-MCPD ester di dalam minyak goreng
agar aman dikonsumsi anak kecil adalah 1,25 ppm. Pada kajian riset yang dilakukan oleh
BPOM, 70 sampel minyak sawit berbagai merk dilakukan pengujian untuk menentukan kadar
3-MCPD ester didalamnya. Hasil pengujian menunjukkan bahwa rata-rata kadar 3-MCPD
ester di dalam minyak sawit adalah 6 ppm dan memiliki nilai tertinggi pada 14 ppm. Angka
ini masih jauh dari standard yang telah ditetapkan oleh Eropa sehingga diperlukan adanya
proses tambahan yang dapat mengurangi kadar 3-MCPD dan GE hingga konsentrasi yang
lebih kecil.

Salah satu proses penghilangan 3-MCPD ester adalah proses adsorpsi yang dapat dilakukan
menggunakan berbagai jenis adsorbent seperti karbon aktif, zeolit, lempung, atau gabungan
ketiganya. Secara teori, gabungan antara karbon aktif dengan zeolit atau lempung akan
menghasilkan adsorbent yang paling baik. Hal ini karena 3-MCPD dan GE memiliki
kepolaran yang berbeda begitu pula dengan karbon dan juga zeolit atau lempung.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Restiawaty, dkk (2021), telah dilakukan treatment
karbon menggunakan asam klorida. Adsorbent yang dihasilkan terbukti mampu
menghilangkan 3-MCPD ester hingga 97% dan GE sebanyak 80%. Namun demikian, asam
klorida yang mengandung senyawa klorin bisa dianggap sebagai precursor terbentuknya 3-
MCPD itu sendiri karena proses adsorpsi dilakukan sebelum proses deodorization yang
diduga merupakan proses dihasilkannya 3-MCPD ester. Oleh karena itu, diperlukan proses
treatment lain. Alternatif lain seperti larutan alkali, impregnasi menggunakan asam yang
lebih lemah, dapat dilakukan untuk mendapatkan hasil adsorbent yang lebih baik ataupun
memiliki kemampuan yang sama.
1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana cara melakukan treatment untuk mendapatkan adsorbent dengan kriteria


terbaik untuk mengadsorpsi 3-MCPD ester dan GE?
2. Bagaimana kinerja tiap jenis larutan yang digunakan untuk melakukan treatment pada
karbon?
3. Bagaimana hasil adsorpsi 3-MCPD ester dan GE pada tiap jenis treatment dan larutan
yang digunakan?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui jenis treatment terbaik untuk adsorpsi 3-MCDP ester dan GE.
2. Mengetahui jenis larutan terbaik untuk melakukan treatment pada karbon.
3. Mengetahui kinerja karbon hasil treatment pada adsorpsi 3-MCPD ester dan GE.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. 3-MCPD Ester

3-MCPD (3-Monochloro-1,2-Propanediol) ester merupakan kontaminan makanan yang sudah


diteliti sejak tahun 1978. Senyawa ini paling banyak terkandung pada makanan ataupun
produk yang mengandung minyak sawit. Senyawa ini terbentuk pada proses yang melibatkan
panas dan adanya senyawa precursor yaitu gliserol, asil gliserol, dan juga senyawa yang
mengandung gugus klorin. Selain ditemukan pada produk minyak sawit, 3-MCPD ester juga
dapat ditemukan pada makanan yang mengalami proses pemanasan seperti kopi, roti bakar,
ayam bakar, dll.

Pada minyak sawit, 3-MCPD ester terbentuk pada proses pemurnian yang melibatkan
senyawa klorin dan juga temperatur tinggi. Gugus klorin sendiri dapat didapat dari garam
yang terkandung di dalam air yang digunakan di dalam proses pemurnian minyak sawit.
Penggunaan air yang bebas klorin seperti air RO (reverse osmosis) dapat mengurangi
kemungkinan terbentuknya 3-MCPD ester dengan konsekuensi biaya yang jauh lebih mahal.
Namun demikian, proses klorinasi tidak dapat dihilangkan di dalam proses pemurnian
minyak sawit. Oleh karena itu, penambahan proses adsorpsi kadang ditempuh untuk
menghilangkan 3-MCPD ester dari minyak sawit.

3-MCPD ester tidak secara langsung bersifat karsinogenik. Akan tetapi, di dalam tubuh
manusia 3-MCPD ester akan mengalami metabolisme yang mengubahnya menjadi wujud
alkoholnya yang bersifat karsinogenik.

Gambar 2.1 Berbagai jenis senyawa 3-MCPD di dalam minyak sawit


2.2. Glisidil Ester (GE)

Glisidil ester merupakan senyawa kontaminan yang bersifat karsinogenik. Senyawa ini pada
umumnya terkandung di dalam minyak sawit dan produk turunannya. Senyawa ini juga
terkandung di dalam produk yang mengalami proses pemanasan pada suhu tinggi.

Di dalam minyak sawit, glisidil ester terbentuk pada proses deodorisasi yang melibatkan suhu
tinggi. Precursor glisidil ester merupakan minyak sawit itu sendiri, sehingga proses
pembentukan glisidil ester tidak dapat dihilangkan. Oleh karena itu, salah satu cara untuk
menghilangkan glisidil ester adalah dengan melakukan adsorpsi atau proses pemisahan
lainnya.

Gambar 2.2 Mekanisme pembentukan GE dari precursor

2.3. Karbon Aktif

Karbon aktif merupakan salah satu jenis material yang digunakan sebagai adsorbent. Hal ini
karena karbon aktif memiliki pori-pori halus di permukaannya yang dapat menjadi tempat
menempel partikel baik gas maupun cairan. Karbon aktif dapat digunakan sebagai adsorbent
dalam bentuk granular (12-40 mesh) maupun poweder (>300 mesh). Semakin kecil partikel
karbon, maka proses adsorpsi akan berlangsung makin cepat. Namun demikian, semakin
besar ukuran partikel karbon, semakin mudah pula proses recovery.
Karbon aktif dapat dibuat dari beragam jenis biomassa. Semakin besar komposisi karbon di
dalam biomassa tersebut, maka konversi pembentukan karbon juga akan makin besar. Di
Indonesia sendiri, biomassa yang berpotensi untuk dijadikan karbon adalah cangkang kelapa,
cangkang kelapa sawit, dan juga gabah padi. Selain menghasilkan karbon, proses karbonisasi
juga menghasilkan abu yang nantinya dapat diolah menjadi zeolit sintesis.

Proses aktivasi karbon dapat dilakukan baik sebelum dan sesudah proses karbonisasi. Untuk
proses sebelum karbonisasi, karbon akan direndam menggunakan larutan NaOH. Setelah
dikeringkan, karbon dimasukkan ke dalam furnace hingga temperatur 500o C. Aliran gas inert
seperti N2 juga diperlukan untuk menjaga atmosfir reaktor dalam keadaan inert. Hal ini
berguna untuk mencegah terjadinya reaksi pembentukan senyawa lain di permukaan karbon.

Setelah mengalami proses karbonisasi, karbon dapat diaktifkan melalui proses kimia, fisika,
maupun keduanya. Aktivasi karbon secara fisika dilakukan dengan cara meningkatkan
temperatur karbon hingga temperatur 900o C pada kondisi inert. Hal ini berfungsi untuk
membuka pori-pori karbon sehingga luas pori menjadi semakin besar. Aktivasi kimia sendiri
dilakukan dengan mencampurkan karbon dengan senyawa kimia seperti H3PO4, ZnCl, NaOH,
dll. Campuran karbon dengan senyawa tersebut kemudian dimasukkan ke dalam furnace inert
hingga temperatur optimal yang pada umumnya pada rentang 500o C. Proses ini juga dikenal
dengan proses impregnasi. Proses ini akan menempelkan senyawa tersebut pada permukaan
karbon sehingga daya dorong proses adsorpsi akan semakin besar.

2.3. Gas Chromatography (GC)

Gas chromatography (GC) merupakan alat analisis yang sudah umum untuk digunakan
dalam menganalisis kadar suatu senyawa pengotor non-polar atau semipolar hingga
konsentrasi yang sangat kecil.

Pada umumnya, GC terdiri dari 3 komponen utama yaitu injektor, kolom, dan juga detektor.
Injektor berfungsi untuk memasukkan sampel yang akan dianalisis. Pada injektor, sampel
akan dipanaskan hingga berubah fasa menjadi gas. Sampel kemudian dialirkan ke dalam
kolom bersamaan dengan gas pembawa yang pada umumnya bersifat inert seperti helium dan
juga nitrogen. Di dalam kolom akan terjadi proses pemisahan bersarkan sifat kepolaran
sampel dan juga sifat kepolaran kolom. Sampel dengan sifat nonpolar akan tertahan lebih
lama pada kolom nonpolar karena interaksi kepolaran yang sama lebih kuat daripada sampel
dengan kepolaran yang sama dengan kolom.

Sampel dengan kepolaran yang berbeda akan tertahan di kolom pada waktu yang berbeda
pula. Oleh karena itu, setiap sampel yang terpisah di dalam kolom akan sampai ke detektor
pada waktu yang berbeda-beda. Waktu yang dibutuhkan sampel untuk sampai ke detektor
disebut waktu retensi dan dapat distandardisasi untuk masing-masing senyawa yang akan
dianalisis menggunakan sampel standard.
GC pada umumnya digunakan untuk menganalisis senyawa yang volatil yaitu senyawa yang
dapat dengan mudah diubah dari bentuk cair menjadi gas. Sampel yang tidak mudah
diuapkan seperti 3-MCPDE harus diderivatisasi terlebih dahulu menjadi senyawa turunan
yang volatil sehingga dapat dianalisis menggunakan GC.
BAB III
METODOLOGI

3.1. Langkah-langkah Percobaan

Percobaan dilakukan dengan skala laboratorium. Bahan-bahan yang digunakan dibeli secara
online. Langkah pertama adalah menggerus karbon hingga skala yang lebih kecil. Karena
hasil penggerusan sangat tidak seragam, karbon dipisahkan menjadi ukuran 40-80 mesh dan
80-200 mesh. Variasi treatment karbon yaitu ukuran, temperature, jenis larutan, rasio
pelarut:karbon, dan waktu. Setelah dilakukan treatment, karbon dikeringkan, dicuci hingga
pH netral, dan dikeringkan lagi. Karakterisasi karbon terdiri dari analisis CEC menggunakan
metilen biru, CEC menggunakan titrasi asam basa, analisis BET, dan analisis kapasitas
adorspi 3-MCPDE dan GE.

Pengecilan dan pemisahan


karbon berdasarkan ukuran

Menetapkan variasi treatment pada


karbon

Melakukan treatment pada karbon


berdasarkan variasi yang sudah
ditetapkan

Mencuci dan mengeringkan karbon


yang sudah diberi treatment

Melakukan analisis KTK/CEC pada tiap


jenis karbon

Melakukan analisis BET pada karbon


yang mengalami perubahan terbesar
dari kondisi untreated

Melakukan analisis kapasitas adsorpsi


3-MCPDE dan GE

Memproduksi masal activated carbon


dengan kriteria terbaik

Melakukan analisis adsorpsi pada


kolom skala pilot

Gambar 3.1 Langkah-Langkah Penelitian


3.2. Variasi Pretreatment

Pretreatment karbon pada umumnya dilakukan dengan melakukan pengadukan di dalam


heating mantle atau heating plate disertai pemberian panas. Variasi pretreatment yaitu jenis
larutan, waktu pretreatment, temperatur, dan ukuran karbon saat diberi treatment.

Tabel 3.1 Variasi Pretreatment Karbon


No. Jenis Treatment Waktu Ukuran Karbon Temperatur
1. NaOH 3M 5 Jam 12-24 mesh 95o C
40-80 mesh
80-200 mesh
2. NaOH 3M → H2SO4 24 Jam 40-80 mesh Ruangan
2N
3. H2SO4 2N 24 Jam 40-80 mesh Ruangan
5 Jam 95oC
4. NaOH rasio massa 3:1 1 Jam 40-80 mesh 400oC
karbon di dalam
furnace
5. NaOH 3M→ H3PO4 5 Jam 40-80 mesh 500oC
85%

3.3. Analisis Kapasitas Tukar Kation (KTK)

Analisis tukar kation merupakan salah satu pendekatan yang dapat memperkirakan luas pori
yang ada di permukaan karbon aktif. Analisis KTK dilakukan menggunakan dua jenis metode
yaitu menggunakan metilen biru (Halo Ring) dan juga NaOH.

3.3.1. Analisis Halo Ring (KTK Metilen Biru)

Analisis KTK dapat menggunakan metilen biru dengan melihat pembentukan ring halo.
Analisis ini mungkin tidak begitu akuran secara kuantitatif tetapi dapat memperkirakan
secara kualitatif. Pertama-tama dilarutkan 1,25 gram metilen biru ke dalam 125 mL air untuk
mendapatkan larutan metilen biru 0,031M. Diambil 0,5 gram karbon yang sudah diberi
treatment dan diaduk menggunakan aqua dm sebanyak 25 mL selama 5 menit. Metilen biru
ditambahkan ke dalam campuran. Setelah dilakukan pengadukan, teteskan campuran ke
dalam kertas khusus. Titik akhir titrasi adalah ketika tetesan membentuk lingkaran halo.

3.3.2. Analisis Titrasi Asam Basa (NaOH)

Analisis menggunakan titrasi asam basa memiliki prinsip mengukur luas permukaan pori
berdasarkan mol NaOH yang terserap ke dalam karbon. Karbon sebanyak 0,1 gram dicampur
dengan larutan NaOH 0,1M sebanyak 20 mL. Campuran ini kemudian diaduk menggunakan
shaker selama 24 jam. Setelah diaduk, campuran kemudian dititrasi menggunakan larutan
HCl 0,1M. Jumlah NaOH yang teradsorp dapat dihitung berdasarkan selisish mol NaOH awal
dengan mol NaOH hasil titrasi.

3.4. Analisis Adsorpsi Pada Kolom

3.4.1. Analisis Flow Minimal

Dianalisis pengaruh laju aliran terhadap terhadap kapasitas adsorpsi dari kolom. Divariasikan
kecepatan sehingga pengaruh pengurangan kecepatan laju alir tidak lagi memengaruhi
kapasistas adsorpsi. Divariasikan laju alir dengan tinggi kolom adsorber sehingga didapatkan
masing-masing waktu tinggal yang sama.

3.4.2. Analisis Pengaruh Tinggi Kolom Terhadap Kapasitas Adsorpsi

Setelah diperoleh kecepatan minimal pada kapasitas adsorpsi konstan, dilakukan analisis
untuk mengetahui pengaruh ketinggian unggun terhadap kapasitas adsorpsi. Kolom adsorpsi
memiliki tinggi 13 cm sehinnga variasi ketinggian pada kolom harus lebih rendah
dibandingkan tinggi kolom adsorpsi. Variasi yang dijalankan pada analisis ini adalah sebagai
berikut.

No. Laju Alir (L/m) Tinggi Adsorber (cm) Massa Adsorber (g)
1. 1,237 1,138 11,352
2. 2,765 2,546 25,385
3. 5,530 5,092 50,770

3.5. Analisis Gas Chromatography (GC)

Analisis gas chromatography dilakukan dengan dua tahapan yaitu persiapan sampel dan juga
analisis gas chromatography itu sendiri. Preparasi sampel diperlukan untuk derivatisasi 3-
MCPD di dalam RBDPO yang tidak volatil menjadi senyawa turunannya yang volatil
sehingga dapat dianalisis menggunakan gas chromatography.
Gambar 3.2 Reaksi Derivatisasi 3-MCPD menjadi Senyawa Volatil Fenil
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Analisis KTK

Analisis KTK dilakukan terhadap setiap karbon hasil titrasi. Hasil analisis KTK adalah
sebagai berikut.

No Jenis Treatment Wakt Ukuran Temperatu KTK MB KTK


. u Karbon r (mmol/gra NaOH
m) (mmol/gra
m)
1. Untreated 40-80 mesh 0,871 2
Carbon
2. NaOH 3M 5 Jam 12-24 mesh 95o C 0,124 1,8
40-80 mesh 1,251 3,4
80-200 mesh 0,62 2
3. NaOH 3M → 24 40-80 mesh Ruangan 0,992 4,2
H2SO4 2N Jam
4. H2SO4 2N 24 40-80 mesh Ruangan 0,744 2,8
Jam
5 Jam 95oC 1,085 5
5. NaOH rasio 1 Jam 40-80 mesh 400oC 0,62 2
massa 3:1 karbon
di dalam furnace
6. NaOH 3M→ 5 Jam 40-80 mesh 500oC 0,806 3,4
H3PO4 85%

Salah satu faktor penting selain ukuran partikel saat dilakukan analisis KTK adalah saat
partikel tersebut diberikan pretreatment. Pada proses pretreatment terjadi proses adorpsi dan
desorpsi dari larutan yang kita gunakan untuk membersihkan karbon aktif dari pengotornya.
Pada partikel yang relatif lebih besar, kedua proses ini berlangsung jauh lebih lama. Ukuran
partikel yang lebih besar dua kali lipat dapat memerlukan waktu pretreatment lebih lama
hingga berkali-kali lipat. Ukuran 40-80 mesh merupakan ukuran partikel yang paling ideal
dalam segi waktu dan hasil adsorbent yang terbentuk.

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa pada analisis menggunakan metilen biru, karbon
dengan treatment NaOH pada suhu tinggi mendapatkan nilai KTK yang paling tinggi. Di sisi
lain, pada analisis KTK menggunakan NaOH karbon dengan treatment menggunakan asam
sulfat pada suhu tinggi memiliki nilai KTK yang paling tinggi. Kedua analisis memiliki
kecenderungan yang mirip akan tetapi pada analisis NaOH sampel yang bersifat asam
memiliki kecenderungan yang lebih tinggi dibandingkan sampel yang bersifat basa. Hal ini
masuk akal karena dimungkinkan terjadi desorpsi asam dan menetralkan NaOH dan bukan
diserap di dalam karbon. Oleh karena itu, analisis menggunakan metilen biru lebih
menggambarkan untuk semua jenis sampel.

Di sisi lain, senyawa yang nantinya akan diserap yaitu 3-MCPD memiliki sifat asam yaitu PH
yang dibawah 7. Oleh karena itu, adsorber dengan sifat basa akan memiliki afinitas yang
lebih baik dibandingkan adsorber dengan sifat asam. Oleh karena itu, dipilihlah adsorber
dengan perlakuan basa pada suhu tinggi untuk dilakukan analisis BET untuk mengetahui sifat
lebih lanjut.

4.2. Analisis BET

Analisis BET dilakukan pada karbon dengan analisis KTK terbaik. Hasil analisis BET
dibandingkan dengan senyawa karbon sebelum diberi perlakuan dan juga senyawa karbon
yang sudah diberi perlakuan pada penelitian sebelumnya.

No Jenis Treatment Luas Permukaan SBET


. (m /gram)
2

1. Untreated Carbon 404


2. HCL 1M, 24 jam, kondisi ruang 486
3. HCL 3M, 24 jam, kondisi ruang 518
4. HCL 4M, 24 jam, kondisi ruang 532
5. NaOH 3M, 5 jam, 40-80 mesh, 789
95oC

Dari analisis BET di atas, sampel dengan perlakuan NaOH memiliki luas permukaan yang
jauh lebih besar dibandingkan sampel yang belum diberi perlakuan dan juga sampel yang
yang diberi perlakuan asam. Untuk itu, perlakuan basa akan dipilih untuk memproduksi
karbon aktif secara masal.

4.3. Analisis Gas Chromatography (GC)

Analisis GC dilakukan pada sampel dengan nilai KTK paling tinggi yaitu karbon yang diberi
perlakuan menggunakan NaOH 3M pada suhu 95o C dan juga H2SO4 pada suhu yang sama.
Hasil analisis GC pada kedua sampel tersebut dan beberapa sampel zeolit adalah sebagai
berikut.

Jenis Jenis Treatment 3-MCPD Removal GE Removal (%)


Sampel (%)
Karbon NaOH 3M, 5 jam, 95 C
o
-61,8 -
Karbon H2SO4 2M, 5 jam, 95 C
o
64,5 101,71
Zeolit H2SO4 0,1 M, 30 menit, suhu 8,6 -
ruang
Zeolit H2SO4 0,1 N, 4 jam, suhu ruang 68,3 97,1

Dari analisis karakteristik yang dilakukan sebelumnya, sampel NaOH memiliki karakteristik
dengan nilai yang paling tinggi dibandingkan sampel yang lain. Akan tetapi, pada analisis
yang paling penting yaitu adsorpsi 3-MCPD dan GE sampel karbon dengan treatment NaOH
justru memiliki nilai yang paling kecil dibandingkan sampel yang lain. Hal ini dapat terjadi
apabila 3-MCPD tidak bersifat seperti kation sehingga analisis KTK yang dilakukan
sebelumnya tidak menggambarkan nilai adsorpsi 3-MCPD itu sendiri. Di sisi yang lain,
analisis luas permukaan pori adsorbent juga tidak menunjukkan jenis porinya apakah
termasuk golongan mesopori, mikropori, atau makropori sehingga tidak dapat langsung
dikaitkan pada adsorpsi 3-MCPD dan GE itu sendiri.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai