Anda di halaman 1dari 9

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembelajaran dengan teman sebaya (Peer-Assisted Learning;
selanjutnya disingkat PAL) sudah cukup populer dan sejak lama
digunakan dalam pendidikan kedokteran. Jika ditelusuri lebih jauh, PAL
sudah dikenal sejak zaman Yunani kuno. Pembelajaran dengan metode
ini kebanyakan masih bersifat informal, tidak rutin dan tidak
terdokumentasi dengan baik (Goldschmid & Goldschmid, 1976; Topping,
1996; Ross & Cumming, 2009).
Pada tingkat universitas, PAL secara formal dilaporkan pertama kali
dari Free University di Berlin pada tahun 1951 (Huber, 1972 dikutip dari
Goldschmid & Goldschmid, 1976). Di dalam pendidikan kedokteran,
General Medical Council (GMC, 2003) secara formal merekomendasikan
mahasiswa kedokteran di wilayah Inggris untuk dapat memahami prinsip-
prinsip mengajar dan mampu mendemonstrasikan serta mengembangkan
kemampuan mengajar dengan baik. Sebuah survey di wilayah Amerika
yang dilakukan oleh Soriano et al. (2010) menunjukkan bahwa PAL sudah
sangat berkembang dan banyak digunakan dalam pendidikan kedokteran.
Dari survey ini didapatkan 76% dari 130 institusi pendidikan kedokteran di
Amerika sudah menerapkan bentuk-bentuk pembelajaran dengan PAL
dan 44% diantaranya sudah menerapkan pelatihan secara formal kepada
mahasiswa pengajar (selanjutnya disebut asisten).
Penelitian di bidang PAL umumnya memfokuskan keluaran pada
aspek capaian akademik mahasiswa, baik asisten maupun peserta.
Cakupan ranah penelitian juga cukup luas meliputi capaian pada ranah
kognitif, apektif dan psikomotor. Keberhasilan metode PAL dalam
pendidikan kedokteran dan profesi kesehatan juga sudah banyak
dilaporkan. PAL dianggap sebagai suatu metode pembelajaran yang
kolaboratif, kooperatif dan memberikan manfaat secara akademik bagi
2

mahasiswanya (Santee & Garavalia, 2006; Secomb J, 2008; Yu et al.,


2011).
Secara teori, hal yang diyakini mendukung keberhasilan PAL ini
terletak pada adanya fakta bahwa asisten dan mahasiswa peserta
mempunyai pengetahuan dasar dan pengalaman yang sama. Hal ini
dikenal sebagai keselarasan kognitif (cognitive congruence). Adanya
kesesuaian kognitif ini memungkinkan asisten mahasiswa memahami
secara lebih mendalam tingkat pengetahuan, kebutuhan belajar, masalah
kognitif yang dihadapi serta capaian yang diharapkan terhadap
mahasiswa pesertanya sehingga asisten mahasiswa ini mampu
menjelaskan konsep-konsep secara sederhana dengan menggunakan
bahasa yang paling mudah difahami sesuai dengan level mahasiswa
pesertanya (Ten Cate & Durning, 2007a).
Selain itu asisten maupun mahasiswa peserta memiliki kesesuaian
dalam status sosial dan perannya. Hal ini dikenal sebagai keselarasan
sosial atau keselarasan peran (social/ role congruence). Kondisi ini
membuat mahasiswa peserta merasa lebih nyaman ketika dibimbing oleh
asisten, sesi pembelajaran menjadi lebih rileks dan santai. Peserta lebih
berani untuk mengeluarkan pendapat, berdiskusi ataupun mencoba
berlatih keterampilan. Selain itu juga meningkatkan motivasi dan percaya
diri dari kedua belah pihak mahasiswa (Ten Cate & Durning, 2007a).
Penelitian Moust & Schmidt (1995) dan Lockspeiser et al. (2006)
mendukung kedua konsep ini baik konsep cognitive congruence maupun
konsep social congruence.
Penggunaan metode PAL dalam pembelajaran pada ranah
psikomotor sudah banyak dilaporkan oleh berbagai studi. Metode PAL
terbukti efektif dan berperan dalam penguasaan keterampilan klinik (skills-
acquisition) mahasiswa baik keterampilan komunikasi (Nestel & Kidd,
2003), keterampilan pemeriksaan fisik (Burke et al., 2007; Field et al.,
2007) maupun keterampilan prosedural (Weyrich et al., 2009; Tolsgaard et
al., 2007; Perkins et al., 2002). PAL bahkan dinyatakan sebanding dan
3

seefektif pembelajaran yang diberikan oleh staf fakultas (Weyrich et al.,


2009; Tolsgaard et al., 2007).
Penelitian Burke et al. (2007) menyimpulkan bahwa program PAL
dapat dijadikan sebagai program tambahan untuk latihan mandiri
mahasiswa dalam berlatih keterampilan klinik. Program ini terbukti dapat
meningkatkan nilai ujian Objective Structured Clinical Examination
(OSCE), kepercayaan diri, keterampilan komunikasi dan bekerjasama
dalam kelompok mahasiswa. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Tagawa & Imanaka (2010) bahwa latihan mandiri mahasiswa
dalam berlatih keterampilan klinik yang sebelumnya diawali dengan
refleksi diri dapat meningkatkan nilai ujian OSCE mahasiswa.
Penguasaan keterampilan klinik merupakan elemen penting dari
mutu professional lulusan pendidikan tinggi kedokteran-kesehatan. Salah
satu tujuan dari pendidikan kedokteran yang tertuang dalam Standar
Kompetensi Dokter Indonesia (KKI, 2006) adalah mencetak dokter lulusan
yang kompeten pada area keterampilan klinik.
Suryadi (2008) menyatakan seiring dengan perubahan paradigma
pembelajaran pada institusi pendidikan kedokteran dimana terjadi
penerapan Problem-Based Learning (PBL) dalam proses pembelajaran,
kurikulum berbasis kompetensi, adopsi prinsip-prinsip belajar orang
dewasa dan juga tuntutan dari faktor luar seperti tuntutan dari pasien dan
masyarakat, rekomendasi dari organisasi profesi, meningkatnya jumlah
mahasiswa kedokteran serta adanya spesialisasi pada saat kepaniteraan
klinik sehingga pembelajaran keterampilan klinik pada tahap sarjana
kedokteran mulai mendapat perhatian lebih. Institusi pendidikan
kedokteran mulai mengembangkan pusat-pusat pembelajaran
keterampilan klinik yang dikenal dengan Skills Laboratory (Skills-lab).
Skills-lab ini menjadi tempat untuk mahasiswa berlatih keterampilan klinik.
Pembelajaran keterampilan klinik berbeda dengan pembelajaran
pada ranah kognitif. Menurut Patrick (1992), pembelajaran keterampilan
merupakan suatu pembelajaran yang kompleks, memerlukan partisipasi
aktif dari pembelajarnya dan memerlukan latihan yang berulang-ulang
4

yang disertai dengan refleksi dan umpan balik dari instruktur yang
mengajarkan. Suryadi (2008) menambahkan keterampilan merupakan
procedural knowledge. Untuk dapat terampil memerlukan praktek,
memerlukan pentahapan dan pengulangan, membutuhkan waktu yang
cukup dalam latihan, membutuhkan penuntun untuk memaksimalkan
pembelajaran dan pelatihan, membutuhkan contoh praktek nyata untuk
memudahkan pemahaman, membutuhkan feedback dan self-reflection
untuk memperbaiki dan menyempurnakan keterampilan serta
membutuhkan assessment untuk penilaian tingkat pencapaian
keterampilan.
Penilaian keterampilan klinik pada mahasiswa kedokteran juga
mulai mendapatkan perhatian lebih dalam pendidikan kedokteran. Ujian
keterampilan yang banyak digunakan untuk menilai skills-acquisition
mahasiswa adalah ujian Objective Structured Clinical Examination
(OSCE). OSCE ini pertama kali diperkenalkan oleh Harden et al. (1975).
Saat ini ujian OSCE banyak diadopsi dan dikembangkan secara luas
sebagai salah satu metode penilaian keterampilan klinik di berbagai
institusi pendidikan kedokteran di seluruh dunia. Di Indonesia, ujian OSCE
ini secara nasional digunakan sebagai metode penilaian keterampilan
klinik dokter umum yang baru lulus sebelum melaksanakan praktek
kedokteran di masyarakat.
Oleh karena pentingnya aspek penguasaan keterampilan pada
lulusan fakultas kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah
Mada (FK UGM) mulai mengenalkan pembelajaran keterampilan klinik
pada tahap sarjana kedokteran dengan mendirikan laboratorium
keterampilan klinik yang dikenal dengan nama Skills-lab. Skills-lab
didirikan sejak tahun 1992. Tujuan pendirian Skills-lab ini agar dapat
menjadi tempat mahasiswa berlatih dalam rangka penguasaan
keterampilan sebelum mahasiswa memasuki kepaniteraan klinik di Rumah
Sakit. Penguasaan keterampilan klinik mahasiswa tercermin dari hasil
ujian OSCE mahasiswa yang dilaksanakan setiap akhir tahun ajaran.
5

Metode pembelajaran yang dilakukan di Skills-lab juga terus


dikembangkan. Skills-lab mengadopsi metode PAL ini dengan merekrut
mahasiswa pengajar yang berasal dari mahasiswa senior (kakak kelas
mahasiswa yang diajar) yang dikenal sebagai asisten skills-lab. Asisten
inilah yang akan memfasilitasi mahasiswa juniornya dalam berlatih
keterampilan klinik di Skills-lab FK UGM. Model pembelajaran PAL di
Skills-lab FK UGM dikenal dengan istilah TFSS (Training from senior
students) (Claramitha & Widyandana, 2007). Adanya TFSS ini diharapkan
dapat meningkatkan penguasaan keterampilan klinik mahasiswa yang
tercermin dari meningkatnya nilai maupun kelulusan ujian OSCE
mahasiswa di akhir tahun ajaran.
Dari studi pendahuluan didapatkan bahwa salah satu masalah yang
dihadapi Skills-lab FK UGM yaitu tingginya tingkat kegagalan mahasiswa
(failure rate) dalam ujian OSCE. Data yang diambil dari bagian
administrasi Skills-lab FK UGM dalam kurun waktu 5 tahun terakhir
menunjukkan bahwa rata-rata persentase kegagalan mahasiswa (failure
rate) dalam ujian OSCE mencapai 57,18%. Data ini diambil dari hasil ujian
OSCE mahasiswa reguler Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada
tahun 2008-2012 (mahasiswa KBK angkatan 2007-2011).
Secara keseluruhan tingkat kegagalan ujian OSCE mahasiswa di
FK UGM ini masih cukup tinggi (semua diatas 30%). Jika dilihat per-
angkatan mahasiswa, tampak bahwa tingkat kegagalan ujian OSCE
mahasiswa sangat fluktuatif. Ada angkatan yang dari tahun ke tahun
tingkat kegagalannya cenderung meningkat tetapi kebanyakan masih
sangat fluktuatif. Persentase kegagalan ujian OSCE terendah mencapai
36,32%, terjadi pada ujian OSCE pertama mahasiswa KBK angkatan
2007. Sedangkan persentase kegagalan tertinggi mencapai 79,53% yaitu
pada ujian OSCE pertama mahasiswa KBK angkatan 2010. Rata-rata
persentase ketidaklulusan ujian OSCE Mahasiswa KBK per angkatan
secara berturut-turut dari angkatan 2007 sampai 2011 adalah 55,19%,
58,27%, 54,38%, 67,97%, dan 47,56%. Rata-rata keseluruhan tingkat
kegagalan mahasiswa KBK FK UGM pada ujian OSCE sejak tahun 2008-
6

2012 mencapai 57,18%. Secara lengkap data tingkat kegagalan


mahasiswa FK UGM dalam ujian OSCE dapat dilihat pada lampiran 9.
Eksplorasi lebih lanjut dilakukan dengan mewawancara secara tak
terstruktur (Sugiyono, 2011) kepada perwakilan dari masing-masing
mahasiswa peserta TFSS, asisten, dosen dan tenaga administrasi di
Skills-lab FK UGM. Wawancara ini dimaksudkan untuk lebih memahami
kondisi apa yang sedang terjadi. Kesimpulan awal yang didapat adalah
masih terdapat banyak kendala dalam pelaksanaan TFSS yang selama ini
dikelola secara mandiri oleh mahasiswa. Perlu dilakukan eksplorasi lebih
lanjut untuk menilai manfaat dari TFSS ini dalam membantu penguasaan
keterampilan klinik mahasiswa.
Di sisi lain, penelitian terkait persepsi dalam proses pembelajaran
menjadi penting karena akan mempengaruhi bagaimana seseorang
berfikir, menilai dan mengingat sesuatu. Pengetahuan dasar seorang
mahasiswa tentang suatu metode pembelajaran juga akan mempengaruhi
persepsi dan bagaimana cara mahasiswa tersebut belajar selanjutnya
(Aghamolaei & Fazel, 2010). Sebagai contoh jika seseorang mahasiswa
mempunyai persepsi yang positif terhadap suatu keterampilan,
menganggap keterampilan tersebut penting dan berguna saat praktek di
dunia kerja nantinya, maka mahasiswa tersebut akan berusaha untuk
menguasai keterampilan tersebut dalam sebuah proses pembelajaran
yang lebih baik, lebih giat untuk mencapai hasil yang lebih maksimal.
Oleh karena itu, persepsi mahasiswa kedokteran terhadap proses
pembelajarannya perlu mendapat perhatian. Persepsi mahasiswa tentang
lingkungan dan proses belajarnya menjadi dasar dalam memodifikasi dan
mengoptimalkan proses pembelajaran tersebut. Proses pembelajaran
berkorelasi positif dengan persepsi mahasiswa tentang lingkungan dan
proses belajarnya. Sangat mungkin sekali kita dapat melakukan
perubahan pada proses pembelajaran mahasiswa jika kita dapat menilai
dan mengevaluasi secara tepat keadaan tersebut dengan suatu
instrument penilaian yang baik (Aghamolaei & Fazel, 2010).
7

Penelitian ini difokuskan untuk melihat aspek persepsi dari semua


responden yang terlibat dalam pembelajaran TFSS. Secara spesifik,
penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi persepsi mahasiswa, asisten
dan dosen terhadap manfaat TFSS dalam penguasaan keterampilan klinik
mahasiswa, menggali kendala yang dihadapi selama penyelenggaraan
TFSS serta bagaimanakah saran dan masukan untuk perbaikan TFSS di
Skills-lab FK UGM di masa yang akan datang.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, rumusan
masalah pada penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah persepsi mahasiswa, asisten dan dosen terhadap
manfaat TFSS dalam penguasaan keterampilan klinik mahasiswa di
Skills-lab FK UGM?
2. Apa sajakah kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan TFSS serta
bagaimanakah saran dan masukan untuk perbaikan program TFSS
di Skills-lab FK UGM?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui persepsi mahasiswa, asisten dan dosen
terhadap manfaat TFSS dalam penguasaan keterampilan klinik
mahasiswa di Skills-lab FK UGM.
2. Untuk mengetahui kendala-kendala apa yang dihadapi dalam
pelaksanaan TFSS serta menampung saran dan masukan dari
responden untuk perbaikan TFSS di Skills-lab FK UGM.

D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai informasi dan bukti ilmiah tentang persepsi mahasiswa,
asisten dan dosen terhadap manfaat TFSS dalam penguasaan
keterampilan klinik mahasiswa di Skills-lab FK UGM
8

2. Sebagai bahan evaluasi dan masukan bagi pengelola Skills-lab FK


UGM untuk melakukan pengambilan kebijakan guna perbaikan
program TFSS di Skills-lab FK UGM di masa yang akan datang
3. Menambah pengetahuan baru serta sebagai acuan penelitian
lanjutan tentang Peer-assisted learning (PAL) dalam penguasaan
keterampilan klinik di institusi pendidikan kedokteran

E. Keaslian Penelitian
Penelitian untuk mengevaluasi program PAL sudah banyak
dilakukan. Sebagian besar penelitian berfokus pada aspek keluaran dan
capaian akademik mahasiswanya baik peserta maupun asisten. Beberapa
studi eksperimen membandingkan keefektifan model pembelajaran PAL
dengan metode konvensional yang menggunakan dosen sebagai
pengajar yang dihubungkan dengan capaian akademik melalui ujian
OSCE mahasiswanya. Sedangkan penelitian dibidang PAL yang
memfokuskan penelitian pada manfaat PAL dalam penguasaan
keterampilan klinik terutama yang mengeksplorasi pada tahapan proses
masih belum banyak dilakukan.
Sebuah artikel penelitian yang serupa ataupun mirip dengan
penelitian ini adalah penelitian dari Lockspeiser et al. (2006) yang melihat
pengalaman mahasiswa dalam mengikuti program PAL. Penelitian ini
terdiri dari 2 fase dimana penelitian pertama merupakan penelitian
kualitatif dengan melakukan Focus Group Discussion (FGD) pada asisten
(mahasiswa tahun kedua) dan mahasiswa peserta (mahasiswa tahun
pertama), kemudian pada fase 2 mengembangkan kuesioner dari hasil
FGD tersebut dan dilakukan survey pada seluruh mahasiswa tahun
pertama. Fokus penelitian ini diarahkan lebih untuk mengkonfirmasi
adanya keselarasan kognitif maupun keselarasan sosial yang terjadi
dalam pembelajaran PAL.
Kesamaan penelitian Lockspeiser et al. (2006) dengan penelitian ini
adalah sama-sama mengevaluasi suatu model pembelajaran PAL, sama-
sama melihat persepsi dari responden terkait manfaat PAL dalam
9

penguasaan keterampilan klinik. Kesamaan dari segi metode


pengumpulan data dengan FGD. Dalam penelitian ini penggalian persepsi
responden ditinjau dari aspek kognitif dan metakognitif serta sosial
motivasional pada proses pembelajaran. Secara tidak langsung penelitian
ini juga dalam rangka membuktikan teori keselarasan kognitif maupun
keselarasan sosial yang dilaporkan oleh penelitian Lockspeiser et al.
(2006).
Beberapa hal yang berbeda dalam penelitian dibandingkan dengan
penelitian Lockspeiser diatas adalah pada pengumpulan data. Dalam
penelitian ini selain dengan FGD juga dilakukan wawancara kepada
dosen. Hal yang lain adalah dalam penelitian ini selain menggali persepsi
tentang manfaat TFSS dalam penguasaan keterampilan klinik juga
mengeksplorasi lebih lanjut proses pelaksanaan latihan TFSSnya itu
sendiri yaitu dengan cara menggali persepsi dan pengalaman responden
pada aspek latihan keterampilan.
Penelitian ini melihat aspek latihan keterampilan sesuai dengan
teori skills-acquisition Fitts (1962) yang dikutip dari Falchikov (2001)
bahwa dalam proses penguasaan keterampilan terdapat tahapan/fase
yaitu fase kognitif, fase fiksasi/asosiasi dan fase autonomi. Fase
fiksasi/asosiasi dicapai melalui proses latihan yang berulang terhadap
keterampilan dipelajari. Selain itu, penelitian ini juga sekaligus digunakan
untuk keperluan pada konteks lokal institusi yaitu sebagai bahan evaluasi
program TFSS yang diselenggarakan dengan mengeksplorasi kendala-
kendala yang dihadapi dalam proses pelaksanaan TFSS tersebut serta
menjaring masukan dan saran dari responden untuk perbaikan TFSS ini di
kemudian hari.

Anda mungkin juga menyukai