Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN TUTORIAL

BLOK 1.1 ILMU DASAR KEDOKTERAN DAN PROFESI


MODUL 1

Modul : Proses Pembelajaran Dan Continuing Professional


Development
Nama : Dea Anjelia Nisa Br Ginting

Nim : 210610029

Kelompok : 3 (Tiga)

Tutor : dr.Zubir, M.Biomed, Sp.PK

PRODI KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
TA. 2021/2022
MODUL 1
Proses Pembelajaran
dan Continuing Professional Development

Skenario 1 . : Menjadi mahasiswa FK Unimal

Yudha sangat senang sekali karena telah selesai mengikuti PKKMB, walaupun secara
daring namun acaranya dikemas sangat apik. Senin ini hari pertama mulai Pendidikan pada
FK Unimal, Yudha selaku mahasiswa baru sangat antusias mendengarkan penjelasan tentang
sistem pembelajaran yang sangat jauh berbeda dengan sistem yang pernah dijalankan dulu
ketika SMA. Pada hari tersebut dia mendapatkan pengarahan dari bagian Medical Education
Unit (MEU) terkait standar Pendidikan Kedokteran dari World Federation Medical
Education, perubahan kurikulum pendidikan kedokteran di Indonesia, SKDI, SNPPDI serta
perubahan paradigma pendidikan kedokteran yang menitikberatkan pada student centered
learning (SCL).
Salah satu metode pembelajaran pada sistem Pendidikan kedokteran sekarang adalah
kegiatan pembelajaran tutorial dengan pendekatan Problem Based-Learning (PBL). Kegiatan
ini berguna untuk melatih soft skill yaitu kepemimpinan dan team work. Kegiatan Diskusi
tutorial ini nantinya akan mengadopsi sistem seven jumps yang diawali dengan pendefinisian
terhadap istilah baru seperti anterior, inferior, distal, sagital, dan lain-lain. Perubahan pada
sistem pembelajaran tentunya diikuti oleh adanya perubahan pada sistem evaluasi
pembelajaran yaitu bukan hanya dengan mengambil nilai ujian akhir, tapi juga nilai proses
dari tutorial tersebut, dan juga nilai kegiatan keterampilan klinik.
Sistem ini tentu mengahruskan mahasiswa untuk lebih aktif serta mampu menilai
kemampuannya sendiri. Selain itu, seorang mahasiswa kedokteran juga penting untuk terus
belajar sepanjang hayat yang bertujuan sebagai salah satu cara dalam Continuing Profesional
Development. Selain itu, mahasiswa kedokteran juga penting untuk memahami tentang
Evidence Based-Medicine (EBM), sehingga setelah menyelesaikan Pendidikan pada FK,
mereka mampu untuk bertindak sesuai dengan keilmuan yang ada.
Bagaimana anda menjelaskan pendidikan di FK?
JUMP 1 : Terminologi

1. MEU
MEU (Medical Education Unit) merupakan suatu unit pendidikan kedokteran yang
mempunyai tanggung jawab wewenang,dan kemampuan untuk
merencanakan,melaksanakan,dan mengembangkan kurikulum.
2. World Federation Medical Education
WFME (World Federation Medical Education) adalah organisasi Internasional yang
menjadi pedoman/acuan fakultas kedokteran di seluruh dunia.
3. SKDI
SKDI (Standar Kompetensi Dokter Indonesia) Merupakan Standar minimum
kompetensi lulusan dokter yg berarti bahwa setiap dokter memiliki standar kelulusan
yg sama.
4. SNPPDI
kepanjangan dari standar nasional pendidikan dokter indonesia yg merupakan suatu
standar kompetensi dokter indonesia dan standar pendidikan profesi dokter Indonesia.
5. SCL
Pembelajaran yg menempatkan mahasiswa sebagai pusat kegiatan pembelajaran.
6. PBL
PBL (problem based learning) merupakan metode pengajaran yang bercirikan adanya
permasalahan nyata sebagai konteks untuk para peserta didik belajar berfikir kritis
dan keterampilan memecahkan masalah, dan memperoleh pengetahuan (Duch, 1995).
7. Soft Skill
Kemampuan seseorang dalam keterampilan sosial, komunikasi berbahasa, kebiasaan
pribadi, dan keramahan yang dimiliki seseorang.
8. Team Work
berasal dari bahasa inggris team yg artinya kelompok dan work yang artinya kerjaan
jadi teamwork adalah kerja berkelompok, yang bermakna kemampuan individu untuk
melakukan kerja sama dengan baik dalam mencapai maksud dan tujuan tim.
9. Anterior
Merujuk pada bagian depan suatu organ.
10. Sagital
garis vertikal yg membagi tubuh menjadi 2 bagian yaitu bagian kanan dan kiri.
11. CPD
Berdasarkan ikatan Surveyor Indonesia, CPD adalah Pengembangan Profesional
Berkelanjutan adalah cara yang profesional  untuk  mempertahankan pengetahuan dan
keterampilan yang diperlukan dalam pekerjaan.
12. Inferior
Merupakan bagian bawah dari suatu organ.
13. Distal
berdasarkan jurnal universitas negeri yogyakarta distal merupakan salah satu istilah
arah kebawah dengan bidang anatomi lebih dekat dengan batang tubuh atau pangkal
JUMP 2 & 3 : Rumusan Masalah dan Hipotesa

1. Mengapa PBL dijadikan sebagai bentuk pembelajaran di Kedokteran?


= Karena dengan PBL, mahasiswa jadi lebih aktif, mandiri dalam mencari bahan
bahan, (seperti dengan diskusi, melalui internet, media, dan lain lain), dan lebih siap
dengan kasus baru. PBL merupakan metode paling efektif karena mahasiswa dapat
mendalami dua teknik, yaitu teknik belajar dan teknik komunikasi (jurnal universitas
Andalas).

2. Mengapa terjadi perubahan kurikulum kedokteran di Indonesia?


= Perubahan kurikulum terjadi karena pendidikan kedokteran di Indonesia mulai
menerapkan metode pembelajaran berdasarkan masalah seperti yang telah digunakan
oleh program pendidikan kedokteran di dunia.

3. Mengapa perubahan paradigma Pendidikan Kedokteran dititik beratkan pada SCL?


= karena metode pembelajaran SCL ini menuntut mahasiswa untuk belajar lebih aktif,
mandiri dan menerapkan serta memahami materi belajar sesuai dengan kemampuan
individu masing masing.

4. Apa perbedaan system pembelajaran TCN dan SCN ?


= Perbedaannya yaitu pembelajaran di SMA menggunakan TCL (Teacher Centered
Learning) yaitu metode pembelajaran yang bersifat satu arah selama proses belajar
sedangkan Student Centered Learning (SCL) adalah salah satu metode pembelajaran
yang berpusat pada mahasiswa
.

5. Bagaimana peran MEU dalam sistem pembelajaran di kedokteran?


= MEU merupakan suatu badan yg bertanggung jawab atas pendidikan dokter dalam
meningkat kan kualitas dan pengembangan pendidikan kedokteran dan memberikan
saran,baik yg diminta maupun tidak diminta,terkait masalah yg berkaitan dgn
pendidikan kedokteran.

6. mengapa kegiatan diskusi tutorial mengadopsi system seven jumps?


= kegiatan pembelajaran tutorial menggunakan sistem PBL yaitu pembelajaran
berbasis masalah dgn menggunakan skenario sebagai Langkah awal.Sistem seven
jumps sendiri menganut tujuh Langkah yang saling berkaitan yaitu
terminologi,rumusan masalah,hipotesa,skema,learning objektif,searching
information,dan sharing information.Dengan mengadopsi sistem seven jumps
ini,mahasiswa diharapkan dapat memecahkan masalah dan dapat berpikir secara
sistematis sesuai metode pembelajaran PBL.

7. Apa kelebihan dan kekurangan dari Student Center Learning?


= Berdasarkan jurnal Universitas Muhammadiyah Surakarta SCL secara teori
memiliki kelebihan yaitu siswa dapat aktif menggali ilmu, bereksplorasi, dan dan
merumuskan materi yang didapat. Namun SCL juga memiliki kekurangan ialah siswa
menjadi sangat aktif sehingga kelas menjadi gaduh dan menuntut guru/dosen lebih
ekstra mengendalikan kondisi kelas.

8. Apa keunggulan menggunakan Log Book?


= keunggulan log book
1. lebih tertata sehingga memudahkan pemantauan penelitian
2. sebagai data dalam membuat makalah
3. sebagai alat yang digunakan untuk memudahkan penelitian.

9. apa pentingnya dalam memahami EBM? dan apa pentingnya untuk terus belajar
sepanjang hayat?
= ebm sangat penting untuk dipahami karena ebm berfungsi untuk memberikan dasar
ilmiah yang kuat untuk praktik klinis dan untuk memberikan perawatan medis kepada
pasien dengan aman dan efisien. dan sangat penting untuk terus belajar sepanjang
waktu dikarenakan ilmu kedokteran yg terus berkembang sehingga kita harus tetap
update sehingga tidak terjadi kesalahan yang terjadi sebelumnya dan juga untuk
menimbulkan keterampilan baru.
JUMP 4 : SKEMA

JUMP 5 : Learning Objective


Mahasiswa dapat menjelaskan dan memaparkan mengenai :
1. CPD (Continuing Profesional Development)
2. PBL (Problem Based-Learning)
3. Sejarah Kurikulum Kedokteran Di Indonesia
4. EBM (Evidence Based-Medicine)
JUMP 6 : Search Informatin
Jump 7 : Sharing Information
LO 1 : CPD (Continuing Profesional Development)
 DEVINISI
CPD (Continuing professional development) adalah cara yang professional untuk
mempertahankan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam pekerjaa. CPD juga
didefinisikan sebagai proses pembelajaran sepanjang hayat (lifelong learning) bagi individu
ataupun tim yang memungkinkan para profesional medis untuk memperluas dan
mengembangkan potensi mereka dalam mengelola standar pelayanan kesehatan yang tinggi
dan terus menerus meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan untuk memenuhi kebutuhan
pasien.
CPD untuk profesional kesehatan diperkenalkan selama 1990-an di Kanada. Pada saat itu
orang Kanada menuntut sistem perawatan kesehatan yang akan memenuhi kebutuhan
mereka. Menurut (James & Francis, 2011), CPD adalah penting untuk semua tenaga
kesehatan di mana perawatan pasien dan klien yang berkualitas tinggi ditunjukkan. CPD
dilaksanakan pada periode setelah lulus kedokteran dan berlanjut selama kehidupan
professional seorang dokter yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan dokter itu sendiri,
dengan aktivitas secara practice bassed learning dengan tujuan untuk mempertahankan dan
mengembangkan kompetensi. Dengan mengikuti program CPD seorang dokter dapat selalu
memperbarui pengetahuan dan keterampilannya, serta dapat selalu meningkatkan
professionalisme dirinya baik sebagai dokter dalam pelayanan kesehatan maupun sebagai
pendidik kedokteran.Perubahan paradigma pelayanan kesehatan ini juga mempengaruhi
perubahan pada pendidikan kedokteran. Oleh karena itu seorang dokter yang juga berperan
sebagai pendidik di pendidikan kedokteran harus mampu mengikuti perkembangan
tersebut.Pendidik kedokteran juga diharapkan untuk menjadi perancang, pengembang,
evaluator dan penyelenggara pendidikan yang kompeten.
Bagi pendidik kedokteran program CPD dapat membantu untuk memperbarui
keterampilan mengajar, keterampilan menelaah, keterampilan komunikasi dan
sebagainya. Aktivitas ini dapat berupa program pengembangan staf yang diadakan oleh
institusi seperti pelatihan tutor, pelatihan instruktur KKD, pelatihan membuat MCQ dan
sebagainya. Pencapaian CPD harus melibatkan pendekatan terstruktur untuk belajar yang
meliputi pengetahuan, keterampilan dan penhalaman praktis.
CPD penting untuk meningkatkan kompetensi professional anggota baik keuntungan
sendiri, kelompok, pengusahaan masyarakat umum, Mempertahankan kompetensi anggota
secara professional, serta mematuhi peraturan yang berlaku dibidang surveying.
Tujuan CPD adalah mempertahankan professionalitas seorang dokter dan
mengembangkan kemampuannya agar dapat menghasilkan kinerja yang lebih baik lagi dalam
pelayanan kesehatan masyarakat (Jambi Medical Journal).
LO 2 : Sejarah Kurikulum Kedokteran Di Indonesia
 Sejarah
Dalam jaman penjajahan Belanda ilmu kedokteran dari Eropa dibawa ke Indonesia oleh
dokter-dokter yang didatangkan untuk melayani kesatuan- kesatuan militer Belanda dan
dipergunakan pula untuk pegawai-pegawai sipil mereka. Kekhawatiran tentang penjalaran
penyakit cacar yang sangat berbahaya mendesak Belanda untuk mendidik tenaga
pembantu untuk melaksanakan vaksinasi cacar, yakni "vaccinateur" atau juru-cacar.
Menurut sejarah pendidikan dokter, yang pertama dididik dalam apa yang disebut "dokter
djawa school" atau sekolah dokter jawa adalah "vaccinateur". Vaccinateur tersebut diberi
pendidikan sederhana untuk pengobatan orang sakit, sehingga ia dapat pula berfungsi
sebagai "dokter jawa".

Atas prakarsa Kepala Jawatan Kesehatan (Tentara dan Sipil) pada waktu itu, Dr
W. Bosch, pada tanggal 1 Januari 1851 didirikan di Weltevreden (sekarang Jakarta-
Pusat), di bawah pimpinan Dr. P. Bleeker, sebuah sekolah untuk mendidik pemuda-
pemuda Jawa menjadi "Dokter Jawa", yang lamanya pendidikan 2 (dua) tahun, untuk
dipekerjakan sebagai dokter pembantu (hulp- geneesheer) dan bertugas memberi
pengobatan dan vaksinasi cacar. Dalam tahun 1856 mulai diterima masuk pendidikan
pemuda-pemuda pribumi lainnya. Pada tahun 1864 pendidikan diperpanjang menjadi 3
(tiga) tahun. Di tahun 1875 pendidikan dijadikan 7 (tujuh) tahun terdiri dari 2 tahun bagian
persiapan dan 5 tahun bagian kedokteran, dengan bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantar, yang sebelumnya adalah bahasa Melayu (induk dari bahasa Indonesia kita
sekarang). Dalam tahun 1881 lamanya bagian persiapan dijadikan 3 tahun.

Mulai tahun 1890 para calon murid harus sudah lulus Sekolah Dasar Belanda
(Europeesche Lagere School). Di tahun 1902 bagian kedokteran dari 5 tahun dijadikan 6
tahun, hingga seluruh pendidikan lamanya 9 (sembilan) tahun; nama sekolah diganti
dengan "School tot Opleiding van Inlandsche Artsen", disingkat STOVIA, dan lulusannya
mendapat gelar "Inlandsch Arts" (dapat kita terjemahkan dengan "Dokter Bumiputera").
Dalam tahun 1913 dibuka sekolah dokter kedua di Surabaya dengan diberi nama
"Nederlandsch Indische Artsen school' disingkat NIAS. Sekaligus lamanya pendidikan
bagian kedokteran untuk kedua perguruan itu ditambah dengan satu tahun, hingga lamanya
pendidikan dokter seluruhnya menjadi 10 (sepuluh) tahun sesudah Sekolah Dasar Belanda.
Mulai tahun itu pula, kedua perguruan terbuka bagi semua bangsa (tidak hanya
bumiputera), hal mana antara lain atas desakan IEV ("Indo Europeesch Verbond", suatu
perkumpulan orang-orang pranakan Belanda); lulusannya mendapat gelar "Indisch Arts"
(dapat kita terjemahkan dengan "Dokter Hindia").

Mulai tahun 1924, baik STOVIA maupun NIAS tidak lagi menerima siswa lulusan
sekolah dasar, tetapi dari sekolah lanjutan pertama, yang dinamakan MULO (Singkatan
dari "Meer Uitgebreid Lager Onderwijs"), dan lamanya seluruh pendidikan dijadikan 8
(delapan) tahun. Bahkan mulai tahun 1928 lamanya pendidikan di NIAS (STOVIA sudah
diganti oleh Geneeskundi-Hoogeschool) adalah 9 (sembilan) tahun sesudah MULO, tanpa
penggunaan istilah bagian persiapan lagi (Marsaid).

Pada tanggal 16 Agustus 1927 dibuka Geneeskundige Hoogeschool (Sekolah Tinggi


Kedokteran) untuk mengganti STOVIA. STOVIA sendiri tidak lagi menerima siswa baru,
tetapi menyelesaikan pendidikan para siswanya yang sudah ada sebagai lulusan terakhir
adalah dokter Sanjoto yang lulus dalam tahun 1934, dan pada waktu itu pula dengan resmi
STOVIA ditutup. Lamanya pendidikan di Geneeskundi~Hoogeschool adalah 7 (tujuh)
tahun sesudah Sekolah Lanjutan Atas (AMS) atau Sekolah Menengah Belanda (HBS).
Secara resmi nilai ijasah GH Betawi ditetapkan tidak berbeda dari ijazah fakultas-fakultas
kedokterari di negeri Belanda.

Dalam iklim kolonial hak penjajah menganggap bangsa kita lebih rendah daripadanya,
juga dalam kecerdasan dan tata-susila; lagi pula pola pendidikan yang diberikan kepada
anak-anak pribumi pada dasarnya hanya mempunyai tujuan untuk menghasilkan pekerja-
pekerja pembantu dalam roda pemerintahan dan perdagangan mereka, yang berarti harus
dibatasi. Mengingat hal itu perkembangan pendidikan dokter seperti yang diuraikan di atas,
terutama dalam taraf meningkatkannya menjadi perguruan tinggi, tidaklah terlepas dari
romantik perjuangan. Dalam rangka ini baik sekiranya disebutkan beberapa peristiwa.
Untuk menghalang-halangi bangsa Indonesia mencapai kedudukan dokter keluaran suatu
perguruan tinggi, pada suatu saat "Bond van Europeesche Geneesheren" (lkatan Dokter
Eropa) mengemukakan pendapat, bahwa seorang dokter akademikus Indonesia: "hanya
akan bermain-main dengan pasien wanitanya sebagai pengisi waktu dan akan melakukan
abortus sebagai usaha mencari nafkah yang mudah”.

Pada tahun 1908, menghadapi reorganisasi Jawatan Kesehatan Sipil, ada usaha untuk
menurunkan pendidikan di STOVIA dan dengan demikian sekaligus menutup kesempatan
bagi lulusannya untuk mendapatkan fasilitas melanjutkan pelajarannya di universitas di
negeri Belanda guna mencapai gelar Arts. Padahal fasilitas ini adalah hasil perjuangan Dr.
Abdul Rivai dalam tahun 1904, yang untuk pertama kalinya digunakan oleh Dr. Asmaoen,
disusul oleh Dr. Abdul Rivai sendiri sebagai orang kedua, kemudian disusul oleh dokter-
dokter M.J. Boenjamin, J.E. Tehupeiory, W.K. Tehupeiory, R. Tumbelaka, R. Radjiman, P.
Laoh, H.F. Lumentut, H.J.P. Apituley, J.A. Kawilarang, M. Salih, dll. sebagai perintis,
semuanya dengan hasil gemilang. Tidak jadinya penurunan pendidikan STOVIA adalah
hasil perjuangan Dr. W .K. Tehupeiory dan Dr. H.F. Roll, direktur STOVIA pada waktu
itu, dibantu oleh Dr. H. Noordhoek Hegt penggantinya.

Berdirinya Perguruan Tinggi Kedokteran pada tahun 1927 adalah juga hasil perjuangan
para dokter Indonesia dengan pendapat-pendapat yang menyokong dari direktur dan
mantan direktur STOVIA dan NIAS. Yang melontarkan kata pertama tidak lain ialah Dr.
Abdul Rivai di hadapan sidang "Volksraad" (sebuah parlemen kolonial Hindia Belanda)
dalam tahun 1918; di sana ia mengusulkan diadakannya pendidikan universiter di
Indonesia. Dari fihak "Indische Artsen Bond" (lkatan Dokter Indonesia) duduk dalam
”Panitia Penasehat Pendirian Perguruan Tinggi Kedokteran" adalah dokter-dokter J.
Kajadoe, Abdoel Rasjid dan R. Soetomo. Meskipun laporan hasil kerja panitia termaksud,
yang mendesak didirikannya sebuah Perguruan Tinggi Kedokteran di Salemba, diterbitkan
dalam tahun 1922, tetapi barulah di tahun 1927 menjadi kenyataan. Berkat perjuangan
dokter-dokter Indonesia ijazah Perguruan Tinggi Kedokteran Betawi disamakan dengan
ijazah fakultas-fakultas kedokteran di negeri Belanda.

Dalam rangka pendidikan dokter ini perlu disebutkan didirikannya sebuah Sekolah
Dokter Gigi (School tot Opleiding van Indische Tardartsen, disingkat STOVIT) di
Surabaya dalam tahun 1928, yang lamanya pendidikan 5 tahun sesudah MULO, dan
lulusannya mendapat gelar "Indisch Tandarts" (Dokter Gigi Hindia). Sesuai dengan iklim
kolonial, nilai ijazah Dokter Gigi Hindia ini dibuat lebih rendah daripada ijazah Dokter
Gigi Belanda, seperti dualisme yang berlaku bagi dokter umum keluaran STOVIA dan
NIAS (Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara).
Tahun 1942 (kolonial Belanda berakhir) pendidikan kedokteran terhenti selama 6 bulan
Kemudian dibentuk Komite Pendidikan untuk mengembangkan kurikulum pendidikan
kedokteran, dan Komite untuk menggabungkan eks-GHS dan eksNIAS menjadi sekolah
kedokteran dengan lama pendidikan 5 tahun. 29 April 1943, dibuka sekolah kedokteran
dengan nama Ika Daigaku.

Kemudia pada Februari 1947, Belanda yang kembali menginvasi Indonesia


melangsungkan kegiatan pendidikan kedokteran dengan nama Genesskundige Faculteit,
NoodUniversiteit van Indonesie. Namun, pendidikan kedokteran pada Perguruan Tinggi
Kedokteran Republik Indonesia tetap dilaksanakan. 2 Februari 1950, Perguruan Tinggi
Kedokteran Republik Indonesia dan Geneeskundige Faculteit Nood-Universiteit van
Indonesie, digabung dan disatukan dengan memakai nama Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Penyatuan tersebut turut dipelopori oleh penyerahan kedaulatan dari
Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia.

Berdasarkan SK Mendiknas RI No.045/SK/2000 tentang Kurikulum Berbasis


Kompetensi serta SK DirJen Dikti DepDikNas RI No. 1386/D/T/2004 tentang paradigma
baru pendidikan kedokteran di Indonesia yaitu pendidikan dokter berbasis kompetensi
dengan pendekatan terintegrasi, maka kurikulum pendidikan kedokteran di Indonesia
mengalami perubahan dari KIPDI II ke Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).

Sejarah kurikulum pendidikan kedokteran di Indonesia dimulai dengan menggunakan


kurikulum dari Belanda, kemudian berturut-turut berganti menjadi KIPDI I (1984 – 1995)
dan KIPDI II (1995 – 2006). Kurikulum yang terakhir dan sampai saat ini digunakan
adalah KIPDI III atau yang biasa dikenal dengan KBK. Kurikulum KBK ini memiliki
banyak perubahan dari kurikulum pendidikan kedokteran sebelumnya. Perubahan
paradigma yang sebelumnya teacher oriented diubah menjadi student oriented yang
menuntut keaktifan mahasiswa. Mahasiswa yang kurang aktif dan hanya mengandalkan
dosen sebagai sarana untuk menuntut ilmu tidak akan mampu beradaptasi dengan
perubahan kurikulum ini. Dalam kurikulum KBK sendiri terjadi pemadatan dimana
mahasiswa yang sebelumnya membutuhkan waktu 4 tahun untuk lulus, kemudian
diintegrasi sehingga hanya membutuhkan waktu sekitar 3,5 tahun.

Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dimana kompetensi sebagai tujuan


pembelajaran itu dideskripsikan secara eksplisit, sehingga dijadikan standar dalam
pencapaian tujuan kurikulum. Baik dosen maupun mahasiswa perlu memahami kompetensi
yang harus dicapai dlam proses pendidikan dan pembelajaran. Pemahaman ini diperlukan
untuk mempermudah dalam merancang strategi dan indikator keberhasilan. Competancy-
based education, artinya fokus utama dari pembelajaran adalah pada outcome yang
diharapkan dari mahasiswa, daripada proses pembelajarannya. Bukan berarti proses
pembelajaran tidak penting, melainkan proses pembelajaran tersebut direncanakan dan
dilibatkan bersama dengan outcome dari kompetensi yang diharapkan.
 Ciri-Ciri KBK
1. Kompetensi dinyatakan secara jelas dari proses pembelajaran.
2. Proses pembelajaran berorientasi kepada pencapaian kompetensi dan berfokus pada
mahasiswa.
3. Lebih mengutamakan kesatuan penguasaan ranah kognitif, psikomotor, dan afektif.
4. Proses penilaian hasil belajar lebih ditekankan pada kemampuan untuk
mendemonstrasikan kognitif, psikomotor, dan afektif (Jurnal Penelitian Universitas
Dipoenogoro).
Lo 3 : PBL (Problem Based-Learning)
 DEVINISI.
PBL (Problem Based-Learning), adalah suatu pendekatan pembelajaran yang
menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi mahasiswa untuk belajar
tentang cara berfikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh
pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. PBL digunakan untuk
merangsang berfikir tingkat tinggi dalam situasi berorientasi masalah. Sedangkan menurut
jurnal kedokteran universitas lampung Model Problem-Based Learning (PBL) merupakan
salah satu inovasi melatih mahasiswa dalam berpikir kritis, kreatif, rasional dan
meningkatkan pemahaman materi yang diajarkan serta memberi pengalaman nyata
terhadap mahasiswa.
Kurikulum Problem-Based Learning (PBL) diperkenalkan pertama kali di Fakultas
Kedokteran Universitas McMaster Kanada pada tahun 1969. Selanjutnya banyak fakultas
kedokteran di seluruh dunia yang mengadopsi PBL dengan berbagai variasi sesuai dengan
kebutuhan masing-masing institusi. Fakultas kedokteran di Maastricht Belanda dan
Newcastle Australia merupakan institusi acuan dalam melaksanakan kurikulum PBL.
Model pembelajaran dengan metode Problem-Based Learning (PBL) merupakan salah
satu inovasi dalam pembelajaran yang dapat digunakan karena PBL melatih mahasiswa
dalam berpikir kritis, kreatif, rasional dan meningkatkan pemahaman materi yang diajarkan
serta memberi pengalaman nyata terhadap mahasiswa. Menurut Buck Institude for
Education (BIE), PBL adalah suatu model pembelajaran yang berfokus pada konsep-konsep
dan prinsip- prinsip utama (central) dari suatu disiplin, melibatkan siswa dalam kegiatan
pemecahan masalah dan tugas-tugas bermakna lainnya, memberi peluang siswa bekerja
secara otonom mengkonstruksi belajar sendiri dan menghasilkan produk karya siswa
bernilai dan realistik. Selain itu melalui model PBL, mahasiswa diharapkan mengembangkan
pengetahuan melalui keikutsertaan dalam proses pembelajaran. Dalam proses
pembelajaran ini mahasiswa belajar dengan aktif (active-learning) membangun
pengetahuan sedangkan dosen bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Sehingga
diharapkan mahasiswa dapat menggali sendiri kompetensi yang ada dalam dirinya.
Problem-based learning (PBL) memberikan manfaat yaitu mahasiswa mempunyai peran
aktif dalam proses belajar mengajar sehingga mereka mempunyai kemampuan untuk
medefinisikan suatu masalah, mengidentifikasikan dan menyelesaikan suatu masalah,
memperoleh dan menginterpretasikan data membuat perencanaan, serta mentransfer hasil
pembelajaran ke dalam kehidupan sehari-hari. Mahasiswa juga mempunyai kemampuan
untuk menggabungkan aspek sosial dan etika kedalam ilmu kedokteran, berkolaborasi
dalam belajar, mempunyai sifat kepemimpinan, terampil dalam berkomunikasi dan
berempati serta dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya.
Di dalam model problem-based learning (PBL) terdapat suatu diskusi yang terdiri dari 2
sesi diskusi tutorial untuk membahas suatu skenario yang menjadi pemicu proses belajar.
Diskusi tutorial diikuti oleh 10-12 orang mahasiswa untuk setiap kelompok dengan dipandu
oleh seorang tutor sebagai fasilitator. Diantara 2 sesi tutorial tersebut mahasiswa mendapat
masa waktu untuk melaksanakan belajar mandiri. Waktu ini dapat dimanfaatkan oleh
mahasiswa untuk mengembangkan kemampuannya mencari berbagai literatur yang
diperlukan, menelaah secara kritis berbagai informasi yang didapatkan, dan berkonsultasi
dengan para ahli.5 Skenario dalam PBL merupakan inti dari suksesnya kegiatan tutorial
dalam PBL. Hal ini karena skenario merupakan titik tolak dari proses pembelajaran
mahasiswa. Skenario yang baik adalah skenario yang dapat mengakomodasi semua tujuan
pembelajaran modul, singkat dan jelas sehingga akan memacu keingintahuan lebih dalam
dari mahasiswa. Untuk mensukseskan diskusi tutorial mahasiswa harus berkomunikasi
secara aktif, memiliki minat terhadap kelompok dan keterlibatan semua mahasiswa dalam
kelompok. Dengan skenario yang baik, diskusi akan berjalan lancar dan efektif (jurnal
Universitas Aisyiyah Yogyakarta).
Diskusi tutorial dalam konteks PBL adalah suatu proses belajar aktif di dalam diskusi
kelompok kecil yang distimulasi oleh suatu masalah (skenario) yang bertujuan untuk
mengaktifkan prior knowlegde mahasiswa dengan difasilitasi oleh seorang tutor. Dalam
tutorial setiap mahasiswa dituntut untuk berpartisipasi aktif sehingga dapat memberikan
kontribusi yang merata serta saling melengkapi pengetahuan diantara mahasiswa mengenai
permasalahan yang sedang dipelajari. (jurnal Universitas Aisyiyah Yogyakarta)
 Adapun kelebihan dari model balajr PBL diantaranya
1. kemampuan mencari referensi dan mengingat kembali (recall) pengetahuan menjadi
lebih terasah.
2. Mengembangkan keterampilan bidan studi :
- mengakses dan menggunakan informasi dari aneka sumber subjek.
- merangkum pengetahuan dari berbagai sumber dengan lebih baik.
- menggabungkan system pembelajaran dikelas dan dilapangan
3. Menciptakan lingkungan belajar yang aktif dan kooperatif.
4. Menciptakan lingkungan belajar yang memicu keterampilan berpikir kritis

 Kekurangan PBL diantaranya :


1. Mahasiswa yang pasif akan kesulitan mengikuti kegiatan pembelajaran
2. Lebih menekankan pada memecahkan masalah daripada menggali ilmu itu sendiri
3. Mahasiswa tidak begitu yakin dengan jumlah waktu belajar mandiri yang diperkukan
dan informasi manakan yang relevan
Lebih banyak staff yang terlibat dalam proses tutorial.
LO 4 : EBM (Evidence Based-Medicine) Dan Critical Review
 DEVINISI

EBM merupakan pendekatan secara sistematis untuk menganalisis penelitian yang


telah diterbitkan sebagai landasan pengambilan keputusan pengobatan pasien. EBM
didefinisikan sebagai pengunaan bukti penelitian terbaru dan terbaik yang diteliti dan
dikelolah dengan bijaksana untuk perawatan klinis pasien (Claridge and Fabian, 2005).
EBM dikembangkan menjadi inovasi untuk memisahkan sesuatu yang berguna dari yang
tidak berguna untuk perawatan pasien yang efisien dan efektif (Horwitz et al., 2017).
EBM adalah penggunaan estimasi matematis risiko manfaat dan bahaya, berasal dari
penelitian berkualitas tinggi tentang populasi sampel, untuk menginformasikan
pengambilan keputusan klinis dalam diagnosis, investigasi, atau manajemen masing-
masing pasien (Greenhalgh, 2019)
Praktik EBM memiliki fokus awal yaitu mendidik dokter dalam pemahaman dan
pengunaan literatur yang telah dipublikasikan untuk mengoptimalkan perawatan klinis.
Akan tetapi, praktik EBM semakin menekankan perlunya menggabungkan penilaian kritis
terhadap bukti dengan keadaan klinis pasien yang menjadi langkah awal penanganan
pasien. EBM memiliki tiga prinsip utama yaitu semakin banyak bukti penelitian yang
terbaik, kebutuhan akan ringkasan sistematis bukti terbaik untuk memandu perawatan,
dan persyaratan untuk mempertimbangkan nilai-nilai pasien dalam keputusan klinis
(Djulbegovic and Guyatt, 2017).
Ruang lingkup EBM sangat luas tidak hanya berguna untuk tenaga medis saja, tetapi
EBM juga berguna untuk fungsi optimal dari Klinik, Rumah sakit, dan sistem pelayanan
kesehatan lainya (Djulbegovic, 2014). Literatur mengenai EBM sangat mudah
didapatkan, pencarian di google cendekia dengan mengunakan istilah “Evidence based
medicine” mengindentifikasi lebih dari 1,8 juta makalah. Oleh karena itu, praktik EBM
sudah selayaknya menjadi bagian dari struktur praktik klinis modern dan telah
berkontribusi banyak dalam perawatan kesehatan (McCartney et al., 2016).
Praktik EBM telah diterapkan di Indonesia. Dalam buku Standar Kompentensi Dokter
Indonesia (SKDI), Praktik EBM masuk dalam 7 area kompentensi dokter yaitu
kompentensi 4 dalam pengelolahan informasi (Konsil Kedokteran Indonesia, 2012). EBM
dinilai penting untuk pelatihan mahasiswa pendidikan dokter maupun profesi dokter
dengan menekankan pemikiran kritis, pentingnya penalaran statistik, dan evaluasi
penanganan medis (Djulbegovic and Guyatt, 2017). Semakin meningkatnya pengetahuan
dan keterampilan Praktik EBM menjadikan mahasiswa pendidikan dokter maupun
mahasiswa profesi dokter menjadi lebih kompeten (Williams et al., 2013).
Dalam praktik EBM terdapat beberapa hambatan. Sebuah studi penelitian menemukan
bahwa terdapat lebih dari 50 % mahasiswa hanya mencari 1 sumber bukti sebelum
menjawab pertanyaan klinis (Nicholson et al., 2020). Penelitian terhadap 344 orang
mahasiswa dari berbagai universitas di arab saudi memiliki hasil pengetahuan dan sikap
terhadap EBM rendah sebanyak 80,8 % dan memiliki persepsi EBM tidak berlaku dengan
budaya mereka sebanyak 68,8% (Aldugieman et al., 2018). Hal itu dikarena alasan
bervariasi seperti kurangnya pelatihan EBM, kurangnya keterampilan dalam membaca
secara analitis, biaya untuk pembelian urnal mahal, dan tidak memiliki waktu yang cukup
(Bahammam and Linjawi, 2014; Parve et al., 2016). Dalam melakukan praktik klinis
sebagian besar dokter masih bergantung pada pendapat dan pengalaman kolega ataupun
konsultan. Hal ini menyebabkan dokter tidak bebas dalam mengambil keputusan
pengobatan pasien (Straus et al., 2019).
 SEJARAH EBM
Tahun sebelum 1990 panduan untuk praktik klinis yang digunakan tenaga medis hanya
berdasarkan studi pemahaman tentang mekanisme penyakit dan patofisiologinya. Pada saat
itu, keahlian dan pengalaman dalam mengobati pasien adalah dasar yang cukup untuk
menghasilkan pendoman klinis yang valid (Guyatt, 1992). Gagasan tentang EBM pertama
kali diciptakan oleh Gordon Guyatt dan kemudian gagasan tersebut muncul dalam sebuah
artikel di The Rational Clinical Examination series di JAMA pada tahun 1992 (Guyatt, 1992;
Guyatt et al., 2000).
Akan tetapi, EBM sudah pernah dibahas oleh 3 peneliti Thomas C. Chalmers, Alvan R.
Feinstein, dan Archibald Cochrane. Thomas Chalmers mengatakan adopsi meta-analisis
adalah kunci untuk pengembangan bukti penelitian. Alvan Feinstein seorang dokter dan
peneliti di Yale penting dalam mendefinisikan epidemiologi klinis dan pertama kali
menunjukkan bagaimana praktik medis dapat dipelajari. Archie Cochrane, seorang dokter
ahli epidemiologi, dan profesor di Welsh National School of Medicine menerbitkan buku
―Efektivitas dan Efisiensi Refleksi Acak pada Layanan Kesehatan‖ pada tahun 1972
(Richard Smith and Drummond Rennie, 2014).
Pada mesin pencarian Pubmed, sampai dengan tahun 1991 tidak terdapat satu pun istilah
evidence-based medicine atau EBM. Pada tahun 1992, hanya ada 2 artikel yang mengandung
istilah EBM. Namun, jumlah itu terus meningkat menjadi lebih dari 1000 artikel pada tahun
2000, dan semakin bertambah jumlahnya sampai sekarang. Dalam waktu yang singkat
konsep EBM telah tersebar di seluruh dunia. Meskipun pada awalnya tertapat kontroversi
tentang konsep EBM, namun terlah terjadi kesepakatan umum bahwa konsep EBM adalah
yang terbaik. Semua jurnal kedokteran telah mengadopsi konsep EBM, semua fakultas
kedokteran dan rumah sakit besar di seluruh negara telah berupaya untuk menerapkan praktik
EBM, dan kursus serta lokakarya EBM tetap berlangsung di seluruh negara sampai sekarang.
EBM juga telah masuk ke dalam kurikulum pendidikan kedokteran umum, spesialis, serta
subspesialis (Sudigdo Sastroasmoro, 2017).
 KOMPONEN EBM
EBM memiliki 3 komponen yaitu bukti penelitian terbaik, keahlian klinis, dan nilai-nilai
pasien. Ketiga komponen tersebut memiliki peran dalam pengambilan keputusan klinis
pasien yang terbaik (Gaeta and Gentile, 2016).
a. Bukti penelitian terbaik.
Bukti penelitian memiliki tingkatan berdasarkan desain studi penelitian yang tersusun
dalam piramida (Murad et al., 2016). Bukti penelitian yang mengunakan metode
penelitian terbaik yaitu randomized controlled trial (RCT) dan meta analisis. RCT
merupakan baku emas metode penelitian untuk memastikan kemanjuran dan
keamanan pengobatan. RCT dan meta analisis memiliki risiko bias yang rendah dan
memiliki tingkat bukti penelitian yang tertinggi, karena variabel di teliti dan diukur
secara langsung atau objektif (Djulbegovic and Guyatt, 2017; Kabisch et al., 2011).
b. Keahlian Klinis.
Keahlian klinis adalah kemampuan untuk menggunakan keterampilan klinis dan
pengalaman masa lalu untuk mengidentifikasi dengan cepat keadaan kesehatan dan
diagnosis masing-masing pasien yang berbeda-beda. Keahlian klinis juga diperlukan
untuk mengintergrasikan bukti penelitian dengan keadaan klinis pasien (Straus et al.,
2019). Keahlian klinis mengacu pada akumulasi pengalaman, pendidikan, dan
keterampilan klinis dokter (Isenburg, 2018).
c. Nilai- nilai pasien.
Selama perjalanan pengobatan pasien, dokter harus memperhatikan nilai-nilai tentang
status kesehatan dan penyakit pasien. Pasien memiliki nilai-nilai yang unik, yang
dimana setiap pasien berbeda-beda status kesehatan dan penyakitnya (Epstein and
Street, 2011). Oleh karena itu, nilai-nilai pasien harus dipahami terlebih dahulu
sebelum mengambil keputusan pengobatan pasien (Straus et al., 2019)

 KELEBIHAN EBM
EBM memiliki banyak keuntungan dan kelebihan. Walaupun memiliki banyak
hambatan dan kritik mengenai EBM, EBM tetap memiliki peran penting bagi para klinis
dalam menentukan pengobatan pasien. Kelebihan EBM terdiri atas :
a. Praktik EBM meningkatkan kebiasaan membaca, khususnya membaca kemajuan ilmu
dan teknologi kedokteran sesuai dengan bidang masingmasing yang relevan dengan tata
laksana pasien.
b. Meningkatkan keterampilan metodologi penelitian, dan dapat memicu serta memacu
keinginan unutk meneliti.
c. Menjamin praktik dan tata laksana pasien yang terkini dan rasional.
d. Mengurangi intuisi dan penilaian klinis, namun tidak menghilangkan.
e. Bila diterapkan secara taat asas maka praktik dokter akan sesuai dengan aspek etika
dan medikolegal.
f. EBM dapat dan harus menjadi dasar utama kebijakan pemerintah dalam bidang
kesehatan (Sudigdo Sastroasmoro, 2017).
(Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara)

Anda mungkin juga menyukai