Anda di halaman 1dari 29

i

MANUAL SKILLS LAB


MEDICAL INTERVIEW

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
2018
TIM PENYUSUN

Ketua
Dr. dr. Made Budiawan, S.Ked., M.Kes

Anggota :
dr. Komang Hendra Setiawan,S.Ked.,M.Kes
dr. Putu Adi Suputra,S.Ked.,M.Kes
dr. Ni Made Sri Dewi Lestari,S.Ked.,M.Kes
Dr. dr. Made Kurnia Widiastuti Giri,S.Ked.,M.Kes
dr. Adi Wibowo, S.Ked., M.Kes
dr. Adnyana Putra, S.Ked., M.Kes
dr. Nyoman Mestri Agustini, M.Kes., M.Biomed, Sp.N
dr. I Ketut Indra Purnomo, S.Ked., M.Kes
dr. I Made Kusuma Wijaya, S.Ked., M.Kes
Dr. dr. Ni Luh Kadek Alit Arsani, S.Ked., M.Biomed
dr. Ni Putu Dewi Sri Wahyuni,S.Ked.,M.Kes

PENERBIT
Fakultas Kedokteran Undiksha
Jl. Udayana No.11 Singaraja-Bali

iii
ABSTRAK

Skills lab ketrampilan medical interview mempelajari tentang bagaimana seorang dokter
dapat menjalin komunikasi dua arah yang baik dan efektif dengan pasiennya, mulai dari tahap
awal konsultasi sampai dengan tahapan akhir dalam kurikulum berbasis kompetensi.
Mahasiswa diharapkan menguasai komunikasi dua arah yang baik dan efektif sesuai
standar kompetensi dokter Indonesia 2012.
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa
atas bimbingannya, sehingga dapat diselesaikan penyusunan MANUAL SKLILS LAB
MEDICAL INTERVIEW untuk menunjang pelaksanaan pendidikan dokter dengan kurikulum
berbasis kompetensi di Fakultas Kedokteran Undiksha.
Perubahan paradigma pendidikan kedokteran menyebabkan perlunya dilakukan
perubahan kurikulum pendidikan dokter serta meningkatnya kebutuhan masyarakat akan
pelayanan kesehatan, dokter umum dituntut terampil dalam memberikan pelayanan kesehatan
termasuk terampil dalam melakukan wawancara kesehatan yang baik. Dengan tersusunnya buku
ini diharapkan mahasiswa kedokteran lebih mudah dalam mempelajari dan memahami prosedur
melakukan wawancara kesehatan.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan buku ini. Sangat disadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna, sehingga sangat
diharapkan saran dan kritik membangun untuk perbaikan buku ini.

Singaraja, Agustus 2018

Tim Penyusun

v
DAFTAR ISI

Hal
Halaman depan............................................................................................................. i
Tim Penyusun .............................................................................................................. ii
Abstrak ......................................................................................................................... iii
Kata Pengantar ............................................................................................................. iv
Daftar Isi ...................................................................................................................... v
Pendahuluan ................................................................................................................. 1
Silabus Medical Interview ........................................................................................... 2
Materi Pembelajaran .................................................................................................... 4
Scenario Medical Interview ......................................................................................... 27
Lembar evaluasi ........................................................................................................... 28
Daftar Pustaka .............................................................................................................. 29
PENDAHULUAN

Komunikasi kesehatan antara dokter dan pasien adalah proses komunikasi yang
melibatkan pesan kesehatan, unsur-unsur atau peserta komunikasi. Komunikasi yang dibangun
dengan baik antara dokter dan pasien merupakan salah satu kunci keberhasilan dokter dalam
memberikan upaya pelayanan medis. Sebaliknya, ketidakberhasilan dokter terhadap masalah
medis jika dikomunikasikan dengan baik tidak akan menimbulkan perselisihan. Komunikasi
dokter dan pasien sebagai bentuk perilaku yang terjadi dalam berkomunikasi yaitu bagaimana
pelaku (dokter dan pasien) mengelola dan mentransformasikan dan pertukaran suatu pesan.
Dalam proses pertukaran pesan komunikasi antara dokter dan pasien merupakan salah satu faktor
penentu keberhasilan proses komunikasi itu sendiri.
Setelah mempelajari medical interview ini mahasiswa diharapkan mampu :
1. Menjelaskan prinsip komunikasi secara aktif dg pasien atau keluarga
2. Menerapkan sambung rasa dan empati pada pasien atau keluarganya secara benar
3. Menerapkan prinsip etika pada komunikasi dokter-pasien
4. Menunjukkan sikap sebagai pendengar aktif
5. Melakukan wawancara (anamnesis).
6.Mengikutsertakan pasien dalam suatu proses interaktif, meningkatkan pemahaman pasien, serta
menjaga hubungan baik dengan pasien

vii
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
FAKULTAS KEDOKTERAN
SILABUS SKILLS LAB
Program Studi : Pendidikan Dokter
Kode Ketrampilan Klinik :
Topik : Basic Medical Interview
Bobot : 0,6 SKS
Semester : I
Standar Kompetensi :

Prasyarat : Tidak ada

Tujuan Pembelajaran Indikator Pengalaman Materi pokok Alokasi waktu(menit) Sumber/bahan Penilai
Belajar dan Tutor ajar an

1. Mampu menginisiasi Mahasiswa menjelaskan Kuliah Prinsip a. Pengantar1x100mnt Berry, D. 2007. OSCE
komunikasi secara aktif dg prinsip komunikasi secara terbimbing komunikasi b. Terbimbing Health
pasien atau keluarga aktif dg pasien atau mandiri dgn secara aktif 2x100mnt Communication
keluarga supervisi d. OSCE (terjadwal) : Theory and
e. Tutor Pengantar: Practice.
dr. made budiawan McGraw-Hill
2. Mampu menerapkan Mahasiswa menerapkan Kuliah Sambung rasa f. Tutor Terbimbing: Freedman,
sambung rasa dan empati sambung rasa pada pasien terbimbing pada pasien atau dr. adi suputra J.MD, 2010.
pada pasien atau dan keluarganya secara mandiri dgn keluarganya dr. nyoman mestri The Medical
keluarganya secara benar benar supervisi agustini School
Interview,
MedEdits
Publishing
3. Menerapkan prinsip etika Mahasiswa menerapkan Kuliah Prinsip etika pada Coulehan,J.L
pada komunikasi dokter- prinsip etika pada terbimbing komunikasi and Block,M.R.
pasien komunikasi dokter-pasien mandiri dgn dokter-pasien 2006. The
supervisi Medical
Interview, F.A
Davis
Company,
Philadelphia
4. Menunjukkan sikap Mahasiswa menunjukkan Kuliah Sikap sebagai Ition, Elsevier
sebagai pendengar aktif sikap sebagai pendengar terbimbing pendengar aktif
aktif mandiri dgn
supervisi
5. Mampu melakukan Mahasiswa menjelaskan Kuliah Dasar Freedman,
wawancara yang terstruktur dasar wawancara terbimbing menstruktur J.MD, 2010.
(anamnesis). terstruktur mandiri dgn wawancara The Medical
Mahasiswa melakukan supervisi dengan empat School
wawancara yang dasar dan tujuh Interview,
terstruktur atribut anamnesis MedEdits
Publishing
6. Mengikutsertakan pasien Mahasiswa Kuliah Coulehan,J.L
dalam suatu proses mengikutsertakan pasien terbimbing and Block,M.R.
interaktif, meningkatkan dalam suatu proses mandiri dgn 2006. The
pemahaman pasien, serta interaktif. supervisi Medical
menjaga hubungan baik Mahasiswa meningkatkan Interview, F.A
dengan pasien pemahaman pasien. Davis
Mahasiswa menjaga Company,
hubungan baik dengan Philadelphia
pasien

ix
A. MATERI PEMBELAJARAN
I. Pengertian, tujuan dan kategori komunikasi
Komunikasi berasal dari kata Latin Communicare atau Communis yang berarti sama atau
menjadi milik bersama. Jika Anda berkomunikasi dengan orang lain , berarti Anda berusaha
agar apa yang disampaikan kepada orang lain tersebut menjadi miliknya.
Secara khusus komunikasi bertujuan untuk :
1. Menetapkan dan menyebarluaskan tujuan komunikasi.
2. Menyusun rencana untuk menyelesaikan tujuan
3. Mengorganisasi SDM serta sumber daya lainnya secara efektif dan efisisen.
4. Menyeleksi , mengembangkan dan menilai anggota organisasi.
5. Memimpin , mengarahkan , memotivasi dan menciptakan iklim yang memunculkan
keinginan untuk memberikan kontribusi, dan

6. Mengendalikan prestasi.
Menurut Hewitt (1981) , tujuan komunikasi dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Mendalami atau mengajarkan sesuatu.
2. Mempengaruhi perilaku seseorang Mengungkapkan perasaan.
3. Menjelaskan perilaku sendiri atau perilaku orang lain.
4. Berhubungan dengan orang lain.
5. Menyelesaian suatu permasalahan atau persoalan.
6. Mencapai suatu tujuan.
7. Menurunkan ketegangan dan menyelesaikan konflik.
8. Menstimulasi minat pada diri sendiri atau orng lain.

Beberapa pengertian kategori kategori komunikasi yaitu:


1. Komunikasi Intrapersonal
2. Komunikasi Interpersonal
3. Komunikasi Kelompok
4. Komunikasi Organisasi
5. Komunikasi Publik
1. Komunikasi Intrapersonal
Komunikasi intrapribadi atau komunikasi intrapersonal adalah penggunaan bahasa atau
pikiran yang terjadi di dalam diri komunikator sendiri antara self dengan God. Komunikasi
intrapersonal merupakan keterlibatan internal secara aktif dari individu dalam pemrosesan
simbolik dari pesan-pesan. Seorang individu menjadi pengirim sekaligus penerima pesan,
memberikan umpan balik bagi dirinya sendiri dalam proses internal yang berkelanjutan.

1
Komunikasi intrapersonal dapat menjadi pemicu bentuk komunikasi yang lainnya. Pengetahuan
mengenai diri pribadi melalui proses-proses psikologis seperti persepsi dan kesadaran
(awareness) terjadi saat berlangsungnya komunikasi intrapribadi oleh komunikator. Untuk
memahami apa yang terjadi ketika orang saling berkomunikasi, maka seseorang perlu untuk
mengenal diri mereka sendiri dan orang lain. Karena pemahaman ini diperoleh melalui proses
persepsi. Maka pada dasarnya letak persepsi adalah pada orang yang mempersepsikan, bukan
pada suatu ungkapan ataupun obyek.
Contoh komunikasi intrapersonal:
1. Merenungkan atau lagi berfikir sesuatu, ini merupakan proses emosional yang terjadi
pada diri sendiri pada saat sendiri.
2. Introspeksi diri, merupakan proses emosional yang terjadi pada diri sendiri pada saat
menyendiri, sehingga berbicara sendiri atau berkomunikasi dengan diri sendiri.
2. Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal iyalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang
memungkinkan setiap pesertanya akan menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara
verbal ataupun nonverbal. Komunikasi interpersonal ini iyalah komunikasi yang hanya dua
orang, seperti suami istri.
2. Komunikasi efektif dalam hubungan dokter-pasien
Komunikasi kesehatan melibatkan dokter, pasien, dan keluarga adalah komunikasi yang
tidak dapat dihindari dalam kegiatan kesehatan atau klinikal. Pasien datang berobat
menyampaikan keluhannya, didengar, dan ditanggapi oleh dokter sebagai respon dari keluhan
tersebut. Seorang pasien yang datang berobat memiliki harapan akan kesembuhan penyakitnya,
sedangkan seorang dokter mempunyai kewajiban memberikan pengobatan sebaik mungkin.
Komunikasi kesehatan antara dokter dan pasien yang dulu menganut pola paternalistik
dengan dokter pada posisi yang lebih dominan sudah saatnya diubah menjadi setara antara dokter
dan pasien. Efektifitas komunikasi yang baik antara kedua belah pihak akan berdampak pada
kesehatan yang lebih baik, kenyamanan, kepuasan pada pasien, dan penurunan resiko
malpraktik, serta perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dokter dan pasien.
Komunikasi efektif diharapkan dapat mengatasi kendala yang ditimbulkan oleh kedua
pihak, pasien dan dokter. Opini yang menyatakan bahwa mengembangkan komunikasi dengan
pasien hanya akan menyita waktu dokter, tampaknya harus diluruskan. Sebenarnya bila dokter
dapat membangun hubungan komunikasi yang efektif dengan pasiennya, banyak hal-hal negatif
dapat dihindari. Dokter dapat mengetahui dengan baik kondisi pasien dan keluarganya dan
pasien pun percaya sepenuhnya kepada dokter. Kondisi ini amat berpengaruh pada proses
penyembuhan pasien selanjutnya. Pasien merasa tenang dan aman ditangani oleh dokter sehingga
akan patuh menjalankan petunjuk dan nasihat dokter karena yakin bahwa semua yang dilakukan
adalah untuk kepentingan dirinya. Pasien percaya bahwa dokter tersebut dapat membantu
menyelesaikan masalah kesehatannya.

II. EMPATI
Empati adalah upaya dan kemampuan untuk mengerti, menghayati dan menempatkan diri
seseorang di tempat orang lain sesuai dengan:
• identitas: nama, usia, jenis kelamin, kondisi fisik (warna kulit, tinggi, berat badan, raut
muka, taraf kesehatan, dsb ), status perkawinan, orientasi seksual (heteroseksual ,
biseksual , homoseksual), ras, suku bangsa, etnik, latar belakang pendidikan,
pengetahuan, taraf perkembangan jiwa / mental, tradisi, budaya, agama; serta
• pikiran, perasaan, keinginan, perilaku dari orang itu,
tanpa mencampur-baurkan nilai - nilai atau selera pribadi dari orang yang berempati dengan nilai
atau selera pribadi orang yang diempati, atau bereaksi secara emosional bila nilai-nilai orang
yang berempati berbeda dengan nilai-nilai orang yang diempati.
Jadi, berempati berarti tidak bersikap menghakimi, baik dalam artikata menyalahkan,
membenarkan, menyetujui atau tidak menyetujui perbuatan seseorang.
Dengan perkataan lain: empati sama dengan: menerima orang lain sebagaimana adanya.
Jadi jelaslah bahwa untuk dapat berempati, seseorang perlu ada upaya dan kemampuan untuk
berempati.
Lawan dari sikap berempati adalah sikap tidak berempati; hal ini akan terlihat jelas pada
beberapa keadaan di mana seseorang tidak mampu dan / atau tidak berupaya untuk berempati,
misalnya sikap masa bodoh, sikap egoistik / egosentrik, sikap apriori negatif / prasangka
terhadap orang atau kelompok tertentu; atau karena menderita beberapa jenis gangguan jiwa /
gangguan perkembangan yang berat (mis. keadaan psikotik, gangguan paranoid, gangguan
autisme, beberapa jenis gangguan kepribadian, mis gangguan kepribadian narsisistik , gangguan
kepribadian antisosial, gangguan kepribadian paranoid).
Empati tidak terlepas dari mengerti dan menghargai nilai dan sistem nilai orang yang
diempati itu.

3
Dasar empati tidak lain adalah kasih-sayang ( compassion / brotherly love / ukhuwah
insaniyyah) yang bersifat tanpa pamrih terhadap sesama manusia.

EMPATI DALAM BEBERAPA KONTEKS HUBUNGAN ANTAR MANUSIA


Untuk mencapai suatu tingkat kesehatan jiwa /mental ( sesuai dengan definisinya ), selalu perlu
ada hubungan, relasi dan komunikasi antar manusia yang adekuat.
Ada beberapa konteks hubungan antar manusia
1. Hubungan antar manusia dalam konteks hubungan “Saya dan Kamu” (I and
Thou –Martin Buber) (2)
Keunikan hubungan “Saya dan Kamu” ini adalah bahwa hubungan ini hanya dapat terjadi
antar manusia, karena hanya dalam bentuk hubungan ini terjadi suatu relasi timbal balik
antara seseorang sebagai orang pertama (Saya) dengan orang lain sebagai orang ke dua
(Kamu) .
Begitu seseorang mengatakan “Saya” kepada orang lain dalam bentuk orang ke dua sebagai
“Kamu”, maka terjadilah suatu hubungan unik, baik berupa dialog, ataupun bentuk
komunikasi timbal balik, di mana orang ke dua (Kamu) diperlakukan sebagai subjek, yaitu
sebagai sesama manusia yang setara, yang dirinya diterima sebagaimana adanya, dan ia
diperlakukan tanpa sikap apriori, dihakimi, serta nilai dan sistem nilainya dihargai.
Hubungan “Saya dan Kamu” yang begini adalah hubungan “Saya dan Kamu“ yang adekuat.
Hubungan timbal balik “Saya dan Kamu “yang adekuat dan setara ini jelas sekali berbeda
dengan suatu hubungan “Saya dan Kamu” yang terjadi antara seseorang dengan hewan atau
benda mati, karena dalam bentuk hubungan ini tidak dapat terjadi dialog atau hubungan
timbal balik khas yang hanya dapat antara sesama manusia.
Berbeda dengan hubungan “Saya dan Kamu” yang adekuat, maka apa yang dinamakan
sebagai: hubungan “Saya dan Kamu” yang tidak adekuat, adalah hubungan dimana orang
kedua (Kamu) tidak diperlakukan sebagai manusia / subjek yang setara, melainkan sebagai
orang yang tidak dihargai kemanusiaannya dan diperlakukan seperti objek untuk
kepentingan “ Saya “ itu; contoh: pada situasi dimana seseorang memaksakan kehendaknya
pada orang lain, atau dimana orang itu tidak dihargai pendapat, perasaan, nilai, atau
martabatnya sebagai manusia yang berbeda.
Hubungan “Saya dan Kamu” juga berbeda dengan hubungan “Saya dan Dia”, atau
“Saya dan Itu” (I and It), karena pada hubungan macam ini tidak dapat terjadi suatu dialog
timbal balik yang adekuat.
Akibat hubungan “Saya dan Kamu“ yang adekuat, terjadi suatu relasi timbal balik dimana
orang kedua ( Kamu ) itu juga sebaliknya akan memperlakukan orang pertama ( Saya )
dalam suatu hubungan yang setara dan adekuat.
Jadi, agar terjadi hubungan “Saya dan Kamu “ yang adekuat harus dimulai dari pihak “Saya”
terlebih dahulu dan bukan berupa suatu sikap menunggu di pihak “ Saya “ agar orang kedua -
“Kamu”- yang memulai hubungan itu. (lihat penjelasan hal.13)
Dampak dari hubungan / komunikasi “ Saya dan Kamu “ yang adekuat dan yang
dimulai dari pihak “Saya” adalah terjadinya relasi / komunikasi yang nyaman, karena pihak
orang ke dua- “Kamu”- sebaliknya juga akan memperlakukan pihak “Saya” secara adekuat.
Dalam hubungan yang adekuat ini, ke dua pihak selama maupun pada akhir hubungan tidak
akan merasa tidak tertekan, karena dapat mengutarakan pendapatnya secara bebas tanpa rasa
takut dicela, serta dapat menjadi jati dirinya yang sejati. Demikian pula apabila terjadi suatu
penyelesaian masalah, tidak terjadi pemaksaan kehendak, melainkan berupa suatu
penyelesaian yang berdasarkan konsep “win-win solution , dimana kedua pihak merasa baik
/ nyaman ( feel good )
Jadi dasar dari hubungan “Saya” dan “Kamu” yang adekuat, tidak lain adalah hubungan yang
berdasarkan empati.
2. Hubungan antar manusia dalam konteks “ke-Kita-an” (4)
Hubungan “Saya dan Kamu” yang adekuat akan menghasilkan suatu bentuk hubungan yang
bersifat “ke-Kita-an”, karena bentuk hubungan ini mencakup hubungan “Saya” dengan
semua orang dengan identitas apapun sebagai sesama manusia, jadi hubungan macam ini
bersifat pluralistik / majemuk / multikultural (3) .
Dengan perkataan lain: dalam konteks hubungan “ke-Kita-an”, apapun identitas orang itu, ia
akan memperlakukan dirinya:
pertama tama : sebagai manusia
kedua: sebagai identitasnya ,
dan juga memperlakukan orang , kelompok lain :
pertama tama: sebagai manusia

5
kedua: sebagai identitasnya
Dalam hubungan yang bersifat “ ke-Kita-an “ tetap ada orang ketiga ( Dia ) , tetapi “Dia”
diperlakukan sebagai sesama manusia yang setara serta dihargai keunikan diri dan
identitasnya. Akibatnya, tiap orang dapat memperkembangkan serta mengaktualisasikan
dirinya sesuai dengan jati dirinya tanpa dipaksa harus menjadi sama dengan identitas orang
lain.
3. Hubungan antar manusia dalam konteks “ke-Kami-an” (4)
Hubungan yang bersifat “ke-Kita-an” berbeda dengan hubungan yang bersifat “ke-Kami-an
“. Landasan dari hubungan “ke-Kami-an” adalah: memperlakukan diri sendiri:
pertama tama: berdasarkan identitasnya
kedua : sebagai manusia
dan memperlakukan orang lain :
pertama tama: berdasarkan identitasnya
kedua: sebagai manusia
Bentuk hubungan “ke-Kami-an” secara wajar sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari,
karena memang adalah sifat manusia untuk mencari dan berkelompok dengan orang lain
yang sama dalam identitasnya, misalnya dalam hubungan keluarga, suku bangsa, agama,
profesi, kelompok sosial, olah raga, seni, hobi, ideologi, partai, dan sebagainya.
Dampak negatif dari hubungan “ke-Kami-an” yang ekstrem-eksklusif
Yang perlu diperhatikan adalah agar hubungan “ ke-Kami-an” tidak meniadakan hubungan
“ke-Kita-an” dengan orang atau kelompok lain yang berbeda identitas, sebab bila hal itu
terjadi, maka semua orang yang berbeda identitas dengan kelompok “kami” dikelompokkan
dalam kelompok “mereka”, atau “kaum itu” sehingga dalam keadaan ekstrem dapat terjadi
suatu hubungan yng bersifat : “Kami vs. Mereka /Kaum itu”
Bentuk ekstrem dari hubungan “Kami vs Mereka / Kaum itu” adalah sikap: stigmatisasi,
diskriminasi, sikap “ bigot “, pengelompokan dalam arti negatif, perkoncoan , pemaksaan
kehendak, berada di atas hukum, prasangka, kebencian, tindak kekerasan, peperangan,
pembunuhan terhadap orang yang termasuk dalam kelompok “Mereka / Kaum itu”
Dalam bentuk hubungan yang bersifat “ ke-Kami-an” yang ekstrem , orang ketiga (dia) /
berbeda identitasnya tidak diperlakukan sebagai sesama manusia , melainkan sebagai objek
atau orang yang dikucilkan. Apabila orang itu mau masuk dalam kelompok “Kami”, maka ia
harus merubah identitasnya agar menjadi sama seperti orang-orang dalam kelompok “Kami”.
Jelaslah dalam hubungan “ke-Kami-an” yang ekstrem , masing masing individu tidak dapat
berkembang dan mengaktualisaikan diri sesuai dengan jati dirinya, karena ia harus tunduk
kepada persamaan identitas yang sesuai “ke-Kami-an “ itu.
4. Hubungan antar manusia dalam konteks Hubungan Antar Sistem (sesuai General
Systems Theory - Ludwig von Bertalanffy) (5, 6)
“General Systems Theory”dipelopori oleh Ludwig von Bertalanffy (terbit 1936,
1968. Konsep Bertalanffy menjelaskan bahwa dunia (dan antariksa / universe) terdiri
dari sistem sistem yang saling berinteraksi dengan sistem lainnya baik dalam hubungan
horizontal maupun vertikal.
Yang dinamakan sistem adalah suatu kesatuan yang berfungsi mandiri, terdiri dari
elemen elemen yang lebih kecil yang hubungannya unik. Sistem itu berfungsi sebagai
sebuah kesatuan yang holistik dan yang tidak semata-mata merupakan penjumlahan
elemen-elemennya. Contoh: otak, mata, jantung merupakan sistem yang mandiri; fungsi
serta perkembangannya adalah sebagai sebuah kesatuan, dan bukan sekedar penjumlahan
dari elemen masing masing organ itu. Kita juga mengetahui bahwa fungsi otak, mata atau
jantung sebagai sistem sangat dipengaruhi secara horisontal oleh organ tubuh lainnya;
demikian pula secara vertikal ke bawah ke atas oleh fungsi biokimiawi sel-selnya
maupun secara vertikal dari atas ke bawah oleh manusia yang memiliki organ tubuhnya
itu.
Secara vertikal sistem itu mulai dari atom, molekul, sel, organ, manusia (atau
hewan, tumbuh-tumbuhan), dsb. Tiap sistem berfungsi sebagai suatu kesatuan dan
terbuka serta berinteraksi dengan sistem lainnya, serta mendapat energi positif atau
negatif dari sistem lainnya baik secara horizontal dan vertikal. Hubungan sistem secara
horisontal pada manusia misalnya: hubungan antar sistem saraf, sistem napas, sistem
kardiovaskular, sistem kemih, sistem pencernaan.
Beberapa contoh sistem dalam lingkungan hidup: sistem tubuh, sistem keluarga,
sistem kesehatan, sistem perbankan, sistem politik, sistem informasi, sistem tumbuh-
tumbuhan, sistem hewan, sistem irigasi.Ada pula interaksi antar sistem, misalnya ekologi.
Dalam kehidupan di dunia ini pelbagai sistem itu saling berinteraksi, berkembang
dan dipengaruhi (secara positif atau negatif) oleh sistem –sistem yang lain. Perilaku

7
manusia yang semena-mena terhadap lingkungan akan mempengaruhi ekologi, dan
kerusakan ekologi sebaliknya akan berpengaruh secara negatif terhadap manusia.
Secara garis besar hubungan vertikal / hierarkis antar sistem adalah sebagai
berikut:

Antariksa (universe)
Dunia
Hubungan internasional
Negara (Pemerintah)
Institut (mis. kementerian, departemen, pemerintah daerah, partai politik)
Komunitas
Kelompok masyarakat (mis. RT, RW, sekolah, universitas, IDI )
Keluarga
Individu
Organ (Alat / sistem tubuh)
Sel
Molekul
Atom

Bagan ini akan sangat membantu kita melihat bagaimana keseimbangan dan perubahan pada
satu sistem serta antar sistem dapat mempengaruhi sistem yang lain.
Dalam konteks hubungan antar sistem, hubungan yang bersifat empatik maupun yang non
empatik dari keluarga terhadap anggota keluarga; peraturan yang tidak manusiawi dari atasan
terhadap bawahan; peraturan pemerintah yang diskriminatif /menguntungkan sekelompok
masyarakat saja; peperangan antar suku, kelompok, bahkan perang antar negara akan
berdampak negatif terhadap rasa nyaman dan kebahagiaan orang sehingga akan
mempengaruhi kesehatan jiwa /mental dari orang dan masyarakat.
Beberapa contoh lain dapat dilihat dalam pertanyaan 7: Mengapa empati penting bagi
perkembangan kesehatan jiwa?
NILAI-NILAI YANG PERLU DIPERHATIKAN
Jadi, walaupun dalam hubungan antar manusia perlu masing-masing pihak menghargai nilai-nilai
pihak lain, tidak semua nilai-nilai dapat diterima, karena kita perlu perhatikan akan nilai –nilai
yang :
• membahayakan: jiwa / kehidupan, kesehatan, kesehatan jiwa diri sendiri atau orang lain.
• melanggar hak azasi manusia
• hanya mempromosikan hubungan “ke-Kami-an” yang ekstrem-ekslusif dan yang
sekaligus meniadakan hubungan “ ke-Kita-an”
Apabila hal-hal itu terjadi, perlu dilakukan pendekatan dengan cara :
• dialog non kekerasan dan bersifat manusiawi ,
• membantu timbulnya kesadaran ( awareness ) akan dampak negatif hal hal itu ,
• membantu menyadari bahwa ada nilai , perilaku dan cara alternatif yang tidak
membahayakan jiwa , kesehatan , kesehatan jiwa , atau tidak melanggar hak hak azasi
manusia

BEBERAPA CONTOH HUBUNGAN ANTAR MANUSIA DAN KOMUNIKASI YANG


BERDASARKAN EMPATI:
1. Memperlakukan orang lain sebagai sesama manusia yang setara, terlepas dari identitasnya,
tanpa prasangka atau sikap menghakimi
2. Menghargai perbedaan pendapat dalam komunikasi
3. Tidak memaksakan kehendak
4. Tidak bersikap apriori / berprasangka, dengan perkataan lain: bersikap netral dalam
melakukan relasi. Jadi, hal ini berbeda dengan sikap yang dilandasi oleh preokupasi,
prasangka, sikap menghakimi, atau anggapan: “Cukup dengan melihat saja, saya sudah
tahu”. Sikap preokupasi itu dapat juga berupa sikap apriori, sikap essensialitik
/menyamaratakan, sikap diskriminatif, atau sikap yang berlandaskan upaya mencari
interpretasi atau mencari maksud-maksud terselubung dari suatu fenomena atau gejala yang
ada (termasuk sudah berprasangka semata-mata hanya dari penampakan atau identitas
seseorang). Sikap yang demikian akan mengakibatkan apa yang ada didepan mata secara
here and now luput dari perhatian. Jadi, yang perlu dilakukan adalah bersikap dan
melakukan pendekatan fenomenologis (7, 9) dengan menggunakan semua indra persepsi

9
(indra penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, pengecapan) terhadap fenomema
dari orang itu , lalu dengan melakukan komunikasi, wawancara atau berdialog yang bersifat
interaktif, baru kita dapat mengambil suatu kesimpulan tentang orang itu
5. Berusaha mengerti cara berpikir, perasaan (termasuk kekuatiran, ambivalensi / perasaan
mendua, kecurigaan, rasa malu, takut dihina, dicela, dsb) dari orang lain.
6. Menghargai nilai-nilai orang itu
7. Dapat menyatakan pendapat dan menjadi pendengar yang baik dalam komunikasi
8. Kalau dalam komunikasi itu diperlukan suatu penyelesaian masalah, maka ke dua
pihak akan saling menghargai dan berada sebagai orang yang setara , sedangkan
hasilnya tidak dipaksakan, melainkan merupakan kesepakatan yang sesuai dengan
ke dua pihak dan dapat diterima dan cocok bagi ke dua pihak itu.
Hasil akhir adalah suatu: “win – win solution “ bagi ke dua pihak.
9. Dalam hubungan dokter-pasien, dokter hendaklah memperlakukan dirinya pertama-tama
sebagai manusia yang kebetulan beridentitas / berprofesi dokter, dan memperlakukan
pasien pertama- tama sebagai manusia yang kebetulan berstatus pasien. Jadi hal itu jelas
berbeda dengan paradigma : “Saya ini dokter, kamu ini pasien” yang menomorsatukan
identitasnya, lebih-lebih lagi kalau pasien diperlakukan sebagai objek semata-mata.
Keadaan itu akan menjadi lebih parah lagi kalau dokter hanya mengobati organ/alat tubuh
pasien saja. Dalam membuat suatu penilaian dan rumusan bagi pasien, hendaklah hal itu
dilakukan secara komprehensif, yaitu memperhatikan semua aspek bio-psiko-sosial pasien
dan melihat / memperlakukan pasien sebagai orang yang unik / khas dirinya.
10. Kalau dokter atau konselor mempunyai suatu rumusan atau program terapi yang dianggap
baik, hendaklah hal dilakukan dengan kesepakatan pasien berdasarkan pilihan dan
keputusan yang mandiri dari pihak pasien (bukan karena bujukan oleh terapis / konselor).
Keputusan pasien itu termasuk juga membantu agar pasien secara sadar (aware) dan
bertanggung jawab memeluk baik risiko positif maupun risiko negatif dari pilihan dan
keputusannya untuk menjalankan terapi / konseling Demikian pula pelaksanaan terapi /
konseling perlu selalu disesuaikan dengan kondisi pasien.(7)
Sementara terapi atau konseling dilakukan, hendaklah terapis tetap bersikap sensitif dan
berempati dengan segala hal, termasuk pelbagai perasaan pasien yang terjadi selama terapi
/ konseling berlangsung.
11. Dalam hubungan orang tua – anak misalnya, orang tua tidak memperlakukan anaknya
sebagai ekstensi atau sambungan dari dirinya. Orang tua perlu menyadari bahwa walaupun
orang tua sangat menyayang anaknya, anaknya itu adalah seorang manusia lain yang
mempunyai pikiran, perasaan dan cita-cita / keinginan yang seringkali berbeda dengan
orang tuanya .
12. Dalam hubungan antar sistem, misalnya antar keluarga, institut, organisasi, kelompok,
partai, agama, atau instansi, hendaklah tidak menganggap pihak lain sebagai “musuh” atau
saingan yang harus dikalahkan atau dihabisi, melainkan melakukan pendekatan
persaudaraan yang pluralistik /multikultural atas dasar konsep: “ke-Kita-an“ , dengan
tujuan kemajuan dan kesejahteraan seluruh rakyat, bukan hanya bagi kelompok / golongan
sendiri atau kelompok mayoritas.
13. Pembuatan serta pelaksanaan suatu peraturan atau perundang-undangan oleh yang
berwenang , juga harus dibuat sedemikian rupa agar bersifat : “politically correct “ (yang
berarti tidak melecehkan, menstigmatisasikan atau menyamaratakan atau membedakan
orang / kelompok berdasarkan identitas), tapi bertujuan untuk mensejahterakan seluruh
kelompok dalam masyarakat yang pluralistik serta tidak memenangkan satu kelompok atau
memojokkan satu atau lebih kelompok masyarakat walaupun kelompok itu merupakan
kelompok yang kecil.

4. Anamnesis
Anamnesis merupakan kumpulan informasi subjektif yang diperoleh dari apa yang
dipaparkan oleh pasien terkait dengan keluhan utama yang menyebabkan pasien mengadakan
kunjungan ke dokter. Anamnesis diperoleh dari komunikasi aktif antara dokter dan pasien atau
keluarga pasien. Anamnesis yang baik untuk seorang dewasa mencakupi keluhan utama,
informasi mengenai kelainan yang dialami sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat
keluarga, dan informasi mengenai keadaan tiap sistem tubuh pasien.
Sebagai seorang dokter, anda akan membutuhkan keterampilan interpersonal yang
dibutuhkan seriap hari dengan variasi yang unik dan beragam. Tidak seperti percakapan sosial,
dimana anda memaparkan kebutuhan dan minat anda sendiri, anamnesis bertujuan untuk
memperbaiki kualitas hidup pasien. Komunikasi dan menjalin hubungan terapeutik dengan
pasien merupakan suatu keterampilan yang sangat berharga dalam perawatan primer. Pada

11
mulanya, anda akan berfokus untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dan secara
bersamaan, anda menggunakan teknik untuk mengembangkan kepercayaan pasien terhadap
anda. Menciptakan interaksi supportif akan mempercepat pengumpulan informasi dan memicu
pasien untuk memberikan penjelasan yang menyeluruh.
Sebagai dokter yang memfasilitasi wawancara pada pasien, anda akan menciptakan suatu
rangkaian hipotesis mengenai penyebab timbulnya keluhan pasien. Anda kemudian akan
membuat beragam dugaan dengan menyakan lebih banyak informasi yang lebih detail. Anda
juga akan mengeksplorasi perasaan pasien dan kepercayaan mengenai masalahnya tersebut.
Walaupun hanya sedikit yang dapat dilakukan terhadap keadaan pasien, mendiskusikan
mengenai pengalaman pasien dengan penyakitnya tersebut dapat bersifat terapeutik.
I. Melakukan Anamnesis Komprehensif
A. Komponen Anamnesis Komprehensif
Komponen anamnesis komprehensif akan menyusun informasi yang diperoleh dari pasien
menjadi lebih sistematis. Akan tetapi ulasan dibawah ini sebaiknya tidak mendikte rangkaian
anamnesis yang akan anda lakukan diklinik, karena biasanya wawancara akan lebih bervariasi
dan anamnesis harus lebih dinamis mengikuti kebutuhan pasien. Komponen anamnesis
komprehensif mencakup :
1. Mencantumkan tanggal pengambilan anamnesis
Mencantumkan waktu pengambilan sangat penting dan pertama kali dilakukan pada saat
mencatat hasil anamnesis yang dilakukan pada pasien, terutama dalam keadaan darurat atau pada
rumah sakit.
2. Mengidentifikasi data pribadi pasien
Komponen ini mencakup nama, usia, jenis kelamin, status pernikahan, dan pekerjaan. Sumber
informasi dapat diperoleh dari pasien sendiri, anggota keluarga atau teman, atasan, konsultan,
atau data rekam medis sebelumnya.
3. Tingkat Reliabilitas (Dapat dipercaya atau tidak)
Sebaiknya dicatat jika dapat diketahui. Komponen ini penting untuk menentukan kualitas dari
informasi yang diberikan oleh pasien dan biasanya ditentukan pada akhir anamnesis. Pasien yang
ragu-ragu dalam menjelaskan gejala yang dialami dan tidak dapat menjelaskan secara detail apa
yang dirasakan, mencerminkan bahwa informasi yang diperoleh dari anamnesis tidak dapat
dipercaya sepenuhnya. Sebaliknya, pasien dengan yang menjelaskan keluhan yang dirasakan
secara rinci dan meyakinkan mencerminkan kualitas informasi yang dapat dipercaya. Kedua
keadaan tersebut hanyalah contoh, masih banyak keadaan dari pasien yang dapat
memperlihatkan tingkat reliabilitas informasi yang diberikan pada anamnesis.
4. Keluhan Utama

Keluhan utama merupakan salah satu dari beberapa keluhan lainnya yang paling dominan
sehingga mengakibatkan pasien melakukan kujungan klinik. Usahakan untuk
mendokumentasikan kata-kata asli yang dipaparkan oleh pasien, misalnya “sakit perut” atau
“badan panas”. Terkadang pasien yang datang tidak memiliki keluhan yang jelas seperti pada
pemeriksaan rutin berkala dan pemeriksaan kepegawaian.
5. Anamnesis terpimpin

Anamnesis terpimpin merupakan infomasi yang lengkap, jelas, detail, dan bersifat kronologik
terkait dengan keluhan utama yang dialami pasien. Komponen ini harus mencakupi onset
keluhan, keadaan yang memicu terjadinya keluhan, manifestasinya, dan pengobatan yang telah
dilakukan. Gejala yang didapatkan harus memiliki karakteristik yang menjelaskan (1) lokasi; (2)
kualitas; (3) kuantitas atau keparahan; (4) waktu yang mencakup onset, durasi, dan frekuensi; (5)
keadaan yang memicu terjadinya keluhan; (6) faktor lain yang memperberat atau memperingan
gejala; (7) gejala lain yang terkait dengan keluhan utama. Pengobatan yang telah dikonsumsi
sebaiknya didokumentasi, termasuk nama obat, dosis, cara pemberian, dan frekuensi. Catat pula
mengenai vitamin, mineral, atau suplemen herbal, dan obat KB. Meminta pasien membawa
seluruh obat yang dikonsumsi merupakan ide yang baik agar anda dapat secara langsung melihat
obat apa yang digunakan. Alergi, termasuk reaksi spesifik untuk suatu pengobatan seperti gatal
atau mual, harus ditanyakan, begitupula alergi terhadap makanan, serangga, atau faktor
lingkungan lainnya. Tanyakan pula mengenai kebiasaan merokok, termasuk jumlah dan jenis
rokok yang dikonsumsi. Jika ia telah atau pernah berhenti, tanyakan sejak kapan ia berhenti dan
seberapa lama.
6. Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit pada masa kecil seperti cacar, rubella, mumps, polio, dll perlu ditanyakan dalam
anamnesis. Termasuk penyakit kronis yang dialami sejak masa kecil. Selain itu, informasi
mengenai riwayat penyakit pada masa dewasa perlu didapatkan dan mencakup empat hal yaitu
sebagai berikut

13
a. Riwayat medis, tanyakan mengenai adanya diabetes, hipertensi, asma, hepatitis, HIV, dan
informasi riwayat opname.
b. Riwayat operasi, tanyakan mengenai waktu, indikasi, dan jenis operasi yang dilakukan
c. Riwayat ginekologis, tanyakan mengenai riwayat obstetrik, riwayat menstruasi, keluarga
berencana, dan fungsi seksual
d. Riwayat Psikiatrik, tanyakan mengenai waktu, diagnosis, riwayat opname, dan pengobatan
yang dijalani
Selain keempat hal tersebut anda juga perlu memperoleh infomasi mengenai vaksinasi yang telah
dilakukan, dan hasil pemeriksaan skrining yang pernah dijalani pasien.

7. Riwayat Penyakit Pada Keluarga


Dalam memperoleh informasi ini, tanyakan mengenai usia, penyebab kematian, atau penyakit
yang dialami oleh keluarga terdekat pasien seperti orang tua, kakek-nenek, saudara, anak, atau
cucu. Tanyakan mengenai keberadaan penyakit atau keadaan yang dicantumkan berikut:
hipertensi, penyakit jantung koroner, dislipidemia, stroke, diabetes, gangguan thyroid atau ginjal,
kanker, arthritis, tuberkulosis, asma atau penyakit paru lainnya, sakit kepala, kejang, gangguan
mental, kecanduan obat-obatan, dan alergi, serta keluhan utama yang dilaporkan oleh pasien.

8. Kepribadian dan Riwayat Sosial


Hal ini mencakup kepribadian pasien dan minat, sumber dukungan, cara mengatasi masalah,
kekuatan, dan ketakutan. Sebaiknya ditanyakan mengenai: pekerjaan dan tingkat pendidikan;
sumber stress, baik yang baru muncul atau yang telah kronik; pengalaman hidup penting;
kegiatan pengisi waktu, dan aktivitas hidup sehari-hari (activities of daily living/ADL). Fungsi
dasar minimal harus ditanyakan, terutama pada pasien lansia dan orang cacat. Kepribadian dan
riwayat sosial juga melingkupi kebiasaan hidup yang sehat atau menciptakan resiko, seperti
olahraga atau pola makan, tanyakan frekuensi olahraga, pola makan harian, suplemene,
konsumsi kopi atau teh. Anda dapat pula menanyakan riwayat pengobatan alternatif yang pernah
diikuti pasien.
B. PROSEDUR PELAKSANAAN KETRAMPILAN KLINIK
1. Alat dan bahan
a. Catatan dokter atau rekam medis
b. alat tulis
2. Tahap persiapan
a. Sebelum mengikuti kegiatan empati dan sambung rasa, peserta didik mempelajari teori
dasar-dasar komunikasi dari referensi yang dianjurkan. Instruktur akan mereview hal-hal
yang dianggap penting pada awal pertemuan sesi diskusi terbimbing dan simulasi.
b. Untuk berlatih empati dan sambung rasa, setelah instruktur member contoh, peserta didik
berlatih berpasangan dengan teman, satu orang sebagai dokter, satu orang sebagai pasien
dengan menggunakan prosedur pelaksanaan sebagai acuan. Lakukan bergantian, bila satu
pasang mahasiswa sedang berlatih, teman dalam kelompok menyaksikan dan setelah itu
memberi masukan.
c. Mengecek alat dan bahan untuk latihan
d. Instruktur menjelaskan tahapan bimbingan yaitu demonstrasi oleh instruktur dilanjutkan
dengan kegiatan mandiri.
3. Tahap pelaksanaan
3.1. Basic medical interview
Instruktur akan melatihkan ketrampilan empati dan sambung rasa dengan meminta
peserta didik untuk saling berlatih peran (role play) dengan beberapa contoh skenario.
Peserta didik diminta untuk melakukan sambung rasa dengan prosedur berikut ini :
a. Mengawali pertemuan :
1) Menyapa pasien, mengucapkan salam dan memperkenalkan diri.
2) Menanyakan identitas pasien ( nama lengkap, tempat tanggal lahir, alamat lengkap,
dan pekerjaan).
3) Menanyakan maksud kedatangan pasien
4) Memberi situasi yang nyaman bagi pasien
5) Menunjukkan sikap empati dan dapat dipercaya
6) Membuat dan menegosiasikan agenda pertemuan

15
b. Mendengarkan aktif
1) Berkonsentrasi pada pembicaraan
2) Melakukan kontak mata
3) Memperlihatkan minat pada pembicaraan
4) Memperlihatkan sikap tubuh sesuai pembicaraan
5) Mendorong lawan bicara mengungkapkan isi pikirannya
6) Menanyakan kejelasan
7) Menanyakan secara detail
8) Meninggalkan asosiasi dan opini
9) Menjaga emosi
10) Tidak terburu-buru dan member jeda bila diperlukan
c. Melakukan wawancara untuk menggali informasi
d. Menutup pertemuan :
1) Membuat ringkasan dan menyimpulkan kembali masalah pasien, kekhawatiran dan
harapannya.
2) Menanyakan apabila ada hal-hal yang terlewat belum disampaikan pasien kepada
dokter
3) Melakukan signposting untuk tahap pemeriksaan selanjutnya.
4. Interpretasi hasil
Pada saat melakukan komunikasi dengan pasien, seorang dokter dari tahap awal
pertemuan harus membangun sambung rasa dengan pasien untuk menjalin kepercayaan dan
situasi nyaman selama proses konsultasi berlangsung. Kendala di Asia Tenggara, termasuk
Indonesia, jarak hirarki antara dokter-pasien yang begitu jauh masih sering ditemui karena
adanya perasaan posisi dokter yang terlalu tinggi atau kesungkanan pasien terhadap dokter itu
sendiri. Hal yang harus dilatih oleh seorang calon dokteruntuk dari awal memposisikan dokter-
pasien secara setara sebagai mitra sehingga komunikasi dapat berlangsung dua arah dengan baik.
Kesalahan yang sering ditemui dalam proses konsultasi juga adalah kurangnya kontak
mata dokter karena fokus pada catatan atau kegiatan lain yang mengganggu misalkan menerima
telepon saat sesi wawancara berlangsung, atau perawat yang keluar masuk ke ruang konsultasi.
Skenario 1
Bapak Nyoman usia 60 tahun, penduduk desa Silangjana yang mempunyai sifat pemarah. Dia
sangat kaya, namun kadang arogan, memandang rendah orang lain karena menganggap dirinya
paling terkenal di desa itu. Dia adalah penderita hipertensi sejak 5 tahun. Apabila sakit dia selalu
memeriksakan diri ke dokter spesialis di rumah sakit swasta di kota dengan alasan tidak mau
antri lama dan tidak percaya dengan obat-obat puskesmas yang harganya murah. Suatu ketika,
penyakit pak Andi kambuh, dia merasakan sakit kepala dan kuduknya kaku. Sopir pribadinya
tidak masuk sehingga tidak ada yang mengantar ke kota. Terpaksa pak Andi mendatangi
puskesmas. Puskesmas saat itu penuh dengan pasien. Pak Nyoman tidak sabar dan terlihat
gelisah, berulangkali dia marah-marah pada petugas loket. Setelah 1 jam menunggu, tiba giliran
pak Nyoman masuk ruang dokter dengan wajah emosi. Sebagai dokter puskesmas tersebut, apa
yang anda lakukan?
Skenario 2
Ibu Made usia 40 tahun, warga Banjar Peguyangan yang memiliki sifat pendiam. Sehari hari dia
bekerja sebagai tukang jahit di kampungnya. Saat ini dia mengeluh ada gangguan pada haid yang
dialaminya. Karena memiliki sifat pemalu dan pendiam, dia sulit berkomunikasi dengan
sesamanya. Awalnya dia tidak mau dating ke puskesmas untuk memeriksakan kondisinya.
Setelah disarankan oleh temannya barulah Bu Made mau dating berobat ke puskesmas. Sebagai
dokter puskesmas apakah yang harus dilakukan menghadapi kondisi pasien seperti ini?

Skenario 3

Pak Dharma usia 41 tahun seorang warga dari banjar Astina. Karena kesibukannya sebagai sopir
kendaraan angkutan antar kota, beliau sering berpindah pindah tempat. Di setiap kota yang
dikunjunginya tidak lupa dia bergaul dan berkenalan dengan banyak orang. Namun demikian
Pak Dharma memiliki kebiasaany yang kurang baik yaitu sering “jajan” di sembarang tempat.
Setelah ditanyakan mengapa melakukan hal tersebut, dijawab bahwa dia sudah lama bercerai
dengan istrinya. Hari ini dia dating ke puskesmas karena mengalami keluhan nyeri saat kencing.
Ternyata saat diperiksa oleh dokter beliau terkesan malu untuk menceritakan apa yang dialami
sebelumnya. Sebagai dokter puskesmas apakah yang akan dilakukan terhadap pasien seperti Pak
Dharma?

17
LEMBAR EVALUASI

CHECK LIST PENILAIAN


KETRAMPILAN EMPATI DAN SAMBUNG RASA

No. ASPEK PENILAIAN SKOR


0 1 2
I MENGAWALI PERTEMUAN
1. Menyapa pasien,megucapkan salam, dan memperkenalkan diri
2. Menanyakan identitas pasien
3. Menanyakan maksud kedatangan pasien
4. Memberi situasi yang nyaman bagi pasien
5. Menunjukkan sikap empati dan dapat dipercaya
6. Membuat dan menegosiasikan agenda pertemuan
II MENDENGARKAN AKTIF
7. Berkonsentrasi pada pembicaraan
8. Melakukan kontak mata
9. Memperlihatkan minat pada pembicaraan
10. Memperlihatkan sikap tubuh sesuai pembicaraan
11. Mendorong lawan bicara mengungkapkan isi pikirannya
12. Menanyakan kejelasan
13. Bertanya secara detail
14. Meninggalkan asosiasi dan opini
15. Menjaga emosi
16. Tidak terburu-buru dan member jea bila diperlukan
III ETIKA KOMUNIKASI
17. Memelihara dan menjaga harga diri pasien, hal-hal yang
bersifat pribadi dan kerahasiaan pasien sepanjang waktu
18. Memperlakukan pasien sebagai mitra sejajar dan minta
persetujuannya dalam memutuskan suatu hal
IV MELAKUKAN KOMUNIKASI UNTUK MENGGALI
INFORMASI
19. Melakukan komunikasi terkait keluhan pasien
V MENUTUP PERTEMUAN
20. Membuat ringkasan dan menyimpulkan kembali masalah
pasien, kekhawatiran dan harapannya.
21. Menanyakan apakah ada yang terlewat
22. Melakukan signposting untuk tahap pemeriksaan selanjutnya
JUMLAH SKOR
Keterangan: 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑘𝑜𝑟 𝑥 100
Nilai Akhir= 44
1 : tidak dilakukan
2 : dilakukan, tidak benar
3 : dilakukan dengan benar
DAFTAR PUSTAKA

1. Dianne Berry 2007. Health Communication: Theory and Practice. McGraw-Hill


Education, New York, NY.
2. Freedman, J. M.D, 2010. The Medical School Interview, MedEdits Publishing
3. Coulehan,J.L and Block, M.R. 2006. The Medical Interview, F.A Davis Company,
Philadelphia.
4. Cole, S and Bird, J, 2013. The Medical Interview 3rd Edition, Elsevier

19

Anda mungkin juga menyukai