Anda di halaman 1dari 10

MODUL 1

Proses Pembelajaran
dan Continuing Professional Development
SKENARIO 1 : Pengalaman Belajar di FK

dr. Yati, ketua Medical Education Unit (MEU) memberikan pengarahan kepada mahasiswa
baru FK. dr. Yati memberikan sejumlah penjelasan tentang standar pendidikan kedokteran
menurut World Federation Medical Education, perubahan kurikulum pendidikan kedokteran di
Indonesia, SKDI serta perubahan paradigma pendidikan kedokteran yang student centered
learning.
dr. Yati selanjutnya menunjukkan video simulasi salah satu aktivitas pembelajaran di FK,
yaitu aktivitas tutorial dengan strategi PBL. dr. Yati menyebutkan bahwa aktivitas tutorial
berguna untuk melatih soft skill yaitu kepemimpinan dan team work. Salah satu mahasiswa baru,
Putra bertanya kepada dr. Yati, apakah benar mereka akan menggunakan metode seven jumps
dalam tutorial dan akan sering membuka kamus untuk mencari berbagai definisi terminologi
seperti kata anterior, inferior, distal, sagital, dan lain-lain? dr. Yati juga mengingatkan
mahasiswa baru bahwa metode evaluasi di FK tidak hanya berupa ujian tulis, tapi juga ujian
keterampilan klinik dan penilaian selama proses tutorial.
Pada sesi selanjutnya, dr. Yati memberikan penjelasan bahwa mahasiswa dipacu untuk
mandiri dan mampu menilai kemampuannya sendiri serta menanamkan pemahaman tentang
belajar sepanjang hayat. Ia juga menjelaskan pentingnya Continuing Profesional Development
(CPD), walaupun sudah jadi dokter nantinya harus tetap mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran misalnya dengan mengikuti simposium, workshop, kursus, dan lain-lain. Setelah
selesai memberikan materi, dr. Yati bergegas ke Rumah Sakit untuk mengikuti workshop
Evidence Based Medicine (EBM).
Bagaimana anda menjelaskan pendidikan di FK?

Jump 1: Terminologi
1. Medical Education Unit: unit yang menyelenggarakan dan menetapkan kurikulum pendidikan
kedokteran
2. World Federation Medical Education : Organisasi internasional yang menjadi pedoman
Fakultas Kedokteran di seluruh dunia
3. student centered learning : Sistem pembelajaran dengan mahasiswa yang aktif mencari
informasi dengan mandiri
4. PBL: ( Problem Based Learning ), Sistem pembelajaran dimana mahasiswa dituntut memecahkan
masalah
5. Anterior: merujuk arti bagian depan suatu organ
6. Inferior: bagian bawah dari suatu organ; kebalikan superior
7. Distal : menjauh dari poros (tubuh); kebalikan proksimal
8. Sagital : potongan yang membagi tubuh kiri dan kanan
9. Continuing Profesional Development : kegiatan yang dilakukan untuk melanjutkan dan
mengembangkan kemampuan dan pengetahuan keterampilan dalam kerja
10. simposium : pertemuan yang dilakukan dengan menghadirkan pembicara yang ahli di
bidangnya
11. workshop : perkumpulan ahli-ahli dalam suatu tempat untuk bertukar informasi
12. Evidence Based Medicine : proses yang digunakan secara sistematik untuk melakukan
evaluasi, menemukan dan menelaah dengan memanfaatkan hasil studi sebagai dasar dan
pengambilan keputusan klinik

JUMP 2: RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana standar pendidikan dokter menurut WFME ?


2. Kenapa dilakukan perubahan kurikulum pendidikan kedokteran?
3. Kenapa CPD perlu ditanamkan pada Mahasiswa?
4. Kenapa mahasiswa perlu belajar secara mandiri?
5. Apa manfaat dari workshop dan simposium?
6. Apa manfaat dari EBM ?
JUMP 3 : HIPOTESIS

1.Standar pendidikan Indonesia mencakup:

Pendidikan dasar

Standar past education

2. Saat ini kurikulum pendidikan kedokteran di Indonesia (meski belum semua fakultas kedokteran
menerapkannya) menganut sistem pembelajaran berdasarkan pendekatan/strategi SPICES (Student-
centered, Problem-based, Integrated, Community-based, Elective/Early Clinical Exposure, Systematic).
Sistem pendidikan tersebut dapat juga disebut kurikulum berbasis kompetensi. Dengan sistem
kurikulum berbasis kompetensi tersebut maka sistem pendidikan yang diterapkan akan lebih
terintegrasi. Kurikulum Berbasis Kompetensi yang merupakan Kurikulum Inti Pendidikan Dokter
Indonesia 3 (KIPDI 3), meliputi: 1. Kurikulum Nasional Berbasis Kompetensi dengan Pelayanan
Kedokteran Keluarga; 2. Standar Pelayanan Minimal (SK Menkes No.1457/MOH/SK/X/2003) untuk
mencapai Indonesia Sehat 2010; dan 3. Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI).

3. CPD merupakan upaya Pembinaan bersistem untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan
, ketrampilan , sertasikap dokter agar senantiasa dapat menjalankan profesinya dengan baik.Program
Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan juga merupakan bagian integral dari mekanisme
pemberian izin praktik. (PB IDI,2007)

4. Dengan belajar mandiri seorang mahasiswa dapat mencari informasi yang diperlukan. Informasi yang
diperlukan dapat berupa informasi yang masih kurang dipahami saat tutorial dan dapat diskusi kembali

5. Dapat diperolehnya informasi baru atau mendapat pemecahan dari sebuah masalah, dikarenakan
adanya proses tukar pikiran antar audience yang hadir. Pada simposium pertemuan dengan beberapa
pembicara yang mengemukakan pidato singkat tentang topik tertentu atau tentang beberapa aspek dari
topik yang sama; kumpulan pendapat tentang sesuatu, terutama yang dihimpun dan diterbitkan;
kumpulan konsep yang diajukan oleh beberapa orang atas permintaan suatu panitia. Dan pada
workshop akan tercipta sebuah diskusi.

6. EBM sendiri merupakan hasil dari pada penelitian-penelitian kedokteran dan literatur-literatur
(individual atau group), sehingga dapat membantu dokter:

 Menentukan diagnosis yang tepat,


 Memilih rencana pemeriksaan terbaru,
 Memilih terapi terbaru
 Memilih metode pencegahan penyakit terbaru
Kurikulum Pendidikan Kedokteran WFME

Indonesia

PBL SKDI
JUMP 4 : SKEMA
(Problem Based Learning)

Melatih Softskills SCL

(Student Centered Learning)

Evaluasi EBM

CPD

JUMP 5 : LO

1. MEU
2. PBL
3. SCL
4. EBM

JUMP 6: SEARCH INFORMATION

1. MEU ( Medical Education Unit )


Unit Pendidikan Kedokteran atau Medical Education Unit (MEU) dibentuk berdasar SK Dekan dan
mengacu kepada Standar Pendidikan Profesi Dokter Indonesia. MEU berperan dalam pengelolaan
kurikulum mencakup juga pengelolaan assessment, pengembangan sumber daya manusia mencakup
dosen, tutor dan instruktur serta sarana dan prasarana berkoordinasi dengan Prodi. Hal ini tampak
dalam struktur organisasi MEU yang terdiri atas kepala MEU, sub unit kurikulum, sub unit assessment
dan sub unit SDM dan sarana prasarana. Kepala MEU adalah seseorang dengan kompetensi keilmuan
tentang Pengembangan Pendidikan Kedokteran. Keanggotaan MEU terdiri dari beberapa disiplin ilmu.

perencanaan pembelajaran, assessment, SDM beserta sarana prasarana pembelajaran dikembangkan


oleh MEU bersama Prodi. Selama pelaksanaan pembelajaran, MEU terus mengadakan pengawalan,
dengan membuat log book beserta dokumen pemantauan pelaksanaan yang selanjutnya digunakan
sebagai bahan untuk evaluasi pelaksanaan kegiatan. Secara keseluruhan, tampak bahwa peran MEU
dalam perencanaan, penyusunan strategi pelaksanaan, evaluasi, dan pengembangan pembelajaran
secara berkelanjutan.

( Sumber: https://fk.uii.ac.id/medical-education-unit/)

2. PBL ( PROBLEM BASED LEARNING )1. Pengertian Problem Based Learning (PBL)

Problem Based Learning (PBL) merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat menolong siswa
untuk meningkatkan keterampilan yang dibutuhkan pada pada era globalisasi saat ini. Problem Based
Learning (PBL) dikembangkan untuk pertama kali oleh Prof. Howard Barrows sekitar tahun 1970-an
dalam pembelajaran ilmu medis di McMaster University Canada (Amir, 2009 ,h. 124). Model
pembelajaran ini menyajikan suatu masalah yang nyata bagi siswa sebagai awal pembelajaran kemudian
diselesaikan melalui penyelidikan dan diterapkan dengan menggunakan pendekatan pemecahan
masalah.Dari beberapa uraian mengenai pengertian Problem Based Learning dapat disimpulkan bahwa
Problem Based Learning merupakan model pembelajaran yang menghadapkan siswa pada masalah
dunia nyata (real world) untuk memulai pembelajaran dan merupakan salah satu model pembelajaran
inovatif yang dapat memberikan kondisi belajar aktif kepada siswa. Problem Based Learning adalah
pengembangan kurikulum dan proses pembelajaran. Dalam kurikulumnya, dirancang masalah-masalah
yang menuntut siswa mendapatkan pengetahuan yang penting, membuat mereka mahir dalam
memecahkan masalah, dan memiliki strategi belajar sendiri serta kecakapan berpartisipasi dalam tim.
Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistemik untuk memecahkan masalah atau

tantangan yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.

2. . Tahap-Tahap dalam Problem Based LearningPelaksanaan model Problem Based Learning terdiri dari
5 tahap proses, yaitu :

Tahap pertama, adalah proses orientasi peserta didik pada masalah. Pada tahap ini guru menjelaskan
tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang diperlukan, memotivasi peserta didik untuk terlibat
dalam aktivitas pemecahan masalah, dan mengajukan masalah.
Tahap kedua, mengorganisasi peserta didik. Pada tahap ini guru membagi peserta didik kedalam
kelompok, membantu peserta didik mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah.

Tahap ketiga, membimbing penyelidikan individu maupun kelompok. Pada tahap ini guru mendorong
peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan, melaksanakan eksperimen dan
penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

Tahap keempat, mengembangkan dan menyajikan hasil. Pada tahap ini guru membantu peserta didik
dalam merencanakan dan menyiapkan laporan, dokumentasi, atau model, dan membantu mereka
berbagi tugas dengan sesama temannya.

Tahap kelima, menganalisis dan mengevaluasi proses dan hasil pemecahan masalah. Pada tahap ini
guru membantu peserta didik untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap proses dan hasil
penyelidikan yang mereka lakukan. (Trianto, 2007 h. 70 )

( Sumber : repository.unpas.ac.id )

3. SCL ( Student Centered Learning)

Student Centered Learning didefinisikan sebagai salah satu carabelajar yang membuat mahasiswa
menjadi bagian penting atau bagian utama atau berpengaruh pada isi dari materi, kegiatan, dan materi
itu sendiri serta kecepatan berpengaruh dalam belajar.Melalui metode pembelajaran ini, mahasiswa
mengambil peran utama atau menjadi pusat dalam proses pembelajaran, maka apapun yang
bersangkutan dengan materi pembelajaran mahasiswa harus mandiri dalam mencari sumber – sumber
dan referensi belajar dengan bimbingan dari dosen. Maka dosen tersebut dapat disebut juga fasilitator
yang berperan untuk memfasilitasi apa yang telah mahasiswa cari.Dibandingkan dengan sistem
pembelajaran Teacher Centered Learning (TCL) yang berpusat pada Dosen sebagai sumber informasi,
Student Centered Learning (SCL) membuat pemahaman mahasiswa lebih dalam dan lebih spesifik
mengenai bidang yang ditekuni dengan menjadikan mahasiswa sebagai pusat pembelajaran, sehingga
pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas mahasiswa itu sendiri. Sebagai sebuah metode
pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa, beberapa karakteristik yang membedakan SCL dengan
sistem pembelajaran lain adalah sebagai berikut 1. Pembelajaran AktifPembelajaran aktif merupakan
pembelajaran yang terjadi saat para mahasiswa diberi kesempatan untuk berinteraksi lebih dengan
sesama mahasiswa atau dengan dosen tentang pokok pembahasan yang sedang dihadapinya,
mengembangkan pengetahuan, tidak sekedar menerima informasi dari dosen saja.2. Pembelajaran
InteraktifDalam pembelajaran interaktif setiap mahasiswa harus mengerjakan sesuatu, sesuai dengan
materi yang sedang dipelajarinya.3. Pembelajaran Mandiri

mandiri adalah suatu pendekatan pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa di mana proses dan
pengalaman belajar diatur dan dikontrol oleh mahasiswa sendiri.

4. Pembelajaran Kolaboratif
Pembelajaran kolaboratif adalah metode yang membuat mahasiswa dari berbagai macam latar belakang
bekerjasama dalam kelompok kecil untuk mencapai tujuan pembelajaran secara umum. Para
mahasiswa, secara bersama-sama bertanggung jawab sepenuhnya atas proses pembelajaran yang
mereka laksanakan. Keberhasilan seorang mahasiswa merupakan keberhasilan kawannya.5.
Pembelajaran Kooperatif

Dalam pembelajaran kooperatif kelompok mahasiswa akan memperoleh pengetahuan baru dengan
mutu yang lebih baik, bersifat kontekstual dan relevan bila dibandingkan dengan pembelajaran
individual atau independen.

6. Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran secara kontekstual ialah kaidah pembelajaran yang menggabungkan isi kandungan
(content) dengan pengalaman harian individu, masyarakat dan lingkungan/alam
pekerjaan.Pembelajaran secara kontekstual dapat.

( Sumber : https://www.uinjkt.ac.id/id/student-centered-learning-2/ )

4. EBM ( Evidence Based Medicine)

Evidence based medicine (EBM) adalah proses yang digunakan secara sistematik untuk melakukan
evaluasi, menemukan, menelaah/ me-review, dan memanfaatkan hasil-hasil studi sebagai dasar dari
pengambilan keputusan klinik.

Menurut Sackett et al. (2000), Evidence-based medicine (EBM) adalah suatu pendekatan medik yang
didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini untuk kepentingan pelayanan kesehatan penderita. Dengan
demikian, dalam praktek, EBM memadukan antara kemampuan dan pengalaman klinik dengan bukti-
bukti ilmiah terkini yang paling dapat dipercaya.

Dengan demikian, maka salah satu syarat utama untuk memfasilitasi pengambilan keputusan klinik yang
evidence-based adalah dengan menyediakan bukti-bukti ilmiah yang relevan dengan masalah klinik yang
dihadapi, serta diutamakan yang berupa hasil meta-analisis, review sistematik, dan randomized double
blind controlled clinical trial (RCT).

Secara ringkas, ada beberapa alasan utama mengapa EBM diperlukan:

Bahwa informasi yang selalu diperbarui (update) mengenai diagnosis, prognosis, terapi dan pencegahan,
promotif, rehabilitatif sangat dibutuhkan dalam praktek sehari-hari. Sebagai contoh, teknologi
diagnostik dan terapi selalu disempurnakan dari waktu ke waktu.

Bahwa informasi-informasi tradisional (misalnya yang terdapat dalam textbook) tentang hal-hal di atas
sudah sangat tidak adekuat pada saat ini; beberapa justru sering keliru dan menyesatkan (misalnya
informasi dari pabrik obat yang disampaikan oleh duta-duta farmasi/detailer), tidak efektif (misalnya
continuing medical education yang bersifat didaktik), atau bisa saja terlalu banyak, sehingga justru
sering membingungkan (misalnya majalah (journal-journal) biomedik/ kedokteran yang saat ini
berjumlah lebih dari 25.000 jenis).

Dengan bertambahnya pengalaman klinik seseorang, maka kemampuan/ketrampilan untuk


mendiagnosis dan menetapkan bentuk terapi (clinical judgement) juga meningkat. Namun pada saat
yang bersamaan, kemampuan ilmiah (akibat terbatasnya informasi yang dapat diakses) serta kinerja
klinik (akibat hanya mengandalkan pengalaman, yang sering tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah) menurun secara bermakna (signifikan).

Dengan meningkatnya jumlah pasien, waktu yang diperlukan untuk pelayanan semakin banyak.
Akibatnya, waktu yang dimanfaatkan untuk meng-update ilmu (misalnya membaca journal-journal
kedokteran) sangat kurang.

LANGKAH LANGKAH EVIDENCE BASED MEDICINE

Evidence based medicine dapat dipraktekkan pada berbagai situasi, khususnya jika timbul keraguan
dalam hal diagnosis, terapi, dan penatalaksanaan pasien. Adapun langkah-langkah dalam EBM adalah:

Memformulasikan pertanyaan ilmiah yang berkaitan dengan masalah penyakit yang diderita oleh
pasien.

informasi ilmiah (evidence) yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi.

Penelaahan terhadap bukti-bukti ilmiah yang ada.

Menerapkan hasil penelaahan bukti-bukti ilmiah ke dalam praktek pengambilan keputusan.

Melakukan evaluasi terhadap efikasi dan efektivitas intervensi

Langkah I. Memformulasikan pertanyaan ilmiah

Setiap saat seorang dokter menghadapi pasien tentu akan muncul pertanyaan-pertanyaan ilmiah yang
menyangkut beberapa hal, seperti diagnosis penyakit, jenis terapi yang paling tepat, faktor- faktor
resiko, prognosis, hingga upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah yang dijumpai pada
pasien. Dalam situasi tersebut diperlukan kemampuan untuk mensintesis dan menelaah beberapa
permasalahan yang ada. Sebagai contoh, dalam skenario 1 disajikan suatu kasus dan bentuk kajiannya.

Pertanyaan-pertanyaan yang mengawali EBM selain dapat berkaitan dengan diagnosis, prognosis,
terapi, dapat juga berkaitan dengan resiko efek iatrogenik, kualitas pelayanan (quality of care), hingga ke
ekonomi kesehatan (health economics). Idealnya setiap issue yang muncul hendaknya bersifat spesifik,
berkaitan dengan kondisi pasien saat masuk, bentuk intervensi terapi yang mungkin, dan luaran
(outcome) klinik yang dapat diharapkan.

Langkah II. Penelusuran informasi ilmiah untuk mencari “evidence”

formulasi permasalahan disusun, langkah selanjutnya adalah mencari dan mencoba menemukan bukti-
bukti ilmiah yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Untuk ini diperlukan keterampilan
penelusuran informasi ilmiah (searching skill) serta kemudahan akses ke sumber-sumber informasi.
Penelusuran kepustakaan dapat dilakukan secara manual di perpustakaan- perpustakaan Fakultas
Kedokteran atau rumahsakit-rumahsakit pendidikan dengan mencari judul-judul artikel yang berkaitan
dengan permasalahan yang ada dalam jurnal-jurnal.

Langkah III. Penelaahan terhadap bukti ilmiah (evidence) yang ada

Dalam tahap ini seorang klinisi atau praktisi dituntut untuk dapat melakukan penilaian (appraisal)
terhadap hasil-hasil studi yang ada. Tujuan utama dari penelaahan kritis ini adalah untuk melihat apakah
bukti-bukti yang disajikan valid dan bermanfaat secara klinis untuk membantu proses pengambilan
keputusan. Hal ini penting, mengingat dalam kenyataannya tidak semua studi yang dipublikasikan
melalui majalah (jurnal-jurnal) internasional memenuhi kriteria metodologi yang valid dan reliabel.

Langkah IV. Penerapan hasil penelaahan ke dalam praktek

Dengan mengidentifikasi bukti-bukti ilmiah yang ada tersebut, seorang klinisi dapat langsung
menerapkannya pada pasien secara langsung atau melalui diskusi-diskusi untuk menyusun suatu
pedoman terapi. Berdasarkan informasi yang ada, maka dapat saja pada Skenario 1 diputuskan untuk
segera memulai terapi dengan warfarin. Ini tentu saja didasarkan pada pertimbangan resiko dan
manfaat (risk-benefit assessment) yang diperoleh melalui penelusuran bukti-bukti ilmiah yang ada.

Langkah V. Follow-up dan evaluasi

Tahap ini harus dilakukan untuk mengetahui apakah current best evidence yang digunakan untuk
pengambilan keputusan terapi bermanfaat secara optimal bagi pasien, dan memberikan resiko yang
minimal. Termasuk dalam tahap ini adalah mengidentifikasi evidence yang lebih baru yang mungkin bisa
berbeda dengan apa yang telah diputuskan sebelumnya. Tahap ini juga untuk menjamin agar intervensi
yang akhirnya diputuskan betul-betul memberi manfaat yang lebih besar dari resikonya (“do more good
than harm”). Rekomendasi mengenai keputusan terapi yang paling baik dibuat berdasarkan pengalaman
klinik dari kelompok ahli yang menyusun pedoman pengobatan.

(Sumber : Departemen Kesehatan RI & http://rsudalihsan.jabarprov.go.id/page/900-Evidence-Based-


Bedicine-EBM )

Jump 7 : Sharing Information

Anda mungkin juga menyukai