Anda di halaman 1dari 62

Selim I

Selim 1

Selim I (Bahasa Turki Utsmaniyah: ‫سليم‬


‫اول‬, Bahasa Turki: Birinci Selim; 1470/1 –
September 1520) adalah penguasa
Utsmani kesembilan dan berkuasa pada
tahun 1512 sampai 1520.[1] Watak dan
kepribadiannya yang keras
menjadikannya mendapat julukan Yavuz
Sultan Selim (Yavuz sendiri dapat
dimaknai dengan "keras", "teguh", atau
"tegas").
Selim I
‫سليم اول‬

Khalifah Pertama Dari Kesultanan


Utsmaniyah
Berkuasa 1517 – 22
September 1520

Pendahulu Muhammad Al-


Mutawakkil

Penerus Süleyman I
Sultan Utsmaniyah Ke-9
Berkuasa 24 April 1512 – 22
September 1520

Pendahulu Bayezid II

Penerus Süleyman I
Informasi pribadi
Kelahiran 1470/1[1]
Amasya, Kesultanan
Utsmaniyah

Kematian 22 September 1520


(usia 48–50)
Çorlu, Kesultanan
Utsmaniyah

Pemakaman Masjid Yavuz Selim,


Fatih, Konstantinopel

Wangsa Utsmani
Nama lengkap

Selim bin Bayezid

Ayah Bayezid II

Ibu Ayşe Gülbahar Hatun

Pasangan Ayşe Hatun


Hafsa Hatun

Tughra

Di masa kekuasaannya yang terbilang


singkat, Utsmani mengalami dua
peristiwa besar yang sangat
memengaruhi keberjalanan keadaan
Timur Tengah pada masa-masa
selanjutnya. Kemenangan Utsmani
dalam Pertempuran Chaldiran
membendung laju perkembangan Syiah
yang bangkit seiring menguatnya
Wangsa Safawiyah di kawasan Iran dan
sekitarnya. Penaklukannya atas
Kesultanan Mamluk menjadikan wilayah
Utsmani meluas secara dramatis
lantaran kawasan Syam, Mesir, dan Hijaz
menjadi dalam kekuasaan Utsmani.
Jatuhnya Mamluk menjadikan
kepemimpinan kota Makkah dan
Madinah yang berada di wilayah Hijaz
beralih ke tangan Utsmani, sehingga
Selim kemudian menyandang gelar
Ḫādimü'l-Ḥaremeyn (‫)خادم الحرمين الشريفين‬
atau "Pelayan Dua Tanah Haram" dan
gelar ini diturunkan kepada para
penerusnya. Seiring keruntuhan Mamluk
juga diikuti penyerahan kedudukan
khalifah oleh Al Mutawakkil kepada
Selim, menjadikan Selim sebagai khalifah
pertama dari Wangsa Utsmani dan non-
Arab, meski beberapa Sultan Utsmani
sebelumnya telah mengklaim gelar
tersebut.

Sebagai şehzade
Selim dilahirkan di Amasya pada sekitar
tahun 1470 pada masa kekuasaan
kakeknya, Sultan Mehmed II atau yang
juga dikenal dengan Muhammad Al Fatih.
Pada 1481, ayah Selim naik takhta
sebagai Sultan Bayezid II.
Sebagaimana tradisi Utsmani, para
şehzade (pangeran) yang sudah cukup
umur akan memerintah di wilayah
penugasan yang telah ditentukan sultan.
Saat sultan mangkat, pangeran yang tiba
lebih dulu di ibu kota akan dinobatkan
sebagai sultan yang baru. Tiga putra
Bayezid juga mendapat penugasan
tersebut. Şehzade Ahmed memerintah
Amasya, Şehzade Korkud memerintah
Antalya, dan Şehzade Selim memerintah
Trebizond. Di antara ketiga bersaudara
putra Bayezid ini, Ahmed memiliki
wilayah penugasan paling dekat dengan
Konstantinopel, sehingga dia dipandang
sebagai pangeran yang, secara tidak
langsung, dianggap sebagai pewaris oleh
sultan karena berpeluang paling cepat
bila tiba di ibu kota.

Meski putra Selim, Suleiman, ditugaskan


memerintah wilayah Bolu yang dekat
dengan ibu kota, dia kemudian dipindah
di Kaffa, Krimea, karena penolakan dari
Şehzade Ahmed. Hal ini kemudian
ditafsirkan oleh Selim sebagai bentuk
dukungan Bayezid terhadap Ahmed
sebagai calon pewaris. Selim kemudian
meminta wilayah penugasan di Rumelia,
istilah untuk merujuk pada wilayah
Utsmani di Eropa. Meski awalnya
menolak dengan alasan bahwa kawasan
tersebut tidak diperuntukkan untuk para
pangeran, atas dukungan Meñli I Giray,
Khan Krimea saat itu, Selim ditugaskan
Bayezid memerintah di Semendire
(termasuk kawasan Serbia). Meski
memang masuk kawasan Rumelia, jarak
Semendire ke Konstantinopel terbilang
jauh sehingga Selim menolak dan justru
tetap berdiam di ibu kota. Bayezid
memandang penolakan Selim ini sebagai
bentuk pemberontakan dan dia
mengalahkan pasukan Selim di
pertempuran pada Agustus 1511. Selim
kemudian mengungsi ke Krimea.[2]

Saat Sultan Bayezid berperang melawan


Selim, Şehzade Ahmed ditugaskan untuk
menekan pemberontakan Şahkulu yang
didukung Ismail I, Kaisar Safawiyah.
Dinasti Safawiyah sendiri adalah pesaing
berat Utsmani di kawasan tersebut.
Bersama Wazir Agung (Perdana Menteri)
Hadım Ali Pasya, Şehzade Ahmed dapat
memojokkan Şahkulu di dekat Altıntaş
(Kütahya). Namun Şehzade Ahmed justru
meninggalkan medan perang demi
mengamankan kedudukannya sebagai
pewaris, merebakkan kebingungan di
kalangan para prajurit. Hadım Ali Pasya
yang sebenarnya merupakan pendukung
utama Ahmed meninggal saat melawan
pemberontakan Şahkulu. Şahkulu sendiri
juga meninggal dalam peristiwa ini.[3][4]

Mendengar bahwa Bayezid telah


mengalahkan pasukan Selim, Ahmed
menyatakan dirinya sebagai Sultan
Anatolia dan mulai melancarkan
serangan kepada keponakannya (yang
ayahnya telah meninggal) dan
menduduki Konya. Meski sudah
diperintahkan Bayezid untuk kembali ke
wilayah penugasannya, Ahmed menolak
dan bahkan berusaha menduduki ibu
kota, tetapi gagal lantaran dihadang para
prajurit yang menginginkan sultan yang
lebih cakap. Selim kembali dari Krimea
dan, dengan dukungan dari pasukan
Yanisari, mendesak Bayezid untuk
menyerahkan takhta kepada Selim pada
25 April 1512.[5][6] Bayezid dikirim ke
Demotika untuk menghabiskan masa
pensiunnya di sana, tetapi keadaannya
sudah tua dan sakit-sakitan saat itu.
Sebelum tiba di tempat tujuan, Bayezid
meninggal di Büyükçekmece pada 26
Mei 1512.

Awal kekuasaan
Pada awal masa kekuasaan Selim,
Ahmed masih memegang kendali atas
Anatolia selama beberapa bulan. Kedua
belah pihak bertempur di dekat Yenişehir,
Bursa, pada 24 April 1513. Pihak Ahmed
dikalahkan. Ahmed sendiri ditahan dan
kemudian dihukum mati setelahnya.
Putra Ahmed, Şehzade Murad,
mengungsi ke Kekaisaran Safawiyah.
Ismail I berusaha menggunakan Murad
untuk mengumpulkan masa melawan
pemerintahan Selim.[7] Namun rencana
itu akhirnya gagal dan Murad mendapat
suaka di Safawiyah.[8] Şehzade Korkud
sendiri juga dihukum mati pada 1513
karena diduga telah menyiapkan
pemberontakan melawan Selim.

Pertempuran Chaldiran

Monumen peringatan Pertempuran Chaldiran


Salah satu perhatian besar pada masa
kekuasaan Selim adalah Ismail I yang
menjadikan Dinasti Safawiyah sebagai
kekuatan baru di kawasan tersebut, juga
mengubah agama Persia dari Sunni ke
Syi'ah Dua Belas Imam, menjadikannya
ancaman besar bagi Utsmani yang
Sunni. Pada 1510, Safawiyah telah
menguasai kawasan Iran dan
Azerbaijan,[9] Dagestan selatan,
Mesopotamia, Armenia, Khorasan Raya,
Anatolia Timur, dan menjadikan Kerajaan
Kakheti dan Kartli di kawasan Kaukasus
sebagai negara bawahannya.[10][11]
Sultan Selim I

Setelah menuntaskan perang saudara,


Selim kemudian memusatkan
perhatiannya pada kekacauan dalam
negeri yang dipercaya didalangi oleh
Qizilbasy (kelompok militan Syi'ah).
Selim mengkhawatirkan bahwa mereka
akan menghasut masyarakat untuk
mendukung Ismail, pemimpin Dinasti
Safawiyah, yang dipercaya sebagian
pengikutnya sebagai keturunan Nabi
Muhammad. Setelah mendapat
persetujuan dari ahli fiqih yang
menyatakan Ismail dan Qizilbasy sebagai
kelompok kafir dan pembid'ah, Selim
dapat mengarahkan pasukan ke arah
timur untuk menekan pergerakan
mereka.[12] Di sisi lain, Ismail mendakwa
Selim telah melakukan penyerangan
kepada sesama Muslim dan
menumpahkan darah pihak yang tak
bersalah.[13] Sebelum melakukan
penyerangan, Selim menghukum mati
40.000 orang Qizilbasy Anatolia "sebagai
hukuman atas tindakan pemberontakan
mereka."[14] Selim juga menghentikan
impor sutra dari Iran.[14]
Pada 1514, Selim menyerang wilayah
Ismail untuk menghentikan laju
penyebaran Syi'ah di Utsmani.
Sebelumnya, Selim dan Ismail saling
berkirim surat kecaman satu sama lain
sebelum penyerangan dilakukan. Di saat
yang sama, Safawiyah juga harus
berhadapan dengan bangsa Uzbek di
timur. Demi menghindari pertempuran di
dua tempat secara bersamaan, Ismail
melakukan taktik bumi hangus dalam
melawan Utsmani di barat.[13] Saat
mengetahui Ismail menghimpun pasukan
di Chaldiran, Selim mengerahkan
pasukan di sana dan terjadilah
pertempuran antara pihak Selim dan
Ismail. Meski pasukan Ismail memiliki
persiapan lebih matang, pihak Selim
unggul dengan pasukan mutakhir dan
persenjataan yang lebih efisien.
Safawiyah mengalami kekalahan telak
dan Ismail sendiri hampir tertangkap.
Selim memasuki ibu kota Iran, Tabriz,
pada 5 September.[15] Pihak Utsmani
juga menduduki Mesopotamia, dan
sebagian wilayah Armenia.

Dalam perang ini, Selim berhasil


menawan dua istri Ismail.[16][17] Hal ini
membuat harga diri Ismail jatuh,
membuatnya melampiaskan kekalahan
dengan mabuk-mabukan.[18] Ismail
sendiri juga menarik diri dari urusan
militer dan pemerintahan lantaran
kepercayaan dirinya yang hancur dan itu
berlangsung sampai mangkatnya pada
1524 di usianya yang baru menginjak 36
tahun.[19]

Penaklukan Mamluk
Sebelum berdirinya Safawiyah, Utsmani
dan Mamluk adalah dua negara paling
berkuasa di kawasan Timur Tengah.
Utsmani menguasai wilayah Anatolia,
sedangkan Kesultanan Mamluk
menguasai kawasan Mesir, Syiria, dan
Hijaz. Setelah penyerangan Baghdad
oleh Mongol pada 1258, Wangsa
Abbasiyah yang masih memegang peran
khalifah secara turun-temurun tinggal di
Mesir dalam perlindungan Sultan
Mamluk tanpa kekuatan politik yang
memadai dan tidak memiliki wilayah
kekuasaan, sehingga kerap terseret arus
perselisihan di pemerintahan Mesir.
Kedua negara besar ini dipisahkan oleh
negara-negara kecil bangsa Turki yang
berkuasa di kawasan Anatolia tenggara.
Sebelum masa Selim, Utsmani maupun
Mamluk beberapa kali pernah terlibat
perselisihan. Pihak Mamluk pernah
memberikan suaka pada Pangeran Cem,
saudara tiri Sultan Bayezid II yang
berusaha mengambil alih takhta. Pada
masa Utsmani di bawah kepemimpinan
Bayezid II, Utsmani dan Mamluk pernah
terlibat beberapa peperangan, meski
batas kedua negara cenderung tidak
berubah.

Keseimbangan di kawasan Timur Tengah


mulai bergeser saat bangkitnya Wangsa
Safawiyah di kawasan Persia. Sang
pendiri, Ismail I, dikatakan sebagai
penguasa Syiah paling berhasil dan
paling intoleran setelah jatuhnya
Fatimiyah.[20] Pihak Mamluk
mengharapkan perselisihan di antara
Utsmani dan Safawiyah membuat kedua
negara besar itu saling melemah. Saat
Safawiyah berusaha menjalin kekuatan
Eropa untuk membuat persekutuan anti-
Utsmani pada awal 1500-an, Mamluk
memberi izin duta Safawiyah untuk
melewati wilayah mereka dalam rangka
berhubungan dengan Eropa. Pihak
Utsmani menekan Mamluk agar tidak
membiarkan duta tersebut kembali ke
Safawiyah.

Pertempuran Marj Dabiq

Kavaleri berat Mamluk, sekitar 1550. Musée de l'Armée.

Setelah kekalahan Safawiyah dalam


Perang Chaldiran dan pendudukan Selim
atas negara-negara bangsa Turki yang
menjadi batas Mamluk dan Utsmani
pada musim panas 1515, tampak jelas
bahwa perselisihan antara Mamluk dan
Utsmani menjadi sesuatu yang tidak bisa
lagi dihindari. Sultan Mamluk saat itu,
Qansuh Al-Ghuri, menerima tawaran
persekutuan dari Ismail I. Pada tahun
1516, Al-Ghuri bertolak menuju Syiria,
meninggalkan salah satu menterinya,
Tuman Bay, untuk memimpin Mesir. Al-
Ghuri berangkat ke utara diiringi
perayaan yang meriah bersama para
pejabat tinggi, tabib, musisi, dan muazin.
Khalifah Muhammad Al Mutawakkil juga
turut serta dalam rombongan ini. Dalam
perjalanan, Sultan Al-Ghuri juga
menerima Pangeran Ahmed, keponakan
Sultan Selim, dalam rombongannya
dengan harapan dapat menarik simpati
dari pasukan Utsmani.[21]

Pasukan Utsmani dan Mamluk bertemu


dalam Pertempuran Marj Dabiq pada 24
Agustus 1516. Di barisan Mamluk,
Qansuh Al-Ghuri berada di bagian tengah,
sedangkan sayap kiri dipimpin oleh
Gubernur Aleppo, Kha'ir Bey, dan pasukan
sayap kanan dipimpin Gubernur
Damaskus. Pasukan kavaleri sayap kiri
Mamluk berhasil mendesak pasukan
kavaleri sayap kanan Utsmani, tetapi
pihak sayap kiri Mamluk mundur setelah
menerima serangan meriam. Kavaleri
sayap kiri Utsmani juga berhasil dipaksa
mundur setelah mendapat serangan dari
pasukan tengah dan sayap kanan
Mamluk. Meski begitu, pasukan tengah
Mamluk mundur setelah mendapat
serangan meriam, begitu juga pasukan
sayap kanan Mamluk yang mendapat
serangan tembakan dari pasukan
Yanisari. Al-Ghuri memerintahkan sayap
kiri Mamluk untuk bergabung dan
menyerang bersama-sama pasukan
Utsmani dari kanan, tetapi perintah itu
diabaikan. Sebagian pendapat
menyatakan bahwa Kha'ir Bey berkhianat
dan memihak Utsmani, sedang sebagian
lain menyatakan bahwa Gubernur Aleppo
tersebut mundur lantaran yakin pihak
Mamluk telah kalah. Kha'ir Bey
meninggalkan medan perang bersama
dengan pasukan infanteri. Kekacauan di
pihak Mamluk menjadikan pasukan
Utsmani dapat mengalahkan Mamluk
dalam pertempuran ini. Sultan Qansuh
Al-Ghuri meninggal, tetapi terdapat
perbedaan pendapat mengenai sebab
kematiannya. Beberapa menyatakan
bahwa dia terbunuh di medan perang.
Pendapat lain menyatakan bahwa
kantung empedunya pecah, atau
melakukan bunuh diri.[22]

Setelah kemenangan Selim dalam


Pertempuran Marj Dabiq, dia mendapat
sambutan hangat di Aleppo oleh para
penduduk. Selim menerima Khalifah Al
Mutawakkil dengan ramah, tetapi
mengecam para hakim karena kegagalan
mereka memeriksa pemerintahan buruk
dari Mamluk.[21] Dengan kekalahan
Mamluk, Utsmani secara resmi
mengambil alih kepemimpinan Syiria.

Pendudukan Mesir

Setelah kemenangan di Marj Dabiq, Selim


menunggu untuk mengamankan
kedudukannya dengan menunggu
datangnya angkatan laut Utsmani. Oleh
karenanya, Selim mengutus Sinan Pasya
memimpin pasukan untuk menaklukkan
benteng-benteng di pesisir.
Di Mesir, Tuman Bay naik takhta sebagai
Sultan Mesir dan merekrut pasukan baru,
menolak tunduk menjadi bawahan
Utsmani. Pasukan kavaleri Mamluk di
bawah kepemimpinan Janbirdi Al-Ghazali
menyerang pasukan Utsmani di Khan
Yunis, Gaza selatan, saat mereka hendak
memasuki Mesir pada akhir Oktober.
Meski begitu, pasukan Sinan Pasya
berhasil mengalahkan pasukan Al-
Ghazali. Pasukan Mamluk yang tersisa
mundur ke Kairo bersama Al-Ghazali
yang terluka.
Tuman Bay II, Sultan Mamluk Mesir terakhir

Selim mulai bergerak menuju Mesir saat


angkatan laut Utsmani tiba di Syiria.
Pasukan Utsmani mengalami perjalanan
sulit melintasi gurun Sinai, tetapi mereka
bertahan dengan mendapat bantuan
persediaan dari laut sehingga mereka
berhasil memasuki Mesir pada Januari
1517. 22 Januari, pasukan Tuman Bay
dan Selim bertemu di Ridaniya yang
terletak di pinggiran Kairo. Dalam
pertempuran ini, pihak Mamluk
membawa 300 meriam dari Venesia dan
ditempatkan di parit. Di sisi lain, meriam
Utsmani ditempatkan di belakang
pasukan di atas bukit. Pertempuran
meriam berlangsung singkat dengan
kemenangan di pihak Utsmani lantaran
pasukan Mamluk belum berpengalaman
dalam menggunakan senjata baru
tersebut. Pasukan Utsmani
memenangkan pertempuran dan
pasukan Mamluk meninggakan medan
perang.[23] Sinan Pasya gugur dalam
pertempuran ini.[24] Pasukan Utsmani
masuk ke Kairo tanpa perlawanan dan
Selim sendiri menduduki Pulai Gezira,
pulau di tengah Sungai Nil di Kairo
tengah. Mereka menduduki benteng dan
menghukum mati semua garnisun
Kaukasus. Namun pada tanggal 26,
pasukan Tuman Bay memasuki kota
bersama pasukan Badui dan
mengalahkan mereka. Selim mengirim
pasukan Yanisari untuk mengambil alih
Kairo pada tanggal 27 dan penduduk
setempat berpihak pada Tuman Bay.
Pertempuran di dalam kota berlanjut
sampai tanggal 3 Februari sampai pihak
Utsmani berhasil mengendalikan kota.
Banyak para bangsawan Mamluk gugur
dalam peristiwa ini. Meski begitu, banyak
warga yang mendapat pengampunan
atas permintaan Khalifah yang sekarang
memiliki kedudukan yang lebih menonjol
dibandingkan pada masa kekuasaan
Mamluk.[21]

Selain diberikan pada para warga,


pengampunan juga diberikan pada para
amir yang masih bersembunyi. Janbirdi
Al-Ghazali memohon pengampunan dan
kemudian diberikan kedudukan sebagai
komandan dalam melawan Suku
Badui.[21]

Demi menghindari perselisihan lebih


lanjut, Tuman Bay mengusulkan
perjanjian damai dan mengakui
kedaulatan Selim atas Mesir bila
penyerangan dihentikan. Selim kemudian
mengutus Khalifah Al Mutawakkil
beserta empat orang hakim untuk
mendampingi utusan dari Utsmani yang
dikirim pada Tuman Bay. Khalifah sendiri
tidak menyukai tugas tersebut sehingga
dia mengirim wakilnya. Pada dasarnya,
Tuman Bay menerima persyaratan damai
dengan senang hati, tetapi para
pendukungnya yang tidak memercayai
Selim menolak tawaran tersebut. Mereka
membunuh utusan Utsmani tersebut
beserta salah satu hakim, membuat
perundingan damai gagal terbentuk.
Sebagai balasan atas tindakan tersebut,
Selim membunuh 57 amir Mamluk yang
ditahan di benteng. Tuman Bay kemudian
menghimpun pasukan di piramida Giza
dan pada akhir Maret, kedua pasukan
bertemu.[21] Pihak Tuman Bay kalah
setelah dua hari pertempuran dan dia
sendiri berlindung di salah satu kepala
suku Badui yang justru kemudian
menyerahkan dirinya pada pihak
Selim.[21]

Selim pada awalnya hendak memberikan


pengampunan dan membawa Tuman
Bay ke Konstantinopel, tetapi Janbirdi Al-
Ghazali dan Kha'ir Bey mengusulkan agar
Tuman Bay dihukum mati lantaran
keberadaannya akan mengancam
kekuasaan Utsmani di Mesir. Tuman Bay
kemudian dipenjara dan dihukum
gantung di gerbang kota pada 15 April
1517. Jasadnya digantung selama tiga
hari sebelum dikebumikan.[21]

Meninggalnya Tuman Bay menandai


berakhirnya masa kekuasaan Mamluk
atas Mesir. Meski bangsa Mamluk yang
tersisa tetap berada di Mesir sebagai
bangsawan, setelah peristiwa ini, mereka
secara resmi menjadi bawahan Utsmani
yang berpusat di Konstantinopel.

Tahun-tahun terakhir

Perluasan wilayah kekuasaan Utsmani. Kiri: pada masa Bayezid II. Kanan: pada masa Selim I.
Selama pemerintahannya, Selim
memperluas wilayah Usmaniyah dari 2,5
juta km² menjadi 6,5 juta km². Ia
membuat penuh perbendaharaan negara,
menguncinya dengan meterainya sendiri
dan mengumumkan bahwa,
"Barangsiapa membuat penuh
perbendaharaan ini melebihi isinya
sekarang, ia dapat menggunakan
meterainya untuk mengunci
perbendaharaan.” Perbendaharaan ini
dikunci dengan meterainya hingga
runtuhnya Kesultanan Utsmani 400 tahun
kemudian.

Setelah kembali dari perangnya di Mesir,


dia mendapat surat dari penduduk Afrika
Utara untuk meminta perlindungannya
dalam menghadapi pelaut-pelaut
Spanyol dan Portugis yang mengacau di
Laut Tengah. Oleh karena itu, dia
menyiapkan ekspedisi untuk memerangi
Rhodes dan di sana ia meninggal pada 9
Syawal 926 H / 22 September 1520
karena sirpense, infeksi kulit. Pendapat
lain menyatakan bahwa Selim meninggal
karena kanker atau bahkan diracun oleh
tabibnya.[25] Sebagian sejarawan
menyatakan bahwa mangkatnya Selim
bersamaan dengan menyebarnya wabah
pes di kesultanan dan beberapa sumber
menyebutkan bahwa Selim sendiri juga
terjangkit.
Jenazah Selim kemudian dibawa ke
Konstantinopel dan dikebumikan di
kompleks Masjid Sultan Yavuz Selim.
Berbeda dengan pendahulunya yang
sangat memusatkan perhatian pada
perluasan wilayah ke arah Eropa, Selim
memusatkan perhatiannya ke kawasan
Timur Tengah karena dipercaya bahaya
yang sebenarnya berasal dari arah
timur.[26][27]

Kepribadian

Türbe Selim I di kompleks Masjid Yavuz Sultan Selim


Banyak sumber menyatakan bahwa
Selim memiliki watak yang berapi-api dan
memiliki harapan yang sangat tinggi
pada para bawahannya. Banyak
menterinya dihukum mati dengan
berbagai alasan. Sebuah umpatan di
Utsmani berbunyi, "Semoga kamu
menjadi menterinya Selim," lantaran
banyaknya jumlah menteri yang dihukum
mati.

Selim merupakan salah satu penguasa


Utsmani yang paling berhasil dan
dihormati, giat, dan pekerja keras. Meski
masa kekuasaannya terbilang singkat,
para sejarawan sepakat bahwa Selim
telah mempersiapkan Kekaisaran
Utsmani untuk mencapai titik puncaknya
pada masa putra dan penerusnya,
Suleiman Al-Qanuni.[28]

Selim juga seorang pujangga yang


menulis puisi dalam bahasa Turki dan
Pesia menggunakan nama Mahlas
Selimi, yang kumpulan puisi Persianya
masih utuh hingga hari ini.[28] Dalam
salah satu puisinya, dia menulis, "Sebuah
permadani cukup besar untuk diduduki
oleh dua orang sufi, tetapi dunia tidak
cukup besar untuk dua orang raja.”
Gelar

Selim I

Kota Makkah dan Madinah yang


sebelumnya masuk wilayah kekuasaan
Mamluk secara otomatis menjadi
wilayah kekuasaan Utsmani. Atas dasar
ini, Selim kemudian mengambil gelar
Ḫādimü'l-Ḥaremeyn (‫)خادم الحرمين الشريفين‬
atau "Pelayan Dua Tanah Haram."

Setelah jatuhnya Mamluk, Al Mutawakkil


kemudian menyerahkan kedudukan
khalifah secara resmi kepada Selim
dengan upacara penyerahan jubah dan
mantel Nabi sebagai perlambang
peralihan gelar ini.[29] Hal ini menjadikan
Al Mutawakkil sebagai khalifah terakhir
dari Wangsa Abbasiyah dan Selim
sebagai khalifah pertama dari Wangsa
Utsmani dan kalangan non-Arab. Meski
begitu, beberapa Sultan Utsmani
sebelum Selim telah mengklaim gelar ini
sebelumnya. Namun beberapa sumber
menyatakan bahwa penyerahan gelar
khalifah ini adalah kisah rekaan yang
dibuat beberapa waktu setelahnya.

Sebagai catatan, Selim dan penerusnya


masih menggunakan gelar sultan dan
padisyah (kaisar) atas kedudukannya
sebagai kepala negara meski Selim telah
menyandang gelar khalifah. Sebelum
1258, khalifah masih memiliki peran
sebagai kepala negara, terlepas luasnya
wilayah kekuasaan yang dipegangnya
secara langsung. Para sultan dan kepala
negara Muslim lain menyatakan
ketundukan mereka secara simbolis,
meski secara de facto mereka berdaulat
secara penuh atas wilayah kekuasaan
mereka masing-masing tanpa campur
tangan dari khalifah.

Setelah hancurnya Baghdad oleh


serangan Mongol, khalifah mengungsi ke
Mesir yang saat itu dikuasai Mamluk.
Dikarenakan tidak memiliki wilayah
kekuasaan lagi, khalifah kehilangan
perannya sebagai kepala negara
semenjak itu dan hanya berfungsi
sebagai lambang pemersatu umat
Muslim. Keadaan tersebut tidak berubah
bahkan setelah Wangsa Utsmaniyah
mengambil alih gelar khalifah. Penguasa
Utsmani memegang kendali negara atas
kedudukannya sebagai sultan dan
padisyah, bukan karena statusnya
sebagai khalifah. Bahkan selama sekitar
dua ratus tahun sejak masa Selim,
penguasa Utsmani tidak menggunakan
gelar khalifah dalam perpolitikan
nasional dan internasional. Masyarakat
Utsmani lebih sering menyebut
pemimpin mereka dengan sebutan
padisyah dan pihak non-Utsmani dengan
gelar sultannya. Gelar khalifah mulai aktif
digunakan saat pada Perjanjian Küçük
Kaynarca (1774), penguasa Utsmani
menggunakan kedudukannya sebagai
khalifah sebagai pelindung atas umat
Muslim di Rusia. Sultan Abdul Hamid II
(berkuasa 1876 – 1909) adalah
penguasa Utsmani yang paling aktif
menggunakan kedudukannya sebagai
khalifah dalam rangka membentuk
hubungan kerja sama dengan negara-
negara Muslim untuk melawan
imperialisme Barat.

Keluarga

Orangtua

Ayah – Sultan Bayezid II, penguasa


Utsmaniyah kedelapan. Dia dikenal atas
pemberian suakanya pada umat Yahudi
dan Muslim yang diusir dari
Semenanjung Iberia setelah runtuhnya
Keamiran Granada.

Ibu – Ayşe Gülbahar Hatun. Sebagian


berpendapat bahwa Gülbahar adalah
budak-selir Yunani yang kemudian
menjadi mualaf. Sebagian lain
menyatakan bahwa dia adalah putri
Alaüddevle Bozkurt Bey, Adipati Dulkadir.
Dulkadir sendiri adalah salah satu negara
bangsa Turki yang berada di kawasan
Anatolia.

Pasangan

Ayşe Hatun
Hafsa Hatun
seorang selir lain. Dia dikeluarkan dari
harem istana lantaran melanggar
peraturan dan dinikahkan dengan
salah seorang pejabat.
Selim menikahi putri dari penguasa
Kekhanan Krimea, Meñli I Giray. Meski
begitu, terdapat perbedaan pendapat
mengenai namanya. Sebagian pendapat
menyatakan bahwa Ayşe Hatun yang
merupakan putri dari Krimea. Pendapat
yang populer menyatakan bahwa putri
dari Krimea itu adalah Hafsa Hatun,
ibunda Sultan Suleiman. Hafsa sendiri
kerap disebut dengan nama Ayşe Hafsa
pada banyak sumber, meski catatan
resmi hanya menyebutnya Hafsa.

Putra

Sultan Süleyman I – putra dari Hafsa.


Penguasa Utsmani kesepuluh dan
paling lama berkuasa.
Şehzade Orhan
Şehzade Musa
Şehzade Korkut
Üveys Pasya (1498–1548). Ibunya
adalah selir yang dikeluarkan dari
harem. Namun saat dikeluarkan dan
dinikahkan dengan pejabat, selir
tersebut dalam keadaan mengandung
Üveys dan dia lahir dalam keadaan
memiliki ayah tiri. Hal ini menjadikan
Üveys tidak memiliki hak atas takhta.

Putri

Hatice Sultan – putri dari Hafsa.


Menikah dengan Iskender Pasya pada
1509, pejabat dan kemudian
laksamana, yang kemudian dihukum
mati pada 1515. Setelah menjanda,
Hatice menikah dengan Pargalı
Ibrahim Pasya yang menjabat sebagai
wazir agung (perdana menteri) pada
1523 – 1536. Meski begitu, sejarawan
Ebru Turan menyatakan bahwa
sebenarnya tidak ada pernikahan
antara Hatice Sultan dan Ibrahim
Pasya.
Fatma Sultan (1500–1573) – putri dari
Hafsa. Menikah pertama dengan
Mustafa Pasya, Gubernur Antalya,
kemudian bercerai lantaran diketahui
bahwa Mustafa Pasya seorang
homoseksual. Menikah kedua dengan
Kara Ahmed Pasya, wazir agung pada
masa kekuasaan Süleyman I. Setelah
Kara Ahmed Pasya dihukum mati pada
1555, Fatma menikah dengan Hadım
İbrahim Pasya yang merupakan
seorang kasim.
Şah-ı Huban Sultan (1507–1572).
Menikah dengan Lütfi Pasya yang
menjabat sebagai wazir agung pada
masa kekuasaan Süleyman I. Setelah
pertengkaran di antara keduanya yang
berujung penamparan Şah-ı Huban,
Lütfi Pasya dipecat sebagai wazir
agung.
Beyhan Sultan (meninggal 1559) –
putri dari Hafsa. Pada 1513, Beyhan
menikah dengan Ferhat Pasya, tetapi
kemudian Ferhat dihukum mati pada
1524. Beyhan menolak untuk menikah
lagi maupun tinggal dengan keluarga
asalnya setelah menjanda, tetapi
mengasingkan diri di istananya di
Skopje.

Rujukan
1. Ágoston, Gábor (2009). "Selim I". Dalam
Ágoston, Gábor; Bruce Masters.
Encyclopedia of the Ottoman Empire (http
s://archive.org/details/encyclopediaotto0
0agos) . hlm. 511 (https://archive.org/det
ails/encyclopediaotto00agos/page/511)
–3.
2. Prof. Yaşar Yüce-Prof. Ali Sevim: Türkiye
tarihi Cilt II, AKDTYKTTK Yayınları,
İstanbul, 1991 pp 226-231
3. Nicolae Jorga: Geschiste des
Osmanichen vol II, (trans: Nilüfer Epçeli)
Yeditepe Yayınları, 2009, ISBN 975-6480-
19-X,p.217
4. Prof. Yaşar Yüce-Prof. Ali Sevim: Türkiye
tarihi Cilt II, AKDTYKTTK Yayınları,
İstanbul, 1991 p 225-226
5. Joseph von Hammer: Geschichte der
osmanischen Dichtkunst (condensation
Mehmet Ata) Millitet yayınları, İstanbul pp
229-236
6. NicolaeJorga:Geschichte des
Osmanischen, (trans. by Nilüfer Epçeli),
Yeditepe yayınevi, İstanbul, ISBN 975-
6480-19-X, p.263-264
7. Savory 2007, hlm. 40.
8. Savory & Karamustafa 1999, hlm. 628-
636.
9. BBC, (LINK (http://www.bbc.co.uk/religio
n/religions/islam/history/safavidempire_
1.shtml) )
10. "History of Iran:Safavid Empire 1502 -
1736" (http://www.iranchamber.com/histo
ry/safavids/safavids.php) . Diakses
tanggal 16 December 2014.
11. "Edge of Empires: A History of Georgia" (h
ttps://books.google.nl/books?id=PxQpmg
_JIpwC&pg=PA165&lpg=PA165&dq=shah
+ismail+conquers+armenia&source=bl&ot
s=2wTC8D_n0o&sig=r0bkSV6_zxzbOWKK
5gKnbeD6lkQ&hl=nl&sa=X&ei=OJaOVLG4
KJKVasSUgaAE&ved=0CFEQ6AEwBg#v=
onepage&q=shah%20ismail%20conquer
s%20armenia&f=false) . Diakses tanggal
15 December 2014.
12. Finkel 2005, hlm. 104.
13. Finkel 2005, hlm. 105.
14. McCaffrey 1990, hlm. 656–658.
15. The later Crusades, 1274-1580: from
Lyons to Alcazar Door Norman Housley,
hlm 120, 1992
16. The Cambridge history of Iran, ed. William
Bayne Fisher, Peter Jackson, Laurence
Lockhart, pg. 224.
17. Mikaberidze 2015, hlm. 242.
18. The Cambridge history of Islam, Part 1,
ed. Peter Malcolm Holt, Ann K. S.
Lambton, Bernard Lewis, pg. 401
19. Elton L. Daniel, The History of Iran (ABC-
CLIO, 2012) 86
20. A new introduction to Islam (https://book
s.google.com/books?id=TPbLcSlUs8cC&
pg=PA191&dq=safavid+persia+conversio
n&lr=&as_brr=3&cd=58#v=onepage&q=sa
favid%20persia%20conversion&f=false) .
Daniel W. Brown, p. 191.
21. Muir, William (1896). The Mameluke; Or,
Slave Dynasty of Egypt, 1260–1517, A. D.
(https://archive.org/stream/mamelukeors
laved00sirw) Smith, Elder. Artikel ini
memuat teks dari sumber tersebut, yang
berada dalam ranah publik.
22. Ibn Iyas, Muḥammad ibn Aḥmad. Wiet,
Gaston, ed. Journal d'un Bourgeois du
Caire. hlm. 67.
23. The Cambridge History of Egypt by M. W.
Daly,Carl F. Petry p.498ff (https://books.g
oogle.com/books?id=i0KYzOISv_4C&pg=
PA498)
24. E. J. Brill's First Encyclopaedia of Islam,
1913–1936 by Martijn Theodoor Houtsma
p.432 (https://books.google.com/books?i
d=VJM3AAAAIAAJ&pg=PA432)
25. Byfeld, Ted, ed. (2010). A Century of
Giants. A.D. 1500 to 1600: in an age of
spiritual genius, western Christendom
shatters (https://archive.org/details/centu
ryofgiantsa0000unse) . The Society to
Explore and Record Christian History.
hlm. 9 (https://archive.org/details/century
ofgiantsa0000unse/page/9) . ISBN 978-0-
9689873-9-1.
26. Varlık, Nükhet (2015). Plague and Empire
in the Early Modern Mediterranean World:
The Ottoman Experience, 1347-1600. New
York: Cambridge University Press.
hlm. 164–165. ISBN 9781107013384.
27. Gündoğdu, Raşit (2017). Sultans of the
Ottoman Empire. Istanbul: Rumuz
Publishing. hlm. 262–263.
ISBN 9786055112158.
28. Necdet Sakaoğlu, Bu Mülkün Sultanları,
pg.127
29. Drews, Robert (August 2011). "Chapter
Thirty – The Ottoman Empire, Judaism,
and Eastern Europe to 1648" (https://my.v
anderbilt.edu/robertdrews/files/2014/01/
Chapter-Thirty.-The-Ottoman-Empire-Juda
ism-and-Eastern-Europe-to-1648.pdf)
(PDF). Coursebook: Judaism, Christianity
and Islam, to the Beginnings of Modern
Civilization (https://my.vanderbilt.edu/rob
ertdrews/publications/) . Vanderbilt
University.

Daftar pustaka

Finkel, Caroline (2005). Osman's


Dream: The Story of the Ottoman
Empire, 1300-1923 (https://archive.org/
details/osmansdreamstory0000fink) .
New York: Basic Books. ISBN 978-0-
465-02396-7.
Mikaberidze, Alexander (2015).
Historical Dictionary of Georgia (edisi
ke-2). Rowman & Littlefield. ISBN 978-
1442241466.
Savory, Roger (1998). "ESMĀʿĪL I
ṢAFAWĪ". Encyclopaedia Iranica, Vol.
VIII, Fasc. 6 (http://www.iranicaonline.o
rg/articles/esmail-i-safawi) .
hlm. 628–636.
Savory, Roger (2007). Iran Under the
Safavids. Cambridge: Cambridge
University Press. ISBN 978-
0521042512.
Selim I
Wangsa Utsmaniyah
Lahir: 1470/1 Meninggal: 22 Septe

Gelar

Didahului oleh: Khalifah


Muhammad Al- 1517 – 22 September
Mutawakkil 1520

Sultan Utsmaniyah
Didahului oleh:
25 April 1512 – 22
Bayezid II
September 1520 Dit
Didahului oleh: Sultan Syam
Qansuh Al- Agustus 1516 – 22
Ghuri September 1520

Sultan Mesir
Didahului oleh:
1517 – 22 September
Tuman Bay II
1520
Diperoleh dari
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Selim_I&oldid=22673746"

Halaman ini terakhir diubah pada 18 Januari


2023, pukul 13.20. •
Konten tersedia di bawah CC BY-SA 3.0 kecuali
dinyatakan lain.

Anda mungkin juga menyukai