Anda di halaman 1dari 65

H CIVIL ENGINEERING

M
T
S

LAPORAN PRAKTIKUM
ILMU UKUR TANAH
WATERPASS DAN TOTAL STATION
KELOMPOK 12

Dikerjakan Oleh:

MELLYANA MORATO

92211410141075

FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK SIPIL (S1)
UNIVERSITAS SINTUWU MAROSO
POSO - SULAWESI TENGAH
TAHUN 2023

H
M
T
S
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan bahwa :

Nama : MELLYANA MORATO

NPM : 92211410141075

Kelas :B

Telah mengikuti dan telah menyelesaikan seluruh praktikum Ilmu Ukur Tanah dengan
baik. Modul praktikum yang telah dilaksanakan adalah sebagai berikut :

NO Modul / Kegiatan Asisten Paraf


1 Waterpass / Penyipat Roni Andreuw H. Sirait
Datar
2 Total Station / Topan Tanggerahi,S.T
Pengukuran Polygon

Poso, 15 Maret 2023

Diperiksa Oleh Disetujui Oleh

Koordinator Prakrikum Kepala Laboratorium

Ilmu Ukur Tanah

ROBIN Y.SIRAIT,ST Yulisnawati Lawodi, ST,MT

NPP : 2130019 NIDN : 0904078303


KATA PEGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan praktikum Ilmu
Ukur Tanah ini tepat waktu.

Praktikum ilmu ukur tanah ini merupakan suatu hal yang wajib bagi seluruh
mahasiswa yang memprogram matakuliah ini. Hal ini bertujuan untuk menerapkan teori
yang di dapatkan di ruang kuliah dan di lapangan secara langsung.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada kepada semua pihak yang telah


berkontribusi dalam menyelesaikan laporan ini, terutama kepada dosen pengampuh
mata kuliah ilmu ukur tanah dan asisten dosen, serta teman – teman yang telah
membantu kami.

Dalam penyusunan laporan ini penulis menyadari masih banyak kekurangan.


Oleh karena itu, penulis mengharapkan pembaca dapat memberikan masukan berupa
saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan laporan ini.

Poso, 15 maret 2023

Penyusun

MELLYANA MORATO

92211410141075
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR ( )

DAFTAR ISI ( )

BAB I : TINJAUAN PUSTAKA ( )

1.1 Definisi Praktikum ( )


1.2 Definisi Ilmu Ukur Tanah ( )
1.3 Tujuan Praktikum Ilmu Ukur Tanah ( )
1.4 Skala ( )
1.5 Prinsip Dasar Pengukuran ( )
A. Pengukuran dan Kesalahan ( )
B. Standar Pengukuran ( )
C. Pembacaan Hasil Pengukuran ( )
D. Jenis – Jenis Kesalahan ( )
1.6 Pengukuran Menyipat Datar ( )
A. Definisi ( )
B. Bagian – Bagian Alat Sipat Datar ( )
C. Tipe Sipat Datar ( )
1) Metode Sipat Datar Langsung ( )
2) Metode Sipat Datar Tidak Langsung ( )
D. Metode Pengukuran ( )
1) Metode Pembacaan Muka dan Belakang (Loncat) ( )
2) Metode Garis Bidik ( )
3) Metode Gabungan ( )
1.7 Pengukuran Polygon ( )
A. Definisi ( )
B. Jenis – Jenis Polygon ( )
1) Polygon Terbuka ( )
2) Polygon Tertutup ( )
C. Cara Mengukur Sudut ( )
D. Memilih Titik Polygon ( )
E. Perhitungan Polygon ( )
1.8 Pengukuran Peta Situasi (Tachymetri) ( )
A. Definisi ( )
B. Garis Kontur ( )

BAB II : PENGUKURAN MENGGUNAKAN WATERPASS

METODOLOGI

2.1 Tujuan ( )

2.2 Alat dan Bahan ( )

2.3 Tinjauan Pustaka ( )

A. Definisi Waterpass ( )

B. Bagian – Bagian Alat Ukur Waterpass Beserta Fungsinya ( )

2.4 Petunjuk Umum ( )

2.5 Langkah Kerja ( )

A. Mengatur / Menyetel Pesawat Waterpass ( )

B. Membidik dan Membaca Rambu Ukur ( )

C. Membaca Skala Lingkaran ( )

D. Memeriksa Pesawat Waterpass ( )

E. Pelaksanaan Pengukuran Waterpass (Menyipat Datar) ( )

F. Prosedur Pengukuran Profil Melintang ( )

BAB III : PENGUKURAN DENGAN MENGGUNAKAN TOTAL STATION

METODOLOGI

1.1 Tujuan ( )
1.2 Alat dan Bahan ( )
1.3 Tinjauan Pustaka ( )
A. Arti dan Tujuan Ilmu Ukur Tanah ( )
B. Dimensi – Dimensi Yang Dapat Diukur ( )
C. Prinsip Dasar Pengukuran ( )
D. Peta dan Jenis – Jenis Peta ( )
E. Pengukuran Polygon ( )
1.4 Petunjuk Umum ( )
1.5 Langkah Kerja ( )
A. Menyetel Pesawat dan Memeriksa Sumbu I ( )
B. Memeriksa Sumbu II, Sumbu I, dan Garis Bidik Sumbu II ( )
C. Pembacaan Skala Lingkaran ( )
D. Pengukuran Sudut Horizontal ( )
E. Pengukuran Sudut Vertikal ( )
F. Membuat Lengkungan di Lapangan Dengan Alat
Sederhana ( )
G. Polygon Terbuka ( )
H. Polygon Tertutup ( )

BAB IV : METODOLOGI PENELITIAN

1) METODOLOGI WATERPASS
2) METODOLOGI TOTAL STATION

BAB V : PERHITUNGAN DAN GAMBAR

1) WATERPASS
2) TOTAL STATION

BAB VI : PENUTUP

1) WATERPASS
2) TOTAL STATION

LAMPIRAN
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi praktikum


Praktikum merupakan bagian dari pengajaran yang bertujuan agar mahasiswa
mendapat kesampatan untuk menguji dan melaksanakan dalam keadaan nyata apa
yang diperoleh dala pelajaran praktik.

1.2 Definisi Ilmu Ukur Tanah


Ilmu ukur tanah adalah sebuah cabang keilmuwan Geodesi yang hanya khusus
mempelajari bagian kecil permukaan bumi dengan melakukan proses surveying atau
pengukuran. Hasil akhir dari ilmu ini akan berupa sebuah peta. Pengukuran
dilakukan terhadap berbagai detail alam dan detail buatan manusia dan meliputi
posisi vertikal atau Z serta posisi horizontal atau X,Y.

1.3 Tujuan Praktikum Ilmu Ukur Tanah


1) Mahasiswa dapat mengenal dan dapat mengetahui cara menggunakan waterpass
dan total station.
2) Mahasiswa dapat mengetahui dan mengatasi kesulitan – kesulitan yang dialami
saat menggunakan waterpass dan total station.
3) Mahasiswa dapat mengatur alat dan membaca rambu ukur dengan tepat dalam
setiap pengukuran.
4) Mahasiswa dapat mengukur jarak optis dan beda tinggi suatu tempat
5) Mahasiswa dapat melakukan perhitungan dengan teliti.
6) Mahasiswa dapat menggambarkan hasil pengukuran dengan tepat.

1.4 Skala
Skala merupakan perbandingan jarak pada gambar dengan jarak aslinya.
Penggunaan rumus skala umumnya digunakan dalam menggambar peta maupun
denah sehingga dapat mewakili keadaan sesungguhnya. Artinya ukuran yang tertera
pada gambar lebih kecil dari ukuran sebenarnya atau biasa dikenal dengan faktor
skala. Hal tersebut hanya mengubah ukuran tanpa mengubah bentuk gambar.
Misalnya :
 Peta dengan skala 1 : 200
Artinya 1 cm diatas kertas sama dengan 200 cm di lapangan.

1.5 Prinsip Dasar Pengukuran


Prinsip – prinsip dasar dalam pengukuran ada 4 yaitu :
A. Pengukuran dan kesalahan.
B. Standar pengukuran.
C. Pembacaan hasil pengukuran.
D. Jenis – jenis kesalahan.

A. Pengukuran dan Kesalahan


 Instrumen adalah sebuah alat yang digunakan untuk menentukan nilai dari
suatu kuantitas atau variabel.
 Ketelitian (accuracy) adalah nilai terdekat dari suatu pembacaan instrumen
mendekati nilai sebenarnya dari variable yang diukur.
 Ketepatan (precion) adalah suatu ukuran kemampuan untuk mendapatkan
hasil pengukuran yang serupa.
 Kesalahan (error) adalah penyimpangan variabel yang diukur dari nilai
sebenarnya.
B. Standar Pengukuran
Standar pengukuran yang dikelompokkan menurut fungsi dan pemakaiannya :
 Standar Internasional (International Standards).
 Standar Primer ( Primary Standards).
 Standar Sekunder (Secondary Standards).
 Standar Kerja (Working Standards).

C. Pembacaan Hasil Pengukuran


Ada dua hal mendasar yang harus dimiliki oleh seorang pengamat (seseorang
yang membaca hasil pengukuran), yaitu :
 Keterampilan membaca penunjukan jarum skala alat ukur.
 Keterampilan menghitung hasil pengamatan.
D. Jenis – Jenis Kesalahan
 Kesalahan pembacaan alat ukur.
 Penyetelan yang tidak tepat.
 Pemakaian instrumen yang tidak sesuai.
 Kesalahan penafsiran.

1.6 Pengukuran Menyipat Datar


A. Definisi
Pengukuran sipat datar atau Levelling yaitu untuk menentukan beda
tinggi antara titik – titik pada permukaan tanah di daerah pengukuran. Salah satu
alat yang umum digunakan dalam pengukuran sipat datar adalah waterpass.
Pengukuran sipat datar sangat penting dilakukan khususnya pada pekerjaan
perencanaan drainase dan penyiapan badan jalan untuk menjamin elevasi tanah
dasar sesuai dengan rencana. Data masukan yang menjadi unsur perhitungan
beda tinggi yang diperoleh dari selisih bacaan benang tengah rambu belakang
dengan bacaan benang tengah rambu muka.

B. Bagian – Bagian Alat Sipat Datar :


 Kiap Bawah (Trivet Stage) adalah landasan pesawat yang menumpu pada
kepala statif yang mana mempunyai lubang sekrup untuk mengunci agar
pesawat menyatu secara kuat.
 Sekrup Penyetel Kedataran adalah tigaa buah sekrup untuk menyetel
gelembung nivo tabung agar kedudukannya ditengah – tengah, sehingga garis
acuan sejajar dengan bidang horizontal.
 Kiap Atas (Tribrach) adalah landasan utama tempat berdirinya puncak tiga
sekrup penyetel. Disamping itu juga sebagai pemikul bagian atas badan
pesawat.
 Teropong, didalamnya terdapat lensa objektif (di muka) dan lensa okuler (di
belakang). Juga terdapat garis bidik, yakni garis khayal yang menghubungkan
antara titik potong benang silang diafragma dengan titik tengah lensa objektif,
diteruskan ke target / sasaran. Teropong ini hanya dapat diputar pada sumbu
ke satu.
 Nivo tabung/kotak adalah nivo yang digunakan sebagai pedoman penyetelan
pesawat agar garis bidiknya sejajar dengan arah garis nivo. Nivo ini diletakan
menjadi satu dengan teropong.
 Lensa objektif adalah salah satu lensa pada teropong yang letaknya dibagian
depan, dan paling besar.
 Lensa okuler adalah salah satu lensa pada teropong yang letaknya dibagian
belakang yang lebih kecil dari lensa objektif.
 Cincin/lingkaran pengatur diafragma adalah alat yang digunakan untuk
mengatur agar gambar atau bayangan target kelihatan jelas didalam teropong.
C. Tipe Sifat Datar
1) Metode sifat datar langsung
Dengan menempatkan alat ukur langsung diatas salah satu titik. Aturlah
sedemikian rupa sehingga sumbu kesatu alat tepat berada diatas patok(titik)
kemudian ukurlah tinggi garis bidik terhadap patok (titk) tersebut misalnya a,
kemudian dengan gelembung nivo ditengah-tengah garis bidik diarahkan ke
master yang terletak diatas titik satunya lagi, dan didapat pembacaan adalah
b. Sehingga dengan mudah diketahui beda kedua titik a dan b adalah :t = a - b
.
2) Metode Sifat datar tidak langsung
Pengukuran ini dilakukan bila tidak mungkin menempatkan atau
memakai isntrumen ukur langsung pada jarak atau sudut yang diukur. Oleh
karenannya, hasil ukuran ditentukan oleh hubungannya dengan suatu harga
lain yang dikatahui. Jadi jarak ke seberang sungai dapat ditemukan dengan
mengukur sebagian jarak disuatu sisi, sudut ditiap ujung jarak ini yang diukur
ketitik seberang, dan kemudian menghitung jarak tadi dengan salah satu
rumus trigonometri baku.

a) Cara grafis
Alat ukur menyipat datar ditempatkan antara titk A dan B, sedang
diantar titik A dan B ditempat 2 mistar. Jarak dari alat ukur menyipat
datar kedua mistar, ambilah kira-kira sama, sedang alat ukur penyipat
datar tidaklah perlu terletak perlu terletak digaris lurus yanmg
menghubungkan dua titk A dan B. Arahkan garis bidik dengan
gelembung ditengah-tengah mistar A (belakang) dan mistar B (muka).
Dan misalkan pembacaan pada dua mistar berturut-turut adalah B
(belakang) dan m (muka), maka beda tinggi antara titk A dan N adalah t =
b – m.

Tidaklah selalu mungkin untuk menempatkan alat ukur menyipat


datar diantara dua titk A dan B, misalnya karena antara titk A dan B ada
selokan. Maka dengancara ketiga alat ukur menyipat datar diantara titk A
dan B tetapi sebelah kiri A atau disebelah kanan titk B, jadi diluar garis A
dan B pada gambar 1.1 alat ukur menyipat datar diletakkan disebelah
kanan titik B. Pembacaan yang dilakukan pada mistar yang diletakkan
diatas titik-titik A sekarang berturut-turut adalah b dan m, sehingga dapat
diperoleh dengan mudah, bahwa beda tinggi t = b–m.

b) Cara Analitis

Pesawat waterpass diletakkan antara dua mistar yang memberi


hasil paling teliti, karena kesalahan yang mungkin masih ada pada
pengukuran dapat saling memperkecil, apalagi bila jarak antara pesawat
waterpass kedua mistar dibuat sama. Jadi untuk mendapatkan beda tinngi
antara dua titk selalu diambil pembacaan mistar muka, sewhingga t = b –
m.Bila (b – m) hasilnya positif, maka titik muka lebih tinggi dari titik
belakang, dan bila hasilnya negatif, maka titik muka lebih rendah dari
titik belakang.

Setelah beda tinggi antara dua titik ditentukan, maka tinngi satu
titik dapat dicari bila tinggi titik lainnya telah diketahui. Suatu cara untuk
menentukan tinggi suatu titik ialah dengan menggunakan tinggi garis
bidik. Dengan diketahui tinggi garis bidik, dapatlah dengan cepat dan
mudah menantukan tinggi titik – titik yang diukur. Tempatkan saja mistar
diatas titik itu, arahkan garis bidik kemistar dengan gelembung ditengah-
tengah, lakukan pembacaan pada mistar itu, seperti dilihat pada gambar
1.2 maka tinggi titik, Tt = t, Gb = tinggi garis bidik = pembacaan pada
mistar.

D. Metode Pengukuran
1) Metode pembacaan muka dan belakang (loncat)
Metode ini biasanya digunakan pada pengukuran jaringan irigasi atau
pengukuran memanjang tanpa diselingi potongan melintang, karena metode
loncat, pesawat waterpass berada ditengah-tengah antara patok 1 dan 2 atau
berada pada patok genap sedangkan rambu berada pada patok ganjil. Untuk
pengukuran melintang hal ini agak sulit dilakukan karena pesawat tidak
berdiri disemua patok. Untuk itu digunakan garis bidik.Adapun keunggulan
dan kelemahan metode loncat adalah sebagai berikut :
 Metode loncat bisa mengukur jarak dan beda tinggi.
 Tidak efisien digunakan dalam pengukuran jalan yang tiap 25 m dibuat
potongan melintang.
 Pesawat harus pas diatas patok sehingga menyulitkan pengkuran pada
areal daerah yang padat (dalam hal ini jalan).

2) Metode Garis bidik


Metode garis bidik merupakan metode yang praktis dalam menentukan
profil melintang dibanding dengan metode loncat.Prinsip kerja metode ini
adalah metode ini hanya mengukur beda tinggi. Adapun keunggulan dan
kelebihannya adalah :
 Garis bidik sangat efisien dalam pengukuran melintang khususnya jalan.
 Garis bidik hanya mampu menentukan beda tinngi suatu wilayah namun
tidak bisa membaca jarak.
 Jarak antara patok harus diukur terlebih dahulu.
 Pesawat bisa diletakkan dimanapun yang kita suka karena metode ini
hanya untuk menentukan garis bidik.

3) Metode Gabungan
Metode ini merupakan gabungan dari kedua metode diatas, namun
diperhatikan bahwa dalam menentukan beda tinggi suatu wilayah metode
perhitungannya harus tersendiri tidak bisa dicampur baur karena mempunyai
prinsip berbeda.

1.7 Pengukuran polygon


A. Definisi
Polygon adalah metode untuk menentukan posisi horizontal dari titik-titik
dilapangan yang berupa segibanyak dengan melakukan pengukuran sudut dan
jarak. Tujuammya adalah untuk mendapatkan data-data lapangan berupa
koordinat horizontal (x,y).

B. Jenis – Jenis Polygon


1) Polygon Terbuka
Polygon terbuka biasa digunakan untuk mengukur jalan, sungai, maupun
irigasi. Tapi kenyataannya bisa digunakan untuk mengukur luas lahan
terbuka. Namun tetap disarankan untuk menggunakan poligon tertutup
apabila mengukur luas lahan. Yang dimaksud terbuka disini adalah polygon
tersebut tidak mempunyai sudut dalam seperti pada tertutup. Jadi pengukuran
dimulai dari titik awal tapi tidak kembali dititik awal seperti pada gambar
dibawah ini.

Gambar Polygon Terbuka

Polygon terbuka sendiri terbagi menjadi dua yaitu terikat sempurna dan
tidak terikat sempurna. Dikatakan terikat sempurna apabila kita mempunyai
data-data koordinat pada titik awal dan titik akhir berupa data koordinat dan
elevasi (x,y,z). sedangkan terikat tidak sempurna adalah hanya mempunyai
data koordinat dan elevasi pada titik awal saja. Data koordinat tersebut bisa
di dapatkan dari benchmark.

Polygon terbuka tidak terikat sempurna ini tidak bisa dikoreksi sehingga
hanya surveyor-serveyor handal dan berpengalaman banyaklah yang bisa
menggunakan ini karna yakin ketelitian-ketelitian sudut hanya kecil. Tingkat
kesalahan pada pengukuran sangat tergantung dari pengukurannya sendiri
seberapa akurat bisa melakukannya.

2) Polygon tertutup
Polygon tertutup adalah kerangka dasar pengukuran yang membentuk
polygon segi banyak yang menutup. Yang dimaksud menutup adalah apabila
mulai dari titik satu kemudian ketitik dua dan seterusnya akan Kembali
ketitik satu lagi. Sehingga akan membentuk segi banyak. Fungsi dari kembali
ketitik awal adalah digunakan untuk mengkoreksi besaran sudut pada tiap
segi banyak tersebut.

Gambar polygon tertutup

Pada gambar diatas terlihat semua sudut teratur namun pada pengukuran
dilapangan semua sudut mempunyai besaran yang berbeda-beda. Pada
prinsipnya yang perlu diingat adalah penentuan jumlah titik polygon disesuaikan
dengan kondisi lapangan. Misalkan yang diukur lahan yang sangat luas maka
menbutuhkan banyak titik polygon. Usahakan menggunakan sedikit titik polygon
yang terpenting menutup. Semakin banyak titik polygon maka tingkat kesalahan
sudut semakin besar.

C. Cara mengukur sudut


Pengukuran sudut sebaiknya dilakukan sebelum pengukuran jarak dengan
alat theodolith dengan mengarahkan teropong pada arah tertentu, dan kita akan
memperoleh pembacaan tertentu pada plat lingkaran horizontal pada alat
tersebut.
Dengan bidikan kearah lainnya, selisih pembacaan kedua dan pertama
merupakan sudut dari dua arah tersebut. Pengukuran sudut dilakukan dalam
keadaan biasadan luar biasa, hingga kita akan dapatkan harga rata-rata dari sudut
tersebut. Berbagai cara dilakukan dilakukan dalam mengukur sudut, atau arah
garis poligon antara lain :
 Pengukuran poligon dengan sudut arah kompas.
 Pengukuran poligon dengan sudut dalam.
 Pengukuran poligon dengan sudut belokan.
 Pengukuran poligon dengan sudut ke kanan.
 Pengukuran poligon dengan sudut azimuth.
D. Memilih Titik Polygon
Dalam memilih lokasi titik harus memnuhi syarat sbb :
1) Memudahkan untuk melakukan pengukuran.
 Daerah terbuka dan tidak turun naik.
 Hindari pengukuran yang melalui daerah alang-alang.
2) Hindari pengukuran sudut pada jarak pendek. Benag silang dan target tidak
berimpit dengan sempurna pada sat pembacaan hasil pengukuran.
3) Titik harus ditempatkan pada daerah dimana titik tersebut dapat dibidik
secara langsung.
4) Untuk memudahkan mencari titik tersebut, usahakan titik tersebut terletak
dengan obyek-obyek yang dikenal seperti pohon dan tiang listrik.
E. Perhitungan Poligon
1) Menentukan sudut datar
Perhitungan sudut datar adalah menjumlahkan semua sudut yang diukur dari
titik pengukuran untuk mengetahui koreksi terhadap sudut yang diukur.
2) Menentukan Koreksi akibat sudut datar
Apabila terjadi kesalahan setelah menjumlahkan sudut datar dari semua titik
yang didapat dari hasil pengukuran, maka harus dikoreksi sesuai dengan
banyaknya titik pengukuran.
3) Menentukan Sudut datar terkoreksi
4) Menentukan Azimuth
Untuk menghitung azimuth tiap-tiap garis penghubung haruslah ditentukan
terlebih dahulu azimuth awalnya. Penentuan azimuth awal dapat ditentukan
dengan cara kompas (magnetis) atau pengamatan matahari.
5) Menentukan selisih koordinat x dan ySetelah azimuth dan jarak datar telah
terhitung, maka kita dapat menghitung koordinat titik poligon. Perhitungan
dimulai dengan pencari selisih koordinat x dan y.
6) Menentukan Selisih koordinat x dan y dengan beberapa metode sebagai
berikut:
 Metode Sembarang
 Metode aturan transit
 Metode aturan kompas
 Metode aturan crandall
 Metode kuadrat kecil
 Metode jarak optis

1.8 Pengukuran Peta Situasi (Tachymetri)
A. Definisi
Peta situasi adalah proyeksi vertikal yang digambarkan sesuai dengan
situasi atau keadaan sebenarnya yang dilihat secara langsung.

B. Garis Kontur
1) Garis kontur adalah garis yang menghubungkan antara titik yang mempunyai
ketinggian yang sama dari suatu ketinggian/bidang acuan tertentu. Garis ini
merupakan garis yang kontinue dan tidak dapat bertemu atau memotong garis
kontur lainnya, kecuali dalam keadaan kritis seperti jurang atau tebing.
Keadaan curaman dari suatu lereng dapat ditentukan dari jarak interval
kontur dan jarakjarak horizontal antara dua buah garis kontur ini menyangkut
beda tinggi.
2) Syarat – syarat kontur
 Kegunaan dan pengembangan dari pengukuran apabila perencanaan
dibutuhkan untuk pekerjaan detail dan interval kontur yang kecil sangat
dibutuhkan
Untuk daerah kecil : 0,5 m
Untuk daerah luas : 1 sampai 2 m 2.
 Skala dari peta Biasanya untuk skala kecil interval kontur harus besar,
jika tidak detail yang penting akan tidak tergambar dikarenakan
banyaknya garis kontur yang digambarkan dengan interval yang kecil.
 Merupakan Garis kontinue.
 Tidak memotong garis kontur lainnya
 Tidak dapat bercabang menjadi garis – garis kontur lainnya atau baru.
3) Metode pengambaran garis kontur
 Cara Grafis
Dengan cara ini garis kontur diikuti secara fisis –ada permukaan
bumi.Pekerjaan ini kebalikan dari cara kerja sipat datar dimana titik akhir
ketinggian adalah merupakan titk yang akan diketahui dan diperlukan
pada penarikan garis kontur.
 Cara Analitis
Dengan cara ini garis kontur tidak dapat dibuat dengan langsung,
kecuali melaui beberapa titik tinggi yang ditentukan dan posisi garis-
garis kontur ditentukan dengan cara interpolasi. Cara ini dilakukan
dengan 3 tahap:
 Penentuan garis (jaringan)
 Sifat datar.

BAB II

PENGUKURAN MENGGUNAKAN WATERPASS

2.1 Tujuan
1) Mahasiswa dapat melaksanakan pengukuran profil memanjang dan profil
melintang.
2) Mahasiswa dapat melaksanakan pengukuran peta situasi dengan menyipat datar.
3) Mahasiswa dapat melaksanakn perhitungan kuantitas / volume hasil pekerjaan.
4) Mahasiswa dapat menggambar hasil pengukuran.
5) Mahasiswa dapat mengukur jarak optis dan beda tinggi suatu tempat.
6) Mahasiswa dapat membaca skala lingkaran pada pesawat waterpass.

2.2 Alat dan Bahan

2.2.1 Alat
 Payung
 Patok
 Buku
 Polpen

2.2.2 Bahan

 Waterpass
 Statif
 Bak ukur
 Unting – unting

2.1 Tinjauan Pustaka
A. Definisi Waterpass

Waterpass adalah alat ukur yang menggunakan gelombang air dalam


sebuah tabung kaca kecil, prinsip kerjanya adalah berdasarkan kerataan terhadap
horizontal bumi serta mempunyai fungsi untuk mengukur beda tinggi suatu
tempat dari satu titikacuan ke acuan berikutnya.Waterpass ini dilengkapi dengan
kaca dan gelembung kecil di dalamnya. Untukmengecek apakah waterpass telah
terpasang dengan benar, perhatikan gelembung didalam kaca berbentuk bulat.
Apabila gelembung tepat berada di tengah, berartiwaterpass telah terpasang
dengan benar. Pada waterpass, terdapat lensa untuk melihatsasaran bidik. Dalam
lensa, terdapat tanda panah menyerupai ordinat (koordinatkartesius). Angka pada
sasaran bidik akan terbaca dengan melakukan pengaturanfokus lensa. Selisih
ketinggian dapat diperoleh dengan cara mengurangi nilai pengukuran sasaran
bidik kiri dengan kanan.

Fungsi dari pengukuran beda tinggi antara lain :


 Merancang jalan raya, jalan baja dan saluran - saluran yang mempunyai
garis gradien paling sesuai dengan topografi yang ada.
 Merencanakan proyek – proyek konstruksi menurut evaluasi terencana.
 Menghitung volume pekerjaan tanah.
 Menyelidiki ciri – ciri aliran di suatu wilayah.
 Mengembangkan peta – peta yang menunjukkan bentuk tanah secara umum.
Waterpass yang juga disebut penyipat datar karena sifatnya tersebut
digunakan untuk menentukan ketinggian titik – titik yang menyeber dengan
kerapatan tertentu untuk membuat garis – garis ketinggian (kontur) suatu daerah.
Adapun beberapa jenis pengukura sipat, yaitu :

 Pengukuran sipat datar resiprokal (reciprocal levelling) adalah pengukuran


sipat datar dimana alat sipat datar tidak dapat di tempatkan di antara dua
stasiun. Misalnya, pengukuran sipat datar menyebrangi sungai / lembah yang
lebar.
 Pengukuran sipat datar teliti (precise leveling) adalah pengukuran sipat datar
yang menggunakan aturan serta peralatan sipat datar teliti.

B. Bagian – Bagian Alat Ukur Waterpass Beserta Fungsinya


Bagian – bagian dari waterpass antara lain :
 Lensa obyektif
 Lensa okuler
 Nivo
 Garis bidik
 Dasar alat
 Sekrup lantai
 Garis arah nivo
 Sekrup koreksi nivo
 Sekrup pengunci dengan kaki tiga
 Sekrup koreksi diafragma
 Sekrup pengatur
 Kaki penyangga

Adapun nama bagian – bagian utama dari alat ukur waterpass beserta fungsinya,
sebagai berikut :

 Teropong, berfungsi sebagai alat pembidik.


 Visir, berfungsi sebagai alat pengarah bidikan secara kasar sebelum dibidik
dilakukan melalui teropong atau lubang tempat membidik.
 Nivo kotak, digunakan sebagai penunjuk sumbu satu dalam keadaan tegak
atau tidak. Bila nivo berada ditengah berarti sumbu satu dalam keadaan tegak.
 Nivo tabung adalah penunjuk apakah garis bidik sejajar garis nivo atau tidak.
Bila gelembung nivo berada di tengah atau nivo U membentuk huruf U,
berarti garis bidik sudah sejajar garis nivo.
 Pemfokus diafragma, berfungsi untuk memperjelas keadaan benang
diafragma.
 Sekrup pemokus bidikan, berfungsi untuk mengatur agar sasaran yang dibidik
dari teropong terlihat dengan jelas.
 Tiga sekrup pendatar, berfungsi untuk mengatur gelembung nivo kotak.
 Skrup pengatur nivo U, berfungsi untuk mengatur nivo U membentuk huruf
U.
 Sekrup pengatur gerakan halus horizontal, berfungsi untuk menepatkan
bidikan benang diafragma tegak tepat di sasaran yang dibidik.
 Sumbu tegak atau sumbu satu (tidak nampak), berfungsi agar teropong dapat
diputar kea rah horizontal.
 Lingkaran horizontal berskala yang berada di badan alat berfungsi sebagai alat
bacaan sudut horizontal.
 Lubang tempat membaca sudut horizontal.
 Pemfokus bacaan sudut, berfungsi untuk memperjelas skala bacaan sudut.
2.2 Petunjuk Umum
1) Baca, pahami dan pelajari lembar kerja ini.
2) Penyetelan pesawat waterpass yang di maksud adalah pengaturan pesawat
waterpass di suatu tempat hingga memenuhi persyaratan untuk mengadakan
pengukuran.
3) Perhatikan dan ingat macam – macam sekrup penyetel dan coba bidik suatu titik
target.
4) Pelajari buku petunjuk / spesifikasi pesawat yang di gunakan.
5) Jangan memutar sekrup sampai mengetahui cara menggunakannya.
6) Bekerja dengan hati – hati, sabra dan juga teliti.
7) Bersihkan semua peralatan selesai di gunakan.
2.1 Langkah kerja
A. Mengatur / Menyetel Pesawat Waterpass
1) Dirikan statik di atas titik yang dimaksud hingga kaki statif membentuk
segitiga sama sisi, dan usahakan platnya mendatar dengan cara:
 Buka sekrup pengunci kaki statif, panjangkan seperlunya kemudian kunci
sekedarnya.
 Injak kaki statif seperlunya hingga cukup stabil.
 Atur kepala statif (plat level) sedatar mungkin sambil memperhatikan
sekrup pengunci pesawat, kira-kira centering di atas titik yang dimaksud.
 Kencangkan sekrup pengunci kaki statif.
2) Pasang pesawat dan kunci sekedarnya sehingga masih mudah digeser-geser.
3) Pasang unting-unting sedemikian rupa hingga kira-kira 1 cm di atas
titik yang dimaksud.
4) Atur unting-unting dengan menggeser-geser pesawat di atas plat level
hingga betul-betul centering, kemudian kencangkan pengunci pesawat.
5) Sejajarkan teropong dengan dua sekrup penyetel sumbu I (sekrup A &
B) dan ketengahkan gelembung nivo dengan memutar sekrup A, B,
dan C sekaligus hingga gelembung nivo tepat berada di tengah-tengah
lingkaran nivo.
6) Putar teropong ke posisi mana saja, jika gelembung nivo berubah-ubah
steel kembali sekrup penyetel hingga gelembung kembali ke tengah.
7) Lakukan berulang-ulang hingga gelembung nivo tetap di tengah
kemanapun teropong diarahkan, maka sumbu I vertikal dan pesawat
telah siap dipakai.

B. Membidik dan membaca Rambu Ukur


1) Bidik dan arahkan teropong kasar pada bak ukur yang didirikan
vertikal pada suatu titik yang telah ditentukan dengan menggunakan
garis bidik kasar yang ada di atas pesawat.
2) Bila bayangan kabur, perjelas dengan memutar sekrup pengatur lensa
obyektif, dan jika benang silang kabur perjelas dengan memutar sekrup
pengatur diafragma.
3) Impitkan benang silang diafragma dengan sumbu rambu ukur dengan
cara mengatur sekrup penggerak halus.
4) Lakukan pembacaan rambu ukur sebagai berikut:
 Misal bacaan meter dua decimeter.
BA = 1,500
BT = 1,400
BB = 1,300
 Pembacaan centimeter ditentukan oleh bentuk hitam putih pada
rambu ukur.
Misal : BA = 0,050
BT = 0,050
BB = 0,050
 Pembacaan milimeter ditaksir di antara garis centimeter.
Misal : BA = 0,005
BT=0,005
BB=0,005
 Maka hasil pembacaan adalah
BA = 1,500 + 0,050 + 0,005 = 1,555
BT = 1,400 + 0,050 + 0,005 = 1,455
BB = 1,300 + 0,050 + 0,005 = 1,355
5) Pembacaan rambu selesai dan harus memenuhi ketentuan
BA + BB = 2 x BT
(BA - BT) = (BT - BB)
6) Untuk mendapatkan jarak optis digunakan rumus
Jarak = (BA – BB) x 100, dimana benang atas dan benang bawah
satuannya adalah cm

C. Membaca Skala Lingkaran


1) Perhatikan pembagian skala lingkaran pada pesawat tersebut.
2) Tiap 10° dibagi menjadi 10 bagian, berarti tiap bagian besarnya 1°.
3) Baca skala lingkaran yang ditunjuk oleh garis index.
Misal garis index menunjukan pada bilangan puluhan 60° dan atara 5
dan 6 strip bagian kecil, berarti pembacaan 60° + 5° =65°.
4) Harga bacaan menit dikira-kira sesuai dengan letak garis index.
Misal dalam gambar garis index berada ditengah antara 5 dan 6 berarti
mempunyai harga ½ ° atau 30’.
5) Pembacaan akhir pada gambar skala lingkaran di atas adalah :
60° + 5° + 30’ = 65°30’

D. Memeriksa Pesawat Waterpass


1) Mengatur/memeriksa garis arah nivo tegak lurus gbr.I
 Tempatkan dan steel pesawat waterpass.
 Ketengahkan nivo dengan sekrup penyetel A, B dan C.
 Putar teropong ke arah 90° & 180°, jika gelembung nivo tetap
berada ditengah - tengah berarti garis arah nivo tegak lurus sumbu
I.
 Jika setelah teropong diputar 90° & 180°, gelembung nivo berubah
maka atur kembali sekrup penyetel A, B dan C sehingga
gelembung nivo berada di tengahtengah.
 Jika pekerjaan di A telah dikerjakan berulang kali tetapi gelembung
nivo tidak bisa ditengah, berarti garis lurus arah nivo tidak tegak
lurus dengan bagian I dan perlu diadakan koreksi nivo.
 Koreksi nivo dilakukan dengan mengembalikan gelembung nivo
setengahnya dengan sekrup penyetel A, B dan C setengahnya
dikembalikan dengan sekrup koreksi nivo.
2) Memeriksa/mengatur benang mendatar diafragma tegak lurus sumbu I
 Tempatkan dan steel pesawat sehinga sumbu I tegak lurus seperti
angka penyetelan pesawat waterpass.
 Bidik suatu titik target sehingga titik tersebut terletak di salah satu
ujung benang mendatar diafragma. Misal titik target terletak di
ujung kiri.
 Putar teropong ke arah titik tersebut sehingga titik tersebut terletak
di ujung kanan mendatar diafragma.
 Bila titik tersebut berimpit dengan ujung kanan benang mendatar,
berarti benang mendatar diafragma tegak lurus sumbu I.
 Jika titik target tersebut tidak berimpit dengan ujung kanan benang
mendatar diafragma, berarti ada kesalahan (benang mendatar
diafragma tidak tegak lurus sumbu I).
 Untuk mengoreksinya hilangkan setengah dengan mengatur sekrup
koreksi diafragma, maka benang mendatar diafragma akan tegak
lurus sumbu I.
 Ulangi pekerjaaan ini dari awal sehingga pada pemutaran teropong
dengan sumbu I sebagai sumbu putar titik target tetap berhimpit
dengan benang mendatar diafragma.
3) Memeriksa/mengatur garis bidik sejajar dengan garis arah nivo
 Tentukan titik A, B, C dan D yang terletak pada satu garis lurus
dan buat jarak AC – CB = BD.
 Letakkan pesawat dititik C, steel sehingga memenuhi syarat guna
mengadakan pengukuran.
 Letakkan rambu ukur pada titik A dan B.
 Baca rambu ukur di A & B dan catat hasil pemacaannya.
Misal : Pembacaan rambu ukur di A = a

Pembacaan ramb ukur di B = b

 Pindahkan pesawat di D, steel sehingga memenuhi syarat


pengukuran.
 Baca rambu ukur di A & B.
Misal : Pembacaan rambu ukur di A = C
Pembacaan rambu ukur
 Hitung beda tinggi A – B berdasarkan bacaan pertama : (a - b) = h1.
 Hitung beda tinggi A – B berdasarkan bacaan kedua : (c – d) = h2.
 Jika h1 = h2 berarti garis bidik // garis arah nivo.
 Jika h1 = h2 berarti garis titik tidak sejajar garis arah nivo dan harus
dikoreksi.
(Seperti terlihat pada gambar, jika garis bidik tidak sejajar dengan garis
arah nivo, maka garis bidik akan membentuk sudut α terhadap garis nivo).
 Cari harga x dan y.

Lihat ∆ cpd dan ∆ cyt 2

∆ cpd ~ cyt karena

d1 =d2 = d3 Maka
dx = ⅓ cy

P= d + h1
cp = c – p
dx = ½ c p → x = d - dx y = c – cy

 Teropong di arahkan ke rambu ukur A.


 Dengan sekrup koreksi diafragma benang tengah dikoreksi

sehingga pembacaan sama dengan y.

 Untuk pengecekan, arahkan teropong ke rambu ukur B dan pembacaan


harus sama dengan x.

E. Pelaksanaan Pengukuran Waterpass (Menyipat Datar)


1) Metode loncat
Hal penting dalam metode loncat :
Tentukan titik-titik travers yang akan dibuat.
 Dalam pengukuran sebaiknya dilakukan dengan cara rambu muka pada
slag I menjadi rambu belakang pada slag II dan seterusnya.
 Untuk mendapatkan ketelitian, sebaiknya pengukuran dilakukan dua kali
(pulang pergi).
 Hitung hasil pengukuran dan bila perlu digambar profilnya
Uraian pelaksanaan pengukuran:
a) Pengukuran jarak optis

P0 P 1 P2 P 3 P4

 Tempatkan dan steel pesawat ditengah-tengah antara titik P0


dan P2 (slag), slag adalah ruas antara dua patok muka dan
belakang. Penempatan pesawat harus satu garis dengan P0
dan P2.
 Tempatkan rambu ukur di atas patok. Titik P 0 sebagai
rambu belakang dan titik P2 sebagai rambu muka.
 Bidik teropong ke rambu belakang P0 kemudian baca BT,
BA dan BB, kemudian dicatat pada buku ukur.
 Turunkan rambu kemuka tanah pada titik P0 tersebut dan
lakukan pembacaan seperti pada a.3.
 Putar teropong dan bidik rambu muka serta lakukan
pembacaan seperti pada a.3 dan a.4.
 Pesawat dipindahkan ke slag II (antara P2 dan P4). Dengan
cara yang sama dengan langkah a.1 s/d a.5. Lakukan
pembacaan rambu muka dan rambu belakang.
 Begitu seterusnya sampai dengan slag terakhir.
 Jarak P0 dan P2 adalah pesawat ke rambu belakang tambah
jarak pesawat ke rambu muka. Demikian juga pada slag-
slag berikutnya. Pesawat diusahakan ditempatkan tepat di
tengah antara dua titik (P0P2).
b) Perhitungan jarak optis
Perhitungan jarak secara optis dapat dilakukan pada titik-
titik utama dan titik detail. Rumus jarak optis (D) D = (BA –
BB) x 100 dimana :

D = Jarak datar optis

BA = Bacaan benang atas

BB = Bacaan benang bawah

Bacaan benang tengah (BT) haru memenuhi persyaratan yaitu :

BT = BA + BB

Pengukuran jarak titiik-titik detail (tidak langsung) pada


titik profil melintang yang titik utamanya bukan posisi alat,
dapat dilakukan dengan

cara phytagoras seperti di bawah ini :

P 0 a b P0 a = √(P1a)2 – (P1P0)2

P0 b = √(P1b)2 – (P1P0)2

P 1
Dimana :

P0a = Jarak analitis P0 – a

P1a = Jarak optis P1 – a ; P1P2 =Jarak optis melintang

c) Pengukuran jarak rantai


 Tempatkan dan steel pesawat kira-kira ditengah-tengah
antara P0 dan P2 (slag I).
 Tempatkan rambu ukur di P0 sebagai rambu belakang dan di
P2 sebagai rambu muka.
 Bidik teropong ke rambu belakang, baca dan catat
pembacaan BT, BA dan BB.
 Turunkan rambu kemuka tanah pada titik P0 tersebut dan
lakukan pembacaan seperti b.3.
 Putar teropong dan bidik rambu muka serta lakukan
pembacaan rambu muka b.3 dan b.4.
 Ukur jarak P0 P2 (slag I) dengan rantai ukur atau pita ukur.
 Dengan cara yang sama pengukuran dilanjutkan pada slag
II,
 III,sampai slag terakhir.
d) Perhitungan beda tingga (∆ h) pembacaan muka – belakang

a a a

P0 P1 P2

d d d
Menghi
tung beda tinggi patok utama:

Rumus perhitungan beda tinggi :

∆hP0P1 = BT – BA (untuk pembacaan ke belakang)

(BT di P0 – TA di P1 ) dan
∆h P ₁ P ₂ = TA – BT (untuk pembacaan ke depan)

(TA di P1 – BT di P2) dimana : TA = Tinggi Alat

Menghitung beda tinggi patok-patok detail:

Rumus perhitungan beda tinggi:

∆hP0P0a = BT P0 – BT P0a (untuk melintang tanpa pesawat) Dan :

∆hP1P1a = TA P1 – BT P1a (untuk melintang titik pesawat)

2) Metode garis bidik


 Tentukan patok-patok yang akan diukur dan berikan tanda sesuai jarak
patok tersebut. Misalnya sta 0+00,0+25, sta 0+50 dan sebagainya.
 Sebelum memberikan tanda ukur jarak antara patok tersbeut dengan
menggunakan roll meter.
 Dirikan pesawat waterpass ditempat yang kita inginkan dengan catatan
bahwa minimal ada dua titik yang bisa dilihat dari tempat berdirinya
pesawat.
 Letakkan rambu ukur pada titik awal yang biasanya dikenal dengan sta
0+00.
 Arahkan teropong ke arah rambu ukur dan pembacaan ini dinamakan
pembacaan belakang. Setelah itu baca rambu ukur pada benang tengah
sedangkan benang atas dan benang bawah tidak perlu dibaca. Benang
tangah ini merupakan garis bidik yang menjadi patokan untuk
perhitungan beda tinggi titik selanjutnya. Jika metode pengukuran
merupakan metode gabungan maka bacaan benang atas dan benang
bawah untuk jalur potongan memanjang harus dicatat.
 Selanjutnya arahkan pesawat kesamping kiri kanan sta 0+00 dan
pembacaan ini dinamakan pembacaan detail melintang jalan.
 Jika diperlukan data elevasi pada titik alat dan arah melintangnya maka
pembacaan arah melintang pada posisi titik pesawat juga harus dilakukan
untuk memperoleh ketelitian data profil.
 Baca benang tengah dari masing-masing titik.
 Setelah itu lanjutkan ke patok berikutnya, jika patok (sta) berada didepan
pesawat maka pembacaan tersebut dikatakan sebagai pembacaan depan.
Jika semuanya telah selesai pindahkan pesawat untuk melihat titik
selanjutnya.
 Setelah pesawat dipindahkan, maka arahkan pesawat ke titik akhir
pembacaan pesawat pertama atau dalam hal ini titik yang diketahui
tingginya, karena benang tengah tersebut akan menjadi garis bidik titik
berikutnya.
 Ulangi langkah kerja diatas sampai pengukuran selesai. Pengukuran
leveling dengan metode garis bidik hanya dapat dilakukan pada patok-
patok yang diketahui jaraknya dan jika tidak maka digunakan metode
leveling loncat dimana pesawat berada patok genap.
 Adapun langkah-langkah perhitungan metode garis bidik yaitu :
Tentukan jarak antara patok dnegan menggunakan roll meter.
 Garis bidik merupakan patokan untuk menentukan beda tinggi antar
patok. Garis bidik diambil dari benang tengah belakang atau titik ikat
yang telah diketahui tingginya.
 Garis bidik yang telah ditentukan merupakan patokan bagi titik yang
lain sepanjang pesawat tersebut belum pindah tempat. Jika telah
pindah tempat maka yang diambil sebagai garis bidik adalah titik yang
telah diketahui tingginya.
 Dalam pengukuran diatas pesawat diletakkan pada titik 0+75 dan yang
diambil sebagai garis bidik adalah 0+0, dengan demikian titik tersebut
sebagai patokan untuk titik yang lainnya baik untuk perhitungan beda
tinggi maupun tinggi titik.
 Menentukan beda tinggi titik
Rumus umum menghitung tinggi garis bidik :
 Jika titik awal (P0) diketahui tingginya dan pesawat di P1 (antara P0 -
P2) :

Tinggi garis bidik = Tinggi titik P0 + Benang tengah rambu di P0

 Jika titik pesawat (P1) diketahui tingginya :


Tinggi garis bidik = Titik titik P1 + Tinggi titik alat (TA)
 Menghitung tinggi titik
Tinggi titik = Tinggi garis bidik – Benang tengah titik yangdibidik

F. Prosedur Pengukuran Profil Melintang


1) Tentukan posisi dari profil tersebut terhadap travers yang telah ditentukan
dengan cara sebagai berikut :
 Tempatkan dan steel pesawat pada titik travers yang akan diukur
profilnya sedemikian rupa sehingga sumbu I tepat di atas titik tersebut.
Misal titik P1
 Bidik teropong ke titik P2, kemudian putar alhidade horizontal sehingga
index lingkaran tepat pada angka nol dari skala lingkaran.
 Putar teropong, ke kiri atau ke kanan, tergantung dari posisi profil yang
diinginkan, maka buat sudut terhadap P1 P2. Misal 90°. Kemudian pasang
patok pembantu pada ujung profil tersebut, misal titik a.
 Putar teropong 180° untuk menentukan ujung lain dari profil tersebut
misal titik b.
2) Dalam hal ini penentuan posisi dari profil, selain dilakukan seperti
langkah no.1 yang bisa dicaca dan dicatat dengan jarak optis dan beda
tinggi. Penentuan posisi dari profil ini dapat juga ditentukan dengan
perkiraan, tergantung kebutuhan.
3) Tempatkan dan steel pesawat pada suatu titik diluar garis profil,
sedemikian rupa sehingga dari titik tersebut dapat membidik sepanjang
profil yang akan diukur (metode tinggi garis bidik).
4) Pasang rambu ukur P1 bidikkan teropong pada rambu ukur tersebut dan
lakukan pembacaan BT, BA dan BB yang tercatat pada rambu ukur.
5) Pasang rambu ukur pada titik a (dalam hal ini rambu ukur diletakkan
diatas tanah) dan lakukan pembacaan langkah 4.
6) Lakukan pembacaan pada setiap perubahan kemiringan tanah
sepanjang garis profil, misal titik b, c, d, ... dan seterusnya sampai ke
ujung profil yang telah ditentukan.
7) Ukur jarak ab, bc,cd, ... dan seterusnya dengan pita ukur atau rantai
ukur.

8) Pengukuran dilanjutkan pada profil berikutnya (P2,P3,... dan


seterusnya)
9) Hitung dan gambar hasil pengukuran tersebut.

BAB III

PENGUKURAN DENGAN MENGGUNAKAN TOTAL STATION

3.1 Tujuan
1) Mahasiswa dapat mengetahui prinsip penggunaan Total Station
2) Mahasiswa dapat melakukan pengukuran sudut horizontal dan sudut vertikal dan
menghitung jarak atas dasar pengukuran sudut rambu
3) Mahasiswa dapat melakukan pengukuran sudut dengan metode yang berbeda-
beda
4) Mahasiswa dapat melakukan perhitungan atas dasar hasil ukur
5) Mahasiswa dapat menggambarkan situasi dan menghitung luasan areal.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat
 Pesawat Total Station
 Statif
 Rambu ukur

3.2.2 Bahan

 Kompas Baterai (bagi pesawat Total Station digital)


 Unting-unting
 Patok kayu
 Meteran
 Alat tulis-menulis
 Payung

3.3 Tinjauan Pustaka


A. Arti dan Tujuan Ilmu Ukur Tanah
Ilmu ukur tanah adalah ilmu yang berhubungan dengan bentuk muka
bumi (topografi) artinya ilmu yang bertujuan menggambarkan bentuk
topografi muka bumi dalam satu peta dengan segala sesuatu yang ada pada
permukaan bumi seperti kota, jalan, sungai, bangunan, dll dengan skala
lingkaran tertentu sehingga dengan mempelajari peta kita dapat mengetahui
jarak, arah dan posisi tempat yang kita inginkan.
Tujuan mempelajari ilmu ukur tanah:
 Membuat peta
 Menentukan elevasi dan arah
 Mengontrol elevasi dan arah, dan lain-lain.

B. Dimensi-dimensi yang dapat diukur


1) Jarak : Garis hubung terpendek antara 2 titik yang dapat diukur dengan
menggunakan alat ukur missal: mistar, pita ukur, theodolite, waterpass
dan lain-lain.
2) Sudut : besaran antara dua arah yang bertemu pada satu titik (untuk
menentukan azimuth dan arah).
3) Ketinggian : jarak tegak diatas atau dibawah bidang reviners yang akan
diukur dengan waterpass dan rambu ukur.

C. Prinsip dasar pengukuran


Untuk menghindari kesalahan-kesalahan yang mungkin saja terjadi, maka
tugas pengukuran harus didasarkan pada prinsip pengukuran yaitu:
1) Perlu adanya pengecekan terpisah.
2) Tidak ada kesalahan-kesalahan dalam pengukuran.

D. Peta dan jenis-jenis peta


Peta adalah proyeksi vertical Sebagian prmukaan bumi pada suatu bidang
mendatar dengan skala tertentu. Oleh karena permukaan bumi melengkung
dan kertas peta itu rata, maka tidak ada bagian dari muka bumi yang dapat
tanpa menyimpang pada brntuk aslinya, namun demikian untuk areal yang
kecil permukaan bumi dapat dianggap sebagai bidang datar, karena itu peta
dibuat dengan proyeksi vertical dapat dianggap benar (tanpa kesalahan).
Bentuk penyajian itu disebut:

1) Peta, jika skala kecil


2) Plan, jika skalanya besar

Jenis-jenis peta:
1) Untuk tujuan teknis:
 Peta topografi untuk perencanaan.
 Peta top Dam untuk keperluan perang.
 Peta atlas untuk ilmu bumi di SD, SLTP, SLTA.
2) Untuk tujuan non teknis :
 Peta pariwisata atau perjalanan.
 Peta masalah sosial : kependudukan, daerah kumuh, dll.

Sebuah peta topografi yang baik terdiri dari bagian – bagian yaitu :
1) Rangka peta terdiri dari polygon.
2) Situasi / detail.
3) Garis ketinggian
4) Titik kontrol tetap.

E. Pengukuran polygon
Pengukuran polygon dimaksud menghitung koordinat, ketinggian tiap –
tiap titik polygon untuk itu kita mengadakan pengukuran sudut dan jarak
dengan mengikat pada satu titik tetap seperti titik triagulasi, jembatan dan
lain – lain yang sudah diketahui koordinat dan ketinggiannya.
1) Pengukuran sudut dan jarak
Sudut diukur dengan alat ukur theodolite dengan mengarahkan
teropong pada arah tertentu dan kita akan memperoleh pembacaan
tertentu pada plat lingkaran horizontal alat tersebut. Dengan bidikan
tersebut, selisih pembacaan kedua dan pertama merupakan sudut dari
kedua arah tersebut. Jarak dapat diukur dengan roll meter, EDM atau
secara optis dengan theodolite seperti di bawah ini :
BA = Benang Atas
BT = Benang Tengah
BB = Benang Bawah

V = Pembacaan sudut vertical (Helling)


Jarak miring (Dʼ) = (BA – BB) × 100 × Sin V
Jarak Datar (D) = (BA – BB) × 100 × Sin2 V
= Dʼ Sin V
2) Menghitung Sudut Datar dan Koreksi
Setelah sudut datar dijumlah dari semua titik yang didapat dari
hasil pengukuran akan terjadi kesalahan, maka dengan itu harus
dikoreksi sesuai dengan banyaknya titik pengukuran. Bila sudut –
sudut yang diukur berupa segi banyak (polygon) maka :
Jumlah sudut = (2n – 4) × 90 untuk pengukuran berlawanan
dengan jarum jam (sudut dalam).
= (2n + 4) × 90 untuk pengukuran searah dengan
jarum jam (sudut luar).
Toleransi = ± 40n detik
Dimana :
n = Banyaknya sudut.

Polygon Tertutup
Pada polygon ini dititik awal dan titik akhir merupakan satu
yang sama. Bila pengukuran sudut tidak sesuai dengan rumus
diatas maka harus diratakan sehingga memenuhi syarat diatas.
3) Menghitung Azimuth
Untuk menghitung azimuth tiap-tiap garis penghubung
haruslah ditentukuan lebih dahulu azimuth awalnya. Penentuan
azimuth awal dapat dilakukan dengan cara magnetis(kompas) atau
pengamatan matahari.
Azimuth B-C adalah azimuth A-B + β c-180 dan seterusnya
dimana α adalah sudut datar dari masing-masing titik.

4) Menghitung koordinat
Setelah azimuth dan arah datar telah dihitung, maka kita dapat
menghitung koordinat titik-titik polygon. Perhitungan dimulai dengan
mencari selisih koordinat ¿X dan ∆ Y).
Rumus perhitungan selisih koordinat:
D.sin a untuk∆ X
D.cos a untuk ∆ Y
Dimana: D= jarak datar
a= azimuth
Perhitungan dimulai dari titik awal yang sudah diketahui
koordinatnya kemudian ditambah atau dikurangi dengan selisih
koordinat terkoreksi.
5) Menghitung beda tinggi
Jika menggunakan waterpass, beda tinggi=pembacaan
belakang-pembacaan muka, jika menggunakan theodolite, beda
tinggi(∆ h)=D’sin β sudut kemiringan lereng
6) Koreksi beda tinggi
Untuk polygon tertutup Ʃ∆ h=0, jika Ʃ∆ h tidak sama dengan 0
maka besarnya kesulitan harus dibagikan ke masing-masing titik.

3.4 Petunjuk umum


1) Mempelajari lembar kerja dengan baik-baik
2) Ingat betul-betul mana setiap bagian sekrup-sekrup pengatur/penyetel dan
fungsinya
3) Perhatikan baik-baik tempat dan cara membaca skala lingkaran baik
horizontal maupun vertical, karena setiap pesawat mempunyai spsifikasi
sendiri-sendiri.
4) Jangan memutar-mutar sekrup pengatur sebelum tahu benar fungsinya
5) Dalam membuka dan mengunci sekrup-sekrup pengatur jangan terlalu
longgar dan terlalu kencang
6) Kalau masih ragu diharapkan bertanya pada intruktur
3.5 Langkah kerja
1) Mengenal-mengenal pesawat
2) Memasang pesawat diatas statif
3) Memperhatikan dengan seksama bagian demi bagian dari pesawat tersebut dan
sesuaikan dengan spesifiknya untuk mengingat-ingat nama dari bagian tersebut
4) Mengikuti pelajaran instruktur

A. Menyetel pesawat dan memeriksa sumbu I


 Menempatkan nivo sejajar dengan dua sekrup penyetel A dan B dan
dengan dua sekrup penyetel ini gelembung nivo ditempatkan ditengah-
tengah.
 Memutar nivo 180° dengan sumbu I sebagai sudut putar
a) Bila gelembung tetap ditengah-tengah pekerjaan dilanjutkan
kelangkah no.4
b) Bila gelmbumg ditengah-tengah lagi, coba ulangi dulu dari Langkah
pertama dan bila beberapa kali diulang ternyata gelembung tidak juga
ditengah-tengah setelah nivo diputar 180º, maka kembalikan
gelembung setengahnya lagi dengan sekrup penyetel A dan B.
 Mengulangi pekerjaan sedemikian rupa sehingga gelembung tetap
ditengah-tegah sebelum dan sesudah nivo diputar 180º dengan sumbu I
sebagai sumbu putar.
 Memutar nivo 90º dengan sumbu I sebagai sumbu putar dan gelembung
nivo ditengahkan dengan memutar sekrup penyetel C, maka sumbu I
tegak lurus pada dua garis jurusan yang mendatar dan akan letak vertical.
 Mengulangi pekerjaan hingga bila nivo diputar kesemua jurusan
gelembung tetap ditengah-tengah.
 Bila ada nivo yang biasanya dipasang pada kaki penyangga sumbu II
(nivo B) dan tegak lurus terhadap nivo yang terletak diatas alhidade
horizontal (nivo A) maka Langkah pekerjaan sebagai berikut:
 Menempatkan nivo A sejajar dengan sekrup A & B dan nivo B dengan
sendirinya kearah sekrup penyetel C.
 Menempatkan gelembung kedua nivo ditengah-tengah dengan sekrup
penyetel A, B, dan C.
 Memutar nivo 180º dengan sumbu I sebagai sumbu putar. Bila
gelembung kedua nivo tetap ditengah-tengah dengan sekrup berarti
pesawat sudah baik (sumbu satu telah vertikal).
 Bila gelembung nivo pindah dari tengah – tengah, coba ulangi lagi dari
langkah kesatu. Dan bila beberapa kali diulangi gelembung tidak juga
ditengah – tengah, setengahnya dengan sekrup koreksi nivo masing –
masing, maka sumbu II akan tegak lurus pada garis arah kedua nivo.
 Kembalikan gelembung setengahnya lagi, nivo A dengan sekrup penyetel
A dan B dan nivo sekrup penyetel C.
 Mengulangi pekerjaan, sehingga pada semua jurusan gelembung nivo
selalu ditengah – tengah yang berarti sumbu I telah vertikal.

B. Memeriksa sumbu II, Sumbu I dan Garis Bidik Sumbu II.


 Menempatkan dan menyetel pesawat ± 5 m dimuka suatu dinding
(tembok) yang terang. Sumbu I dianggap sudah baik.
 Dengan garis bidik mendatar dan kira – kira tegak lurus pada dinding
dibuat suatu titik T pada dinding yang berhimpit dengan titik potong dua
benang diafragma.
 Dengan menggunakan unting – unting, pada dinding dibuat titik P
vertikal di atas T yang tingginya dua kali titik T (tinggi titik T = tinggi
sumbu II) dan titik Q vertikal di bawah titik T dan letak di kaki dinding.
 Pada titik P dan Q dipasang kertas milimeter atau kertas skala mendatar
sedemikian rupa hingga titik nol skala berhimpit dengan titik P dan Q.
 Membidik teropong ke titik T, memutar teropong ke atas (kea rah titik P)
dan ke bawah (kea rah titik Q) dengan sumbu II sebagai sumbu putar,
maka akan di dapat 4 macam kemungkinan.
a) Sewaktu teropong dibidik ketitik P garis bidik (perpotongan benang
silang) akan berhimpit dengan titik P sewaktu teropong ketitik garis Q
akan berhimpit dengan titik Q maka dalam hal ini pesawat sudah baik
(sumbu II, sumbu I dan garis bidik sumbu II).
b) Sewaktu teropong dibidik ketitik P, garis bidik akan menunjuk ke A
(sebelah kiri atau kanan P) dan sewaktu dibidik ketitik Q garis bidik
akan menunjuk ke B yang bersebelahan titik A dan PA = QB = X.
Jalannya garis bidik adalah ATB.
 Membidik teropong ketitik A.
 Dengan sekrup koreksi sumbu II, garis bidik digeser hingga
berhimpit dengan titik P.
 Mengulangi pekerjaan hingga bila teropong diputar dari atas
kebawah, garis bidik akan melukiskan PTQ.
c) Sewaktu teropong dibidik ketitik P, garis bidik akan menunjuk ketitik
C sebelah kiri atau kanan titik P atau sewaktu teropong dibidik ketitik
Q, garis bidik akan menunjuk ketitik D yang berada pada belahan
yang sama dengan titik C.

PC = QD = Y

Maka dalam hal ini terdapat kesalahan garis bidik tidak tegak lurus
sumbu II, tapi sumbu II telah sumbu I.
 Membidik teropong C.
 Dengan sekrup koreksi diafragma, garis bidik digeser hingga
berhimpit dengan titik P.
 Mengulangi pekerjaan hingga bila teropong diputar dari atas
kebawah atau sebaliknya garis bidik akan melukiskan PTQ.
d) Sewaktu teropong dibidik ketitik P, garis bidik akan menunjuk ketitik
G sebelah kanan atau kiri titik P dan sewaktu teropong dibidik ketitik
Q garis bidik akan menunjuk ketitik H, sebelah kanan atau kiri titik Q,
tapi PQ = a ≠ QH = b. Maka hal ini menunjukkan adanya kesalahan
kombinasi, yaitu sumbu II tidak tegak lurus sumbu I dan garis bidik
tidak tegak lurus sumbu II.
 Menghitung besarnya x dan y.
 Membidik teropong ke skala atas (titik G).
 Memutar sekrup koreksi sumbu II sedemikian rupa hingga
pembacaan skala = Y (Y = pengaruh tidak tegak lurusnya garis
bidik terhadap sumbu II).
 Mengulangi pekerjaan hingga bila teropong dibidikkan ke segala
arah maupun bawah permukaan sama dengan y dan terletak pada
belahan yang sama terhadap garis PTQ yang berarti sumbu II telah
tegak lurus sumbu I.
 Membidik kembali teropong ke skala atas.
 Memutar sekrup koreksi diafragma sedemikian rupa hingga garis
bidik menunjuk skala nol (berhimpit dengan titik P).
 Mengulangi pekerjaan hingga bila teropong diarahkan dari atas
kebawah atau sebaliknya garis bidik tetap berhimpit dengan PTQ.
 Pesawat telah baik.

C. Pembacaan Skala Lingkaran


 Memperhatikan bentuk – bentuk skala lingkaran yang terdapat pada
pesawat yang bersangkutan. Ada 4 macam bentuk skala lingkaran : a)
Bentuk garis lurus.
b)Garis lurus yang dilengkapi dengan skala.
c) Nonius.
d) Garis lurus yang dilengkapi dengan mikrometer.
 Bentuk garis lurus telah dibicarakan dalam bab (pengenalan waterpass).
a) Garis lurus yang dilengkapi dengan skala.
b) Membaca angka derajat yang terdapat di belakang garis indeks
dengan melihat posisi garis indeks.

 Alat pembaca nonius


a) Mencari / menentukan besarnya satuan nonius pada pesawat tersebut.
Besar satuan nonius = bagian lingkaran nonius, maka untuk
menentukan satuan nonius ini adalah sebagai berikut :
Himpit indeks nol nonius dengan garis skala lingkaran yang berangka
bulat, misal 10º. Maka garis nonius yang terakhir akan berhimpit pula
dengan skala lingkaran, misal dengan skala lingkaran 17º15ʼ maka
Panjang nonius 17º15ʼ. Bila nonius dibagi dalam 30 bagian maka satu
bagian nonius ada 7 15ʼ : 30 = 14ʼ30ˮ. Dan bila satu bagian skala
lingkaran ada 15, maka besar satuan nonius = 15ʼ - 14ʼ30ˮ.
b) Baca angka derajat dari skala lingkaran misal 71º15ʼ.
c) Mencari garis nonius yang berhimpit dengan garis skala lingkaran.
Misal garis nonius = 13 maka pembacaan : 71º15ʼ + (13 × 30ʼ) =
71º21ʼ30ˮ.
 Alat pembaca yang dilengkapi dengan micrometer. Sebagai contoh kita
ambil pesawat TMIA, dimana medan baca terlihat seperti pada:
a) Memutar sekrup micrometer sedemikian rupa sehingga dua atau tiga
garis horizontal pada bidang tengah (B) berhimpit.
b) Membaca angka derajat yang tertera pada bidang kiri (A) pada gambar
terbaca 246º30ˮ.
c) Baca skala micrometer yang ditunjuk oleh indeks (bidang C) pada
gambar terbaca 9ʼ6, 17ˮ = 246º38ʼ 16,7ˮ.

D. Pengukuran Sudut Horizontal


 Menempatkan pesawat pada titik yang sudah ditentukan (A) dan setel hingga
siap untuk melakukan pengukuran.
 Mengarahkan teropong pada titik B, benang silang tepat pada paku titik B.
 Jika paku titik tidak kelihatan, dirikan yalon tepat diatas paku titik B, benang
silang tepatkan pada As yalon.
 Dengan pesawat theodolite yang dilengkapi kompas.
a) Membuka kunci / sekrup kompas hingga skala lingkaran bergerak, dan
biarkan sampai diam Kembali. Kemudian tutup kunci / sekrup kompas,
maka skala lingkaran menunjukkan arah utara magnetis.
b) Membaca sudut ukuran B (Aab), misalnya = 30º15ʼ.
c) Mengarahkan teropong pada titik C, benang silang tepat pada paku tidak
kelihatan lakukan pekerjaan ini seperti pada pekerjaan (No 3).
d) Membaca sudut jurusan C (AC) misal = 45º45ʼ.
e) Juga melakukan pekerjaan tersebut pada titik D dan titik yang lain (N),
misal AD = 120º30ʼ dan AN = X º.
f) Besar sudut BAC = AC – AB = 45º45ʼ - 30º15ʼ = 15º30ʼ.
g) Besar sudut BAD = AD – AB = 120º30ʼ - 30º15ʼ = 90º15ʼ.
h) Besar sudut BAN = AN – AB = X º - 30º15ʼ = yº.
i) Bear sudut CAN = AN – AB = X º - 30º15ʼ = zº.
E. Pengukuran sudut vertikal
 Menempatkan pesawat pada titik A yang sudah ditentukan 4 dan menyetel
hingga siap untuk melakukan pengukuran.
 Membidik titik B yang akan diukur secara kasar dengan memutar teropong
kearah horizontal dan vertical.
 Setelah titik B kelihatan, menempatkan titik B tersebut dengan titik potong
benang silang (sekrup penggerak halus).
 a) Dengan alat ukur yang menggunakan zenith.
 Baca sudut vertical titik B.
Misal zenith (V) = 88º30’ atau 93º15’.
 Berarti sudut miring
βb = 90º - 88º30’ = +01º30’ atau βB = 90º - 93º15’ = -03º15’.
b). Dengan alat ukur yang menggunakan zenith.
 Baca sudut vertical titik B.
 Bila teropong bergerak keatas maka sudut miringnya negatif, misal = -
02º15’.
 Bila teropong bergerak kebawah maka sudut miring positif, misal =
+01º15’.

 Dengan pesawat total station yang tidak dilengkapi kompas.


a) Mengovalkan skala lingkaran mendatar dititik B dan kunci sekrup K2
(limbus) maka baca sudut mendatar titik B = 0º0’0”.
b) Mengarahkan teropong pada titik C denegan mengendorkan sekrup K1,
benang silang ditempatkan pada waktu titik C, dan jika tidak kelihatan
lakukan pekerjaan seperti pada pekerjaan (No 3), kemudian kunci Kembali
sekrup K1.
c) Membaca sudut mendatar titik C misal = 15º30’45”.
d) Juga melakukan pekerjaan pada titik D dan titik – titik yang lain (N) misal
titik N = Yº.
e) Besar sudut BAC = 15º30’45”.
 Besar sudut BAD = 90º15’27”.
 Besar sudut BAN = Yº.
 Besar sudut CAN = Yº - 15º20’45”.
F. Membuat lengkungan di lapangan dengan alat sederhana, metode selisih
busur yang sama panjang.
 Menentukan Panjang busurnya, misalnya = a m . harga a diambil antara 8 –
12,5 m.
 Menentukan / menghitung harga sudut Q, yaitu yang mempunyai Panjang
busur = a dan jari – jari = R.
a 360°
Q= .
R 2π
 Menentukan / menghitung koordinat – koordinat titik – titik detailnya.
a) X ₁ = R sin Q
b) Titik 1 ( X ₁ ,Y ₁ ¿
c) X ₁=2 R sin 2 Q/ 2
d) X ₂=R sin 2 Q
e) Titik 2 X ₂ ,Y ₂ ¿
f) X 2 =2 R sin2 Q
g) X ₃=R sin 3 Q
h) Titik 3 ( X ₃ ,Y ₃ ¿
i) X ₃=2 R sin 2 3/2Q
j) X ₙ=R sin n . Q
k) Titik n ( X ₙ ,Y ₙ¿
 Membuat garis lurus di lapangan dan mendirikan patok dititik T dan titik P.
 Menentukan titik A ada garis TP sejauh X .
 Menentukan titik 1 sejauh Y dari A tegak lurus TP, kemudian didirikan patok
pada titik 1.
 Dengan cara yang sama, menentukan koordinat – koordinat titik – titik 2, 3,
……..n.
 Lengkungan yang dimaksud adalah garis yang menghubungkan titik – titik T,
1, 2, 3,………n
G. Polygon Terbuka
 Menentukan titik potong polygon yang akan dibuat.
 Memasang dan menyetel pesawat pada titik polygon P ( X ₚY ₚ ¿ yang sudah
diketahui koordinatnya.
 Membuka klem limbus dan piringan mendatar, kemudian dikunci kembali.
 Membuka klem limbus bidik titik R ( X r ,Y r ) setelah tepat dikunci kembali.
 Membuka klem piringan skala mendatar, bidik titik 1 dan kunci kembali,
kemudian mencatat pembacaan sudut.
 Memasang bak ukur pada titik 1, bidik bak ukur dan catat BA, BT dan BB.
 Mengulangi langkah 4 s/d 5 . sehingga didapat β p−1dan jarak titik polygon P
ketitik 1 (d p 1).
 Memindahkan pesawat ketitik polygon 1 dengan cara yang sama, mengukur
sudut dan jarak seperti Langkah – Langkah diatas.
 Melakukan pengukuran ketitik – titik polygon selanjutnya dengan jalan seperti
Langkah tersebut diatas sampai titik Q ( X q , Y q ), sehingga dengan demikian
akan dapat β 1, β 2 , β 3 ,…dan d 1−2 , d 2−3 , d 3−4 …..dan seterusnya.
 Menghitung dan menggambar hasil pengukuran.

H. Polygon Tertutup
Untuk polygon tertutup ini, pada prinsipnya langkah kerja dalam pengukuran
sama dengan Langkah kerja polygon terbuka.
Hanya bedanya :
 Untuk polygon terbuka :
a) Pada ujung awal polygon diperlukan suatu titik K yang tentu dan sudut
jurusan yang tentu pula.
b) Supaya keadaan menjadi simetris, maka pada ujung akhir dibuat titik yang
tentu pula dan ikatan pada jurusan yang tentu pula.
 Untuk polygon terutup :
a) Pada pengukuran cukup diperlukan suatu titik tertentu saja atau beberapa
titik tertentu dan sudut jurusan yang tentu pula pada awal pengukuran.
b) Pengukuran akhir harus kembali (menutup) ketitik awal.
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI WATERPASS
Waktu dan tempat
1) Praktikum Penggunaan Pesawat Waterpass
Hari dan Tanggal : Jumat, 15 Maret 2023
Waktu : 01:00 - selesai
Lokasi : Jln. Poros Lembomawo – Tagolu

METODOLOGI TOTAL STATION


Waktu dan tempat
1) Praktikum Total Station
Hari dan Tanggal : Selasa, 17 Maret 2023
Waktu : 10.00 - selesai
Lokasi : Kantor Klasis Tentena
LABORATORIUM TEKNIK

P4 1,290
P4-P3 2,021 1,861 1,700
P4-A 1,298 1,269 1,240
P4-B 1,381 1,350 1,318
P4-C 1,495 1,450 1,405
P4-D 1,413 1,392 1,371
P4-E 1,729 1,699 1,668
P4-P5 1,339 1,220 1,100

P6 1,278
P6-P5 1,300 1,195 1,090
P6-A 1,178 1,163 1,148
P6-B 1,277 1,243 1,208
P6-C 1,607 1,561 1,515
P6-D 1,495 1,472 1,448
P6-E 2,095 2,057 2,018
P6-P7 1,408 1,257 1,106

P8 1,300
P8-P7 1,449 1,267 1,085
P8-A 1,359 1,337 1,315
P8-B 1,413 1,383 1,353
P8-C 1,819 1,769 1,719
P8-D 1,438 1,413 1,388
P8-E 1,792 1,261 1,706
P8-P9 1,412 1,261 1,110

P10 1,320
P10-P9 1,555 1,400 1,270
P10-A 1,325 1,298 1,273
P10-B 1,343 1,308 1,789
P10-C 1,873 1,831 1,323
P10-D 1,362 1,343 1,549
P10-E 1,605 1,577 1,245

FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SINTUWU MAROSO
Jl.P.Timor No.01 Telp(0452)21257,21737 Fax.(0452) 324242 Kode Pos 94619 Poso

PENGUKURAN WATERSPASS
LOKASI :
BIDANG ILMU Kelurahan TANGGAL : 8 SURVEYOR :
MARET 2019
GEOTEKNIK Lembomawo KELOMPOK 1

TITIK TINGGI BENANG BENANG BENANG


ALAT ALAT (m) ATAS (BA) TENGAH BAWAH
(BT) (BB)
P0 1,362
P0-A 1,308 1,293 1,278
P0-B 1,485 1,443 1,400
P0-C 1,733 1,688 1,643
P0-D 1,424 1,401 1,378
P0-E 1,658 1,633 1,608
P0-P1 1,169 1,054 0,939

P2 1,278
P2-P1 1,828 1,703 1,578
P2-A 1,259 1,293 1,213
P2-B 1,453 1,417 1,380
P2-C 1,869 1,829 1,789
P2-D 1,387 1,368 1,348
P2-E 1,905 1,868 1,830
P2-P3 0,813 0,714 0,614
BAB V
PERHITUNGAN WATERPAS DAN TOTAL STATION

I. Menghitung Sipat Datar


Menghitung Jarak Optik Patok Utama
 P0-P1 = {(BA P0-PI) - (BB P0-P1)} x 100
= (1,169-0,939) x 100
= 23 M
 P2-P1 = {(BA P2-P1) - (BB P2-P1)} x 100
= (1,828-1,578) x 100
= 25 M
 P2-P3 = {(BA P2-P3) - (BB P2-P3)} x 100
= (0,813-0,614) x 100
= 19,9 M
 P4-P3 = {(BA P4-P3) - (BB P4-P3)} x 100
= (2,021-1,700) x 100
= 32,1 M
 P4-P5 = {(BA P4-P5) - (BB P4-P5)} x 100
= (1,339-1,100) x 100
=23,9 M
 P6-P5 = {(BA P6-P5) - (BB P6-P5)} x 100
= (1,300-1,090) x 100
= 21 M
 P6-P7 = {(BA P6-P7) - (BB P6-P7)} x 100
= (1,408-1,106) x 100
= 30,2 M
 P8-P7 = {(BA P8-P7) - (BB P8-P7)} x 100
=(1,449-1,085) x 100
= 36,4 M
 P8-P9 = {(BA P8-P9) - (BB P8-P9)} x 100
= (1,412-1,110) x 100
= 30,2 M

 P10-P9 = {(BA P10-P9) - (BB P10-P9)} x 100


= (1,555-1,245) x 100
= 31 M
II. Menghitung Beda Tinggi Patok Utama (∆T)
∆ T =TA−BT keterangan: TA = Tinggi Alat
BT =Benang Atas

 ∆ P0 – P1 = TA P0 – BT P1
=1,362 – 1.054
= 0,308 + 0,75
= 1,058 M
 ∆ P1 – P2 = BT P1 – TA P2
=1.054 – 1,278
= -0,224 + 0,75
= 0,526 M
 ∆ P2 – P3 = TA P2 – BT P3
=1,278 – 0,714
= 0,564 + 0,75
= 1,314 M
 ∆ P3 – P4 = BT P3 – TA P4
=0,714 – 1,290
= -0,576 + 0,75
= 0,174 M
 ∆ P4 – P5 = TA P4 – BT P5
=1,290 – 1,220
= 0,07 + 0,75
= 0,058 M
 ∆ P5 – P6 = BT P5 – TA P6
=1,220 – 1,278
= -0,058 + 0,75
= 0,692 M
 ∆ P6 – P7 = TA P6 – BT P7
= 1,278 – 1,257
= 0,021 + 0,75
= 0,729 M

 ∆ P7 – P8 = BT P7 – TA P8
=1,257 – 1,300
= -0,043 + 0,75
= 0,707 M
 ∆ P8 – P9 = TA P8 – BT P9
=1,300 – 1,261
= 0,039 + 0,75
= 0,711 M
 ∆ P9 – P10 = BT P9 – TA P10
= 1,261– 1,320
= -0,059 + 0,75
= 0,691 M

III. Menghitung Tinggi Patok Utama (TT)


TT = T 0 + Keterangan : T 0 = Tinggi titik sebelumnya
∆T ∆ T = Beda tinggi
 TT P1 =T 0 P0 + (∆ T P0-P1)
= 0 + 1,058
= 1,058 M
 TT P2 = T 0P1 + (∆ T P1-P2)
= 1,058 + 0,526
= 1,584 M
 TT P3 =T 0P2 + (∆ T P2-P3)
= 1,584 + 1,314
= 2,898 M
 TT P4 = T 0P3 + (∆ T P3-P4)
= 2,898 + 0,174
= 3,072 M
 TT P5 = T 0P4 + (∆ T P4-P5)
= 3,072 + 0,058
= 3,13 M
 TT P6 = T 0P5 + (∆ T P5-P6)
= 3,13 + 0,692
= 3,822 M
 TT P7 = T 0P6 + (∆ T P6-P7)
= 3,822 + 0,729
= 4,551 M
 TT P8 = T 0 P7 + (∆ T P7-P8)
= 4,551 + 0,707
= 5,258 M
 TT P9 = T 0P8 + (∆ T P8-P9)
= 5,258 + 0,711
= 5,969 M
 TT P10 = T 0P9 + (∆ T P9-P10)
= 5,969 + 0,691
= 6,66 M

IV. Menghitung jarak detail


(BA – BB) x 100 Keterangan : BA = Benang Atas
BB = Benang Bawah
 P0 :
 P0 - A = {(BA P0-A) - (BB P0-A)} x 100
=(1,308 – 1,278) x 100
=3M
 P0 - B = {(BA P0-B) - (BB P0-B)} x 100
=(1,485 – 1,400) x 100
= 8,5 M
 P0 - C = {(BA P0-C) - (BB P0-C)} x 100
=(1,733 – 1,643) x 100
=9M
 P0 - D = {(BA P0-D) - (BB P0-D)} x 100
=(1,424 – 1,378) x 100
= 4,6 M
 P0 - E = {(BA P0-E) - (BB P0-E)} x 100
=(1,658 – 1,608) x 100
=5M
 P2 :
 P2 - A = {(BA P2-A) - (BB P2-A)} x 100
=(1,259 – 1,213) x 100
= 4,6 M
 P2 - B = {(BA P2-B) - (BB P2-B)} x 100
=(1,453 – 1,380) x 100
= 7,3 M
 P2 - C = {(BA P2-C) - (BB P2-C)} x 100
=(1,869 – 1,789) x 100
=8M
 P2 - D = {(BA P2-D) - (BB P2-D)} x 100
=(1,387 – 1,348) x 100
= 3,9 M

 P2 - E = {(BA P2-E) - (BB 2P-E)} x 100


=(1,905 – 1,830) x 100
= 7,5 M
 P4 :
 P4 - A = {(BA P4-A) - (BB P4-A)} x 100
=(1,298 – 1,240) x 100
= 5,8 M
 P4 - B = {(BA P4-B) - (BB P4-B)} x 100
=(1,381 – 1,318) x 100
= 6,3 M
 P4 - C = {(BA P4-C) - (BB P4-C)} x 100
=(1,495 – 1,405) x 100
=9M
 P4 - D = {(BA P4-D) - (BB P4-D)} x 100
=(1,413 - 1,371) x 100
= 4,2 M
 P4 - E = {(BA P4-E) - (BB P4-E)} x 100
=(1,729 – 1,668) x 100
= 6,1 M
 P6 :
 P6 - A = {(BA P6-A) - (BB P6-A)} x 100
=(1,178 – 1,148) x 100
=3 M
 P6 - B = {(BA P6-B) - (BB P6-B)} x 100
=(1,277 – 1,208) x 100
=6,9 M
 P6 - C = {(BA P6-C) - (BB P6-C)} x 100
=(1,607 – 1,515) x 100
=9,2 M
 P6 - D = {(BA P6-D) - (BB P6-D)} x 100
=(1,495 – 1,448) x 100
=4,7 M

 P6 - E = {(BA P6-E) - (BB P6-E)} x 100


=(2,095 – 2,018) x 100
=7,7 M
 P8 :
 P8 - A = {(BA P8-A) - (BB P8-A)} x 100
=(1,359 – 1,315) x 100
=4,4 M
 P8 - B = {(BA P8-B) - (BB P8-B)} x 100
=(1,413 – 1,353) x 100
=6 M
 P8 - C = {(BA P8-C) - (BB P8-C)} x 100
=(1,819 – 1,719) x 100
=10 M
 P8 - D = {(BA P8-D) - (BB P8-D)} x 100
=(1,438 – 1,388) x 100
=5 M
 P8 - E = {(BA P8-E) - (BB P8-E)} x 100
=(1,792 – 1,706) x 100
=8,6 M

 P10 :
 P10 - A = {(BA P10-A) - (BB P10-A)} x 100
=(1, 325 – 1,270) x 100
=5,5 M
 P10 - B = {(BA P10-B) - (BB P10-B)} x 100
=(1,343 – 1,273) x 100
=7 M
 P10 -C = {(BA P10-C) - (BB P10-C)} x 100
=(1,873 – 1,789) x 100
=8,4 M
 P10 -D = {(BA P10-D) - (BB P10-D)} x 100
=(1,362 – 1,323) x 100
=3,9 M

 P10 - E = {(BA P10-E) - (BB P10-E)} x 100


=(1,605 – 1,549) x 100
=5,6 M
V. Menghitung Beda Tinggi titik detail
BT D = TA - BT DETAIL Keterangan : ∆ T =Beda Tinggi Detail
Atau ∆ T = TA - BT TA= Tinggi Alat
BT= Benang Atas
 P0 :
 (A) = TA P0 – BT A
= 1,362 – 1,293
= 0,069 + 0,75
= 0,819 M
 (B) = TA P0 – BT B
=1,362 – 1,443
=0,081 + 0,75
= 0,831 M
 (C) = TA P0 – BT C
=1,362 – 1,688
= -0,326 + 0,75
= 0,424 M
 (D) = TA P0 – BT D
=1,362 – 1,401
= -0,039 M + 0,75
= 0,711 M
 (E) = TA P0 – BT E
=1,362 – 1,633
= -0,271 M + 0,75
= 0,479 M

 P2 :
 (A) = TA P2 – BT A
=1,278 – 1,236
=0,042 + 0,75
= 0,792 M

 (B) = TA P2 – BT B
=1,278 – 1,417
= -0,139 + 0,75
= 0,611 M
 (C) = TA P2 – BT C
=1,278 – 1,829
= -0,467 M + 0,75
= 0,283 M
 (D) = TA P2 – BT D
=1,278 – 1,368
= -0,09 M + 0,75
= 0,66 M
 (E) = TA P2 – BT E
=1,278 – 1,868
= -0,59 + 0,75
= 0,16 M
 P4 :
 (A) = TA P4 – BT A
= 1,290 – 1,269
= 0,021 + 0,75
= 0,771 M
 (B) = TA P4 – BT B
=1,290 – 1,350
= -0,06 + 0,75
= 0,68 M
 (C) = TA P4 – BT C
=1,290 – 1,450
= -0,16 + 0,75
= 0,59 M
 (D) = TA P4 – BT D
=1,290 – 1,392
= -0,102 + 0,75
= 0,648 M

 (E) = TA P4 – BT E
=1,290 – 1,699
= -0,409 + 0,75
= 0,314 M
 P6 :
 (A) = TA P6 – BT A
= 1,278 – 1,163
= 0,115 + 0,75
= 0,865 M
 (B) = TA P6 – BT B
= 1,278 – 1,243
= 0,035 + 0,75
= 0,785 M
 (C) = TA P6 – BT C
= 1,278 – 1,561
= -0,283 + 0,75
= -0,283 M
 (D) = TA P6 – BT D
=1,278 – 1,472
= -0,194 + 0,75
= 0,556 M

 (E) = TA P6 – BT E
= 1,278 – 2,057
= -0,779 + 0,75
= -0,029 M
 P8 :
 (A) = TA P8 – BT A
= 1,300 – 1,337
= -0,037 + 0,75
= 0,713 M

 (B) = TA P8 – BT B
= 1,300 – 1,383
= -0,083 + 0,75
= 0,667 M
 (C) = TA P8 – BT C
= 1,300 – 1,769
= -0,469 + 0,75
= 0,281 M
 (D) = TA P8 – BT D
= 1,300 – 1,413
= -0,113 M + 0,75
= 0,637 M
 (E) = TA P8 – BT E
=1,300 – 1,261
= 0,039 + 0,75
= 0,789 M
 P10 :
 (A) = TA P10 – BT A
=1,320 – 1,298
= 0,022 + 0,75
= 0,772 M
 (B) = TA P10 – BT B
=1,320 – 1,308
= 0,012 + 0,75
= 0,762 M
 (C) = TA P10 – BT C
=1,320 – 1,831
= -0,511 + 0,75
= 0,239 M
 (D) = TA P10 – BT D
=1,320 – 1,343
= -0,023 + 0,75
= 0,727 M

 (E) = TA P10 – BT E
=1,320 – 1,577
= -0,257 + 0,75
= 0,493 M
VI. Menghitung Titik Tinggi Detail (TTD)

TTD = Tinggi Awal ± Keterangan: TTD = Tinggi Titik Detail


TT = Tinggi Titik Patok
Atau TTD = TT + ∆T
Utama
∆T = Beda Tinggi

 P0 :
 (A) = TT P0 ± ∆T A
= 0 + 0,819
=0,819 M
 (B) = TT P0 ± ∆T B
= 0 + 0,831
= 0,831 M
 (C) = TT P0 ± ∆T C
= 0 + 0,424
= -0,424 M
 (D) = TT P0 ± ∆T D
= 0 + 0,711
= 0,711 M
 (E) = TT P0 ± ∆T E
= 0 + 0,479
= 0,479 M
 P2 :
 (A) = TT P2 ± ∆T A
= 1,584 + 0,792
= 2,376 M
 (B) = TT P2 ± ∆T B
= 1,584 + 0,611
= 2,195 M
 (C) = TT P2 ± ∆T C
= 1,584 + 0,283
= 1,867 M
 (D) = TT P2 ± ∆T D
= 1,584 + 0,66
= 2,244 M
 (E) = TT P2 ± ∆T E
= 1,584 + 0,16
= 1,744 M
 P4 :
 (A) = TT P4 ± ∆T A
= 3,072 + 0,771
= 3,843 M
 (B) = TT P4 ± ∆T B
= 3,072 + 0,68
= 3,752 M
 (C) = TT P4 ± ∆T C
= 3,072 + 0,59
= 3,662 M
 (D) = TT P4 ± ∆T D
= 3,072 + 0,648
= 3,72 M
 (E) = TT P4 ± ∆T E
= 3,072 + 0,314
= 3,386 M
 P6 :
 (A) = TT P6 ± ∆T A
= 3,822 + 0,865
= 4,687 M
 (B) = TT P6 ± ∆T B
= 3,833 + 0,785
= 4,607 M
 (C) = TT P6 ± ∆T C
= 3,822 + (-0,283)
= 3,539 M
 (D) = TT P6 ± ∆T D
= 3,822 + 0,556
= 4,378 M

 (E) = TT P6 ± ∆T E
= 3,822 + (-0,029)
= 3,793 M
 P8 :
 (A) = TT P8 ± ∆T A
= 5,258 + 0,713
= 5,971 M
 (B) = TT P8 ± ∆T B
= 5,258 + 0,667
= 5,925 M
 (C) = TT P8 ± ∆T C
= 5,258 + 0,281
= 5,539 M
 (D) = TT P8 ± ∆T D
= 5,258 + 0,637
= 5,895 M
 (E) = TT P8 ± ∆T E
= 5,258 + 0,789
= 6,047 M
 P10 :
 (A) = TT P10 ± ∆T A
= 6,66 + 0,772
= 7,432 M
 (B) = TT P10 ± ∆T B
= 6,66 + 0,762
= 7,422 M
 (C) = TT P10 ± ∆T C
= 6,66 + 0,239
= 6,899 M
 (D) = TT P10 ± ∆T D
= 6,66 + 0,727
= 7,387 M

 (E) = TT P10 ± ∆T E
= 6,66 + 0,493
= 7,153 M

Anda mungkin juga menyukai