Dikerjakan oleh:
Oktevan Moledjo (92211410141049)
Yitran Morato (92211410141022)
Mellyana Morato (92211410141075)
Delvia Mona Anugrah Peleli (92211410141081)
Yonatan Davit Bandola (92211410141043)
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN SIPIL
UNIVERSITAS SINTUWU MAROSO
POSO – SULAWESI TENGAH
TAHUN 2023
LEMBAR PENGESAHAN
Telah mengikuti dan telah menyelesaikan seluruh praktikum Ilmu Ukur Tanah
dengan baik. Modul praktikum yang telah dilaksanakan adalah sebagai berikut :
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
praktikum Ilmu Ukur Tanah ini tepat waktu.
Praktikum ilmu ukur tanah ini merupakan suatu hal yang wajib bagi
seluruh mahasiswa yang memprogram matakuliah ini. Hal ini bertujuan untuk
menerapkan teori yang di dapatkan di ruang kuliah dan di lapangan secara
langsung.
Penyusun
KELOMPOK 12
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR ( )
DAFTAR ISI ( )
METODOLOGI
2.1 Tujuan ( )
A. Definisi Waterpass ( )
METODOLOGI
1.1 Tujuan ( )
1.2 Alat dan Bahan ( )
1.3 Tinjauan Pustaka ( )
A. Arti dan Tujuan Ilmu Ukur Tanah ( )
B. Dimensi – Dimensi Yang Dapat Diukur ( )
C. Prinsip Dasar Pengukuran ( )
D. Peta dan Jenis – Jenis Peta ( )
E. Pengukuran Polygon ( )
1.4 Petunjuk Umum ( )
1.5 Langkah Kerja ( )
A. Menyetel Pesawat dan Memeriksa Sumbu I ( )
B. Memeriksa Sumbu II, Sumbu I, dan Garis Bidik Sumbu II ( )
C. Pembacaan Skala Lingkaran ( )
D. Pengukuran Sudut Horizontal ( )
E. Pengukuran Sudut Vertikal ( )
F. Membuat Lengkungan di Lapangan Dengan Alat
Sederhana ( )
G. Polygon Terbuka ( )
H. Polygon Tertutup ( )
1) METODOLOGI WATERPASS
2) METODOLOGI TOTAL STATION
1) WATERPASS
2) TOTAL STATION
BAB VI : PENUTUP
1) WATERPASS
2) TOTAL STATION
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.4 Skala
Skala merupakan perbandingan jarak pada gambar dengan jarak aslinya.
Penggunaan rumus skala umumnya digunakan dalam menggambar peta
maupun denah sehingga dapat mewakili keadaan sesungguhnya. Artinya
ukuran yang tertera pada gambar lebih kecil dari ukuran sebenarnya atau
biasa dikenal dengan faktor skala. Hal tersebut hanya mengubah ukuran
tanpa mengubah bentuk gambar. Misalnya :
Peta dengan skala 1 : 200
Artinya 1 cm diatas kertas sama dengan 200 cm di lapangan.
Ada dua hal mendasar yang harus dimiliki oleh seorang pengamat
(seseorang yang membaca hasil pengukuran), yaitu :
Keterampilan membaca penunjukan jarum skala alat ukur.
Keterampilan menghitung hasil pengamatan.
D. Jenis – Jenis Kesalahan
Kesalahan pembacaan alat ukur.
Penyetelan yang tidak tepat.
Pemakaian instrumen yang tidak sesuai.
Kesalahan penafsiran.
a) Cara grafis
Alat ukur menyipat datar ditempatkan antara titk A dan B,
sedang diantar titik A dan B ditempat 2 mistar. Jarak dari alat
ukur menyipat datar kedua mistar, ambilah kira-kira sama, sedang
alat ukur penyipat datar tidaklah perlu terletak perlu terletak
digaris lurus yanmg menghubungkan dua titk A dan B. Arahkan
garis bidik dengan gelembung ditengah-tengah mistar A
(belakang) dan mistar B (muka). Dan misalkan pembacaan pada
dua mistar berturut-turut adalah B (belakang) dan m (muka),
maka beda tinggi antara titk A dan N adalah t = b – m.
b) Cara Analitis
D. Metode Pengukuran
1) Metode pembacaan muka dan belakang (loncat)
Metode ini biasanya digunakan pada pengukuran jaringan irigasi
atau pengukuran memanjang tanpa diselingi potongan melintang,
karena metode loncat, pesawat waterpass berada ditengah-tengah
antara patok 1 dan 2 atau berada pada patok genap sedangkan rambu
berada pada patok ganjil. Untuk pengukuran melintang hal ini agak
sulit dilakukan karena pesawat tidak berdiri disemua patok. Untuk itu
digunakan garis bidik.Adapun keunggulan dan kelemahan metode
loncat adalah sebagai berikut :
Metode loncat bisa mengukur jarak dan beda tinggi.
Tidak efisien digunakan dalam pengukuran jalan yang tiap 25 m
dibuat potongan melintang.
Pesawat harus pas diatas patok sehingga menyulitkan pengkuran
pada areal daerah yang padat (dalam hal ini jalan).
2) Polygon tertutup
Polygon tertutup adalah kerangka dasar pengukuran yang
membentuk polygon segi banyak yang menutup. Yang dimaksud
menutup adalah apabila mulai dari titik satu kemudian ketitik dua dan
seterusnya akan Kembali ketitik satu lagi. Sehingga akan membentuk
segi banyak. Fungsi dari kembali ketitik awal adalah digunakan
untuk mengkoreksi besaran sudut pada tiap segi banyak tersebut.
B. Garis Kontur
1) Garis kontur adalah garis yang menghubungkan antara titik yang
mempunyai ketinggian yang sama dari suatu ketinggian/bidang acuan
tertentu. Garis ini merupakan garis yang kontinue dan tidak dapat
bertemu atau memotong garis kontur lainnya, kecuali dalam keadaan
kritis seperti jurang atau tebing. Keadaan curaman dari suatu lereng
dapat ditentukan dari jarak interval kontur dan jarakjarak horizontal
antara dua buah garis kontur ini menyangkut beda tinggi.
2) Syarat – syarat kontur
Kegunaan dan pengembangan dari pengukuran apabila
perencanaan dibutuhkan untuk pekerjaan detail dan interval
kontur yang kecil sangat dibutuhkan
Untuk daerah kecil : 0,5 m
Untuk daerah luas : 1 sampai 2 m 2.
Skala dari peta Biasanya untuk skala kecil interval kontur harus
besar, jika tidak detail yang penting akan tidak tergambar
dikarenakan banyaknya garis kontur yang digambarkan dengan
interval yang kecil.
Merupakan Garis kontinue.
Tidak memotong garis kontur lainnya
Tidak dapat bercabang menjadi garis – garis kontur lainnya atau
baru.
3) Metode pengambaran garis kontur
Cara Grafis
Dengan cara ini garis kontur diikuti secara fisis –ada
permukaan bumi.Pekerjaan ini kebalikan dari cara kerja sipat
datar dimana titik akhir ketinggian adalah merupakan titk yang
akan diketahui dan diperlukan pada penarikan garis kontur.
Cara Analitis
Dengan cara ini garis kontur tidak dapat dibuat dengan
langsung, kecuali melaui beberapa titik tinggi yang ditentukan
dan posisi garis- garis kontur ditentukan dengan cara interpolasi.
Cara ini dilakukan dengan 3 tahap:
Penentuan garis (jaringan)
Sifat datar.
BAB II
2.1 Tujuan
1) Mahasiswa dapat melaksanakan pengukuran profil memanjang dan profil
melintang.
2) Mahasiswa dapat melaksanakan pengukuran peta situasi dengan
menyipat datar.
3) Mahasiswa dapat melaksanakn perhitungan kuantitas / volume hasil
pekerjaan.
4) Mahasiswa dapat menggambar hasil pengukuran.
5) Mahasiswa dapat mengukur jarak optis dan beda tinggi suatu tempat.
6) Mahasiswa dapat membaca skala lingkaran pada pesawat waterpass.
2.2.1 Alat
Payung
Patok
Buku
Polpen
2.2.2 Bahan
Waterpass
Statif
Bak ukur
Unting – unting
2.1 Tinjauan Pustaka
A. Definisi Waterpass
Adapun nama bagian – bagian utama dari alat ukur waterpass beserta
fungsinya, sebagai berikut :
d1 =d2 = d3 Maka
dx = ⅓ cy
P= d + h1
cp = c – p
dx = ½ c p → x = d - dx y = c – cy
P0 P 1 P2 P 3 P4
BT = BA + BB
2
Pengukuran jarak titiik-titik detail (tidak langsung)
pada titik profil melintang yang titik utamanya bukan
posisi alat, dapat dilakukan dengan
P 0 a b P0 a = √(P1a)2 –
(P1P0)2
P0 b = √(P1b)2 – (P1P0)2
P 1
Dimana :
P0 P1 P2
d d d
(BT di P0 – TA di P1 ) dan
3.1 Tujuan
1) Mahasiswa dapat mengetahui prinsip penggunaan Total Station
2) Mahasiswa dapat melakukan pengukuran sudut horizontal dan sudut
vertikal dan menghitung jarak atas dasar pengukuran sudut rambu
3) Mahasiswa dapat melakukan pengukuran sudut dengan metode yang
berbeda-beda
4) Mahasiswa dapat melakukan perhitungan atas dasar hasil ukur
5) Mahasiswa dapat menggambarkan situasi dan menghitung luasan areal.
3.2.1 Alat
Pesawat Total Station
Statif
Rambu ukur
3.2.2 Bahan
Jenis-jenis peta:
1) Untuk tujuan teknis:
Peta topografi untuk perencanaan.
Peta top Dam untuk keperluan perang.
Peta atlas untuk ilmu bumi di SD, SLTP, SLTA.
2) Untuk tujuan non teknis :
Peta pariwisata atau perjalanan.
Peta masalah sosial : kependudukan, daerah kumuh, dll.
Sebuah peta topografi yang baik terdiri dari bagian – bagian yaitu :
1) Rangka peta terdiri dari polygon.
2) Situasi / detail.
3) Garis ketinggian
4) Titik kontrol tetap.
E. Pengukuran polygon
Pengukuran polygon dimaksud menghitung koordinat, ketinggian
tiap – tiap titik polygon untuk itu kita mengadakan pengukuran
sudut dan jarak dengan mengikat pada satu titik tetap seperti titik
triagulasi, jembatan dan lain – lain yang sudah diketahui koordinat
dan ketinggiannya.
1) Pengukuran sudut dan jarak
Sudut diukur dengan alat ukur theodolite dengan
mengarahkan teropong pada arah tertentu dan kita akan
memperoleh pembacaan tertentu pada plat lingkaran horizontal
alat tersebut. Dengan bidikan tersebut, selisih pembacaan kedua
dan pertama merupakan sudut dari kedua arah tersebut. Jarak
dapat diukur dengan roll meter, EDM atau secara optis dengan
theodolite seperti di bawah ini :
BA = Benang Atas
BT = Benang Tengah
BB = Benang Bawah
Polygon Tertutup
Pada polygon ini dititik awal dan titik akhir merupakan satu
yang sama. Bila pengukuran sudut tidak sesuai dengan rumus
diatas maka harus diratakan sehingga memenuhi syarat diatas.
3) Menghitung Azimuth
Untuk menghitung azimuth tiap-tiap garis penghubung
haruslah ditentukuan lebih dahulu azimuth awalnya.
Penentuan azimuth awal dapat dilakukan dengan cara
magnetis(kompas) atau pengamatan matahari.
Azimuth B-C adalah azimuth A-B + β c-180 dan
seterusnya dimana α adalah sudut datar dari masing-masing
titik.
4) Menghitung koordinat
Setelah azimuth dan arah datar telah dihitung, maka
kita dapat menghitung koordinat titik-titik polygon.
Perhitungan dimulai dengan mencari selisih koordinat ¿X dan
∆ Y).
Rumus perhitungan selisih koordinat:
D.sin a untuk∆ X
D.cos a untuk ∆ Y
Dimana: D= jarak datar
a= azimuth
Perhitungan dimulai dari titik awal yang sudah diketahui
koordinatnya kemudian ditambah atau dikurangi dengan
selisih koordinat terkoreksi.
5) Menghitung beda tinggi
Jika menggunakan waterpass, beda tinggi=pembacaan
belakang-pembacaan muka, jika menggunakan theodolite,
beda tinggi(∆ h)=D’sin β sudut kemiringan lereng
6) Koreksi beda tinggi
Untuk polygon tertutup Ʃ∆ h=0, jika Ʃ∆ h tidak sama
dengan 0 maka besarnya kesulitan harus dibagikan ke
masing-masing titik.
PC = QD = Y
Maka dalam hal ini terdapat kesalahan garis bidik tidak tegak
lurus sumbu II, tapi sumbu II telah sumbu I.
Membidik teropong C.
Dengan sekrup koreksi diafragma, garis bidik digeser
hingga berhimpit dengan titik P.
Mengulangi pekerjaan hingga bila teropong diputar dari
atas kebawah atau sebaliknya garis bidik akan melukiskan
PTQ.
d) Sewaktu teropong dibidik ketitik P, garis bidik akan menunjuk
ketitik G sebelah kanan atau kiri titik P dan sewaktu teropong
dibidik ketitik Q garis bidik akan menunjuk ketitik H, sebelah
kanan atau kiri titik Q, tapi PQ = a ≠ QH = b. Maka hal ini
menunjukkan adanya kesalahan kombinasi, yaitu sumbu II
tidak tegak lurus sumbu I dan garis bidik tidak tegak lurus
sumbu II.
Menghitung besarnya x dan y.
Membidik teropong ke skala atas (titik G).
Memutar sekrup koreksi sumbu II sedemikian rupa hingga
pembacaan skala = Y (Y = pengaruh tidak tegak lurusnya
garis bidik terhadap sumbu II).
Mengulangi pekerjaan hingga bila teropong dibidikkan ke
segala arah maupun bawah permukaan sama dengan y dan
terletak pada belahan yang sama terhadap garis PTQ yang
berarti sumbu II telah tegak lurus sumbu I.
Membidik kembali teropong ke skala atas.
Memutar sekrup koreksi diafragma sedemikian rupa
hingga garis bidik menunjuk skala nol (berhimpit dengan
titik P).
Mengulangi pekerjaan hingga bila teropong diarahkan dari
atas kebawah atau sebaliknya garis bidik tetap berhimpit
dengan PTQ.
Pesawat telah baik.
METODOLOGI WATERPASS
Waktu dan tempat
1) Praktikum Penggunaan Pesawat Waterpass
Hari dan Tanggal : Jumat, 15 Maret 2023
Waktu : 01:00 - selesai
Lokasi : Jln. Poros Lembomawo – Tagolu
∆ P0 – P1 = TA P0 – BT P1
=1,362 – 1.054
= 0,308 M
∆ P1 – P2 = BT P1 – TA P2
=1.054 – 1,278
= -0,224 M
∆ P2 – P3 = TA P2 – BT P3
=1,278 – 0,714
= 0,564 M
∆ P3 – P4 = BT P3 – TA P4
=0,714 – 1,290
= -0,576 M
∆ P4 – P5 = TA P4 – BT P5
=1,290 – 1,220
= 0,07 M
∆ P5 – P6 = BT P5 – TA P6
=1,220 – 1,278
= -0,058 M
∆ P6 – P7 = TA P6 – BT P7
= 1,278 – 1,257
= 0,021 M
∆ P7 – P8 = BT P7 – TA P8
=1,257 – 1,300
= -0,043 M
∆ P8 – P9 = TA P8 – BT P9
=1,300 – 1,261
= 0,039 M
∆ P9 – P10 = BT P9 – TA P10
= 1,261– 1,320
= -0,059 M
III. Menghitung Tinggi Patok Utama (TT)
TT = T 0 + Keterangan : T 0 = Tinggi titik sebelumnya
∆T ∆ T = Beda tinggi
TT P1 =T 0 P0 + (∆ T P0-P1)
= 0 + 0,308
= 0,308 M
TT P2 = T 0P1 + (∆ T P1-P2)
= 0,308 + (-0,224)
= 0,084 M
TT P3 =T 0P2 + (∆ T P2-P3)
= 0,084 + 0,564
= 0,648 M
TT P4 = T 0P3 + (∆ T P3-P4)
= 0,648 + (-0,576)
= 0,072 M
TT P5 = T 0P4 + (∆ T P4-P5)
= 0.072 + 0,07
= 0,142 M
TT P6 = T 0P5 + (∆ T P5-P6)
=0,142 + (-0,058)
= 0,084 sM
TT P7 = T 0P6 + (∆ T P6-P7)
= 0,084 + 0,021
= 0,105 M
TT P8 = T 0 P7 + (∆ T P7-P8)
= 0,105 + (-0,043)
= 0,062 M
TT P9 = T 0P8 + (∆ T P8-P9)
= 0,062 + 0,039
= 0,101 M
TT P10 = T 0P9 + (∆ T P9-P10)
= 0,101 + (-0,059)
= 0,042 M
P10 :
P10 - A = {(BA P10-A) - (BB P10-A)} x 100
=(1, 325 – 1,270) x 100
=5,5 M
P10 - B = {(BA P10-B) - (BB P10-B)} x 100
=(1,343 – 1,273) x 100
=7 M
P10 -C = {(BA P10-C) - (BB P10-C)} x 100
=(1,873 – 1,789) x 100
=8,4 M
P10 -D = {(BA P10-D) - (BB P10-D)} x 100
=(1,362 – 1,323) x 100
=3,9 M
P10 - E = {(BA P10-E) - (BB P10-E)} x 100
=(1,605 – 1,549) x 100
=5,6 M
P2 :
(A) = TA P2 – BT A
=1,278 – 1,236
=0,042 M
(B) = TA P2 – BT B
=1,278 – 1,417
= -0,139 M
(C) = TA P2 – BT C
=1,278 – 1,829
= -0,467 M
(D) = TA P2 – BT D
=1,278 – 1,368
= -0,09 M
(E) = TA P2 – BT E
=1,278 – 1,868
= -0,59 M
P4 :
(A) = TA P4 – BT A
= 1,290 – 1,269
=0,021 M
(B) = TA P4 – BT B
=1,290 – 1,350
= -0,06 M
(C) = TA P4 – BT C
=1,290 – 1,450
= -0,16 M
(D) = TA P4 – BT D
=1,290 – 1,392
= -0,102 M
(E) = TA P4 – BT E
=1,290 – 1,699
= -0,409 M
P6 :
(A) = TA P6 – BT A
= 1,278 – 1,163
=0,115 M
(B) = TA P6 – BT B
= 1,278 – 1,243
=0,035 M
(C) = TA P6 – BT C
= 1,278 – 1,561
= -0,283 M
(D) = TA P6 – BT D
=1,278 – 1,472
= -0,194 M
(E) = TA P6 – BT E
= 1,278 – 2,057
= -0,779 M
P8 :
(A) = TA P8 – BT A
= 1,300 – 1,337
= -0,037 M
(B) = TA P8 – BT B
= 1,300 – 1,383
= -0,083 M
(C) = TA P8 – BT C
= 1,300 – 1,769
= -0,469 M
(D) = TA P8 – BT D
= 1,300 – 1,413
= -0,113 M
(E) = TA P8 – BT E
=1,300 – 1,261
=0,039 M
P10 :
(A) = TA P10 – BT A
=1,320 – 1,298
=0,022 M
(B) = TA P10 – BT B
=1,320 – 1,308
= 0,012 M
(C) = TA P10 – BT C
=1,320 – 1,831
= -0,511 M
(D) = TA P10 – BT D
=1,320 – 1,343
= -0,023 M
(E) = TA P10 – BT E
=1,320 – 1,577
= -0,257 M
VI. Menghitung Titik Tinggi Detail (TTD)
P0 :
(A) = TT P0 ± ∆T A
= 0 + 0,069
=0,069 M
(B) = TT P0 ± ∆T B
= 0 +(0,081)
= -0,081 M
(C) = TT P0 ± ∆T C
= 0 + (-0,326)
= -0,326 M
(D) = TT P0 ± ∆T D
= 0 + (-0,039)
= -0,039 M
(E) = TT P0 ± ∆T E
= 0 +(-0,271)
= -0,271 M
P2 :
(A) = TT P2 ± ∆T A
= 0,084 + 0,042
=0,126M
(B) = TT P2 ± ∆T B
= 0,084 + (-0,139)
= -0,055M
(C) = TT P2 ± ∆T C
= 0,084 + (-0,467)
= -0,383 M
(D) = TT P2 ± ∆T D
= 0,084 + (-0,09)
= -0,006 M
(E) = TT P2 ± ∆T E
= 0,084 + (-0,59)
= -0,506M
P4 :
(A) = TT P4 ± ∆T A
=0,072 + 0,021
= 0,093 M
(B) = TT P4 ± ∆T B
= 0,072 + (-0,06)
= 0,012 M
(C) = TT P4 ± ∆T C
= 0,072 + (-0,16)
= -0,088 M
(D) = TT P4 ± ∆T D
= 0,072 + (-0,102)
= -0,03M
(E) = TT P4 ± ∆T E
= 0,072 + (-0,409)
= -0,337 M
P6 :
(A) = TT P6 ± ∆T A
= 0,084 + 0,115
= 0,199 M
(B) = TT P6 ± ∆T B
= 0,084 + 0,035
= 0,119 M
(C) = TT P6 ± ∆T C
= 0,084 + (-0,283)
= -0,199 M
(D) = TT P6 ± ∆T D
= 0,084 + (-0,194)
= -0,11 M
(E) = TT P6 ± ∆T E
= 0,084 + (-0,779)
= 0,695 M
P8 :
(A) = TT P8 ± ∆T A
= 0,062 + (-0,037)
= 0,025 M
(B) = TT P8 ± ∆T B
= 0,062 + (-0,083)
= -0,021 M
(C) = TT P8 ± ∆T C
= 0,062 + (-0,469)
= -0,407 M
(D) = TT P8 ± ∆T D
= 0,062 + (-0,113)
= -0,051 M
(E) = TT P8 ± ∆T E
= 0,062 + 0,039
= 0,023 M
P10 :
(A) = TT P10 ± ∆T A
= 0,042 + 0,022
= 0,064 M
(B) = TT P10 ± ∆T B
= 0,042 + 0,012
= 0,054 M
(C) = TT P10 ± ∆T C
= 0,042 + (-0,511)
= -0,469
(D) = TT P10 ± ∆T D
= 0,042 + (-0,023)
= 0,019 M
(E) = TT P10 ± ∆T E
= 0,042 + (-0,257)
= -0,215 M