PENDAHULUAN
1.1 Umum
Teknik survei dan pemetaan adalah ilmu, seni dan teknologi penentuan posisi relatif dari titik-titik
di atas, di permukaan dan di bawah lapisan permukaan bumi, dan proses representasinya.
Dalam perkembangannnya teknik survei dan pemetaan kini sering disebut geomatika. Geomatika
memberi kesan cakupan yang lebih luas yaitu sebuah disiplin ilmu yang meliputi semua metode
pengukuran dan pengumpulan data fisik bumi dan lingkungan. Hal ini mencakup pemrosesan data
tersebut menjadi informasi dan diseminasi produk informasi tersebut untuk berbagai kalangan.
Ilmu ukur tanah (IUT) biasanya hanya mencakup metode pengukuran terestrial (ground
surveying) dengan peralatan konvensional seperti theodolit, water-pass dan pita ukur. Gambar 1.1
menunjukkan keberadaan ilmu ukur tanah sebagai bagian dari survei dan pemetaan dan geometrika.
Geomatika
Ilmu Ukur
Tanah
Gambar 1.1: Definisi Geomatika yang mencakup disiplin yang lebih luas
Seorang ahli geomatika dapat diartikan sebagai seorang yang punya ekspertis dalam bidang
geospasial yang kerjanya dapat meliputi:
penentuan, pengukuran dan penyajian titik-titik bumi.
penataan dan pemaknaan informasi yang berbasis geografi.
penggunaan informasi tersebut untuk proses manajemen (perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi dan monitoring, dan perbaikan).
pelaksanaan riset dan pengembangan spasial untuk kesejahteraan manusia.
Perkembangan kemajuan geomatika dipengaruhi oleh beberapa hal berikut:
Pemakaian istilah geomatics di negara-negara maju.
Pengembangan teknologi survei dan informasi.
Peningkatan perhatian terhadap masalah lingkungan dan penyajiannya dalam
bentuk peta digital.
Perkembangan geographic information sistem sebagai teknik yang efisien dan
terpadu dalam menganalisa dan menyajikan informasi spasial.
Survei geodetik dilakukan untuk mengukur di dalam area pengukuran yang sangat luas.
Permukaan bumi dalam hal ini tidak dapat didasarkan (diproyeksikan) kepada bidang datar tapi bidang
1
ellipsoid. Oleh karenanya, perhitungan data pengukuran dilakukan di atas ellipsoid. Survei geodetik
biasanya dilakukan untuk menetapkan dan menyebarkan titik-titik kerangka dasar yang jaraknya sangat
berjauhan. Titik-titik kerangka dasar ini menjadi monumen untuk mengikat dan mengontrol titik-titik
(kerangka dan detil) yang lebih rapat jaraknya.
Survei bidang datar dilakukan untuk survei di dalam area pengukuran di mana permukaan bumi
dapat didasarkan kepada bidang datar. Oleh karenanya, perhitungan trigonometri, geometri dan aljabar di
bidang datar dapat dipergunakan. Untuk area kurang lebih dari 100 km2 survei bidang datar masih dapat
dilaksanakan. IUT biasanya berada pada area seperti ini.
Klasifikasi lain dapat pula dibuat berdasarkan wahananya seperti yang ditunjukkan oleh Gambar
1.2.
Jenis Survei
Karena beragamnya pengguna dari hasil survei, maka survei pengukuran dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
Survei kerangka dasar
dilakukan untuk menetapkan titik-titik kerangka dasar horizontal dan vertikal.
Survei topografi
Dilakukan untuk menentukan posisi titik alami dan artifisial dengan menunjukkan
ketinggiannya.
Survei kadaster
dilakukan untuk menentukan batas-batas pemilikan; biasanya dilakukan untuk
kepentingan Badan Pertanahan Nasional.
Survei hidrografi dan oseanografi.
dilakukan untuk menentukan posisi dan kedalaman titik-titik di laut (sungai ataupun
danau) serta garis pantainya; pengukuran parameter laut seperti gelombang dan arus
dapat dimasukkan dalam tipe survei ini.
Survei rute
dilakukan untuk perencanaan, disain dan konstruksi jalan, alur kereta api, alur pipa
dan lain-lain semacamnya.
Survei konstruksi
dilakukan untuk menyediakan informasi dan kontrol lapangan bagi operasional
konstruksi (bangunan).
Survei as- bangunan
dilakakukan untuk mendokumentasikan lokasi titik-titik kerja (bangunan) dan
mencatat setiap perubahan atau kerusakan yang terjadi, biasanya untuk pemeliharaan.
Survei tambang.
dilakukan untuk survei yang mencakup pengukuran bawah tanah seperti untuk
terowongan ataupun explorasi ( dan eksploitasi bahan tambang).
2
1.4. Badan-badan Pelaksana Survei
3
Catatan Bab I:
4
II. SISTEM UNIT DAN KESALAHAN PENGUKURAN
Ada dua sistem yang biasa dipakai, yaitu sistem English dan sistem internasional. Tabel 2.1
menjabarkan konversi yang diperlukan untuk satuan panjang, luas, volume dan sudut. Konversi satuan
lain juga dilengkapi di dalam tabel tersebut.
C/A 1.023
P 10.23
L1 1575.42
L2 1227.60
5
Parameter ellipsoid
Angka-angka signifikan dalam satu pengamatan adalah angka-angka tentu ditambah dengan
sebuah angka estimasi (tak tentu). Contoh, sebuah pengukuran dengan mistar menghasilkan angka 15,75
cm. Tiga angka pertama di hasil pengukuran tersebut adalah tentu dan angka terakhir adalah pembulatan
atau tak tentu.
Contoh 2 angka signifikan: 25; 2,5; 0,25; 0,0025; 0,0020
Contoh 3 angka signifikan: 412; 41,2; 0,000412; 0,0410
Contoh 4 angka signifikan: 6532; 65,32; 0,0006532; 65,00.
Penulisan yang lebih tepat adalah dengan perkalian 10 pangkat. Misalnya sebagai berikut:
2 angka signifikan: 2,2 x 103
3 angka signifikan: 2,50 x 103
4 angka signifikan: 2,500 x 104
Penulisan juga harus konsisten setelah angka-angka diproses melalui perhitungan matematik,
seperti:
45,5401 458
1,05 2,1__-
263,0 _+ 455,9
309,5901
6
2.3 Kesalahan Versus Koreksi
Kesalahan e dapat disebut sebagai minus dari koreksi v. Koreksi sering juga disebut residu.
Secara matematik hubungan antara kesalahan dan koreksi adalah sebagai berikut:
e x x̂ (2.1)
v x̂ x (2.2)
v e (2.3)
di mana x nilai pengamatan dari suatu besaran ukuran dan x̂ nilai yang dianggap benar dari besaran
ukuran tersebut.
Perlu dicatat bahwa nilai sebenarnya dari suatu pengamatan biasanya tidak dapat diketahui
dengan pasti. Oleh karenanya x̂ dalam persamaan di atas disebut sebagai nilai yang dianggap benar atau
nilai yang paling mungkin.
Ada tiga jenis kesalahan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1.
Jenis Kesalahan
Sedangkan sumber kesalahan juga ada 3 yaitu seperti yang ditunjukkan Gambar 2.2.
Sumber Kesalahan
7
2.5 Presisi Versus Akurasi
Presisi menunjukkan ketelitian dari tingkat kedekatan atau konsistensi dari satu ukuran dengan
ukuran lainnya. Dengan kata lain bila diskrepansi kecil (perbedaan antara satu ukuran dengan ukuran
lainnya) maka hasil ukuran memiliki presisi tinggi.
Akurasi menunjukkan ketelitian dari kedekatan dari besaran ukuran terhadap nilai sebenarnya
atau yang dianggap benar. Perbedaan antara presisi dan akurasi dilukiskan pada gambar 2.3 yang
menggambarkan 3 hasil tembakan
x x x
Untuk kasus dimana sebuah besaran pengamatan diukur berulang-ulang secara independen, nilai
yang paling mungkin x adalah rata-rata aritmatik dari sejumlah ukuran x i
x
x (2.4)
n
di mana n = jumlah pengamatan.
Untuk kasus yang lebih kompleks di mana suatu besaran ditentukan oleh besaran-besaran lain,
maka biasanya metode Least-Squares dipakai untuk menentukan nilai yang paling mungkin.
Jika kesalahan blunder dan kesalahan sistematis telah dapat dihilangkan, maka kesalahan random
yang diperoleh dari pengamatan berulang-ulang dapat diasumsikan mengikuti pola distribusi normal,
seperti pada Gambar 2.4.
8
Titik belok
Frekuensi kejadian
Kesalahan -
-σ σ Kesalahan +
1,65 σ 1,65 σ
E90
E90
1,96 σ 1,96 σ
E95 E 95
Gambar 2.4: Kurva distribusi normal kesalahan
Tiga hukum umum probabilitas kesalahan sesuai dengan Gambar 2.4 adalah:
a) Kesalahan kecil lebih sering terjadi dari kesalahan besar.
b) Kesalahan yang sangat besar sangat jarang terjadi, dan bisa jadi adalah blunder.
c) Kesalahan negatif dan positif pada nilai yang sama memiliki frekuensi yang sama.
Dengan kata lain kejadiannya sama mungkinnya, atau disebut juga simetris.
Untuk mengekspresikan tingkat presisi dari satu kumpulan pengukuran, deviasi standar σ dan
varian σ 2 digunakan:
2
σ
v (2.5)
n 1
Gambar 2.5 menunjukkan perbedaan antara pengukuran presisi tinggi dibanding dengan presisi
rendah untuk satu besaran ukuran tertentu.
9
σ σ
(a)
σ σ
(b)
Gambar 2.5 Kurva distribusi normal presisi tinggi (a) dan presisi rendah (b)
Standar deviasi σ membuat limit di mana pengamatan akan terjadi dengan probabilitas
kesalahan ingin dinyatakan dengan probabilitasnya secara matematik, maka Persamaan 2.6 dapat
digunakan.
E p Cpσ (2.6)
di mana E p kesalahan dengan probabilitas P (persen)dan C p = konstanta probabilitas P. Sesuai dengan
karakteristik σ pada distribusi normal, hubungan berikut di bawah dapat ditentukan:
E 50 0,6745σ
E 68,3 1σ
E 90 1,6449 σ (2.7)
E 95 1,9599σ
E100 3σ
Perlu dicatat bahwa baris terbawah pada Persamaan (2.7) biasanya menunjukkan toleransi
maksimum dari suatu ukuran. Walaupun secara teoritis kesalahan sebesar apapun dapat terjadi, namun
kesalahan lebih besar dari 3σ biasanya dieleminasi ataupun diulang.
Besaran yang dihitung dari besaran-besaran lain yang mengandung kesalahan tentu akan pula
mengandung kesalahan. Teknik perhitungan kesalahan dari besaran yang dihitung tersebut merupakan
teknik propagasi kesalahan. Jika sebuah besaran Y dihitung dari besaran pengamatan a, b, c ... n, yang
masing-masing independent dengan fungsi
Y f a, b, c,..., n (2.8)
maka kesalahan pada besaran hitungan adalah
2 2 2 2
f f f f
E y E a E b E c .... E n (2.9)
a b c n
10
di mana Ea = kesalahan pengamatan a, En = kesalahan pengamatan n. Jika formula guna menghitung
adalah penjumlahan a, b dan c
Y abc
maka kesalahan pada besaran adalah
E y E a2 E 2b E c2 (2.10)
Perlu dicatat bahwa a, b dan c adalah pengamatan yang independen. Jika kesalahan besaran pengamatan
sama, maka kesalahan dari besaran hitungannya disebut kesalahan berderet. Kesalahan berderet adalah
E deret E 2 E 2 E 2 ... E n (2.11)
Propagasi kesalahan untuk perkalian dari dua pengamatan dihitung dengan cara yang berbeda.
Jika besaran A dan B mempunyai kesalahan E a dan E b , maka perkalian Y AB memiliki kesalahan
E y A 2 E 2b B 2 E a2 (2.12)
Harga rata-rata juga punya kesalahan. Besar kesalahan harga rata-rata Ε x adalah:
Ε deret Ε n Ε
Εx (2.13)
n n n
Deviasi standar harga rata-rata dengan demikian adalah:
2
σ x Ε 68 x
σ
v (2.14)
n n n 1
Untuk kesalahan harga rata-rata dengan persentase berbeda juga berlaku formula yang sama
2
Ε 90 x
Ε 90
1,6449
v (2.15)
n n n 1
2
Ε 95 x
Ε 95
1,9599
v (2.16)
n n n 1
Jadi semakin presisi (nilai variannya σ 2 kecil) pengukuran maka semakin berat pengukuran (nilai W nya
besar). Nilai rata-rata dari besaran yang memiliki berat yang berbeda dapat dihitung dengan
xw
Wx (2.18)
W
11
Catatan Bab II:
12
Catatan Bab II:
13
III. SISTEM KOORDINAT DAN PRINSIP PERHITUNGAN ILMU UKUR TANAH
Untuk menyatakan letak suatu titik terhadap titik-titik lainnya menurut aturan titik (sistematika
titik) diperlukan sistem koordinat. Pemakaian sistem koordinat adalah dasar ilmu ukur analitik (geometri
analitik) yang diperlukan untuk dapat menyelesaikan perhitungan ilmu ukur tanah.
Dikenal 2 macam sistem koordinat, yaitu koordinat kartesian (x,y) dan koordinat polar
σ, d seperti pada Gambar 3.1.
y
p1x1, y1
p(xp, yp )
θ1 d θ
d1
x
d x 2 y2
y y
sin θ
d x 2 y2
x x
cos θ
d x 2 y2
P x, y adalah koordinat kartesian dari titik P dengan x absis dan y = ordinat, sedang P θ, d adalah
koordinat polar dari P.
Dalam ilmu ukur sudut, perputaran sudut dimulai dari sumbu x berlawanan arah jarum
jam.(Gambar 3.2)
y
x p
y
sin θ
d
θ
x
o
Dalam ilmu ukur tanah, umumnya perputaran sudut dimulai dari sumbu y searah jarum jam. (Gambar
3.3). Arah sumbu y positif biasanya merupakan arah utara (geografi).
14
y
x p x
sinθ
d
d
y
θ
Sudut jurusan atau azimuth adalah sudut yang dimulai dari arah yang sejajar sumbu y , searah
perputaran jarum jam sampai ke suatu sisi tertentu.
U
U A
α AP
α PA
0
α BA α AB 180
Sudut jurusan PA atau azimuth PA α PA adalah sudut yang dimulai dari arah sejajar sumbu
y di titik P searah jarum jam sampai ke sisi PA. (Gambar 3.4). Secara umum berlaku
α AP α AB 180 , jika α AP 180 tanda – digunakan , jika α AP 180 tanda + digunakan.
Ada 3 jenis sistem satuan sudut yaitu 1) sistem derajat (degree), 2) sistem gon ( grade/sentisimal
dan 3) sistem radian.
s
15
1 2π r
a 1 jika panjang busur dihadapannya x keliling lingkaran, atau a 1 jika S . a 1g jika
360 360
1 2π r
panjang busur dihadapannya x keliling lingkaran, atau, a 1g jika S . Hubungan derajat
400 400
dengan gon dapat dinyatakan
360
g
1 , atau 1g 0,9 dan 1 1,1g
400
a 1 rad jika panjang busur dihadapannya sama dengan panjang jari-jari lingkaran atau a 1 rad jika S
180
= r. Dengan kata lain 1 rad 57 0 ,....
π
Jika diketahui titik Ax A , y A , jarak AB = D AB , sudut jurusan AB= α AB , maka koordinat B
dapat dihitung, yaitu:
x B x A D AB sin α AB (3.1)
y B y A D AB cos α AB (3.2)
Δx AB B
yB
Δy AB
α AB
d AB
yA
A
xA xB
Δx AB
sin α AB , Δx AB d AB sin α AB x B x A , x B x A d AB sin α AB
d AB
Δy AB
cos α AB , Δy AB d AB cos α AB y B y A , y B y A d AB cos α AB
d AB
Δx AB x B x A
tg α AB
Δy AB y B y A
Berikut dijabarkan beberapa tipe perhitungan sederhana yang dapat digunakan untuk penentuan
posisi.
Tipe 1: Diketahui koordinat 2 titik; ditanya azimuth dan jarak antara 2 titik tersebut (Gambar 3.7).
16
y
azimuth
x , yB
h
t B B
u
m
i α BA
z α AB
a
A
xA , yA
x
Gambar 3.7: Sket untuk tipe 1
Tipe 2: Diketahui sebuah koordinat Ax A , y A ; diukur azimuth dari jaraknya ke titik B; dihitung
koordinat titik tersebut Bx B , y B (Gambar 3.8).
B x B , y B
α AB
d AB
A x A , y A
17
Tipe 3: Diketahui 2 buah titik Ax A , y A , Bx B , y B ; diukur sudut di titik A dan B pada Δ ABC ;
dihitung koordinat titik Cx C , y C (Gambar 3.9).
α β
A B
x
α AC α AB α , α BC α BA β
Tipe 4: Diketahui koordinat A dan B; diukur jarak d AC dan d BC (atau θ1 dan θ 2 di titik A dan B);
dihitung koordinat titik C (Gambar 3.10).
y
C
γ
d
BC
d AC
β
α B
A
x
x xB
α AB tan 1 A , d AB x B x A 2 y B y A 2
yB yA
18
sin α sin γ sin β
d BC d AB d AC
Posisi titik C dapat dihitung dari titik A ataupun B, bila sudut α dan β sudah dapat dihitung dengan
rumus-rumus segitiga di atas.
x C x A d AC sinα AC x C x B d BC sinα BC
cek dengan
y C y A d AC cos α AC y C y B d BC cos α BC
Tipe 5: Diketahui tiga koordinat A, B, dan C. Koordinat P akan ditentukan dengan mengukur dua sudut
dalam di titik P ( 1 dan 2 ) seperti pada Gambar 3.11.
y
A
α
B
β
β1 c
γ
β2
θ1 θ
2
p x
d AB x B x A 2 y B y A 2
d BC x C x B 2 y B y C 2
β α BA α BC
α γ 360 0 β θ 1 θ 2
d BC sin θ1 sin α γ
α tan 1
d AB sin θ 2 d BC sin θ1 cos γ
d AB sin θ 2 sin α γ
γ tan 1
d
BC sinθ 1 d AB sin θ 2 cos α γ
Kemudian koordinat titik P dapat dihitung dari titik A ataupun C.
α AP α AB α atau α CP α CB γ
d AB d
d AP sin β 1 d CP BC sin β 2
sin θ1 sin θ 2
x P x A d AP sin α AP x p x c d cp sin α cp
y P y A d AP cos α AP y p y c d cp cos α cp
19
Tugas: Perpotongan ke belakang
c b
φ
B a C
θ γ
αβ
Catat! D
2 2 2
a b c 2bc cos φ
Rumus-rumus untuk perpotongan ke belakang
θ γ 360 φ α β R
b sin γ c sin θ
AD
sin β sin α
b sin γ sin α
sin θ
c sin β
Persamaan di atas dapat dibagi dengan sin R sin α , menghasilkan:
b sin γ sin α
sin θ sin R α
c sin β
b sin α
cot γ cot R
c sin β sin R
20
C
B1
m1
Ta 1 α m2 A1
A
β
Ta 2
B
Gambar 3.12: Sket untuk tipe 6
Tipe 6: Diketahui tinggi titik A dan B, HA dan HB; diukur sudut horizontal α dan β ditik a dan B, sudut
vertikal (miring) m1dan m2 di titik A dan B, jarak datar titik A dan B d AB , ditanya tinggi titik C = HC.
21
B
A Permukaan tanah B
Tr1 B
A β
A α m2
m1 D
Ta
C
Langkah perhitungan:
1. Hitung jarak datar A ke B dan azimuth α AB
xB xA
d AB x a x B 2 y A y B , α AB tan 1
yB yA
2. Hitung jarak datar dari C ke titik A dan B
d CA D AC cos m1
d CB D BC cos m 2
3. Hitung sudut α
sin α sin γ sinγ
οα sin 1 d BC
d AC d AB d AB
4. Hitung azimuth di titik A ke titik C, α aC
α AC α AB α
5. Hitung koordinat horizontal titik C
x C x A d AC sin α AC
y C y A d AC cos α AC
6. Hitung beda tinggi alat ke reflektor
A A D AC sin m1
BB D BC sin m 2
7. Hitung C, HC
H C1 H A Tr2 A A Ta
H C2 H B Tr2 BB Ta
1
H C H C1 H C2
2
Catat bahwa jarak miring 3 dimensi dari A ke B adalah
D AB x B x A 2 y B y A 2 H B H A 2
22
3.4 Transformasi Koordinat
Jika diketahui sejumlah koordinat dalam sistem koordinat x-y (lebih dari 2 buah titik) dan dua
titik yang diketahui koordinatnya dalam sistem koordinat x y dan sistem koordinat x-y, maka dapat
ditentukan titik-titik koordinat lainnya di sistem x y .
y
y
B
α AB x
y
α AB
y a y a
A
y a cos θ θ
xa
x a sin θ ya θ y sin θ
x
Ty
x a cos θ
x
Tx
23
x cos θ sin θ x TX
y sin θ cos θ y T
Y
4. Bila terjadi pembesaran atau pengecilan dengan faktor skala S dihitung terlebih dahulu
d x B x A 2 yB yA 2
S AB
d AB x B x A 2 y B y A 2
kemudian formula transformasi menjadi:
x S x cos θ S y sin θ TX
y S x sin θ S y cos θ TY
24
Catatan Bab III:
25
IV. PENGUKURAN JARAK DAN BEDA TINGGI DENGAN CARA OPTIK
Dengan alat sifat datar (waterpass atau level) ataupun theodolit, jarak dapat ditentukan dengan
cara optik sebagai berikut:
Bacaan benang
diafragma pada rambu
d
Bacaan benang
diafragma pada rambu
m
BA
BT
m
) Cos
BA – BB BB
100 ( dv
dm =
z
m patokan
Ta h
Topografi relief bumi
patokan
d
Gambar 4.2: Pengukuran tachimetri
Contoh: Sebuah theodolit diletakkan sentring di atas titik A dengan teropong mengarah ke rambu ukur
yang ditegakkan tepat di atas titik B. Data-data pengamatannya adalah sebagai berikut:
26
Sudut zenith z = 1400 20’ 30”
Tinggi alat Ta =1,620 m
Bacaan benang atas BA =2,450 m
Bacaan benang tengah BT = 3,000 m
Bacaan benang bawah BB = 1,550 m
Tentukan jarak miring dm, jarak datar d, jarak vertikal dv, dan beda tinggi kedua titik.
Penyelesaian:
Dijawab:
dm (jarak miring)
dm = 100 (BA – BB) sin z
= 100 (2,450 – 1,550) sin 140,34160
= 100 . 0.9 . 0,6382
= 57,438 m
d (jarak datar)
d = 100 (2,450 – 1,550) sin2 140,34160
= 100 . 0,9 . 0,4073
= 36,656 m
Δh (beda tinggi)
Δh dv Ta BT
dv 100 BA BB cos z sin z
100 2,450 1,550 cos 140,3416 0 sin 140,3416
100 0,9 0,7698 0,6382
44,2164 m
sehingga Δh dv Ta BT
44,2164 1,620 2,000
44,5964 m
27
Catatan Bab IV:
28
V. PERHITUNGAN POLIGON
Dasar perhitungan poligon di bawah ini dijabarkan melalui contoh data ukuran seperti yang
digambarkan dalam Gambar 5.1. Perhatikan bahwa besaran yang diamati adalah sudut β i di tiap titik dan
jarak antara 2 titik d ij .
β2 25004030
x0 = 30,000 2
4
y0 = 175,000 m
2 3m m
0,1 78
=2 d
23 35
,6
d12 =3 =
4,5 d 34
76
β1 900 2010 m
0
3 β3 260 50 40
(x1 = 100,000)
1
(y1 = 100,000)
Dengan data yang ada seperti pada gambar di atas, tentukan koordinat titik 2, 3, dan 4.
Prosedur perhitungannya adalah:
x x
α 01 tan 1 1 0
........
y
1 y 0
29
5.2 Prosedur Pengukuran Poligon
Peralatan yang digunakan adalah seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 5.1.
P4 Δh d v T a BT
U
Jarak vertikal + tinggi alat + tinggi prisma
P3
α12
P1
β2
α 23
0,007
P2
30
Tabel 5.2: Data ukuran dan hitungan poligon
Tg
Tg alat HR Sdt beta Azimuth HD VD Prisma x y dz z Ket Ttk
alat P1 1.385 176 47 40 176.796 1000 1000 100 P1
fs P2 176.796 80.597 0.149 1.511 1004.505 919.529 0.023 100.023 Polig P2
31
Titik Poligon
1060
P4
1003.352,
1046.780
1040
β4
P3
1020
1004.517,
1014.742
β3
P1
1000 1000, 1000
β1
y (meter)
980
960
β2
940
1004.505,
920
919.529
P2
900
999 1000 1001 1002 1003 1004 1005
x (meter)
Dalam perhitungan polygon tertutup terdapat 3 koreksi yang perlu dibuat, koreksi pertama
adalah koreksi sudut, yaitu kβ
kβ n 2x180 β
1
kβ x kβ
n
di mana n = banyak titik poligon. Koreksi sudut dapat dibagi rata ke setiap sudut, tapi sebaiknya
sudut yang memiliki kaki (sisi) yang lebih pendek diberikan koreksi yang lebih besar.
Koreksi kedua adalah koreksi absis, yaitu kx:
kx dx d sin α
d
kx x kx
d
Koreksi ketiga adalah koreksi ordinat, yaitu ky:
ky dy d cos α
d
ky x ky
d
Jarak yang lebih panjang akan memperoleh koreksi absis dan ordinat yang lebih besar.
Catat bahwa salah penutup absis =
kx dan salah penutup ordinat = ky .
Prosedur perhitungannya dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Tuliskan semua data ukuran yang diamati atau diasumsikan, termasuk sudut β , azimuth
awal, jarak datar (d atau HD) dan koordinat awal, ditempat yang sesuai.
2) Hitung koreksi sudut dan sudut yang sudah terkoreksi
β̂ i β i kβ i
3) Hitung azimuth tiap sisi berdasarkan β̂ i
α jk α ij 180 0 β j
dengan catatan bila α jk 360 0 dapat dikurangi 3600
4) Hitung dx dan dy untuk setiap sisi dan koreksi absisi dan ordinat seperti yang sudah
dikemukakan sebelumnya.
dx ij d ij sin α ij
dy ij d ij cos α ij
d ij
kx ij x kx
d
d ij
ky ij x ky
d
5) Hitung koordinat yang sudah terkoreksi sebagai berikut:
x j x i dx ij kx ij
y j x i dy ij ky ij
Tabel 5.3 menunjukkan hasil perhitungannya dengan menggunakan program aplikasi excel.
33
Tabel 5.3: Hitungan poligon tertutup
34
5.4 Kriteria Kesalahan Penutup Sudut
Kesalahan penutup sudut yang diijinkan dapat dibatasi dengan menggunakan formula:
S ps k n
di mana n = jumlah sudut dan k = konstanta yang tergantung dari tingkat ketelitian yang
diminta di dalam survei. Umumnya nilai k dapat diklasifikasikan:
Untuk ketelitian tingkat I : k = 1,7”, tingkat II : k = 3”, tingkat III : k = 10”dan tingkat IV : k =
12”
Kesalahan dalam pengukuran poligon bersumber atau sebagai akibat dari hal-hal berikut:
1) Pemilihan lokasi titik poligon yang buruk yang menyebabkan bidikan ke target tidak
optimal.
2) Kesalahan mengukur sudut dan jarak.
3) Kesalahan mencatat ukuran sudut dan jarak.
4) Kesalahan orientasi sudut dan azimuth poligon.
5) Kesalahan dalam penyentringan (tegaknya) alat persis di atas titik stasiun pengukuran.
6) Tidak melakukan atau mencek ukuran lebih.
Kesalahan dalam pengukuran poligon dapat dihindari dengan mengingat hal-hal berikut:
1) Memilih lokasi titik-titik poligon yang baik.
2) Mengukur dan mencatat ukuran dengan baik (sesuai SOP di buku atau formulir ukur) dan
memberi keterangan yang diperlukan.
3) Membuat sket poligon yang akan diukur untuk memahami orientasi sudut dan azimuth sisi-
sisi poligon.
4) Melakukan sentring setepat mungkin.
5) Melakukan pengukuran lebih dan menceknya.
6) Memproses data harian ukuran segera setiap harinya (tidak menumpuk data dalam jumlah
besar dan dalam waktu lama).
7) Menghindari kesalahan blunder dengan persiapan dan pelaksanaan pengukuran yang
cermat.
35
Catatan Bab V:
36
Catatan Bab V:
37
VI. LEVELING DAN BAROMETRIK
6.1 Leveling
Leveling di sini maksudnya adalah pengukuran ketinggian atau beda tinggi dengan
menggunakan waterpass (sifat datar ataupun level). Waterpass adalah alat yang menggunakan
prinsip optik dengan teropongnya yang dapat membidik dalam arah horizontal (tidak vertikal).
Bidikan atau garis horizontal merupakan acuan dalam perhitungan beda tingginya seperti yang
ditunjukkan dalam gambar berikut:
BBb BBa
nah A
aan ta
uk
rm
Pe
T
Catat bahwa dalam pengukuran leveling posisi alat tidak harus berada di tengah ataupun pada garis
lurus A dan B
Pada Gambar 6.1, besaran yang diukur dan dicatat adalah bacaan benang tengah (BT), atas
(BA) dan bawah (BB) pada kedua rambu di atas titik A dan B. Perlu dicatat bahwa BA dan BB
diperlukan apabila ukuran jarak datar (ke alat) ataupun kontrol yang diinginkan.
Beda tinggi titik A dan B, ΔH AB adalah:
ΔH AB H B H A (6.1)
BTa BTb (6.2)
Jika ketinggian A, HA diketahui maka ketinggian B atau HB adalah:
H B H A ΔH AB H A BTa BTb (6.3)
Biasanya sebutan bacaan ke muka (foresight) dan belakang (backsight) sering digunakan untuk
pengukuran yang bergerak maju. Perhitungan beda tingginya menjadi:
ΔH bm H m H b (6.4)
ΔH bm BTb BTm (6.5)
H m H B BTb BTm (6.6)
Jika tinggi titik T, dimana alat didirikan, ingin diketahui maka tinggi alat Ta dapat diukur
dengan pita ukur:
HT = HA +BTa -Ta atau HT = HB + BTb +Ta (6.7)
Perlu dicatat bahwa biasanya ketinggian titik (stasiun) alat tidak diperlukan.
Dengan prinsip di atas pengukuran beda tinggi titik-titik detil dapat dilakukan dengan
menemukan posisi alat pada tempat yang strategis untuk membidik semua target detil.
38
Garis horizontal pd bidang-
bidang horizontal yg selevel
F
G Rambu ukur
A4 E
A3
H
A2
D
A1
A C
B
Batas area
pengukuran
Gambar 6.2: Leveling untuk titik detil. Alat ditempatkan pada posisi yang strategis.
Salah satu pertimbangan dalam menempatkan posisi alat adalah jaraknya ke target yang tidak
boleh terlalu dekat ataupun terlalu jauh sehingga bacaan BT, BA dan BB menjadi tidak jelas.
Dalam pengukuran ketinggian titik-titik kerangka vertikal, perlu diperhatikan prosedur
pengukuran sebagai berikut:
1) BA BB 2 * BT c , dimana c biasanya 2 mm.
2) Pengukuran 2 stand. Maksudnya adalah pengukuran dilakukan dengan alat berdiri 2
kali sehingga diperoleh 2 set bacaan (stand 1 dan stand 2).
3) Pengukuran pulang pergi. Maksudnya adalah pengukuran dilaksanakan dalam 2 arah,
misalnya pengukuran pergi adalah dari titik A ke A1, A2, A3 s.d ke B. Sedangkan
pengukuran pulang adalah dari titik B ke B1, B2, B3, B4, sampai dengan kembali ke A.
Ketiga hal di atas adalah untuk memperoleh hasil pengukuran leveling dengan kontrol dan
ketelitian yang tinggi.
Contoh pengukuran leveling ditunjukkan oleh Gambar 6.3 dan Tabel 6.1
0,954 1,789
1,000 0,750
2,000 0,500
A1 A2
A
B
20 m Gambar 6.3: Contoh pengukuran leveling
Catat bahwa pengukuran pulang pergi dapat juga diartikan pengukuran loop (tertutup).
39
Tabel 6.1: Contoh data pengukuran dan perhitungan leveling (dalam m)
Toleransi kesalahan penutup untuk pengukuran kerangka vertikal dengan leveling biasanya
diklasifikasikan dengan ketentuan seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 6.2.
Tabel 6.2: Toleransi pengukuran leveling
Contoh: Bacaan barometer air raksa di titik A adalah 755 mm sedangkan di titik B 750 mm. Densiti
air raksa pada suhu 250C adalah ρ ar 17.560
kg , sedangkan densiti udara pada suhu tersebut
m3
adalah ρ u 1,184
kg . Hitunglah beda tinggi titik A dan B.
m3
ΔP ρ u g Δh AB
Penyelesaian:
Pada titik A, tekanan udara adalah
P ρ ar g h A 17560 x 9,81 x 0,755 = 130059,018 Pa
Pada titik B, tekanan udara adalah
P ρ ar g h B 17560 x 9,81 x 0,730 = 125752,428 Pa
Sehingga ΔP 130059,018 125752,428 = 4306,59 Pa
ΔP ρ u g Δh AB
4306,59 1,184 x 9,81 x Δh AB
4306,59
maka beda tinggi Δh AB 370,77 m 371 m
1184x9,81
41
Catatan Bab VI:
42
Catatan Bab VI:
43
VII. PERATAAN (ADJUSTMENT)
Perataan dilakukan bila kesalahan blunder dan kesalahan sistematis sudah dapat diatasi, artinya
yang tertinggal hanyalah kesalahan random. Ada dua jenis perataan yang dijelaskan di sini, yaitu 1)
perataan sederhana dan 2) perataan kuadrat terkecil.
H=
m B 5 ,4
50 2m
= 10, L2 =
m
H 0,7
km km
,00
1,0
L 1=
00
A =1
H
A C
L4 = km
0,5 0,8
km L 3=
H= 7m
-7,2 =-8 ,4
1m h
D
Solusi:
1. Tentukan ksalahan penutup levelling (KPL) yaitu
KPL Δh 0 Δh
10,50 5,42 8,47 7,31 0,14m
2. Tentukan koreksi untuk beda tinggi dengan rumus:
KPL
Vi 1 L i
L
0,14
Jadi, untuk Δh AB , V1 1 0,05m
3
0,14
Δh BC , V2 0,7 0,03m
3
0,14
Δh CD , V3 x0,8 0,04m
3
0,14
Δh DA , V4 x0,5 0,02m
3
3. Tentukan ketinggian titik B, C, dan D
44
HB H A Δh AB V1 110,45m
HC H B Δh BC V2 115,84m
HD H C Δh CD V3 107,33m
cek H A H D Δh DA V4 100,00m
Perataan kuadrat terkecil merupakan metode terbaik yang dapat digunakan untuk
menentukan nilai terbaik (yang paling mungkin) dari suatu pengamatan. Dasar asumsi penggunaan
perataan kuadrat terkecil adalah sebagai berikut:
1. Pengamatan dilakukan berlebih atau terdapat ukuran lebih.
2. blunder dan kesalahan sistematik telah dieliminasi, artinya yang tertinggal hanya kesalahan
random.
3. Distribusi frekuensi dari kesalahan pengamatan adalah normal.
Syarat matematik kuadrat terkecil adalah:
m
2
v i v12 v 22 v 33 ... v 2m minimum (7.1)
i 1
di mana vi= koreksi - kesalahan pengamatan; dan m = jumlah pengamatan
Bila berat pengamatan berbeda, maka syaratnya menjadi
m
2
w v i i w 1 v12 w 2 v 22 w 3 v 33 ... w m v 2m miminum (7.2)
i 1
1
di mana wi = berat pengamatan dan σ i deviasi standar pengamatan i.
σ i2
Contoh: Gunakan perataan kuadrat terkecil untuk memperoleh nilai paling mungkin (terbaik) dari
sebuah jarak yang diukur 10 kali:
538,57 m; 538,39 m; 538,37 m; 538,39 m; 538,48 m
538,49 m; 538,33 m; 538,46 m; 538,47 m; 538,55 m.
Solusi:
1. Tuliskan nilai terbaik untuk setiap pengamatan dengan koreksinya, atau tuliskan persamaan
pengamatannya.
l̂1 l1 v1 538,57 v1 l̂ 6 l 6 v 6 538,49 v 6
l̂ 2 l 2 v 2 538,39 v 2 l̂ 7 7 v 7 538,33 v 7
l̂3 l 3 v 3 538,37 v 3 l̂8 l 8 v 8 538,46 v 8
l̂ 4 l 4 v 4 538,39 v 4 l̂9 l 9 v 9 538,47 v 9
l̂5 l 5 v 5 538,48 v 5 l̂10 l10 v10 538,55 v10
2
2. Bentuk persamaan v
10
v 2
i 2
l̂1 538,57 l̂ 2 538,39 l̂ 3 538,37 2 2
i 1
45
2L 638,48 2L 538,49 2L 538,33 2L 538,46
2L 538,47 2L 538,55
Contoh: Sudut-sudut dalam sebuah segitiga diukur dengan besar pengamatan α 421213 ,
β 59 5615 , γ 257 51 35 . Lakukan perataan kuadrat terkecil terhadap pengamatan tersebut
untuk memperoleh nilai terbaik.
Prosedur perataan dapat dibuat sebagai berikut:
1. Tuliskan persamaan pengamatan
2. Tuliskan persamaan syarat jumlah sudut dari satu segitiga
3. Masukkan persamaan pengamatan ke persamaan syarat, dan pecahkan untuk v3.
4. Bentuk persamaan v 2 dengan 2 variabel v1 dan v2.
2
5. Turunkan v secara parsial terhadap v1 dan v2 dan buat turunan tersebut sama dengan
nol sehingga diperoleh 2 persamaan dengan dua anu.
6. Pecahkan v1 dan v2 berdasarkan persamaan di atas
7. Pecahkan v3.
8. Hitung sudut-sudut terkoreksi (terbaik).
Penyelesaian:
1. α̂ α v1 42 1213 v1
β̂ β v 2 59 5615 v 2
γ̂ γ v 3 257 51 35 v 3
2. α̂ β̂ γ̂ 42 1213 v1 59 5615 v 2 257 51 35 v 3 360
360 0003 v1 v 2 v 3 360
v1 v 2 v 3 03
3. v 3 v1 v 2 03
4. v v v 3 v v
2 2
1
2
2 1 2
2
2
v i
5. 2v 2 3 v v 0
1 1 2 4v1 2v 2 6
v1
v i2
2v 2 2 3 v1 v 2 0 2v1 4v 2 6
v 2
4v1 2v 2 6 x2
6.
2v1 4v 2 6 x1
8v1 4v 2 12
2v1 4v 2 6
6v1 6
v1 1
v 2 1
7. v 3 1 1 3 1
46
8. α̂ 42 1213 1 42 1212
β̂ 59 5615 1 59 5614
Contoh: Lakukan perataan kuadrat terkecil untuk pengukuran jarak di bawah ini (Gambar 7.2).
w1 3 w2 2
190,40 m 203,16 m
A B C
393,65 m
w3 1
Gambar 7.2: Sket contoh soal pengukuran jarak
1. Misalkan x= 190,40 m dan y = 203,16 m serta z = 393,65 m.
2. Tuliskan persamaan pengamatannya.
x̂ ŷ z v1 393,65 v1
x̂ x v 2 190,40 v 2
ŷ y v 3 203,16 v 3
2
3. Bentuk persamaan v berdasarkan nilai koreksinya.
x̂ ŷ 393,65 x̂ 190,40 ŷ 203,16
2 2 2 2
v
2
4. Turunkan v secara parsial terhadap x̂ dan ŷ dan buat turunan tersebut sama dengan
nol sehingga dihasilkan dua persamaan untuk dua anu.
v 2
2x̂ ŷ 393,65 2x̂ 190,40 0
x̂
v 2
2x̂ ŷ 393,65 2ŷ 203,16 0
ŷ
5. Pecahkan dua persamaan di atas untuk memperoleh:
x̂ 190,43 m dan ŷ 203,19 m .
6. Hitung korelasi masing-masing pengamatan.
v1 393,65 x̂ ŷ 0,03 m
v 2 190,40 x̂ 0,03 m
v 3 ŷ 203,16 0,03 m
Tugas: Hitung kembali contoh diatas dengan w 1 3 , w 2 2 , w 3 1
48
Contoh: Tentukan ketinggian titik A dan B, bila data-data pengamatan seperti pada Gambar 7.3.
BM4
BM2
(805,40) 2
(801,930)
(2km) 5
m)
( 1k
3 B
A
(0,5 km
4
BM1 1 (1 km)
(785,232) )
km BM3
(2
(794,881)
Gamabar 7.3: Sket contoh soal pengukuran ketinggian
Solusi:
1. Tuliskan persamaan pengamatan yang melibatkan pengmatan dan koreksinya sebagai
berikut:
HA BM1 Δh 1 v1 785,232 10,997 v1
HA BM 2 Δh 2 v 2 805,410 9,169 v 2
HB H A Δh 3 v 3 H A 3,532 v 3
HB BM 3 Δh 4 v 4 794,881 4,858 v 4
HB BM 4 Δh 5 v 5 801,930 (2,202) v 5
2. Susun persamaan di atas sehingga variabel anu disebelah kiri dan nilai pengamatan serta
koreksinya disebelah kanan.
H A 796,229 v1
H A 796,241 v 2
H A H B 3,532 v 3
H B 799,739 v 4
H B 799,728 v 5
3. Susun matriks A, X, f dan V
1 0 796,229 v1
1 0 796,241 v
A 2
1 1 3,532 v 3
B
0 1 799,739 v 4
0 1 799,728 v 5
A X f V
4. Susun matriks W:
49
1/2 0 0 0
0
1 0,5 0
0 2
0 0 0
0,5
1
W0 0 0 0 2
0,5 0 1
0 0 0 1/1 0
1
0 0 0 0 1/1
1 0 796,229 0,011
1 0 796,241 0,023
796,218
V AX f 1 1 3,532 0,008
799,742
0 1 799,739 0,003
0 1 799,728 0,014
50
51
52
VIII. LUAS DAN VOLUME
8.1 Luas
Secara umum penentuan luas dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian. Pertama adalah
penentuan luas dengan pengukuran di lapangan, sedangkan kedua adalah melalui peta.
Skema dibawah ini menggambarkan metode yang umum digunakan untuk menentukan
luas.
Penentuan Luas
Menjadi bentuk
trapesium
hs
F G
E
D
53
1
L a b sin γ (8.2)
2
di mana γ sudut yang diapit oleh sisi a dan b .
B. Metode Trapesium
Metode ini biasanya digunakan untuk batas tanah (daerah) yang tidak beraturan, seperti
berikut. (Gambar 8.3)
h0 h1 h2 h3 h4 h5 h6 h7 h8 h9
h1 h2 h3 h4 h5 h6 h7 h8 h9
h0 b
12,4 m
14,4 m
11,8 m
11,9 m 6,0 m 6,1 m
7,2 m
garis acuan
0 0,6 0 km 1,40 km 2,4 km 2,70 km 3,7 5 km 4,3 5
1
Luas 0,67,2 11,9 0,811,9 14,4 114,4 6,0 0,36,0 6,1
2
1,056,1 11,8 0,611,8 12,41000
Luas 50011,46 21,04 20,4 3,63 18,795 14,52 44922,5m 2 0,045km 2
54
C. Metode Koordinat
Biasanya koordinat titik-titk batas daerah yang akan ditentukan luasnya diukur dengan cara
poligon (traverse). Setelah titik-titik tersebut ditentukan koordinatnya, barulah luasnya dapat
dihitung dengan rumus;
1
Luas
2
x y y x x
i j i j n
y1 x 1 y n (8.3)
di mana x i y i adalah titik-titik poligon dari titik ke-1 sampai dengan ke-n secara berurutan
melawan arah jarum jam.
E
Y
x A yA
x B yB
x c
Tanda panah menunjukkan perkalian
yC
x D
yD
x E
yE
x A yA
55
1
Luas 1000644,77 1517,44591,78 1523,41 491,08
2
1716,29 847,71 1125,72 102,24
Luas 0,27 km 272589,06 m 2
2
D
Y
E
C
F
G
X
Gambar 8.6: Luas lahan melingkar
Bila di salah satu batas daerah terdapat persil yang melingkar, maka persil tanah melingkar
tersebut dihitung dengan (Gambar 8.6).
θ 2
Luas persil EFG π r x
360
(8.4)
luas sisi EF dengan busurnya adalah
1 2
Luas persil EF r θ sinθ di mana θ dalam unit radian. (8.5)
2
E. Pemecahan Lahan
E
Y
F
A
G
B
Misal lahan dengan koordinat sebelumnya ingin dipecah menjadi 2 bagian. Bagian 1
adalah AEFG yang berbentuk trapesium dan luasnya adalah 100.000 m2, sedangkan bagian kedua
adalah sisanya. Koordinat F dan G ditentukan dan di-stakeout-kan di lapangan.
56
E.1 Metode trial dan error
Langkah perhitungan:
1. Estimasi panjang EF dengan memperhitungkan luas persegi panjang.
2. Hitung koordinat titik F berdasarkan estimasi di atas.
x F x E d EF sin α ED
y F y E d EF cos α ED
3. Hitung koordinat titik G dengan cara perpotongan ke muka berdasarkan ketentuan sisi AE
dan FG yang harus sejajar.
4. Hitung luas AEFG dengan metode koordinat.
5. Ulangi langkah 1 sampai 4 sampai diperoleh hasil yang memuaskan.
8.2 Volume
Secara garis besar ada 3 (tiga) metode penentuan volume, yaitu:1) metode tampang, 2)
metode unit area, dan 3) metode kontur.
A. Metode Tampang.
Gambar 8.8 menunjukkan 2 tampang, di stasiun 1 dengan luas A1 dan stasiun 2 dengan
luas A 2 . Kedua tampang berjarak datar L . Volume diantara kedua tampang tersebut dapat
dihitung dengan rumus:
A1 A 2
Volume
2
x L m3 (8.6)
A2
A1
Penentuan volume dengan Persamaan (8.6) biasanya memberikan nilai yang lebih besar dari yang
sesungguhnya. Untuk akur.asi yang lebih baik, formula volume prisma dapat digunakan, yaitu
57
A1 4A m A 2
Volume
6
x L m3 (8.7)
V h ij n x A/4 (8.8)
di mana h ij beda tinggi terhadap tinggi acuan di setiap grid (baris i dan kolom j) dan
n jumlah kotak di mana titik grid tersebut berada, luas unit area. Sebagai contoh di
Gambar (8.9) titik; titik (A,4), n =1; titik (D,1), n =2; titik (D,2), n = 3; titik (C,1), n = 4. Tabel
8.1 menunjukkan contoh perhitungan volume galian.
A 10 m B C D E
0
10 m
Tabel 8.1: Contoh perhitungan berdasarkan Gambar (8.9) dengan beda tinggi acuan 358,0 m
Titik Tinggi Potong hxn
A,0 359,5 1,5 1,5
B,0 359,3 1,3 2,6
C,0 359,0 1,0 2,0
D,0 358,8 0,8 1,6
E,0 358,5 0,5 0,5
A,1 360,0 2,0 4,0
B,1 359,9 1,9 7,6
C,1 359,5 1,5 6,0
D,1 359,2 1,2 3,6
E,1 358,9 0,9 0,9
A,2 360,5 2,5 5,0
B,2 360,0 2,0 8,0
C,2 359,9 1,9 7,6
D,2 359,7 1,7 3,4
A,3 360,9 2,9 5,8
58
Titik Tinggi Potong hxn
B,3 360,7 2,7 10,8
C,3 360,1 2,1 6,3
D,3 360,1 2,1 2,1
A,4 361,3 3,3 3,3
B,4 361,0 3,0 6,0
C,4 360,5 2,5 2,5
luas unit area x h n
Volume galian
4
10x10 m 2 x91,1 m
4
2277,5 m 3
C. Metode Kontur
Bila penentuan volume dilaksanakaan di atas peta topografi, maka metode kontur
merupakan pilihan yang tersedia yang umumnya digunakan untuk areal yang luas. Contoh
penggunaannya adalah penentuan volume terendam akibat adanya bendungan.
Rumus yang dipakai dalam metode ini sebenarnya sama dengan Persamaan (8.6). Luas
tampang 1 dan 2 adalah luas daerah yang dilingkupi oleh garis kontur h 1 dan garis kontur
h 2 . Sedang jarak antar tampang A1 dan A 2 dalam hal ini adalah interval kontur Δh .
Sebagai contoh lihat Gambar (8.10) dimana air akan naik sampai dengan ketinggian 940 m. Tabel 2
menunjukkan cara perhitungan volumenya.
Rencana
bendungan
910
920
930
940
950