Anda di halaman 1dari 61

I.

PENDAHULUAN

1.1 Umum

Teknik survei dan pemetaan adalah ilmu, seni dan teknologi penentuan posisi relatif dari titik-titik
di atas, di permukaan dan di bawah lapisan permukaan bumi, dan proses representasinya.
Dalam perkembangannnya teknik survei dan pemetaan kini sering disebut geomatika. Geomatika
memberi kesan cakupan yang lebih luas yaitu sebuah disiplin ilmu yang meliputi semua metode
pengukuran dan pengumpulan data fisik bumi dan lingkungan. Hal ini mencakup pemrosesan data
tersebut menjadi informasi dan diseminasi produk informasi tersebut untuk berbagai kalangan.
Ilmu ukur tanah (IUT) biasanya hanya mencakup metode pengukuran terestrial (ground
surveying) dengan peralatan konvensional seperti theodolit, water-pass dan pita ukur. Gambar 1.1
menunjukkan keberadaan ilmu ukur tanah sebagai bagian dari survei dan pemetaan dan geometrika.

Geomatika

Survei dan pemetaan

Ilmu Ukur
Tanah

Gambar 1.1: Definisi Geomatika yang mencakup disiplin yang lebih luas

Seorang ahli geomatika dapat diartikan sebagai seorang yang punya ekspertis dalam bidang
geospasial yang kerjanya dapat meliputi:
 penentuan, pengukuran dan penyajian titik-titik bumi.
 penataan dan pemaknaan informasi yang berbasis geografi.
 penggunaan informasi tersebut untuk proses manajemen (perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi dan monitoring, dan perbaikan).
 pelaksanaan riset dan pengembangan spasial untuk kesejahteraan manusia.
Perkembangan kemajuan geomatika dipengaruhi oleh beberapa hal berikut:
 Pemakaian istilah geomatics di negara-negara maju.
 Pengembangan teknologi survei dan informasi.
 Peningkatan perhatian terhadap masalah lingkungan dan penyajiannya dalam
bentuk peta digital.
 Perkembangan geographic information sistem sebagai teknik yang efisien dan
terpadu dalam menganalisa dan menyajikan informasi spasial.

1.2 Survei Geodetik dan Survei Bidang Datar.

Survei geodetik dilakukan untuk mengukur di dalam area pengukuran yang sangat luas.
Permukaan bumi dalam hal ini tidak dapat didasarkan (diproyeksikan) kepada bidang datar tapi bidang
1
ellipsoid. Oleh karenanya, perhitungan data pengukuran dilakukan di atas ellipsoid. Survei geodetik
biasanya dilakukan untuk menetapkan dan menyebarkan titik-titik kerangka dasar yang jaraknya sangat
berjauhan. Titik-titik kerangka dasar ini menjadi monumen untuk mengikat dan mengontrol titik-titik
(kerangka dan detil) yang lebih rapat jaraknya.
Survei bidang datar dilakukan untuk survei di dalam area pengukuran di mana permukaan bumi
dapat didasarkan kepada bidang datar. Oleh karenanya, perhitungan trigonometri, geometri dan aljabar di
bidang datar dapat dipergunakan. Untuk area kurang lebih dari 100 km2 survei bidang datar masih dapat
dilaksanakan. IUT biasanya berada pada area seperti ini.
Klasifikasi lain dapat pula dibuat berdasarkan wahananya seperti yang ditunjukkan oleh Gambar
1.2.

Jenis Survei

Survei terestrial Survei aerial survei satelit Survei air


(IUT) (Fotogrametri) (GPS dan remote sensing) (Hidrografi)

Gambar 1.2: Jenis survei berdasarkan wahananya

1.3 Tipe-tipe Survei

Karena beragamnya pengguna dari hasil survei, maka survei pengukuran dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
 Survei kerangka dasar
dilakukan untuk menetapkan titik-titik kerangka dasar horizontal dan vertikal.
 Survei topografi
Dilakukan untuk menentukan posisi titik alami dan artifisial dengan menunjukkan
ketinggiannya.
 Survei kadaster
dilakukan untuk menentukan batas-batas pemilikan; biasanya dilakukan untuk
kepentingan Badan Pertanahan Nasional.
 Survei hidrografi dan oseanografi.
dilakukan untuk menentukan posisi dan kedalaman titik-titik di laut (sungai ataupun
danau) serta garis pantainya; pengukuran parameter laut seperti gelombang dan arus
dapat dimasukkan dalam tipe survei ini.
 Survei rute
dilakukan untuk perencanaan, disain dan konstruksi jalan, alur kereta api, alur pipa
dan lain-lain semacamnya.
 Survei konstruksi
dilakukan untuk menyediakan informasi dan kontrol lapangan bagi operasional
konstruksi (bangunan).
 Survei as- bangunan
dilakakukan untuk mendokumentasikan lokasi titik-titik kerja (bangunan) dan
mencatat setiap perubahan atau kerusakan yang terjadi, biasanya untuk pemeliharaan.
 Survei tambang.
dilakukan untuk survei yang mencakup pengukuran bawah tanah seperti untuk
terowongan ataupun explorasi ( dan eksploitasi bahan tambang).

2
1.4. Badan-badan Pelaksana Survei

Badan-badan resmi pelaksana survei di Indonesia antara lain adalah:


a. Badan Koordinasi survei dan pemetaan Nasional (Bakosurtanal)
(http://www.bakosurtanal.go.id)
b. Badan Pertanahan Nasional (BPN)
(http://www.bpn.go.id)
c. Pemetaan Nasional (Penas, TNI-AU)
d. Divisi Hodrografi dan Oseanografi (Dishidros, TNI-AU)
(http://www.dishidros.or.id)
e. Jawatan Topografi (Jantop, TNI-AD)
(http://www.direktorattopografiad.com)

3
Catatan Bab I:

4
II. SISTEM UNIT DAN KESALAHAN PENGUKURAN

Ada dua sistem yang biasa dipakai, yaitu sistem English dan sistem internasional. Tabel 2.1
menjabarkan konversi yang diperlukan untuk satuan panjang, luas, volume dan sudut. Konversi satuan
lain juga dilengkapi di dalam tabel tersebut.

Tabel 2.1: Konversi satuan English dan Internasional


Panjang Luas

1 millimeter (mm) = 1000 mikrometer ( μm ) 1 m2 = 10,76 ft2


1 sentimeter (cm) = 10 mm 1 km2 = 247,1 acres
1 meter (m) = 100 cm 1 hektar (ha) = 2,471 acres
1 m = 39,37 inches 1 acre = 43,560 ft2
1 m = 3,280833333 ft 1 acre = 4.046,9 m2
1 kilometer (km) = 1000 m 1 ft2 = 0,09290 m2
1 km = 0,62137 miles 1 ft2 = 144 in2
1 in = 25,4 mm 1 in2 = 6,452 cm2
1 ft = 304,8 mm 1 mile2 = 640 acres
1 m = 3,280839895 ft
1 mile = 5280 ft Sudut
1 nautical mile = 6076,10 ft = 1852 m
1 fathom = 6 ft 1 revolusi = 360 degrees = 2π radians
10 (derajat) = 60’ (menit)
Volume 1’ = 60 “ (detik)
1” = 0,017453292 radians
1 m3 = 35,31 ft3 1 radian = 57,295779510 = 57017’44,806”
1 yd2 = 27 ft3 = 0,7646 m3 1 radian = 206.264,8062”
1 liter = 0,264 gal [U.S.] 1 revolusi = 400 grads
1 liter = 0,0013 tan 1” = sin 1” = 0,000004848
1 gal [U.S.] = 3,785 litres π = 3,141592654
1 ft3= 7,481 gal [U.S]
1 gal [Imperial] = 4,546 liter = 1,201 gal Konversi lain
[U.S.]
1 gram (g) = 0,035 oz
1 kilogram (kg) = 1000 g = 2,20 lb
1 ton = 2000 lb = 2 kips = 907 kg
1 m/dtk = 3,28 ft/dtk
1 km/jam = 0,911 ft/dtk = 0,621 mi/dtk

Frekuensi signal GPS

Code Frequency (Mhz)

C/A 1.023
P 10.23
L1 1575.42
L2 1227.60

5
Parameter ellipsoid

Ellipsoid Semimajor Axis (a) Semiminor Axis (b) Flattening (1/f)


(m) (m) (m)
Clarke, 1866 6,378,206.4 6,356,583.8 294,97870
GRS 80 6,378,137.000 6,356,752.314 298,257222101
WGS 84 6,378,137.000 6,356,752.314 298,257223563

2.1 Angka Signifikan

Angka-angka signifikan dalam satu pengamatan adalah angka-angka tentu ditambah dengan
sebuah angka estimasi (tak tentu). Contoh, sebuah pengukuran dengan mistar menghasilkan angka 15,75
cm. Tiga angka pertama di hasil pengukuran tersebut adalah tentu dan angka terakhir adalah pembulatan
atau tak tentu.
Contoh 2 angka signifikan: 25; 2,5; 0,25; 0,0025; 0,0020
Contoh 3 angka signifikan: 412; 41,2; 0,000412; 0,0410
Contoh 4 angka signifikan: 6532; 65,32; 0,0006532; 65,00.
Penulisan yang lebih tepat adalah dengan perkalian 10 pangkat. Misalnya sebagai berikut:
2 angka signifikan: 2,2 x 103
3 angka signifikan: 2,50 x 103
4 angka signifikan: 2,500 x 104
Penulisan juga harus konsisten setelah angka-angka diproses melalui perhitungan matematik,
seperti:

45,5401 458
1,05 2,1__-
263,0 _+ 455,9
309,5901

Tulis jawabannya 309,6 Tulis jawabannya 456

2.2 Pembulatan Angka

Prosedur pembulatan angka adalah sebagai berikut:


a. Jika digit yang akan dibuang kecil dari 5, maka angka dituliskan tanpa digit tersebut.
Contoh, 463,24 dibulatkan menjadi 463,2.
b. Jika yang akan dibuang adalah 5, maka angka genap terdekat yang dituliskan sebelum
angka 5 tersebut. Contoh, 463,25 dibulatkan menjadi 463,2 dan 463,35 dibulatkan
menjadi 463,4.
c. Jika digit yang akan dibuang besar dari 5, maka angka yang dituliskan dengan digit
sebelum digit yang dibuat ditambah 1. Contoh, 463,766 dibulatkan menjadi 463,77.
Ingat bahwa pembulatan seharusnya dilakukan di akhir setelah komputasi berjalan. Misalnya
dapat dilihat di bawah ini:
46,7418 46,7
1,03 1,0
375,0 375,0__
422,7718 422,7
Jawabannya: 422,8 Jawabannya: 422,7
↑ ↑
benar salah

6
2.3 Kesalahan Versus Koreksi

Kesalahan e dapat disebut sebagai minus dari koreksi v. Koreksi sering juga disebut residu.
Secara matematik hubungan antara kesalahan dan koreksi adalah sebagai berikut:
e  x  x̂ (2.1)
v  x̂  x (2.2)
v  e (2.3)
di mana x  nilai pengamatan dari suatu besaran ukuran dan x̂  nilai yang dianggap benar dari besaran
ukuran tersebut.
Perlu dicatat bahwa nilai sebenarnya dari suatu pengamatan biasanya tidak dapat diketahui
dengan pasti. Oleh karenanya x̂ dalam persamaan di atas disebut sebagai nilai yang dianggap benar atau
nilai yang paling mungkin.

2.4 Jenis-jenis Kesalahan

Ada tiga jenis kesalahan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Jenis Kesalahan

Kesalahan blunder Kesalahan sistematis Kesalahan random


(contoh: salah catat, (dapat dimodelkan (tidak dapat
salah target, salah secara sistematis dan dikoreksi atau
metode, salah dikoreksi) dihilangkan)
hitung)

Gambar 2.1: Jenis kesalahan

Sedangkan sumber kesalahan juga ada 3 yaitu seperti yang ditunjukkan Gambar 2.2.

Sumber Kesalahan

Alam Alat Manusia

(angin, suhu, (skala, kalibrasi, (target tidak tepat,


kelembaban tekanan system optis, salah catat,
udara, refraksi ketidaksempurnaan keterbatasan
atmosfie, deklinasi alat) manusia).
magnit)

Gambar 2.2: Sumber kesalahan

7
2.5 Presisi Versus Akurasi

Presisi menunjukkan ketelitian dari tingkat kedekatan atau konsistensi dari satu ukuran dengan
ukuran lainnya. Dengan kata lain bila diskrepansi kecil (perbedaan antara satu ukuran dengan ukuran
lainnya) maka hasil ukuran memiliki presisi tinggi.
Akurasi menunjukkan ketelitian dari kedekatan dari besaran ukuran terhadap nilai sebenarnya
atau yang dianggap benar. Perbedaan antara presisi dan akurasi dilukiskan pada gambar 2.3 yang
menggambarkan 3 hasil tembakan

x x x

a) Presisi tapi b) tidak presisi dan c) presisi dan akurat


tidak akurat tidak akurat

Gambar 2.3: Ilustrasi perbedaan presisi dan akurasi

2.6 Nilai yang Paling Mungkin

Untuk kasus dimana sebuah besaran pengamatan diukur berulang-ulang secara independen, nilai
yang paling mungkin x adalah rata-rata aritmatik dari sejumlah ukuran x i

x
x (2.4)
n
di mana n = jumlah pengamatan.
Untuk kasus yang lebih kompleks di mana suatu besaran ditentukan oleh besaran-besaran lain,
maka biasanya metode Least-Squares dipakai untuk menentukan nilai yang paling mungkin.

2.7 Hukum Probabilitas Kesalahan

Jika kesalahan blunder dan kesalahan sistematis telah dapat dihilangkan, maka kesalahan random
yang diperoleh dari pengamatan berulang-ulang dapat diasumsikan mengikuti pola distribusi normal,
seperti pada Gambar 2.4.

8
Titik belok

Frekuensi kejadian
 

Kesalahan -
-σ σ Kesalahan +

1,65 σ 1,65 σ
 E90 
E90 
1,96 σ 1,96 σ
 E95  E 95 
Gambar 2.4: Kurva distribusi normal kesalahan

Tiga hukum umum probabilitas kesalahan sesuai dengan Gambar 2.4 adalah:
a) Kesalahan kecil lebih sering terjadi dari kesalahan besar.
b) Kesalahan yang sangat besar sangat jarang terjadi, dan bisa jadi adalah blunder.
c) Kesalahan negatif dan positif pada nilai yang sama memiliki frekuensi yang sama.
Dengan kata lain kejadiannya sama mungkinnya, atau disebut juga simetris.

2.8 Ukuran Presisi

Untuk mengekspresikan tingkat presisi dari satu kumpulan pengukuran, deviasi standar σ dan
varian σ 2 digunakan:
2

σ
v (2.5)
n 1
Gambar 2.5 menunjukkan perbedaan antara pengukuran presisi tinggi dibanding dengan presisi
rendah untuk satu besaran ukuran tertentu.

9
 

 σ  σ

(a)

 σ   σ 
(b)
Gambar 2.5 Kurva distribusi normal presisi tinggi (a) dan presisi rendah (b)

Standar deviasi σ membuat limit di mana pengamatan akan terjadi dengan probabilitas
kesalahan ingin dinyatakan dengan probabilitasnya secara matematik, maka Persamaan 2.6 dapat
digunakan.
E p  Cpσ (2.6)
di mana E p kesalahan dengan probabilitas P (persen)dan C p = konstanta probabilitas P. Sesuai dengan
karakteristik σ pada distribusi normal, hubungan berikut di bawah dapat ditentukan:
E 50  0,6745σ
E 68,3  1σ
E 90  1,6449 σ (2.7)
E 95  1,9599σ
E100  3σ
Perlu dicatat bahwa baris terbawah pada Persamaan (2.7) biasanya menunjukkan toleransi
maksimum dari suatu ukuran. Walaupun secara teoritis kesalahan sebesar apapun dapat terjadi, namun
kesalahan lebih besar dari 3σ biasanya dieleminasi ataupun diulang.

2.9 Propagasi Kesalahan

Besaran yang dihitung dari besaran-besaran lain yang mengandung kesalahan tentu akan pula
mengandung kesalahan. Teknik perhitungan kesalahan dari besaran yang dihitung tersebut merupakan
teknik propagasi kesalahan. Jika sebuah besaran Y dihitung dari besaran pengamatan a, b, c ... n, yang
masing-masing independent dengan fungsi
Y  f a, b, c,..., n  (2.8)
maka kesalahan pada besaran hitungan  adalah
2 2 2 2
 f   f   f   f 
E y    E a    E b    E c   ....   E n  (2.9)
 a   b   c   n 

10
di mana Ea = kesalahan pengamatan a, En = kesalahan pengamatan n. Jika formula guna menghitung 
adalah penjumlahan a, b dan c
Y abc
maka kesalahan pada besaran  adalah
E y   E a2  E 2b  E c2 (2.10)
Perlu dicatat bahwa a, b dan c adalah pengamatan yang independen. Jika kesalahan besaran pengamatan
sama, maka kesalahan dari besaran hitungannya disebut kesalahan berderet. Kesalahan berderet adalah
E deret   E 2  E 2  E 2  ...   E n (2.11)

di mana n adalah jumlah pengamatan.

Propagasi kesalahan untuk perkalian dari dua pengamatan dihitung dengan cara yang berbeda.
Jika besaran A dan B mempunyai kesalahan E a dan E b , maka perkalian Y  AB memiliki kesalahan

E y   A 2 E 2b  B 2 E a2 (2.12)
Harga rata-rata juga punya kesalahan. Besar kesalahan harga rata-rata Ε x adalah:
Ε deret Ε n Ε
Εx    (2.13)
n n n
Deviasi standar harga rata-rata dengan demikian adalah:
2

σ x  Ε 68 x 
σ

v (2.14)
n n n  1
Untuk kesalahan harga rata-rata dengan persentase berbeda juga berlaku formula yang sama
2

Ε 90 x 
Ε 90
 1,6449
v (2.15)
n n n  1
2

Ε 95 x 
Ε 95
 1,9599
v (2.16)
n n n  1

2.10 Berat Pengamatan


Berat (atau bobot) pengamatan Wa berbanding terbalik terhadap tingkat presisi σ a2 atau
1
Wa α (2.17)
σ a2

Jadi semakin presisi (nilai variannya σ 2 kecil) pengukuran maka semakin berat pengukuran (nilai W nya
besar). Nilai rata-rata dari besaran yang memiliki berat yang berbeda dapat dihitung dengan

xw 
 Wx (2.18)
W

11
Catatan Bab II:

12
Catatan Bab II:

13
III. SISTEM KOORDINAT DAN PRINSIP PERHITUNGAN ILMU UKUR TANAH

Untuk menyatakan letak suatu titik terhadap titik-titik lainnya menurut aturan titik (sistematika
titik) diperlukan sistem koordinat. Pemakaian sistem koordinat adalah dasar ilmu ukur analitik (geometri
analitik) yang diperlukan untuk dapat menyelesaikan perhitungan ilmu ukur tanah.
Dikenal 2 macam sistem koordinat, yaitu koordinat kartesian (x,y) dan koordinat polar
σ, d  seperti pada Gambar 3.1.
y

p1x1, y1 
p(xp, yp )
θ1 d θ
d1
x

Gambar 3.1: Sistem koordinat


x  d cos θ
y  d sin θ
y
tan θ 
x
x  y  d2
2 2

d  x 2  y2
y y
sin θ  
d x 2  y2
x x
cos θ  
d x 2  y2

P x, y  adalah koordinat kartesian dari titik P dengan x  absis dan y = ordinat, sedang P θ, d  adalah
koordinat polar dari P.
Dalam ilmu ukur sudut, perputaran sudut dimulai dari sumbu x   berlawanan arah jarum
jam.(Gambar 3.2)
y

x p
y
sin θ 
d

θ
x
o

Gambar 3.2: Perputaran sudut dalam ilmu ukur sudut

Dalam ilmu ukur tanah, umumnya perputaran sudut dimulai dari sumbu y  searah jarum jam. (Gambar
3.3). Arah sumbu y positif biasanya merupakan arah utara (geografi).

14
y

x p x
sinθ 
d
d
y
θ

Gambar 3.3: Perputaran sudut dalam ilmu ukur tanah

Sudut jurusan atau azimuth adalah sudut yang dimulai dari arah yang sejajar sumbu y  , searah
perputaran jarum jam sampai ke suatu sisi tertentu.
U

U A

α AP
α PA
0
α BA  α AB  180

Gambar 3.4: Sudut jurusan

Sudut jurusan PA atau azimuth PA α PA  adalah sudut yang dimulai dari arah sejajar sumbu
y  di titik P searah jarum jam sampai ke sisi PA. (Gambar 3.4). Secara umum berlaku
α AP  α AB  180  , jika α AP  180  tanda – digunakan , jika α AP  180  tanda + digunakan.

3.1 Sistem Satuan Sudut.

Ada 3 jenis sistem satuan sudut yaitu 1) sistem derajat (degree), 2) sistem gon ( grade/sentisimal
dan 3) sistem radian.
s

Gambar 3.5: Sudut dan panjang busur di hadapan

Mengacu pada Gambar 3.5, ketentuan di bawah dapat diungkap:

15
1 2π r
a  1 jika panjang busur dihadapannya x keliling lingkaran, atau a  1 jika S  . a  1g jika
360 360
1 2π r
panjang busur dihadapannya  x keliling lingkaran, atau, a  1g jika S  . Hubungan derajat
400 400
dengan gon dapat dinyatakan
360 
g
1  , atau 1g  0,9  dan 1  1,1g
400
a  1 rad jika panjang busur dihadapannya sama dengan panjang jari-jari lingkaran atau a  1 rad jika S
180
= r. Dengan kata lain 1 rad   57 0 ,....
π

3.2 Prinsip Dasar Hitungan Koordinat.

Jika diketahui titik Ax A , y A  , jarak AB = D AB , sudut jurusan AB= α AB , maka koordinat B
dapat dihitung, yaitu:
x B  x A  D AB sin α AB (3.1)
y B  y A  D AB cos α AB (3.2)

Prinsip perhitungannya dapat dilihat pada Gambar 3.6.

Δx AB B
yB
Δy AB
α AB
d AB
yA
A

xA xB

Δx AB
sin α AB  , Δx AB  d AB sin α AB  x B  x A , x B  x A  d AB sin α AB
d AB
Δy AB
cos α AB  , Δy AB  d AB cos α AB  y B  y A , y B  y A  d AB cos α AB
d AB
Δx AB x B  x A
tg α AB  
Δy AB y B  y A

Gambar 3.6: Prinsip dasar hitungan koordinat

3.3 Perhitungan Koordinat Posisi Sederhana

Berikut dijabarkan beberapa tipe perhitungan sederhana yang dapat digunakan untuk penentuan
posisi.

Tipe 1: Diketahui koordinat 2 titik; ditanya azimuth dan jarak antara 2 titik tersebut (Gambar 3.7).

16
y
azimuth

x , yB
h
t B B
u
m
i α BA
z α AB
a

A
xA , yA
x
Gambar 3.7: Sket untuk tipe 1

Perhitungan dan keterangan gambar diuraikan di bawah.

d AB  jarak a ke B, d BA  jarak B ke A, α AB  azimuth dari A ke B, α BA  azimuth dari B ke A


d AB  x B  x A 2  y B  y A 2  d BA
 x  xA   x  xB 
α AB  tan 1  B  , α BA  tan 1  A 
 yB  yA   yA  yB 
Perlu diperhatikan tanda Δx dan Δy untuk menentukan azimuth yang benar.

Tipe 2: Diketahui sebuah koordinat Ax A , y A  ; diukur azimuth dari jaraknya ke titik B; dihitung
koordinat titik tersebut Bx B , y B  (Gambar 3.8).

B x B  , y B 
α AB

d AB

A x A , y A 

Gambar 3.8: Sket untuk tipe 2


Koordinat titik B adalah
x B  x A  d AB sin α AB
y B  y A  d AB cos α AB

17
Tipe 3: Diketahui 2 buah titik Ax A , y A  , Bx B , y B  ; diukur sudut di titik A dan B pada Δ ABC ;
dihitung koordinat titik Cx C , y C  (Gambar 3.9).

α β

A B
x

Gambar 3.9: Sket untuk tipe 3

Perhitungan dan keterangan Gambar 3.9 adalah sebagai berikut:


α = sudut di titik A, β  sudut di titik β
 x  xA 
α AB  tan 1  B 
y
 B  y A 

α AC  α AB  α , α BC  α BA  β

x c  x A  d ACs sin α AC atau x C  x B  d BC sin α BC


y c  y A  d AC cos α AC y C  y B  d BC cos α BC
Perlu dicatat bahwa dAC dan dBC dapat dihitung dengan rumus sinus di dalam Δ ABC

Tipe 4: Diketahui koordinat A dan B; diukur jarak d AC dan d BC (atau θ1 dan θ 2 di titik A dan B);
dihitung koordinat titik C (Gambar 3.10).

y
C
γ
d
BC
d AC
β
α B

A
x

Gambar 3.10: Sket untuk tipe 4

 x  xB 
α AB  tan 1  A  , d AB   x B  x A 2   y B  y A  2
 yB  yA 

Rumus aturan sinus dan kosinus dalam Δ ABC adalah


d 2BC  d 2AC  d 2AB  2d AC d AB cos α
d 2AC  d 2BC  d 2AB  2 d BC d AB cos β

18
sin α sin γ sin β
 
d BC d AB d AC

Posisi titik C dapat dihitung dari titik A ataupun B, bila sudut α dan β sudah dapat dihitung dengan
rumus-rumus segitiga di atas.

x C  x A  d AC sinα AC x C  x B  d BC sinα BC
cek dengan
y C  y A  d AC cos α AC y C  y B  d BC cos α BC

Tipe 5: Diketahui tiga koordinat A, B, dan C. Koordinat P akan ditentukan dengan mengukur dua sudut
dalam di titik P ( 1 dan  2 ) seperti pada Gambar 3.11.

y
A

α
B
β
β1 c
γ
β2
θ1 θ
2

p x

Gambar 3.11: Sket untuk tipe 5

Perhitungan dan keterangan Gambar 3.11 adalah sebagai berikut:

d AB   x B  x A  2   y B  y A 2
d BC  x C  x B 2   y B  y C 2
β  α BA  α BC
α  γ  360 0  β  θ 1  θ 2 
 d BC sin θ1 sin α  γ  
α  tan 1  
 d AB sin θ 2  d BC sin θ1 cos   γ  
 d AB sin θ 2 sin α  γ  
γ  tan 1  
d
 BC sinθ 1  d AB sin θ 2 cos  α  γ  
Kemudian koordinat titik P dapat dihitung dari titik A ataupun C.

α AP  α AB  α atau α CP  α CB  γ
d AB d
d AP  sin β 1 d CP  BC sin β 2
sin θ1 sin θ 2
x P  x A  d AP sin α AP x p  x c  d cp sin α cp
y P  y A  d AP cos α AP y p  y c  d cp cos α cp

19
Tugas: Perpotongan ke belakang

Titik x (m) y (m)


A 16.672,50 20.000,00
B 10.000,00 20.000,00
C 27.732,76 14.215,24
D ? ?

Diukur sudut α  20 0 06 dan β  35 0 07 


A

c b
φ

B a C
θ γ

αβ

Catat! D
2 2 2
a  b  c  2bc cos φ
Rumus-rumus untuk perpotongan ke belakang
θ  γ  360  φ  α  β   R
b sin γ c sin θ
AD  
sin β sin α
b sin γ sin α
sin θ 
c sin β
Persamaan di atas dapat dibagi dengan sin R sin α , menghasilkan:
b sin γ sin α
sin θ  sin R  α  
c sin β
b sin α
cot γ  cot R 
c sin β sin R

20
C

B1
m1
Ta 1 α m2 A1

A
β
Ta 2
B
Gambar 3.12: Sket untuk tipe 6

Tipe 6: Diketahui tinggi titik A dan B, HA dan HB; diukur sudut horizontal α dan β ditik a dan B, sudut
vertikal (miring) m1dan m2 di titik A dan B, jarak datar titik A dan B d AB , ditanya tinggi titik C = HC.

Langkah-langkah perhitungan adalah sebagai berikut:


1. Hitung jarak datar
d AC d AB

sin β sin 180  α  β 
d sin β
d AC  AA '  AB
sin α  β 
d sin α
d BC  BA  AB
sin α  β 
2. Hitung beda tinggi alat ke titik C
CB  d BC tan m 2
CA   d AC tan m1
Catat bahwa Ta 1  tinggi alat di titk A dan Ta 2  tinggi alat di titik B
3. Hitung tinggi titik C
H C1  H A  Ta  CA  dari titik A
H C2  H B  Ta  CB dari titik B
1
H C  H C1  H C2 
2

21
B

A Permukaan tanah B

Tr1 B 
A β
A α m2
m1 D

Ta
C

Gambar 3.13: Sket untuk tipe 7


Tipe 7: Diketahui koordinat titik A dan B x A , y A , H A  dan x B , y B , H B  ; diukur sudut vertikal di
titik C ke titik A dan B, m1 dan m2, jarak miring dari alat di titik C ke reflektor (target) di titik A dan
B, γ BC dan γ AC , sudut mendatar γ dititik C, tentukan koordinat C x C , y C , H C 

Langkah perhitungan:
1. Hitung jarak datar A ke B dan azimuth α AB
 xB  xA 
d AB  x a  x B 2   y A  y B  , α AB  tan 1  
 yB  yA 
2. Hitung jarak datar dari C ke titik A dan B
d CA  D AC cos m1
d CB  D BC cos m 2
3. Hitung sudut α
sin α sin γ  sinγ 
  οα  sin 1  d BC 
d AC d AB  d AB 
4. Hitung azimuth di titik A ke titik C, α aC
α AC α AB  α
5. Hitung koordinat horizontal titik C
x C  x A  d AC sin α AC
y C  y A  d AC cos α AC
6. Hitung beda tinggi alat ke reflektor
A A   D AC sin m1
BB  D BC sin m 2
7. Hitung C, HC
H C1  H A  Tr2  A A   Ta
H C2  H B  Tr2  BB  Ta
1
H C  H C1  H C2 
2
Catat bahwa jarak miring 3 dimensi dari A ke B adalah
D AB  x B  x A 2  y B  y A 2  H B  H A 2

22
3.4 Transformasi Koordinat

Jika diketahui sejumlah koordinat dalam sistem koordinat x-y (lebih dari 2 buah titik) dan dua
titik yang diketahui koordinatnya dalam sistem koordinat x   y  dan sistem koordinat x-y, maka dapat
ditentukan titik-titik koordinat lainnya di sistem x   y  .

y 
y
B
α AB x
y
α AB

y a y a
A
y a cos θ θ
xa
x a sin θ ya θ y sin θ
x

Ty
x a cos θ

x 

Tx

Gambar 3.14: Skema untuk tranformasi koordinat


Solusi:
Prosedur transformasi dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Transformasi koordinat dilakukan dengan merubah x A , y B  menjadi x A , y A  seperti pada
gambar. Dalam hal ini terjadi rotasi sebesar θ , yaitu:
θ  α AB  α AB
atau
 x  x A 
θ  α AB  β AB   tan 1  B
 , di mana α AB  .
 y B  y A 
kemudian koordinat x A , y A  dapat ditentukan sebagai berikut:
x A  x A cos θ  y sin θ
yA  x A sin θ  y cos θ
2. Selanjutnya besar translasi dapat dihitung dengan:
TX  x a  x a dalam arah x
TY  y a  y a dalam arah y
3. Jadi koordinat dalam sistem x   y  adalah:
x A  x A  TX
yA  yA  TY
atau secara umum:
x   x cos θ  y sin θ  TX
y  x sin θ  y cos θ  TY
Bentuknya secara matriks:

23
 x  cos θ  sin θ   x  TX 
 y   sin θ cos θ   y   T 
      Y 
4. Bila terjadi pembesaran atau pengecilan dengan faktor skala S dihitung terlebih dahulu
d  x B  x A 2  yB  yA 2
S  AB 
d AB  x B  x A  2   y B  y A 2
kemudian formula transformasi menjadi:
x  S x cos θ  S y sin θ  TX
y  S x sin θ  S y cos θ  TY

Tugas: Tentukan koordinat R dan S dalam sistem x   y 


Titik x  y  x y
P 194683,50 99760,22 2848,28 2319,94
Q 196412,80 102367,61 5720,05 3561,68
R ? ? 3541,25 2477,53
S ? ? 1487,63 5461,22

Catatan Bab III:

24
Catatan Bab III:

25
IV. PENGUKURAN JARAK DAN BEDA TINGGI DENGAN CARA OPTIK

Dengan alat sifat datar (waterpass atau level) ataupun theodolit, jarak dapat ditentukan dengan
cara optik sebagai berikut:
Bacaan benang
diafragma pada rambu

d
Bacaan benang
diafragma pada rambu

Gambar 4.1: Prinsip jarak optik

d = jarak datar = C x B = C (BA – BB) (4.1)


Biasanya C = 100 (tergantung alat) dan B = BA –BB; BA = benang atas dan BB = benang bawah.
Jika teropong theodolit dalam kondisi miring maka situasinya dapat digambarkan seperti pada Gambar
4.2.

m
BA
BT
m
) Cos
BA – BB BB
100 ( dv
dm =
z
m patokan

Ta h
Topografi relief bumi

patokan
d
Gambar 4.2: Pengukuran tachimetri

Jarak miring dm adalah dm = 100 (BA – BB) cos m (4.2)


Jarak datar d menjadi d = 100 (BA – BB) cos2 m (4.3)
Jarak vertikal dv adalah dv = 100 (BA – BB) sin m cos m (4.4)
Beda tinggi kedua titik Δh adalah Δh = dv + Ta –BT , di mana Ta = tinggi alat,
dan BT = benang tengah (4.5)
Catat bahwa t = sudut zenith dan m = sudut miring dan z = 90- m. Jadi jika yang dibaca adalah
sudut zenith z bukan sudut miring m, maka rumusnya dapat berubah menjadi:
dm = 100 (BA – BB) sin z (4.6)
d = 100 (BA – BB) sin2 z (4.7)
dv = 100 (BA – BB) cos z sin z (4.8)
Δh  50 BA  BB sin 2 z  Ta  BT (4.9)

Contoh: Sebuah theodolit diletakkan sentring di atas titik A dengan teropong mengarah ke rambu ukur
yang ditegakkan tepat di atas titik B. Data-data pengamatannya adalah sebagai berikut:

26
 Sudut zenith z = 1400 20’ 30”
 Tinggi alat Ta =1,620 m
 Bacaan benang atas BA =2,450 m
 Bacaan benang tengah BT = 3,000 m
 Bacaan benang bawah BB = 1,550 m
Tentukan jarak miring dm, jarak datar d, jarak vertikal dv, dan beda tinggi kedua titik.
Penyelesaian:
Dijawab:
dm (jarak miring)
dm = 100 (BA – BB) sin z
= 100 (2,450 – 1,550) sin 140,34160
= 100 . 0.9 . 0,6382
= 57,438 m

d (jarak datar)
d = 100 (2,450 – 1,550) sin2 140,34160
= 100 . 0,9 . 0,4073
= 36,656 m

Δh (beda tinggi)
Δh  dv  Ta  BT
dv  100 BA  BB cos z sin z
 100 2,450  1,550 cos 140,3416 0 sin 140,3416
 100  0,9  0,7698  0,6382
 44,2164 m
sehingga Δh  dv  Ta  BT
 44,2164  1,620  2,000
 44,5964 m

Catatan Bab IV:

27
Catatan Bab IV:

28
V. PERHITUNGAN POLIGON

5.1 Dasar Perhitungan Poligon

Dasar perhitungan poligon di bawah ini dijabarkan melalui contoh data ukuran seperti yang
digambarkan dalam Gambar 5.1. Perhatikan bahwa besaran yang diamati adalah sudut β i di tiap titik dan
jarak antara 2 titik d ij .

β2  25004030
x0 = 30,000 2
4
y0 = 175,000 m
2 3m m
0,1 78
=2 d
23 35
,6
d12 =3 =
4,5 d 34
76
β1  900 2010 m

0
 
3 β3  260 50 40
(x1 = 100,000)
1

(y1 = 100,000)

Gambar 5.1: Dasar perhitungan poligon

Dengan data yang ada seperti pada gambar di atas, tentukan koordinat titik 2, 3, dan 4.
Prosedur perhitungannya adalah:
x x 
 α 01  tan 1  1 0
  ........
y
 1  y 0 

 Titik 2; α12  α 01  180  β 1  .....


x 2  x 1  d1 2 sin α12
 100  20,123 sin α12  .......
y 2  y1  d1 2 cos α12
 100  20,123 cos α12  .......
 Titik 3; α 23  α12  180  β 2  ......
x 3  x 2  d 2 3 sin α 2 3
 114,7913  34,576  sin α 23  ......
y 3  y 2  d 2 3 cos α 2 3
 113,6437  34,576  cos α 23  .....
 Titik 4; α 34  α 23  180  β 3  .......
x 4  x 3  d 3 4 sin α 3 4
 145,3257  35,678  sin α 34  ......
y 4  y 3  d 3 4 cos α 3 4
 97,4187  35,678  cos α 34  ....

29
5.2 Prosedur Pengukuran Poligon

Peralatan yang digunakan adalah seperti yang ditunjukkan oleh Tabel 5.1.

Tabel 5.1: Peralatan pengukuran poligon dengan theodolit semi TS


No Nama Alat Jumlah Keterangan
1 Theodolit semi automatik 1 Mengukur sudut horizontal (HR), jarak
datar (HD) dan jarak vertikal (VD)
2 Kaki tiga 3 1 unit di titik alat
1 unit di titik back sight (bs)
1 unit si titik foresight (fs)
3 Prisma 2 1 unit di titik bs
1 unit di titik fs
4 Pita ukur aluminium 3 Mengukur tinggi alat dan tinggi prisma
5 Papan dan formulir ukur 1 Mencatat hasil ukuran

P4 Δh  d v  T a  BT
U
Jarak vertikal + tinggi alat + tinggi prisma

P3

α12
P1
β2

α 23

0,007

P2

Gambar 5.2: Contoh skema pengukuran poligon

Prosedur pengukuran adalah sebagai berikut (Gambar 5.2):


1) Azimuth dan koordinat awal harus lebih dahulu ditentukan.
2) Alat ditempatkan sentring di titik alat (misal P1), sedangkan 2 prisma ditempatkan sentring
masing-masing di titik backsight (bs = P4) dan foresight = P2).
3) Baca hasil ukuran di bs dan fs dan catat HR, HD, dan VD nya. Jangan lupa untuk mencatat
tinggi alat dan tinggi prisma.
HR = sudut horizontal kanan
HL = sudut horizontal kiri
HD = jarak horizontal
VD = jarak vertikal
4) Pindahkan alat ke titik fs = P2 sedangkan prisma dan kaki tiga yang di bs = P4 dipindahkan ke
titik P3 atau menjadi titik fs. Jadi sekarang alat = P2, bs = P1 dan fs = P3.
5) Pengukuran berlanjut seperti di atas sampai semua titik mendapat kesempatan untuk
ditempatkan alat di atasnya.
Data pengukuran dan perhitungan poligon yang ditunjukkan Gambar 5.2 dapat dilihat pada tabel
5.2. Gambar 5.3 menunjukkan plot titik-titik poligonnya dengan gambaran yang lebih realistis.

30
Tabel 5.2: Data ukuran dan hitungan poligon

Tg
Tg alat HR Sdt beta Azimuth HD VD Prisma x y dz z Ket Ttk
alat P1 1.385 176 47 40 176.796 1000 1000 100 P1
fs P2 176.796 80.597 0.149 1.511 1004.505 919.529 0.023 100.023 Polig P2

bs P1 265 0 0 265.000 80.596 -0.180 1.375


alat P2 1.521 3.211 P2
fs P3 268 12 40 268.211 0.007 95.213 -0.159 1.452 1004.517 1014.742 -0.090 99.948 Polig P3

bs P2 244 0 0 244.000 95.214 0.109 1.511 0.060


alat P3 1.462 177.911 P3
fs P4 61 54 40 61.911 357.918 32.059 -0.452 1.130 1003.352 1046.780 -0.120 99.829 Polig P4

bs P3 259 52 10 259.869 32.059 0.430 1.452 0.118


alat P4 1.14 6.178 P4
fs P1 266 2 50 266.047 184.096 46.902 0.609 1.607 1000.002 999.998 0.142 99.982 Polig P1

bs P4 37 24 10 37.403 46.902 -0.714 1.130 -0.164


Ttk
alat P1 1.68 172.697 P1
fs P2 210 6 0 210.100 176.793 80.600 -0.471 1.200 1004.511 919.524 0.009 Polig P2
HR = bacaan sudut horizontal, HD = jarak horizontal, VD = jarak vertikal

31
Titik Poligon

1060

P4
1003.352,
1046.780

1040

β4
P3
1020
1004.517,
1014.742
β3
P1
1000 1000, 1000

β1
y (meter)

980

960

β2

940

1004.505,
920
919.529

P2

900
999 1000 1001 1002 1003 1004 1005
x (meter)

Gambar 5.3: Plot titik-titik poligon


32
5.3 Perhitungan Poligon Tertutup

Dalam perhitungan polygon tertutup terdapat 3 koreksi yang perlu dibuat, koreksi pertama
adalah koreksi sudut, yaitu kβ
 kβ  n  2x180   β
1
kβ  x  kβ
n
di mana n = banyak titik poligon. Koreksi sudut dapat dibagi rata ke setiap sudut, tapi sebaiknya
sudut yang memiliki kaki (sisi) yang lebih pendek diberikan koreksi yang lebih besar.
Koreksi kedua adalah koreksi absis, yaitu kx:
 kx   dx   d sin α
d
kx  x  kx
d
Koreksi ketiga adalah koreksi ordinat, yaitu ky:
 ky   dy   d cos α
d
ky  x ky
d
Jarak yang lebih panjang akan memperoleh koreksi absis dan ordinat yang lebih besar.
Catat bahwa salah penutup absis =   
kx dan salah penutup ordinat =  ky .
Prosedur perhitungannya dapat dijabarkan sebagai berikut:
1) Tuliskan semua data ukuran yang diamati atau diasumsikan, termasuk sudut β , azimuth
awal, jarak datar (d atau HD) dan koordinat awal, ditempat yang sesuai.
2) Hitung koreksi sudut dan sudut yang sudah terkoreksi
β̂ i  β i  kβ i
3) Hitung azimuth tiap sisi berdasarkan β̂ i
α jk  α ij  180 0  β j
dengan catatan bila α jk  360 0 dapat dikurangi 3600
4) Hitung dx dan dy untuk setiap sisi dan koreksi absisi dan ordinat seperti yang sudah
dikemukakan sebelumnya.
dx ij  d ij sin α ij
dy ij  d ij cos α ij
d ij
kx ij  x  kx
d
d ij
ky ij  x  ky
d
5) Hitung koordinat yang sudah terkoreksi sebagai berikut:
x j  x i  dx ij  kx ij
y j  x i  dy ij  ky ij
Tabel 5.3 menunjukkan hasil perhitungannya dengan menggunakan program aplikasi excel.

33
Tabel 5.3: Hitungan poligon tertutup

koreksi kor. absis kor. ordinat Ket No. ttk


Sdt beta sudut sudut Azimuth HD dx dy kx ky x y
P1 172.6972 0.000694 172.6979 1000.000 1000.000 P1
176.796 80.597 4.504874 -80.471 -0.000696 0.000389
P2 3.211111 0.000694 3.211806 1004.504 919.529 P2
0.007806 95.214 0.012971 95.214 -0.000822 0.00046
P3 177.9111 0.000694 177.9118 1004.516 1014.744 P3
357.9196 32.059 -1.163964 32.03786 -0.000277 0.000155
P4 6.177778 0.000694 6.178472 1003.352 1046.782 P4
184.0981 46.902 -3.351681 -46.78209 -0.000405 0.000227
P1 1000.000 1000.000 P1

359.9972 360 254.772 0.0022 -0.001231

34
5.4 Kriteria Kesalahan Penutup Sudut

Kesalahan penutup sudut yang diijinkan dapat dibatasi dengan menggunakan formula:
S ps  k n
di mana n = jumlah sudut dan k = konstanta yang tergantung dari tingkat ketelitian yang
diminta di dalam survei. Umumnya nilai k dapat diklasifikasikan:
Untuk ketelitian tingkat I : k = 1,7”, tingkat II : k = 3”, tingkat III : k = 10”dan tingkat IV : k =
12”

5.5 Kriteria Kesalahan Penutup Linear

Salah penutup linear Spl dapat dihitung berdasarkan rumus:


2 2
S pl  S pa  S po
dimana Spa = salah penutup absis ; Spo = salah penutup ordinat. Besarnya yang diijinkan tergantung
dari tingkat ketelitian yang diinginkan.
Ketelitian relative sebuah pengukuran poligon trtutup dapat dihitung menggunakan rumus:
S pl 1
ketelitian relatif  
total sisi poligon ................
Besar ketelitian ini yang diijinkan tergantung dari spesifikasi pengukuran yang diminta yang
biasanya disesuaikan dengan kebutuhan dan tercermin dari alat yang dipakai. Angka toleransi yang
1 1 1
umum digunakan adalah , atau .
10.000 20.000 30.000

5.6 Sumber dan Ragam Kesalahan

Kesalahan dalam pengukuran poligon bersumber atau sebagai akibat dari hal-hal berikut:
1) Pemilihan lokasi titik poligon yang buruk yang menyebabkan bidikan ke target tidak
optimal.
2) Kesalahan mengukur sudut dan jarak.
3) Kesalahan mencatat ukuran sudut dan jarak.
4) Kesalahan orientasi sudut dan azimuth poligon.
5) Kesalahan dalam penyentringan (tegaknya) alat persis di atas titik stasiun pengukuran.
6) Tidak melakukan atau mencek ukuran lebih.

5.7 Cara Menghindari Kesalahan

Kesalahan dalam pengukuran poligon dapat dihindari dengan mengingat hal-hal berikut:
1) Memilih lokasi titik-titik poligon yang baik.
2) Mengukur dan mencatat ukuran dengan baik (sesuai SOP di buku atau formulir ukur) dan
memberi keterangan yang diperlukan.
3) Membuat sket poligon yang akan diukur untuk memahami orientasi sudut dan azimuth sisi-
sisi poligon.
4) Melakukan sentring setepat mungkin.
5) Melakukan pengukuran lebih dan menceknya.
6) Memproses data harian ukuran segera setiap harinya (tidak menumpuk data dalam jumlah
besar dan dalam waktu lama).
7) Menghindari kesalahan blunder dengan persiapan dan pelaksanaan pengukuran yang
cermat.

35
Catatan Bab V:

36
Catatan Bab V:

37
VI. LEVELING DAN BAROMETRIK
6.1 Leveling

Leveling di sini maksudnya adalah pengukuran ketinggian atau beda tinggi dengan
menggunakan waterpass (sifat datar ataupun level). Waterpass adalah alat yang menggunakan
prinsip optik dengan teropongnya yang dapat membidik dalam arah horizontal (tidak vertikal).
Bidikan atau garis horizontal merupakan acuan dalam perhitungan beda tingginya seperti yang
ditunjukkan dalam gambar berikut:

100 (Baa –BBa) Rambu


ukur

100 (Bab –BBb)


BAb BAa
Garis horizontal
BTb BTa

BBb BBa

nah A
aan ta
uk
rm
Pe
T

B Gambar 6.1: Prinsip Leveling

Catat bahwa dalam pengukuran leveling posisi alat tidak harus berada di tengah ataupun pada garis
lurus A dan B
Pada Gambar 6.1, besaran yang diukur dan dicatat adalah bacaan benang tengah (BT), atas
(BA) dan bawah (BB) pada kedua rambu di atas titik A dan B. Perlu dicatat bahwa BA dan BB
diperlukan apabila ukuran jarak datar (ke alat) ataupun kontrol yang diinginkan.
Beda tinggi titik A dan B, ΔH AB adalah:
ΔH AB  H B  H A (6.1)
BTa  BTb (6.2)
Jika ketinggian A, HA diketahui maka ketinggian B atau HB adalah:
H B  H A  ΔH AB  H A  BTa  BTb (6.3)
Biasanya sebutan bacaan ke muka (foresight) dan belakang (backsight) sering digunakan untuk
pengukuran yang bergerak maju. Perhitungan beda tingginya menjadi:
ΔH bm  H m  H b (6.4)
ΔH bm  BTb  BTm (6.5)
H m  H B  BTb  BTm (6.6)
Jika tinggi titik T, dimana alat didirikan, ingin diketahui maka tinggi alat Ta dapat diukur
dengan pita ukur:
HT = HA +BTa -Ta atau HT = HB + BTb +Ta (6.7)
Perlu dicatat bahwa biasanya ketinggian titik (stasiun) alat tidak diperlukan.
Dengan prinsip di atas pengukuran beda tinggi titik-titik detil dapat dilakukan dengan
menemukan posisi alat pada tempat yang strategis untuk membidik semua target detil.

38
Garis horizontal pd bidang-
bidang horizontal yg selevel
F
G Rambu ukur

A4 E

A3
H
A2
D
A1
A C
B
Batas area
pengukuran
Gambar 6.2: Leveling untuk titik detil. Alat ditempatkan pada posisi yang strategis.

Salah satu pertimbangan dalam menempatkan posisi alat adalah jaraknya ke target yang tidak
boleh terlalu dekat ataupun terlalu jauh sehingga bacaan BT, BA dan BB menjadi tidak jelas.
Dalam pengukuran ketinggian titik-titik kerangka vertikal, perlu diperhatikan prosedur
pengukuran sebagai berikut:
1) BA  BB  2 * BT  c , dimana c biasanya 2 mm.
2) Pengukuran 2 stand. Maksudnya adalah pengukuran dilakukan dengan alat berdiri 2
kali sehingga diperoleh 2 set bacaan (stand 1 dan stand 2).
3) Pengukuran pulang pergi. Maksudnya adalah pengukuran dilaksanakan dalam 2 arah,
misalnya pengukuran pergi adalah dari titik A ke A1, A2, A3 s.d ke B. Sedangkan
pengukuran pulang adalah dari titik B ke B1, B2, B3, B4, sampai dengan kembali ke A.

Ketiga hal di atas adalah untuk memperoleh hasil pengukuran leveling dengan kontrol dan
ketelitian yang tinggi.
Contoh pengukuran leveling ditunjukkan oleh Gambar 6.3 dan Tabel 6.1

0,954 1,789

1,000 0,750

2,000 0,500

A1 A2
A
B
20 m Gambar 6.3: Contoh pengukuran leveling

Catat bahwa pengukuran pulang pergi dapat juga diartikan pengukuran loop (tertutup).

39
Tabel 6.1: Contoh data pengukuran dan perhitungan leveling (dalam m)

Slang Belakang Muka Kontrol ΔH HBelakang HMuka


bacaan (m) (m) (m)
I Titik: A Titik A1
BA = 3,150 BA = 0,750
0 1,500 20.000 21.500
BT = 2,000 BT = 0,500
BB = 0,850 BB = 0,250
II Titik : A1 Titik: A2
BA = 1,272 BA = 0,910
0 0,250 21.500 21.750
BT = 1,000 BT = 0,750
BB = 0,728 BB = 0,590
III Titik: A2 Titik:A3
BA = 1,213 BA = 2,038
0 0,835 21.750 20.915
BT = 0,954 BT = 1,789
BB = 0,695 BB = 1,540

Toleransi kesalahan penutup untuk pengukuran kerangka vertikal dengan leveling biasanya
diklasifikasikan dengan ketentuan seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 6.2.
Tabel 6.2: Toleransi pengukuran leveling

Klas Toleransi (mm)


I 3  5 mm k
II 6 - 8 mm k
III 12 mm k
k = jarak pengukuran dalam km

6.2 Pengukuran Ketinggian dengan Barometer

Beda tinggi dapat diukur dengan mengukur tekanan menggunakan barometer.


Rumus dasar yang digunakan adalah menghitung tekanan p adalah:
Patm  ρ  g  h (6.8)
di mana ρ = densiti, g = percepatan gravitasi, dan h = tinggi fluida.
Misalnya sebuah barometer air raksa (mercury) memberikan bacaan di sebuah lokasi
sebesar 760 mm pada suhu 00C, dengan density air raksa = ρ ar  13595
kg , tekanan udara di
m3
lokasi tersebut adalah:
Patm  ρ  g  h
 13595  9.81  0,760
 101.358,8 Pa
Tekanan udara standar berubah dengan rincian sebagai berikut:

Ketinggian di atas muka air laut Patm


(m) (Pa)
0 101,325 =1 atm
1000 89,88
2000 79,50
5000 54,05
10.000 26,50
20.000 5,53
40
Perlu dicatat bahwa tekanan udara sebenarnya adalah berat kolom udara di atas sebuah
lokasi per unit luas. Jadi, besar tekanan udara yang diukur sangat tergantung dari ketinggian lokasi
dan cuaca pada saat pengukuran yang menyebabkan hasil ukuran beda tinggi menjadi relatif kurang
teliti.

Contoh: Bacaan barometer air raksa di titik A adalah 755 mm sedangkan di titik B 750 mm. Densiti
air raksa pada suhu 250C adalah ρ ar  17.560
kg , sedangkan densiti udara pada suhu tersebut
m3
adalah ρ u  1,184
kg . Hitunglah beda tinggi titik A dan B.
m3
ΔP  ρ u  g Δh AB

Penyelesaian:
Pada titik A, tekanan udara adalah
P  ρ ar  g  h A  17560 x 9,81 x 0,755 = 130059,018 Pa
Pada titik B, tekanan udara adalah
P  ρ ar  g  h B  17560 x 9,81 x 0,730 = 125752,428 Pa
Sehingga ΔP  130059,018  125752,428 = 4306,59 Pa
ΔP  ρ u  g  Δh AB
4306,59  1,184 x 9,81 x Δh AB
4306,59
maka beda tinggi Δh AB   370,77 m  371 m
1184x9,81

Tugas: Selesaikan data dan perhitungan levelling di bawah ini:

Back Sight Fore Sight Beda Jarak Koreksi Tinggi


Titik BA BT BB Titik BA BT BB tinggi Vi
BM 0,133 0,102 T1 0,837 0,741 -
0,704
T1 0,022 0,010 T2 0,790 0,611 -
0,768
T2 0,096 0,031 T3 1,172 1,053 -
1,076
T3 0,046 0,011 T4 0,870 0,543 -
0,824
T4 1,195 1,051 T5 0,260 0,143 0,935
T5 1,255 1,081 T6 0,068 0,022 1,187
T6 1,277 1,102 BM 0,021 0,010 1,256
4,024 4,018 0,006

Kontrol : 2BT  BA  BB  2mm

41
Catatan Bab VI:

42
Catatan Bab VI:

43
VII. PERATAAN (ADJUSTMENT)

Perataan dilakukan bila kesalahan blunder dan kesalahan sistematis sudah dapat diatasi, artinya
yang tertinggal hanyalah kesalahan random. Ada dua jenis perataan yang dijelaskan di sini, yaitu 1)
perataan sederhana dan 2) perataan kuadrat terkecil.

7.1 Perataan Sederhana Leveling


Gambar 7.1 adalah sket hasil pengukuran ketinggian dengan leveling yang digunakan
untuk menunjukkan konsep perataan sederhana.

H=
m B 5 ,4
50 2m
= 10, L2 =
m

H 0,7
km km
,00

1,0
L 1=
00
A =1
H

A C

L4 = km
0,5 0,8
km L 3=
H= 7m
-7,2 =-8 ,4
1m h
D

Gambar 7.1: Leveling untuk perataan

Diketahui: Ketinggian titik A, HA=100,00 m;


Diukur: Beda tinggi dari A ke B, Δh AB ; B ke C, Δh BC ; C ke D, Δh CD dan D ke A,
ΔH DA , arah levelling adalah searah dengan jarum jam, dan jarak masing-masing
segmen, L1, L2, L3, L4 seperti pada gambar.
Ditentukan: Koreksi untuk masing-masing ukuran beda tinggi Vi, dan ketinggian Titik B,
C, dan D.

Solusi:
1. Tentukan ksalahan penutup levelling (KPL) yaitu
KPL   Δh  0   Δh
 10,50  5,42  8,47  7,31  0,14m
2. Tentukan koreksi untuk beda tinggi dengan rumus:
 KPL
Vi  1  L i
L
 0,14
Jadi, untuk Δh AB , V1   1  0,05m
3
 0,14
Δh BC , V2   0,7  0,03m
3
 0,14
Δh CD , V3  x0,8  0,04m
3
 0,14
Δh DA , V4  x0,5  0,02m
3
3. Tentukan ketinggian titik B, C, dan D

44
HB  H A  Δh AB  V1  110,45m
HC  H B  Δh BC  V2  115,84m
HD  H C  Δh CD  V3  107,33m
cek H A  H D  Δh DA  V4  100,00m

7.2 Perataan Kuadrat Terkecil

Perataan kuadrat terkecil merupakan metode terbaik yang dapat digunakan untuk
menentukan nilai terbaik (yang paling mungkin) dari suatu pengamatan. Dasar asumsi penggunaan
perataan kuadrat terkecil adalah sebagai berikut:
1. Pengamatan dilakukan berlebih atau terdapat ukuran lebih.
2. blunder dan kesalahan sistematik telah dieliminasi, artinya yang tertinggal hanya kesalahan
random.
3. Distribusi frekuensi dari kesalahan pengamatan adalah normal.
Syarat matematik kuadrat terkecil adalah:
m
2
v i  v12  v 22  v 33  ...  v 2m  minimum (7.1)
i 1
di mana vi= koreksi - kesalahan pengamatan; dan m = jumlah pengamatan
Bila berat pengamatan berbeda, maka syaratnya menjadi
m
2
w v i i  w 1 v12  w 2 v 22  w 3 v 33  ...  w m v 2m  miminum (7.2)
i 1
1
di mana wi = berat pengamatan  dan σ i  deviasi standar pengamatan i.
σ i2
Contoh: Gunakan perataan kuadrat terkecil untuk memperoleh nilai paling mungkin (terbaik) dari
sebuah jarak yang diukur 10 kali:
538,57 m; 538,39 m; 538,37 m; 538,39 m; 538,48 m
538,49 m; 538,33 m; 538,46 m; 538,47 m; 538,55 m.
Solusi:
1. Tuliskan nilai terbaik untuk setiap pengamatan dengan koreksinya, atau tuliskan persamaan
pengamatannya.
l̂1  l1  v1  538,57  v1 l̂ 6  l 6  v 6  538,49  v 6
l̂ 2  l 2  v 2  538,39  v 2 l̂ 7  7  v 7  538,33  v 7
l̂3  l 3  v 3  538,37  v 3 l̂8  l 8  v 8  538,46  v 8
l̂ 4  l 4  v 4  538,39  v 4 l̂9  l 9  v 9  538,47  v 9
l̂5  l 5  v 5  538,48  v 5 l̂10  l10  v10  538,55  v10

2
2. Bentuk persamaan v
10

v 2
i    2
 
 l̂1  538,57  l̂ 2  538,39  l̂ 3  538,37  2 2

i 1

 l̂  538,39  l̂  538,48  l̂  538,49


2 2 2
4 5 6

 l̂  538,33  l̂  538,46  l̂  538,47   l


2 2 2
 538,55
2
7 8 9 10
2
3. Turunkan fungsi v terhadap L dengan catatan bahwa l̂1  l̂ 2  l̂ 3  ...  l̂10  L .
Kemudian buat turunnya tersebut sama dengan nol.
d v 2
 0  2L  538,57   2L  538,39  2L  538,37   2L  538,39
dL

45
 2L  638,48  2L  538,49  2L  538,33  2L  538,46
 2L  538,47   2L  538,55

4. Pecahkan L berdasarkan persamaan sebelumnya.


10L  5384,50m
5384
L  538,45m
10
5. Koreksi atau kesalahan dari masing-masing pengamatan dapat diperoleh berdasarkan
persamaan pengamatan di langkah pertama.

Contoh: Sudut-sudut dalam sebuah segitiga diukur dengan besar pengamatan α  421213 ,
β  59  5615 , γ  257  51 35 . Lakukan perataan kuadrat terkecil terhadap pengamatan tersebut
untuk memperoleh nilai terbaik.
Prosedur perataan dapat dibuat sebagai berikut:
1. Tuliskan persamaan pengamatan
2. Tuliskan persamaan syarat jumlah sudut dari satu segitiga
3. Masukkan persamaan pengamatan ke persamaan syarat, dan pecahkan untuk v3.
4. Bentuk persamaan v 2 dengan 2 variabel v1 dan v2.

2
5. Turunkan v secara parsial terhadap v1 dan v2 dan buat turunan tersebut sama dengan
nol sehingga diperoleh 2 persamaan dengan dua anu.
6. Pecahkan v1 dan v2 berdasarkan persamaan di atas
7. Pecahkan v3.
8. Hitung sudut-sudut terkoreksi (terbaik).
Penyelesaian:
1. α̂  α  v1  42 1213  v1
β̂  β  v 2  59  5615  v 2
γ̂  γ  v 3  257  51 35  v 3
2. α̂  β̂  γ̂  42 1213  v1  59  5615  v 2  257  51 35  v 3  360 
360  0003  v1  v 2  v 3  360 
v1  v 2  v 3  03
3. v 3   v1  v 2  03
4.  v  v  v   3  v  v 
2 2
1
2
2 1 2
2

2
 v i
5.  2v  2 3  v  v   0
1 1 2 4v1  2v 2  6
v1
  v i2
 2v 2  2 3  v1  v 2   0 2v1  4v 2  6
v 2
4v1  2v 2  6 x2
6.
2v1  4v 2  6 x1
8v1  4v 2  12
2v1  4v 2  6
6v1  6
v1  1
v 2  1
7. v 3  1  1  3  1
46
8. α̂  42 1213  1  42 1212
β̂  59  5615  1  59  5614

Contoh: Lakukan perataan kuadrat terkecil untuk pengukuran jarak di bawah ini (Gambar 7.2).

w1  3 w2  2
190,40 m 203,16 m

A B C
393,65 m
w3 1
Gambar 7.2: Sket contoh soal pengukuran jarak
1. Misalkan x= 190,40 m dan y = 203,16 m serta z = 393,65 m.
2. Tuliskan persamaan pengamatannya.
x̂  ŷ  z  v1  393,65  v1
x̂  x  v 2  190,40  v 2
ŷ  y  v 3  203,16  v 3
2
3. Bentuk persamaan v berdasarkan nilai koreksinya.
 x̂  ŷ  393,65  x̂  190,40  ŷ  203,16
2 2 2 2
v
2
4. Turunkan v secara parsial terhadap x̂ dan ŷ dan buat turunan tersebut sama dengan
nol sehingga dihasilkan dua persamaan untuk dua anu.
 v 2
 2x̂  ŷ  393,65  2x̂  190,40  0
x̂
 v 2
 2x̂  ŷ  393,65  2ŷ  203,16   0
ŷ
5. Pecahkan dua persamaan di atas untuk memperoleh:
x̂  190,43 m dan ŷ  203,19 m .
6. Hitung korelasi masing-masing pengamatan.
v1  393,65  x̂  ŷ   0,03 m
v 2  190,40  x̂  0,03 m
v 3  ŷ  203,16  0,03 m
Tugas: Hitung kembali contoh diatas dengan w 1  3 , w 2  2 , w 3  1

7.3 Metode Matriks dalam Perataan Kuadrat Terkecil

Setiap persamaan pengamatan yang dibentuk dapat direpresentasikan dalam matriks


menjadi:
n 1 1 1
m A n X  m f  mV (7.3)
di mana A = matriks koefisien, X = vektor anu, f = vektor pengamtan dan V= vektor koreksi.
Vektor anu sebagai besaran yang akan ditentukan yang merupakan nilai yang paling mungkin dapat
diselesaikan dengan:
AX  f (7.4)
A T AX  A T f
 1
A T A AX  A T A  1
ATf
X  ATA  1
ATf (7.5)
47
Untuk pengamatan dengan berat yang berbeda yang direpresentasikan oleh matriks W, vektor anu
menjadi;

X  A T WA 
1
A T Wf (7.6)
di mana W adalah matriks diagonal berbentuk:
w 1 
 0 
 
 w2 
 
W  
 0  
 
  
 w n 

dan w1=w2= … wn=1 bila beratnya sama atau W=I.


Selanjutnya vektor koreksi V dapat diperoleh dengan
V  AX  f (7.7)
standard deviasi dari berat per unitnya adalah
V T WV
σ0  (7.8)
r
Standar deviasi dari besaran yang paling mungkin (anu yang ditentukan) adalah;
σ xi  σ 0 q xixi (7.9)
di mana q x i x i adalah elemen diagonal matriks kovarian Qxx.
 q X1X1 q X1X 2 0 q X1X n 
 q X 2X 2 
 
  
 

Q xx  A T WA 1
  q X 2 X1 0  
  
 
  
q q X m X n 
 X m X1

Persamaan pengamatan untuk pengamatan jarak pada soal sebelumnya adalah


 
x  y  393,65  v1

x  190,40  v 2

y  203,16  v 3
AX  f  V
1 1  193,65   v1 
1 0  x   190,40    v 
   y     2
0 1   203,16  v 3 

X  A T WA A T Wf 
1

Untuk bobot pengukuran sama W  Ι , vektor anunya adalah


1  2  1 584,05 190,43 
X  
3  1 2  596,81 203,19

48
Contoh: Tentukan ketinggian titik A dan B, bila data-data pengamatan seperti pada Gambar 7.3.

BM4
BM2
(805,40) 2
(801,930)
(2km) 5
m)
( 1k
3 B
A
(0,5 km
4
BM1 1 (1 km)
(785,232) )
km BM3
(2
(794,881)
Gamabar 7.3: Sket contoh soal pengukuran ketinggian

Δh 1  10,997 m , Δh 2  9,169 m , Δh 3  3,532 m , Δh 4  4,858 m , Δh 5  2,202 m

Solusi:
1. Tuliskan persamaan pengamatan yang melibatkan pengmatan dan koreksinya sebagai
berikut:
HA  BM1  Δh 1  v1  785,232  10,997  v1
HA  BM 2  Δh 2  v 2  805,410  9,169  v 2
HB  H A  Δh 3  v 3  H A  3,532  v 3
HB  BM 3  Δh 4  v 4  794,881  4,858  v 4
HB  BM 4  Δh 5  v 5  801,930  (2,202)  v 5

2. Susun persamaan di atas sehingga variabel anu disebelah kiri dan nilai pengamatan serta
koreksinya disebelah kanan.

H A  796,229  v1
H A  796,241  v 2
 H A  H B  3,532  v 3
H B  799,739  v 4
H B  799,728  v 5
3. Susun matriks A, X, f dan V
1 0 796,229  v1 
1 0  796,241  v 
 A     2
 1 1     3,532    v 3 
  B    
0 1 799,739  v 4 
 0 1 799,728  v 5 
A X f V

4. Susun matriks W:

49
1/2 0 0 0
0
 1  0,5 0 
0 2
0 0 0 
0,5 
   
1
W0 0 0 0 2 
 0,5   0 1 

0 0 0 1/1 0  
   1
0 0 0 0 1/1 

5. Hitung variabel anu yang hendak ditentukan dengan persamaan X  A T WA  


1
A T Wf
 3  2
A T WA   
 2 4 
1 4 2 q AA q AB 
 1
A T WA    
8  z 3 q BA q BB 
 789,171 
A T

Wf   
1606,531
796,218

X  A T WA  A
1
Wf   T

799,742
H A  796,218 m H B  799,742 m

6. Hitung koreksi masing-masing pengamatan:

1 0 796,229   0,011
1 0  796,241   0,023
 796,218    
V  AX  f   1 1     3,532     0,008 
  799,742    
0 1 799,739  0,003 
 0 1 799,728  0,014 

7. Hitung deviasi standard dari berat per unit  0


v T WV T
σ0  , V WV  0,00066
T
0,00066
σ0   0,015 m
52

8. Hitung deviasi standar A dan B


4
σ A  σ 0 q AA  0,015  0,011 m
8
σ B  σ 0 q AA  0,015 3/8  0,009 m

50
51
52
VIII. LUAS DAN VOLUME

8.1 Luas
Secara umum penentuan luas dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian. Pertama adalah
penentuan luas dengan pengukuran di lapangan, sedangkan kedua adalah melalui peta.
Skema dibawah ini menggambarkan metode yang umum digunakan untuk menentukan
luas.

Penentuan Luas

Pengukuran Melalui peta


lapangan

Menjadi Menjumlah banyak Mengukur


Dengan Mendigitasi Menggunakan
bentuk kotak bujur pnjg sisi
koordinat koordinat planimeter
sederhana sangkar dgn skala

Menjadi bentuk
trapesium

Gambar 8.1: Metode penetuan luas

A. Metode Bentuk Sederhana

hs
F G

E
D

Gamabar 8.2: Membentuk lahan menjadi banyak segitiga


Cara paling mudah di lapangan adalah membentuk segitiga seperti Gambar 8.2.
Persamaan yang dipakai adalah
Luas Δ  ss  a s  b s  c  (8.1)
1 1
di mana s  keliling  a  b  c  dan a, b dan c adalah sisi-sisi sebuah segitiga.
2 2
Luas  dapat juga dihitung dengan

53
1
L  a b sin γ (8.2)
2
di mana γ  sudut yang diapit oleh sisi a dan b .

B. Metode Trapesium
Metode ini biasanya digunakan untuk batas tanah (daerah) yang tidak beraturan, seperti
berikut. (Gambar 8.3)

h0 h1 h2 h3 h4 h5 h6 h7 h8 h9

h1 h2 h3 h4 h5 h6 h7 h8 h9
h0 b

Gambar 8.3: Membentuk lahan menjadi banyak trapesium


Perhitungan luas dapat dihitung dengan formula:
h h 
Luas  b 0  h 1  h 2  ...  n 
 2 2 
Untuk gambar tersebut di atas adalah:
h h 
Luas  b 0  h 1  h 2  ...  9 
 2 2 
Bila lebar interval trapesium tidak sama maka formulanya menjadi :
1
Luas  a h 0  h 1   bh 1  h 2   ch 2  h 3   ...
2
di mana a, b, c... adalah lebar interval trapesium yang sesuai dan berurutan untuk
h 0  h 1 , h 1  h 2 , h 2  h 3 ,.... .

Contoh: Tentukan luas lahan pada Gambar 8.4.

12,4 m
14,4 m
11,8 m
11,9 m 6,0 m 6,1 m
7,2 m
garis acuan
0 0,6 0 km 1,40 km 2,4 km 2,70 km 3,7 5 km 4,3 5

Gambar 8.4: Contoh data lahan trapesium

1
Luas  0,67,2  11,9  0,811,9  14,4  114,4  6,0  0,36,0  6,1
2
 1,056,1  11,8  0,611,8  12,41000
Luas  50011,46  21,04  20,4  3,63  18,795  14,52  44922,5m 2  0,045km 2

54
C. Metode Koordinat
Biasanya koordinat titik-titk batas daerah yang akan ditentukan luasnya diukur dengan cara
poligon (traverse). Setelah titik-titik tersebut ditentukan koordinatnya, barulah luasnya dapat
dihitung dengan rumus;
1
Luas 
2
 x y   y x   x
i j i j n 
y1  x 1 y n  (8.3)

di mana x i y i  adalah titik-titik poligon dari titik ke-1 sampai dengan ke-n secara berurutan
melawan arah jarum jam.

Contoh: Tentukan luas lahan pada Gambar 8.5.

E
Y

Gambar 8.5: Contoh perhitungan luas lahan dengan Koordinat


1
Luas  x A y B  x B y C  x C y D  x D y E  x E y A  x B y A  x C y B  x D y C  x E y D  x A y A 
2
Bila menggunakan aplikasi excel maka perhitungannya dapat dengan mudah disusun dengan cara:

x A yA

x B yB

x c
Tanda panah menunjukkan perkalian
yC
x D
yD
x E
yE
x A yA

2 x Luas = jumlah – jumlah


Rumus luas di atas dapat juga diformulasikan sebagai:
1
Luas  x A y E  y B   x B y A  y C   x C y B  y D   x D y C  y E   x E y D  y A 
2
Contoh:
Hitung koordinat dari traverse tersebut dengan koordinat pada tabel di bawah ini:

Titik x (m) y (m)


A 1000,00 1591,78
B 1517,44 1202,94
C 1523,41 1000,00
D 1716,29 1694,02
E 1125,72 1847,71

55
1
Luas  1000644,77  1517,44591,78  1523,41 491,08
2
 1716,29  847,71  1125,72 102,24 
Luas  0,27 km  272589,06 m 2
2

D. Luas Persil Tanah Melingkar

D
Y
E

C
F 
G

X
Gambar 8.6: Luas lahan melingkar
Bila di salah satu batas daerah terdapat persil yang melingkar, maka persil tanah melingkar
tersebut dihitung dengan (Gambar 8.6).
θ 2
Luas persil EFG  π r x
360 
(8.4)
luas sisi EF dengan busurnya adalah
1 2
Luas persil EF  r θ  sinθ  di mana θ dalam unit radian. (8.5)
2

E. Pemecahan Lahan

E
Y
F

A
G
B

Gambar 8.7: Pemecahan lahan

Misal lahan dengan koordinat sebelumnya ingin dipecah menjadi 2 bagian. Bagian 1
adalah AEFG yang berbentuk trapesium dan luasnya adalah 100.000 m2, sedangkan bagian kedua
adalah sisanya. Koordinat F dan G ditentukan dan di-stakeout-kan di lapangan.

56
E.1 Metode trial dan error
Langkah perhitungan:
1. Estimasi panjang EF dengan memperhitungkan luas persegi panjang.
2. Hitung koordinat titik F berdasarkan estimasi di atas.
x F  x E  d EF sin α ED
y F  y E  d EF cos α ED
3. Hitung koordinat titik G dengan cara perpotongan ke muka berdasarkan ketentuan sisi AE
dan FG yang harus sejajar.
4. Hitung luas AEFG dengan metode koordinat.
5. Ulangi langkah 1 sampai 4 sampai diperoleh hasil yang memuaskan.

E.2 Metode Persamaan


Terdapat 4 persamaan yang dapat dibangun dengan 4 anu berdasarkan data dan gambar di
atas. Tiga persamaan adalah persamaan azimuth dan satu persamaan adalah persamaan luas, yaitu:
xF  xE x x
 D E atau α EF  α ED
yF  yE yD  yE
xG  xA xB  xA
 atau α AG  α AB
yG  yA yB  yA
xA  xE xG  xE
 atau α EA  α FG
yA  yE yG  yF
x A y G  y E   x E y A  y F   x F y E  y G   x G y F  y A   2 x100000 m 2
Empat persamaan dengan 4 anu x F , y F dan x G , y G  dapat dipecahkan misalnya menggunakan
program equation solver.

8.2 Volume

Secara garis besar ada 3 (tiga) metode penentuan volume, yaitu:1) metode tampang, 2)
metode unit area, dan 3) metode kontur.
A. Metode Tampang.
Gambar 8.8 menunjukkan 2 tampang, di stasiun 1 dengan luas A1 dan stasiun 2 dengan
luas A 2 . Kedua tampang berjarak datar L . Volume diantara kedua tampang tersebut dapat
dihitung dengan rumus:
A1  A 2
Volume 
2
x L m3  (8.6)

A2

A1

Gambar 8.8: Skema dengan dua tampang diujungnya

Penentuan volume dengan Persamaan (8.6) biasanya memberikan nilai yang lebih besar dari yang
sesungguhnya. Untuk akur.asi yang lebih baik, formula volume prisma dapat digunakan, yaitu

57
A1  4A m  A 2
Volume 
6
x L m3   (8.7)

di mana A m adalah luas tampang ditengah stasiun 1 dan 2.

B. Metode Unit Area.


Metode unit area dibuat dengan merancang titik-titik grid yang idealnya membentuk luas
yang sama (Gambar 8.9). Setiap titik grid diukur ketinggiannya untuk selanjutnya beda tinggi
terhadap tinggi acuan (timbunan atau galian) dapat dihitung.
Volume untuk tiap unit area pada prinsipnya dihitung berdasarkan tinggi rata-rata dari
keempat titik gridnya dikalikan dengan luas unit area. Rumus perhitungan total volumenya
dapat diekspresikan sebagai berikut:

V   h ij n  x A/4 (8.8)

di mana h ij  beda tinggi terhadap tinggi acuan di setiap grid (baris i dan kolom j) dan
n  jumlah kotak di mana titik grid tersebut berada,   luas unit area. Sebagai contoh di
Gambar (8.9) titik; titik (A,4), n =1; titik (D,1), n =2; titik (D,2), n = 3; titik (C,1), n = 4. Tabel
8.1 menunjukkan contoh perhitungan volume galian.
A 10 m B C D E
0
10 m

Gambar 8.9: Skema unit area

Tabel 8.1: Contoh perhitungan berdasarkan Gambar (8.9) dengan beda tinggi acuan 358,0 m
Titik Tinggi Potong hxn
A,0 359,5 1,5 1,5
B,0 359,3 1,3 2,6
C,0 359,0 1,0 2,0
D,0 358,8 0,8 1,6
E,0 358,5 0,5 0,5
A,1 360,0 2,0 4,0
B,1 359,9 1,9 7,6
C,1 359,5 1,5 6,0
D,1 359,2 1,2 3,6
E,1 358,9 0,9 0,9
A,2 360,5 2,5 5,0
B,2 360,0 2,0 8,0
C,2 359,9 1,9 7,6
D,2 359,7 1,7 3,4
A,3 360,9 2,9 5,8
58
Titik Tinggi Potong hxn
B,3 360,7 2,7 10,8
C,3 360,1 2,1 6,3
D,3 360,1 2,1 2,1
A,4 361,3 3,3 3,3
B,4 361,0 3,0 6,0
C,4 360,5 2,5 2,5
luas unit area x  h n
Volume galian 
4

10x10 m 2 x91,1 m
4
 2277,5 m 3
C. Metode Kontur
Bila penentuan volume dilaksanakaan di atas peta topografi, maka metode kontur
merupakan pilihan yang tersedia yang umumnya digunakan untuk areal yang luas. Contoh
penggunaannya adalah penentuan volume terendam akibat adanya bendungan.
Rumus yang dipakai dalam metode ini sebenarnya sama dengan Persamaan (8.6). Luas
tampang  1 dan  2 adalah luas daerah yang dilingkupi oleh garis kontur h 1 dan garis kontur
h 2 . Sedang jarak antar tampang A1 dan A 2 dalam hal ini adalah interval kontur Δh .
Sebagai contoh lihat Gambar (8.10) dimana air akan naik sampai dengan ketinggian 940 m. Tabel 2
menunjukkan cara perhitungan volumenya.

Tabel 8.2: Perhitungan volume air terendam


Kontur Luas (m2) Volume (m3)
910 9659 197740
920 29889 472435
930 64598 874220
940 110246   1544395

Rencana
bendungan

910

920
930
940

950

Gambar 8.10: Skema rencana bendung untuk menghitung volume terendam


(di daerah yang diarsir)
59
60
61

Anda mungkin juga menyukai