Anda di halaman 1dari 18

BAB II

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA


2.1 PENGERTIAN IDEOLOGI
Secara etimologi, ideologi berasal dari kata “idea” yang berarti gagasan,
konsep, buah pikiran, dan “logos” artinya ilmu. Kata idea berasal dari kata Yunani,
eidos yang artinya bentuk. Selain itu, ada kata idean yang artinya melihat, maka
secara harfiah, ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang ide-ide (science of ideas)
atau ajaran tentang pengertian-pengertian dasar. Sedangkan dalam pengertian
sehari-hari, kata “idea” biasanya disamakan artinya dengan “cita-cita”. Cita-cita
yang dimaksud adalah cita-cita yang bersifat tetap dan harus dicapai, sehingga cita-
cita yang bersifat tetap itu sekaligus menjadi dasar, pandangan, atau paham. Jadi,
kata ideologi berarti ilmu yang membicarakan tentang suatu gagasan atau
pemikiran untuk dijadikan pedoman, dasar, Iandasan, prinsip, dan cita-cita dalam
hidup. 1
Apabila ditelusuri secara historis istilah ideologi pertama kali dipakai dan
dikemukakan oleh seorang Perancis, Destutt de Tracy, pada tahun 1796. Seperti
halnya Leibniz de Tracy mempunyai cita-cita untuk membangun suatu sistem
pengetahuan. Apabila Leibniz menyebutkan impiannya sebagai “one great sistem
of truth”, dimana tergabung segala cabang ilmu dan segala kebenaran ilmiah, maka
de Tracy menyebutkan ‘Ideologie’,yaitu ‘science of ideas’ , suatu program yang
diharapkan dapat membawa perubahan institusional dalam masyarakat Perancis.
Namun Napoleon mencemoohnya sebagai suatu khayalan belaka, yang tidak
mempunyai arti praktis. Hal semacam itu hanya impian belaka yang tidak akan
menemukan kenyataan.2
Pengertian “ideologi” secara umum dapat dikatakan sebagai kumpulan
gagasan-gagasan, ide-ide, keyakinan-keyakinan, kepercayaan-kepercayaan, yang
menyeluruh dan sistematis, yang menyangkut :3

1
Ana Sri Rahayu, Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan (PPKn), Jakarta : Bumi Aksara,
2017, Halaman 25
2
MBM. Munir, dkk. Pendidikan Pancasila, Malang : Madani Media, 2016, Halaman 52-53.
3
Ibid, halaman 53

1
1. Bidang politik (termasuk di dalamnya bidang pertahanan dan keamanan)
2. Bidang sosial
3. Bidang kebudayaan
4. Bidang keagamaan.

Maka ideologi Negara dalam arti cita-cita Negara atau cita-cita yang menjadi basis
bagi suatu teori atau sistem kenegaraan untuk seluruh rakyat dan bangsa yang
bersangkutan, pada hakikatnya merupakan asas kerohanian yang antara lain
memiliki ciri berupa derajat yang tertinggi sebagai nilai hidup kebangsaan dan
kenegaraan. Oleh karena itu mewujudkan suatu asas kerohanian pandangan dunia,
pandangan hidup, pedoman hidup, pegangan hidup yang dipelihara, dikembangkan,
diamalkan, dilestarikan kepada generasi berikutnya, di perjuangkan dan
dipertahankan dengan kesediaan berkorban. Ideologi yang pada mulanya adalah
gagasan dan cita-cita berkembang secara luas menjadi suatu paham mengenai
seperangkat nilai atau pemikiran yang dipegang oleh seorang atau sekelompok
orang untuk menjadi pegangan hidup. Berikut ini beberapa pendapat para ahli
mengenai ideologi.4
1. Patrick Corbett dalam Abdul Kadir Besar (1994) menyatakan ideologi sebagai
setiap struktur kejiwaan yang tersusun oleh seperangkat keyakinan mengenai
penyelenggaraan hidup bermasyarakat beserta pengorganisasiannya,
seperangkat keyakinan mengenai sifat hakikat manusia dan alam semesta yang
ia hidup di alamnya, suatu pernyataan pendirian bahwa kedua perangkat
keyakinan tersebut independen, dan suatu dambaan agar ketyakinan-keyakinan
tersebut dihayati dan pernyataan pendirian itu diakui sebagai kebenaran oleh
segenap orang yang menjadi anggota peuh dari anggota sosial yang
bersangkutan.
2. AS Hornby dalam Faisal Ismail (1999) menyatakan bahwa ideologi adalah
seperangkatgagasan yang membenuk landasan teori ekonomi dan politik atau
ang dipegangi seseorang atau seseorang.

4
Winarto, Paradigma Baru Pendidikan Pancasila, Jakarta: Other, 2016, Halaman 88

2
3. Syarial Syarbani (2003) mengemukakan idologi dalam 3 pengertian: (a)
Ideologi diartikan sebagai weltanschauung yakni pengetahuan yang
mengandung pemikiran besar,cita cita besar mengenai sejarah, manusia,
masyarakat, dan Negara (science of ideas), (b) ideologi diartikan pemikiran
yamg tidak mementingkan kebenaran internal dan kenyataan empiris,
ditujukan dan tumbuh berdasarkan perimbangan kepentingan tertentu. Dan
karena itu cenderung bersifat tertutup. (c) ideologi diartikan sebagai suatu
belief sistem sebagai pemikiran yang bersifat tertutup, berbeda dengan
knowledge sistem (bersifatreflektif, sistematis dan kritis)
4. Frans Magnis Suseno (2011) menyatakan ideologi sebagai suatu sistem
pemikiran, dapat dibedakan menjadi ideologi tertutup dan terbuka.
Lebih lanjut dikatakan ada 2 (dua) jenis ideologi, yakni ideologi tertutup
dan ideologi terbuka. Ideologi tertutup adalah ajaran pandangan dunia, atau filsafat
yang menentukan tujuan-tujuan dan norma-norma politik dan sosial, sebagai
kebenaran. Kebenaran suatu ideologi tertutup tidak boleh dipertanyakan
berdasarkan nilai atau prinsip moral yang lain. Isinya dogmatis dan apriori sehingga
tidak dapat dirubah atau dimodifikasi berdasarkan pengalaman sosial. Ideologi ini
tidak mentolelir pandangan dunia atau nilai-nilai lain. Ideologi tertutup tidak hanya
menentukan kebenaran nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar saja, tetapi juga
menentkan hal-hal yang bersifat konkretdan rasional. Ideologi terutup tidak
mengakui hak masing-masing orang untuk memiliki keakinan dan
pertimbangannya sendiri. Ideologi tertutup menuntut ketaatan tanpa reserve.5
Ideologi seabagai suatu sistem pemikiran (sistem of thought), maka ideologi
terbuka merupakan suatu sistem pemikiran terbuka. Sedangkan ideologi tertutup
dapat dikenali dengan beberapa ciri khas. Ideologi itu bukan cita-cita yang sudah
hidup dalam masyarakat, melainkan merupakan cita-cita satu kelompok orang yang
mendasari suatu program untuk mengubah dan membaharui massyarakat. Dengan
demikian, ciri ideologi tertutup adalah bahwa atas nama ideologi dibenarkan
pengobanan-pngorbanan yang dibebankan kepada masyarakat. Demi ideologi,

5
Winarto, Paradigma Baru Pendidikan Pancasila, Jakarta: Other, 2016, Halaman 92

3
masyarakat harus berkorban dan bersedia untuk menilai kepercayaan ideologis para
warga masyarakat serta kesetiannya masing-maasing sebagai warga masyarakat.6
Ciri-ciri lain mengenai ideologi tertutup adalah bahwa isinya bukan hanya
berupa nilai-nilai dan cita-cita tertentu melainkan intinya terdiri dari tuntutan-
tuntutan konkrit dan operasional yang keras, yang diajukan dengan mutlak. Jadi ciri
khas ideologi tertutup adalah bahwa betapapun besaarnya perbedaan antara tuntutan
berbagai ideologi yang memungkinkan hidup dalam masyarakat itu, akan selalu ada
tuntutan mutlak bahwa orang harus taat kepada ideologi tersebut. Hal itu juga
berarti orang harus taat kepada elit yang mengembannya, taat terhadap tuntutan
ideologis dan tuntutan ketaatan itu mutlak dari nurasinya, tanggung jawabnya atas
hak-hak asasinya. Kekuasaannya selalu condong ke arah total, jadi bersifat totaliter
dan akan menyangkut segala segi kehidupan.7
Sebaliknya, ideologi terbukan hanya berisi, orienatsi, gagasan, prinsip, atau
nilai dasar saja, sedangkan penjabarannyakedalam tujuan-tujuan dan norma sosial
politik selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan dengan nilai dan prinsip moral
yang berkembang di masyarakat. Operasionalisasi cita-cita yang ingin dicapai tidak
dapat ditentukan secara apriori, melainkan harus disepakati secara demokratis.
Ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totalite, dan tidak dapat dipakai
melegitimasi kekuasaan sekelompok ideologi terbuka hanya terdapat dalam sistem
yang demokratis.8
Sebagaimana dikemukakan diatas, dalam ideologi terkadung nilai-nilai.
Nilai-nilai itu dianggap sebagai nilai yang baik, luhur, dan dianggap
menguntungkan masyarakat sehingga diterima nilai tersebut. Oleh karena itu,
ideologi digambarkan sebagai seperangkat gagasan tentang kebaikan beersama.
Seperangkat nilai ang dianggap benar, baik , adail, dan menguntung itu, dijadikan
nilai bersama. Apabila sekelompok masyarakat bangsa menjadikan nilai dalam
ideologi sebagai nilai bersama maka ideologi tersebut menjadi ideologi bangsa atau
ideologi nasional bangsa yang besangkuatan.9

6
MBM. Munir. Pendidikan Pancasila. Malang : Madani Media, 2016, halaman . 54.
7
Ibid, hal 54-55.
8
Winarto, Paradigma Baru Pendidikan Pancasila, Jakarta: Other, 2016, Halaman 92
9
Ibid, hal 93

4
2.2 MAKNA IDEOLOGI BAGI NEGARA
Manusia dalam hidup berbangsa dan bernegara selalu membutuhkan adanya
cita-cita bersama. Cita-cita tersebut perlu dirumuskan dengan cara mencurahkan
segala pikiiran dan gagasan dari segenap penduduk bangsa. Hasil gagasan, ide, dan
pikiran dari segenap bangsa tersebut kemudian disepakati dan dijadikan sebagai
landasan, tujuan, pandangan hidup, dan semangat bersama untuk dijunjung tinggi
dan diamalkan oleh suatu bangsa dalam kehidupan. Hal inilah yang kemudian
disebut dengan ideologi. Setiap bangsa yang ingin berdiri kokoh dan mengetahui
dengan jelas ke arah mana bangsa itu dibawa, jelas sangat membutuhkan pandangan
hidup atau ideologi. Pandangan hidup suatu bangsa pada hakikatnya adalah
kristalisasi dari nilai nilai yang dimiliki oleh suatu bangsa dan diyakini
kebenarannya sehingga menimbulkan tekad untuk mewujudkannya. Ini berarti
ideologi itu digali dari budaya dan nilai-nilai kehidupan mereka sendiri yang diakni
kebenarannya serta terbukti ampuh untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan
mereka. 10
Ideologi dianggap penting bagi suatu bangsa karena memiliki beberapa
fungsi. Menurut Kodhi. S.A. dan Soejadi, R. (1994), ideologi dapat memberikan: 11
1. Struktur kognitif, keseluruhan pengetahuan yang dapat dijadikan Iandasan
untuk memahami dan menafsirkan dunia dan kej adian-kejadian dalam alam
sekitarnya.
2. Orientasi dasar negara membuka wawasan yang memberikan makna serta
menunjukkan tujuan dalam kehidupan manusia.
3. Norma-norma yang menjadi pedoman dan pegangan bagi seseorang untuk
melangkah dan bertindak.
4. Bekal dan jalan bagi seseorang untuk menemukan identitas dirinya.
5. Kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang untuk
menjalankan kegiatan dan mencapai tujuan.

10
Ana Sri Rahayu, Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan (PPKn), Jakarta : Bumi Aksara,
2017, Halaman 25-26
11
Ibid, 26-27

5
6. Pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami, menghayati
tingkah lakunya sesuai dengan orientasi dan norma-norma yang terkandung di
dalamnya.

Ideologi akan menjadi realistis dan fieksibel, manakala terjadi orientasi


yang bersifat dinamis antara masyarakat bangsa dengan ideologinya tersebut. Oleh
karena itu, suatu ideologi akan selalu reformatif dan terbuka, apabila selalu
mengantisipasi perubahan sesuai dengan aspirasi bangsanya. Biarpun demikian,
jika suatu ideologi diletakkan pada posisi sebagai alat legitimasi kekuasaan belaka,
maka dapat dipastikan ideologi itu akan tertutup, kaku, beku, dogmatis dan
menguasai kehidupan bangsanya. Oleh karena itu, ideologi sangat penting dan
diperlukan dalam kehidupan suatu bangsa. Dalam hal ini, ideologi harus bersifat
dinamis, terbuka, aspiratif, dan senantiasa menunjukkan kemampuannya untuk
mengadaptasikan diri dengan perkembangan zaman. 12
Hampir semua negara di dunia ini pasti memiliki ideologi dan bisa
dibayangkan seandainya sebuah bangsa tidak memiliki ideologi, tidak jelas ke mana
negara dan bangsa tersebut akan diarahkan. Beberapa ideologi yang berkembang di
beberapa negara di dunia dapat dijelaskan sebagai berikut.13
1. Liberalisme
Ideologi liberalisme ini berpandangan bahwa nilai yang tertinggi
terletak pada individu yang otonom. Akal manusia mempunyai peranan yang
cukup tinggi, kebebasan individu tidak boleh dihalang-halangi. Hasil yang
terbaik dari manusia adalah bagaimana dapat menghilangkan hambatan
hambatan bagi kebebasan individu dan membiarkan kebebasan individu
tersebut mengejar kepentingannya sendiri tanpa mendapat halangan apapun.
Meskipun demikian, menurut ideologi ini, kekuasaan masih juga diperlukan
karena manusia tidaklah sempurna. Kekuasaan itu harus terletak di tangan
negara dan negara harus melindungi kebebasan individu seh'mgga tidak
terhambat oleh kekerasan atau tindakan-tindakan jahat. Liberalisme ini
berimplikasi pada adanya suatu keyakinan yang besar terhadap prestasi-

12
Ana Sri Rahayu, Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan (PPKn), Jakarta : Bumi Aksara,
2017, Halaman 27
13
Ibid, hal 27

6
prestasi manusia dan karena itu dapat dimaklumi mengapa ideologi ini justru
dilindungi oleh golongan menengah yang telah banyak prestasinya, terutama
di bidang ekonomi. Golongan ini juga tidak mempunyai keberatan mendasar
terhadap tata aturan masyarakat seperti yang telah berkembang sesudah zaman
pertengahan.
2. Radikalisme
Setelah memahami jika ideologi liberalisme menempatkan individu
manusia sebagai makhluk bebas dan terhormat, sebaliknya ideologi
radikalisme berpandangan bahwa manusia memiliki persamaan hak dan
derajat. Manusia harus ditempatkan pada posisi sederajat, tidak boleh ada
ketimpangan dan ketidakadilan dalam kehidupan ini, terutama dalam suatu
bangsa dan negara. Radikalisme berkembang terutama dalam konfrontasi
dengan liberalisme, tetapi radikalisme sendiri mempunyai akar yang tua. Pada
zaman pertengahan terdapat tata masyarakat yang ditandai oleh tidak adanya
kesamaan. Akan tetapi, gerakan-gerakan ini bersifat keagamaan yang
kebanyakan memperoleh sejumlah kecil pengikut di antara orang-orang miskin
dan tokoh-tokoh marginal di dalam masyarakat menjelang akhir zaman
pertengahan. Gerakan ini menaruh harapan yang kuat terhadap kerajaan Tuhan
yang akan datang di bumi yang ditandai dengan kedamaian serta keadilan.
Radikalisme mengkritik tajam tatanan masyarakat di mana terdapat begitu
banyak ketidakadilan dan kemiskinan. Menurut radikalisme, orang-orang kaya
mempunyai kesalahan yang cukup besar. Oleh karena itu, tidak mengherankan
jika kelompok ini sangat memusuhi para bangsawan.
3. Konservatisme
Ideologi ini berpandangan bahwa masa Ialu adalah suatu peristiwa yang
masih harus diperjuangkan dan dipertahankan. Kalau radikalisme dengan
penuh harapan memandang masa depan yang indah maka konservatisme
melihat dengan rasa nostalgia ke masa Ialu. Paham ini baru timbul sesudah
kedua ideologi di atas. Menurut kaum konservatif, revolusi menuju ke arah
modernitas merupakan suatu klimaks perkembangan yang menyedihkan yang
telah berlangsung sejak menjelang akhir zaman pertengahan. Tuntutan adanya
kebebasan dan pertumbuhan individualisme dianggap merusak reformasi,

7
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknik di era modern, dan kepercayaan
kepada diri sendiri yang tak terbatas hanya merupakan pernyataan angkuh yang
tidak pada tempatnya. Kaum konservatif sama sekali tidak suka kepada
masyarakat industri modem. Sedangkan masyarakat zaman pertengahan
merupakan masyarakat ideal mereka. Mereka membela segala-galanya yang
ditolak oleh kaum revolusi dan oleh para filsuf pencerahan.
4. Kapitalisme
Ideologi kapitalisme memandang bahwa suatu sistem mengatur proses
produksi barang dan jasa. Ideologi kapitalisme memiliki tiga ciri pokok, yakni:
(a) sebagian besar kekayaan yang dimiliki oleh individu; (b) barang dan jasa
diperdagangkan di pasar bebas yang penuh persaingan; (c) modal atau
kekayaan lain diinvestasikan ke dalam berbagai usaha untuk menghasilkan laba
atau keuntungan. Kapitalisme tidak muncul begitu saja dalam sejarah dunia,
melainkan berkembang selama beberapa abad.
5. Sosialisme
Ideologi sosialisme berpandangan bahwa alat-alat produksi (tanah,
tenaga kerja, modal) harus dimiliki secara bersama. Kelahiran sosialisme ini
erat kaitannya dengan perkembangan industry di Eropa pada abad ke-18. Pada
zaman itu, para pemilik modal berkembang di mana-mana, demikian juga
dengan industri. Perkembangan industri tidak diimbangi dengan upah
kesejahteraan para pekerja/buruh industri. Kaum buruh ditindas dan diperas
tenaganya, sementara upah dan kesejahteraannya tidak terpikirkan oleh kaum
pemilik modal dan pemilik industri tersebut. Pada peristiwa ini, negara malah
mendukung apa yang dilakukan kaum pekerja/buruh sebagai rakyatnya.
Seluruh modal dan kekayaan hanya berputar pada kaum berduit yang dikuasai
oleh sedikit orang. Dari sinilah muncul gerakan revolusi menentang
kepemilikan modal tersebut yang antara lain dipelopori oleh Etienne Cabet,
Robert Owen, Albert Brisbane, dan Karl Marx. Mereka menentang
kepemilikan pribadi secara mutlak dan meminta kepemilikan pribadi dipakai
Untuk kepentingan umum. Karl Marx menyatakan bahwa suatu saat kaum
buruh/pekerja akan menyadari nasibnya yang menyedihkan itu dan mereka
akan berbalik menyingkirkan kaum pemilik modal (kapitalis) melalui sebuah

8
gerakan revolusi. Berangkat dari revolusi tersebut terciptalah sosialisme,
dengan jargon “hak milik pribadi dan negara” dihapus, sarana-sarana produksi
Dan distribusi dimiliki secara bersama sama sehingga tercipta negara tanpa
kelas'.14
Pada hakikatnya ideologi adalah merupakan hasil refleksi manusia berkat
kemampuannya mengadakan distansi terhadap dunia kehidupannya. Maka terdapat
suatu yang bersifat dialektis antara ideologi dengan masyarakat negara. Di satu
pihak membuat ideologi semakin realistis dan di piak laain mendorong masyarajat
makin mendekati bentuk yang ideal. Zideologi mencerminkan cara berfikir
masyarakat, bangsa maupun negara, namun juga membentuk masyarakat menuju
cita-citanya. Dengan demikisan ideologi sangat menentukan eksistensi suatu
bangsa dan negara. Ideologi emmbimbing bangsa dan negara untuk mencapai
tujuannya melalui berbagai realisasi pembangunan. Hal ini disebabkan dalam
ideologi terkandung suatu orientassi praktis.15
Selain sebagai sumber motivasi, ideologi juga merupakan sumber semangat
dalam berbagai kehidupan negara. Ideologi akan menjadi reaalistis manakala terjadi
orientasi yang bersifat dinamis antara masyarakat bangsa dengan ideologi, karena
dengan demikian ideologi akan bersifat terbuka dan antisipatif bahkan bersifat
reformatif dalam arti senantiasa mampu mengadaptasi perubahan perubahan sesuai
dengan aspirasi bangsanyanamun jikalau perlakuan terhadap ideologi diletakkaan
sebagai nilai yang sakral bahkan diletakkan sebagai alat legitimasi kekuasaan maka
dapat dipastikan ideologi akan menjadi tertutup, kaku, beku dogmatis dan
menguasai kehidungan bangsanya.16

14
Ana Sri Rahayu, Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan (PPKn), Jakarta : Bumi Aksara,
2017, Halaman 30
15
MBM. Munir. Pendidikan Pancasila. Malang : Madani Media, 2016, halaman . 60-61.
16
Ibid, hal 61

9
2.3 PERANAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI
Ketika bicara mengenai Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara
Indonesia, sesungguhnya ada dua pihak yang memiliki pendapat yang berbeda
mengenai Pancasila diposisikan sebagai ideologi atau bukan. Ada pihak-pihak
yang tidak sepakat untuk menempatkan Pancasila sebagai ideologi. Ada juga
pihak-pihak yang sepakat untuk menempatkan Pancasila sebagai ideologi bangsa
dan negara Indonesia.17
Meskipun Pancasila dalam sidang-sidang BPUPKI dimaksudkan untuk
menjadi dasar Indonesia merdeka, seperti pada kata-kata philosophische
gronsdlag, weltanschuung, fundamen, filsafat, fikiran yang sedalam dalamnya,
jiwa, hasrat yang sedalam dalamnya, namun pada sisi lain, konsep Pancasila dapat
dipahami sebagai common platform atau Platform Bersama bagi berbagai ideologi
politik yang berkembang saat itu di Indoneia. Pancasila merupakan tawaran yang
dapat menjembatani perbedaan ideologis dikalangan anggota BPUPKI saat itu.18
Sesungguhnya Pancasila dimaksudkan pula, oleh Ir. Soekarno pada waktu
itu, sebagai asas bersama agar dengan akses itu seluruh kelompok yang terdspst
di negsrs Indonesis dspst bersatu dan mnerima asas tersebut. Soekarno
mengatakan “kita bersama sama mecari persetujuan Philosopysche Grondslack,
mencari satu weltans Chauung Ang kita setuju. Saya katakan lagi, setuju ! yang
saudaraYamin seujui, yang Ki Bagus seujui, ayng ki hajar setujui, yang saudara
sanusi setujui, yang saudara Abi Kusno setujui, yang saudara liem, Koen hian
setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus… baik saudara yang bernama
kaum kebangsaan ayng disini maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum
Islam, semuanya telah mufakat kita hendak mendirikan satu Negara “semua buat
semua, kita punya tujuan”.19

17
Effendy Suryana, Pancasila dan Ketahanan Jati DIri Bangsa Panduan Kuliah di Perguruan
Tinggi, Bandung: PT Refika Aditama, 2015, halaman 83
18
Winarto, Paradigma Baru Pendidikan Pancasila, Jakarta: Other, 2016, Halaman 95
19
Ibid, hal 95

10
Adnan Buyung Nasution (1995) berpendapat bahwa meskipun penyebutan
Pancasila begitu muluk-muluk sebagai Philosophische grondslag, atau
Weltanschauung, sebenarnya dimaksudkan sebagai platform demokratis bagi
semua golongan di Indonesia. Namun perkembangan doktrinal Pancasila telah
merubah fungsi awal Pancasila sebagai platform bersama berbagai ideologi politik
dan aliran pemikiran sesuai dengan rumusan pertama yang disampaikan oleh
Soekarno, menjadi ideologi komprehensif integral. Pancasila dianggap telah
mengalami perubahan fungsi aslinya.20
Dalam pernyataan yang disampaikan pada tahun 1951, 1955, 1959, Prof.
Notonagoro melalui intepretasi filosofinya memberikan status ilmiah dan resmi
kepada Pancasila sebagai filsafat, dan menjadi jauh berkembang dan jauh berbeda
dengan apa yang pernah dinyatakan oelh Soekarno. Pernyataan Notonagoro
memberikan pemahaman baru terhadap ideologi Pancasila bagi masyarakat
Indonesia. Pancasila yang sebelumnya merupakan platfrom terbuka sebagai
sebuah konsensus politik, telah menjadi sebuah ideologi yang komprehensif.
Sayangnya di masa lalu, interpretasi ini berkembang lagi menjadi sebuah ideologi
yang dimaknai secara monolitik. Sebuah rezim yang berkuasa di masa lalu pernah
menafsirkan Pancasila secara monolitik, direktif, dan kaku. Orientasinya adalah
untuk menghukum lawan-lawan politik rezim yang berkuasa dengan
menggunakan Pancasila versi tafsir mereka sebagai alat pembenaran.21
Di kalangan para ilmuwan dan cendekiawan pun muncul pro dan kontra
tentang posisi Pancasila. Apakah Pancasila merupakan sebuah ideologi atau
bukan, menjadi perdebatan di kalangan para ilmuwan dan cendekiawan. Ada yang
berpendapat bahwa Pancasila bukanlah ideologi. Ada juga yang berpendapat
bahwa Pancasila adalah ideologi.22
Para ilmuwan seperti Ongkhokham, Garin Nugroho, Franz Magnis Suseno
menggang Pancasila tidak seharusnya menjadi sebuah ideologi. Ongkhokham
menyatakan bahwa Pancasila bukanlah falsafah atau ideologi, tetapi merupakan
dokumen politik yang harus dilihat sebagai kontrak sosial, yaitu kompromi atau

20
Effendy Suryana, Pancasila dan Ketahanan Jati DIri Bangsa Panduan Kuliah di Perguruan
Tinggi, Bandung: PT Refika Aditama, 2015, halaman 84
21
Ibid, hal 84
22
Ibid, hal 85

11
persetujuan sesama warga negara tentang asas-asas negara. Garin Nugroho
menilai bahwa jika Pancasila hanya dijadikan alat pencipta industrialisasi
monokultur yang mengakibatkan terjadinya sentralisasi. Adapun Franz Magnis
Suseno menyatakan, “Pancasila... lebih tepat disebut kerangka nilai atau cita-cita
luhur bangsa Indonesia secara keseluruhan daripada sebuah ideologi”. Sementara
itu, Kuntowijoyo, Azyumardi Azra, Asvi Warman Adam, dan ilmuwan lainnya
lebih memandang Pancasila sebagai ideologi negara dan bangsa.23
Namun, jika ingin melihat apakah Pancasila itu ideologi atau bukan, maka
harus menilik pada ketetapan MPR No.XVIII/MPR/1998 tentang pencabutan
ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Eka Prastya Pancakarsa) dan penetapan tentang penegasan
Pancasila sebagai dasar negara. Jika membaca Pasal 1 pada ketetapan tersebut,
dinyatakan bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.24
Apabila membaca risalah atau penjelasan terhadap ketetapan tersebut, maka
dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan dasar negara dalam ketetapan
tersebut terkandung makna ideologi nasional sebagai tujuan dan cita-cita negara.
Dapat disimpulakan bahwa selain dasar negara, Pancasila pun memiliki
kedudukan sebagai ideologi nasional Indonesia.25
Pancasila sebagai ideologi, dituntut tetap pada jati dirinya, baik ke dalam
(segi intrinsik) maupun keluar (segi ekstrinsik). Ke dalam berarti Pancasila harus
(1) konsisten, (2) koheren, dan (3) koresponden. Ke luar berarti Pancasila harus
menjadi penyalur dan penyaring kepentingan, baik horizontal maupun vertikal.
Pancasila harus “konsisten” artinya sesuai, harmonis, dan berhubungan secara
logis, antara sila satu dengan sila lainnya, begitu juga dengan pasalpasal dalam
UUD 1945. Misalnya, sila kesatu (Ketuhanan Yang Maha Esa) mempunyai
hubungan logis dengan Pasal 29 (Agama) dalam UUD 1945; sila kedua
(Kemanusiaan yang adil dan beradab) memiliki hubungan dengan kemerdekaan;

23
Effendy Suryana, Pancasila dan Ketahanan Jati DIri Bangsa Panduan Kuliah di Perguruan
Tinggi, Bandung: PT Refika Aditama, 2015, halaman 85
24
Ibid, 85
25
Ibid, 85

12
sila ketiga (Persatuan Indonesia) berhubungan dengan Pasal 18 ‘ dalam UUD
1945 (pemerintah daerah); Pancasila harus koheren, artinya satu sila harus terkait
dengan sila yang lain. Sila kemanusiaan tidak boleh lepas dari sila ketuhanan. Sila
persatuan tidak boleh lepas dari sila kemanusiaan dan seterusnya. Oleh karena itu,
susunan Pancasila adalah hierarkis dan mempunyai bentuk piramid. Urutan dalam
lima sila menunjukkan suatu rangkaian kesatuan yang bulat; Pancasila harus
koresponden, artinya cocok antara teori dengan praktik. Seorang Pancasilais tidak
bisa menjadi seorang pembunuh, karena pembunuhan itu tidak sesuai dengan
kemanusiaan. Inkorespondensi terbesar terjadi pada pra-1965, ketika penguasa
menyetujui PKI yang nyatanyata anti Tuhan. Padahal dalam Pancasila mengakui
adanya Ketuhanan Yang Maha Esa dan Persatuan Indonesia. Korespondensi
menuntut supaya kenyataan politik ditata kembali sehingga ada sesuaian antara
kenyataan dengan ideologi.26
Menurut Soerjanto Poespowardojo (1991) bahwa proses pemahaman adalah
suatu kesadaran masyarakat terhadap ideologinay berjalan bertahap dalam
intensitasnya, tergantung pada bagaimana masyarakat tersebut mempersepsikan
ideologinay iu dari suatu periode kepada periode berikutnay. Dari perjenjangan
kesadaran itu bersifat berkesinambungan sehingga saling m,engisi dan saling
memperkaya secara integrative menjadi sau wawasan ideologi nasional.
Berdasarkan itu, dapat diketahui tiga jenjang atau tahapan kesadarann masyarakat
dan bangsa Indonesia terhadap Pancasila sebagai ideologi, yaitu memersantu
(1)Pancasila sebagai ideologi persatuan, (2) Pancasila sebagai ideologi
pembangunan (3) Pancasila sebagai ideologi terbuka.27

26
Ana Sri Rahayu, Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan (PPKn), Jakarta : Bumi Aksara,
2017, halaman 31
27
Winarto, Paradigma Baru Pendidikan Pancasila, Jakarta: Other, 2016, Halaman 98-99

13
Pancasila sebagai ideologi persatuan berfungsi mempersatukan rakyat yang
majemuk Menjadi bangsa yang berkepribadian dan percaya pada diri sendiri.
Seperti diketahui, kondisi masarakat sejak permulaan hidup kenegaraan adalah
serba majemuk. Masyarakat Indonesia bersifat multietnis, multi religious, multi
ideologis. Kemajemukan tersebut menunjukkan adanya berbagai unsur yang saling
berinteraksi. Berbagai unsure dalam bidang-bidang kehidupan masyarakat
merupakan benih benih yang dapat memperkaya khazanah budaya untuk
membangun bangsa yang kuat, namun sebaliknya dsapat memperlemah kekuatan
bangsa dengan berbagai percekcokan serta perselisihan. Pancasila merupakan
kesepakatan bangsa sehingga menjadi salah satu factor. integratif bagi bangsa yang
heterogen.28
Istilah Pancasila sebagai ideologi terbuka sesungguhnya telah
dikembamgkan pada masa orde baru. Namun, dalam pelaksanaannya apada masa
itu lebih menunjukkan Pancasila sebagai ideologi tertutup. Pancasila sebagai alat
hegemony yang secara apriori ditentukan oleh elit kekuasaan untuk mengekang
kebebasan dan melegitimasi kekuasaan. Kebenaran Pancasila pada saat itu tidak
hanya mencakup cita cita dan nilai dasar, tetapi jugameliputi kebijakan praktis
operasional yang tidak dapat dipertanakan, tetapi harus diterima dan dipatuhi oleh
masyarakat.29
Suatu ideologi, selain memiliki aspek-aspek yang bersifat ideal yang berupa
cita-cita, pemikiran-pemikiran serta nilai-nilai yang dianggap baik, juga harus
memiliki norma yang jelas karena ideologi harus mampu dirrealisasikan dalam
kehidupan praksis yang merupakan suatu aktualisasi secara kongkrit. Oleh karena
itu, Pancasila sebagai ideologi terbuka secara struktural memiliki tiga dimensi,
yaitu : 30

28
Winarto, Paradigma Baru Pendidikan Pancasila, Jakarta: Other, 2016, Halaman 99
29
Ibid, hal 105
30
MBM. Munir, Pendidikan Pancasila, Malang : Madani Media, 2016, halaman 64

14
1. Dimensi Idealistis
Dimensi Idealistis yaitu nilai-nilai dasar yang terkandung dalam
Pancasila yang bersifat sistematis, rasional dan menyeluruh, yaitu hakikat nilai-
nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila yaitu Ketuhanan, kemanusiaan,
Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Hakikat nilai-nilai Pancasila tersebut
bersumber pada filsafat Pancasila (nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam
Pancasila). Karena setiap ideologi bersumber pada suatu nilai-nilai filosofis atau
sistem filsafat, Kadar serta idealisme yang terkandung dalam Pancasila mampu
memberikan harapan, optimisme serta mampu menggugah motivasi para
pendukungnya untuk berupaya mewujudkan apa yang dicita-citakan.
2. Dimensi Norrmatif
Dimensi Norrmatif yaitu nilai-nilai yang terkaandung dalam Pancasila
perlu dijabarkan dalam suatu sistem norma, sebagaimana terkandung dalam
norma-norma kenegaraan. Dalam pengertian ini, Pancasila terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945 yang merupakan norma tertib hukum tertinggi dalam
negara Indonesia serta merupakan Staatsfundamentalnorm (pokok kaidah
negara yang fundamental). Dalam hal ini, ideologi Pancasila, agar mampu
dijabarkan ke dalam langkah operasional, maka perlu memiliki norma yang
jelas.
3. Dimensi Realistis
Dimensi Realistis yaitu suatu ideologi harus mampu mencerminkan
realitas yang hidup dan berkembang dalam massyarakat. Oleh karena itu,
Pancasila selain memiliki dimensi nilai-nilai ideal serta normatif maka Pancasila
harus mampu ddijabarkan dalam kehidupan masyarakat secara nyata (konkrit)
baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam penylanggaraan Negara.
Dengan demikian, Pancasila sebagai ideologi terbuka tidak bersifat ‘utopis’ yang
hanya berisi ide-ide yang bersifat mengawang melainkan suatu ideologi yang
bersifat ‘realistis’ artinya mampu dijabarkan dalam segala aspek kehidupan
nyata.

15
Konsekuensi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah membuka ruang
membentuk kesepakatan masyarakat bagaimana mencapai cita-cita dan nilai-nilai
dasar tersebut. Kesepatatan tersebut adalah kesepakatan kedua dan ketiga sebagai
penyangga konstitusionalisme, yaitu kesepakatan tentang “The Rule of Law”
sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan Negara (the basis of
goverment) dan kesepakatan tentang benuk institusi dan prosedur-prosedur
ketatanegaraan (the form of instisusions and prosecures).31

31
Winarto, Paradigma Baru Pendidikan Pancasila, Jakarta: Other, 2016, Halaman 105

16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pancailai sebagai dasar negara dan pandangan hidup sekaligus juga
merupakan ideologi negara. Sebagai ideologi negara berarti pancasila merupakan
gagasan dasar yang berkenaan dengan kehidupan negara. Pancasila bukan hanya
suatu yang bersifat statis melandasi berdirinya negara Indonesia akan tetapi
pancasila membawakan gambaran mengenai wujud masyarakat tertentu yang
diinginkan serta prinsip-prinsip dasar yang harus diperjuangkan untuk
mewujudkannya. Pancasila membawakan nilai-nilai tertentu yang digali dari
realitas sodio budaya bangsa Indonesia. Ideologi membawakan kekhasan tertentu
yang membedakannya dengan ideologi lainnya. Kehasan itu adalah keyakinan
akan adanya Tuhan Yang Maha Esa, yang membawa konsekuensi keimanan dan
ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Keberadaan ideologi Pancasila
dilihat dari dimensi realitas membawakan nilai-nilai yang mencerminkan realitas
sosiobudaya bangsa Indonesia, dari segi idealitas mamidpu memberikan keyakian
akan terwujudnya masyarakat yang dicita-citakan, dan dari dimensi fleksibilitas,
nilai-nilai yang ada didalamnya dapat dijabarkan secara konstektual agar
senantiasa dapat menyesuaikan dengan dinamika dan perkembangan masyarakat.
3.2 Saran
Sebagai pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya sebaiknya
selalu menjaga ideologi negara karena Pancasila merupakan gagasan dasar yang
berkenaan dengan kehidupan negara.

17
DAFTAR PUSTAKA

Munir, dkk. 2016. Pendidikan Pancasila. Malang: Madani Media

Rahayu, Ana Sri. 2017. Pendidikan Pancasila & Kewarganegaraan (PPKn).


Jakarta: Bumi Aksara

Suryana, Effendy dan Kaswan. 2015. Pancasila dan Ketahanan Jati DIri Bangsa
Panduan Kuliah di Perguruan Tinggi. Bandung: PT Refika Aditama

Winarto. 2016. Paradigma Baru Pendidikan Pancasila.Jakarta: Other

18

Anda mungkin juga menyukai