Anda di halaman 1dari 19

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 

(disingkat UUD 1945;
terkadang juga disingkat UUD '45, UUD RI 1945, atau UUD NRI 1945)
adalah konstitusi dan sumber hukum tertinggi yang berlaku di Republik Indonesia. UUD 1945
menjadi perwujudan dari dasar negara (ideologi) Indonesia, yaitu Pancasila, yang disebutkan
secara gamblang dalam Pembukaan UUD 1945.
Perumusan UUD 1945 dimulai dengan kelahiran dasar negara Pancasila pada tanggal 1 Juni
1945 dalam sidang pertama BPUPK. Perumusan UUD yang rill sendiri mulai dilakukan pada
tanggal 10 Juli 1945 dengan dimulainya sidang kedua BPUPK untuk menyusun konstitusi. UUD
1945 diberlakukan secara resmi sebagai konstitusi negara Indonesia oleh PPKI pada tanggal 18
Agustus 1945. Pemberlakuannya sempat dihentikan selama 9 tahun dengan
berlakunya Konstitusi RIS dan UUDS 1950. UUD 1945 kembali berlaku sebagai konstitusi
negara melalui Dekret Presiden yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli
1959. Setelah memasuki masa reformasi, UUD 1945 mengalami empat kali perubahan
(amendemen) dari tahun 1999–2002.
UUD 1945 memiliki otoritas hukum tertinggi dalam sistem pemerintahan negara Indonesia,
sehingga seluruh lembaga negara di Indonesia harus tunduk pada UUD 1945 dan
penyelenggaraan negara harus mengikuti ketentuan UUD 1945. Selain itu, setiap peraturan
perundang-undangan di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah
Konstitusi berwenang melakukan pengujian atas undang-undang, sementara Mahkamah
Agung atas peraturan di bawah undang-undang, yang bertentangan dengan ketentuan UUD
1945.[1]
Wewenang untuk melakukan pengubahan terhadap UUD 1945 dimiliki Majelis Permusyawaratan
Rakyat, seperti yang telah dilakukan oleh lembaga ini sebanyak empat kali. Ketentuan mengenai
perubahan UUD 1945 diatur dalam Pasal 37 UUD 1945.

Struktur

Wikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Satu Naskah
UUD 1945 telah mengalami perubahan struktur yang signifikan semenjak UUD 1945
diamendemen sebanyak empat kali. Bahkan, diperkirakan hanya 11% dari keseluruhan isi UUD
yang tetap sama seperti sebelum adanya perubahan UUD. Sebelum diamendemen, UUD 1945
terdiri atas:[2]

1. Pembukaan, yang terdiri dari empat alinea.


2. Batang Tubuh, yang terdiri dari:
o 16 bab, 37 pasal, atau 65 ayat aturan utama.
o 4 pasal aturan peralihan.
o 2 ayat aturan pertambahan.
3. Penjelasan, yang terdiri dari penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.
Setelah diamendemen, UUD 1945 saat ini (menurut Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945) terdiri
atas:[2]

1. Pembukaan, yang terdiri dari empat alinea.


2. Pasal-Pasal, yang terdiri dari:
o 21 bab, 73 pasal, atau 194 ayat aturan utama.
o 3 pasal aturan peralihan.
o 2 pasal aturan tambahan.
Meskipun bagian "Penjelasan UUD 1945" tidak disebutkan secara formal dari UUD 1945 setelah
perubahan keempat, isi-isi dari bagian Penjelasan telah diintegrasikan secara materiel ke dalam
Batang Tubuh dan masih menjadi bagian tidak terpisahkan dari UUD 1945.[3]
Berikut ini merupakan struktur UUD 1945 dalam satu naskah (setelah amendemen keempat).

Pembukaan
Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian pendahuluan dari UUD 1945 yang berupa teks
empat alinea. Setiap alinea dalam Pembukaan mempunyai makna yang berbeda-beda, yaitu:[4]

 Alinea I bermakna bahwa bangsa Indonesia anti penjajahan, karena penjajahan tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Kemudian, bangsa Indonesia juga
mengakui bahwa setiap bangsa berhak untuk merdeka. oleh karena itu bangsa
Indonesia mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa di dunia.
 Alinea II menggambarkan cita-cita luhur bangsa Indonesia yaitu ingin mewujudkan
negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
 Alinea III berisi pernyataan kemerdekaan Indonesia, dan juga pengakuan bangsa
Indonesia bahwa kemerdekaan yang dicapai adalah berkat rahmat Tuhan dan bukan
semata-mata hasil perjuangan bangsa Indonesia sendiri.
 Alinea IV memuat tujuan dibentuknya pemerintahan dan negara Republik Indonesia,
serta memuat dasar negara Pancasila.
Batang Tubuh
Batang Tubuh UUD 1945 merupakan bagian isi dari UUD 1945 yang berupa pasal-pasal dan
ayat-ayat. Batang Tubuh terdiri dari 16 bab, yang terdiri dari 37 pasal atau 194 ayat. Materi
muatan Batang Tubuh ini berisi garis-garis besar berupa identitas negara, lembaga tinggi
negara, warga negara, sosial ekonomi, hak asasi manusia, demografi, dan aturan perubahan
UUD.
Bab I: Bentuk dan Kedaulatan
Bab I terdiri dari satu pasal atau 3 ayat. Bab I (yang hanya terdiri dari Pasal 1) menyatakan
bentuk negara Indonesia sebagai negara kesatuan republik, kedaulatan negara berada di
tangan rakyat, dan sistem negara Indonesia sebagai negara hukum.
Bab II: Majelis Permusyawaratan Rakyat

Lambang MPR-RI
Bab II terdiri dari dua pasal atau 5 ayat. Bab II mengatur hal-hal mengenai lembaga Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI atau MPR). Isi Bab II berdasarkan pasal-
pasal, yaitu:

 Pasal 2: susunan, sidang, dan putusan MPR.


 Pasal 3: wewenang MPR.
Bab III: Kekuasaan Pemerintahan Negara
Lambang Presiden dan Wakil Presiden RI
Bab III terdiri dari 17 pasal atau 38 ayat, sehingga menjadi bab dengan jumlah pasal dan ayat
terbanyak di dalam UUD ini. Bab III mengatur hal-hal yang menyangkut Presiden dan Wakil
Presiden Republik Indonesia. Isi Bab III berdasarkan pasal-pasal, yaitu:

 Pasal 4: Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara, dengan


dibantu oleh Wakil Presiden.
 Pasal 5: wewenang Presiden mengenai peraturan perundang-undangan.
 Pasal 6: syarat calon Presiden dan Wakil Presiden.
 Pasal 6A: tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
 Pasal 7: periode jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
 Pasal 7A: alasan pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
 Pasal 7B: tata cara pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
 Pasal 7C: Presiden yang tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR.
 Pasal 8: prosedur bila terjadi kekosongan jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
 Pasal 9: sumpah atau janji Presiden dan Wakil Presiden dalam pelantikan.
 Pasal 10: kekuasaan tertinggi kemiliteran di tangan Presiden.
 Pasal 11: hubungan internasional yang dibuat Presiden Indonesia.
 Pasal 12: wewenang Presiden dalam menyatakan keadaan bahaya
 Pasal 13: pengangkatan dan penerimaan duta dan konsul oleh Presiden.
 Pasal 14: pemberian grasi, rehabilitasi, amnesti, dan abolisi oleh Presiden.
 Pasal 15: pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lain oleh Presiden.
 Pasal 16: pembentukan dewan pertimbangan.
Bab IV: Dewan Pertimbangan Agung
Setelah amendemen keempat, isi Bab IV dihapuskan. Dengan kata lain, keberadaan Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) dihapuskan dari struktur Pemerintahan Indonesia. Peran DPA
digantikan oleh suatu dewan pertimbangan seperti yang disebutkan dalam Bab III Pasal 16 UUD
1945.
Bab V: Kementerian Negara
Bab V terdiri dari satu pasal atau 4 ayat. Bab V (yang hanya terdiri dari Pasal 17) mengatur hal-
hal mengenai lembaga-lembaga Kementerian Negara.
Bab VI: Pemerintahan Daerah
Bab VI terdiri dari tiga pasal atau 4 ayat. Bab VI mengatur hal-hal mengenai pemerintahan
daerah di Indonesia, khususnya pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota. Isi Bab VI
berdasarkan pasal-pasal, yaitu:

 Pasal 18: ciri-ciri wilayah admistratif di Indonesia beserta pemerintahan daerahnya.


 Pasal 18A: hubungan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.
 Pasal 18B: satuan pememerintahan daerah khusus dan kesatuan masyarakat
hukum adat.
Bab VII: Dewan Perwakilan Rakyat

Lambang DPR-RI
Bab VII terdiri dari 7 pasal atau 18 ayat. Bab VI mengatur hal-hal utama mengenai
lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI atau DPR) dan
pembentukan undang-undang (UU). Isi Bab VII berdasarkan pasal-pasal, yaitu:

 Pasal 19: pemilihan anggota, susunan, dan sidang DPR.


 Pasal 20: wewenang DPR dalam membuat UU.
 Pasal 20A: fungsi, hak, dan hak anggota DPR.
 Pasal 21: pengajuan UU oleh DPR.
 Pasal 22: peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).
 Pasal 22A: tata cara pembentukan UU.
 Pasal 22B: pemberhentian anggota DPR.
Bab VIIA: Dewan Perwakilan Daerah

Lambang DPD-RI
Bab VIIA terdiri dari dua pasal atau 8 ayat. Bab VIIA mengatur hal-hal mengenai lembaga Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI atau DPD). Isi Bab VIIA berdasarkan pasal-
pasal, yaitu:

 Pasal 22C: pemilihan anggota, susunan, dan sidang DPD.


 Pasal 22D: wewenang dan pemberhentian anggota DPD.
Bab VIIB: Pemilihan Umum
Bab VIIB terdiri dari satu pasal atau 6 ayat. Bab VIIB (yang hanya terdiri dari Pasal 22E)
mengatur pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia.
Bab VIII: Hal Keuangan
Bab VIII terdiri dari 5 pasal atau 7 ayat. Bab VIII mengatur hal-hal yang berhubungan
dengan keuangan negara. Isi Bab VIII berdasarkan pasal-pasal, yaitu:

 Pasal 23: anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).


 Pasal 23A: pajak dan pungutan lain.
 Pasal 23B: mata uang.
 Pasal 23C: hal-hal keuangan negara lainnya.
 Pasal 23D: bank sentral.
Bab VIIIA: Badan Pemeriksa Keuangan

Lambang BPK-RI
Bab VIIIA terdiri dari tiga pasal atau 7 ayat. Bab VIIIA mengatur hal-hal mengenai
lembaga Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI atau BPK). Isi Bab VIIIA
berdasarkan pasal-pasal, yaitu:

 Pasal 23E: tugas BPK.


 Pasal 23F: susunan BPK.
 Pasal 23G: kedudukan BPK.
Bab IX: Kekuasaan Kehakiman
Lambang MA-RI, MK-RI, dan MK-RI. Lembaga MK-RI menggunakan lambang Garuda Pancasila tanpa
embel-embel (atau terkadang disertai nama lembaga di bawahnya).
Bab IX terdiri dari 5 pasal atau 19 ayat. Bab IX mengatur segala hal mengenai lembaga
dan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Isi Bab IX berdasarkan pasal-pasal, yaitu:

 Pasal 24: garis besar kekuasaan kehakiman di Indonesia.


 Pasal 24A: Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI atau MA).
 Pasal 24B: Komisi Yudisial Republik Indonesia (KY-RI atau KY).
 Pasal 24C: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI atau MK).
 Pasal 25: syarat-syarat menjadi hakim.
Bab IXA: Wilayah Negara
Bab IXA terdiri dari satu pasal atau satu ayat. Bab IXA (yang hanya terdiri dari Pasal 25A)
mengatur wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bab X: Warga Negara dan Penduduk
Bab X terdiri dari tiga pasal atau 7 ayat. Bab X mengatur pengertian, hak, dan kewajiban
dari warga negara dan penduduk Indonesia. Isi Bab X berdasarkan pasal-pasal, yaitu:

 Pasal 26: pengertian warga negara dan penduduk.


 Pasal 27: hak dan kewajiban utama sebagai warga negara.
 Pasal 28: kebebasan berserikat dan berpendapat.
Bab XA: Hak Asasi Manusia
Bab XA terdiri dari 10 pasal atau 26 ayat. Bab XA memuat segala hak asasi manusia (HAM)
yang dijamin oleh UUD ini. Isi Bab XA berdasarkan pasal-pasal, yaitu:

 Pasal 28A: hak hidup dan mempertahankan hidup


 Pasal 28B: hak berkeluarga dan hak anak
 Pasal 28C: hak mengembangkan diri, hak memanfaatkan pendidikan dan budaya,
serta hak memajukan diri untuk memperjuangkan hak kelompoknya.
 Pasal 28D: hak keadilan dalam hukum, pekerjaan, dan pemerintahan, serta hak
kewarganegaraan.
 Pasal 28E: hak kebebasan memeluk agama atau meyakini kepercayaan, serta hak
berserikat dan berpendapat.
 Pasal 28F: hak berkomunikasi dan bertukar informasi.
 Pasal 28G: hak perlindungan individu dan kelompok, hak bebas dari perbudakan,
dan hak mencari suaka.
 Pasal 28H: hak hidup sejahtera, hak mendapat keadilan dan persamaan hak, hak
jaminan sosial, serta hak milik pribadi.
 Pasal 28I: HAM yang tidak dapat dikurangi, hak bebas dari diskriminasi, identitas
budaya dan hak masyarakat tradisional, serta peran negara atas HAM.
 Pasal 28J: kewajiban menghormati HAM orang lain dan pembatasan HAM dalam
kasus khusus oleh UU.
Bab XI: Agama
Bab XI terdiri dari satu pasal atau dua ayat. Bab XI (yang hanya terdiri dari Pasal 29)
menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan mengatur jaminan
kebebasan beragama dan beribadat sesuai agamanya.
Bab XII: Pertahanan dan Keamanan Negara

Lambang Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia


Bab XII terdiri dari satu pasal dan 5 ayat. Bab XII (yang hanya terdiri dari Pasal 30) mengatur
sistem pertahanan dan keamanan negara, terutama mengenai satuan Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), serta keterlibatan warga
negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
Bab XIII: Pendidikan dan Kebudayaan
Bab XIII terdiri dari dua pasal dan 7 ayat. Bab XIII mengatur pendidikan nasional untuk warga
negara dan kemajuan kebudayaan nasional. Isi Bab XIII berdasarkan pasal-pasal, yaitu:

 Pasal 31: jaminan untuk warga negara memperoleh pendidikan dan kewajiban
mengenyam pendidikan, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
 Pasal 32: pengembangan nilai dan kekayaan budaya nasional.
Bab XIV: Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial
Bab XIV terdiri dari dua pasal dan 9 ayat. Bab XIV mengatur garis-garis
besar perekonomian nasional dan program kesejahteraan sosial. Isi Bab XIV berdasarkan pasal-
pasal, yaitu:

 Pasal 33: mekanisme perekonomian nasional dan pengelolaan sumber daya vital


dalam negeri.
 Pasal 34: pemeliharaan orang miskin dan anak terlantar, serta pengadaan jaminan
sosial, fasilitas kesehatan, dan fasilitas umum.
Bab XV: Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan

Bendera Sang Merah Putih dan Garuda Pancasila


Bab XIV terdiri dari 5 pasal dan 5 ayat. Bab XV memberi penjelasan atas beberapa identitas
negara Indonesia. Isi Bab XV berdasarkan pasal-pasal, yaitu:

 Pasal 35: bendera negara Indonesia sebagai Sang Merah Putih.


 Pasal 36: bahasa nasional Indonesia sebagai bahasa Indonesia.
 Pasal 36A: lambang negara Indonesia sebagai Garuda Pancasila dan semboyan
negara sebagai Bhinneka Tunggal Ika.
 Pasal 36B: lagu kebangsaan Indonesia sebagai lagu Indonesia Raya.
 Pasal 36C: ketentuan lebih lanjut atas identitas-identitas negara yang disebutkan di
atas.
Bab XVI: Perubahan Undang-Undang Dasar
Bab XVI terdiri dari satu pasal dan 5 ayat. Bab XVI mengatur ketentuan-ketentuan untuk
mengubah UUD ini.
Aturan Peralihan
Aturan-aturan peralihan memberikan ketentuan-ketentuan kepada pemerintah agar penyesuaian
dengan perubahan-perubahan pada UUD 1945 dapat berjalan dengan mulus. Aturan-aturan
tersebut, yaitu:

 Pasal I memberikan legitimasi terhadap undang-undang yang berlaku sebelum


perubahan UUD agar tetap berlaku hingga undang-undang pengganti disahkan
menurut UUD.
 Pasal II memberikan legitimasi terhadap lembaga-lembaga yang telah usang setelah
perubahan UUD untuk tetap berfungsi sepanjang melaksanakan aturan baru dari
perubahan UUD, hingga dibentuknya lembaga yang baru menurut UUD.
 Pasal III memberikan legitimasi terhadap MA agar menjalankan kewenangan-
kewenangan MK sebelum lembaga tersebut dibentuk selambat-lambatnya pada
tanggal 17 Agustus 2003.
Aturan Tambahan
Aturan-aturan tambahan memberikan ketentuan-ketentuan tambahan yang tidak perlu disisipkan
pada aturan utama dan aturan peralihan. Aturan-aturan tersebut, yakni:

 Pasal I memberi tugas pada MPR untuk menyaring Ketetapan MPR dan MPRS


sebelum sidang umum berikutnya (pada tahun 2003).
 Pasal II menegaskan bahwa UUD 1945 terdiri dari Pembukaan dan pasal-pasal.

Sejarah
Perumusan

Piagam Jakarta sebagai cikal bakal Pembukaan UUD 1945


Penyusunan rancangan UUD 1945 dilakukan secara bertahap oleh Badan Penyelidik Usaha-
Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), yaitu badan yang dibentuk dengan izin Jepang pada
tanggal 29 April 1945.[5]
Sidang pertama BPUPK, yang dilaksanakan dari tanggal 28 Mei hingga 1 Juni tersebut,
menghasilkan gagasan "dasar negara", dengan mengacu pada rumusan "Pancasila" yang
digagas oleh Soekarno. Selain itu, sidang ini juga menghasilkan kesepakatan untuk
membentuk Panitia Sembilan yang akan membahas lebih jauh mengenai gagasan tersebut agar
menghasilkan rumusan yang matang.[6] Satu setengah bulan kemudian, tepatnya pada
tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan yang telah mengadakan sidang-sidang akhirnya
merampungkan rumusan dasar negara tersebut dan menamakannya Piagam Jakarta. Naskah
piagam inilah yang menjadi naskah Pembukaan UUD 1945.
Setelah itu, sidang kedua BPUPK yang berlangsung dari tanggal 10–17 Juli membahas perihal
piagam tersebut dan komponen-komponen negara, seperti bentuk negara, bentuk dan susunan
pemerintahan, kewarganegaraan, bendera dan bahasa nasional, dan sebagainya. Setelah
beberapa perdebatan mengenai Piagam Jakarta, akhirnya BPUPK merampungkan naskah
rancangan Undang-Undang Dasar (UUD) yang terdiri dari Pembukaan UUD yang mengacu pada
Piagam Jakarta dan Batang Tubuh UUD yang berisi komponen-komponen tersebut.[7][8]

Pengesahan dan pemberlakuan

Sidang pertama PPKI (18 Agustus 1945) yang menghasilkan salah satunya pengesahan UUD 1945
sebagai konstitusi negara.
Setelah Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang merupakan kelanjutan
dari BPUPK mengadakan sidang pertamanya pada tanggal 18 Agustus. Sidang tersebut
kemudian menghasilkan, salah satunya, penetapan rancangan Pembukaan dan Batang Tubuh
UUD yang dihasilkan BPUPK sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang sah. Namun sebelum itu, PPKI melakukan beberapa perubahan pada naskah
UUD hasil rancangan BPUPK, terutama pada bagian-bagian yang dianggap lebih menonjolkan
agama Islam. Perubahan-perubahan tersebut di antaranya:[9][10]

 Kata "Mukadimah" diganti dengan kata "Pembukaan".


 Pada salah satu frasa (yang merupakan sila pertama Pancasila) dalam alinea
keempat yang berbunyi, "... dengan berdasar kepada Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, ..." diubah menjadi "... dengan
berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, ...".
 Frasa "yang beragama Islam" dalam Pasal 6 Ayat (1) yang berbunyi "Presiden ialah
orang Indonesia asli yang beragama Islam" dihapuskan.
 Beberapa kata dalam kalimat "Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dalam Pasal 28 Ayat (1)
diganti, sehingga menjadi Pasal 29 Ayat (1) yang berbunyi "Negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa".
 Penyisipan Pasal 28 yang berbunyi "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang".
Dalam kurun waktu 1945–1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena
Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan pada
masa Revolusi Nasional Indonesia. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16
Oktober 1945 memutuskan bahwa kekuasaan legislatif diserahkan kepada KNIP, karena MPR
dan DPR masih belum terbentuk. Pada tanggal 14 November setelahnya, Soekarno
membentuk kabinet semiparlementer yang pertama (karena adanya jabatan Perdana Menteri di
dalamnya), sehingga peristiwa ini merupakan peristiwa perubahan pertama dari sistem
pemerintahan Indonesia yang seharusnya seperti yang disebutkan dalam UUD 1945.
Setelah Indonesia dan Belanda beberapa kali melakukan pertempuran dan perjanjian gencatan
senjata, pada tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949, perwakilan Republik
Indonesia, Belanda, dan Majelis Permusyawaratan Federal (BFO) bentukan Belanda melakukan
pertemuan di di Den Haag (Belanda) yang disebut Konferensi Meja Bundar (KMB) untuk
perjanjian damai terakhir kalinya dengan Belanda. KMB tersebut menghasilkan kesepakatan
bahwa kedaulatan negara Indonesia akan diberikan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS)
dan diakui oleh Belanda. RIS kemudian terbentuk pada tanggal 27 Desember 1949. Oleh karena
hal ini, UUD 1945 dibatalkan secara otomatis setelah negara tersebut berdiri.

Pengadopsian konstitusi lainnya


Artikel utama: Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia
Setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) dibentuk dan Indonesia menjadi negara federasi,
konstitusi yang digunakan adalah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS),
[11]
 sedangkan UUD 1945 masih digunakan tetapi dalam lingkup negara bagian "Republik
Indonesia". Konstitusi RIS ini tidaklah bertahan lama dan akhirnya dicabut pada tanggal 15
Agustus 1950,[12] yang diikuti dengan pembubaran negara RIS dan kembalinya Indonesia
menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus.
Setelah peralihan tersebut, Indonesia memberlakukan Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia (UUDS 1950). Oleh karena itu, UUDS 1950 mengenal sistem pemerintahan
Indonesia sebagai sistem parlementer. Setelah beberapa tahun berlaku, Indonesia pada tahun
1955 melaksanakan pemilihan umum untuk pertama kalinya dalam dua tahap, yaitu pemilihan
anggota DPR pada tanggal 29 September dan pemilihan anggota konstituante pada tanggal 15
Desember.[13][14] Konstituante Republik Indonesia yang terdiri atas anggota-anggota terpilih pemilu
tahap kedua tersebut bertugas mengadakan sidang-sidang untuk membahas dan merumuskan
rancangan UUD yang baru menggantikan UUDS 1950. Namun badan tersebut tidak dapat
menghasilkan rancangan UUD baru dan bahkan sebagian besar anggotanya berencana untuk
menarik diri dari sidang konstituante. Keadaan genting ini memaksa Soekarno
mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan badan Konstituante Republik
Indonesia, memberlakukan kembali UUD 1945 dan membatalkan UUDS 1950, serta membentuk
MPR dan DPA sementara secepatnya.[15][16]

Pemberlakuan kembali dan penyimpangan


Masa Demokrasi Terpimpin
Prangko "Kembali ke UUD 1945" dengan nominal 50 sen, untuk merayakan pemberlakuan kembali UUD
1945 sebagai konstitusi negara.
Setelah pemerintah mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 yang sempat tidak
berlaku selama sembilan tahun akhirnya kembali berlaku sebagai konstitusi negara.[17] Akibat
pemberlakuan ini, jabatan Perdana Menteri Indonesia dihapuskan dan sistem pemerintahan
Indonesia kembali menganut sistem presidensial sesuai amanat UUD 1945.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, terdapat berbagai penyimpangan terhadap UUD 1945.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut di antaranya ialah:[18][19]

 Konsep Pancasila ditafsirkan sepihak oleh Soekarno.


 Konsep demokrasi terpimpin yang digagas oleh Presiden Soekarno yang
menekankan bahwa semua keputusan kenegaraan berpusat pada presiden,
padahal Pemerintah Indonesia tersebut berdasarkan sistem konstitusional dan
bukan sistem absolutisme (Penjelasan UUD[a]), sementara UUD 1945 menyiratkan
bahwa kekuasaan pemerintahan di Indonesia menganut asas pembagian
kekuasaan.
 Presiden Soekarno membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
(MPRS), padahal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah kekuasaan
negara tertinggi dan lebih tinggi daripada posisi presiden (Penjelasan UUD[a]),
sehingga presiden tidak berhak untuk mengatur MPR.
 Presiden Soekarno membubarkan DPR hasil pemilu 1955 dan membentuk DPR
Gotong Royong yang anggotanya ditunjuk sendiri oleh Soekarno, padahal presiden
tidak berhak untuk membubarkan DPR (Penjelasan UUD[a]).
 Presiden Soekarno membentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS),
padahal Dewan Pertimbangan Agung (DPA) bertugas memberi pertimbangan atas
usulan presiden dan berhak memberi usulan kepada pemerintah (Pasal 16[a]) serta
menjadi penasihat pemerintah (Penjelasan UUD[a]). Presiden tidak seharusnya
mengatur badan yang mengawasi pemerintah seperti hal tersebut.
 MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Hal ini bertentangan
dengan UUD 1945 yang menyatakan bahwa jabatan Presiden Indonesia hanya
boleh dipegang selama lima tahun (Pasal 5[a]), dan setelah itu harus dipilih kembali
oleh MPR (Pasal 6[a]).
 Manipol USDEK yang dijadikan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) oleh
Soekarno, padahal yang berhak menentukan GBHN adalah MPR (Pasal 3[a]).
 Konsep nasakom (nasionalis, agama, dan komunis) yang digagas oleh Presiden
Soekarno perlahan-lahan menggeser kedudukan Pancasila dan UUD 1945.
Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru, pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila
secara murni dan konsekuen.[20] UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat "sakral", di
antara melalui sejumlah peraturan, yaitu:

 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 dan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 yang


di antaranya berisi pernyataan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan
UUD 1945 dan tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang salah satunya
menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu
harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
Meskipun penyimpangan UUD 1945 secara eksplisit tidak tampak pada zaman Orde Baru,
terdapat beberapa penyimpangan Pancasila sebagai dasar dari UUD 1945 yang dilakukan oleh
pemerintahan Orde Baru. Penyimpangan-penyimpangan tersebut, yakni:[21][22]

 Konsep Pancasila masih ditafsirkan sepihak oleh Soeharto, dan terlebih lagi
digunakan sebagai alat legitimasi politik untuk menguasai rakyat.
 Pemusatan kekuasaan pada presiden yang masih terjadi di tangan Soeharto,
meskipun pemusatan tersebut lebih terstruktur. Soeharto hanya mempercayakan
orang-orang terdekatnya untuk menguasai perusahaan besar negara.
 Pemerintahan Soeharto yang melarang adanya kritikan-kritikan untuk pemerintah
dengan alasan menganggu kestablilan negara, termasuk juga pers.
 Hak-hak politik dibatasi oleh pemerintah dengan mengurangi jumlah partai politik
yang resmi menjadi tinggal tiga.
Proses perubahan

Sistem politik Indonesia sebelum dan setelah amendemen (dalam bahasa Inggris).


Setelah pemerintahan Orde Baru jatuh dan masa reformasi dimulai, terdapat banyak tuntutan
untuk melakukan pengubahan pada naskah UUD 1945. Alasan adanya tuntutan perubahan UUD
1945 tersebut antara lain karena kenyataan bahwa kekuasaan tertinggi bukan di tangan rakyat
tetapi di tangan MPR yang dikuasai pemerintah, kekuasaan yang terlalu besar pada presiden,
banyaknya pasal-pasal yang menimbulkan multitafsir, serta kenyataan bahwa isi rumusan UUD
1945 yang mengatur penyelenggaraan negara yang belum cukup. Latar belakang dari tuntutan
tersebut dapat dilihat dari bukti bahwa banyaknya penyimpangan-penyimpangan UUD 1945
yang dapat terjadi di masa-masa sebelumnya. Oleh sebab itu, MPR mengadakan sidang-sidang
umum yang menghasilkan perubahan (amendemen) UUD 1945 sebanyak empat kali.[23][24][25]

 Perubahan pertama dilakukan pada Sidang Umum MPR 1999 yang berlangsung
antara 14–21 Oktober 1999.
 Perubahan kedua dilakukan pada Sidang Umum MPR 2000 yang berlangsung
antara 7–18 Agustus 2000.
 Perubahan ketiga dilakukan pada Sidang Umum MPR 2001 yang berlangsung
antara 1–9 November 2001.
 Perubahan keempat dilakukan pada Sidang Umum MPR 2002 yang berlangsung
antara 1–11 Agustus 2002.
Setelah amendemen, dampak yang paling terasa adalah pembagian kekuasaan yang lebih
setara dan seimbang, tidak ada lagi lembaga pemerintahan tertinggi, sehingga lembaga
pemerintahan yang diatur di dalam UUD 1945 menjadi lembaga tinggi negara yang masing-
masing dapat saling mengawasi dan bekerja sama tetapi tidak boleh mengontrol satu sama lain.
Lembaga-lembaga tersebut juga memiliki wewenang, batasan, dan cara pengangkatan yang
lebih jelas setelah amendemen, sehingga lembaga-lembaga tersebut dapat menjalankan peran
yang semestinya. Selain itu, adanya hak-hak asasi manusia (HAM) yang diatur dalam UUD 1945
menjadikan HAM sebagai salah satu tujuan konstitusi.[26]

Perubahan
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan
proses untuk mengubah salah satu atau beberapa pasal yang terdapat dalam Batang Tubuh
UUD 1945. Perubahan UUD ini merupakan salah satu wewenang dari MPR-RI yang diatur
dalam UUD 1945. Sepanjang sejarah, MPR telah melakukan empat kali pengubahan pada UUD
1945.

Latar belakang
Meskipun Soekarno sendiri sebagai Presiden Indonesia pertama mengeluarkan dekret presiden
untuk memberlakukan kembali UUD 1945, beliau selalu menganggap bahwa UUD 1945
merupakan konstitusi yang tidak lengkap. Namun semenjak Soeharto menjabat sebagai
presiden pada tahun 1967, pemerintahan rezim Orde Baru selalu menolak menyetujui
bentuk perubahan (amendemen) apa pun itu terhadap UUD 1945. Mereka menganggap bahwa
UUD 1945 merupakan konstitusi yang bersifat final dan "kemurniannya" harus tetap dilindungi.
[27]
 Pada tahun 1983, MPR, melalui Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983, menetapkan posisi untuk
tidak melakukan pengubahan pada UUD 1945. Meskipun begitu, MPR juga mengatur ketentuan
untuk mengubah UUD 1945 pada ketetapan MPR yang sama. Namun, ketentuan tersebut
menyebutkan syarat keharusan untuk mengadakan referendum yang telah disetujui oleh
Presiden atas rancangan amendemen UUD yang telah diloloskan oleh MPR.[28] Terlebih lagi, UU
No. 5 Tahun 1985 yang mengatur tentang referendum atas perubahan UUD 1945 menyatakan
bahwa referendum tersebut harus mencapai partisipasi pemilih minimum sebesar 90% dan hasil
suara dukungan minimum sebesar 90% agar proses amendemen dapat dilanjutkan dan
perubahan UUD dapat disahkan.[29] Peraturan-peraturan ini membuat pengubahan UUD 1945
semakin sulit dilakukan, dan selain itu juga dianggap bertentangan dengan Pasal 37 UUD 1945
yang tidak pernah menyebutkan tentang referendum.
Setelah kejatuhan rezim Soeharto pada tahun 1998, ketetapan MPR dan UU tersebut
dihapuskan, sehingga membuka jalan yang lebih lebar untuk dilakukannya amendemen UUD
1945. Akhirnya pada tahun 1999–2002, UUD 1945 mengalami perubahan (amendemen)
sebanyak empat kali yang seluruhnya diputuskan dalam sidang-sidang umum MPR.

Asal dan tujuan


Berkaca dari penyimpangan-penyimpangan UUD 1945 yang terjadi pada masa Demokrasi
Terpimpin dan Orde Baru, salah satu tuntutan demonstrasi penuntut reformasi adalah
dilakukannya perubahan (amendemen) terhadap UUD 1945. Alasan-alasan terbesar UUD 1945
diamendemen, yaitu karena pasal-pasal dalam UUD 1945 asli yang jumlahnya terlalu sedikit dan
mudah menimbulkan multitafsir. Sementara itu, tujuan dari perubahan-perubahan UUD 1945
tersebut sebagian besar berupa penyempurnaan atas aturan-aturan dasar seperti tatanan
negara, kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, eksistensi
negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan
aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dilakukan dengan beberapa syarat, di
antaranya adalah Pembukaan UUD 1945 tidak boleh berubah, bentuk negara tetap dalam
bentuk negara kesatuan, serta sistem pemerintahan tetap dalam bentuk sistem presidensial.
Kata "Allah" dalam Pembukaan UUD 45 masih dimungkinkan untuk diamandemen menjadi
"Tuhan", sesuai perjanjian usulan yang diterima oleh Sukarno dan kelompok kebangsaan dari
perwakilan Bali, I Gusti Ketut Pudja, namun hal ini belum dilakukan pada masa amandemen
Konstitusi tahun 1999-2002.[30][31]

Ketentuan perubahan
Sebelum amendemen, ketentuan perubahan di dalam UUD 1945 hanya memberikan syarat
bahwa anggota MPR yang hadir dalam sidang pengubahan UUD harus berjumlah dua pertiga
(2/3) dari keseluruhan anggota dan putusan perubahan UUD hanya bisa dilakukan bila
mendapat persetujuan dari 2/3 anggota MPR.
Setelah perubahan keempat, ketentuan perubahan UUD tersebut menjadi lebih mendetail. Suatu
usulan perubahan dapat diagendakan dalam sidang MPR bila diajukan oleh sepertiga (1/3) dari
keseluruhan anggota dan usulan tersebut harus dituliskan secara mendetail. Dan sama seperti
sebelum amendemen, anggota MPR yang hadir dalam sidang pengubahan UUD harus
setidaknya 2/3 dari jumlah anggota. Namun tidak seperti sebelumnya, putusan perubahan UUD
hanya bisa dilakukan bila mendapat persetujuan dari 50% ditambah satu anggota dari
keseluruhan jumlah anggota MPR. Selain itu, terdapat ayat pembatasan perubahan UUD
(entrenchment clause) yang menyatakan bahwa khusus bentuk "Negara Kesatuan Republik
Indonesia" tidak dapat diubah.

Daftar
Berikut ini merupakan daftar perubahan UUD yang telah disahkan sebagai bagian dari UUD
1945 yang utuh dan tidak terpisahkan.
Perubahan pertama

Wikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:


Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Artikel utama: Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disahkan
dalam Rapat Paripurna MPR ke-12 pada tanggal 19 Oktober 1999, yang merupakan rangkaian
dari Sidang Umum (Tahunan) MPR Tahun 1999 yang berlangsung pada tanggal 14–21
Oktober 1999. Perubahan ini secara garis besar bertujuan untuk membuat kekuasaan legislatif
dan eksekutif lebih seimbang dan sejajar, serta membatasi masa jabatan Presiden.[32][33]
Dalam perubahan pertama ini, MPR mengubah beberapa pasal, yaitu Pasal 5 Ayat (1), Pasal 7,
Pasal 9, Pasal 13 Ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 Ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Pasal
21.
Perubahan kedua

Wikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:


Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Artikel utama: Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disahkan
dalam Rapat Paripurna MPR ke-9 pada tanggal 18 Agustus 2000, yang merupakan rangkaian
dari Sidang Umum (Tahunan) MPR Tahun 2000 yang berlangsung pada tanggal 7–18 Agustus
2000. Perubahan tersebut utamanya bertujuan melakukan penguatan otonomi daerah,
penguatan peran legislatif, jaminan HAM dalam konstitusi, penguatan peran TNI dan Polri, dan
penambahan identitas nasional.[32][33]
Dalam perubahan kedua tersebut, MPR mengubah dan/atau menambahkan beberapa pasal dan
bab, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 Ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A,
Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 25E,[b] Bab X, Pasal 26 Ayat (2) dan Ayat (3), Pasal 27 Ayat (3), Bab
XA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H,
Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C.
Perubahan ketiga

Wikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:


Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Artikel utama: Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disahkan
dalam Rapat Paripurna MPR ke-7 pada tanggal 9 November 2001, yang merupakan rangkaian
dari Sidang Umum (Tahunan) MPR Tahun 2001 yang berlangsung pada tanggal 1–9 November
2001. Perubahan ini terutama memberi penguatan pada kekuasaan kehakiman (yudikatif) agar
sejajar dengan kekuasaan legislatif dan eksekutif, menambah DPD ke dalam susunan lembaga
legislatif, memperbarui kelembagaan BPK, dan memperjelas mekanisme demokrasi dalam tata
negara.[32][33]
Dalam perubahan ketiga ini, MPR mengubah dan/atau menambahkan beberapa pasal dan bab,
yaitu Pasal 1 Ayat (2) dan (3); Pasal 3 Ayat (1), (3),[b] dan (4);[b] Pasal 6 Ayat (1), dan (2); Pasal
6A Ayat (1), (2), (3), dan (5); Pasal 7A; Pasal 7B Ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7); Pasal 7C;
Pasal 8 Ayat (1) dan (2); Pasal 11 Ayat (2) dan (3); Pasal 17 Ayat (4); Bab VIIA, Pasal 22C Ayat
(1), (2), (3), dan (4); Pasal 22D Ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab VIIB, Pasal 22E Ayat (1), (2), (3),
(4), (5), dan (6); Pasal 23 Ayat (1), (2), dan (3); Pasal 23A; Pasal 23C; Bab VIIIA, Pasal 23E Ayat
(1), (2), dan (3); Pasal 23F Ayat (1) dan (2); Pasal 23G Ayat (1) dan (2); Pasal 24 Ayat (1) dan
(2); Pasal 24A Ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 24B Ayat (1), (2), (3), dan (4); serta Pasal
24C Ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6).
Perubahan keempat

Wikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:


Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Artikel utama: Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disahkan
dalam Rapat Paripurna MPR ke-6 pada tanggal 10 Agustus 2002, yang merupakan rangkaian
dari Sidang Umum (Tahunan) MPR Tahun 2002 yang berlangsung pada tanggal 1–11
Agustus 2002. Perubahan tersebut menitiberatkan pada penyempurnaan ayat-ayat atau pasal-
pasal tunggal yang hilang serta penyempurnaan pasal-pasal di bidang pendidikan, kebudayaan,
perekonomian, keuangan, dan kesejahteraan sosial.[32][33]
Dalam perubahan keempat ini, MPR menetapkan beberapa hal, antara lain sebagai berikut.

1. Pernyataan MPR mengenai naskah UUD 1945.


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana
telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga dan perubahan keempat
ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan
Dekret Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi
pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

2. Penambahkan pernyataan penutup pada naskah perubahan kedua (sebelum


kolom-kolom tanda tangan) yang hilang.
3. Perubahan penomoran pada Pasal 3 Ayat (3) dan (4) dalam perubahan ketiga
menjadi Pasal 3 Ayat (2) dan (3), serta Pasal 25E menjadi Pasal 25A.
4. Penghapusan Bab IV dan pemindahan Pasal 16 ke Bab III.
5. Pengubahan dan/atau penambahan Pasal 2 Ayat (1); Pasal 6A Ayat (4); Pasal 8
Ayat (3); Pasal 11 Ayat (1); Pasal 16; Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 Ayat (3);
Bab XIII, Pasal 31 Ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 23 Ayat (1) dan (2); Bab
XIV, Pasal 33 Ayat (4) dan (5); Pasal 34 Ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 37 Ayat
(1), (2), (3), (4), dan (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; serta Aturan
Tambahan Pasal I dan II.

Catatan
1. ^ Lompat ke:a b c d e f g h sebelum amendemen
2. ^ Lompat ke:a b c Ini merupakan kesalahan penomoran yang diperbaiki pada perubahan
keempat.

Referensi
1. ^ "Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan".  Pasal 9,  Undang-Undang  No.
12  Tahun  2011.
2. ^ Lompat ke:a b Maarif, Syamsul Dwi (2021-09-27). "Sistematika UUD 1945 Sebelum dan
Sesudah Amandemen". Tirto.id. Diakses tanggal  2022-01-28.
3. ^ Asshiddiqie, Jimly. "Status Keberlakuan Penjelasan UUD 1945". Hukumonline.com.
Diakses tanggal  2022-01-28.
4. ^ Lisfianti, Widya (2021-09-13). Daryono, ed. "Pembukaan UUD 1945: Sifat, Makna Tiap
Alinea dan Pokok Pikiran Pancasila". Tribunnews.com. Diakses tanggal  2022-01-28.
5. ^ Ricklefs 2005, hlm. 424.
6. ^ Adryamarthanino, Verelladevanka (2021-12-07). Ningsih, Widya Lestari, ed.  "Sidang
Pertama BPUPKI: Tokoh, Kapan, Tujuan, Proses, dan Hasil".  Kompas.com. Diakses
tanggal 2022-01-25.
7. ^ Adryamarthanino, Verelladevanka (2021-12-08). Ningsih, Widya Lestari, ed.  "Sidang
Kedua BPUPKI: Kapan, Tujuan, Agenda, dan Hasil". Kompas.com. Diakses
tanggal 2022-01-25.
8. ^ Raditya, Iswara N. (2021-08-12). "Sejarah Hasil Sidang BPUPKI Kedua: Tanggal,
Tujuan, Agenda, Anggota".  Tirto.id. Diakses tanggal 2022-01-26.
9. ^ "Perubahan Naskah Piagam Jakarta dan Rancangan UUD oleh PPKI".  Kumparan.
2021-11-24. Diakses tanggal  2022-01-27.
10. ^ Ardanareswari, Indira (2019-08-18).  "Sidang Pertama PPKI dan Detik-Detik
Pengesahan Undang Undang Dasar".  Tirto.id. Diakses tanggal 2022-01-27.
11. ^ Ricklefs 2005, hlm. 466-468.
12. ^ "Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang
Dasar Sementara Republik Indonesia".  Undang-Undang RIS  No. 7  Tahun  1950.
13. ^ "Pemilu Pertama tahun 1955".  Museum Kepresidenan Balai Kirti. 2020-09-29. Diakses
tanggal 2022-01-26.
14. ^ Gischa, Serafica (2020-02-06). Gischa, Serafica, ed. "Sejarah Pemilu 1955 di
Indonesia". Kompas.com. Diakses tanggal 2022-01-26.
15. ^ Adryamarthanino, Verelladevanka (2021-11-01). Nailufar, Nibras Nada, ed.  "Latar
Belakang Dekrit Presiden 5 Juli 1959".  Kompas.com. Diakses tanggal  2022-01-26.
16. ^ Raditya, Iswara N. (2022-01-05). "Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959: Sejarah, Alasan,
Tujuan, & Dampak".  Tirto.id. Diakses tanggal 2022-01-26.
17. ^ Ricklefs 2005, hlm. 522-526.
18. ^ Wulandari, Trisna (2021-08-19). "Periode 1959 sampai 1966, Periode Demokrasi
Terpimpin dan Penyimpangannya".  detikcom. Diakses tanggal 2022-01-27.
19. ^ Heryansyah, Tedy Rizkha (2021-07-05).  "7 Penyimpangan Demokrasi Terpimpin
terhadap Pancasila dan UUD 1945: Sejarah Kelas 9".  Ruang Guru. Diakses
tanggal 2022-01-27.
20. ^ Ricklefs 2005, hlm. 593-623.
21. ^ Welianto, Ari (2021-12-17). Welianto, Ari, ed. "Penyimpangan terhadap Pancasila pada
Masa Orde Baru". Kompas.com. Diakses tanggal 2022-01-27.
22. ^ Retno, Devita (2019-07-05).  "8 Penyimpangan Pada Masa Orde Baru dalam Bidang
Politik". Sejarah Lengkap. Diakses tanggal  2022-01-27.
23. ^ Affifah, Farrah Putri (2021-09-14). Miftah, ed.  "Amandemen UUD 1945: Pengertian,
Latar Belakang, Tujuan, dan Hasil-hasilnya". Tribunnews.com. Diakses tanggal  2022-01-
27.
24. ^ Raditya, Iswara N. (2020-12-01). "Amandemen UUD 1945 Dilakukan 4 Kali, Sejarah, &
Perubahan Pasal".  Tirto.id. Diakses tanggal 2022-01-27.
25. ^ Rizal, Jawahir Gustav (2021-09-14). Kurniawan, Rendika Ferri, ed.  "Sejarah
Amendemen UUD 1945 dari Masa ke Masa".  Kompas.com. Diakses tanggal  2022-01-
27.
26. ^ Prakoso, Juniarto (2020-12-29). "Dampak Amandemen UUD 1945 Terhadap
Masyarakat". Kumparan. Diakses tanggal  2022-01-27.
27. ^ Adnan Buyung Nasution (2001)
28. ^ "Peraturaan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat".  Ketetapan MPR  No.
I/MPR/1983.
29. ^ "Referendum".  Undang-Undang  No. 5  Tahun  1985.
30. ^ Hosen, Nadirsyah (2002-05-29). "Harga Mati Pembukaan UUD 1945".  Media ISNET.
Diakses tanggal 2022-10-5.
31. ^ Pambudi, Wahyu (2017-01-06). "SAKRALISASI PEMBUKAAN UUD 1945". ISTORIA
JURNAL PENDIDIKAN DAN SEJARAH. Diakses tanggal 2022-10-05.
32. ^ Lompat ke:a b c d Rizal, Jawahir Gustav (2021-09-14). Kurniawan, Rendika Ferri,
ed.  "Sejarah Amendemen UUD 1945 dari Masa ke Masa".  Kompas.com. Diakses
tanggal 2022-01-30.
33. ^ Lompat ke:a b c d Welianto, Ari (2020-02-06). Welianto, Ari, ed. "Amandemen UUD 1945:
Tujuan dan Perubahannya".  Kompas.com. Diakses tanggal  2022-01-30.

Daftar pustaka
 Ricklefs, Merle Calvin (2005). Syawie, Husni; Ricklefs, Merle Calvin, ed. A History of
Modern Indonesia since c. 1200 Third Edition [Sejarah Indonesia Modern 1200-
2004]. Diterjemahkan oleh Wahono, Satrio; Bilfagih, Bakar; Huda, Hasan; Helmi,
Miftah; Sutrisno, Joko; Manadi, Has. Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta. ISBN 9789791600125. OCLC 192076429.
 Ricklefs, Merle Calvin (2008). A History of Modern Indonesia since c. 1200 (E-Book
version) (edisi ke-4). New York: Palgrave Macmillan.
 Asshiddiqie, Jimly (2003). Konsolidasi Naskah UUD 1945. Jakarta: Yarsif
Watampone.
 Adnan Buyung Nasution (2001) The Transition to Democracy: Lessons from the
Tragedy of Konstituante in Crafting Indonesian Democracy, Mizan Media Utama,
Jakarta, ISBN 979-433-287-9
 Dahlan Thaib, Dr. H, (1999), Teori Hukum dan Konstitusi (Legal and Constitutional
Theory), Rajawali Press, Jakarta, ISBN 979-421-674-7
 Denny Indrayana (2008) Indonesian Constitutional Reform 1999-2002: An
Evaluation of Constitution-Making in Transition, Kompas Book Publishing,
Jakarta ISBN 978-979-709-394-5.
 Jimly Asshiddiqie (2005), Konstitusi dan Konstitutionalisme Indonesia (Indonesia
Constitution and Constitutionalism), MKRI, Jakarta.
 Jimly Asshiddiqie (1994), Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia (The Idea of People's Sovereignty in the Constitution),
Ichtiar Baru - van Hoeve, Jakarta, ISBN 979-8276-69-8.
 Jimly Asshiddiqie (2009), The Constitutional Law of Indonesia, Maxwell Asia,
Singapore.
 Jimly Asshiddiqie (2005), Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi
(Constitutional Law and the Pillars of Democracy), Konpres, Jakarta, ISBN 979-
99139-0-X.
 R.M.A.B. Kusuma, (2004) Lahirnya Undang Undang Dasar 1945 (The Birth of the
1945 Constitution),Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, ISBN 979-8972-28-7.
 Nadirsyah Hosen, (2007) Shari'a and Constitutional Reform in Indonesia, ISEAS,
Singapore
 Saafroedin Bahar,Ananda B.Kusuma,Nannie Hudawati, eds, (1995) Risalah Sidang
Badan Penyelidik Usahah Persiapan Kemerdekaan Indonesian (BPUPKI) Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) (Minutes of the Meetings of the Agency
for Investigating Efforts for the Preparation of Indonesian Independence and the
Preparatory Committee for Indonesian Independence), Sekretariat Negara Republik
Indonesia, Jakarta
 Sri Bintang Pamungkas (1999), Konstitusi Kita dan Rancangan UUD-1945 Yang
Disempurnakan (Our Constitution and a Proposal for an Improved Version of the
1945 Constitution), Partai Uni Demokrasi, Jakarta, No ISBN

Anda mungkin juga menyukai