UUD 1945, terkadang juga disingkat UUD '45, UUD RI 1945, atau UUD NRI 1945
adalah konstitusi dan sumber hukum tertinggi yang berlaku di Republik Indonesia. UUD
1945 menjadi perwujudan dari dasar negara (ideologi) Indonesia, yaitu Pancasila, yang
disebutkan secara gamblang dalam Pembukaan UUD 1945.
Perumusan UUD 1945 dimulai dengan kelahiran dasar negara Pancasila pada tanggal 1 Juni
1945 dalam sidang pertama BPUPKI. Perumusan UUD yang rill sendiri mulai dilakukan
pada tanggal 10 Juli 1945 dengan dimulainya sidang kedua BPUPK untuk menyusun
konstitusi. UUD 1945 diberlakukan secara resmi sebagai konstitusi negara Indonesia
oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Pemberlakuannya sempat dihentikan selama 9
tahun dengan berlakunya Konstitusi RIS dan UUDS 1950. UUD 1945 kembali berlaku
sebagai konstitusi negara melalui Dekret Presiden yang dikeluarkan oleh Presiden
Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959. Setelah memasuki masa reformasi, UUD 1945 mengalami
empat kali perubahan (amendemen) dari tahun 1999–2002.
UUD 1945 memiliki otoritas hukum tertinggi dalam sistem pemerintahan negara Indonesia,
sehingga seluruh lembaga negara di Indonesia harus tunduk pada UUD 1945 dan
penyelenggaraan negara harus mengikuti ketentuan UUD 1945. Selain itu, setiap peraturan
perundang-undangan di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah
Konstitusi berwenang melakukan pengujian atas undang-undang, sementara Mahkamah
Agung atas peraturan di bawah undang-undang, yang bertentangan dengan ketentuan UUD
1945.[1]
Wewenang untuk melakukan pengubahan terhadap UUD 1945 dimiliki Majelis
Permusyawaratan Rakyat, seperti yang telah dilakukan oleh lembaga ini sebanyak empat kali.
Ketentuan mengenai perubahan UUD 1945 diatur dalam Pasal 37 UUD 1945.
UUD 1945 telah mengalami perubahan struktur yang signifikan semenjak UUD 1945
diamendemen sebanyak empat kali. Bahkan, diperkirakan hanya 11% dari keseluruhan isi
UUD yang tetap sama seperti sebelum adanya perubahan UUD. Sebelum diamendemen,
UUD 1945 terdiri atas:
• Alinea I bermakna bahwa bangsa Indonesia anti penjajahan, karena penjajahan tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Kemudian, bangsa Indonesia juga
mengakui bahwa setiap bangsa berhak untuk merdeka. oleh karena itu bangsa Indonesia
mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa di dunia.
• Alinea II menggambarkan cita-cita luhur bangsa Indonesia yaitu ingin mewujudkan
negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
• Alinea III berisi pernyataan kemerdekaan Indonesia, dan juga pengakuan bangsa
Indonesia bahwa kemerdekaan yang dicapai adalah berkat rahmat Tuhan dan bukan
semata-mata hasil perjuangan bangsa Indonesia sendiri.
• Alinea IV memuat tujuan dibentuknya pemerintahan dan negara Republik Indonesia, serta
memuat dasar negara Pancasila.
Batang Tubuh
Batang Tubuh UUD 1945 merupakan bagian isi dari UUD 1945 yang berupa pasal-pasal dan
ayat-ayat. Batang Tubuh terdiri dari 16 bab, yang terdiri dari 37 pasal atau 194 ayat. Materi
muatan Batang Tubuh ini berisi garis-garis besar berupa identitas negara, lembaga tinggi
negara, warga negara, sosial ekonomi, hak asasi manusia, demografi, dan aturan perubahan
UUD.
Bab VII terdiri dari 7 pasal atau 18 ayat. Bab VI mengatur hal-hal utama mengenai
lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI atau DPR) dan
pembentukan undang-undang (UU). Isi Bab VII berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
Bab VIIIA terdiri dari tiga pasal atau 7 ayat. Bab VIIIA mengatur hal-hal mengenai
lembaga Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI atau BPK). Isi Bab VIIIA
berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
• Pasal 31: jaminan untuk warga negara memperoleh pendidikan dan kewajiban
mengenyam pendidikan, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
• Pasal 32: pengembangan nilai dan kekayaan budaya nasional.
Bab XIV: Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial
Bab XIV terdiri dari dua pasal dan 9 ayat. Bab XIV mengatur garis-garis
besar perekonomian nasional dan program kesejahteraan sosial. Isi Bab XIV berdasarkan
pasal-pasal, yaitu:
• Pasal 33: mekanisme perekonomian nasional dan pengelolaan sumber daya vital dalam
negeri.
• Pasal 34: pemeliharaan orang miskin dan anak terlantar, serta pengadaan jaminan
sosial, fasilitas kesehatan, dan fasilitas umum.
Bab XV: Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan
• Pasal I memberi tugas pada MPR untuk menyaring Ketetapan MPR dan MPRS sebelum
sidang umum berikutnya (pada tahun 2003).
• Pasal II menegaskan bahwa UUD 1945 terdiri dari Pembukaan dan pasal-pasal.
Sejarah Perumusan
Sidang pertama PPKI (18 Agustus 1945) yang menghasilkan salah satunya pengesahan UUD
1945 sebagai konstitusi negara.
Setelah Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang merupakan kelanjutan
dari BPUPK mengadakan sidang pertamanya pada tanggal 18 Agustus. Sidang tersebut
kemudian menghasilkan, salah satunya, penetapan rancangan Pembukaan dan Batang Tubuh
UUD yang dihasilkan BPUPK sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang sah. Namun sebelum itu, PPKI melakukan beberapa perubahan pada
naskah UUD hasil rancangan BPUPK, terutama pada bagian-bagian yang dianggap lebih
menonjolkan agama Islam. Perubahan-perubahan tersebut di antaranya:[9][10]
• Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 dan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 yang di
antaranya berisi pernyataan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945
dan tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
• Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang salah satunya
menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus
minta pendapat rakyat melalui referendum.
Meskipun penyimpangan UUD 1945 secara eksplisit tidak tampak pada zaman Orde Baru,
terdapat beberapa penyimpangan Pancasila sebagai dasar dari UUD 1945 yang dilakukan
oleh pemerintahan Orde Baru. Penyimpangan-penyimpangan tersebut, yakni:[21][22]
• Konsep Pancasila masih ditafsirkan sepihak oleh Soeharto, dan terlebih lagi digunakan
sebagai alat legitimasi politik untuk menguasai rakyat.
• Pemusatan kekuasaan pada presiden yang masih terjadi di tangan Soeharto, meskipun
pemusatan tersebut lebih terstruktur. Soeharto hanya mempercayakan orang-orang
terdekatnya untuk menguasai perusahaan besar negara.
• Pemerintahan Soeharto yang melarang adanya kritikan-kritikan untuk pemerintah dengan
alasan menganggu kestablilan negara, termasuk juga pers.
• Hak-hak politik dibatasi oleh pemerintah dengan mengurangi jumlah partai politik yang
resmi menjadi tinggal tiga.
Proses perubahan
Sistem politik Indonesia sebelum dan setelah amendemen (dalam bahasa Inggris).
Setelah pemerintahan Orde Baru jatuh dan masa reformasi dimulai, terdapat banyak tuntutan
untuk melakukan pengubahan pada naskah UUD 1945. Alasan adanya tuntutan perubahan
UUD 1945 tersebut antara lain karena kenyataan bahwa kekuasaan tertinggi bukan di tangan
rakyat tetapi di tangan MPR yang dikuasai pemerintah, kekuasaan yang terlalu besar pada
presiden, banyaknya pasal-pasal yang menimbulkan multitafsir, serta kenyataan bahwa isi
rumusan UUD 1945 yang mengatur penyelenggaraan negara yang belum cukup. Latar
belakang dari tuntutan tersebut dapat dilihat dari bukti bahwa banyaknya penyimpangan-
penyimpangan UUD 1945 yang dapat terjadi di masa-masa sebelumnya. Oleh sebab itu, MPR
mengadakan sidang-sidang umum yang menghasilkan perubahan (amendemen) UUD 1945
sebanyak empat kali.[23][24][25]
• Perubahan pertama dilakukan pada Sidang Umum MPR 1999 yang berlangsung antara
14–21 Oktober 1999.
• Perubahan kedua dilakukan pada Sidang Umum MPR 2000 yang berlangsung antara 7–
18 Agustus 2000.
• Perubahan ketiga dilakukan pada Sidang Umum MPR 2001 yang berlangsung antara 1–9
November 2001.
• Perubahan keempat dilakukan pada Sidang Umum MPR 2002 yang berlangsung antara
1–11 Agustus 2002.
Setelah amendemen, dampak yang paling terasa adalah pembagian kekuasaan yang lebih
setara dan seimbang, tidak ada lagi lembaga pemerintahan tertinggi, sehingga lembaga
pemerintahan yang diatur di dalam UUD 1945 menjadi lembaga tinggi negara yang masing-
masing dapat saling mengawasi dan bekerja sama tetapi tidak boleh mengontrol satu sama
lain. Lembaga-lembaga tersebut juga memiliki wewenang, batasan, dan cara pengangkatan
yang lebih jelas setelah amendemen, sehingga lembaga-lembaga tersebut dapat menjalankan
peran yang semestinya. Selain itu, adanya hak-hak asasi manusia (HAM) yang diatur dalam
UUD 1945 menjadikan HAM sebagai salah satu tujuan konstitusi.[26]
Perubahan
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan
proses untuk mengubah salah satu atau beberapa pasal yang terdapat dalam Batang Tubuh
UUD 1945. Perubahan UUD ini merupakan salah satu wewenang dari MPR-RI yang diatur
dalam UUD 1945. Sepanjang sejarah, MPR telah melakukan empat kali pengubahan pada
UUD 1945.
Latar belakang
Meskipun Soekarno sendiri sebagai Presiden Indonesia pertama
mengeluarkan dekret presiden untuk memberlakukan kembali UUD 1945, beliau selalu
menganggap bahwa UUD 1945 merupakan konstitusi yang tidak lengkap. Namun
semenjak Soeharto menjabat sebagai presiden pada tahun 1967, pemerintahan rezim Orde
Baru selalu menolak menyetujui bentuk perubahan (amendemen) apa pun itu terhadap UUD
1945. Mereka menganggap bahwa UUD 1945 merupakan konstitusi yang bersifat final dan
"kemurniannya" harus tetap dilindungi.[27] Pada tahun 1983, MPR, melalui Ketetapan MPR
Nomor I/MPR/1983, menetapkan posisi untuk tidak melakukan pengubahan pada UUD 1945.
Meskipun begitu, MPR juga mengatur ketentuan untuk mengubah UUD 1945 pada ketetapan
MPR yang sama. Namun, ketentuan tersebut menyebutkan syarat keharusan untuk
mengadakan referendum yang telah disetujui oleh Presiden atas rancangan amendemen UUD
yang telah diloloskan oleh MPR.[28] Terlebih lagi, UU No. 5 Tahun 1985 yang mengatur
tentang referendum atas perubahan UUD 1945 menyatakan bahwa referendum tersebut harus
mencapai partisipasi pemilih minimum sebesar 90% dan hasil suara dukungan minimum
sebesar 90% agar proses amendemen dapat dilanjutkan dan perubahan UUD dapat
disahkan.[29] Peraturan-peraturan ini membuat pengubahan UUD 1945 semakin sulit
dilakukan, dan selain itu juga dianggap bertentangan dengan Pasal 37 UUD 1945 yang tidak
pernah menyebutkan tentang referendum.
Setelah kejatuhan rezim Soeharto pada tahun 1998, ketetapan MPR dan UU tersebut
dihapuskan, sehingga membuka jalan yang lebih lebar untuk dilakukannya amendemen UUD
1945. Akhirnya pada tahun 1999–2002, UUD 1945 mengalami perubahan (amendemen)
sebanyak empat kali yang seluruhnya diputuskan dalam sidang-sidang umum MPR.
Asal dan tujuan
Berkaca dari penyimpangan-penyimpangan UUD 1945 yang terjadi pada masa Demokrasi
Terpimpin dan Orde Baru, salah satu tuntutan demonstrasi penuntut reformasi adalah
dilakukannya perubahan (amendemen) terhadap UUD 1945. Alasan-alasan terbesar UUD
1945 diamendemen, yaitu karena pasal-pasal dalam UUD 1945 asli yang jumlahnya terlalu
sedikit dan mudah menimbulkan multitafsir. Sementara itu, tujuan dari perubahan-perubahan
UUD 1945 tersebut sebagian besar berupa penyempurnaan atas aturan-aturan dasar seperti
tatanan negara, kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, eksistensi
negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan
aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dilakukan dengan beberapa syarat, di
antaranya adalah Pembukaan UUD 1945 tidak boleh berubah, bentuk negara tetap dalam
bentuk negara kesatuan, serta sistem pemerintahan tetap dalam bentuk sistem presidensial.
Kata "Allah" dalam Pembukaan UUD 45 masih dimungkinkan untuk diamandemen menjadi
"Tuhan", sesuai perjanjian usulan yang diterima oleh Sukarno dan kelompok kebangsaan dari
perwakilan Bali, I Gusti Ketut Pudja, namun hal ini belum dilakukan pada masa amandemen
Konstitusi tahun 1999-2002.[30][31]
Ketentuan perubahan
Sebelum amendemen, ketentuan perubahan di dalam UUD 1945 hanya memberikan syarat
bahwa anggota MPR yang hadir dalam sidang pengubahan UUD harus berjumlah dua pertiga
(2/3) dari keseluruhan anggota dan putusan perubahan UUD hanya bisa dilakukan bila
mendapat persetujuan dari 2/3 anggota MPR.
Setelah perubahan keempat, ketentuan perubahan UUD tersebut menjadi lebih mendetail.
Suatu usulan perubahan dapat diagendakan dalam sidang MPR bila diajukan oleh sepertiga
(1/3) dari keseluruhan anggota dan usulan tersebut harus dituliskan secara mendetail. Dan
sama seperti sebelum amendemen, anggota MPR yang hadir dalam sidang pengubahan UUD
harus setidaknya 2/3 dari jumlah anggota. Namun tidak seperti sebelumnya, putusan
perubahan UUD hanya bisa dilakukan bila mendapat persetujuan dari 50% ditambah satu
anggota dari keseluruhan jumlah anggota MPR. Selain itu, terdapat ayat pembatasan
perubahan UUD (entrenchment clause) yang menyatakan bahwa khusus bentuk "Negara
Kesatuan Republik Indonesia" tidak dapat diubah.
Daftar
Berikut ini merupakan daftar perubahan UUD yang telah disahkan sebagai bagian dari UUD
1945 yang utuh dan tidak terpisahkan.
Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disahkan
dalam Rapat Paripurna MPR ke-12 pada tanggal 19 Oktober 1999, yang merupakan
rangkaian dari Sidang Umum (Tahunan) MPR Tahun 1999 yang berlangsung pada
tanggal 14–21 Oktober 1999. Perubahan ini secara garis besar bertujuan untuk membuat
kekuasaan legislatif dan eksekutif lebih seimbang dan sejajar, serta membatasi masa jabatan
Presiden.[32][33]
Dalam perubahan pertama ini, MPR mengubah beberapa pasal, yaitu Pasal 5 Ayat (1), Pasal
7, Pasal 9, Pasal 13 Ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 Ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan
Pasal 21.