Anda di halaman 1dari 13

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

UUD 1945, terkadang juga disingkat UUD '45, UUD RI 1945, atau UUD NRI 1945
adalah konstitusi dan sumber hukum tertinggi yang berlaku di Republik Indonesia. UUD
1945 menjadi perwujudan dari dasar negara (ideologi) Indonesia, yaitu Pancasila, yang
disebutkan secara gamblang dalam Pembukaan UUD 1945.
Perumusan UUD 1945 dimulai dengan kelahiran dasar negara Pancasila pada tanggal 1 Juni
1945 dalam sidang pertama BPUPKI. Perumusan UUD yang rill sendiri mulai dilakukan
pada tanggal 10 Juli 1945 dengan dimulainya sidang kedua BPUPK untuk menyusun
konstitusi. UUD 1945 diberlakukan secara resmi sebagai konstitusi negara Indonesia
oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Pemberlakuannya sempat dihentikan selama 9
tahun dengan berlakunya Konstitusi RIS dan UUDS 1950. UUD 1945 kembali berlaku
sebagai konstitusi negara melalui Dekret Presiden yang dikeluarkan oleh Presiden
Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959. Setelah memasuki masa reformasi, UUD 1945 mengalami
empat kali perubahan (amendemen) dari tahun 1999–2002.
UUD 1945 memiliki otoritas hukum tertinggi dalam sistem pemerintahan negara Indonesia,
sehingga seluruh lembaga negara di Indonesia harus tunduk pada UUD 1945 dan
penyelenggaraan negara harus mengikuti ketentuan UUD 1945. Selain itu, setiap peraturan
perundang-undangan di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah
Konstitusi berwenang melakukan pengujian atas undang-undang, sementara Mahkamah
Agung atas peraturan di bawah undang-undang, yang bertentangan dengan ketentuan UUD
1945.[1]
Wewenang untuk melakukan pengubahan terhadap UUD 1945 dimiliki Majelis
Permusyawaratan Rakyat, seperti yang telah dilakukan oleh lembaga ini sebanyak empat kali.
Ketentuan mengenai perubahan UUD 1945 diatur dalam Pasal 37 UUD 1945.
UUD 1945 telah mengalami perubahan struktur yang signifikan semenjak UUD 1945
diamendemen sebanyak empat kali. Bahkan, diperkirakan hanya 11% dari keseluruhan isi
UUD yang tetap sama seperti sebelum adanya perubahan UUD. Sebelum diamendemen,
UUD 1945 terdiri atas:

1. Pembukaan, yang terdiri dari empat alinea.


2. Batang Tubuh, yang terdiri dari:
o 16 bab, 37 pasal, atau 65 ayat aturan utama.
o 4 pasal aturan peralihan.
o 2 ayat aturan pertambahan.
3. Penjelasan, yang terdiri dari penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.
Setelah diamendemen, UUD 1945 saat ini (menurut Pasal II Aturan Tambahan UUD 1945)
terdiri atas:[2]

1. Pembukaan, yang terdiri dari empat alinea.Pasal, yang terdiri dari:


o 21 bab, 73 pasal, atau 194 ayat aturan utama.
o 3 pasal aturan peralihan.
o 2 pasal aturan tambahan.
Meskipun bagian "Penjelasan UUD 1945" tidak disebutkan secara formal dari UUD 1945
setelah perubahan keempat, isi-isi dari bagian Penjelasan telah diintegrasikan secara materiel
ke dalam Batang Tubuh dan masih menjadi bagian tidak terpisahkan dari UUD 1945.[3]
Berikut ini merupakan struktur UUD 1945 dalam satu naskah (setelah amendemen keempat).
Pembukaan
Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian pendahuluan dari UUD 1945 yang berupa teks
empat alinea. Setiap alinea dalam Pembukaan mempunyai makna yang berbeda-beda, yaitu:[4]

• Alinea I bermakna bahwa bangsa Indonesia anti penjajahan, karena penjajahan tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Kemudian, bangsa Indonesia juga
mengakui bahwa setiap bangsa berhak untuk merdeka. oleh karena itu bangsa Indonesia
mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa di dunia.
• Alinea II menggambarkan cita-cita luhur bangsa Indonesia yaitu ingin mewujudkan
negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
• Alinea III berisi pernyataan kemerdekaan Indonesia, dan juga pengakuan bangsa
Indonesia bahwa kemerdekaan yang dicapai adalah berkat rahmat Tuhan dan bukan
semata-mata hasil perjuangan bangsa Indonesia sendiri.
• Alinea IV memuat tujuan dibentuknya pemerintahan dan negara Republik Indonesia, serta
memuat dasar negara Pancasila.
Batang Tubuh
Batang Tubuh UUD 1945 merupakan bagian isi dari UUD 1945 yang berupa pasal-pasal dan
ayat-ayat. Batang Tubuh terdiri dari 16 bab, yang terdiri dari 37 pasal atau 194 ayat. Materi
muatan Batang Tubuh ini berisi garis-garis besar berupa identitas negara, lembaga tinggi
negara, warga negara, sosial ekonomi, hak asasi manusia, demografi, dan aturan perubahan
UUD.

Bab I: Bentuk dan Kedaulatan


Bab I terdiri dari satu pasal atau 3 ayat. Bab I (yang hanya terdiri dari Pasal 1) menyatakan
bentuk negara Indonesia sebagai negara kesatuan republik, kedaulatan negara berada di
tangan rakyat, dan sistem negara Indonesia sebagai negara hukum.
Bab II: Majelis Permusyawaratan Rakyat
Lambang MPR-RI
Bab II terdiri dari dua pasal atau 5 ayat. Bab II mengatur hal-hal mengenai lembaga Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI atau MPR). Isi Bab II berdasarkan
pasal-pasal, yaitu:

• Pasal 2: susunan, sidang, dan putusan MPR.


• Pasal 3: wewenang MPR.

Bab III: Kekuasaan Pemerintahan Negara


Bab III terdiri dari 17 pasal atau 38 ayat, sehingga menjadi bab dengan jumlah pasal dan ayat
terbanyak di dalam UUD ini. Bab III mengatur hal-hal yang menyangkut Presiden dan Wakil
Presiden Republik Indonesia. Isi Bab III berdasarkan pasal-pasal, yaitu:
• Pasal 4: Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara, dengan dibantu
oleh Wakil Presiden.
• Pasal 5: wewenang Presiden mengenai peraturan perundang-undangan.
• Pasal 6: syarat calon Presiden dan Wakil Presiden.
• Pasal 6A: tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
• Pasal 7: periode jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
• Pasal 7A: alasan pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
• Pasal 7B: tata cara pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
• Pasal 7C: Presiden yang tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR.
• Pasal 8: prosedur bila terjadi kekosongan jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
• Pasal 9: sumpah atau janji Presiden dan Wakil Presiden dalam pelantikan.
• Pasal 10: kekuasaan tertinggi kemiliteran di tangan Presiden.
• Pasal 11: hubungan internasional yang dibuat Presiden Indonesia.
• Pasal 12: wewenang Presiden dalam menyatakan keadaan bahaya
• Pasal 13: pengangkatan dan penerimaan duta dan konsul oleh Presiden.
• Pasal 14: pemberian grasi, rehabilitasi, amnesti, dan abolisi oleh Presiden.
• Pasal 15: pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lain oleh Presiden.
• Pasal 16: pembentukan dewan pertimbangan.

Bab IV: Dewan Pertimbangan Agung


Setelah amendemen keempat, isi Bab IV dihapuskan. Dengan kata lain, keberadaan Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) dihapuskan dari struktur Pemerintahan Indonesia. Peran DPA
digantikan oleh suatu dewan pertimbangan seperti yang disebutkan dalam Bab III Pasal 16
UUD 1945.
Bab V: Kementerian Negara
Bab V terdiri dari satu pasal atau 4 ayat. Bab V (yang hanya terdiri dari Pasal 17) mengatur
hal-hal mengenai lembaga-lembaga Kementerian Negara.
Bab VI: Pemerintahan Daerah
Bab VI terdiri dari tiga pasal atau 4 ayat. Bab VI mengatur hal-hal mengenai pemerintahan
daerah di Indonesia, khususnya pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota. Isi Bab
VI berdasarkan pasal-pasal, yaitu:

• Pasal 18: ciri-ciri wilayah admistratif di Indonesia beserta pemerintahan daerahnya.


• Pasal 18A: hubungan pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.
• Pasal 18B: satuan pememerintahan daerah khusus dan kesatuan masyarakat hukum adat.
Bab VII: Dewan Perwakilan Rakyat

Bab VII terdiri dari 7 pasal atau 18 ayat. Bab VI mengatur hal-hal utama mengenai
lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI atau DPR) dan
pembentukan undang-undang (UU). Isi Bab VII berdasarkan pasal-pasal, yaitu:

• Pasal 19: pemilihan anggota, susunan, dan sidang DPR.


• Pasal 20: wewenang DPR dalam membuat UU.
• Pasal 20A: fungsi, hak, dan hak anggota DPR.
• Pasal 21: pengajuan UU oleh DPR.
• Pasal 22: peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).
• Pasal 22A: tata cara pembentukan UU.
• Pasal 22B: pemberhentian anggota DPR.
• Bab VIIA: Dewan Perwakilan Daerah
Bab VIIA terdiri dari dua pasal atau 8 ayat. Bab VIIA mengatur hal-hal mengenai
lembaga Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI atau DPD). Isi Bab VIIA
berdasarkan pasal-pasal, yaitu:

• Pasal 22C: pemilihan anggota, susunan, dan sidang DPD.


• Pasal 22D: wewenang dan pemberhentian anggota DPD.
Bab VIIB: Pemilihan Umum
Bab VIIB terdiri dari satu pasal atau 6 ayat. Bab VIIB (yang hanya terdiri dari Pasal 22E)
mengatur pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia.
Bab VIII: Hal Keuangan
Bab VIII terdiri dari 5 pasal atau 7 ayat. Bab VIII mengatur hal-hal yang berhubungan
dengan keuangan negara. Isi Bab VIII berdasarkan pasal-pasal, yaitu:

• Pasal 23: anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).


• Pasal 23A: pajak dan pungutan lain.
• Pasal 23B: mata uang.
• Pasal 23C: hal-hal keuangan negara lainnya.
• Pasal 23D: bank sentraBab VIIIA: Badan Pemeriksa Keuangan

Bab VIIIA terdiri dari tiga pasal atau 7 ayat. Bab VIIIA mengatur hal-hal mengenai
lembaga Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI atau BPK). Isi Bab VIIIA
berdasarkan pasal-pasal, yaitu:

• Pasal 23E: tugas BPK.


• Pasal 23F: susunan BPK.
• Pasal 23G: kedudukan BPK.
• Bab IX: Kekuasaan Kehakiman
Bab IX terdiri dari 5 pasal atau 19 ayat. Bab IX mengatur segala hal mengenai lembaga
dan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Isi Bab IX berdasarkan pasal-pasal, yaitu:

• Pasal 24: garis besar kekuasaan kehakiman di Indonesia.


• Pasal 24A: Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI atau MA).
• Pasal 24B: Komisi Yudisial Republik Indonesia (KY-RI atau KY).
• Pasal 24C: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI atau MK).
• Pasal 25: syarat-syarat menjadi hakim.
Bab IXA: Wilayah Negara
Bab IXA terdiri dari satu pasal atau satu ayat. Bab IXA (yang hanya terdiri dari Pasal 25A)
mengatur wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bab X: Warga Negara dan Penduduk
Bab X terdiri dari tiga pasal atau 7 ayat. Bab X mengatur pengertian, hak, dan kewajiban
dari warga negara dan penduduk Indonesia. Isi Bab X berdasarkan pasal-pasal, yaitu:

• Pasal 26: pengertian warga negara dan penduduk.


• Pasal 27: hak dan kewajiban utama sebagai warga negara.
• Pasal 28: kebebasan berserikat dan berpendapat.
Bab XA: Hak Asasi Manusia
Bab XA terdiri dari 10 pasal atau 26 ayat. Bab XA memuat segala hak asasi manusia (HAM)
yang dijamin oleh UUD ini. Isi Bab XA berdasarkan pasal-pasal, yaitu:

• Pasal 28A: hak hidup dan mempertahankan hidup


• Pasal 28B: hak berkeluarga dan hak anak
• Pasal 28C: hak mengembangkan diri, hak memanfaatkan pendidikan dan budaya, serta
hak memajukan diri untuk memperjuangkan hak kelompoknya.
• Pasal 28D: hak keadilan dalam hukum, pekerjaan, dan pemerintahan, serta hak
kewarganegaraan.
• Pasal 28E: hak kebebasan memeluk agama atau meyakini kepercayaan, serta hak
berserikat dan berpendapat.
• Pasal 28F: hak berkomunikasi dan bertukar informasi.
• Pasal 28G: hak perlindungan individu dan kelompok, hak bebas dari perbudakan, dan hak
mencari suaka.
• Pasal 28H: hak hidup sejahtera, hak mendapat keadilan dan persamaan hak, hak jaminan
sosial, serta hak milik pribadi.
• Pasal 28I: HAM yang tidak dapat dikurangi, hak bebas dari diskriminasi, identitas budaya
dan hak masyarakat tradisional, serta peran negara atas HAM.
• Pasal 28J: kewajiban menghormati HAM orang lain dan pembatasan HAM dalam kasus
khusus oleh UU.
Bab XI: Agama
Bab XI terdiri dari satu pasal atau dua ayat. Bab XI (yang hanya terdiri dari Pasal 29)
menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan mengatur jaminan
kebebasan beragama dan beribadat sesuai agamanya.
Bab XII: Pertahanan dan Keamanan Negara
Bab XII terdiri dari satu pasal dan 5 ayat. Bab XII (yang hanya terdiri dari Pasal 30)
mengatur sistem pertahanan dan keamanan negara, terutama mengenai satuan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), serta
keterlibatan warga negara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
Bab XIII: Pendidikan dan Kebudayaan
Bab XIII terdiri dari dua pasal dan 7 ayat. Bab XIII mengatur pendidikan nasional untuk
warga negara dan kemajuan kebudayaan nasional. Isi Bab XIII berdasarkan pasal-pasal,
yaitu:

• Pasal 31: jaminan untuk warga negara memperoleh pendidikan dan kewajiban
mengenyam pendidikan, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
• Pasal 32: pengembangan nilai dan kekayaan budaya nasional.
Bab XIV: Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial
Bab XIV terdiri dari dua pasal dan 9 ayat. Bab XIV mengatur garis-garis
besar perekonomian nasional dan program kesejahteraan sosial. Isi Bab XIV berdasarkan
pasal-pasal, yaitu:

• Pasal 33: mekanisme perekonomian nasional dan pengelolaan sumber daya vital dalam
negeri.
• Pasal 34: pemeliharaan orang miskin dan anak terlantar, serta pengadaan jaminan
sosial, fasilitas kesehatan, dan fasilitas umum.
Bab XV: Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan

Bendera Sang Merah Putih dan Garuda Pancasila


Bab XIV terdiri dari 5 pasal dan 5 ayat. Bab XV memberi penjelasan atas beberapa identitas
negara Indonesia. Isi Bab XV berdasarkan pasal-pasal, yaitu:

• Pasal 35: bendera negara Indonesia sebagai Sang Merah Putih.


• Pasal 36: bahasa nasional Indonesia sebagai bahasa Indonesia.
• Pasal 36A: lambang negara Indonesia sebagai Garuda Pancasila dan semboyan negara
sebagai Bhinneka Tunggal Ika.
• Pasal 36B: lagu kebangsaan Indonesia sebagai lagu Indonesia Raya.
• Pasal 36C: ketentuan lebih lanjut atas identitas-identitas negara yang disebutkan di atas.
Bab XVI: Perubahan Undang-Undang Dasar
Bab XVI terdiri dari satu pasal dan 5 ayat. Bab XVI mengatur ketentuan-ketentuan untuk
mengubah UUD ini.
Aturan Peralihan
Aturan-aturan peralihan memberikan ketentuan-ketentuan kepada pemerintah agar
penyesuaian dengan perubahan-perubahan pada UUD 1945 dapat berjalan dengan mulus.
Aturan-aturan tersebut, yaitu:

• Pasal I memberikan legitimasi terhadap undang-undang yang berlaku sebelum perubahan


UUD agar tetap berlaku hingga undang-undang pengganti disahkan menurut UUD.
• Pasal II memberikan legitimasi terhadap lembaga-lembaga yang telah usang setelah
perubahan UUD untuk tetap berfungsi sepanjang melaksanakan aturan baru dari
perubahan UUD, hingga dibentuknya lembaga yang baru menurut UUD.
• Pasal III memberikan legitimasi terhadap MA agar menjalankan kewenangan-
kewenangan MK sebelum lembaga tersebut dibentuk selambat-lambatnya pada tanggal
17 Agustus 2003.
Aturan Tambahan
Aturan-aturan tambahan memberikan ketentuan-ketentuan tambahan yang tidak perlu
disisipkan pada aturan utama dan aturan peralihan. Aturan-aturan tersebut, yakni:

• Pasal I memberi tugas pada MPR untuk menyaring Ketetapan MPR dan MPRS sebelum
sidang umum berikutnya (pada tahun 2003).
• Pasal II menegaskan bahwa UUD 1945 terdiri dari Pembukaan dan pasal-pasal.
Sejarah Perumusan

Piagam Jakarta sebagai cikal bakal Pembukaan UUD 1945


Penyusunan rancangan UUD 1945 dilakukan secara bertahap oleh Badan Penyelidik Usaha-
Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), yaitu badan yang dibentuk dengan izin Jepang
pada tanggal 29 April 1945.[5]
Sidang pertama BPUPK, yang dilaksanakan dari tanggal 28 Mei hingga 1 Juni tersebut,
menghasilkan gagasan "dasar negara", dengan mengacu pada rumusan "Pancasila" yang
digagas oleh Soekarno. Selain itu, sidang ini juga menghasilkan kesepakatan untuk
membentuk Panitia Sembilan yang akan membahas lebih jauh mengenai gagasan tersebut
agar menghasilkan rumusan yang matang.[6] Satu setengah bulan kemudian, tepatnya pada
tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan yang telah mengadakan sidang-sidang akhirnya
merampungkan rumusan dasar negara tersebut dan menamakannya Piagam Jakarta. Naskah
piagam inilah yang menjadi naskah Pembukaan UUD 1945.
Setelah itu, sidang kedua BPUPK yang berlangsung dari tanggal 10–17 Juli membahas
perihal piagam tersebut dan komponen-komponen negara, seperti bentuk negara, bentuk dan
susunan pemerintahan, kewarganegaraan, bendera dan bahasa nasional, dan sebagainya.
Setelah beberapa perdebatan mengenai Piagam Jakarta, akhirnya BPUPK merampungkan
naskah rancangan Undang-Undang Dasar (UUD) yang terdiri dari Pembukaan UUD yang
mengacu pada Piagam Jakarta dan Batang Tubuh UUD yang berisi komponen-komponen
tersebut.[7][8]
Pengesahan dan pemberlakuan

Sidang pertama PPKI (18 Agustus 1945) yang menghasilkan salah satunya pengesahan UUD
1945 sebagai konstitusi negara.
Setelah Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang merupakan kelanjutan
dari BPUPK mengadakan sidang pertamanya pada tanggal 18 Agustus. Sidang tersebut
kemudian menghasilkan, salah satunya, penetapan rancangan Pembukaan dan Batang Tubuh
UUD yang dihasilkan BPUPK sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang sah. Namun sebelum itu, PPKI melakukan beberapa perubahan pada
naskah UUD hasil rancangan BPUPK, terutama pada bagian-bagian yang dianggap lebih
menonjolkan agama Islam. Perubahan-perubahan tersebut di antaranya:[9][10]

• Kata "Mukadimah" diganti dengan kata "Pembukaan".


• Pada salah satu frasa (yang merupakan sila pertama Pancasila) dalam alinea keempat
yang berbunyi, "... dengan berdasar kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, ..." diubah menjadi "... dengan berdasar kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa, ...".
• Frasa "yang beragama Islam" dalam Pasal 6 Ayat (1) yang berbunyi "Presiden ialah
orang Indonesia asli yang beragama Islam" dihapuskan.
• Beberapa kata dalam kalimat "Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dalam Pasal 28 Ayat (1) diganti,
sehingga menjadi Pasal 29 Ayat (1) yang berbunyi "Negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa".
• Penyisipan Pasal 28 yang berbunyi "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang".
Dalam kurun waktu 1945–1950, UUD 1945 tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena
Indonesia sedang disibukkan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan pada
masa Revolusi Nasional Indonesia. Maklumat Wakil Presiden Nomor X pada tanggal 16
Oktober 1945 memutuskan bahwa kekuasaan legislatif diserahkan kepada KNIP, karena
MPR dan DPR masih belum terbentuk. Pada tanggal 14 November setelahnya, Soekarno
membentuk kabinet semiparlementer yang pertama (karena adanya jabatan Perdana Menteri
di dalamnya), sehingga peristiwa ini merupakan peristiwa perubahan pertama dari sistem
pemerintahan Indonesia yang seharusnya seperti yang disebutkan dalam UUD 1945.
Setelah Indonesia dan Belanda beberapa kali melakukan pertempuran dan perjanjian gencatan
senjata, pada tanggal 23 Agustus hingga 2 November 1949, perwakilan Republik
Indonesia, Belanda, dan Majelis Permusyawaratan Federal (BFO) bentukan Belanda
melakukan pertemuan di di Den Haag (Belanda) yang disebut Konferensi Meja
Bundar (KMB) untuk perjanjian damai terakhir kalinya dengan Belanda. KMB tersebut
menghasilkan kesepakatan bahwa kedaulatan negara Indonesia akan diberikan
kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) dan diakui oleh Belanda. RIS kemudian terbentuk
pada tanggal 27 Desember 1949. Oleh karena hal ini, UUD 1945 dibatalkan secara otomatis
setelah negara tersebut berdiri.
Pengadopsian konstitusi lainnya
Setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) dibentuk dan Indonesia menjadi negara federasi,
konstitusi yang digunakan adalah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi
RIS),[11] sedangkan UUD 1945 masih digunakan tetapi dalam lingkup negara bagian
"Republik Indonesia". Konstitusi RIS ini tidaklah bertahan lama dan akhirnya dicabut pada
tanggal 15 Agustus 1950,[12] yang diikuti dengan pembubaran negara RIS dan kembalinya
Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus.
Setelah peralihan tersebut, Indonesia memberlakukan Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia (UUDS 1950). Oleh karena itu, UUDS 1950 mengenal sistem
pemerintahan Indonesia sebagai sistem parlementer. Setelah beberapa tahun berlaku,
Indonesia pada tahun 1955 melaksanakan pemilihan umum untuk pertama kalinya dalam dua
tahap, yaitu pemilihan anggota DPR pada tanggal 29 September dan pemilihan anggota
konstituante pada tanggal 15 Desember.[13][14] Konstituante Republik Indonesia yang terdiri
atas anggota-anggota terpilih pemilu tahap kedua tersebut bertugas mengadakan sidang-
sidang untuk membahas dan merumuskan rancangan UUD yang baru menggantikan UUDS
1950. Namun badan tersebut tidak dapat menghasilkan rancangan UUD baru dan bahkan
sebagian besar anggotanya berencana untuk menarik diri dari sidang konstituante. Keadaan
genting ini memaksa Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959 yang
membubarkan badan Konstituante Republik Indonesia, memberlakukan kembali UUD 1945
dan membatalkan UUDS 1950, serta membentuk MPR dan DPA sementara secepatnya.[15][16]
Pemberlakuan kembali dan penyimpangan
Masa Demokrasi Terpimpin
Prangko "Kembali ke UUD 1945" dengan nominal 50 sen, untuk merayakan pemberlakuan
kembali UUD 1945 sebagai konstitusi negara.
Setelah pemerintah mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 yang sempat tidak
berlaku selama sembilan tahun akhirnya kembali berlaku sebagai konstitusi negara.[17] Akibat
pemberlakuan ini, jabatan Perdana Menteri Indonesia dihapuskan dan sistem pemerintahan
Indonesia kembali menganut sistem presidensial sesuai amanat UUD 1945.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, terdapat berbagai penyimpangan terhadap UUD 1945.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut di antaranya ialah:[18][19]

• Konsep Pancasila ditafsirkan sepihak oleh Soekarno.


• Konsep demokrasi terpimpin yang digagas oleh Presiden Soekarno yang menekankan
bahwa semua keputusan kenegaraan berpusat pada presiden, padahal Pemerintah
Indonesia tersebut berdasarkan sistem konstitusional dan bukan sistem absolutisme
(Penjelasan UUD[a]), sementara UUD 1945 menyiratkan bahwa kekuasaan pemerintahan
di Indonesia menganut asas pembagian kekuasaan.
• Presiden Soekarno membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS),
padahal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah kekuasaan negara tertinggi dan
lebih tinggi daripada posisi presiden (Penjelasan UUD[a]), sehingga presiden tidak berhak
untuk mengatur MPR.
• Presiden Soekarno membubarkan DPR hasil pemilu 1955 dan membentuk DPR Gotong
Royong yang anggotanya ditunjuk sendiri oleh Soekarno, padahal presiden tidak berhak
untuk membubarkan DPR (Penjelasan UUD[a]).
• Presiden Soekarno membentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS),
padahal Dewan Pertimbangan Agung (DPA) bertugas memberi pertimbangan atas usulan
presiden dan berhak memberi usulan kepada pemerintah (Pasal 16[a]) serta menjadi
penasihat pemerintah (Penjelasan UUD[a]). Presiden tidak seharusnya mengatur badan
yang mengawasi pemerintah seperti hal tersebut.
• MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Hal ini bertentangan
dengan UUD 1945 yang menyatakan bahwa jabatan Presiden Indonesia hanya boleh
dipegang selama lima tahun (Pasal 5[a]), dan setelah itu harus dipilih kembali oleh MPR
(Pasal 6[a]).
• Manipol USDEK yang dijadikan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) oleh
Soekarno, padahal yang berhak menentukan GBHN adalah MPR (Pasal 3[a]).
• Konsep nasakom (nasionalis, agama, dan komunis) yang digagas oleh Presiden Soekarno
perlahan-lahan menggeser kedudukan Pancasila dan UUD 1945.
Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru, pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila
secara murni dan konsekuen.[20] UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat "sakral", di
antara melalui sejumlah peraturan, yaitu:

• Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 dan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 yang di
antaranya berisi pernyataan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945
dan tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya
• Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang salah satunya
menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus
minta pendapat rakyat melalui referendum.
Meskipun penyimpangan UUD 1945 secara eksplisit tidak tampak pada zaman Orde Baru,
terdapat beberapa penyimpangan Pancasila sebagai dasar dari UUD 1945 yang dilakukan
oleh pemerintahan Orde Baru. Penyimpangan-penyimpangan tersebut, yakni:[21][22]

• Konsep Pancasila masih ditafsirkan sepihak oleh Soeharto, dan terlebih lagi digunakan
sebagai alat legitimasi politik untuk menguasai rakyat.
• Pemusatan kekuasaan pada presiden yang masih terjadi di tangan Soeharto, meskipun
pemusatan tersebut lebih terstruktur. Soeharto hanya mempercayakan orang-orang
terdekatnya untuk menguasai perusahaan besar negara.
• Pemerintahan Soeharto yang melarang adanya kritikan-kritikan untuk pemerintah dengan
alasan menganggu kestablilan negara, termasuk juga pers.
• Hak-hak politik dibatasi oleh pemerintah dengan mengurangi jumlah partai politik yang
resmi menjadi tinggal tiga.
Proses perubahan

Sistem politik Indonesia sebelum dan setelah amendemen (dalam bahasa Inggris).
Setelah pemerintahan Orde Baru jatuh dan masa reformasi dimulai, terdapat banyak tuntutan
untuk melakukan pengubahan pada naskah UUD 1945. Alasan adanya tuntutan perubahan
UUD 1945 tersebut antara lain karena kenyataan bahwa kekuasaan tertinggi bukan di tangan
rakyat tetapi di tangan MPR yang dikuasai pemerintah, kekuasaan yang terlalu besar pada
presiden, banyaknya pasal-pasal yang menimbulkan multitafsir, serta kenyataan bahwa isi
rumusan UUD 1945 yang mengatur penyelenggaraan negara yang belum cukup. Latar
belakang dari tuntutan tersebut dapat dilihat dari bukti bahwa banyaknya penyimpangan-
penyimpangan UUD 1945 yang dapat terjadi di masa-masa sebelumnya. Oleh sebab itu, MPR
mengadakan sidang-sidang umum yang menghasilkan perubahan (amendemen) UUD 1945
sebanyak empat kali.[23][24][25]

• Perubahan pertama dilakukan pada Sidang Umum MPR 1999 yang berlangsung antara
14–21 Oktober 1999.
• Perubahan kedua dilakukan pada Sidang Umum MPR 2000 yang berlangsung antara 7–
18 Agustus 2000.
• Perubahan ketiga dilakukan pada Sidang Umum MPR 2001 yang berlangsung antara 1–9
November 2001.
• Perubahan keempat dilakukan pada Sidang Umum MPR 2002 yang berlangsung antara
1–11 Agustus 2002.
Setelah amendemen, dampak yang paling terasa adalah pembagian kekuasaan yang lebih
setara dan seimbang, tidak ada lagi lembaga pemerintahan tertinggi, sehingga lembaga
pemerintahan yang diatur di dalam UUD 1945 menjadi lembaga tinggi negara yang masing-
masing dapat saling mengawasi dan bekerja sama tetapi tidak boleh mengontrol satu sama
lain. Lembaga-lembaga tersebut juga memiliki wewenang, batasan, dan cara pengangkatan
yang lebih jelas setelah amendemen, sehingga lembaga-lembaga tersebut dapat menjalankan
peran yang semestinya. Selain itu, adanya hak-hak asasi manusia (HAM) yang diatur dalam
UUD 1945 menjadikan HAM sebagai salah satu tujuan konstitusi.[26]
Perubahan
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan
proses untuk mengubah salah satu atau beberapa pasal yang terdapat dalam Batang Tubuh
UUD 1945. Perubahan UUD ini merupakan salah satu wewenang dari MPR-RI yang diatur
dalam UUD 1945. Sepanjang sejarah, MPR telah melakukan empat kali pengubahan pada
UUD 1945.
Latar belakang
Meskipun Soekarno sendiri sebagai Presiden Indonesia pertama
mengeluarkan dekret presiden untuk memberlakukan kembali UUD 1945, beliau selalu
menganggap bahwa UUD 1945 merupakan konstitusi yang tidak lengkap. Namun
semenjak Soeharto menjabat sebagai presiden pada tahun 1967, pemerintahan rezim Orde
Baru selalu menolak menyetujui bentuk perubahan (amendemen) apa pun itu terhadap UUD
1945. Mereka menganggap bahwa UUD 1945 merupakan konstitusi yang bersifat final dan
"kemurniannya" harus tetap dilindungi.[27] Pada tahun 1983, MPR, melalui Ketetapan MPR
Nomor I/MPR/1983, menetapkan posisi untuk tidak melakukan pengubahan pada UUD 1945.
Meskipun begitu, MPR juga mengatur ketentuan untuk mengubah UUD 1945 pada ketetapan
MPR yang sama. Namun, ketentuan tersebut menyebutkan syarat keharusan untuk
mengadakan referendum yang telah disetujui oleh Presiden atas rancangan amendemen UUD
yang telah diloloskan oleh MPR.[28] Terlebih lagi, UU No. 5 Tahun 1985 yang mengatur
tentang referendum atas perubahan UUD 1945 menyatakan bahwa referendum tersebut harus
mencapai partisipasi pemilih minimum sebesar 90% dan hasil suara dukungan minimum
sebesar 90% agar proses amendemen dapat dilanjutkan dan perubahan UUD dapat
disahkan.[29] Peraturan-peraturan ini membuat pengubahan UUD 1945 semakin sulit
dilakukan, dan selain itu juga dianggap bertentangan dengan Pasal 37 UUD 1945 yang tidak
pernah menyebutkan tentang referendum.
Setelah kejatuhan rezim Soeharto pada tahun 1998, ketetapan MPR dan UU tersebut
dihapuskan, sehingga membuka jalan yang lebih lebar untuk dilakukannya amendemen UUD
1945. Akhirnya pada tahun 1999–2002, UUD 1945 mengalami perubahan (amendemen)
sebanyak empat kali yang seluruhnya diputuskan dalam sidang-sidang umum MPR.
Asal dan tujuan
Berkaca dari penyimpangan-penyimpangan UUD 1945 yang terjadi pada masa Demokrasi
Terpimpin dan Orde Baru, salah satu tuntutan demonstrasi penuntut reformasi adalah
dilakukannya perubahan (amendemen) terhadap UUD 1945. Alasan-alasan terbesar UUD
1945 diamendemen, yaitu karena pasal-pasal dalam UUD 1945 asli yang jumlahnya terlalu
sedikit dan mudah menimbulkan multitafsir. Sementara itu, tujuan dari perubahan-perubahan
UUD 1945 tersebut sebagian besar berupa penyempurnaan atas aturan-aturan dasar seperti
tatanan negara, kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, eksistensi
negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan
aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dilakukan dengan beberapa syarat, di
antaranya adalah Pembukaan UUD 1945 tidak boleh berubah, bentuk negara tetap dalam
bentuk negara kesatuan, serta sistem pemerintahan tetap dalam bentuk sistem presidensial.
Kata "Allah" dalam Pembukaan UUD 45 masih dimungkinkan untuk diamandemen menjadi
"Tuhan", sesuai perjanjian usulan yang diterima oleh Sukarno dan kelompok kebangsaan dari
perwakilan Bali, I Gusti Ketut Pudja, namun hal ini belum dilakukan pada masa amandemen
Konstitusi tahun 1999-2002.[30][31]
Ketentuan perubahan
Sebelum amendemen, ketentuan perubahan di dalam UUD 1945 hanya memberikan syarat
bahwa anggota MPR yang hadir dalam sidang pengubahan UUD harus berjumlah dua pertiga
(2/3) dari keseluruhan anggota dan putusan perubahan UUD hanya bisa dilakukan bila
mendapat persetujuan dari 2/3 anggota MPR.
Setelah perubahan keempat, ketentuan perubahan UUD tersebut menjadi lebih mendetail.
Suatu usulan perubahan dapat diagendakan dalam sidang MPR bila diajukan oleh sepertiga
(1/3) dari keseluruhan anggota dan usulan tersebut harus dituliskan secara mendetail. Dan
sama seperti sebelum amendemen, anggota MPR yang hadir dalam sidang pengubahan UUD
harus setidaknya 2/3 dari jumlah anggota. Namun tidak seperti sebelumnya, putusan
perubahan UUD hanya bisa dilakukan bila mendapat persetujuan dari 50% ditambah satu
anggota dari keseluruhan jumlah anggota MPR. Selain itu, terdapat ayat pembatasan
perubahan UUD (entrenchment clause) yang menyatakan bahwa khusus bentuk "Negara
Kesatuan Republik Indonesia" tidak dapat diubah.
Daftar
Berikut ini merupakan daftar perubahan UUD yang telah disahkan sebagai bagian dari UUD
1945 yang utuh dan tidak terpisahkan.
Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disahkan
dalam Rapat Paripurna MPR ke-12 pada tanggal 19 Oktober 1999, yang merupakan
rangkaian dari Sidang Umum (Tahunan) MPR Tahun 1999 yang berlangsung pada
tanggal 14–21 Oktober 1999. Perubahan ini secara garis besar bertujuan untuk membuat
kekuasaan legislatif dan eksekutif lebih seimbang dan sejajar, serta membatasi masa jabatan
Presiden.[32][33]
Dalam perubahan pertama ini, MPR mengubah beberapa pasal, yaitu Pasal 5 Ayat (1), Pasal
7, Pasal 9, Pasal 13 Ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 Ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan
Pasal 21.

Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disahkan
dalam Rapat Paripurna MPR ke-9 pada tanggal 18 Agustus 2000, yang merupakan rangkaian
dari Sidang Umum (Tahunan) MPR Tahun 2000 yang berlangsung pada tanggal 7–18
Agustus 2000. Perubahan tersebut utamanya bertujuan melakukan penguatan otonomi daerah,
penguatan peran legislatif, jaminan HAM dalam konstitusi, penguatan peran TNI dan Polri,
dan penambahan identitas nasional.[32][33]
Dalam perubahan kedua tersebut, MPR mengubah dan/atau menambahkan beberapa pasal
dan bab, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 Ayat (5), Pasal 20A, Pasal
22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 25E,[b] Bab X, Pasal 26 Ayat (2) dan Ayat (3), Pasal 27 Ayat
(3), Bab XA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G,
Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal
36C.

Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disahkan
dalam Rapat Paripurna MPR ke-7 pada tanggal 9 November 2001, yang merupakan
rangkaian dari Sidang Umum (Tahunan) MPR Tahun 2001 yang berlangsung pada tanggal 1–
9 November 2001. Perubahan ini terutama memberi penguatan pada kekuasaan kehakiman
(yudikatif) agar sejajar dengan kekuasaan legislatif dan eksekutif, menambah DPD ke dalam
susunan lembaga legislatif, memperbarui kelembagaan BPK, dan memperjelas mekanisme
demokrasi dalam tata negara.[32][33]
Dalam perubahan ketiga ini, MPR mengubah dan/atau menambahkan beberapa pasal dan
bab, yaitu Pasal 1 Ayat (2) dan (3); Pasal 3 Ayat (1), (3),[b] dan (4);[b] Pasal 6 Ayat (1), dan
(2); Pasal 6A Ayat (1), (2), (3), dan (5); Pasal 7A; Pasal 7B Ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6),
dan (7); Pasal 7C; Pasal 8 Ayat (1) dan (2); Pasal 11 Ayat (2) dan (3); Pasal 17 Ayat (4); Bab
VIIA, Pasal 22C Ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 22D Ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab VIIB,
Pasal 22E Ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6); Pasal 23 Ayat (1), (2), dan (3); Pasal 23A; Pasal
23C; Bab VIIIA, Pasal 23E Ayat (1), (2), dan (3); Pasal 23F Ayat (1) dan (2); Pasal 23G Ayat
(1) dan (2); Pasal 24 Ayat (1) dan (2); Pasal 24A Ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 24B
Ayat (1), (2), (3), dan (4); serta Pasal 24C Ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6).

Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
disahkan dalam Rapat Paripurna MPR ke-6 pada tanggal 10 Agustus 2002, yang merupakan
rangkaian dari Sidang Umum (Tahunan) MPR Tahun 2002 yang berlangsung pada tanggal 1–
11 Agustus 2002. Perubahan tersebut menitiberatkan pada penyempurnaan ayat-ayat atau
pasal-pasal tunggal yang hilang serta penyempurnaan pasal-pasal di bidang pendidikan,
kebudayaan, perekonomian, keuangan, dan kesejahteraan sosial.[32][33]
Dalam perubahan keempat ini, MPR menetapkan beberapa hal, antara lain sebagai berikut.

1. Pernyataan MPR mengenai naskah UUD 1945.


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah
diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga dan perubahan keempat ini adalah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada
tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekret Presiden pada
tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh
Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Penambahkan pernyataan penutup pada naskah perubahan kedua (sebelum kolom-
kolom tanda tangan) yang hilang.
3. Perubahan penomoran pada Pasal 3 Ayat (3) dan (4) dalam perubahan ketiga menjadi
Pasal 3 Ayat (2) dan (3), serta Pasal 25E menjadi Pasal 25A.
4. Penghapusan Bab IV dan pemindahan Pasal 16 ke Bab III.
5. Pengubahan dan/atau penambahan Pasal 2 Ayat (1); Pasal 6A Ayat (4); Pasal 8 Ayat
(3); Pasal 11 Ayat (1); Pasal 16; Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 Ayat (3); Bab XIII,
Pasal 31 Ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 23 Ayat (1) dan (2); Bab XIV, Pasal 33
Ayat (4) dan (5); Pasal 34 Ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 37 Ayat (1), (2), (3), (4),
dan (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; serta Aturan Tambahan Pasal I dan II

Anda mungkin juga menyukai