Anda di halaman 1dari 5

MATINYA KEPAKARAN

Oleh: Alip D. Pratama, SH., MH. (Dosen Hukum Universitas Kader


Bangsa/Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis CDCS)
_______________________________________
“Internet mengizinkan satu miliar bunga mekar, namun sebagian besarnya
berbau busuk, mulai dari pikiran iseng para penulis blog, teori konspirasi
orang-orang aneh, hingga penyebaran informasi bohong oleh berbagai
kelompok”—Tom Nichols, The Death of Expertise.

Di tengah gegap gempita perkembangan dan kemajuan media sosial dan
dunia internet, netizen, bak menjadi sebuah raja yang tak terkalahkan.
Melalui fasilitas platform canggih tersebut, seseorang, tiba-tiba saja bisa
menjadi seorang yang amat-sangat terkenal secepat kilat, baik itu karena
prestasinya, maupun karena kebodohannya. Beberapa waktu yang lalu,
ada seorang dokter yang ‘mengaku’ bergelar Profesor, mendeklarasikan
telah menemukan obat dari virus pandemic Covid-19. Sang Dokter itu
bukan berasal dari Tiongkok atau Amerika, bukan. Tapi benar-benar
berasal dari negeri kita sendiri.

Di tengah perdebatan dan silang pendapat mengenai asal-usul dari virus


pandemic ini, tiba-tiba saja, Indonesia mengejutkan dunia. Salah seorang
‘pakar’ tersebut, melalui fasilitas yang disediakan oleh seorang youtuber
sekaligus penyanyi terkenal di Indonesia, dalam sebuah dialog akrab di
malam hari dan suasana yang redup-redam, membincangi tentang virus
yang telah meluluh-lantakkan tatanan mapan kehidupan umat manusia yang
telah terpelihara sekian ratus tahun lamanya.

Klaim ‘sang pakar’ tersebut tak main-main. Dia sesumbar, bahwa melalui
racikan tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di bumi Pertiwi ini, virus mematikan
tersebut bisa dilawan. Tentu saja, karena yang berbicara adalah orang
yang mendaku sebagai pemegang otoritas di bidang kesehatan dan hal-hal
yang berkaitan dengan virus tersebut, netizen yang menonton dialog di
channel youtube milik sang youtuber sekaligus penyanyi itu banyak yang
menaruh asa teramat besar terhadap penemuan ‘jitu’ tersebut.

Seolah-olah, di dalam benak kita, kita benar-benar telah lebih baik,


dibandingkan Tiongkok, Amerika, dan Negara manapun di dunia ini. Sebab
kita telah menemukan obat tersebut. dan itu warga Negara kita. Asli
produk lokal!

Berita ini seolah mampu menghapus lelucon yang pernah dideklarasikan


oleh Menteri kita tercinta. Yang mengenakan kalung dengan judul, “kalung
anti covid-19”. Keruan saja tingkah-polah para pejabat kita tersebut
menjadi sebuah hiburan, di tengah kerasnya kehidupan yang kita rasakan,
dan getirnya masa depan, setelah pandemic ini datang tiba-tiba.

Namun benarkah kita hanya perlu yakin dan tenang saja dengan klaim sang
dokter tersebut?

Nyatanya tidak. Organisasi profesi kedokteran, segera mengkritisi


tayangan dialog dan klaim dari sang dokter pengaku penemu obat covid-
19 tersebut. bahkan, belakangan muncul video dengan judul, “Reaksi Ahli
Biologi Molekuler” yang bergelar P.hD di Amerika terhadap video dialog
dari sang dokter penemu obat covid-19 tadi. Organisasi profesi
kedokteran, bahkan meragukan gelar akademik sang penemu virus
tersebut. dan per-hari ini, jagat maya di Indonesia, riuh-gaduh membahas
tentang kebenaran dan kesejatian dari video dialog yang berbicara tentang
penemuan obat covid-19 tersebut. lebih gawatnya lagi, muncul pula
wacana untuk mempidanakan sang penemu dan youtuber yang
memfasilitasi dialog tersebut, dengan tuduhan penyebaran informasi
palsu/menyesatkan.

WAJAH KEDUNGUAN KITA SEMUA

Era digital dan terus majunya dunia internet, membuat siapapun bisa
menjadi apapun yang mereka inginkan, dan merdeka mengemukakan apa
saja, dan dengan memanfaatkan kebebasan tersebut, ditambah dengan
unsur popularitas yang dimiliki oleh para public figure yang terkenal entah
karena konten yang mereka unggah di Youtube, atau Instagram, atau
Facebook, ataupun platform lainnya, membuat semuanya bergerak dengan
sangat cepat dan massif.

Percakapan mengenai kedunguan kita yang terlalu mudah mempercayai


mereka yang pada dasarnya sama sekali tidak memiliki basis otoritas
untuk membincangi suatu ‘bidang studi’ tertentu, pada akhirnya berujung
pada ketidakpedulian kita terhadap peran para pakar ataupun para
akademisi yang sesungguhnya, memiliki otoritas dan keahlian dalam
membincangi suatu bidang studi tertentu; ambil contoh mengenai virus
covid-19 ini.

Bisa saja karena tabiat masyarakat modern, yang dibutakan oleh


kecanggihan gawainya, dengan sentuhan sepersekian detik jempol di layar
gawai, mampu menghubungkan kita dengan arus berita berskala massif,
sehingga di dalam arus besar tersebut, berserakan semua informasi
mengenai suatu tema atau topic tertentu, dan tak ayal, membuat kita
menjadi terlalu gampang mempercayai apa yang disajikan oleh internet
melalui layar gawai kita, dibandingkan terlebih dahulu memunculkan sikap
skeptic di dalam diri kita, sehingga sedari awal membaca arus informasi
yang deras dan massif tersebut, secara spontan kita dalam posisi kritis
terhadap semua hal yang muncul di dalamnya.

Atau memang menjadi pakar, dan mendaku diri kita sendiri sebagai pakar,
dengan hanya bermodalkan pembacaan kita yang dirasa gemuk dari
berbagai macam portal-portal berita yang tidak jelas kredibilitasnya, atau
juga karena kita baru saja terguncang dan teraduk-aduk emosinya
disebabkan baru saja membaca sebuah status panjang di layar gawai kita
yang dikirimkan di sebuah grup pertemanan di aplikasi whatsapp kita,
sehingga, disaat itu juga kemudian kita tidak dapat menahan diri untuk
berkomentar dan mentransformasi diri kita bak pakar yang amat-sangat
paham mengenai suatu problematika bidang tertentu yang lagi hangat
diperbincangkan. Seolah, jika terlambat barang sebentar saja kita ikut
berkomentar, itu akan menjadi sebuah kerugian besar bagi arus peradaban
umat manusia yang akan datang.

Dan gejala itu sejatinya bukan monopoli netizen kita saja. Para netizen
yang berasal dari Negara-negara maju juga sebenarnya seperti kita.
Mudah menyandarkan pendapat terhadap seseorang yang sebenarnya
tidak memiliki basis otoritas yang kredibel untuk dijadikan referensi, dan
mudah pula terpancing untuk berkomentar di luar batas keahlian diri
sendiri.

Gejala ini tidak hanya menghinggap rakyat jelata seperti kita sebenarnya.
Para elit politik pun, tak pelak bisa tergelincir ke dalam kubangan
kedunguan tersebut. ambil contoh dagelan yang dipertontonkan oleh
Menteri kita tercinta yang mengklaim dengan menggunakan ‘kalung sakti’
tadi, covid-19 akan minggat. Nyatanya, produk ajaib sang Menteri belumlah
teruji secara klinis, akademis, dan aneka standarisasi lainnya. Namun,
secara brutal, sudah diumumkan dikhalayak luas dan didaulat sebagai
kalung sakti mandraguna.

Tapi tenang saja, yang pandai melawak sebenarnya bukan elit kita saja.
Presiden Amerika, Donald Trump, sosok pria paling berpengaruh dan kuat
di jagad ini, bahkan kerap berkomentar yang aneh-aneh, dan sering
menyudutkan para akademisi dan pakar di negaranya, dengan berbagai
macam komentar minor mengenai covid-19. Dan sebagai akibat dari
ketidakpercayaan sang Presiden kepada kelompok pakar ini, akhirnya
angka penyebaran covid-19 di Amerika termasuk yang terparah di dunia.

Dan masalah menjadi kian pelik, ketika para pakar, yang sebagaimana kita
ketahui, telah menghabiskan umur terbaik mereka di bidang yang secara
tekun mereka geluti bertahun-tahun lamanya, seolah kehilangan
relevansinya di era digital saat ini. Semua orang asyik berebut menjadi
pakar, bahkan untuk suatu bidang yang masa studinya itu bisa sampai
bilangan decade, namun oleh sepak terjang para netizen dan kita semua
yang kenyang menggunakan riset bermetodekan baca grup whatsapp dan
status milik influencer, semua hal yang telah digeluti oleh sang pakar
berdekade-dekade itu, sama sekali tidak berarti.

Tak ayal, jika gejala ini terus dibiarkan, apalagi jika gejala ini telah
terdeteksi pula menyebar ke dalam Istana, maka seharusnya kita perlu
waspada dan khawatir. Bukan tidak mungkin, produk kebijakan strategis
Negara kita ini, lahir, dikarenakan sang elit, baru saja terinspirasi dan
tergugah emosionalitasnya, setelah menonton film serial di Netflix, atau
baru saja menonton dialog podcast dari seorang youtuber ternama di
Indonesia, sehingga, produk kebijakan tersebut, sama sekali tidak
berbasiskan pendekatan-pendekatan saintifik di dalamnya, disebabkan,
alpanya peran para pakar, di dalam urusan berbangsa dan bernegara kita.
Jika sudah begitu, mari kita bersiap-siap melatih diri kita untuk terbiasa
mandiri di segala urusan, untuk sekedar berjaga-jaga, kalau-kalau kapal
bernama Indonesia ini akan karam, setelah nakhkodanya, kehilangan
kepercayaan terhadap kru-kru yang berpengalaman dan terampil
berhadap-hadapan dengan badai dan cuaca ekstrem di samudera
kehidupan.

“Keadaan sekarang hampir seperti evolusi terbalik: kita menjauhi
pengetahuan yang teruji dan mundur menuju legenda dan mithos yang
disampaikan dari mulut ke mulut. Hanya sekarang semua itu dikirimkan
melalui alat elektronik” –Tom Nichols[]

Anda mungkin juga menyukai