Anda di halaman 1dari 54

ANALISIS PENGELOLAAN WAKAF PADA CASH WAQF

LINKED SUKUK MELALUI METODE DATA


ENVELOPMENT ANALYSIS

Oleh :
Sinta Wulandari
NIRM : 081.20.0212.17

PROPOSAL SKRIPSI

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh gelar Sarjana
pada Program Studi Ekonomi Syariah

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


SEKOLAH TINGGI EKONOMI ISLAM AL ISHLAH (STEI)
CIREBON
2020
LEMBAR PERSETUJUAN

Proposal Skripsi dengan judul :

“ANALISIS PENGELOLAAN WAKAF PADA CASH WAQF


LINKED SUKUK MELALUI METODE DATA
ENVELOPMENT ANALYSIS”

Yang disusun oleh :

Nama : Sinta Wulandari


NIM/NIRM : 17.01.1.0048/ 081.20.0212.17
Program Studi : Ekonomi Syariah

Disetujui untuk digunakan dalam ujian proposal skripsi.

Cirebon, 2020
Pembimbing

i
RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Sinta Wulandari

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat, Tanggal Lahir : Cirebon, 04 Mei 1998

Agama : Islam

No. Hp : 083167701041

Email : kaptensinta@gmail.com

PENDIDIKAN

2003 - 2004 : TK MELATI DESA CIWIRU

2004 - 2010 : SDN 2 CIWIRU

2010 - 2013 : MTs AT-TAUBAT CIDAHU

2013 - 2016 : SMK MANBA’UL ‘ULUM CIREBON

PENGALAMAN KERJA

Mei 2016 – Sekarang

[Laboran Jurusan OTKP SMK Manba’ul ‘Ulum Cirebon]

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, penulis panjatkan puji syukur kepada Allah SWT karena


dengan rahmat-Nya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi
yang berjudul “ANALISIS PENGELOLAAN WAKAF PADA CASH WAQF
LINKED SUKUK MELALUI METODE DATA ENVELOPMENT
ANALYSIS”.
Penyusunan proposal skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh sebab itu, atas perhatian dan bimbingannya, kami selaku
penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada Yth:
1. Bapak Dr. Achmad Kholiq, M.Ag, Ketua Sekolah Tinggi Ekonomi Islam
(STEI) Al-Ishlah Cirebon, Bapak Nono Hartono, S.Pi.,M.Si Wakil Ketua I
Bidang Akademik, Bapak Agus Hasanuddin, ST., ME.Sy Wakil Ketua II
Bidang Sarana dan Prasarana
2. Bapak Aep Syarifuddin,S.Si., MT Wakil Ketua III Bidang Kemahasiswaan,
Kealumnian, dan Kehumasan.
3. Ibu/ Bapak selaku dosen pembimbing.
4. Bapak Ahmad Dahlan, MA. Ketua Program Studi Ekonomi Syariah.
5. Ayah Taryana dan Ibu Titi Karwati.
6. Sahabatku Sri Dewi Lestari, Heni Sintiani dan Mala Syifaunnisa yang telah
memberikan dukungan moril dan dorongan motivasi yang sangat
berpengaruh pada penyusunan proposal ini.
7. Seluruh teman-teman mahasiswa STEI Al-Ishlah angkatan 2017

Cirebon, 2020

Sinta Wulandari

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN................................................................................................i
RIWAYAT HIDUP............................................................................................................ii
KATA PENGANTAR.......................................................................................................iii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iv
DAFTAR TABEL.............................................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR........................................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................8
1.3 Tujuan Penelitian..............................................................................................8
1.4 Manfaat Penelitian............................................................................................8
1.5 Sistematika Penulisan.......................................................................................9
BAB II TELAAH PUSTAKA..........................................................................................10
2.1 Literasi Keuangan (Financial Literacy)..........................................................10
2.1.1 Pengertian Literasi Keuangan (Financial Literacy)...............................10
2.1.2 Tingkat Literasi Keuangan Indonesia....................................................11
2.1.3 Tingkat Literasi Keuangan Syariah Indonesia.......................................13
2.2 Inklusi Keuangan............................................................................................14
2.2.1 Pengertian Inklusi Keuangan.................................................................14
2.2.2 Manfaat Keuangan Inklusif...................................................................15
2.2.3 Tujuan Keuangan Inklusif.....................................................................16
2.2.4 Strategi Nasional Keuangan Inklusif.....................................................16
2.3 Hak Properti Masyarakat................................................................................19
2.4 Fasilitas Intermediasi dan Saluran Distribusi Keuangan.................................20
2.5 Layanan Keuangan Pada Sektor Pemerintah..................................................21
2.6 Perlindungan Konsumen................................................................................21
2.7 Telaah Penelitian Terdahulu...........................................................................23
2.8 Kerangka Berpikir..........................................................................................25
BAB III METODE PENELITIAN...................................................................................26
3.1 Desain Penelitian............................................................................................26
3.2 Jenis dan Sumber Data...................................................................................26
3.3 Teknik Pengambilan Sample...........................................................................27
3.4 Instrumen Pengumpulan Data........................................................................31
3.5 Metode Pengumpulan Data............................................................................31
3.6 Metode Analisis Data.....................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................33

v
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Hasil Uji Korelasi Keuangan & Inklusi Keuangan............................... 6


Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu............................................................................. 23

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Indeks Literasi Keuangan Berdasarkan Provinsi 2016................... 2

Gambar 1.2 Pemetaan Literasi dan Inklusi Keuangan di Indonesia 2016.......... 3

Gambar 1.3 Pertumbuhan Aset Keuangan Syariah di Indonesia........................ 4

Gambar 1.4 Indeks Literasi dan Inklusi Keuangan Syariah 2016....................... 5

Gambar 2.1 Indeks Literasi Keuangan Syariah dan Konvensional................... 13

Gambar 2.2 Kerangka Strategi Nasional Literasi Keuangan............................. 12

Gambar 2.2 Sasaran Kegiatan Literasi dan Inklusi Keuangan........................... 12

Gambar 2.3 Alur Implementasi SNLKI Oleh Lembaga Jasa Keuangan............ 18

Gambar 2.4 Kerangka Berpikir........................................................................... 24

Gambar 3.1 Tahapan Proses Pemilihan Sampel.................................................. 26

vii
DAFTAR GRAFIK

viii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam menuturkan bahwa setiap manusia itu sama dihadapan Allah. Oleh
karena itu umat manusia dipandang sebagai satu keluarga. Untuk
merealisasikan kekeluargaan dan kebersamaan tersebut haruslah ada
kerjasama dengan sukarela dan penuh keikhlasan (‘antaradhin-minkum’1)
serta saling tolong menolong dalam kebaikan (‘ta’awwanu ‘alal birri wa
taqwa’2). Konsep persaudaraan dalam islam tidaklah mempunyai arti jika
tidak disertai dengan keadilan ekonomi yang memungkinkan setiap orang
memperoleh hak atas sumbangannya terhadap masyarakat. Dengan komitmen
islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan, keadilan, sosial dan
ekonomi, maka ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan yang
berlangsung saat ini adalah bertentangan dengan islam. (Faqih, 2005)
Islam memberikan toleransi atas ketidaksamaan pendapatan sampai
tingkat tertentu, karena setiap insan tidaklah sama sifat, kemampuan dan
kontribusinya dalam bermasyarakat. Adanya indikator tersebut dapat menjadi
sebab dari perbedaan dalam perolehan rezeki yang diterima oleh seseorang.
Akibatnya adalah lahirnya tingkatan status sosial seperti golongan kaya
( kaum aghniaa’) dan golongan miskin (kaum dhuafa’ / masakin) yang
menjadikan gap antara keduanya. Dalam Al-qur’an terdapat pedoman bagi
seseorang untuk membelanjakan hartanya, baik untuk kepentingan sendiri
maupun kepentingan umum. Petunjuk tersebut terdapat dalam surat Al-Isra’
ayat 26 : “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya,
kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”3 (Faqih, 2005).
Dari uraian tersebut, nampak jelas bahwa perekonomian dalam islam
sangat peduli terhadap kaum yang lemah bahkan anjuran mengeluarkan
sedekah kepada orang yang berhak menerimanya, karenanya dapat

1
mendekatkan diri kepada-Nya dan berakibat pada kebersihan dan kesucian
diri.

Berbeda dengan materialisme yang menjadikan harta sebagai tujuan dan


kebanggaan karena nya segala harta yang dimilikinya adalah mutlak
kepemilikannya. Dalam Islam justru sebaliknya, semakin banyak harta justru
semakin banyak amanah yang Allah bebankan kepadanya, amanah harta orang
lain yang ia harus keluarkan dalam bentuk sedekah, infak, zakat dan wakaf.
Yang disebut terakhir akan menjadi fokus dalam penelitian ini. Wakaf di
samping sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang berdimensi spiritual,
wakaf juga merupakan ajaran yang menekankan pentingnya kesejahteraan
ekonomi (dimensi sosial). Artinya wakaf didefinisikan sebagai salah satu
bentuk pelepasan harta kekayaan oleh pemilik harta yang dimaksudkan untuk
membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh masyarakat, wakaf
juga ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan manusia.
Di Indonesia, wakaf sudah dikenal dan di praktekkan oleh umat islam
sejak masuknya islam ke Indonesia. Kebutuhan dan pembangunan masjid
pada awal masa penyiaran islam sangat berdampak positif, yakni pemberian
tanah wakaf untuk mendirikan masjid-masjid menjadi tradisi yang lazim dan
meluas di komunitas-komunitas islam di Nusantara. Seiring dengan
perkembangan sosial masyarakat islam dari waktu ke waktu perkembangan
praktik perwakafan mengalami perubahan yang signifikan.
Pada awalnya permasalahan wakaf ini hanya ditangani oleh umat
Islam secara pribadi, terkesan tidak ada pengelolaan secara khusus serta
tidak ada campur tangan dari pihak pemerintah. Pada mulanya pemerintah
tidak mengatur tata cara orang yang mewakafkan hartanya, pemeliharaan
benda-benda wakaf, serta pengelolaanya (Itang & Iik Syakhabyatin, 2017).
Namun, kini pemerintah turut serta mengatur perwakafan di Indonesia melalui
beberapa peraturan perundang-undangan. Maka dari sisi tersebut pemerintah
melakukan regulasi dan menetapkan peraturan yang mengatur hukum,

2
pelaksanaan dan tata pengelolaan wakaf itu sendiri secara intens.
Wakaf merupakan salah satu instrumen ekonomi islam yang belum
diberdayakan secara optimal di Indonesia. Sedangkan di negara lain seperti
Mesir, Saudi Arabia, Yordania, Turki, Bangladesh, Malaysia dan Amerika
Serikat, wakaf telah dikembangkan sebagai salah satu lembaga sosial ekonomi
islam yang dapat membantu berbagai kegiatan umat dan mengatasi masalah
umat seperti kemiskinan (Prihatini, et.al., 2005, h . 131 ).
Dahulu, wakaf hanya identik dengan benda tidak bergerak. Namun,
seiring berkembangnya zaman wakaf tidak hanya dalam bentuk benda tidak
bergerak saja seperti tanah, bangunan, pohon untuk diambil manfaat kayu dan
buahnya, sumur yang diambil manfaat airnya, melainkan benda bergerak atau
cash waqf (wakaf tunai) contohnya wakaf uang. Sebagai salah satu instrumen
wakaf produktif, wakaf uang merupakan hal yang baru di Indonesia dimana
harta wakaf yang diserahkan kepada pengelola (nadzir) tidak langsung
diberikan kepada mauquf ‘alaih melainkan harta wakaf tersebut harus
diinvestasikan atau dikelola secara produktif kemudian hasil nya diberikan
kepada mauquf ‘alaih.
Namun wakaf yang selama ini dipahami oleh umat hanyalah wakaf tanah
milik yang diatur Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik. Peluang untuk wakaf uang ada setelah Majelis
Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang bolehnya wakaf uang tahun
2002. Peluang yang lebih besar muncul akhir-akhir ini dengan disahkannya
rancangan Undang-undang Wakaf menjadi Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 Tentang Wakaf. Ironinya, masyarakat belum sepenuhnya memahami dan
belum memiliki kesadaran untuk melakukan cash waqf dikarenakan
kurangnya literasi dan edukasi tentang wakaf padahal jika melihat potensi
wakaf di Indonesia dengan jumlah penduduk yang mayoritas muslim
sangatlah besar tetapi melihat dari indikator tersebut menjadikannya wakaf
tunai di Indonesia masih belum optimal.

3
Grafik 1.1 Skor Indeks Literasi Wakaf Berdasarkan Provinsi 2020

Sumber : BWI, Laporan Hasil Survei Indeks Literasi Wakaf (2020)

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Badan Wakaf Indonesia


(BWI) pada tahun 2020 diketahui bahwa Indeks Literasi Wakaf (ILW) secara
keseluruhan terdapat 4 provinsi yang memiliki skor indeks literasi wakaf yang
dapat dikatakan baik dengan kategori menengah yaitu, Gorontalo (skor
tertinggi 73,74%), Papua (64,04%), Bali (62,49%) dan Sulawesi Tengah
(62,28%). Provinsi yang tidak hanya dijadikan tempat tinggal oleh umat
muslim saja, namun pengetahuan dan pemahaman mengenai wakaf sudah ada
dan terbukti memiliki indeks literasi wakaf yang memadai. Tentu saja harus
ada beberapa faktor yang mendorong dan mengembangkan agar literasi wakaf
mudah dijangkau oleh setiap lapisan masyarakat.
Grafik 1.2 Pemetaan Indeks Pemahaman Dasar Wakaf di Indonesia
berdasarkan Provinsi 2020

4
Sumber : BWI, Laporan Hasil Survei Indeks Literasi Wakaf (2020)

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Badan Wakaf Indonesia


(BWI) pada tahun 2020, skor indeks pemahaman dasar wakaf per Provinsi tahun
2020 terdapat 12 provinsi yang nilai ILW pemahaman dasar wakaf nya pada
kategori menengah, yaitu Gorontalo (75,75%), Sulawesi Tengah (73,17%), Papua
(70,29%), Bali (68,25%), Jawa Barat (68,04%), DI Yogyakarta (64,71%),
Bengkulu (64,29%), Nusa Tenggara Barat (62,67%), Jawa Tengah (61,83%),
Sumatera Selatan (61,46%), Kep. Riau (61,25%) dan Sumatera Barat (60,92%).
Data ini dapat menjadi acuan untuk wilayah-wilayah yang memiliki literasi wakaf
nya yang tinggi, hendaknya dapat diikuti dengan implementasi serta peningkatan
mobilisasi aset wakaf yang lebih aggressive, meskipun harus di akui secara umum
bahwa literasi wakaf nasional masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan
literasi zakat. Hal ini harus dipandang sebagai sebuah peluang terbukanya potensi
wakaf yang sangat besar namun belum sepenuhnya tergarap.

Grafik 1.3 Pemetaan Indeks Pemahaman Lanjutan Wakaf di Indonesia


berdasarkan Provinsi 2020

5
Sumber : BWI, Laporan Hasil Survei Indeks Literasi Wakaf (2020)

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Badan Wakaf Indonesia


(BWI) pada tahun 2020, skor indeks pemahaman lanjutan wakaf per Provinsi
tahun 2020 terdapat pula beberapa provinsi yang memiliki Indeks Literasi Wakaf
(ILW) pemahaman lanjutan wakaf yang rendah yaitu, DKI Jakarta (30,36%),
Sulawesi Selatan (30,30%), Kalimantan Timur (28,14%), Riau (27,71%) dan
Kalimantan Barat (27,57%). Data ini dapat menjadi gambaran pula untuk daerah
daerah yang memiliki Indeks Literasi Wakaf (ILW) yang rendah agar para
regulator dan Organisasi Pengelola Wakaf (OPW) dapat melakukan pendalaman
tersendiri untuk mencari kendala-kendala yang dihadapi dalam meningkatkan
literasi wakaf, sementara untuk provinsi yang memiliki Indeks Literasi Wakaf
(ILW) nya tinggi harapan ke depannya agar dapat membagikan
pengalamannyakepada daerah yang lain. Dari data tersebut dapat disimpulkan
melalui grafik berikut ini :

Grafik 1.4 Goals Nilai Indeks Literasi Wakaf Nasional 2020

6
Sumber : BWI, Laporan Hasil Survei Indeks Literasi Wakaf (2020)

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Badan Wakaf Indonesia


(BWI) pada tahun 2020, Indeks Literasi Wakaf di Indonesia tahun 2020
adalah 50,48% dengan kategori rendah, terdiri dari nilai literasi pemahaman
dasar wakaf sebesar 57,67% dan nilai literasi pemahaman lanjutan wakaf
sebesar 37,97%. Melihat data yang ada, masyarakat di Indonesia belum
sepenuhnya memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai wakaf.
Disamping belum memahami dengan baik mengenai wakaf, menjadikannya
masyarakat masih belum memiliki kesadaran untuk melaksanakan wakaf. Data
ini dapat menjadi gambaran awal bagi para nadzir dan Organisasi Pengelola
Wakaf (OPW) baik yang berskala nasional maupun daerah, khususnya dalam
menilai kinerja dalam meningkatkan literasi perwakafan kepada masyarakat.
Sehingga dapat dijadikan dasar penyusunan strategi dalam memasarkan dan
memobilisasi produk-produk wakaf di masing-masing wilayah.
Namun, saat ini dunia perwakafan di Indonesia mengalami
perkembangan yang sangat signifikan. BWI sebagai lembaga independen
untuk mengembangkan wakaf saat ini sedang giat untuk melakukan berbagai
kegiatan dalam pengembangan produk wakaf. Salah satu produk yang berhasil
diluncurkan adalah wakaf uang berbasis sukuk atau yang bisa disebut sebagai

7
Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) yakni sukuk wakaf seri SW-001 senilai Rp
100 miliar dengan tenor 5 tahun dan imbal hasil 8,00 persen. Karena CWLS
merupakan surat utang syariah atau sukuk yang berbasis wakaf tunai,
pemerintah dapat memfasilitasi para pewakaf uang baik yang bersifat
temporer maupun permanen agar dapat menempatkan wakaf uangnya pada
instrumen investasi yang aman dan produktif.
Dalam skema CWLS, dana wakaf tunai yang dikumpulkan BWI selaku
pengelola (nadzir) melalui lembaga yang bekerja sama sebagai Lembaga
Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKSPWU) akan diinvestasikan
pada sukuk negara. Imbalan bagi hasil dari sukuk tersebut akan digunakan
untuk membiayai pembangunan yang memiliki dampak bagi masyarakat
secara luas. Namun, wakaf tunai yang diinvestasikan dalam sukuk negara
haruslah memiliki peruntukkan yang jelas agar masyarakat tertarik untuk
menempatkan dana nya pada instrumen tersebut.

Jika CWLS dikelola secara baik, tentu harapannya adalah dapat


meningkatkan taraf hidup masyarakat. Selama ini, peruntukkan wakaf tunai
di Indonesia kurang mengarah pada pemberdayaan ekonomi umat dan sektor
produktif, cenderung terbatas hanya untuk kepentingan kegiatan ibadah,
pendidikan, dan pemakaman semata. Beban sosial ekonomi yang dihadapi
bangsa saat ini, seperti tingginya tingkat kemiskinan dapat dipecahkan secara
mendasar dan menyeluruh melalui pengelolaan wakaf dalam ruang lingkup
yang lebih luas yakni pengelolaan wakaf uang khususnya Cash Waqf Linked
Sukuk.
Dari latar belakang tersebut, maka peneliti mencoba untuk menganalisis
pengelolaan wakaf pada Cash Waqf Linked Sukuk dengan menggunakan
metode Data Envelopment Analysis (DEA) karena metode ini pada dasarnya
di desain khusus untuk mengukur tingkat efisiensi relatif suatu Unit Kegiatan
Ekonomi (UKE) dalam kondisi banyak input maupun output. Kondisi
tersebut biasanya sulit disiasati oleh teknik analisis pengukuran efisiensi
lainnya ( Nugroho, 1995 dalam Huri M.D. dan Susilowati, 2004). Dengan itu,
8
peneliti melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Pengelolaan Wakaf
Pada Cash Waqf Linked Sukuk Melalui Metode Data Envelopment Analysis”

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Pandangan Islam mengenai Cash Waqf Linked Sukuk?
2. Bagaimana Pengelolaan Cash Waqf Linked Sukuk ditinjau melalui metode
Data Envelopment Analysis ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Menganalisis Cash Waqf Linked Sukuk dilihat dari Pandangan Islam
2. Menganalisis Pengelolaan Cash Waqf Linked Sukuk ditinjau melalui
metode Data Envelopment Analysis
1.4 Manfaat Penelitian
1. Aspek Teoritis
Menambah wawasan dan pengetahuan keilmuan bagi peneliti mengenai
ekonomi islam, ekonomi pembangunan, khususnya efisiensi pengelolaan
wakaf tunai yang di investasikan kepada Surat Berharga Negara Syariah
(SBSN) atau Cash Waqf Linked Sukuk dimana imbal hasil nya dapat
disalurkan kepada penerima wakaf yang di tinjau melalui metode Data
Envelopment Analysis untuk mengukur efisiensi pengelolaan wakaf pada
CWLS tersebut. Selain itu, penelitian ini diharapkan menjadi referensi
bagi peneliti yang akan melakukan penelitian mengenai CWLS pada
periode selanjutnya serta dapat menjadi khasanah kepustakaan khususnya
di Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Al-Ishlah Cirebon.
2. Aspek Praktis
Pada tatanan praktis, penelitian ini berguna untuk memberikan evaluasi
terhadap pengelolaan CWLS dan realisasi terhadap mauquf ‘alaih dan
sektor produktif serta diharapkan kepada lembaga independen perwakafan
dapat meningkatkan kontribusi dan efisiensi pengelolaan CWLS secara
menyeluruh.

1.5 Sistematika Penulisan


9
Untuk memberikan gambaran secara sederhana untuk memudahkan
penyusunan dan penulisan skripsi, maka disusunlah sistematika penulisan
yang terdiri dari lima bab, yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
Bab 1 Pendahuluan yang akan disusun berisi tentang Latar Belakang,
Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan Sistematika
Penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab 2 Telaah Pustaka yaitu berisi tentang teori-teori yang berkaitan
dengan wakaf, konsep dan dasar hukum wakaf uang (waqf al-nuqud), Sukuk,
Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN), dan teori metode Data
Envelopment Analysis (DEA).
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Bab 3 Metodologi Penelitian yaitu berisi tentang desain penelitian,
variabel penelitian dan definisi operasional variabel, instrumen penelitian,
prosedur pengumpulan data, dan teknik analisis data.
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan memaparkan mengenai hasil penelitian,
sekilas gambaran umum objek penelitian, analisis data, dan pembahasan hasil
analisis data.
BAB V KESIMPULAN
Dalam bab ini di dalamnya mencakup kesimpulan dari keseluruhan
pembahasan yang telah di uraikan pada bab-bab sebelumnya serta implikasi
yang dapat penulis sampaikan dalam penulisan skripsi ini.

BAB II

10
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Wakaf
2.1.1 Definisi Wakaf

Wakaf adalah salah satu instrumen ekonomi dan sosial. Wakaf termasuk
kedalam salah satu bagian dari sedekah, yang memiliki arti memberikan harta
dengan tujuan untuk kepentingan umat. Harta wakaf tidak boleh dijual, bersifat
kekal, tidak boleh diwariskan, dihibahkan, serta tidak boleh berkurang baik
berupa fisik maupun nilai nya. (Musaddad, 2008)
Wakaf berasal dari kata kerja bahasa arab ‫“ وقف‬waqafa” yang berarti
“menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat”. Sedangkan kata “waqafa
yaqifu waqfan” sama artinya dengan “habasa yahbisu tahbisan” yang artinya
mewakafkan.1 Yang dimaksud dengan “menahan” karena wakaf ditahan dari
kerusakan, penjualan, dan semua tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf.
Selain itu dikatakan menahan juga karena manfaat atau hasilnya ditahan dan
dilarang bagi siapapun selain dari orang-orang yang berhak atas wakaf tersebut.2
Menurut Abu Bakar Jabir al Jazairy wakaf adalah menahan benda (asal)
sehingga tidak bisa diwariskan, dijual dan dihibahkan serta memanfaatkan
hasilnya bagi yang berhak menerimanya.3
Mayoritas ahli fiqh (pendukung mazhab Hanafi, Syafii dan Hambali)
merumuskan pengertiannya menurut syara’ ialah sebagai berikut :4

“Penahanan (pencegahan) harta yang mungkin dimanfaatkan, tanpa lenyap


bendanya, dengan cara tidak melakukan tindakan pada bendanya,
disalurkan kepada yang mubah (tidak terlarang) dan ada”.

Para ulama tidak terlepas dalam memberikan pendapat mengenai


definisi wakaf. Namun, tetap terjadi perbedaan pendapat yang

11
mengakibatkan perbedaan pula pada hukum yang ditimbulkan. Definisi
wakaf menurut para ahli fiqh adalah sebagai berikut :

a. Imam Abu Hanifah mengartikan bahwa wakaf adalah menahan suatu


benda yang menurut hukumnya tetap berada di pihak wakif dalam rangka
hanya mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Definisi wakaf
tersebut maka kepemilikan harta wakaf masih tertahan dan terhenti di
pihak wakif. Dengan kesimpulan, bahwa wakif masih menjadi pemilik
harta wakaf yang sebenarnya, bahkan wakif diperbolehkan untuk menarik
kembali bahkan menjualnya. Jika wakif meninggal, maka harta tersebut
menjadi warisan untuk ahli warisnya. Jadi, yang timbul dari wakaf adalah
hanya “menyumbangkan manfaat”. Dengan demikian, Madzhab hanafi
mendefinisikan wakaf adalah “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu
benda yang berstatus sebagai hak milik, dengan menyedekahkan
manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang maupun
di masa yang akan datang.5
b. Madzhab Maliki berpendapat, wakaf itu tidak melepaskan harta yang
diwakafkan dari kepemilikan wakif, akan tetapi wakaf tersebut mencegah
wakif melakukan berbagai tindakan yang dapat melepaskan
kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif
berkewajiban untuk menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh
menarik kembali wakafnya. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan
bahwa wakaf dapat mencegah wakif untuk menggunakan harta wakafnya
selama masa tertentu baik sesuai keinginan wakif maupun pihak tertentu
selama waktu yang ditetapkan sesuai dengan keterikatan wakif ketika
mengucapkan akad (sighat).6
c. Syafi’i dan Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa wakaf adalah
melepaskan secara ikhlas dan sukarela atas harta yang di wakafkan dari
kepemilikan wakif, setelah sempurna seluruh prosedur perwakafan.
Wakif tidak boleh melakukan tindakan apa saja terhadap harta yang
diwakafkan, jika wakif meninggal maka harta yang diwakafkan tersebut
12
tidak dapat diwariskan kepada ahli waris nya. Dengan hal ini, maka wakif
sudah tidak berhak mengelola kembali harta wakaf yang kemudian harta
tersebut diserahkan kepada nadzir, yang kemudian harta wakaf tersebut
menjadi milik Allah yang kemudian akan disedekahkan manfaatnya
kepada suatu kebajikan.7

Dalam Ensiklopedia Islam, Wakaf didefinisikan dengan berhenti menjadi


pemilik atas kepemilikan harta yang dapat digunakan dan tahan lama dengan
cara diserahkan dari harta tersebut kepada manager (nadzir) baik perseorangan
maupun lembaga menjadi harta yang digunakan untuk kepentingan umum demi
kepentingan Allah (Ensiklopedia Islam, 1994: 70).

Dalam Kompilasi Hukum Islam mengartikan wakaf sebagai perbuatan


hukum dari seseorang, kelompok atau badan hukum yang dengan sukarela
memisahkan atau menyerahkan harta bendanya selamanya guna dimanfaatkan
bagi keperluan di jalan Allah atau untuk kepentingan umat sehingga memerlukan
seperangkat aturan untuk dapat menertibkan dan kepastian hukum dalam
pelaksanaan, pemeliharaan dan pengelolaannya.

Menurut UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf Pasal 1 ayat (1) dan PP
No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang
wakaf Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakif
untuk memisahkan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syari’ah. Perbedaan definisi dua produk ketetapan dengan UU No. 41 Tahun
2004 ini adalah masa berlaku objek wakaf dapat berlaku selamanya (muabbad),
akan tetapi dapat juga berlangsung sementara (muaqqat), sehingga wakaf bersifat
ghair lazim atau tidak berpindah kepemilikan menjadi milik umum. Sedangkan
menurut PP dan KHI bersifat pemanen (muabbad).8 Adapun ciri khas dari aset
wakaf adalah sebagai berikut:

13
1. Benda yang kekal zat nya (tahan lama wujudnya), tidak lekas musnah
setelah dimanfaatkan baik fisiknya maupun nilainya
2. Harta wakaf didedikasikan untuk kepentingan umum dan sosial
( infrastruktur, ibadah, pendidikan dan kesehatan).
3. Tidak dapat di asingkan kepada orang lain, baik dengan jalan jual beli,
hibah maupun dengan diwariskan.
4. Harta wakaf terlepas dari kepemilikan orang-orang yang berwakaf.
5. Harta wakaf digunakan untuk keperluan kebajikan sesuai dengan ajaran
islam, serta lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf .
2.1.2 Dasar Hukum Wakaf
Dalam Al-Qur’an, kata wakaf hanya secara implisit dijelaskan, namun
beberapa ayat yang memerintahkan manusia melakukan kebajikan untuk
kemaslahatan umat dipandang oleh para ulama sebagai landasan wakaf.
1. Al- Qur’an
Beberapa ayat yang telah mengilhami dan dapat digunakan
sebagai pedoman atau dasar seseorang untuk melakukan ibadah wakaf,
dan menjadikannya sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Oleh
karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para
ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman
ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara
ayat-ayat tersebut antara lain: 
1) QS. Al- Baqarah Ayat 267

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian


dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
14
terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji.”
2) QS. Al-Baqarah Ayat 261

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang


menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih
yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah
melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah
Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
3) Qs. Al- Hajj Ayat 77

“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu,


sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat
kemenangan.”
4) QS. Ali-imran Ayat 92

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),


sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa
saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Meskipun dari empat ayat di atas, tidak ada satupun yang menyebutkan kata
wakaf secara jelas dan tegas, namun dalam kandungan ayat tersebut terdapat
prinsip-prinsip serta jiwa wakaf sudah dapat terwakili. Hal ini dapat
dikonotasiakan kepada beberapa lafadz al-khair, tunfiquu, yunfiquuna
amwalahum, yang mengandung makna mengerjakan kebaikan untuk
kemaslahatan umat demi mendekatkan diri kepada sang pencipta. Dalam hal
ini, Allah memberikan jaminan keuntungan dari kebaikan yang dikerjakan

15
dengan kelipatan yang berganda dan tidak terputus. Sehingga dapat dipahami,
bahwa perintah wakaf secara luas memang terdapat di dalam al-quran namun
perintah secara implisit menggambarkan hakikat dan ruh wakaf.9

2. Al- Hadits
Berbeda dengan ketentuan yang berada dalam Al-Qur’an, di dalam hadits
terdapat riwayat-riwayat yang dinyatakan secara eksplisit yang berkaitan
dengan wakaf. Baik aturan wakaf maupun praktik wakaf yang dicontohkan
pada zaman Nabi Muhammad SAW dan para sahabat yang dapat kita ambil
ibrah nya.
Adapun hadits yang menjadi pedoman dan landasan wakaf adalah sebagai
berikut:

“Dari Abu Hurairah r.a berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda: Apabila
seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali dari 3
perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholih yang
mendoakan orang tuanya. (HR. Muslim no. 1631)
Sebagai penjelasan hadits di atas pada lafadz "shadaqah jaariyah" menjadi
bermacam-macam cara orang untuk melakukan shadaqah, termasuk di dalamnya
dengan cara menyisihkan harta untuk diwakafkan di jalan Allah dengan
menyedekahkan manfaatnya dan yang mewakafkan harta nya akan merasakan
manfaat nya sampai di akhirat kelak selama manfaat harta nya tetap digunakan
sesuai dengan aturan yang di tetapkan. Memang sedikit sekali ayat Al-Qur’an dan
As-Sunnah yang menyebutkan secara tegas kalimat wakaf tersebut. Namun,
secara praktik telah ada pada zaman Rasulullah dan para sahabatnya serta telah
mengalami perubahan baik dari sisi tata cara serta pengelolaannya.

2.1.3 Rukun dan Syarat Wakaf

16
Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukut serta syarat nya.
Rukun wakaf ada 4, yaitu:
1. Wakif (pihak yang mewakafkan harta );
2. Mauquf bih (barang atau harta yang diwakafkan );
3. Mauquf ‘alaih (pihak yang diberi wakaf/ peruntukkan wakaf);
4. Shighat (pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk
mewakafkan sebagian harta benda nya).10
Dalam bukunya, Junaya S. Praja dan Mukhlisin Muzarie yang berjudul
Pranata Ekonomi Islam Wakaf, bahwa rukun wakaf itu ada 5, yaitu: Pewakaf
(waqif), harta yang diwakafkan (mauquf bih), penerima wakaf (mauquf ‘alaih),
pernyataan atau ikrar wakaf (shighat), dan pengelola (nadzir, qayim, mutawali)
baik berupa lembaga atau perorangan yang bertanggung jawab untuk mengelola
dan mengembangkan serta menyalurkan hasil-hasil wakaf sesuai dengan
peruntukkannya.11
Sedangkan dalam Undang-undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
yaitu Pasal 6 menyatakan bahwa :
Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a. Wakif;
b. Nadzir;
c. Harta benda wakaf;
d. Ikrar wakaf;
e. Peruntukan harta benda wakaf;
f. Jangka waktu wakaf.

Selanjutnya, syarat-syarat yang harus dipenuhi dari rukun wakaf tersebut yang
telah disebutkan adalah:

1. Waqif (pihak yang mewakafkan)


Pada hakikatnya amalan wakaf adalah tindakan tabarru’
(mendermakan harta benda), karena itu syarat yang menjadi wakif yang
mewakafkan harta nya adalah sebagai niat untuk tabarru’ dan semata-mata

17
hanya mengharap ridho Allah.
Abdul Halim dalam buku Hukum Perwakafan di Indonesia
mengatakan ada beberapa syarat bagi waqif, yaitu:
a. Wakif harus orang yang merdeka;
b. Baligh;
c. Berakal;
d. Cerdas;
2. Mauquf bih (harta benda wakaf)
Mauquf bih dipandang sah apabila merupakan harta bernilai, tahan
lama dipergunakan, dan hak milik wakif murni. Adapun benda yang
diwakafkan dipandang sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1. Benda harus memiliki nilai guna;
2. Benda tetap ataupun benda bergerak;
3. Benda yang diwakafkan harus diketahui ketika terjadinya akad wakaf;
4. Benda yang diwakafkan benar-benar telah menjadi milik tetap (al-milk
at-tamm) pihak wakif ketika terjadinya akad wakaf.

Adapun dalam Pasal 16 Undang-undang No. 41 Tahun 2004 Tentang


wakaf, bahwa:

Harta benda wakaf terdiri dari :

a. Benda tidak bergerak, meliputi:


1. Harta atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum
terdaftar;
2. Bangunan atau bagian bangunan yang terdiri diatas sebagaimana
dimaksud pada diktum 1;
3. Tanaman dan benda yang berkaitan dengan dengan tanah;
4. Hak milik atas satuan rumah susun dengan ketentuan syariah dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;

18
5. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Benda bergerak adalah harta yang tidak bisa habis karena dikonsumsi,
meliputi:
1. Uang;
2. Logam mulia;
3. Surat berharga;
4. Kendaraan;
5. Hak atas kekayaan intelektual;
6. Hak sewa;
7. Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku seperti mushaf, buku an kitab.
3. Mauquf ‘alaih (penerima wakaf)
Yang dimaksud dengan mauquf ‘alaih adalah tujuan wakaf
(peruntukkan wakaf). Mauquf ‘alaih tidak boleh bertentangan dengan
nilai-nilai ibadah, hal ini sesuai degan sifat amalan wakaf sebagai salah
satu bagian dari ibadah. Dalam hal ini wakif tidak menetapkan
peruntukkan harta benda wakaf, maka nadzir dapat menetapkan
peruntukkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf. Ini
artinya, wakaf harus dimanfaatkan dalam batasan batasan yang sesuai dan
diperbolehkan sesuai dengan syari’at islam. Karena pada dasarnya, wakaf
merupakan amalan yang dapat mendekatkan diri manusia kepada sang
pencipta. Maka dari itu, mauquf ‘alaih (peruntukkan wakaf) haruslah
pihak kebajikan.
Dalam Pasal 22 Undang-undang No, 41 Tahun 2004, disebutkan:
Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya
dapat diperuntukkan bagi:
a. Sarana dan kegiatan ibadah;
b. Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;
c. Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa;
19
d. Kemajuan dan kesejahteraan umum lannya yang tidak bertentangan
dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.
4. Shighat (lafadz)/ ikrar wakaf
Shighat (lafadz) atau pernyataan wakaf dapat dikemukakan melalui
tulisan, lisan atau suatu isyarat yang dapat diketahui dan dipahami
maksudnya. Pernyataan dengan tulisan atau lisan dapat digunakan untuk
menyatakan wakaf oleh siapa saja, sedangkan cara isyarat hanya bagi
orang yang tidak dapat menggunaan cara tulisan atau lisan. Tentu
pernyataan dengan isyarat tersebut harus sampai benar-benar dipahami
pihak penerima wakaf agar dapat menghindari persengketaan di kemudian
hari.
Adapun lafadz shighat wakaf ada dua macam, yaitu:
a. Lafadz yang jelas (sharih)
Lafal wakaf bisa dikatakan jelas apabila lafal atau pengucapan itu
populer dan sering digunakan dalam transaksi wakaf. Ada tiga jenis
lafal yang termasuk dalam kelompok lafadz wakaf yang jelas yaitu: al
waqf (wakaf) , al- habs (menahan), dan al-tasbil (berderma). Bila lafal
ini dipakai dalam ijab wakaf, maka sah wakaf tersebut sah sebab lafal
tersebut tiak mengandung suatu pengertian lain kecuali kepada wakaf.
b. Lafadz kiasan (kinayah)

Jika lafal ini dipakai, harus disertai niat wakaf. Sebab lafadz
“tashaddaqtu” bisa berarti shadaqah wajib seperti zakat dan shadaqah
sunnah. Lafadz “harramtu” bisa berarti dzihar, tapi bisa juga berarti
wakaf. Kemudian lafadz “abbadtu” juga bisa berarti semua
pengeluaran harta benda untuk selamanya. Sehingga semua lafadz
kiasan yang dipakai untuk mewakafkan sesuatu harus disertai dengan
niat wakaf secara tegas.

20
5. Nadzir (pengelola wakaf)
Nadzir wakaf adalah orang yang memegang amanat untuk
memelihara dan menyelenggarakan harta wakaf sesuai dengan tujuan
perwakafan. Mengurus atau mengawasi harta wakaf pada dasarnya
menjadi hak wakif, tetapi boleh juga wakif menyerahkan hak pengawasan
wakafnya kepada orang lain, baik perseorangan maupun organisasi.
Beberapa syarat yang harus dipenuhinya untuk menjadi Nadzir yaitu
terdapat pada pasal 219 KHI:
1) Nadzir sebagaimana dimaksud dalam pasal 215 ayat (4) terdiri dari
perorangan yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Warga Negara Indonesia,
b. Beragama Islam,
c. Dewasa,
d. Sehat jasmani dan rohani,
e. Tidak berada di bawah pengampuan,
f. Bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang
diwakafkannya.
2.1.4 Macam-macam Wakaf
Bila ditinjau dari segi peruntukkan kepada siapa wakaf itu, maka
wakaf dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Wakaf Sosial, wakaf diberikan untuk kebaikan masyarakat (khairi) yang
apabila wakaf tersebut tujuan wakafnya untuk kesejahteraan umum, serta
kepentingan umum tidak dikhususkan untuk orang-orang tertentu, seperti
mewakafkan tanah untuk mendirikan masjid, mewakafkan sebidang kebun
yang hasilnya dapat dimanfaatkan untuk membina suatu lembaga
pendidikan agama dan sebagainya. Wakaf khairi inilah yang benar-benar
sejalan dengan amalan wakaf yang amat digembirakan dalam ajaran Islam,
yang dinyatakan pahalanya akan terus mengalir hingga wakif meninggal
dunia, selama harta masih dapat diambil manfaatnya.
2. Wakaf Ahli, wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seseorang
21
atau lebih, baik masih ada ikatan keluarga ataupun tidak. Wakaf seperti ini
juga dapat dikatakan sebagai wakaf dzurri. Apabila ada seseorang
mewakafkan sebidang tanah kepada anak atau cucunya, maka wakafnya
sah dan yang berhak mengambil manfaatnya adalah mereka yang ditunjuk
dalam pernyataan wakaf. Wakaf ahli/ dzurri kadang pula disebut wakaf
‘alal aulad, yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan dan jaminan
sosial dalam lingkungan keluarga (famili), lingkungan sendiri.
3. Wakaf Gabungan (musytarak), wakaf yang diperuntukkan kepada umum
dan keluarga yang dilakukan secara bersamaan.
2.2 Konsep dan Dasar Hukum Wakaf Uang

Sering kali pembahasan mengenai wakaf selalu dikaitkan kepada wakaf


tidak bergerak seperti tanah, bangunan, pohon dan sumur yang dapat diambil
manfaat hasilnya. Namun, istilah wakaf uang belum terlalu familiar di tengah
masyarakat Indonesia, hal ini dapat dilihat dari pemahaman masyarakat yang
memandang wakaf hanya sebatas pemberian barang tidak bergerak seperti
tanah dan bangunan yang diperuntukkan guna dijadikan tempat ibadah,
pemakaman, rumah yatim piatu dan lembaga pendidikan semata.
Pemanfaatan benda wakaf masih berkisar pada hal-hal yang bersifat fisik
sehingga tidak memberikan dampak ekonomi secara signifikan terhadap
kesejahteraan masyarakat.

Padahal benda yang bergerak seperti uang misalnya, pada hakikatnya


juga merupakan salah satu instrumen wakaf yang diperbolehkan dalam Islam.
Saat ini, dikalangan masyarakat muncul lah istilah cash waqf (wakaf uang).
Dipelopori oleh M.A Mannan, seorang ekonom asal Bangladesh mengatakan
bahwa wakaf uang dipandang sebagai salah satu solusi yang dapat mengubah
wakaf menjadi lebih produktif. Apabila wakaf uang mampu dikelola dan
diberdayakan oleh suatu lembaga secara tertib dan profesional, akan sangat
membantu dalam mensejahterakan ekonomi ummat, memenuhi hak-hak serta
mengurangi penderitaan masyarakat. (Mannan, 1993)

22
Pada dasarnya, wakaf uang itu produktif. Dalam arti harus menghasilkan
karena wakaf dapat memenuhi tujuannya jika telah menghasilkan dimana
hasilnya dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya (mauquf ‘alaih). Tentu
wakaf uang ini adalah wakaf produktif artinya mendatangkan aspek ekonomi
dan kesejahteraan masyarakat. Namun, di Indonesia banyak pemahaman
masyarakat yang mengasumsikan wakaf adalah lahan yang tidak produktif
bahkan mati yang tidak perlu biaya dari masyarakat seperti pemakaman,
masjid dan lain-lain.

Karena minimnya regulasi yang mengatur tentang perwakafan, maka saat


itu perkembangan wakaf mengalami stagnasi. Namun, perkembangan wakaf
di Indonesia mulai mengalami dinamisasi pada tahun 2001, beberapa praktisi
dan akademisi islam mulai mengusung paradigma baru ke tengah masyarakat
mengenai konsep baru pengelolaan wakaf uang untuk meningkatkan
kesejahteraan ummat. Ternyata, konsep wakaf uang tersebut mampu
memberikan energi baru untuk menggerakkan stagnasi perkembangan wakaf.
Kemudian, pada tahun 2002 Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyambut
konsep tersebut dengan mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf uang
(waqf al-nuqud).

Sesuai dengan keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tertanggal


26 April 2002 diterangkan bahwa yang dimaksud dengan wakaf uang (cash
wakaf/ waqf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok
orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Dalam
pengertian tersebut, yang dimaksud dengan uang adalah surat-surat
berharga.12

Selain itu, diatur pula kebijakan perwakafan di Indonesia, mulai dari


pembentukan nadzir sampai dengan pengelolaan harta wakaf. Untuk dapat
menjalankan fungsinya, Undang-Undang ini masih memerlukan perangkat
lain yaitu Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Agama tentang Wakaf
Uang yang akan menjadi juklak dalam implementasinya, serta adanya Badan

23
Wakaf Indonesia (BWI) yang akan berfungsi sebagai sentral nadzir wakaf.
Setelah melalui proses panjang, pada penghujung tahun 2006 terbitlah
Peraturan Pemerintah No. 42/2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Wakaf. Setelah itu, pada Juli 2007 keluar Keputusan Presiden Republik
Indonesia nomor 75/M tahun 2007 yang memutuskan dan mengangkat
keanggotaan BWI periode 2007-2010.

Selain hal itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan


Fatwanya tentang Wakaf Uang pada tanggal 11 Mei 2002, menyatakan
bahwa:

1. Wakaf Uang (cash waqf /waqf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan
seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk
uang.

2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat berharga;

3. Wakaf Uang hukumnya jawaz (boleh);

4. Wakaf Uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang
diperbolehkan secara syar’i;

5. Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual,
dihibahkan dan/atau diwariskan.

Adapun mekanisme wakaf uang adalah sebagai berikut: wakif (pihak yang
mewakafkan) menyerahkan uangnya untuk diwakafkan kepada nadzir
(pengelola wakaf) melalui Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf
Uang (LKS-PWU). Kemudian nadzir memberikan sebagian dana tersebut
kepada mauquf ‘alaih (penerima wakaf) untuk di investasikan kepada
kegiatan atau sektor riil. Beberapa bentuk investasi uang secara langsung,
yaitu:
1. Simpanan Mudharabah pada Perbankan Syari’ah;
2. Investasi wakaf uang pada sektor riil/ bisnis. Misalnya : Supermarket,
Pasar Rakyat, Koperasi UMKM, BMT, dll;
24
3. Pembelian saham yang bertujuan untuk memelihara aset pokok dan
mendapatkan keuntungan. Adapun keuntungannya di alokasikan sesuai
tujuan wakaf, misalnya: membangun masjid, digunakan untuk biaya
operasional rumah sakit, rumah yatim piatu, pemberian beasiswa bagi
siswa yang kurang mampu.
Seluruh program pengelolaan yang dilakukan adalah usaha-usaha
produktif yang tidak boleh habis atau berkurang sedikitpun, sehingga
bentuk-bentuk usaha itu nantinya akan terus berkembang dan bervariasi
serta bermanfaat bagi masyarakat luas dengan menerapkan prinsip
"substansi dari harta wakaf tidak boleh habis dikonsumsi, namun profit
dari uang wakaf itulah yang dapat digunakan oleh beneficiary".

Upaya meningkatkan penggalangan wakaf tunai sesuai dengan


peranan wakaf dalam menyediakan barang dan jasa publik bagi
masyarakat yang begitu luas meliputi: pendidikan, kesehatan, dan
infrastruktur lainnya. Menunjukkan peranan sosio-ekonomis dari
lembaga wakaf yang sangat signifikan. Implikasinya adalah bahwa
pengelolaan lembaga wakaf tunai harus benar-benar efektif dan efisien
dengan tolak ukur utama yakni kontribusinya dalarn meningkatkan
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Menurut Mustafa Edwin Nasution13 tentang potensi wakaf uang di


Indonesia dengan jumlah umat muslim yang dermawan diperkirakan
sebesar 10 juta jiwa dengan rata-rata penghasilan Rp. 500.000 hingga Rp.
10.000.000, maka paling tidak akan terkumpul dana sekitar 3 triliun per
tahun dari dana wakaf seperti perhitungan tabel sebagai berikut:

Tabel 2.1

25
Potensi Wakaf Uang di Indonesia

Tingkat Jumlah Besar Potensi Potensi wakaf


Penghasilan/Bulan Muslim wakaf/bulan wakaf/bulan uang/tahun
Rp. 500.000 4 juta Rp. 5.000,- Rp. 20 milyar Rp. 240 milyar
Rp 1 juta - 2 juta 3 juta Rp. 10.000,- Rp. 30 milyar Rp. 360 milyar
Rp 2 juta - 5 juta 2 juta Rp. 50.000,- Rp. 100 milyar Rp. 1,2 triliun
≥ Rp 5 juta 1 juta Rp. 100.000,- Rp. 100 milyar Rp. 1,2 triliun
Total Rp. 3 triliun
Sumber: Mustafa E. Nasution
Secara umum dari total penduduk Indonesia yang berjumlah hampir
230 juta jiwa, jika ada penduduk muslim yang mampu dan ingin berwakaf
sebesar minimal Rp. 1.000.000,-/tahun sebanyak 2 persen nya atau
sejumlah 4,6 juta jiwa, maka akan terkumpul dana wakaf uang per tahun
minimal Rp. 4,6 triliun/tahun.
Dalam sistem pengelolaan wakaf uang tidak banyak berbeda dengan
wakaf tanah atau bangunan, nadzir bertugas untuk menginvestasikan
sesuai dengan ketentuan syariah dengan satu syarat: nilai nominal uang
yang diinvestasikan tidak boleh berkurang baik dasi sisi fisik maupun
nilainya. Sedangkan hasil investasi dialokasikan untuk upah nadzir
(maksimal 10%) dan kesejahteraan masyarakat (minimal 90%) untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.1

Gambar 2.1
Skema Pengelolaan Wakaf Uang

Dalam ketentuan undang-undang terdapat dua model wakaf uang,


26
yaitu wakaf uang untuk jangka waktu tertentu (muaqqat) dan wakaf
uang selamanya (muabbad). Wakaf uang jangka waktu tertentu
haruslah dikelola dan di investasikan kepada produk perbankan atau
sektor riil yang dianggap lebih aman dan memudahkan kepada pihak
wakaf dalam menerima uangnya kembali pada saat jatuh tempo.
Sedangkan wakaf uang selamanya, pihak nadzir memiliki otoritas
penuh untuk mengelola serta mengembangkan wakaf uang sesuai
peruntukkan wakaf. Bila kegiatan investasi menggunakan dana wakaf
maka atas keuntungan bersih hasil investasi (pendapatan kotor
dikurangi dengan biaya operasional) dan akan dibagikan sesuai dengan
ketentuan undang-undang wakaf yaitu 90% diperuntukkan untuk
mauquf ‘alaih dan 10% untuk penerimaan pengelola wakaf atau nadzir.

2.3 Sukuk
Konsep keuangan berbasis syariah saat ini sedang tumbuh secara
dinamis. Asetnya saat ini diperkirakan menyentuh angka antara 1,3
triliun dollar AS sebagaimana dilansir oleh lembaga pemeringkat
“Standard and Poor’s Rating Services”. Bahkan prospek nya ditahun
yang akan datang di asumsikan mencapai 2 triliun dollar AS. Hal ini
menunjukkan bahwa market share dari lembaga keuangan syariah saat
ini mencapai 3% , dan diprediksikan akan tumbuh lebih besar lagi
dimasa yang akan datang.14
Salah satu instrumen keuangan syariah yang telah banyak
diterbitkan baik korporasi maupun negara adalah sukuk. Pada beberapa
negara, sukuk telah menjadi instrumen pembiayaan anggaran negara
yang penting. Terhitung pada tahun 2007 aset sukuk internasional
mencapai 70 miliar dollar AS. Namun, di beberapa negara seperti
Malaysia, Bahrain, Brunei Darussalam, Uni Emirat Arab, Qatar,
Pakistan, termasuk Indonesia sudah menjadi regular issuer dari
sukuk.15
27
Secara terminologi shakk adalah sebuah kertas atau catatan yang
dari padanya terdapat perintah dari seseorang untuk pembayaran uang
dengan jumlah tertentu pada orang lain yang tertera pada kertas
tersebut. AAOIFI mendefinisikan sukuk sebagai sertifikat bernilai sama
yang merupakan bukti kepemilikan yang dibagikan atas suatu aset, hak
manfaat dan jasa-jasa atau kepemilikan atas proyek atau kegiatan
investasi tertentu.
Menilik kepada Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 32/DSN-
MUI/IX/2002 Sukuk atau obligasi syariah adalah surat berharga jangka
panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada
pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar
pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi
hasil/margin/fee, serta pembayaran kembali dana obligasi tersebut pada
saat jatuh tempo.
Menurut Undang-undang Surat Berharga Nasional Syariah (SBSN)
sukuk adalah surat berharga yang diterbitkan berdasarkan prinsip
syarah, sebagai bukti atas bagian penyertaan tehadap asset SBSN, baik
dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. Pihak yang menerbitkan
sukuk negara adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan
ketentuan undang-undang untuk menerbitkan sukuk. Aset nya adalah
barang milik negara yang memiliki nilai ekonomis yang dijadikan
sebagai dasar penerbitan sukuk
Sukuk sebagai bentuk pendanaan (financing) sekaligus investasi
(investment) memungkinkan beberapa bentuk struktur akad yang dapat
ditawarkan untuk menghindari riba. Dalam menerapkan akad pada
transaksi keuangan modern terdapat empat prinsip dalam perikatan
secara syariah yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Tidak semua akad bersifat mengikat kedua belah pihak (aqad lazim)
tetapi ada saja kontrak yang hanya mengikat satu belah pihak saja
(aqad jaiz).
28
2. Harus mempertimbangkan tanggung jawab dalam pelaksanaan akad
sebagai salah satu syarat untuk memegang kepercayaan secara
penuh.
3. Adanya larangan dalam mempertukarkan kewajiban (dayn) melalui
transaksi penjualan sehingga menimbulkan kewajiban baru.
4. Akad yang berbeda menurut tingkat kewajiban yang masih bersifat
janji dengan tingkat kewajiban yang berupa sumpah (Frank E.
Vogel dan Samuel L Hayes:1998)

Adapun akad yang dapat digunakan dalam obligasi syariah


berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI), antara lain:
mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, istishna’, ijarah.Menurut
Fatah (2011) terdapat beberapa karakteristik sukuk, yaitu:

1. Sukuk merupakan bukti kepemilikan suatu aset berwujud atau hak


manfaat (beneficial title)
2. Pendapatan berupa imbalan (kupon), margin, dan bagi hasil sesuai
jenis akad yang digunakan
3. Terbebas dari unsur riba, gharar, dan maysir
4. Penerbitan melalui special purpose vehicle (SPV)
5. Memerlukan underlying asset
6. Penggunaan proceeds harus sesuai dengan prinsip syariah
Sukuk di Indonesia terbagi menjadi dua, dari sisi penerbitnya.
Pertama Sukuk yang dikeluarkan oleh pemerintah yakni Sukuk Negara
atau sering kali disebut Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Dalam
hal ini yang menjadi underlying asset yakni aset pemerintah yang
bernilai ekonomis berupa tanah dan/atau bangunan maupun selain tanah
dan bangunan.16 Kedua adalah Sukuk korporasi yang di keluarkan oleh
perusahaan sebagai Emiten, dalam hal ini yang underlying asset dari
Sukuk korporasi ini adalah aset dari perusahaan atau anak perusahaan.

Surat Berharga Syariah Nasional

29
Dengan bertambahnya instrumen Surat Berharga Syariah Negara
(SBSN) di samping surat Utang Negara (SUN), diharapkan kemampuan
pemerintah dalam pengelolaan anggaran negara terutama dari sisi
pembiayaan akan semakin meningkat. Penggunaan instrumen ini adalah
bagian dari momentum semakin berkembangnya pasar keuangan
syariah, baik di dalam maupun di luar negeri, sehingga pemerintah
Indonesia perlu memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. Hal ini
sejalan pula dengan semakin terbatasnya daya dukung APBN untuk
menggerakkan pembangunan sektor ekonomi secara berkesinambungan
sebagaimana belum optimalnya pemanfaatan instrumen pembiayaan
lainnya sehingga diperlukan adanya diversifikasi instrumen
pembiayaan. Terkait dengan definisi SBSN sendiri, Pasal 1 angka 1 UU
No. 19 tahun 2008 tentang SBSN menyatakan bahwa SBSN atau dapat
disebut sukuk negara adalah: Surat berharga negara yang diterbitkan
berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan
terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.

Sedangkan dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No.


69/DSN-MUI/VI/2008 tentang SBSN pada ketentuan umum angka 1
dinyatakan: Surat Berharga Syariah Negara atau dapat disebut Sukuk
Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan
prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian (‫ )حصة‬kepemilikan aset
SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.

Dari definisi di atas dapat pula dipahami bahwa SBSN merupakan


bentuk derivatif dari Surat Berharga Negara di samping Surat Utang
Negara (SUN). Surat Utang Negara sendiri menurut Undang-Undang
No. 24/2002 adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang
dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran
bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan
masa berlakunya.

30
Sukuk Negara syari’ah terdiri dari empat instrumen, yaitu:

a. SBSN seri Islamic Fixed Rate (IFR), adalah seri SBSN yang diterbitkan

Pemerintah di pasar perdana dalam negeri yang ditujukan bagi investor

dengan nominal pembelian yang cukup besar. Seri ini telah diterbitkan
sejak tahun 2008, dengan cara bookbuilding dan dengan cara lelang
sejak tahun 2009. IFR bersifat tradable (dapat diperdagangkan) dengan

tingkat imbal hasil tetap.

b. SBSN seri Sukuk Ritel (SR), adalah seri SBSN yang diterbitkan
Pemerintah dengan cara bookbuilding di pasar perdana dalam negeri
yang ditujukan bagi investor individu atau orang perseeorangan Warga

Negara Indonesia. seri ini mulai diterbitkan pada tahun 2009, bersifat
tradable dengan imbal hasil tetap.

c. SBSN seri Sukuk Negara Indonesia (SNI), adalah seri SBSN yang
diterbitkan Pemerintah dalam denominasi valuta asing (US Dollar)
dengan cara bookbuilding. Seri ini mulai diterbitkan pada tahun 2009,
bersifat tradable dengan imbal hasil tetap.

d. SBSN seri Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI), adalah SBSN yang
diterbitkan berdasarkan penempatan Dana Haji dan Dana Abadi Umat
dalam SBSN oleh Departemen Agama dengan caraprivate placement.
Penerbitan ini merupakan tindak lanjut dari Nota Kesepahaman (MoU)
antara Menteri Keuangan danMenteri Agama pada bulan April 2009.
Penerbitan SDHI menggunakan akad Ijarah al-Khadamat dan bersifat non-
tradable (tidak bisa diperdagangkan).

31
Dalam penerbitan SBSN, keberadaan barang milik negara berfungsi
sebagai underlying aset. Karena itu agar barang milik negara dapat
digunakan sebagai aset SBSN, maka paling tidak harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:

1) Memiliki nilai ekonomis;

2) Dalam kondisi baik/layak;

3) Telah tercatat dalam dokumen penatausahaan barnag milik negara;

4) Bukan merupakan alat utama sistem persenjataan;

5) Tidak dalam sengketa;

6) Tidak sedang digunakan sebagai aset SBSN.

2.4 Metode Data Envelopment Analysis (DEA)


Data Envelopment Analysis (DEA) merupakan sebuah metode optimasi
program matematika yang mengukur efisiensi teknik suatu Decision Making
Unit (DMU), dan membandingkan secara relatif terhadap DMU yang lain.
Menurut Cooper, Lawrance dan Kaoru, Data Envelompment Analysis (DEA)
merupakan alat untuk mengukur efisiensi dalam kegiatan organisasi Decision
Making Unit (DMU) yang dilihat dari ukuran rasio input dan outputnya.17
Efisiensi relatif suatu DMU adalah efisiensi suatu DMU dibanding dengan
DMU lain dalam sampel yang menggunakan jenis input dan output yang
sama. DEA memformulasikan DMU sebagai program linear fraksional untuk
mencari solusi, apabila model tersebut ditransformasikan ke dalam program
linear dengan nilai bobot dari input dan output.18
Metode ini diketahui untuk pertama kali oleh Charnes, Cooper dan
Rhodes (CCR) melalui papernya yang dipublikasikan oleh European Journal
of Operation Research pada tahun 1978. Metode DEA merupakan salah satu
metode yang sering digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi perbankan,
lembaga independen, maupun lembaga swasta . Pengukuran tingkat efisiensi
32
suatu lembaga dapat diperoleh dengan menggunakan metode DEA. Metode
ini juga dapat mengidentifikasi unit mana yang telah mencapai tingkat
efisiensi yang paling tinggi sehingga dapat digunakan sebagai benchmark
bagi lembaga lain yang masih inefisien dilihat dari masing-masing variabel
input dan output yang digunakan dalam pengukurannya. Metode DEA juga
memberikan informasi potensi peningkatan penggunaan sumber daya yang
dimiliki unit-unit yang kurang efisien guna mengevaluasi dan mencari solusi
untuk lebih meningkatkan efisiensi nya.

2.4.1 Model Metode DEA

1. Constan Return to Scale

Model Constan Return to Scale (CRS) disebut juga model CCR


karena dikembangkan oleh Charnes, Cooper dan Rhodes pada tahun
1978. Pada model ini mengasumsikan bahwa penambahan input dan
output adalah sama. Artinya setiap penambahan input berjumlah “X”
maka output juga akan menambah sejumlah “X”. Asumsi lainnya
adalah setiap perusahaan atau UPK (Unit Pembuat Keputusan)
beroperasi pada skala optimal. UPK yang nilainya kurang dari 1 (≤1)
maka itu dapat di definisikan sebagai inefisiensi, sedangkan jika nilai
efisiensi nya sama dengan 1 berarti UPK tersebut adalah efisien.19

33
Gambar 2.2
Efisiensi Frontier Model CCR
(Charnes, Cooper, dan Rhodes dalam Aam Slamet Rusydian, 2013:21)

Rumus dari constan return to scale dapat dituliskan sebagai


berikut: dimana maksimisasi diatas merupakan efisiensi teknis (CCR),
Xij , adalah banyak nya input tipe ke -i dari UPK ke-j dan Y kj adalah
jumlah output tipe ke-k dari UPK ke-j. Nilai efisiensi selalu kurang atau
sama dengan 1 berarti UPK tersebut efisien.

2. Variabel Return to Scale


Model Variable Return to Scale (VRS) ini dikembangkan oleh
Banker, Charnes, dan Cooper (model BCC) pada tahun 1984 dan
merupakan pengembangan dari model CCR. Model ini beranggapan
bahwa perusahaan tidak atau belum beroperasi pada skala yang
optimal. Asumsi dari model ini adalah bahwa rasio antara
penambahan input dan Output tidak sama (variable return to scale).
Artinya, penambahan input sebesar “X” kali tidak akan menyebabkan
output meningkat sebesar “X” kali, bisa lebih kecil atau lebih besar
dari "X” kali.

34
Gambar 2.3
Efisiensi Frontier Model BCC
(Banker, Cooper, dan Rhodes dalam Aam Slamet Rusydian, 2013:21)

Rumus variable return to scale (VRS) dapat dituliskan sebagai


berikut: Maksimisasi di atas merupakan nilai efisiensi teknis (BCC), X ij
adalah banyak nya input tipe ke i dari UPK ke j, dan Y rj adalah jumlah
output tipe ke-r dari UPK ke j . Nilai dari efisiensi tersebut selalu
kurang atau sama dengan 1. UPK yang nilai efisien nya kurang dari 1
berarti inefisiensi sedangkan UPK yang nilainya sama dengan 1 berarti
UPK tersebut efisien.

35
2.5 Telaah Penelitian Terdahulu
Berikut ini merupakan beberapa penelitian terdahulu yang mendasari
peneliti untuk melakukan serta menjadi rujukan dalam penelitian ini:

Tabel 2.2

Penelitian Terdahulu
Nama
Metode Perbedaan
No Penulis Judul Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian Penelitian
(Tahun)
1 Nurlaili CASH WAQF Kualitatif Dari penelitian tersebut, Perbedaan
peneliti memaparkan
Adkhi LINKED Deskriptif variabel
model pembiayaan CWLS
Rizfa SUKUK terhadap pemulihan Penelitian
bencana alam gempa yang
Faiza SEBAGAI
terjadi di Jogja dan Jawa
(2019) PEMBIAYAAN Tengah dan telah
dipaparkan juga bahwa
PEMULIHAN
potensi CWLS sebagai
BENCANA pembiayaan pemulihan
bencana alam bisa menjadi
ALAM DI
alternatif yang tepat. Dana
36
INDONESIA wakaf yang terkumpul
melalui CWLS ini bisa
bermanfaat melalui dua
jalur. Pertama adalah
wakaf yang digunakan
untuk pembiayaan
pembangunan infrastruktur
pasca bencana melalui
sukuk wakaf. Kedua
adalah dana hasil
pemanfaatan wakaf yang
ditempatkan pada
instrumen sukuk yang bisa
disalurkan kepada mauquf
‘alaih.

2 Makhrus DINAMIKA Library Dari hasil penelitian ini - Berfokus


(2018) KEBIJAKAN Research peneliti memaparkan terhadap
NEGARA kebijakan-kebijakan atau pengelolaan
DALAM regulasi negara dalam wakaf di
PENGELOLAAN mengatur pengelolaan Indonesia
WAKAF DI wakaf di Indonesia dari
INDONESIA masa ke masa. Dipaparkan
pula dampak kebijakan
negara terhadap
masyarakat/institusi
pengelola wakaf dalam
pengelolaan wakaf di
Indonesia menyebabkan
pengelolaan wakaf harus
dilakukan secara
kelembagaan dan bersifat
produktif.

37
3. Ummi ANALISIS Kuantitatif Dari penelitian ini Perbedaan
Matul EFISIENSI Deskriptif memaparkan presentase objek
Ula LEMBAGA efisiensi lembaga penelitian
PENGELOLA pengelola wakaf tunai di dan
WAKAF TUNAI Indonesia melalui berfokus
DI INDONESIA pengoptimalan output untuk
MELALUI yang terdiri dari variabel melakukan
METODE DEA dana tersalurkan dan hasil perbandinga
pengalihan aset serta n tingkat
presentase efisiensi efisiensi
penggunaan input yang lembaga
terdiri dari variabel dana pengelola
terhimpun dan biaya wakaf tunai
operasional dengan hasil di
model CCR menemukan Indonesia.
tiga lembaga pengelola
wakaf tunai di Indonesia
pada rentang tahun tertentu
sudah berada pada tingkat
efisiensi 100%, yakni
BMM pada tahun 2009
dan 2010, PKPU pada
tahun 2011 dan 2013, TWI
pada tahun 2011.

2.6 Kerangka Berfikir

Sukuk Negara
Wakaf Tunai
di investasikan (SBSN)

38
Beberapa LKSPWU Efisiensi
diantaranya: BNI Syariah, Pengelolaan
Bank Muamalat Indonesia CWLS

Dengan menggunakan
Frontier Approach Data Hasil Analisis
Envelopment Analysis

39
BAB III

METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian Kuantitatif
Deskriptif yaitu penelitian yang memberikan deskripsi tentang suatu
permasalahan terhadap situasi yang kompleks melalui pengolahan data
menggunakan teknik analisis untuk mengukur efisiensi pengelolaan wakaf
pada Cash Waqf Linked Sukuk . Penelitian ini juga bagian dari metode
deskriptif yang hendak mendalami suatu kasus tertentu secara mendalam
dengan melibatkan pengumpulan beberapa sumber informasi. Untuk
mencapai tujuan penelitian, penulis mengumpulkan informasi melalui
studi literatur, wawancara, dan kajian terhadap pengelolaan wakaf pada
Cash Waqf Linked Sukuk yang kemudian dianalisis dan diolah menjadi
satu hasil yang berupa presentase efisiensi pengelolaan Cash Waqf Linked
Sukuk terhadap sektor riil, pendidikan, kesehatan, sosial dan keagamaan
yang diukur melalui teknik Data Envelopment Analysis.
3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel
Penelitian ini melibatkan beberapa yaitu: variabel pengumpulan dana,
penyaluran dana Cash Waqf Linked Sukuk terhadap beberapa sektor riil,
pendidikan, kesehatan, sosial dan keagamaan terhadap efisiensi
pengelolaan dana Cash Waqf Linked Sukuk secara menyeluruh dan
realisasi yang optimal terhadap beberapa sektor riil.
3.3 Instrumen Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kuantitatif
dan mayoritas menggunakan data sekunder, menggunakan dokumentasi
beberapa teori dan kajian literatur yang dilakukan secara berkala.
Mengumpulkan dan memilah data yang relevan dan sesuai dengan
kebutuhan penelitian. Kemudian setelah dipilah dokumen apa saja yang

40
dianggap penting, peneliti melakukan olah data sesuai dengan prosedur
penelitian dan menganalisis nya dengan melihat hasil olah data penelitian.
3.4 Prosedur Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan peneliti dalam mengumpulkan data
diantaranya adalah:
1. Teknik interview/wawancara, yaitu peneliti mengajukan beberapa
pertanyaan kepada praktisi atau akademisi Islam serta lembaga-
lembaga yang terkait dalam bidang wakaf, seperti: BWI, BI, Bank
Muamalat Indonesia dan BNI Syariah sebagai Lembaga Keuangan
Syariah Penerima Wakaf Uang (LKSPWU)

2. Teknik dokumentasi berarti mengumpulkan dokumen–dokumen yang


relevan dan dibutuhkan sesuai dengan penelitian yang dilakukan.

3.5 Teknik analisis data

Teknik Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah


metode Data Envelopment Analysis (DEA). DEA adalah sebuah metode
optimasi program matematika yang mengukur efisiensi teknik suatu unit
kegiatan ekonomi (UKE)/DMU dan membandingkan secara relatif
terhadap DMU yang lain. DEA menurut komaryatin dalam (Adilho 2013)
mula-mula dikembangkan oleh Farrel, yaitu yang mengukur efisiensi
teknik satu input dan satu output menjadi multi input dan multi output,
menggunakan kerangka nilai efsisiensi relatif sebagai rasio input (sigle
virtual input) dengan output (sigle virtual output). Dari beberapa metode
perametrik dan non parametrik, terdapat kelebihan dan kekuangan dari
penggunaan metode DEA. Menurut Indrawati, kelebihan dan kekurangan
tersebut yaitu (Indrawati 2009):
1. Kelebihan DEA:
a) Bisa menangani banyak input dan output.
b) Tidak butuh asumsi hubungan fungsional antara variabel input dan
output.
c) DMU dibandingkan secara langsung dengan sesamanya.

41
d) Input dan output dapat memiliki satuan pengukuran yang berbeda.
2. Kekurangan DEA:
a) Bersifat simple spesifik.
b) Merupakan extreme point technique, kesalahan pengukuran bisa
berakibat fatal.
c) Hanya mengukur produktifitas relatif dari DMU bukan produktifitas
absolut.
d) Uji hipotesis secara statistik DEA sulit dilakukan.
e) Menggunakan perumusan linier programming terpisah untuk tiap DMU

(perhitungan secara manual sulit dilakukan apalagi untuk masalah


berskala besar).

42
DAFTAR PUSTAKA

Abel, Sanderson, dkk. (2018). International Journal of Economics and Financial


Issues : A Review of Determinants of Financial Inclusion, 2018, 8(3), 1-8.

Choerunnisa, Annisa. (2018). Analisis Pengaruh Inklusi Terhadap UMKM.

Creswell, J. (2014). Research Design : Qualitative, Quantitative & Mix Method


Approaches. Upper Saddle, NJ: Pearson Education.

Dewi, Andhadari dan Sobar. Pengaruh Tingkat Literasi Keuangan Terhadap


Minat Pengguna Produk Finansial Teknologi Pada Mahasiswa Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta.

Kesa, Deni Danial (2019). Realisasi Literasi Keuangan Masyarakat dan Kearifan
Lokal : Studi Kasus Inklusi Keuangan di Desa Teluk Jambe, Karawang,
Jawa Barat. Vol.1, No.2, 2019.

Eriyanto. (2012). Teknik Sampling Analisis Opini Publik. LKIS Pelangi Aksara.
Yogyakarta.

Faizal, Henry. (2007). Ekonomi Manajerial. Rajagrafindo Persada. Jakarta.

Faidah, Faridhatun. (2019). Pengaruh Literasi Keuangan dan Faktor Demograf


Terhadap Minat Investasi Mahasiswa.

Giffari, Arvika Shinta (2018). Analisis Literasi Finansial Mahasiswa Fakultas


Ekonomi Universitas Islam Indonesia.

Hariwijaya, Muhammad, (2015). Metodologi Skripsi, Tesis, dan Disertasi,


Yogyakarta: Parama Ilmu

Hidayat, Anwar. (2012). Metodologi Penelitian : Populasi dan Sampel


.https://www.statistikian.com/2012/10/pengertian-populasi-dan-sampel.html
[diakses pada 6 Juli 2019]

43
44

Hidayat, Anwar. (2017). Cara Hitung Rumus Slovin Besar Sampel


.https://www.statistikian.com/2017/12/hitung-rumus-slovin-sampel.html
[diakses pada 15 Januari 2020]

Kuncoro, Mudrajad. (2013). Metode Riset untuk Bisnis & Ekonomi (edisi 4).
Erlangga. Jakarta.

Perpres RI No.82 Thn 2016 Tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif

Priyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif. Zifatama Publishing. Sidoarjo.

Sudaryono, (2014). Aplikasi Statistika Untuk Penelitian. Lentera Ilmu Cendekia.


Jakarta Pusat.

Sugiono, (2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&. Alfabeta.


Bandung.

Supranto, (2008). Statistik : Teori dan Aplikasi. Erlangga. Jakarta.

Sumanto, (1990). Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. ANDI.


Yogyakarta

http://www.statistikian.com/2018/02/pengertian-simple-random-sampling.html
[diakses pada tanggal 9 Januari 2020, 22.23 WIB]

Syahrum & Salim. (2012). Metodologi Penelitian Kuantitatif. Cita Pustaka Media.
Bandung.

Suyitno (2018). Metode Penelitian Kualitatif : Konsep, Prinsip dan


Operasionalnya. Tulungagung : Akademia Pustaka.

Syah & Eka (2017). Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam : Optimalisasi Laku Pandai
Berbasis Masjid Guna Literasi dan Inklusi Keuangan Syariah
Berkelanjutan. Vol.3, No.2, Juli-Desember 2017.
45

Tampubolon, Rotua Nuraini (2017). Peran Perbankan Menuju Keuangan Inklusif


di Indonesia : Studi Kasus Penyaluran Kredit Usaha Mikro Melalui
Program Kemitraan Kampoeng Bni Batik Tulis Lasem oleh Bank BNI.

Zikmund, W. G., (2000). Bussiness Research Method (6th ed). Forth Wourth.
Harcout Inc.

Anda mungkin juga menyukai