Anda di halaman 1dari 49

IMPLEMENTASI PENGELOLAAN ANGGARAN PENDAPATAN

DAN BELANJA DESA (APBDESA) UNTUK MEWUJUDKAN


PEMBANGUNAN DESA (STUDI KASUS DESA PUBASU,
KECAMATAN TOBU, KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN)

PROPOSAL PENELITIAN

OLEH :

CHARLES M. HAEKASE
1810020208

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2021
IMPLEMENTASI PENGELOLAAN ANGGARAN PENDAPATAN
DAN BELANJA DESA (APBDESA) UNTUK MEWUJUDKAN
PEMBANGUNAN DESA (STUDI KASUS DESA PUBASU,
KECAMATAN TOBU, KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN)

PROPOSAL PENELITIAN

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Akuntansi
Program Studi Akuntansi

OLEH :

CHARLES M. HAEKASE
1810020208

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2021

i
KATA PENGANTAR

Segala  Puji  dan Syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa, sumber segala Ilmu Pengetahuan yang telah memberikan Rahmat-Nya
sehingga Proposal Penelitian Dengan Judul “Implementasi Pengelolaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes ) Untuk Mewujutkan
Pembangunan Desa ( Studi Kasus Desa Pubasu, Kecamatan Tobu, Kabupaten
Timor Tengah Selatan” dapat diselesaikan dengan baik tepat pada waktunya.
Proposal ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar
Sarjana pada Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Nusa
Cendana Kupang.
Penyusunan Proposal ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan,
bimbingan, petunjuk dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini perkenankan
peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Christin C. Foenay, ST, SE, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Nusa Cendana.
2. Ibu Christin C. Foenay, ST, SE, M.Si, selaku Ketua Program Studi Akuntansi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nusa Cendana.
3. Ibu Yohana Febiani Angi, SE, M.Aks, selaku Sekretaris Program Studi
Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nusa Cendana.
4. Ibu Maria E.D. Tunti, SE, M.Si, selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Yohana
Febiani Angi, SE, M.Aks, selaku Dosen Pembimbing II yang telah
meluangkan waktu dalam membimbing penulis serta memotivasi penulis
untuk menyelesaikan penyusunan proposal ini.
5. Ibu Sarina Joyce Margaret Rafael, SE,M.Acc,AK,CA, selaku Dosen
Penasehat yang senantiasa memberi dukungan moril dalam penulisan
proposal ini.
6. Segenap Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nusa Cendana,
yang telah memberikan banyak wawasan keilmuan bagi peneliti.
7. Seluruh Teman Angkatan 2018 “ASGARD” Terima kasih atas tempat,
pikiran, dukungan dan motivasinya selama ini sehingga peneliti dapat
menyusun Proposal ini.

ii
8. Isteri, Orang Tua, Kakak, Adik, dan seluruh keluarga tercinta yangtelah
memberikan dukungan, semangat, doa dan motivasi dalam peneliti Proposal
ini.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah
memberikan bantuan kepada peneliti dalam menyelesaikan Proposal ini.
Peneliti menyadari Proposal ini masih jauh dari kesempurnaan karena
keterbatasan kemampuan peneliti. Oleh karena itu, peneliti sangat mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun yang dapat dijadikan sebagai bahan
masukan bagi peneliti demi kesempurnaan Proposal ini. Semoga Proposal ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak. Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa
senantiasa bersama kita dan memberkati jalan hidup kita.

Kupang, Desember 2021

Peneliti

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL.......................................................................................... i

KATA PENGANTAR.................................................................................... ii

DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang...................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah................................................................................. 3
1.3 Tujuan Penelitian.................................................................................. 4
1.4 Manfaat Penelitian................................................................................ 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori.......................................................................................... 6


2.1.1 Teori Implementasi...................................................................... 9
2.1.2 Pengertian Desa........................................................................... 12
2.1.3 Keuangan Desa............................................................................ 13
2.2 Kajian Empirik...................................................................................... 20
2.3 Kerangka Berpikir................................................................................. 25

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian..................................................................................... 27


3.2 Pendekatan Penelitian........................................................................... 27
3.3 Fokus Penelitian.................................................................................... 27
3.4 Jenis dan Sumber Data.......................................................................... 27
3.5 Teknik Pengumpulan Data.................................................................... 28
3.6 Teknik Analisis Data............................................................................ 30

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 31

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Membangun basis yang kuat bagi demokrasi, partisipasi rakyat, keadilan dan

pemerataan pembangunan sekaligus memperhatikan kebutuhan masyarakat yang

berbeda-beda pemerintah bersama lembaga legislatif mengesahkan Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah

daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan

antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

merupakan sebuah produk era reformasi yang menjadi bentuk awal kemandirian

Desa dalam penyelenggaraan Pemerintahan maupun dalam pengelolaan Keuangan

Desa. Mengingat dana yang diterima oleh Desa jumlahnya cukup besar dan terus

meningkat setiap tahunnya, maka dalam menyelenggarakan Pemerintahan dan

Pengelolaan KeuanganDesa, dibutuhkan kapasitas Aparatur Desa yang handal dan

sarana lainnya yang memadai agar pelaksanaannya menjadi lebih terarah dan

akuntabel.

Alokasi dana desa (ADD) merupakan salah satu bentuk hubungan keuangan

antar tingkat Pemerintahan yaitu hubungan keuangan antara Pemerintahan

Kabupaten dengan Pemerintahan Desa. Untuk dapat merumuskan hubungan

keuangan yang sesuai maka diperlukan pemahaman mengenai kewenangan yang

dimiliki pemerintah Desa. Artinya, anggaran pemerintah yang diberikan kepada

1
Desa terkait sepenuhnya adalah untuk fasilitas pembangunan dan pemberdayaan

Desa sebagai salah satu lembaga yang andil dalam format kepemerintahan. Dana

tersebut harus digunakan dan di alokasikan sebagai mana mestinya sesuai dengan

undang undang dan ketentuan yang berlaku yang telah ditetapkan pemerintah

Indonesia sehingga dengan Alokasi Dana Desa (ADD) tersebut mampu

meningkatkan Pembangunan Desa, Partisipasi Masyarakat dalam Memberdayakan

dan mengimplementasikan bantuan tersebut untuk kedepan.

Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa pada pasal1 dijelaskan

pengertian Desa yakni Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan

nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang

memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan,kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa

masyarakat,hak asal usul, dan/atau masyarakat dan untuk mengatur hak tradisional

yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan

warganya dalam segala aspek mulai dari mengatur pemerintah desa untuk

melayani(publicgood), masyarakat luas (public regulation), dan pemberdayaan

masyarakat(empowerment). Peranan pemerintah untuk mengatur desa memang

dirasa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya, inovasi-

inovasi baru serta perhatian pemerintah desa pada pengelolaan sarana dan prasarana

desa juga sangat diperlukan demi terwujudnya pembangunan yang wajar

seutuhnya.

1
Desa sebagai salah satu ujung tombak organisasi pemerintah dalam mencapai

keberhasilan dari urusan pemerintahan yang asalnya dari pemerintah pusat.Perihal

ini disebabkan Desa lebih dekat dengan masyarakat sehingga program dari

pemerintah lebih cepat tersampaikan. Desa mempunyai peran untuk mengurusi

serta mengatur sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014tentang

Desa yang salah satu pasalnya dijelaskan bahwa Desa memiliki kewenangan dalam

bidang penyelenggaraan pemerintahan,pembangunan, pembinaan kemasyarakatan

dan pemberdayaan Desa.

Menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan Desa, aparat Desa dihadapkan

dengan tugas yang cukup berat, mengingat Desa sebagai entitas yang berhadapan

langsung dengan rakyat pada saat ini. Peranan Pemerintah Desa sangat diperlukan

guna menunjang segala bentuk kegiatan pembangunan. Berbagai bentuk

perubahan sosial yang terencana dengan nama pembangunan diperkenalkan dan

dijalankan melalui Pemerintah Desa. Untuk dapat menjalankan peranannya secara

efektif dan efesien para pemerintah desa dalam melakssanakan harus sesuai dengan

UU No 113 yang dilandasi dengan peraturan menteri dalam negeri, Pemerintah

Desa perlu terus dikembangkan sesuaidengan perkembangan kemajuan masyarakat

Desa dan lingkungan sekitarnya. Perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat

Desa disebabkan adanya gerakan pembangunan Desa perlu diimbangi pula dengan

pengembangan kapasitas pemerintahan Desanya.Sehingga,Desa dan masyarakatnya

tidak hanya sebatas sebagai objek pembangunan, tetapi dapat memposisikan diri

sebagai salah satu pelaku pembangunan.

Konsep corporate governance diajukan demi tercapainya pengelolaan

1
perusahaan yang lebih transparan bagi semua penggunaan laporan keungan. Bila

konsep ini diterapkan dengan baik maka transparansi pengelolaan perusahaan

akan terus membaik dan diharapkan pertumbuhan ekonomi akan terus meningkat

dan akan mengutungkan bagi banyak pihak (Eko dan Teguh, 2008). Begitu juga

dengan desa. Sesuai dengan tujuan penataan desa maka diperlukan tata kelola

yang baik ( good governance). good governance yang baik maka akan

mempercepat peningkatan kesejahtreraan masyarakat desa.

Pengelolaan keuangan di setiap organisasi, baik pemerintah maupun

organisasi non pemerintah dan merupakan salah satu persoalan yang sampai saat ini

dikaji oleh berbagai pihak. Permasalahan tersebut menjadi sangat penting sejak

dilaksanakannya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Salah satu tujuan utama

pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal tersebut adalah menciptakan

good governance, yaitu pemerintah yang baik ditandai dengan adanya transparansi,

akuntabilitas publik, partisipasi, efesiensi dan efektivitas, serta penegak hukum

(Mardiasmo,2009: 18). Oleh karena itu, otonomi desa benar- benar merupakan

kebutuhan yang harus diwujudkan untuk mewujudkan good governance diperlukan

reformasi kelembagaan (institutional reform) dan reformasi manajemen publik

(public management reform). Reformasi kelembagaan menyangkut pembenahan

seluruh alat-alat pemerintah di daerah baik struktur maupun

infrastrukturnya.Selain reformasi kelembagaan dan reformasi manajemen sektor

publik, untuk mendukung terciptanya good governance, maka diperlukan

serangkaian reformasi lanjutan terutama yang terkait dengan sistem pengelolaan

keuangan daerah. Melihat dari prinsip good governance ini adanya dana desa yang

1
dialokasikan ke desa cukup besar agar dapat dilaksanakan dengan baik. Ketiga

prinsip good governance tersebut sesuai dengan azas pengelolaan keuangan desa.

Keuangan desa dikelola berdasarkan azas-azas transparan, akuntabel, dan

partisipatif serta dilakukan dengan tertib dan disiplin anggaran (V. Wiratna, 2015:

27).

Berkaitan dengan hal tersebut, pengembangan wawasan dan pengetahuan

bagi para penyelenggara pemerintahan Desa merupakan kegiatan yang semestinya

menjadi prioritas utama.Sehingga pengembangan wawasan, pengetahuan, sikap

dan keterampilan para penyelenggara pemerintahan senantiasa teraktualisasi

seiring dengan bergulirnya perubahan yang senantiasa terjadi.

Konsekuensi logis adanya kewenangan dan tuntutan dari pelaksanaan

otonomi Desa adalah tersedianya dana yang cukup. Sadu Wasistiono (2006 : 107)

menyatakan bahwa pembiayaan atau keuangan merupakan faktor essensial dalam

mendukung penyelenggaraan otonomi Desa, sebagaimana juga pada

penyelenggaraan otonomi daerah yang mengatakan bahwa “autonomy“indentik

dengan “auto money“, maka untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya

sendiri desa membutuhkan dana atau biaya yang memadai sebagai dukungan

pelaksanaan kewenangan yang dimilikinya.

1. Pelaksanaan mendukung dalam rangka kewenangan tersebut,dalam Undang

Undang Nomor 6 tahun 2014 desa diberikan sumber-sumber pendapatan yang

berasal dari tujuh sumber, yaitu: Pendapatan asli desa, terdiri atas hasil usaha,

hasil aset,swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli

desa;

1
2. Alokasi APBN (Dana Desa);

3. Bagian dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Kabupaten/kota,

minimal sebesar 10% dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah

kabupaten/kota;

4. Alokasi Dana Desa, yaitu bagian dana perimbangan yang diterima

kabupaten/kota diluar DAK (DAU dan DBH) sebesar 10%;

5. Bantuan keuangan dari APBD provinsi/kabupaten/kota;

6. Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga;dan

7. Lain-lain pendapatan desa yang sah.

Ketentuan pasal tersebut mengamanatkan kepada Pemerintah Kabupaten

untuk mengalokasikan dana perimbangan yang diterima Kabupaten kepada Desa-

desa yaitu dalam bentuk Alokasi Dana Desa(ADD) dengan memperhatikan prinsip

keadilan dan menjamin adanya pemerataan. ADD adalah Alokasi Dana ke Desa

dengan perhitungan dari Dana Perimbangan yang diterima oleh Kabupaten sebesar

10% setelah dikurangi dengan Dana Alokasi Khusus (DAK).

Dasar hukum pengalokasian Dana Perimbangan ke Desa sesuai dengan

amanat dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 72 ayat(4), jika hal

tersebut tidak dilaksanakan maka sanksi tegas dinyatakan dalam Pasal 72 ayat (6),

dimana Pemerintah dapat melakukan penundaan dan/atau pemotongan sebesar

alokasi Dana Perimbangan setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Dalam

Peraturan Pemerintah(PP) Nomor 43 Tahun 2014 yang telah direvisi menjadi PP

No 47 tahun2015 tentang peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun

2014 tentang Desa Pasal 96 ayat (3) pengalokasian ADD disalurkan dengan

1
pertimbangan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayahdan tingkat

kesulitan geografis.

Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan

dan Belanja Desa (APBDes) didasarkan pada realita bahwa sebagai pilar Otonomi

daerah, Desa semakin membutuhkan pendanaan yang seimbang untuk menjalankan

peran yang lebih konkrit dalam pembangunan daerah. Pemerintah KabupatenTimor

Tengah Selatan berharap dengan adanya anggaran pendapatan dan belanja

desa,perencanaan partisi patif berbasis masyarakat akan lebih berkelanjutan,karena

masyarakat dapat langsung terlibat dalam pembuatan dokumen perencanaan di

desanya dan ikut merealisasikannya.

Dalam kaitannya dengan pemberian alokasi anggaran dana Desa di

Kabupaten Timor Tengah Selatan, Pemerintah Kabupaten telah memberikan

petunjuk teknis mengenai proses penyaluran dan jumlah pada anggaran setiap desa

melalui Peraturan Bupati Timor Tengah Selatan Nomor..... Tahun .... tetang

petunjuk Teknis Alokasi Dana Desa. Fenomena dalam pengelolaan dana desa

merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji lebih lanjut, karena masih banyak

disajikan data-data keuangan yang tidak sesuai, selain itu juga masih banyak

penyimpangan- penyimpangan dalam pengelolaan dana desa.

Berikut Profll Tahun 2020 di Desa Pubasu Kecamatan Tobu Kabupaten

Timor Tengah Selatan dalam penelitian ini disajikan pada tabel di bawah ini:

1
Tabel 1.1

Profil Desa Tahun 2020

Desa Pubasu, Kecamatan Tobu

NO KETERANGAN DESA PUBASU

1 Jumlah Warga 984 Jiwa

2 Jenis Kelamin

1. Perempuan 506 Jiwa

2. Laki-laki 478 Jiwa

3 Pendidikan Terakhir

1. Tidak Sekolah 95 Orang

2. SD 150 Orang

3. SMP
95 Orang
4. SMA
50 Orang
5. D-3
15 Orang
6. S1
10 Orang

Sumber : Kantor Desa Pubasu, Kecamatan Tobu

Desa Pubasu memiliki luas kisaran wilayah 2,17 Ha dengan jumlah penduduk

kisaran 984 jiwa

Berikut daftar Anggaran Laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa

1
(APBDes) Tahun 2020 di Desa Pubasu Kecamatan Tobu Kabupaten Timor Tengah

Selatan dalam penelitian ini disajikan pada tabel di bawah ini:

Tabel 1.2
Daftar Laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Tahun 2020
di Desa Pubasu Kecamatan Tobu
Kabupaten Timor Tengah Selatan
Desa Pubasu
Keterangan
Anggaran Realisasi %
PAD 1.000.000 1.000.000 100 %
1. Bidang 350.655.201 342.905.415 100 %
Penyelenggaran
Pemerintah Desa
2. Bidang Pelaksanaan 516.042.000 516.041.000 100 %
Pembangunan Desa
3. Bidang 6.410.000 6.410.000 100 %
Pemberdayaan
Kemasyarakatan
4. Bidang Pembinaan 45.851.163 29,401.247 100 %
Kemasyarakatan
5. Pembiayaan 335.300.000 335.300.000 100 %

Sumber : Penulis 2021

Berdasarkan Tabel I.2 di atas menunjukan jumlah anggaran dan realisasi

pendapatan belanja APBDes di desa Pubasu mengalami ketidak sesuaian anggaran

dikarenakan alokasi sumber daya yang berfluktuasi, nampak varian yang besar dan

ketimpangan antara realisasi dengan anggaran sehingga perbedaan antara jumlah

yang dianggarkan dengan biaya pengeluaran tidak sesuai yang seharusnya. Dalam

1
kaitan tersebut pada bidang penyelanggaraan desa memilki kendala seperti

kurangnya partisipasi masyarakat dalam merancang kegiatan desa, bidang

pelaksanaan masih banyaknya bangunan yang belum sesuai masa umur

ekonomisnya sehingga banyaknya bangunan yang rusak sebelum masa habis

pakai, bidang pemberdayaan permasyarakatan masih kurangnya alat alat dalam

mendukung kegiatan pemerintah desa, bidang pembinaan kemasyarakatan

kurangnya manajemen usaha desa atau BUMDES, pembiayaan masih banyak biaya

yang dikeluarkan tanpa adanya nota dan bukti yang jelas dalam kegiatan

pemerintahan desa. Dalam penulis beranggapan adanya pengelolaan anggaran yang

kurang baik terkhususnya dalam penerapan prinsip Good Gevernance. Penelitian

pengelolaan dana desa di Desa Pubasu ini diharapkan sesuai dengan prinsip Good

Governance.

Berdasarkan uraian di atas, menarik bagi penulis untuk mengkaji lebih jauh

tentang pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dengan mengangkat

judul penelitian: Implementasi Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Desa (APBDes) Untuk Mewujudkan Pembangunan Desa Pubasu di

Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2020.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang dapat

dikemukakan dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah pengelolaan anggaran

pendapatan dan belanja desa (APBDes) Tahun 2020 Pada Desa Pubasu Kabupaten

Timor Tengah Selatan.

1.3 Tujuan Penelitian

1
Berdasarkan penelitian dari perumusan masalah diatas, maka tujuan dari

penelitian ini yaitu untuk mengetahui sejauh mana Pengelolaan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) Tahun 2020 Pada Desa Pubasu Kabupaten

Timor Tengah Selatan.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian tersebut maka manfaat dari penelitian ini

adalah :

1. Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan.

Peneliti menambah pengetahuan, wawasan, dan pengalaman bagi peneliti

mengenai penerapan dalam pengembangan ilmu pemerintahan khususnya yang

berfokus pada kajian Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa).

2. Bagi Objek Peneliti.

Untuk mendapatkan gambaran mengenai penerapan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Desa (APBDesa) dan diharapkan dapat berguna bagi seluruh

stakeholders dan menjadi sumbangsi peneliti terhadap input bagi Pemerintah

Desa.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya.

Sebagai tambahan referensi bagi pihak lain dalam hal ini akademisi yang

berminat untuk melakukan penelitian lanjutan tentang masalah ini.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Teori Implementasi

a. Defenisi Implementasi

Secara etimologis pengertian implementasi menurut Kamus

Webster “Konsep implementasi berasal dari bahasa inggris yaitu to

implement. Dalam kamus besar webster, to implement

(mengimplementasikan) berati to provide the means for carrying out

(menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu) dan to give practical

effectto (untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu)” (Wahab,

1990:64). Implementasi berasal dari Bahasa Inggris yaitu to implement

yang berarti mengimplementasikan. Implementasi merupakan

penyediaan sarana untuk melaksanakan sesuatu yang menimbulkan

dampak atau akibat terhadap sesuatu. Sesuatu tersebut dilakukan untuk

menimbulkan dampak atau akibat itu dapat berupa undang-undang,

Peraturan Pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang dibuat

oleh lembaga-lembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan.

Menurut Saparingga dalam jurnalnya yang mengutip buku dari

Winarno yang berjudul “Kebijakan Publik, Teori dan Proses”,

Implementasi di pandang secara luas mempunyai makna pelaksanaan

1
undang-undang dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik

bekerja bersama-sama menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih

tujuan-tujuan kebijakan. Implementasi pada sisi yang lain merupakan

fenomena yang kompleks yang mungkin dapat di pahami sebagai suatu

proses, suatu keluaran (output) maupun sebagai suatu dampak (outcome)

(Saparingga, Jurnal Ilmu Pemerintahan, Vol. 1 Ed. 1, 2015:8).

Konsep implementasi sering dikaitkan dengan istilah kebijakan.

Artinya setiap kali orang berbicara tentang implementasi, maka yang

dimaksudkan adalah implementasi kebijakan. Masalah implementasi

kebijakan publik sangat mendasar dalam kehidupan masyarakat karena

implementasi inilah yang menentukan keberhasilan dari suatu kebijakan

dan bisa bermanfaat bagi masyarakat luas. Proses kebijakan tidak

berakhir sampai tahap perumusan, karena baik tidaknya atau tepat

tidaknya suatu kebijakan yang telah ditetapkan akan terbukti dari hasil-

hasil yang diperoleh dalam implementasi kebijakan.

Menurut Evelin Balandatu yang mengutip buku dari Thomas Dye

yang berjudul “Understanding Public Policy”, Kebijakan sebagai

pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan

sesuatu. Kebijakan diartikan sebagai serangkaian kesimpulan atau

rekomendasi, sebagai suatu proses kebijakan menunjuk pada cara dimana

melalui cara tersebut suatu organisasi dapat mengetahui apa yang

diharapkan darinya yaitu program dan mekanisme dalam mencapai

produknya, dan sebagai suatu kerangka kerja, kebijakan merupakan

1
suatu proses tawar menawar dan negosiasi untuk merumuskan isu-isu

dan metode (Balandatu, Jurnal Eksekutif, Vol. 1 Ed. 7, 2015:3).

Menurut Try Raharjo yang mengutip buku dari Friedrick

kebijakan adalah serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang,

kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan

menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap

pelaksanaan usulan kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai

tujuan tertentu (Raharjo, dkk, Jurnal Sosial dan Humaniora, Vol. 16 Ed.

1, 2013:34).

Dalam hal ini kebijakan sangat erat kaitannya dengan

kewenangan, kebijakan muncul karena adanya kewenangan, kewenangan

berkaitan dengan jabatan, kebijakan hanya dapat dilakukan oleh karena

adanya kewenangan yang melekat pada seseorang. Orang yang tidak

mempunyai kewenangan tidak dapat menerbitkan kebijakan. Kebijakan

merupakan ketetapan yang diambil pihak yang mempunyai kewenangan

dikarenakan adanya suatu keadaan/ permasalah/ perubahan tertentu.

Wahab mengemukakan beberapa definisi dari beberapa sumber

mengenai implementasi kebijakan:

1. Kamus Webster, menyatakan bahwa implementasi kebijakan dapat

dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan

kebijaksanaan, yang biasanya dalam bentuk UU, Peraturan

Pemerintah, Keputusan Peradilan, Kepmen, dan lain- lain.

2. Van Meter dan Van Horn, merumuskan proses implementasi sebagai

1
tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh invidu-individu

(pejabat) atau kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan

pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam

keputusan kebijakan.

3. Mazmanian dan Sabatier, menjelaskan makna implementasi yaitu

bahwa memahami apa yang senyatanya terjadi, sesudah suatu

program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus

perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadiandan

kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman

kebijaksanaan Negara yang mencakup baik usaha-usaha untuk

mengadministrasikan maupun untuk menimbulkan akibat/dampak

nyata padamasyarakat atau suatu peristiwa (Wahab, 1990:43).

Terdapat beberapa teori dari beberapa ahli mengenai

implementasi kebijakan, yaitu:

a. Teori George C. Edward

Menurut pandangan Edward III implementasi kebijakan

dipengaruhi oleh empat variable, yaitu :

1. Communication (Komunikasi), yaitu keberhasilan implementasi

kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang

harus dilakukan.

2. Resourcess (Sumberdaya), meskipun isi kebijakan telah

dikomunikasikan secara jelas dan konsisten,tetapi apabila

implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan.

1
3. Dispotition or Attitude (Sikap), adalah watak dan karakteristik

yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, kejujuran,

sifat demokratis.

4. Bureaucratic structure (Struktur Birokrasi), Struktur organisasi

yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan.

Aspek dari struktur organisasi adalah Standard Operating

Procedure (SOP) dan fragmentasi. Struktur organisasi yang

terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan

menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan

kompleks, yang menjadikan aktivitas organisasi tidak fleksibel

(Juita, Jurnal Eksekutif, Vol. 1 Ed. 7, 2015:5)

b. Teori Charles O. Jones

Menurut Jones ada tiga aktivitas untuk mengoperasikan sebuah

program. Tiga aktivitas dalam implementasi tersebut, dapat dijelaskan

antara lain sebagai berikut:

a. Organisasi, Pembentukan atau penataan kembali sumberdaya, unit-

unit serta metode untuk menjadikan program berjalan.

b. Interpretasi, Menafsirkan agar program menjadi rencana dan

pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta dilaksanakan.

c. Aplikasi, Ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran atau lainnya

yang disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program

1
(Maringka, Jurnal Eksekutif, Vol. 1 Ed. 7, 2016:4)

Berdasarkan beberapa teori yang telah dikemukakan oleh para

ahli tersebut di atas, guna pembatasan dalam penelitian ini maka penulis

memilih pendekatan yang dikemukakan oleh George C. Edward dan O,

Jones, yang dianggap relevan dengan materi pembahasan dari objek

yang diteliti. Hal ini bukan berarti bahwa peneliti menjustifikasi teori-

teori lain tidak lagi relevan dengan perkembangan teori implementasi

kebijakan publik, melainkan lebih mengarahkan kepada peneliti agar

lebih fokus terhadap permasalahan yang dikaji melalui penelitian ini,

sehingga membantu dalam menjawab tujuan dari penelitian ini.

Model implementasi menurut George C. Edward terdiri dari

empat variable, yaitu Pertma, Communication (Komunikasi), yaitu

keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor

mengetahui apa yang harus dilakukan, dimana yang menjadi tujuan dan

sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran

(target group), sehingga akan mengurangi distorsi implementasi,

Kedua, Resourcess (Sumberdaya), meskipun isi kebijakan telah

dikomunikasikan secara jelas dan konsisten,tetapi apabila implementor

kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, maka implementasi tidak

akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber

daya manusia, misalnya kompetensi implementor dan sumber daya

finansia, Ketiga, Dispotition or Attitude (Sikap), adalah watak dan

1
karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen,

kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi

yang baik, maka implementor tersebut dapat menjalankan kebijakan

dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.

Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda

dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga

menjadi tidak efektif, Keempat, Bureaucratic structure (Struktur

Birokrasi), Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan

kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi

kebijakan. Aspek dari struktur organisasi adalah Standard Operating

Procedure (SOP) dan fragmentasi. Struktur organisasi yang terlalu

panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan

red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks, yang

menjadikan aktivitas organisasi tidak fleksibel.

Sedangkan Model implementasi program menurut Jones yang

melihat implementasi terdiri dari tiga aktivitas, yaitu Pertama

organisasi, setiap organisasi harus memiliki struktur organisasi, adanya

sumber daya manusia yang berkualitas sebagai tenaga pelaksana dan

didukung oleh sumber daya lainnya (uang atau anggaran, perlengkapan,

peralatan dan metode). Kedua interpretasi, mereka yang bertanggung

jawab dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan peraturan atau

ketentuan yang berlaku, harus dilihat apakah pelaksanaannya telah

sesuai dengan pedoman pelaksana dan petunjuk teknis yang ada. Ketiga

1
adalah aplikasi atau penerapan, bagaimana peraturan/kebijakan berupa

pedoman pelaksana dan petunjuk teknis dari anggaran yang telah

ditetapkan dalam APBDesa telah berjalan sesuai dengan ketetentuan,

untuk dapat melihat ini harus pula dilengkapi dengan adanya prosedur

kerja yang jelas, program kerja serta jadwal kegiatan disiplin.

Implementasi kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah implementasi kebijakan yang

dilakukan melalui tiga aktifitas, sesuai dengan teori Charles O. Jones,

yaitu: Intepretasi, Organisasi, Aplikasi.

2.1.2 Pengertian Desa

a. Pengertian Desa

Secara etimologi kata desa berasal dari bahasa Sansekerta, deca

yang berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Dari perspektif

geografis, desa atau village diartikan sebagai “a groups of hauses or

shops in a country area, smaller than a town”. Desa adalah kesatuan

masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengurus rumah

tangganya sendiri berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat yang diakui

dalam Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.

Berdasarkan kutipan dari Adelfia Crestofiane Mangimpis yang

didalamnya mengutip buku dari Kartohadikoesoemo, Menurut

Kartohadikoesoemo desa merupakan wilayah terkecil yang ada di

Indonesia, bahwa desa merupakan kesatuan hukum tempat tinggal suatu

masyarakat yang berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri

1
merupakan pemerintahan terendah di bawah camat (Mangimpis, Jurnal

Administrasi Publik, Vol. 2 Ed. 3, 2014:1).

Desa adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang

mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat

istimewa. Landasan pemikiran dalam mengenai Pemerintahan Desa

adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan

pemberdayaan masyarakat (Widjaja, 2005:3)

Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,

“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama

lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang

memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus

urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan

prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui

dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia”.

Desa merupakan pembagian wilayah administratif di Indonesia

dibawah kecamatan, yang dipimpin oleh Kepala Desa. Sejak berlakunya

otonomi daerah, desa dapat disebut dengan nama lain, sesuai dengan

daerahnya masing-masing. Pengertian Desa menurut beberapa ahli ialah

sebagai berikut :

4. Menurut R Bintarto

Desa atau kota merupakan suatu hasil perwujudan geografis

yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisografis, sosial, ekonomi, politk

1
dan kultural yang terdapat pada suatu daerah serta memiliki

hubungan dan pengaruh timbal balik dengan daeah lain.

5. Paul H. Landis

Desa adalah suatu wilayah yang penduduknya kurang dari

2.500 jiwa, dengan ciri-ciri antara lain memiliki pergaulan hidup

yang saling nengenal satu sama lain (kekeluargaan), ada pertalian

perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan, serta cara

berusaha bersifat agraris dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor

alam, seperti iklim, keadaan alam, dan kekayaan alam.

Desa dalam pengertian umum adalah sebagai suatu gejala yang

bersifat universal, terdapat dimanapun di dunia ini, sebagai suatu

komunitas kecil, yang terikat pada lokalitas tertentu baik sebagai tempat

tinggal (secara menetap) maupun bagi pemenuhan kebutuhannya, dan

terutama yang tergantung pada sector pertanian (Hafni, 2015,

http://www.materisma.com/2015/01/pengertian-desa- menurut-para-ahli-

dan.html, Diakses pada hari Kamis, tanggal 29 Desember 2016, pukul

22:59 WIB).

Dalam pengertian desa menurut Widjaja dan Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 di atas sangat jelas sekali bahwa desa

merupakan Self Community yaitu komunitas yang mengatur dirinya

sendiri. Dengan pemahaman bahwa desa memiliki kewenangan untuk

mengurus dan mengatur kepentingan masyarakatnya sesuai dengan

kondisi dan sosial budaya setempat, maka posisi desa yang memiliki

1
otonomi asli sangat strategis sehingga memerlukan perhatian yang

seimbang terhadap penyelenggaraan otonomi daerah. Karena dengan

otonomi desa yang kuat akan mempengaruhi secara signifikan

perwujudan otonomi daerah.

Desa mempunyai kewenangan serta hak dan kewajiban yang

tertuang dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Desa, yakni: “Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang

penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa,

pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa,

berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat

Desa”.

Berdasarkan Pasal 80 ayat (3) Undang-Undang Desa Nomor 6

Tahun 2014 tentang Desa yang berbunyi “Musyawarah perencanaan

Pembangunan Desa menetapkan prioritas, program, kegiatan, dan

kebutuhan Pembangunan Desa yang didanai oleh Anggaran Pendapatan

dan Belanja Desa, swadaya masyarakat Desa, dan/atau Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota”. Juga dalam

ketentuan Pasal 90 ayat (1) PP Nomor 47 Tahun 2015 yang berbunyi

“Penyelenggaraan kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan

kewenangan lokal berskala Desa didanai oleh APB Desa”

Selanjutnya, Kewenangan Desa dalam Pasal 19 UU No. 6

Tahun 2014 meliputi:

1. kewenangan berdasarkan hak asal usul;

1
2. kewenangan lokal berskala Desa;

3. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah

Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan

4. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah

Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tujuan pembentukan desa adalah untuk meningkatkan

kemampuan penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dan

berhasil guna dan peningkatan pelayanan terhadap masyarakat sesuai

dengan tingkat perkembangan dan kemajuan pembangunan. Dalam

menciptakan pembangunan hingga ditingkat akar rumput, maka terdapat

beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk pembentukan desa,

Berdasarkan Pasal 8 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

tentang Desa syarat yang harus dipenuhi untuk pembentukan desa yakni,

a. batas usia Desa induk paling sedikit 5 (lima) tahun terhitung sejak

pembentukan;

b. jumlah penduduk, yaitu:

1) wilayah Jawa paling sedikit 6.000 jiwa atau 1.200 kepala

keluarga;

2) wilayah Bali paling sedikit 5.000 jiwa atau 1.000 kepala

keluarga;

3) wilayah Sumatera paling sedikit 4.000 jiwa atau 800 kepala

keluarga;

1
4) wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara paling sedikit

3.000 jiwa atau 600 kepala keluarga;

5) wilayah Nusa Tenggara Barat paling sedikit 2.500 jiwa atau 500

kepala keluarga;

6) wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara,

Gorontalo, dan Kalimantan Selatan paling sedikit 2.000 jiwa

atau 400 kepala keluarga

7) wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan

Tengah, dan Kalimantan Utara paling sedikit 1.500 jiwa atau

300 kepala keluarga;

8) wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Maluku Utara

paling sedikit 1.000 jiwa atau 200 kepala keluarga; dan,

9) wilayah Papua dan Papua Barat paling sedikit 500 jiwa atau 100

kepala keluarga.

b. wilayah kerja yang memiliki akses transportasi antarwilayah

c. sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan hidup

bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat Desa;

d. memiliki potensi yang meliputi sumber daya alam, sumber daya

manusia, dan sumber daya ekonomi pendukung;

e. batas wilayah Desa yang dinyatakan dalam bentuk peta Desa yang

telah ditetapkan dalam peraturan Bupati/ Walikota;

f. sarana dan prasarana bagi Pemerintahan Desa dan pelayanan publik;

dan

1
g. tersedianya dana operasional, penghasilan tetap, dan tunjangan

lainnya bagi perangkat Pemerintah Desa sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

2.1.3 Keuangan Desa

a. Pengertian Keuangan Desa

Berdasarkan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

tentang Desa menyebutkan pengertian keuangan desa:

“Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang

dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang

yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Hak

dan kewajiban desa menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan,

dan pengelolaan keuangan desa”.

Money follow function adalah prinsip yang dapat menjelaskan

posisi dari keuangan desa ini. UU Desa telah menegaskan

pentidakuan negara atas desa melalui asas rekognisi dan subsidiaritas

yang mentidakibatkan adanya pentidakuan atas kewenangan

berdasarkan hak asal usul dan kewenangan skala lokal desa. Pemberian

kewenangan ini harus diikuti dengan penyerahan sumber daya kepada

desa agar kewenangan yang dimiliki dapat dilaksanakan dengan baik.

Atas dasar inilah desa memiliki sumber-sumber pendapatan desa sebagai

hak desa yang selanjutnya harus dikelola dengan sebaik-baiknya untuk

melaksanakan kewajiban desa yang tercermin dari isi Anggaran

Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa) (Musih dan Firmansyah,

1
2015:78).

Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban dalam rangka

penyelenggaraan pemerintahan desa yang dapat dinilai dengan uang,

termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan

hak dan kewajiban desa tersebut. Keuangan desa berasal dari pendapatan

asli desa, APBD dan APBN. Penyelenggaraan urusan pemerintahan desa

yang menjadi kewenangan desa didanai dari APBDes, bantuan

pemerintahan pusat, dan bantuan pemerintahan daerah. Penyelenggaraan

urusan pemerintahan daerah yang diselenggarakan oleh pemerintahan

desa didanai dari APBD, sedangkan penyelenggaraan urusan

pemerintahan pusat yang diselenggarakan oleh pemerintahan desa

didanai dari APBN (Musih dan Firmansyah, 2015:131).

APBDes adalah instrusmen penting yang sangat menentukan

tewujudnya tata pemerintahan yang baik (Good Governance) di desa.

Tata pemerintahan yang baik antara lain dapat diukur melalui proses

penyusunan dan pertanggungjawaban APBDes. Sebagai pemegang

otonomi asli, desa bisa mengambil prakrasa dan inisiatif dalam

mengelola keuangan desa, Tanpa adanya intervensi dari pemerintah

diatasnya atau supra desa. Hal ini berarti dengan adanya otonomi desa,

maka desa lebih leluasa dalam menentukan arah kebijakan pembangunan

desa dengan dibingkai APBDes

b. Konsep Pendapatan dan Belanja Desa

Sumber pendapatan desa berdasarkan Pasal 72 ayat (1) Undang-

1
Undang Nomor 6 Tahun 2014 terdiri dari:

a. pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan

partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa;

b. alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

c. bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;

d. alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan

yang diterima Kabupaten/Kota;

e. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Kabupaten/Kota;

f. hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan

g. lain-lain pendapatan Desa yang sah. hasil usaha desa;

Belanja Desa berdasarkan pasal 100 PP No. 47 Tahun 2015, terdiri dari:

1) Belanja Desa yang ditetapkan dalam APB Desa digunakan dengan

ketentuan:

a. paling sedikit 70% (tujuh puluh per seratus) dari jumlah

anggaran belanja Desa digunakan untuk mendanai

penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan

pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan

pemberdayaan masyarakat Desa; dan

b. paling banyak 30% (tiga puluh per seratus) dari jumlah anggaran

belanja Desa digunakan untuk:

1. penghasilan tetap dan tunjangan kepala Desa dan perangkat

1
Desa;

2. operasional pemerintahan Desa;

3. tunjangan dan operasional Badan Permusyawaratan Desa;

dan

4. insentif rukun tetangga dan rukun warga.

2) Perhitungan belanja Desa sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) di luar pendapatan yang bersumber dari hasil pengelolaan tanah

bengkok atau sebutan lain.

3) Hasil pengelolaan tanah bengkok atau sebutan lain sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan untuk tambahan tunjangan

kepala Desa dan perangkat Desa selain penghasilan tetap dan

tunjangan kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b

angka 1.

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai hasil pengelolaan tanah bengkok

atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur

dengan peraturan bupati/walikota

c. Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa

Pendapatan dan Belanja desa (APBDes) adalah peraturan desa

yang memuat sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran dana

desa dalam kurun waktu satu tahun (Friski, Jurnal Eksekutif, Vol. 2 Ed.

1, 2013:3-4). Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Mentri Dalam Negeri

Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa yang

dimaksud dengan Pengelolaan adalah keseluruhan kegiatan yang

1
meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan

pertanggungjawaban keuangan desa.

Pengelolaan Keuangan Desa adalah keseluruhan kegiatan yang

meliputi perencanaan, penganggaran, penatausahaan, pelaporan,

pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan desa (Arif, 2007:32).

Pengelolaan atau disebut juga dengan manajemen dalam pengertian

umum adalah suatu seni, keterampilan, atau keahlian. Yakni seni dalam

menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain atau keahlian untuk

menggerakan orang melakukan suatu pekerjaan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun

2014 Tentang Penyusunan APBDesa/APBDes, dimulai dari

Musrenbangdes dengan mempedomani pada RPJM Desa. Struktur

APBDesa terdiri dari:

1. Pendapatan, meliputi semua penerimaan uang melalui rekening desa

yang merupakan hak desa dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak

perlu dibayar kembali oleh desa.

2. Belanja, meliputi semua pengeluaran dari rekening desa yang

merupakan kewajiban desa dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak

akan diperoleh pembayarannyakembali oleh desa.

Pembiayaan, meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar

kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada

tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun- tahun anggaran

berikutnya Sistem pengelolaan dana desa yang dikelola oleh pemerintah

1
desa termasuk didalamnya mekanisme penghimpunan dan

pertanggungjawaban merujuk pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun

2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah. Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa pendanaan

pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah termasuk

didalamnya pemerintah desa menganut prinsip money follows function

yang berarti bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang

menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat

pemerintahan. Dengan kondisi tersebut maka transfer dana menjadi

penting untuk menjaga/menjamin tercapainya standar pelayanan publik

minimum.

Sistem pengelolaan keuangan desa mengikuti sistem anggaran

nasional dan daerah. Kepala desa sebagai kepala pemerintahan desa

adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa dan mewakili

pemerintahan desa dalam kepemilikan kekayaan desa yang dipisahkan.

Oleh karena itu, kepala desa mempunyai kewenangan tersendiri,

Berdasarkan Pasal 3 Ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor

113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa yang berbunyi

“Kepala Desa sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mempunyai kewenangan:

a. Menetapkan kebijakan tentang pelaksanaan APBDes;

b. Menetapkan PTPKD;

c. Menetapkan petugas yang melakukan pemungutan penerimaan

1
desa;

d. Menyetujui pengeluaran atas kegiatan yang

ditetapkan dalam APBDesa; dan

e. Melakukan tindakan yang mentidakibatkan

pengeluaran atas beban APBDesa.”

Kepala desa dalam melaksanakan pengelolaan keuangan desa

dibantu oleh pelaksana teknis pengelolaan keuangan desa (PTPKD),

yaitu sekertaris desa dan perangkat desa lainnya. Sekertaris desa

bertindak sebagai koordinator pelaksanaan pengelolaan keuangan desa

dan bertanggung jawab kepada kepala desa. Berdasarkan Pasal 5 Ayat

(2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113 Tahun 2014 tentang

Pengelolaan Keuangan Desa yang berbunyi: “Sekretaris Desa selaku

koordinator pelaksana teknis pengelolaan keuangan desa

sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) mempunyai tugas:

a. Menyusun dan melaksanakan Kebijakan Pengelolaan

APBDesa;

b. Menyusun Rancangan Peraturan Desa tentang APBDesa,

perubahan APBDesa dan pertanggung jawaban pelaksanaan

APBDesa;

c. Melakukan pengendalian terhadap pelaksanaan kegiatan yang

telah ditetapkan dalam APBDesa;

d. Menyusun pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan

1
APBDesa; dan

e. Melakukan verifikasi terhadap bukti-bukti penerimaan dan

pengeluaran APBDesa.

Lebih lanjut pemegang kas desa adalah bendahara desa.

Kepala desa menetapkan bendahara desa dengan keputusan kepala

desa.

Desa yang diberi kewenangan untuk mengelolah dana desa

untuk memperhatikan asas pengelolaan desa sesuai dengan Pasal 2

Ayat (1) Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan

Keuangan Desa yang berbunyi “ Keuangan desa dikelola berdasarkan

asas-asas transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan dengan

tertib dan disiplin angggaran”

2.2 Kajian Empirik

Tabel 2.1
Kajian Empirik
N Judul Penelitian / Jenis Penelitian Hasil Penelitian
O Peneliti / Tahun
1. Penyusunan Anggaran 1. Proses Penyusunan
Pendapatan Dan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa
Belanja Desa (Studi
(APBDes).
Kasus Di Desa 2. Peran anggota
Ngrambe Kecamatan masyarakat dan
pemerintah desa
Ngrambe Kabupaten
dalam menyusun
Ngawi 2013) Anggaran
Pendapatan dan

1
Belanja Desa
(APBDes).
3. Hambatan yang
timbul dalam
penyusunan
Anggaran
Pendapatan dan
Belanja Desa
(APBDes).
2. Akuntabilitas Sosial 1. Akuntabilitas sosial
Dalam Peneglolaan
pengelolaan dana desa
Dana Desa (Studi
Kasus Di Desa di wilayah desa
Susukan Kecamatan
Susukan, Kecamatan
Susukan Kabupaten
Susukan, Kabupaten
Semarang.
2. Kendala akuntabilitas
sosial pengelolaan
dana desa di wilayah
desa Susukan,
Kecamatan Susukan,
Kabupaten Semarang.
3. Solusi akuntabilitas
sosial pengelolaan
dana desa di wilayah
desa Susukan,
Kecamatan Susukan,
Kabupaten
Semarang.
3. Analisis Pengelolaan 1. Pengelolaan
Keuangan Desa keuangan desa pada
Desa Petalabumi
Petalabumi Kecamatan
Kecamatan Seberida
Seberida Kabupaten Kabupaten Indragiri
Indragiri Hulu Hulu.
2. Mekanisme
pengelolaan keuangan
desa pada Desa
Petalabumi

1
Kecamatan Seberida
Kabupaten Indragiri
Hulu.
4. Implementasi Implementasi anggaran
Kebijakan Anggaran pendapatan dan belanja
Pendapatan Dan desa dalam pelaksanaan
Belanja Desa Dalam pembangunan di Desa
Pelaksanaan Rassi Satu Kecamatan
Pembangunan Di Ratahan
Desa Rasi Satu
Kecamatan Rahatan
Kabupaten Minahasa
Tenggara

2.3 Kerangka Berpikir

Secara umum kerangka berfikir yang hendak dibangun dalam penelitian ini

digambarkan sebagai berikut:

Pasal 18 ayat (2) Undang – undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Landasan Operasional :

1. UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa;


2. PP No. 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas PP No. 43 Tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa;
3. Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 tentang Asas Pengelolaan Keuangan
Desa.
4. Peraturan Menteri Keuangan 49/PMK 07/2016 tentang Tata Cara
Pengalokasian, Penyaluran, Penggunan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Desa;
5. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
Republik Indonesia No. 21 Tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas
Penggunaan Dana Desa Tahun 2016.

1
IMPLEMENTASI PENGELOLAAN ANGGARAN FAKTOR-FAKTOR APA YANG
PENDAPATAN DAN BELANJA DESA (APBDES) MEMPENGARUHI PELAKSANAAN
2016 BERDASARKAN UNDANG-UNDANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA
NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA DI DESA (APBDES) 2020 DI DESA PUBASU
DESA PUBASU, KECAMATAN TOBU, KECAMATAN TOBU KABUPATEN TIMOR
KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN. TENGAH SELATAN.

1. Teori Otonomi Desa 1. Teori George C. Edward


2. Teori Good Govermmens 2. Teori Charles O. Jones

Pendekatan dan Metode Transparan


Yuridis Empiris
1. Wawancara
3. Akuntabel
2. Observasi
3. Studi Pustaka 4. Tertib dan Disiplin
Anggaran

Negara Hukum Sejahtera

1
1.5

1
BAB III

METODE PENELITIAN

1.1 Jenis Penelitian

Dalam melakukan penelitian, penentuan jenis atau metode penelitian

merupakan langkah awal dalam suatu penelitian. Metode yang digunakan

dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan fenomenologi menurut

Creswell dalam (Sugiyono, 2014) adalah salah satu jenis pendekatan

kualitatif dimana dalam pendekatan jenis ini peneliti melakukan sebuah

observasi kepada partisipan untuk mengetahui fenomena-fenomena yang

terjadi dalam hidup partisipan tersebut.

1.2 Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif yaitu pendekatan penelitian tanpa menggunakan angka statistic

tetapi dengan pemaparan secara deskriptif yaitu berusaha mendeskripsikan

suatu gejala, peristiwa dan kejadian yang terjadi menjadi fokus perhatianya

untuk kemudian dijabarkan sebagaimana adanya secara rinci.

1.3 Fokus Penelitian

Fokus penulisan dalam penelitian kualitatif ini adalah bagaimana

penerapan Sistem Informasi Manajemen Daerah (SIMDA) Keuangan pada

Sekretariat Daerah Pemerintah Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan

sehingga dapat menghasilkan laporan keuangan dan informasi keuangan yang

akurat.

1.4 Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data kualitatif berupa hasil wawancara pada

2
Sekretariat Daerah Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan serta

dokumentasi/arsip perusahaan berupa gambaran umum, struktur organisasi

dan Job Description.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Data primer, yaitu data yang diperoleh dengan melakukan wawancara

langsung kepada informan kunci.

b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang

berkaitan dengan pembahasan, literature, serta sumber lainnya yang

berkaitan dengan objek penelitian.

1.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

menggunakan data sekunder yang berasal dari Sekretariat Daerah Pemerintah

Kabupaten Timor Tengah Selatan. Pada Umumnya Sumber data utama dalam

penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data

tambahan seperti dokumen-dokumen dan lain-lain (Lofland dalam Moleong

(2005). Secara garis besar data dalam penelitian kualitatif dapat

dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu :

a. Wawancara

Metode ini dilakukan dengan cara mewawancarai secara langsung

kepada pihak yang terlibat dan terkait langsung guna mendapatkan

penjelasan pada kondisi dan situasi yang sebenarnya pula. Dalam

penelitian ini yang menjadi informan adalah orang-orang yang dianggap

memiliki informan kunci (Key Informan) yang dibutuhkan di wilayah

penelitian. Banyaknya pegawai yang diwawancarai tergantung seberapa

3
layak untuk menjawab pertanyaan penelitian. Adapun yang menjadi Key

Informan dalam penelitian ini adalah penanggungjawab SIMDA

Keuangan bagian penatausahaan, penanggungjawab SIMDA Keuangan

bagian anggaran, penanggungjawab SIMDA Keuangan bagian akuntansi,

dan aktor-aktor lainnya yang memiliki wewenang untuk mengoperasikan

SIMDA Keuangan. Pemilihan Key Informan yang berperan dalam proses

pengoperasian SIMDA Keuangan ini bertjuan mewujudkan validitas

informasi yang disampaikan.

b. Observasi

Teknik pengumpulan data dengan observasi digunakan apabila

penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala

alam dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar (Sugiyono: 2010:

203). Observasi digunakan dengan maksud untuk mengamati dan mencatat

gejala-gejala yang tampak pada obyek penelitian pada saat keadaan atau

situasi yang alami atau sebenarnya sedang berlangsung, meliputi kondisi

sumber daya manusia, kondisi sarana dan prasarana yang ada, proses

akuntansi serta kendala-kendala dalam pelaksanakan penerapan SIMDA

Keuangan dan kondisi lain yang dapat mendukung hasil penelitian. Hal ini

dimaksudkan agar diperoleh data yang lebih mendekati kebenaran yaitu

dengan membandingkan hasil wawancara dengan keadaan yang

sebenarnya.

c. Studi Dokumentasi

Menurut Sugiyono (2010: 329), dokumen merupakan catatan

peristiwa yang telah berlalu dalam bentuk tulisan, gambar, atau karya-

4
karya monumental dari seseorang. Secara sederhana metode dokumentasi

ini dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen-dokumen atau foto-

foto serta lampiran yang berguna sebagai informasi dalam penelitian ini.

Penelusuran data dari dokumen-dokumen instansi yang relevan dengan

masalah pokok dan materi penelitian sebagai pendukung data penelitian

yang tidak diperoleh dalam observasi dan wawancara. Materi yang

diperlukan dalam penelitian penerapan SIMDA Keuangan pada

Sekretariat Daerah Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah:

1) Data mengenai profil Sekretariat Daerah Pemerintah Kabupaten

Timor Tengah Selatan yang mencakup: sejarah, visi, misi, tujuan,

struktur organisasi, Job Description, serta gambaran penerapan

SIMDA Keuangan pada Sekretariar Daerah Pemerintah Kabupaten

Timor Tengah Selatan.

2) Data informasi laporan keuangan yang dihasilkan dari penerapan

SIMDA Keuangan.

d. Intrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat

penelitian adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena itu peneliti sebagai

instrumen juga harus “divalidasi” seberapa jauh peneliti kualitatif siap

melakukan penelitian yang selanjutnya terjun ke lapangan. Validasi

terhadap peneliti sebagai instrumen meliputi validasi terhadap pemahaman

metode penelitian kualitatif, penguasaan wawasan terhadap bidang yang

diteliti, kesiapan peneliti untuk memasuki objek penelitian, baik secara

akademik maupun logistik. Yang melakukan validasi adalah peneliti itu

5
sendiri, melalui evaluasi diri seberapa jauh pemahaman terhadap metode

kualitatif, penguasaan teori dan wawasan terhadap bidang yang diteliti,

serta kesiapan dan bekal memasuki lapangan (Sugiyono, 2010:

305).Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan pedoman wawancara (interview guide) dan pedoman

observasi.

1.6 Teknik Analisis Data

Menurut Sugiyono (2010: 335), yang dimaksud dengan teknik

analisis data adalah proses mencari data, menyusun secara sistematis data

yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi,

dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke

dalam unit-unit, melakukan sintesis, menyusun ke dalam pola memilih

mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan

sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.

Metode analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif

dengan menggunakan pendekatan fenomenologi untuk mendeskripsikan

pemahaman yang mendalam dari penerapan Sistem Informasi Manajemen

Daerah (SIMDA) Keuangan.

Langkah-langkah analisis data pada penelitian ini adalah :

a. Pengumpulan

Data Pengumpulan data adalah mencari, mencatat, dan

mengumpulkan semua secara objektif dan apa adanya sesuai dengan

hasil observasi dan wawancara di lapangan yaitu pencatatan data dan

berbagai bentuk data yang ada di lapangan.

6
b. Reduksi Data

Menurut Sugiyono (2010: 338). Mereduksi data berarti

merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal

yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang hal yang tidak

perlu. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan

gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk

melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila

diperlukan.

c. Display Data

Menurut Amailes dan Huberman (Sugiyono, 2010: 341) yang

paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian

kualitatif adalah dengan teks dan naratif. Pada tahap ini peneliti

menyajikan data-data yang telah direduksi ke dalam laporan secara

sistematis.

d. Pengambilan Kesimpulan

Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles dan

Huberman yang dikutip oleh Sugiyono (2010: 345) adalah penarikan

kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih

bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti

yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya.

Kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab

rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga

tidak, karena masalah dan rumusan masalah dalam penelitian

kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah

7
penelitian di lapangan. Dalam penelitian ini data yang telah diproses

dengan langkah-langkah seperti di atas, kemudian ditarik kesimpulan

secara kritis dengan menggunakan metode induktif yang berangkat

dari hal-hal yang bersifat khusus untukmemperoleh kesimpulan umum

yang objektif .

e. Hasil interpretasi dituangkan dalam deskriptif analisis kontekstual

yang disajikan dalam Bab IV.

8
DAFTAR PUSTAKA

Creswell. 2014. Metode Penelitian Kualitatif. (http://penalaran-


unm.org/2016/11/12/metode-penelitian-kualitatif-dengan jenis-
pendekatan- studi-kasus/). Diakses 20 Oktober 2021.

http://theorykeuangandaerah.blogspot.com/2015/12/simda.html Diakses 20
Oktober 2021.

http://www.bpkp.go.id/sakd/konten/333/versi-2.1.bpkp Diakses 20 Oktober 2021.

Mcleod, Raymod. 2010. Sistem Informasi Manajemen. Jakarta: Salemba Empat.

Nugroho, Eko. 2007. Sistem Informasi Manajemen. Yogyakarta: Andi

PP Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi


Pemerintahan.2005. Jakarta: Ikatan Akuntansi Indonesia.

PP Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah.


2009. Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia.

PP Nomor 11 Tahun 2001 tentang Informasi Keuangan Daerah. 2009.


Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia.

PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.


2005. Jakarta: Ikatan Akuntansi Indonesia.

Wira Pangestu, Danu. 2007. Teori Dasar Sistem Informasi Manajemen (SIM).
(ilmukomputer.org/wp-content/uploads/2008 sim.pdf). Diakses 27 Januari
2017

Anda mungkin juga menyukai