Anda di halaman 1dari 8

Penentuan usia fosil di Situs Manusia Purba Sangiran dilakukan oleh seksi Eksplorasi

dengan menganalisis metode Relatif di laboratorium. Metode Relatif adalah penentuan usia fosil
yang didasarkan pada lapisan tanah dimana fosil tersebut ditemukan. Masalah utama pada
penentuan usia fosil yaitu terdapat perbedaan pendapat para ahli geologi terkait dengan penilaian
unsur tanah. Hal tersebut mengakibatkan perbedaan hasil penentuan usia fosil setiap ahli
geologi. Nilai subjektifitas perhitungan usia fosil bisa ditanggulangi dengan menggunakan
perangkat lunak bantu/aplikasi dengan pendekatan Rule Based Arhitecture. Rule Based
Architecture dalam sistem pakar merupakan pendekatan dengan pernyataan bersyarat mengenai
keadaan, tindakan, dan hasil berdasar gejala dan fakta yang terkait (Nastiti dan Widyaningsih,
2016).

Usia fosil secara umum dapat diketahui melalui dua metode khusus. Metode tersebut
terbagi menjadi metode langsung (Direct Method) dan metode tidak langsung (Indirect Method).
metode langsung (direct method) merupakan metode yang dilakukan secara langsung pada objek
yang ditemukan. Metode ini membutuhkan waktu yang cukup lama, dikarenakan harus
melakukan pengamatan secara visual dengan bantuan mata telanjang bahkan pada saat proses
pengambilan kemungkinan kerusakan pada fosil cukup besar. Metode tidak langsung (indirect
method) adalah metode yang dilakukan secara tidak langsung dengan bantuan objek lain. Metode
ini menggunakan asosiasi perbandingan dengan objek misalnya fosil non human atau padat
stratigraphy layer maupun biostratigraphy.

Metode penanggalan langsung misalnya penanggalan radioisotopik, memberikan


pengamatan yang bisa digunakan untuk memperkirakan usia absolut batuan secara langsung.
Usia ini biasanya terdiri atas rentang temporal (biasanya perkiraan titik dengan kesalahan
terkait). Namun, ketika metode ini digunakan, bahan yang cocok untuk diasosiasikan
penanggalan jarang dikaitkan dengan tempat di mana fosil ditemukan. Bahkan dalam kasus
terbaik mereka biasanya mewakili interval temporal yang sesuai dengan sedimen tanggal di atas
dan di bawah titik stratigrafi FAD dari takson fosil (atau interpolasi linier antara dua tanggal ini).
Metode secara tidak langsung jauh lebih umum digunakan namun masih kurang akurat
dibandingkan penanggalan radioisotop. Metode ini didasarkan pada identifikasi perubahan
tertentu dalam sedimen (misalnya, paleomagnetik,litologi, atau komposisi kimia) atau pada
kandungan fosilnya (misalnya, biostratigrafi). Informasi yang didapat kemudian dipakai untuk
mengkorelasikan sedimen ini dengan batuan lain yang dipelajari lebih baik dan dirujuk ke unit
temporal dari skala temporal tertentu dengan metode yang lebih tepat. Contoh skala temporal
yang sedimennya sering dirujuk yaitu chrons dari skala waktu paleomagnetik (yaitu, periode
bergantian dari polaritas magnet Bumi normal dan terbalik), zona dan subzona biostratigrafi, atau
penyetelan siklus astronomi Milankovitch yang biasanya ditentukan oleh perubahan periodik
dalam eksentrisitas orbit Bumi, kemiringan sumbu, dan presesi (Pol dan Norell, 2006).

Umur fosil adalah salah satu bagian penting dalam arkeologi yang dimanfaatkan untuk
mengetahui sejarah batuan sedimen bumi, menentukan kaitan antar jenis batuan pada satu
tempat/lapisan dengan tempat/lapisan lain, dan mengajukan atau membuktikan sebuah teori.
Salah satu metode untuk menentukan umur fosil yaitu mendeteksi keberadaan unsur radioaktif,
salah satunya karbon–14 (C14), yang sering disebut dengan carbon dating. Kuantitas C14 pada
suatu fosil bisa dihitung berdasarkan pengukuran laju peluruhannya yang dihitung dengan alat
pencacah. Hasil pengukuran akan mendapatkan rasio C12 dan C14 yang selanjutnya
dibandingkan dengan rasio dalam organisme sesaat setelah mati, sehingga umur fosil dapat
ditentukan (Widjianto et al., 2015).

Beberapa skala waktu ini memberikan tanggal geologis dengan interval ketidakpastian
yang sempit, dan banyak penelitian kronostratigrafi sedang dilakukan pada subjek ini, secara
signifikan meningkatkan resolusi temporal dari catatan fosil. Sayangnya, beberapa waktu
resolusi tinggi ini skala tidak berlaku secara luas, sedangkan yang lain memiliki potensi besar
tetapi belum tersedia untuk sebagian besar cekungan sedimen terrestrial. Penelitian dengan
metode kronostratigrafi di masa depan kemungkinan dapat memberikan keterangan yang lebih
akurat dan walaupun masih dibatasi usia penampilan pertama termasuk relatif umum (khususnya
untuk sedimen kontinental pra-Kenozoikum) memiliki korelasi stratigrafi hanya pada tingkat
tahap kronostratigrafi tertentu (misalnya, Norian, Toarcian, Aptian, dll.). Satuan ini sesuai
dengan subdivisi skala waktu geologi yang bervariasi dalam rentang waktu, meskipun sebagian
besar berkisar antara 2 dan 12 juta tahun (Pol dan Norell, 2006). Magnetostratigrafi yaitu ilmu
yang mempelajari fosil kemagnetan yang terekam di dalam suatu batuan. Urutan polaritas dari
fosil kemagnetan dalam susunan urutan batuan (stratigrafi) umumnya bisa digunakan untuk
mengidentifikasi umur perubahan medan magnet bumi. Urutan perubahan polaritas normal dan
membalik yang disertai dengan usia mutlak batuan akan menghasilkan Skala Waktu Polaritas
Kemagnetan (SWPK). Penggunaan SWPK akan mempermudah korelasi magnetostratigrafi
dalam menentukan umur fosil maupun batuannya (Setyanta et al., 2014).

Sejarah

Sangiran merupakan situs arkeologi yang lokasinya terletak di Jawa Tengah sekitar 15
km sebelah utara kota Solo. Sangiran memiliki karakteristik struktur tanah yang berbentuk
seperti kubah. Batuan yang paling tua tersingkap di tengah adalah Formasi Kalibeng (2,4 – 1,8
juta tahun lalu) yang tersusun dari lempung laut berwarna abu – abu kebiruan dan lempung
lanauan. Formasi tersebut dihimpit oleh Formasi Pucangan (1,8 – 0,9 juta tahun lalu) yang
tersusun oleh lempung hitam dan terkadang berlapis yang diendapkan pada lingkungan transisi
dari laut dangkal ke laguna berlanjut ke lakustrin. Formasi yang berada diatasnya merupakan
Formasi Kabuh (730.000 – 250.000 juta tahun lalu) yang terbentuk dari batu lempung, batu
lanau, batu pasir dan lapisan kerikil. Dasar dari Formasi Kabuh yaitu Zona Grenzbank (900.000
– 730.000 juta tahun lalu) yang berupa lapisan kerikil pasiran dengan sisipan batupasir dan
kerakal. Formasi lain yang diendapkan breksi dan lahar adalah Formasi Notopuro yang berada di
atas Formasi Kabuh. Fosil manusia dan mamalia secara umum ditemukan pada Formasi Kabuh
dan Formasi Pucangan (Setyanta et al., 2014).
Gambar 1. Lokasi dan Stratigrafi Sangiran

 Formasi Kalibeng

Lapisan tanah tertua di Sangiran merupakan endapan lempung biru anggota Formasi
Kalibeng. Lapisan tanah tesebut berada bagian tengah Kubah Sangiran di kawasan Kali Puren,
cabang Kali Cemoro. Kandungan fosil moluska laut bercangkang tebal dalam endapan lempung
biru menunjukkan karakter lingkungan laut. Wilayah Sangiran sekitar 2,4 juta tahun lalu masih
berupa lautan. Benturan lempengan Indo-Australia (bagian dari Gondwana) dengan lempengan
Eurasia mengangkat dasar laut secara perlahan sehingga membuat Sangiran menjadi laut dangkal
yang berbatasan dengan hutan bakau. Pulau-pulau vulkanik muncul di depan Sangiran dan
ditempati oleh gunung api purba (Gunung Lawu, Gunung Merapi, Gunung Merbabu). Paling
depan merupakan daerah pertemuan antara kedua lempeng dan interaksi keduanya menghasilkan
magma panas pada kedalaman tertentu yang bergerak ke permukaan bumi. Materi hasil letusan
gunung api diendapkan disekitar, dimana semakin jauh dari gunung api maka semakin sedikit
butiran material sedimen yang diendapkan (Nugraha et al., 2012).

 Formasi Pucangan

Formasi yang selanjutnya ialah Formasi Pucangan. Keadaan bumi yang tidak stabil
mengakibatkan perubahan tatanan lingkungan di Sangiran. Perubahan tersebut dipengaruhi oleh
tenaga endogen seperti proses tektoknik maupun aktivitas vulkanik . Proses tektonik mengangkat
Sangiran yang mulanya laut dangkal karena mendapat limpahan vulkanik dari gunung sekitar
menimbun wilayah laguna ini menjadi hamparan dataran rendah berawa - rawa. Ciri khas dari
formasi ini tersusun dari material lempung hitam hingga abu - abu dengan lapisan pasir tipis
yang halus (Nugraha et al., 2014).

Plestosen Bawah berada sekitar 1.800.000 - 900.000 tahun yang lalu dan terdapat
aktivitas vulkanik yang mengubah Sangiran menjadi rawa - rawa karena pengendapan abu
vulkanik gunung berapi purba di sekitar Sangiran. Proses gempa tektoknik mengiringinya dan
mengangkat dasar laut menjadi semakin ke atas hingga merubah dasar lautan. Fosil fauna pada
formasi ini adalah hewan vertebrata contohnya buaya sungai, kuda air, Arthopoda, dan Labi –
labi dan ditemukan juga fosil manusia purba Homo erectus tipe arkaik (manusia purba awal yang
menghuni pulau Jawa). Manusia purba ini mempunyai ciri - ciri antara lain tempurung otak tebal,
volume otak kecil, serta tulang rahang yang kekar dengan gigi geliginya besar (Nugraha et al.,
2014).

Sekitar 900.000 tahun lalu terjadi erosi di Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kendeng
yang menghasilkan material pecahan gamping pisoid dan batu berukuran kerikil – kerakal.
Material tersebut bercampur - aduk dan diendapkan secara luas menghasilkan endapan gamping
konglomeratan yang sangat keras setebal 1-4 meter yang dinamakan dengan Grenzbank. Di
dalam grenzbank sering ditemukan artefak mapun fosil fauna. Munculnya Grenzbank tersebut,
menandai perubahan lingkungan pengendapan yaitu dari lingkungan rawa menjadi lingkungan
darat (Nugraha et al., 2014).

 Formasi Kabuh
Formasi Kabuh terjadi ketika permukaan air laut kembali normal. Peningkatan aktivitas
gunung api di sekitar Sangiran kemudian menghasilkan jutaan meter kubik material vulkanik.
Sungai - sungai membawa material vulkanik tersebut menutupi lapisan Grenzbank. Letusan
gunung api sekitar Sangiran menghasilkan endapan abu vulkanik di antara endapan tebal pasir
silang - siur dan disinilah banyak ditemukan fosil - fosil manusia purba beserta artefaknya,
maupun fosil - fosil hewan . Dominasi endapan pasir silang - siur menunjukkan lingkungan
Sangiran pada kala itu adalah lingkungan pengendapan sungai bermeander (Nugraha et al.,
2014).

Plestosen Tengah berlangsung pada 730.000-250.000 tahun yang lalu. Sangiran pada
masa ini memasuki masa keemasannya karena pada masa itu Sangiran menjadi lingkungan
sabana hijau yang dinamis. Populasi manusia purba serta hewan mamalia juga berkembang
pesat. Letusan gunung api menyebabkan wilayah Sangiran menjadi beriklim tropis yang cukup
lembab dan pohon - pohon besar dan rerumputan banyak yang tumbuh, serta adanya aliran
sungai dan banyak hewan mamalia yang menghuni Sangiran. Kehidupan flora dan fauna sangat
beragam serta manusia Homo erectus yang ditemukan banyak berasal dari lapisan tanah Formasi
Kabuh (Nugraha et al., 2014).

 Formasi Notopuro

Sekitar 250.000 tahun lalu terdapat aktivitas pengangkatan daratan sehingga


menyebabkan erosi pada permukaan. Letusan hebat dari gunung api selanjutnya menghasilkan
lahar yang membentuk breksi laharik yang diendapkan di atas bidang erosi, kemudian proses
fluviatil membawa batu kerakal yang bentuknya membulat membentuk endapan konglomerat.
Siklus ini berulang tiga kali sampai membentuk lapisan endapan vulkanik Formasi Notopuro,
menempati topografi paling tinggi di Sangiran sekarang. Masa keemasan Sangiran memudar
tatkala daratan mengalami erosi, sungai mengering, iklim panas dan kering, banjir bandang, dan
hujan abu vulkanik. Kondisi tersebut tidak sesuai untuk manusia purba dan binatang, sehingga
sebagian besar akhirnya bermigrasi ke wilayah timur mencari daerah subur .

Plestosen Atas terjadi sekitar 250.000 - 100.000 tahun yang lalu. Himpitan gunung -
gunung melipat Sangiran seperti kubah, sementara Sungai Cemoro mengiris di tengahnya. Pusat
kubah itu kemudian membentuk jambangan besar. Material vulkanik yang masih diendapkan
menyebabkan tepian sungai menjadi semakin ciut. Pasokan air menipis yang masih ada akhirnya
menyisakan hamparan padang rumput yang sedikit kering (Nugraha et al., 2014).

Kemunculan Kubah Sangiran

Daerah berstruktur “Kubah/ Dome” merupakan daerah luas yang mengalami


pencembungan karena terdapat tenaga endogen dari dalam bumi tegak lurus, keluar bumi
sehingga memiliki dip (kemiringan lapisan tanah) yang relatif sama menuju ke segala arah
terhadap sumbu/ puncak kabuh. Daerah Sangiran sekitar 2 juta tahun yang lalu adalah cekungan
pengendapan bagian dari depresi Solo. Depresi Solo terbentuk karena adanya aktivitas tumbukan
lempeng tektonik berupa gaya kompresi berarah relatif utara-selatan. Deformasi pertama terjadi
pada 1,8 juta tahun yang lalu (Plio-Pleistosen) dan membentuk struktur lipatan sesar naik dan
sesar geser. Material hasil aktivitas vulkanisme Gunung Lawu Tua, Gunung Merapi Tua,
Gunung Merbabu Tua, serta erosi Pegunungan Kendeng diendapkan di depresi Solo ini. Seiring
waktu, endapan tersebut semakin tebal. Deformasi kedua terjadi sekitar 40.000 tahun yang lalu
atau sesaat setelah Formasi Notopuro diendapkan. Puncak kubah kemudian terbuka melalui
proses erosi sehingga membentuk depresi dan depresi ini yang berisi informasi tentang
kehidupan pada masa lampau di Sangiran (Nugraha et al., 2012).
DAFTAR PUSTAKA

Nastiti, F. E., dan P. Widyaningsih. 2016. Perangkat Lunak Bantu Paleontologi Penentuan Usia
Fosil Purba Menggunakan Pendekatan Rule Based Architecture. Jurnal Teknologi
Informasi dan Komputer. 3(3): 156-162.

Nugraha, S., Wulandari, dan SB. Iwan. 2012. Geologi dan Lingkungan Purba Sangiran. Sragen :
Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran.

Nugraha, S., Wulandari, dan SB. Iwan. 2014. Lapisan Tanah dan Lingkungan Purba Sangiran.
Sragen : Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran.

Pol, D., dan M. A. Norell. 2006. Uncertainty in The Age Of Fossils and The Stratigraphic Fit to
Phylogenies. Systematic Biology. 55(3): 512-521.

Setyanta, B., H. P. Siagian, dan H. Wahyono. 2014. Penentuan Umur Fosil Manusia Purba di
Jawa Berdasarkan Magnetostratigrafi. Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral, 15(1):
11-24.

Widjianto, Sulur, N. A. Pramono, dan E. B. Prayekti. 2015. Simulasi Interpolasi Lagrange dalam
Penentuan Umur Fosil (Carbon Dating). Seminar Nasional Fisika dan Pembelajarannya,
Malang, 29 Agustus 2015. Malang: FMIPA Universitas Negeri Malang, 18-22.

Anda mungkin juga menyukai