Anda di halaman 1dari 59

Sejarah Gereja

Katolik

Menurut Tradisi Suci Kristen Katolik, sejarah Gereja Katolik berpangkal pada pribadi dan
ajaran Yesus Kristus (sekitar tahun 4 pra-Masehi – sekitar tahun 30 Masehi), dan Gereja
Katolik adalah kesinambungan dari jemaat Kristen perdana yang dibentuk murid-murid
Yesus.[1] Gereja Katolik memuliakan uskup-uskupnya sebagai para pengganti rasul-rasul
Yesus, dan memuliakan Uskup Roma sebagai satu-satunya pengganti Santo Petrus,[2] rasul
yang berkarya di kota Roma pada abad pertama Masehi sesudah ditetapkan Yesus menjadi
kepala Gereja.[3][4] Pada akhir abad ke-2, para uskup mulai menyelenggarakan muktamar-
muktamar tingkat daerah guna menuntaskan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan
ajaran dan kebijakan.[5] Pada abad ke-3, Uskup Roma mulai menjadi semacam hakim agung,
penuntas perkara-perkara yang tidak dapat dituntaskan uskup-uskup lain.[6]

Agama Kristen tersebar ke seantero wilayah Kekaisaran Romawi, kendati dianiaya karena
bertentangan dengan kepercayaan pagan yang kala itu berstatus agama negara. Aniaya baru
reda sesudah agama Kristen dilegalkan Kaisar Konstantinus I pada tahun 313. Pada tahun
380, agama Kristen Katolik ditetapkan Kaisar Teodosius I menjadi agama negara Kekaisaran
Romawi. Agama Kristen menjadi agama negara Kekaisaran Romawi sampai Kekaisaran
Romawi Barat runtuh, dan bertahan menjadi agama negara Kekaisaran Romawi Timur
sampai kota Konstantinopel jatuh ke tangan bangsa Turki. Konsili Ekumene yang pertama
sampai dengan yang ke-7 terselenggara pada masa-masa agama Kristen menjadi agama
negara. Menurut sejarawan Gereja, Eusebius, ada lima keuskupan terkemuka ketika itu, yakni
keuskupan Roma, keuskupan Konstantinopel, keuskupan Antiokhia, keuskupan Yerusalem,
dan keuskupan Aleksandria. Kelima keuskupan ini disebut Pancatantra (bahasa Yunani:
Πενταρχία, Pentarkia; bahasa Latin: Pentarchia).
Pertempuran di Toulouse mampu melanggengkan eksistensi Gereja Katolik di belahan Dunia
Barat, meskipun Roma diluluhlantakkan pada tahun 850, dan Konstantinopel sudah
terkepung. Pada abad ke-11, kerenggangan silaturahmi antara Gereja Yunani di Dunia Timur
dan Gereja Latin di Dunia Barat akhirnya bermuara pada Skisma Akbar. Salah satu pemicunya
adalah sengketa seputar ruang lingkup kewenangan Uskup Roma. Perang Salib IV dan aksi
penjarahan kota Konstantinopel yang dilakukan Laskar Salib membuat keterpecahan ini
menjadi paripurna. Pada abad ke-16, Gereja Katolik menanggapi gerakan Reformasi
Protestan dengan gerakan pembaharuan internal yang dikenal dengan sebutan Kontra
Reformasi.[7] Pada abad-abad selanjutnya, agama Kristen Katolik menyebar ke segenap
penjuru dunia, kendati mengalami penurunan jumlah pemeluk di Eropa akibat pertumbuhan
agama Kristen Protestan dan maraknya sikap skeptis terhadap agama pada Abad
Pencerahan maupun sesudahnya. Konsili Vatikan II, yang diselenggarakan pada dasawarsa
1960-an, adalah konsili yang menghasilkan perubahan-perubahan terpenting di bidang
amalan Gereja Katolik selepas Konsili Trente yang diselenggarakan empat abad sebelumnya.

Kelahiran Gereja

Asal mula

Lukisan peristiwa Pentakosta karya Jean II Restout, 1732

Menurut Tradisi Suci Kristen Katolik, pendiri Gereja Katolik adalah Yesus Kristus sendiri. Kitab
Suci Perjanjian Baru meriwayatkan kiprah dan ajaran Yesus, bagaimana ia memilih kedua
belas rasulnya, maupun amanatnya kepada mereka untuk melanjutkan karyanya.[8][9] Gereja
Katolik mengajarkan bahwa peristiwa turunnya Roh Kudus ke atas para rasul pada hari
Pentakosta adalah tonggak sejarah permulaan kiprah Gereja Katolik di muka umum.[10] Umat
Katolik percaya bahwa Santo Petrus adalah Uskup Roma yang pertama, sekaligus rasul yang
menahbiskan Linus menjadi Uskup Roma berikutnya, dan oleh karena itu merupakan cikal
bakal dari suksesi apostolik tak terputus sampai kepada Uskup Roma saat ini, yakni Paus
Fransiskus. Dengan kata lain, Gereja Katolik memelihara kesinambungan suksesi apostolik
Uskup Roma selaku pengganti Santo Petrus, yang lazim dikenal dengan sebutan "Sri
Paus".[11]

Menurut Injil Matius, Kristus menetapkan Petrus menjadi "cadas" landasan Gerejanya, karena
ia mengakui Yesus sebagai Kristus.[12][13] Meskipun sebagian ahli sudah menandaskan
bahwa Petrus adalah Uskup Roma yang pertama,[14][a] sebagian lainnya berpendapat bahwa
keberadaan lembaga kepausan tidak bergantung pada keyakinan bahwa Petrus adalah
Uskup Roma, bahkan tidak bergantung pula pada keyakinan bahwa Petrus pernah tinggal di
Roma.[15] Banyak ahli meyakini bahwa struktur kepemimpinan Gereja Perdana di kota Roma
mula-mula terdiri atas sekumpulan imam atau sekumpulan uskup, sebelum berkembang
menjadi struktur kepemimpinan yang terdiri atas satu orang uskup dan sekumpulan imam
pada abad ke-2,[16][b] dan sebutan "Uskup Roma" sesungguhnya baru kemudian hari
dilekatkan para pujangga pada nama para mendiang rohaniwan Roma terkemuka, termasuk
Petrus.[16] Bertolak dari pandangan semacam ini, Oscar Cullmann[18] dan Henry Chadwick[19]
mempertanyakan keberadaan kaitan resmi antara Petrus dan lembaga kepausan modern,
sementara Raymond E. Brown mengemukakan bahwa sekalipun penyebutan Petrus sebagai
uskup lokal kota Roma dalah tindakan anakronistis, umat Kristen pada masa hidup Petrus
sudah tentu menganggap Petrus memiliki "peran-peran tertentu yang menjadi pangkal
perkembangan peran lembaga kepausan dalam Gereja pada masa-masa selanjutnya".
Menurutnya, peran-peran tersebut "sangat mempengaruhi pembentukan anggapan bahwa
Uskup Roma, uskup dari kota tempat Petrus wafat dan tempat Paulus bersaksi tentang
kebenaran Kristus, adalah pengganti Petrus, pengemban tugas penggembalaan Gereja
semesta".[16]

Organisasi perdana

Keadaan Kekaisaran Romawi kala itu memang memungkinkan tersebarnya gagasan-


gagasan baru. Jaringan jalan raya serta jaringan perhubungan laut dan perairan darat, yang
dibina dan dipelihara dengan baik oleh negara, mempermudah orang untuk melakukan
perjalanan jauh, sementara Pax Romana membuat orang leluasa bepergian dari satu daerah
ke daerah lain tanpa perlu mengkhawatirkan gangguan keamanan. Pemerintah mendorong
rakyat, terutama yang tinggal di kota-kota, untuk belajar bahasa Yunani. Penguasaan
basantara ini memudahkan rakyat di seluruh wilayah Kekaisaran Romawi untuk
mengungkapkan gagasan masing-masing dan memahami gagasan orang lain.[20] Rasul-rasul
Yesus mendapatkan pengikut-pengikut baru dari paguyuban-paguyuban umat Yahudi di
seluruh Mediterania.[21] Pada tahun 100, sudah terbentuk kurang lebih 40 paguyuban umat
Kristen.[22] Meskipun sebagian besar terbentuk di wilayah Kekaisaran Romawi, paguyuban-
paguyuban umat Kristen juga terbentuk di Armenia, Iran, dan daerah Pesisir Malabar di
India.[23][24] Agama baru ini memikat banyak orang, khususnya di kota-kota. Agama Kristen
mula-mula tersiar di kalangan budak belian dan masyarakat kelas bawah, tetapi kemudian
menyebar pula di kalangan bangsawati Romawi.[25]

Umat Kristen mula-mula beribadat bersama-sama dengan umat Yahudi, sehingga disebut
umat Kristen Yahudi oleh para sejarawan, tetapi dalam jangka waktu dua puluh tahun
sesudah Yesus wafat, hari Minggu dijadikan hari peribadatan utama.[26] Setelah para pewarta
injil, semisal Paulus asal Tarsus, mulai mendapatkan pengikut baru dari kalangan non-Yahudi,
ajaran Kristen lambat laun tercerabut dari amalan-amalan agama Yahudi[21] dan tumbuh
menjadi agama tersendiri.[27] Kaitan Paulus dengan agama Yahudi masih menjadi pokok
perdebatan sampai sekarang. Demi merukunkan perbedaan ajaran kedua kubu yang saling
bersaing di dalam tubuh Gereja, para rasul menyelenggarakan muktamar tingkat dunia yang
pertama dalam sejarah Gereja, yakni Konsili Yerusalem, sekitar tahun 50. Konsili ini
menetapkan bahwa orang-orang non-Yahudi dibenarkan menjadi umat Kristen tanpa perlu
mematuhi seluruh hukum Musa.[5] Ketegangan yang timbul tak lama kemudian kian
memperlebar jarak antara umat Kristen dan umat Yahudi. Keterpisahan ini nyaris paripurna
ketika umat Kristen menolak ikut berjuang membantu umat Yahudi dalam Pemberontakan
Bar Kohba pada tahun 132.[28] Meskipun demikian, sejumlah paguyuban umat Kristen masih
melestarikan unsur-unsur amalan agama Yahudi.[29]

Menurut beberapa sejarawan dan ahli, organisasi Gereja perdana tidaklah kaku, sehingga
membuka peluang bagi munculnya bermacam-macam tafsir terhadap keyakinan-keyakinan
Kristen.[30] Agar ajaran-ajarannya semakin mapan, paguyuban-paguyuban umat Kristen
menciptakan hierarki yang lebih tertata menjelang akhir abad ke-2. Hierarki tersebut
berpuncak pada satu orang uskup dengan kewenangan mengatasi semua rohaniwan di kota
kediamannya.[31] Tatanan semacam ini terus berkembang, dan kemudian hari melahirkan
jabatan uskup ibu kota (bahasa Yunani: μητροπολίτης, metropolites; bahasa Latin:
metropolita). Organisasi Gereja pun mulai diserupakan dengan organisasi negara. Uskup-
uskup di kota-kota penting dalam bidang politik memiliki kewenangan mengatasi uskup-
uskup di kota-kota sekitarnya.[32] Gereja di kota Antiokhia, Aleksandria, dan Roma berada
pada tataran yang paling tinggi.[33] Pada abad ke-2, uskup-uskup mulai sering berkumpul dan
bermusyawarah dalam muktamar-muktamar tingkat daerah guna menuntaskan berbagai
permasalahan seputar ajaran dan kebijakan.[5] Eamon Duffy berpendapat bahwa pada abad
ke-3, Uskup Roma mulai menjadi semacam hakim agung, penuntas perkara-perkara yang
tidak dapat dituntaskan uskup-uskup lain.[6]
Ajaran Gereja kian murni berkat jasa sejumlah teolog dan guru terpandang, yang disebut
bapa-bapa Gereja.[34] Semenjak tahun 100, guru-guru proto-Ortodoks seperti Ignasius, Uskup
Antiokhia, dan Ireneus, Uskup Lugdunum, merumuskan ajaran Katolik sedemikian rupa
sehingga sangat bertolak belakang dengan ajaran-ajaran kerohanian lainnya, misalnya
ajaran-ajaran Gnostik.[35] Ajaran dan tradisi Kristen disatupadukan di bawah pengaruh ahli-
ahli hujah seperti Paus Klemens I, Yustinus Martir, dan Agustinus, Uskup Hipo.[36]

Aniaya

Berbeda dari kebanyakan agama lain di Kekaisaran Romawi, agama Kristen menuntut para
pemeluknya untuk mendustakan semua ilah lain. Tuntutan ini adalah amalan yang diserap
dari agama Yahudi. Penolakan untuk ikut serta merayakan hari-hari besar pagan membuat
umat Kristen dengan sendirinya tersisih dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.
Warga non-Kristen, termasuk pejabat-pejabat pemerintah, khawatir sikap umat Kristen ini
akan membangkitkan murka dewa-dewi, sehingga mengancam ketenteraman dan
kesejahteraan negara. Selain itu, keakraban istimewa antarsesama pemeluk dan kerahasiaan
amalan-amalan agama Kristen menimbulkan desas-desus bahwa umat Kristen
mengamalkan sumbang pati dan kanibalisme. Kendati biasanya bersifat lokal dan sporadis,
aksi-aksi penganiayaan terhadap umat Kristen yang timbul akibat desas-desus ini merupakan
salah satu unsur pembentuk wawasan diri umat Kristen sampai agama Kristen dilegalkan
pada abad ke-4.[37][38] Serangkaian aniaya yang lebih terencana terhadap umat Kristen
dilancarkan pada akhir abad ke-3, ketika kaisar-kaisar memaklumkan kepada rakyat bahwa
krisis militer, politik, dan ekonomi yang tengah melanda negara adalah wujud dari murka
dewa-dewi. Semua orang yang tinggal di wilayah Kekaisaran Romawi diperintahkan untuk
mempersembahkan kurban kepada dewa-dewi dengan ancaman pidana.[39] Umat Yahudi
dikecualikan dari perintah ini jika bersedia membayar pajak khusus Yahudi. Jumlah umat
Kristen yang dihukum mati berkisar dari beberapa ratus sampai 50.000 jiwa.[40] Banyak orang
terpaksa mengungsi,[41] bahkan murtad. Silang pendapat seputar status orang-orang murtad
yang kembali ke haribaan Gereja menjadi pangkal dari skisma sempalan Donatisme dan
sempalan Novasianisme.[42]

Sekalipun umat Kristen berulang kali dianiaya, usaha-usaha pewartaan Injil terus berjalan,
dan pada akhirnya membuahkan Maklumat Milan tahun 313, yang melegalkan keberadaan
agama Kristen di negara Kekaisaran Romawi.[43] Pada tahun 380, agama Kristen sudah
menjadi agama negara Kekaisaran Romawi.[44] Dalam tulisannya, filsuf religius Simone Weil
mengemukakan bahwa "pada zaman Konstantinus, pengharapan akan akhir zaman tentu
sudah lumayan menipis. Kedatangan Kristus yang sudah di ambang pintu, yakni
pengharapan akan hari kiamat, merupakan 'bahaya sosial yang sangat besar.' Selain itu,
semangat hukum lama, yang begitu jauh berseberangan dengan segala hal yang berbau
mistik, tidaklah terlampau berbeda dari semangat bangsa Romawi itu sendiri. Roma dapat
menyelaraskan diri dengan Allah Semesta Alam."[45]

Akhir Abad Kuno

Kaisar Konstantinus I menetapkan hak-hak Gereja pada tahun 315

Ketika dinobatkan menjadi kaisar atas provinsi-provinsi wilayah barat Kekaisaran Romawi
pada tahun 312, Konstantinus mengungkapkan bahwa kejayaan yang ia raih semata-mata
adalah anugerah dari Allah yang disembah umat Kristen. Banyak prajurit dalam angkatan
bersenjatanya adalah pemeluk agama Kristen, dan angkatan bersenjatanya adalah penopang
kekuasaannya. Bersama Lisinius, kaisar atas provinsi-provinsi wilayah timur Kekaisaran
Romawi, Konstantinus menerbitkan Maklumat Milan, yang mewajibkan sikap toleransi
terhadap semua agama di Kekaisaran Romawi. Maklumat ini tidak banyak mempengaruhi
sikap dan perilaku warga negara.[46] Berbagai undang-undang baru dirumuskan untuk
membakukan beberapa pokok keyakinan dan amalan Kristen.[c][47] Jasa terbesar
Konstantinus bagi agama Kristen adalah pengayomannya. Ia menghibahkan tanah maupun
dana dalam jumlah besar kepada Gereja, serta menganugerahkan pengecualian pajak dan
berbagai keistimewaan lain atas harta benda Gereja maupun kepada para rohaniwan.[48]
Semua anugerah tersebut maupun anugerah-anugerah lain yang kemudian hari diterima
Gereja membuat Gereja menjadi pemilik tanah terluas di wilayah barat Kekaisaran Romawi
pada abad ke-6.[49] Banyak dari anugerah-anugerah tersebut berasal dari pajak yang
dibebankan atas lembaga-lembaga amal pagan.[48] Sejumlah lembaga amal ini terpaksa
bubar akibat kekurangan dana, sehingga peran mereka selaku penyantun fakir miskin diambil
alih Gereja.[50] Sebagai cerminan dari kedudukan yang kian menanjak naik di tengah
masyarakat Kekaisaran Romawi, kaum rohaniwan mulai berpakaian selayaknya orang-orang
di lingkungan istana, antara lain dengan mengenakan korkap.[51]

Pada masa pemerintahan Kaisar Konstantinus, kira-kira separuh dari orang-orang yang
mengaku memeluk agama Kristen tidak tergolong anggota jemaat Kristen arus utama.[52]
Karena khawatir ketidakbersatuan umat Kristen tidak berkenan kepada Allah dan akan
mendatangkan malapetaka bagi negara, Kaisar Konstantinus membubarkan sejumlah
sempalan Kristen lewat aksi militer maupun jalur hukum.[53] Untuk menyelesaikan berbagai
sengketa lain, Kaisar Konstantinus memprakarsai penyelenggaraan konsili ekumene,
muktamar waligereja sedunia, guna menetapkan tafsir-tafsir doktrin Gereja yang bersifat
mengikat.[54]

Ketetapan mengenai keilahian Kristus yang dihasilkan Konsili Nicea pada tahun 325
menimbulkan skisma. Sempalan baru, yang disebut Arianisme, berkembang di luar wilayah
Kekaisaran Romawi.[55] Guna membedakan dirinya dari kaum penganut Arianisme, Gereja
Katolik mengedepankan devosi kepada Bunda Maria. Kebijakan ini justru menimbulkan
skisma-skisma baru.[56][57]

Pada tahun 380, agama Kristen arus utama, lawan dari sempalan Arianisme, dijadikan
agama resmi negara Kekaisaran Romawi.[58] Agama Kristen kian lama kian identik dengan
negara Kekaisaran Romawi, sampai-sampai menjadi biang keladi penganiayaan terhadap
umat Kristen di negara-negara lain, lantaran para penguasa di negara-negara tersebut
khawatir umat Kristen akan memberontak demi mendukung Kaisar Romawi.[59] Dengan
status dan kewenangan barunya selaku agama resmi negara, Gereja menjatuhkan pidana
mati sebagai hukuman bagi ahli bidah Kristen untuk pertama kalinya pada tahun 385, yakni
pidana mati kepada Prisilianus.[60]

Pada kurun waktu inilah, senarai kitab-kitab yang patut dihormati sebagai Kitab Suci untuk
pertama kalinya ditetapkan dalam konsili-konsili atau sinode-sinode waligereja melalui
tahap-tahap 'kanonisasi' resmi. Sebelum konsili-konsili atau sinode-sinode ini
diselenggaraan, susunan kitab-kitab yang dianggap suci sudah hampir sama dengan
susunan Alkitab yang ada sekarang ini. Berdasarkan sejumlah keterangan tertulis, Konsili
Roma secara resmi mengakui kanon Alkitab untuk pertama kalinya pada tahun 382, dengan
menetapkan daftar kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang sahih. Terjemahan Alkitab
ke dalam bahasa Latin, yang dikenal dengan sebutan Vulgata, dikerjakan pada tahun 391.[61]
Berdasarkan sejumlah keterangan tertulis lain, Konsili Kartago tahun 397 adalah konsili yang
menetapkan susunan Alkitab yang paripurna sebagaimana yang ada sekarang ini.[62] Konsili
Efesus tahun 431 mempertegas kodrat inkarnasi Yesus, dengan menyatakan bahwa Yesus
adalah manusia yang seutuhnya sekaligus Allah yang seutuhnya.[63] Dua dasawarsa
kemudian, Konsili Kalsedon mengukuhkan primasi Paus Roma, sehingga kian meretakkan
hubungan baik antara Roma dan Konstantinopel, pusat utama Gereja Timur.[64] Selain itu,
muncul pula sengketa monofisitisme tentang bagaimana persisnya kodrat inkarnasi Yesus.
Sengketa ini bermuara pada perpecahan antara Gereja Katolik dan Gereja-Gereja yang
tergabung dalam persekutuan Gereja Ortodoks Oriental.[65]

Abad Pertengahan

Awal Abad Pertengahan

Sesudah pemerintahan wilayah barat Kekaisaran Romawi tumbang pada tahun 476, agama
Kristen Katolik bersaing dengan sempalan Arianisme dalam mencari pengikut baru dari suku-
suku barbar.[66] Agama Kristen Katolik mulai berkembang dengan lancar di kawasan barat
Eropa sesudah Klovis I, raja orang Franka, melepaskan kepercayaan nenek moyangnya dan
memeluk agama Kristen Katolik pada tahun 496.[67]

Sosok Santo Benediktus, sesepuh zuhud Gereja Barat yang menyusun Regula Benediktus, dalam fresko karya Fra
Angelico, ca. 1437–1446.
Pada tahun 530, Santo Benediktus menyusun Regula Benediktus sebagai panduan praktis
dalam menjalani kehidupan sehari-hari di biara. Regula ini tersebar ke biara-biara di seantero
Eropa.[68] Biara-biara menjadi saluran utama peradaban yang melestarikan berbagai
keterampilan, kemahiran, dan budaya intelektual di sekolah-sekolah, skriptorium-skriptorium,
dan perpustakaan-perpustakaannya. Selain menjadi pusat kehidupan rohani, biara-biara juga
menjadi pusat kegiatan pertanian, ekonomi, dan produksi.[69] Pada kurun waktu inilah orang
Visigoth dan orang Lombardi meninggalkan sempalan Arianisme dan memeluk agama
Kristen Katolik.[67] Paus Gregorius Agung sangat berjasa mengubah keyakinan orang Visigoth
dan orang Lombardi, menata ulang struktur dan administrasi Gereja, serta melancarkan
usaha-usaha baru untuk menyebarkan agama Kristen.[70] Pada abad-abad selanjutnya,
misionaris-misionaris dari Roma (misalnya Santo Agustinus dari Canterbury yang diutus
untuk menyebarkan agama Kristen di tengah-tengah suku bangsa Angli-Saksen) maupun
misionaris-misionaris dari Irlandia dan Skotlandia (antara lain Santo Kolumbanus, Santo
Bonifasius, Santo Wilibrordus, Santo Anskarius) menyiarkan agama Kristen sampai ke
kawasan utara Eropa, dan mewartakan iman Katolik kepada suku-suku Jermani, suku-suku
Slav, dan suku Viking maupun suku-suku lain di Skandinavia.[71] Sekalipun tidak bersifat
mutlak sebagaimana yang diklaim sebagian pihak, Sinode Whitby tahun 664 adalah peristiwa
penting yang menyatukan kembali Gereja Kelt di Kepulauan Inggris dengan hierarki Gereja
Roma, sesudah putus hubungan akibat invasi suku-suku pagan. Di Italia, akta hibah Sutri
tahun 728 dan akta hibah Pipin tahun 756 membuat Sri Paus menjadi penguasa sebuah
kerajaan dengan wilayah yang cukup luas. Akta hibah Konstantinus, yang mungkin sekali
direkayasa pada abad ke-8, semakin mengukuhkan kekuasaan Sri Paus atas bekas wilayah
barat Kekaisaran Romawi.

Pada permulaan abad ke-8, kebijakan anti-ikon di Romawi Timur menjadi biang keladi utama
sengketa antara Gereja Timur dan Gereja Barat. Kaisar-kaisar Romawi Timur melarang
warganya membuat maupun menghormati gambar orang-orang suci, karena dinilai
menyalahi Dasa Titah. Agama-agama besar lain di Dunia Timur, seperti agama Yahudi dan
agama Islam, juga memiliki larangan serupa. Paus Gregorius III menentang keras larangan
ini.[72] Irene, permaisuri kaisar baru yang sehaluan dengan Sri Paus, menggelar sebuah konsili
ekumene untuk menuntaskan permasalahan ini. Pada tahun 787, bapa-bapa (waligereja yang
menghadiri) Konsili Nikea II "menyambut hangat kedatangan rombongan perutusan yang
membawa surat dari Sri Paus".[73] Dalam sidang penutup yang dipimpin wakil-wakil Paus
Hadrianus I,[74] 300 bapa konsili "menerima ajaran Sri Paus"[73] yang membenarkan tindakan
membuat dan menghormati ikon.

Dengan penobatan Karel Agung oleh Paus Leo III pada tahun 800, maupun pemberian gelar
Patricius Romanorum dan penyerahan kunci Makam Santo Petrus kepadanya, lembaga
kepausan mendapatkan pengayom baru di belahan Dunia Barat. Dukungan pengayom baru
membuat para paus sampai taraf tertentu merdeka dari kekuasaan kaisar di Konstantinopel,
tetapi pengayom baru juga menjadi salah satu sebab Skisma Akbar. Sedari awal perjalanan
sejarah Gereja, para Kaisar Romawi Timur dan para Batrik Konstantinopel memandang diri
mereka sebagai penerus sejati Kekaisaran Romawi.[75] Ketika Paus Nikolaus I menolak
mengakui kesahihan jabatan Batrik Konstantinopel yang disandang Fotios I, Sang Batrik pun
menuding Sri Paus sebagai ahli bidah karena mempertahankan frasa filioque dalam
syahadat, yang ia anggap sama saja dengan percaya bahwa Roh Kudus keluar dari Bapa "dan
Putra". Dukungan pengayom baru memang memperkuat lembaga kepausan, tetapi dalam
jangka panjang justru menciptakan masalah baru bagi para paus, yakni kontroversi investitur,
ketika para Kaisar Romawi Suci berusaha menempatkan orang-orang kepercayaannya pada
jabatan uskup, bahkan jabatan paus.[76][77] Sesudah Kekaisaran Wangsa Karoling terpecah
belah, dan pasukan-pasukan Muslim mulai gencar merongrong Semenanjung Italia, lembaga
kepausan pun memasuki kurun waktu ketidakberdayaan tanpa pengayom sama sekali.[78]

Puncak Abad Pertengahan

Santo Tomas Aquinas

Usaha pembaharuan biara yang berlangsung Cluny pada tahun 910 menundukkan para abas
di bawah kendali langsung Sri Paus, alih-alih di bawah kendali penguasa-penguasa feodal,
dan dengan demikian menghilangkan salah satu biang keladi utama korupsi. Kenyataan ini
memicu pembaharuan besar-besaran di biara-biara.[79] Baik biara-biara, rumah-rumah tarekat,
maupun gereja-gereja katedral masih tetap menjalankan hampir semua sekolah serta
perpustakaan, dan kerap menjalankan pula usaha simpan-pinjam yang mendorong
pertumbuhan ekonomi.[80][81] Selepas tahun 1100, beberapa sekolah katedral dipecah
menjadi sekolah tata bahasa dan sekolah tinggi yang mengajarkan mata-mata pelajaran
lanjutan. Banyak dari sekolah-sekolah tinggi tersebut berkembang menjadi universitas,
leluhur lembaga-lembaga pendidikan modern di Dunia Barat. Perkembangan ini mula-mula
berlangsung di Bologna, disusul Paris dan Oxford.[82] Di universitas-universitas inilah para
teolog terkemuka berusaha menjelaskan hubungan pengalaman hidup dengan iman
manusia.[83] Santo Tomas Aquinas, teolog yang paling terkemuka, menghasilkan Summa
Theologica, karya ilmiah penting yang merupakan sintesis filsafat Aristoteles dan injil.[83]
Sumbangsih biara bagi masyarakat Dunia Barat mencakup penyebarluasan kepandaian
mengolah logam, budi daya tanaman-tanaman pangan baru, penciptaan notasi musik, dan
penyusunan maupun pelestarian karya-karya sastra.[82]

Skisma Akbar yang memecah belah agama Kristen terjadi pada abad ke-11.[84] Skisma ini
timbul akibat sengketa antara Konstantinopel dan Roma mengenai siapa yang berwenang
membawahi Gereja di Sisilia, dan bermuara pada aksi saling ekskomunikasi pada tahun
1054.[84] Sejak saat itu, umat Kristen Latin dikenal dengan sebutan Gereja Katolik, dan umat
Kristen Yunani dikenal dengan sebutan Gereja Ortodoks.[85][86] Baik Konsili Lyon II tahun 1274
maupun Konsili Firenze tahun 1439 gagal merukunkan kedua belah pihak.[87] Beberapa
Gereja Timur telah kembali bersatu dengan Gereja Katolik, dan beberapa Gereja Timur lain
mengaku tidak pernah keluar dari persekutuan dengan Sri Paus.[86][88] Secara resmi, kedua
Gereja belum kembali bersatu, tetapi kedua belah pihak sudah menarik kembali pernyataan
ekskomunikasi masing-masing pada tahun 1965.[89]

Pada abad ke-11, timbul kontroversi investitur antara Kaisar Romawi Suci dan Sri Paus, yakni
sengketa mengenai hak mengangkat petinggi Gereja. Sengketa ini adalah tahap pertama
dalam pertikaian berkepanjangan antara Gereja dan negara di Eropa pada Abad Pertengahan.
Mula-mula lembaga kepausan tampil sebagai pihak yang unggul, tetapi karena masyarakat
Italia terbelah menjadi golongan Guelfi dan golongan Gibellini yang sering kali diteruskan ke
anak cucu sampai akhir Abad Pertengahan, lembaga kepausan lambat laun menjadi pihak
yang lemah, terutama karena sengketa ini menyeret lembaga kepausan ke tengah arena
politik. Gereja juga berusaha mengendalikan, atau mengutip pungutan dari perkawinan di
kalangan ningrat dengan mengeluarkan larangan kawin sampai tujuh lapis turunan bagi
pasangan dari dua keluarga sedarah (konsanguinitas) dan pasangan dari dua keluarga
semenda (afinitas) pada tahun 1059. Dengan adanya larangan-larangan tersebut, hampir
semua perkawinan di kalangan ningrat harus mendapatkan dispensasi dari Sri Paus. Pada
tahun 1215, larangan-larangan ini dibatasi sampai empat lapis turunan saja, dan sekarang
hanya terbatas pada satu satu lapis turunan, misalnya seorang laki-laki diharamkan
mengawini putri tirinya.

Dalam sidang Konsili Clermont tahun 1095, Paus Urbanus II mengimbau bangsa Eropa Barat untuk mengobarkan
Perang Salib, gambar dalam naskah beriluminasi dari ca. tahun 1490

Paus Urbanus II melancarkan Perang Salib yang pertama pada tahun 1095, setelah
menerima permohonan bantuan dari Kaisar Romawi Timur Aleksios Komnenos untuk
membendung invasi bangsa Turki.[90] Paus Urbanus juga yakin bahwa Perang Salib dapat
membantu merukunkan Gereja Barat dengan Gereja Timur.[91][92] Laporan-laporan tentang
kezaliman kaum Muslim terhadap umat Kristen[93] memicu pelancaran serangkaian
kampanye militer mulai tahun 1096, yang dikenal dengan sebutan Perang Salib. Kampanye-
kampanye militer ini dilancarkan dengan tujuan memulihkan kekuasaan umat Kristen atas
Tanah Suci. Tujuan ini tidak kunjung terwujud secara permanen, dan aksi-aksi kejam yang
dilakukan angkatan bersenjata kedua belak pihak meninggalkan warisan sikap saling curiga
di antara umat Islam dan umat Kristen Gereja Barat maupun Gereja Timur.[94] Aksi
penjarahan kota Konstantinopel yang terjadi pada masa Perang Salib IV membuat umat
Kristen Timur merasa sangat terpukul dan kecewa, meskipun tahu bahwa Paus Inosensius III
secara terang-terangan melarang aksi tersebut.[95] Pada tahun 2001, Paus Yohanes Paulus II
memohon umat Kristen Ortodoks untuk mengampuni dosa-dosa umat Katolik, termasuk aksi
penjarahan kota Konstantinopel tahun 1204.[96]

Ada dua langgam arsitektur gereja yang lahir pada kurun waktu ini. Langgam arsitektur yang
lahir lebih dulu adalah langgam Romawi, yakni gaya arsitektur yang memadukan dinding-
dinding raksasa dengan pelengkung-pelengkung bundar dan langit-langit batu. Ketiadaan
jendela-jendela berukuran besar diimbangi dengan lukisan-lukisan berwarna-warni pada
dinding ruangan yang bertemakan kisah-kisah Alkitab dan riwayat hidup orang-orang kudus.
Basilika Saint-Denis menandai kemunculan trend baru di bidang arsitektur katedral, karena
dibangun menggunakan gaya arsitektur Gothik.[97] Gaya arsitektur yang menghadirkan
jendela-jendela besar serta pelengkung-pelengkung yang lancip dan tinggi ini membuat
pencahayaan ruangan maupun keselarasan geometri bangunan menjadi lebih baik, dengan
maksud untuk mengarahkan pikiran umat kepada Allah, "Sang Mahapengatur".[97] Pada abad
ke-12, lahir empat tarekat kerahiban baru yang sebagian besar anggotanya berkiprah sebagai
kesatria-kesatria militer dalam Perang Salib.[98] Santo Bernardus dari Clairvaux, rahib tarekat
Sistersien, sangat besar pengaruhnya terhadap tarekat-tarekat baru ini, dan memprakarsai
usaha-usaha pembaharuan demi memastikan kemurnian tujuan pembentukannya.[98] Berkat
pengaruhnya yang besar, Paus Aleksander III melancarkan usaha-usaha pembaharuan yang
melahirkan hukum kanon.[99] Pada abad berikutnya, Francesco di Bernardone dan Domingo
de Guzmán mendirikan tarekat-tarekat fakir baru yang menghadirkan cara hidup bakti di
tengah-tengah lingkungan perkotaan.[100]

Pada abad ke-12, muncul sempalan Katarisme di Languedoc, Prancis. Usaha-usaha untuk
menanggulangi ajaran bidah inilah yang melahirkan lembaga inkuisisi. Setelah kaum Katar
didakwa membunuh seorang utusan paus pada tahun 1208, Paus Inosensius III melancarkan
Perang Salib Albigenses.[101] Berbagai tindakan penyalahgunaan kewenangan yang terjadi
selama berlangsungnya Perang Salib ini mendorong Paus Inosensius III untuk membentuk
lembaga inkuisisi kepausan secara informal guna mencegah tindakan-tindakan pembantaian
lanjutan dan memberantas sisa-sisa kaum Katar sampai ke akar-akarnya.[102][103] Pada masa-
masa jayanya, sesudah diformalisasi Paus Gregorius IX, lembaga inkuisisi Abad Pertengahan
ini menghukum mati rata-rata tiga orang per tahun.[103][104] Seiring waktu, aksi-aksi inkuisisi
lain juga dilancarkan

Gereja atau penguasa sekuler untuk menindas ahli bidah, untuk menghadapi ancaman invasi
orang Moro, maupun untuk tujuan-tujuan politik.[105] Para terdakwa bidah diimbau untuk
mengingkari kesesatannya jika ingin terhindar dari hukuman penitensi, denda, kurungan, atau
bakar hidup-hidup.[105][106]

Pada abad ke-14, pertentangan antara Gereja dan negara kian menjadi-jadi. Untuk
melepaskan diri dari keadaan kalut di Roma, Paus Klemens V pindah ke Prancis pada tahun
1309, dan menjadi paus pertama dari tujuh orang paus yang bermastautin di kota benteng
Avignon, kawasan selatan Prancis.[107] Kurun waktu ketika lembaga kepausan berkedudukan
di Avignon disebut sebagai zaman kepausan Avignon. Sri Paus kembali bermastautin di kota
Roma pada tahun 1378 atas desakan Katarina dari Siena dan tokoh-tokoh lain yang merasa
Takhta Santo Petrus sepatutnya berada di Roma.[108][109] Sidang pemilihan paus baru, yang
digelar menyusul kemangkatan Paus Gregorius XI pada tahun itu, menjadi pokok
pertentangan antara kubu pendukung calon paus berkebangsaan Italia dan kubu pendukung
calon paus berkebangsaan Prancis yang bermuara pada Skisma Barat. Selama 38 tahun, ada
dua orang paus yang menjabat secara bersamaan, seorang di Roma, dan seorang lagi di
Avignon. Usaha rujuk justru memperumit masalah, karena memunculkan paus ketiga pada
tahun 1409, yang tadinya direncakan menjadi satu-satunya paus yang dapat diterima semua
pihak.[110] Masalah baru terpecahkan pada tahun 1417 dalam Konsili Konstanz. Para kardinal
peserta konsili mengimbau ketiga paus yang ada untuk meletakkan jabatan, kemudian
menggelar sidang pemilihan paus baru yang berakhir dengan terpilihnya Paus Martinus
V.[110]

Renaisans dan reformasi

Abad penjelajahan dan para misionaris

Selama abad ke-15 dan awal abad ke-16, misionaris-misionaris dan penjelajah-penjelajah
Eropa menyebarkan agama Kristen Katolik ke Benua Amerika, Asia, Afrika, dan Oseania.
Dengan menerbitkan bula Inter Caetera, Paus Aleksander VI menganugerahkan hak jajah atas
sebagian besar daerah yang baru ditemukan kepada Spanyol dan Portugal.[111] Di bawah
sistem patronato (bahasa Portugis: padroado), pejabat-pejabat negara mengatur
pengangkatan rohaniwan dan membatasi hubungan langsung dengan Vatikan.[112] Pada
bulan Desember 1511, Antonio de Montesinos, seorang frater dari tarekat Dominikan, secara
terbuka mengecam pejabat-pejabat pemerintah Spanyol di Ispanyola karena memperlakukan
orang-orang pribumi Amerika dengan semena-mena. Ia berkata, "... kamu sekalian sudah
berdosa besar ... karena kekejaman dan tirani yang kamu gunakan dalam berurusan dengan
orang-orang tak berdosa ini".[113][114][115] Menjawab kecaman tersebut, Raja Fernando
memberlakukan Undang-Undang Burgos dan Undang-Undang Valladolid. Penerapannya tidak
tegas, dan meskipun sebagian pihak menyalahkan Gereja karena tidak berbuat banyak demi
kebebasan orang-orang Indian, pihak-pihak lain justru menegaskan bahwa Gerejalah satu-
satunya lembaga yang menyuarakan kepentingan orang-orang pribumi.[116] Isu ini
menimbulkan krisis hati nurani di spanyol pada abad ke-16.[115][117] Banyaknya swakritik dan
renungan filsafati yang dikemukakan para teolog Katolik, teristimewa dari Francisco de
Vitoria, memunculkan perdebatan mengenai hakikat hak-hak manusia[115] dan melahirkan
hukum internasional modern.[118][119]

Pada tahun 1521, berkat kepemimpinan dan usaha pewartaan penjelajah Portugis, Fernão de
Magalhães, untuk pertama kalinya dilangsungkan pembaptisan orang-orang pribumi yang
kemudian hari menjadi bangsa Kristen pertama di Asia Tenggara, yakni bangsa Filipina.[120]
Pada tahun berikutnya, misionaris-misionaris Fransiskan tiba di negeri yang kini bernama
Meksiko. Mereka berusaha mengajak orang-orang Indian setempat untuk memeluk agama
Kristen Katolik, tetapi juga berusaha meningkatkan kesejahteraan mereka dengan mendirikan
sekolah-sekolah dan rumah-rumah sakit. Orang-orang Indian mereka ajari metode-metode
bercocok tanam yang lebih baik dan cara-cara yang lebih mudah untuk menenun dan
membuat gerabah. Karena ada sebagian orang yang masih meragukan bahwa bangsa Indian
sungguh-sungguh manusia, Paus Paulus III menerbitkan bula Veritas Ipsa atau Sublimis Deus
pada tahun 1537 untuk menegaskan bahwa bangsa Indian patut diperlakukan sebagai
manusia.[121][122] Semenjak terbitnya bula tersebut, usaha penyebaran agama Kristen Katolik
mulai mebuahkan hasil.[123] Dalam rentang waktu 150 tahun berikutnya, usaha misi meluas
sampai ke kawasan barat laut Amerika Utara.[124] Orang-orang pribumi secara legal
didefinisikan sebagai kanak-kanak, dan para imam memegang peran ayah, yang sering kali
dikukuhkan dengan penerapan hukuman badan.[125] Di India, misionaris-misionaris Portugis
dan imam Yesuit asal Spanyol, Fransiskus Xaverius, mewartakan Injil kepada orang-orang
non-Kristen maupun komunitas-komunitas Kristen India yang mengaku sebagai komunitas-
komunitas bentukan Rasul Tomas.[126]

Biara Whitby di Inggris, salah satu dari ratusan biara Eropa yang dihancurkan pada masa reformasi di Inggris, Prancis,
dan negeri-negeri Kristen Protestan Reformed. Meskipun beberapa paguyuban biara di negeri-negeri Kristen Protestan
Lutheran membubarkan diri dengan suka rela, ada pula yang tetap bertahan sampai sekarang.

Renaisans Eropa

Di Eropa, Renaisans menandai kemunculan kembali minat orang terhadap ilmu pengetahuan
Abad Kuno dan Abad Klasik. Renaisans juga merupakan kurun waktu ketika orang mulai
mempertanyakan kepercayaan-kepercayaan yang mereka anut. Katedral-katedral dan gereja-
gereja sudah lama menjadi semacam buku bergambar dan galeri seni bagi jutaan orang yang
tidak berpendidikan. Jendela-jendela kaca patri, fresko-fresko, patung-patung, lukisan-
lukisan, dan panel-panel bergambar menceritakan kembali kisah hidup orang-orang kudus
dan tokoh-tokoh Alkitab. Gereja mensponsori seniman-seniman besar Renaisans seperti
Michelangelo dan Leonardo da Vinci, pecipta sejumlah karya seni yang terkenal di seluruh
dunia.[127] Meskipun para pemimpin Gereja mampu mengarahkan seni rupa yang terinspirasi
humanisme Renaisans untuk kepentingan Gereja, ada juga konflik-konflik antara kaum
rohaniwan dan kaum humanis, misalnya konflik yang timbul sewaktu digelarnya sidang
pengadilan ahli bidah terhadap Johann Reuchlin. Pada tahun 1509, cendekiawan Renaisans
ternama, Desiderius Erasmus, menulis Pujian kepada Kebodohan, sebuah karya tulis yang
merangkum keresahan masyarakat akan korupsi yang merajalela di dalam tubuh Gereja.[128]
Lembaga kepausan sendiri dipertanyakan
kaum konsiliarisme dalam Konsili Konstanz
maupun Konsili Basel. Usaha-usaha pembaharuan yang nyata diusulkan dalam sidang kedua
konsili ekumene tersebut maupun dalam Konsili Lateran V, tetapi dimentahkan. Usaha-usaha
tersebut dipandang perlu tetapi tidak membuahkan hasil dalam skala besar karena adanya
perseteruan internal,[129] konflik-konflik dengan Kekaisaran Turki Utsmaniyah maupun kaum
Sarasen,[129] dan praktik simoni maupun nepotisme yang merajalela di dalam tubuh Gereja
pada abad ke-15 dan awal abad ke-16.[130] Akibatnya, tokoh-tokoh duniawi yang kaya dan
berkuasa seperti Roderigo Borgia (Paus Aleksander VI) dapat terpilih menjadi paus.[130][131]

Perang-perang Reformasi Protestan

Konsili Lateran V hanya melahirkan segelintir usaha pembaharuan pada bulan Maret 1517.
Beberapa bulan kemudian, pada tanggal 31 Oktober 1517, Martin Luther menerbitkan
Sembilan Puluh Lima Dalil-nya, dengan harapan dapat mencetuskan perdebatan.[132][133] Dalil-
dalilnya memprotes pokok-pokok doktrin Gereja Katolik maupun praktik jual beli
indulgensi.[132][133] Hulderikus Zwingli, Yohanes Calvin, dan beberapa tokoh lain juga
mengecam ajaran-ajaran Gereja Katolik. Penentangan-penentangan tersebut didukung
penguasa-penguasa lokal, dan berkembang menjadi gerakan Reformasi Protestan.[134][135]
Pada kurun waktu ini, banyak orang beremigrasi meninggalkan kampung halamannya ke
daerah-daerah yang menoleransi atau menganut keyakinan yang sama dengannya, kendati
ada pula yang bertahan tinggal dan menjadi kaum kripto-Protestan atau orang Nikodemit.

Di Jerman, gerakan reformasi menyulut perang antara Liga Schmalkalden selaku pihak
Protestan melawan Kaisar Kaisar Karel V selaku pihak Katolik. Perang sembilan tahun antara
kedua belah pihak berakhir pada tahun 1555, tetapi ketegangan yang masih membara
akhirnya menyulut konflik yang lebih besar lagi, yakni Perang Tiga Puluh Tahun, yang meletus
pada tahun 1618.[136]
Di Negeri Belanda, perang-perang Kontra-Reformasi adalah
Pemberontakan Rakyat Belanda dan Perang Delapan Puluh Tahun yang juga mencakup
Perang Suksesi Kepemimpinan Kadipaten Gulik. Perang Köln (1583–1589) adalah konflik
antara faksi Protestan dan faksi Katolik di Swapraja Kurfürstentum Köln. Ketika Gebhard
Truchsess von Waldburg, uskup agung yang mengepalai Swapraja Kurfürstentum Köln,
berganti keyakinan menjadi pemeluk agama Kristen Protestan, umat Katolik memilih Ernst
von Bayern menjadi Uskup Agung Köln yang baru. Ernst von Bayern berhasil mengalahkan
Gebhard Truchsess von Waldburg beserta sekutu-sekutunya.

Di Prancis, serangkaian konflik yang disebut Perang Agama di Prancis antara kaum Huguenot
dan Liga Katolik berlangsung dari tahun 1562 sampai tahun 1598. Beberapa paus memihak
dan menjadi penyandang dana Liga Katolik.[137] Perang Agama di Prancis berakhir pada
masa jabatan Paus Klemens VIII. Sri Paus terpaksa menerima isi Maklumat Nantes yang
dikeluarkan Raja Henry IV pada tahun 1598. Maklumat Nantes menjamin toleransi sipil
maupun toleransi beragama terhadap umat Protestan.[136][137] Pada tahun 1565, beberapa
ratus penumpang Huguenot yang selamat dari kapal karam menyerah kepada pemerintah
koloni Spanyol di Florida karena yakin akan diperlakukan dengan baik. Selain beberapa orang
Katolik, semua tawanan asal Prancis tersebut dihukum mati sebagai ahli bidah, dengan
partisipasi aktif rohaniwan.[138]

Inggris

Saat ketiga Martir Guernsey dihukum bakar pada masa pemerintahan Ratu Mary I, salah seorang di antaranya
melahirkan. Bayinya dapat diselamatkan, tetapi karena para padri berpendapat bahwa si bayi mewarisi cacat akhlak
ibunya, Bailiff Hellier Gosselin memerintahkan agar si bayi dilemparkan ke dalam kobaran api. Kemudian hari, Hellier
Gosselin terpaksa kabur meninggalkan Kepulauan Selat demi menghindari amuk massa sesudah Ratu Elizabeth I naik
takhta.[139]

Reformasi Inggris tampaknya dilandasi


keinginan Raja Henry VIII untuk menganulir
perkawinannya dengan Catalina de Aragón, dan mula-mula lebih bersifat politik meskipun
kemudian hari menjadi perkara teologi.[140] Undang-Undang Supremasi menjadikan kepala
monarki Inggris sebagai kepala Gereja Inggris dan oleh karena itu membentuk Gereja Inggris.
Kemudian sejak tahun 1536, sekitar 825 biara di seluruh Inggris, Wales, dan Irlandia disegel
dan gereja-gereja Katolik disita negara.[141][142] Ketika Raja Henry VIII mangkat pada tahun
1547, seluruh biara, frateran, susteran, dan tempat-tempat suci dihancurkan atau
disegel.[142][143] Ratu Mary I memulihkan kesatuan Gereja Inggris dengan Roma, dan
(bertentangan dengan saran dari duta besar Spanyol) menganiaya umat Protestan pada
masa pemerintahannya.[144][145] Sesudah beberapa kali diprovokasi, Ratu Elizabeth I,
pengganti Ratu Mary I, memberlakukan Undang-Undang Supremasi. Undang-undang ini
mengharamkan pemeluk agama Katolik menjadi anggota asosiasi-asosiasi profesional,
menjadi pejabat publik, memiliki hak suara, maupun mendidik anak-anak mereka.[144][146]
Ratu Elizabeth I jauh lebih lama memerintah dibanding Ratu Mary I, dan jumlah umat Katolik
maupun umat Protestan aliran lain yang dihukum mati pada masa pemerintahannya
melampaui jumlah korban penganiayaan pada masa pemerintahan pendahulunya.[144] Aniaya
yang bermula pada masa pemerintahan Ratu Elizabeth diteruskan
para penggantinya.[147]
Ratu Elizabeth I juga memberlakukan Undang-Undang Hukum Pidana di Irlandia[148] kendati
tidak seefektif di Inggris.[144][149] Karena agama Kristen Katolik sudah mengakar dalam
kehidupan berbangsa dan dianggap sebagai salah satu unsur identitas bangsa di Irlandia,
rakyat Irlandia terus bertahan melawan usaha gencar Inggris untuk melenyapkan Gereja
Katolik.[144][149]

Konsili Trento

Dalam bukunya yang berjudul The Reformation, A History, sejarawan Diarmaid MacCulloch
mengemukakan pandangannya bahwa semua pembantaian yang terjadi pada era Reformasi
melahirkan konsep toleransi beragama dan Gereja Katolik yang lebih baik,[150] yang
merespon tantangan-tantangan terhadap doktrin dan penyelewengan-penyelewengan yang
diungkit gerakan reformasi ke permukaan dalam Konsili Trento (1545–1563). Konsili inilah
yang mencetuskan Kontra-Reformasi serta menegaskan kembali doktrin-doktrin pokok
Kristen Katolik seperti transubstansiasi dan perlunya kasih, pengharapan, maupun iman
untuk mencapai keselamatan.[151] Konsili Trento juga mereformasi banyak bidang lain yang
penting bagi Gereja, khususnya melalui perbaikan mutu pendidikan rohaniwan dan
konsolidasi yurisdiksi terpusat Kuria Romawi.[7][151][152]
Biara Melk di Niederösterreich, salah satu contoh bangunan bergaya Barok

Pada beberapa dasawarsa sesudah penyelenggaraan Konsili Trento, timbul sengketa ilmiah
antara Martin Chemnitz dari kubu Lutheran dan Diogo de Payva de Andrada dari kubu Katolik
mengenai selaras tidaknya pernyataan-pernyataan tertentu dengan ajaran bapa-bapa Gereja
dan Kitab Suci. Kritik-Kritik yang dimunculkan gerakan reformasi adalah salah satu faktor
yang membidani lahirnya tarekat-tarekat religius baru, antara lain tarekat Teatin, Barnabit, dan
Yesuit. Beberapa dari tarekat-tarekat tersebut kemudian hari menjadi tarekat-tarekat misi
ternama.[153] Pembaharuan dan penataan kembali kehidupan rohani terinspirasi karya-karya
tulis orang-orang kudus baru (seperti Teresa dari Avila, Fransiskus de Sales, dan Filipus Neri)
yang memunculkan beragam aliran kerohanian di dalam Gereja (serikat Oratorian, tarekat
Karmelit, tarekat Salesian, dll).[154] Perkembangan positif lain yang muncul pada kurun waktu
ini adalah meningkatnya mutu pendidikan umat awam seiring maraknya pendirian sekolah-
sekolah menengah yang menghidupkan kembali mata-mata pelajaran tingkat lanjut seperti
sejarah, filsafat, dan teologi.[155] Untuk memasyarakatkan ajaran-ajaran Kontra-Reformasi,
Gereja mendukung penerapan gaya Barok dalam penciptaan karya-karya seni rupa, seni
musik, dan arsitektur. Penerapan gaya Barok di untuk kepentingan agama menghasilkan
karya-karya yang mampu menyentuh lubuk hati dan menggugah keimanan.[156]

Sementara itu, Fransiskus Xaverius, misionaris Yesuit asal Navarra, membawa masuk agama
Kristen Katolik ke Negeri Matahari Terbit, dan pada akhir abad ke-16, berlaksa-laksa rakyat
Jepang telah menjadi umat Katolik. Pertumbuhan Gereja di Jepang mandek pada tahun
1597. Dalam rangka mengisolasi negeri Jepang dari pengaruh asing, Syogun Toyotomi
Hideyosyi melancarkan aksi penganiayaan yang sangat kejam terhadap umat Kristen.[157]
Bangsa Jepang dilarang meninggalkan tanah airnya dan bangsa Eropa dilarang masuk ke
Jepang. Meskipun demikian, populasi kecil umat Kristen Jepang mampu bertahan
menyintasi zaman sampai Jepang mulai membuka pintunya bagi dunia luar pada ke-19, dan
masih tetap eksis sampai sekarang.[157][158]
Zaman Barok, Abad Pencerahan, dan revolusi

Devosi-devosi kepada Bunda Maria

Konsili Trento menngobarkan kembali semangat hidup zuhud dan devosi-devosi kepada
Bunda Maria dalam Gereja Katolik. Pada masa-masa Reformasi Protestan, Gereja Katolik
membela keyakinan-keyakinannya tentang Bunda Maria terhadap pandangan-pandangan
Protestan. Pada waktu yang sama, negara-negara Katolik berperang melawan Kekaisaran
Turki Utsmaniyah dan mampu berjaya karena keberkahan syafaat Santa Perawan Maria.
Kemenangan yang diraih dalam Pertempuran Lepanto (1571) diyakini sebagai anugerah Allah
berkat syafaat Bunda Maria "dan menandai awal kebangkitan devosi-devosi kepada Bunda
Maria, Ratu Surga dan Bumi, serta peranannya selaku mediatrix (perantara) berbagai kasih
karunia Allah".[159] Colloquium Marianum, sebuah kelompok elit, maupun Sodalitas Santa
Perawan Maria melandaskan kegiatan-kegiatannya pada pengamalan hidup lurus, jauh dari
dosa-dosa utama.

Sebagaimana telah ditetapkan Paus Paulus V pada tahun 1617, pada tahun 1622, Paus
Gregorius XV menetapkan bahwa Santa Perawan Maria tidak terbukti dikandung tidak tanpa
noda. Ketetapan tersebut mendukung keyakinan bahwa Santa Perawan Maria terlahir tanpa
dosa asal karena dilindungi rahmat Allah (atau dikandung tanpa noda). Pada tahun 1661,
Paus Aleksander VII memaklumkan bahwa jiwa Bunda Maria bebas dari dosa asal. Pada
tahun 1708, Paus Klemens XI memerintahkan agar segenap Gereja merayakan pesta Santa
Perawan Maria Dikandung Tanpa Noda. perayaan Rosario diperkenalkan pada tahun 1716,
dan perayaan Tujuh Duka Maria diperkenalkan pada tahun 1727. Doa Malaikat Tuhan
mendapat dukungan besar dari Paus Benediktus XIII pada tahun 1724, dan dari Paus
Benediktus XIV pada tahun 1742.[160] Amalan-amalan penghormatan terhadap Bunda Maria
yang berkembang di tengah masyarakat menjadi lebih semarak daripada yang sudah-sudah,
yakni berbagai ziarah penghormatan Bunda Maria, devosi-devosi Salve Maria, litani-litani baru
kepada Bunda Maria, sandiwara-sandiwara tentang Bunda Maria, madah-madah pujian
kepada Bunda Maria, dan prosesi-prosesi penghormatan Bunda Maria. Organisasi-organisasi
persaudaraan Bunda Maria, yang sebagian besar kini sudah bubar, pernah memiliki berjuta-
juta anggota.[161]
Sesudah berabad-abad ditentang Prancis, Paus Inosensius XI akhirnya dibeatifikasi Paus Pius XII pada tahun 1956

Sekularisme Abad Pencerahan

Gerakan Pencerahan merupakan tantangan baru bagi Gereja. Berbeda dengan Reformasi
Protestan yang hanya mempermasalahkan doktrin-doktrin Kristen tertentu, gerakan
Pencerahan mempertanyakan agama Kristen secara meyeluruh. Pada umumnya gerakan
Pencerahan menempatkan nalar manusia di atas wahyu ilahi, dan mengecilkan kewenangan-
kewenangan agamawi yang berlandaskan wahyu ilahi seperti lembaga kepausan.[162] Di lain
pihak, Gereja berusaha membendung Galikanisme dan Konsiliarisme, ideologi-ideologi yang
mengancam lembaga kepausan maupun struktur Gereja.[163]

Menjelang paruh akhir abad ke-17, Paus Inosensius XI menginsyafi bahwa serangan bangsa
Turki ke Eropa, yang didukung Prancis, merupakan ancaman besar bagi Gereja. Ia
membentuk koalisi Polandia-Austria yang berhasil mengalahkan bangsa Turki di Wina pada
tahun 1683. Bagi para ahli, Paus Inosensius XI adalah seorang paus yang saleh karena
memberantas penyelewengan-penyelewengan dalam Gereja, antara lain praktik simoni,
nepotisme, dan pemborosan lembaga kepausan yang membuat ia harus menanggung
warisan utang sebesar 50.000.000 keping Scudo. Dengan menghapus sejumlah jabatan
kehormatan dan memperkenalkan kebijakan-kebijakan fiskal baru, Paus Inosensius XI
berhasil mengendalikan keuangan Gereja.[164] Paus Inosensius X dan Paus Klemens XI
berjuang melawan ideologi Yansenisme dan Galikanisme, yang mendukung Konsiliarisme
dan memungkiri keutamaan Sri Paus, dengan menuntut pemberian konsesi istimewa kepada
Gereja di Prancis. Keadaan ini melemahkan kemampuan Gereja untuk menanggapi para
pemikir Galikanis seperti Denis Diderot, yang menggugat doktrin-doktrin asasi Gereja.[165]
Pada tahun 1685, Raja Prancis penganut Galikanisme, Louis XIV, memaklumkan pembatalan
Maklumat Nantes, dan dengan demikian mengakhiri toleransi beragama yang sudah berjalan
selama satu abad. Prancis memaksa para teolog Katolik untuk mendukung Konsiliarisme
dan memungkiri infalibilitas Sri Paus. Raja Louis XIV mengancam Paus Inosensius XI dengan
konsili umum dan aksi militer untuk merebut Negara Gereja.[166] Negara monarki absolut
tersebut menggunakan ideologi Galikanisme untuk menangani sendiri urusan pengangkatan
hampir semua pejabat penting Gereja dan menguasai sejumlah besar harta benda
Gereja.[164][167] Penyerobotan kewenangan Gereja oleh negara semacam ini juga menular ke
negara-negera lain. Di Belgia dan Jerman, Galikanisme muncul dalam wujud Febronianisme,
yang menolak hak-hak prerogatif Sri Paus dengan pendapat-pendapat yang sama.[168] Kaisar
Kaisar Josef II asal Austria (1780–1790) mempraktikkan kebijakan Josefisme dengan
meregulasi peri kehidupan Gereja, pengangkatan pejabat Gereja, dan penyitaan besar-
besaran harta benda Gereja.[168] Abad ke-18 juga merupakan Abad Pencerahan Katolik, kurun
waktu timbulnya gerakan reformasi dalam berbagai aspek.[169]

Gereja di Amerika Utara

Usaha misi Katolik berkembang di daerah yang kini menjadi Kawasan Barat Amerika Serikat,
tetapi harus bekerjasama dengan pejabat sipil dan militer Kerajaan Spanyol sampai abad ke-
19.[170] Junípero Serra, padri Fransiskan yang mengepalai usaha misi tersebut, mendirikan
sejumlah pusat misi dan presidio di Kalifornia yang menjadi lembaga-lembaga ekonomi,
politik, dan keagamaan yang penting.[171] Pusat-pusat misi tersebut memperkenalkan budi
daya gandum, ternak lembu, serta tatanan politik dan keagamaan yang baru baru kepada
suku-suku Indian di Kalifornia. Jalur-jalur tempuh yang melewati kawasan pesisir maupun
daerah pedalaman dirintis dari Kota Meksiko dan pusat-pusat misi terdepan di Texas dan
Meksiko Baru sehingga menghasilkan pembentukan 13 pusat misi besar di Kalifornia pada
tahun 1781. Para pendatang dari Eropa membawa masuk bibit-bibit penyakit baru yang
menewaskan sepertiga populasi pribumi.[172] Meksiko menutup pusat-pusat misi pada era
1820-an dan menjual tanah-tanah misi. Pada abad ke-19, sesudah sebagian besar daerah
koloni Spanyol dan Portugis dipecah, barulah Vatikan mampu mengambil alih penanganan
kegiatan-kegiatan misi Katolik melalui organisasi Propaganda Fide-nya.[173]

Gereja di Amerika Selatan

Pada kurun waktu ini, Gereja harus menghadapi penyelewengan-penyelewengan yang


dilakukan pemerintah Portugis dan Spanyol di daerah-daerah koloni mereka. Di Amerika
Selatan, para Yesuit melindungi masyarakat pribumi dari perbudakan dengan jalan
membangun permukiman-permukiman semimerdeka yang disebut reduksi (tempat orang-
orang pribumi justru disiksa, dipaksa memeluk agama Katolik, mengalami trauma, dan
diperbudak para Yesuit). Paus Gregorius XVI menantang kedaulatan Spanyol dan Portugis
dengan mengangkat orang-orangnya pilihannya sendiri menjadi uskup di daerah-daerah
koloni, dengan mengutuk perbudakan maupun praktik jual beli budak dalam bula In supremo
apostolatus tahun 1839, dan dengan menyetujui penahbisan rohaniwan pribumi sekalipun
pemerintah masih berpandangan rasis.[174]

Yesuit

Yesuit di India

Komunitas Kristen India turun-temurun percaya bahwa mereka adalah kelanjutan dari
paguyuban umat Kristen yang dibentuk Rasul Tomas di Kerala. Mereka disebut umat Kristen
Santo Tomas. Komunitas tersebut sangat kecil. Jumlah umat Kristen di India baru bertambah
sesudah Fransiskus Xaverius (1502–1552), seorang padri Yesuit, mulai berkiprah di India.
Teladannya diikuti Roberto de Nobili (1577–1656), padri Yesuit asal Toskana yang diutus
sebagai misionaris ke kawasan selatan India. Ia memelopori inkulturasi, dengan mengadopsi
berbagai adat-istiadat kaum Brahmana yang menurutnya tidak bertentangan dengan agama
Kristen. Ia hidup selayaknya seorang Brahmana, mempelajari bahasa Sanskerta, dan
menghadirkan agama Kristen sebagai bagian dari khazanah kepercayaan bangsa India,
bukan sebagai agama yang identik dengan kebudayaan Portugis maupun kaum penjajah. Ia
memperbolehkan umat Kristen melaksanakan amalan-amalan warisan leluhur mereka yang
menurutnya tidak bertentangan langsung dengan ajaran-ajaran Kristen. Pada tahun 1640, di
Madurai saja sudah ada 40.000 pemeluk agama Kristen. Pada tahun 1632, Paus Gregorius
XV mengizinkan pendekatan semacam ini, tetapi sentimen-sentimen anti-Yesuit yang kuat di
Portugal, Prancis, dan bahkan di Roma membuat pendekatan tersebut dilarang, dan
mengakhiri keberhasilan usaha-usaha misi Katolik di India.[175] Pada tanggal 12 September
1744, Paus Benediktus XIV melarang amalan-amalan yang disebut ritus-ritus Malabar.
Akibatnya, umat Kristen dari masyarakat berkasta tinggi, yang ingin melestarikan budaya
warisan leluhur mereka, meninggalkan Gereja Katolik.[176][177]

Revolusi Prancis

Gerakan antirohaniwan yang merajalela ketika berlangsungnya Revolusi Prancis


mengakibatkan seluruh gereja berikut harta bendanya dinasionalisasi, bahkan ada usaha-
usaha membentuk gereja yang dikelola negara. Sejumlah besar padri menolak bersumpah
untuk taat kepada Majelis Nasional, sehingga Gereja dinyatakan sebagai lembaga terlarang
dan diganti dengan agama yang menyembah "Nalar", meskipun agama baru ini tidak kunjung
memasyarakat. Pada kurun waktu ini, semua biara dihancurkan, 30.000 padri diasingkan, dan
ratusan padri lainnya dibunuh.[178][179]
Karena Paus Pius VI memihak kubu penentang
revolusi dalam Perang Koalisi Pertama, Napoleon Bonaparte menginvasi Italia. Sri Paus yang
sudah berumur 82 tahun itu digiring sebagai tawanan ke Prancis pada bulan Januari 1798,
dan wafat tak lama kemudian. Untuk mengambil hati rakyat, Napoleon mengizinkan Gereja
Katolik untuk kembali berkiprah di Prancis dengan menandatangani Konkordat 1801. Tanah-
tanah milik Gereja tidak pernah dikembalikan, tetapi para padri dan agamawan lainnya digaji
pemerintah, yang mendanai perawatan harta benda Gereja dengan pendapatan pajak. Umat
Katolik diizinkan membuka kembali sejumlah sekolahnya. Berakhirnya perang-perang
Napoleon yang ditandai penyelenggaraan Kongres Wina, menjadi era kebangkitan Katolik dan
kembalinya Negara Gereja menjadi wilayah kedaulatan Sri Paus. Serikat Yesus juga
dipulihkan.[180][181]

Prancis pada abad ke-19

Prancis tetap sebuah negara Katolik. Hasil sensus tahun 1872 menunjukkan bahwa dari 36
juta warga negara Prancis, 35,4 juta jiwa memeluk agama Kristen Katolik, 600.000 jiwa
memeluk agama Kristen Protestan, 50.000 memeluk agama Yahudi, dan 80.000 tercatat
sebagai orang-orang berpikiran bebas. Revolusi Prancis gagal membinasakan Gereja Katolik,
dan statusnya dipulihkan Konkordat 1801 yang ditandatangani Napoleon. Kembalinya
wangsa Bourbon ke tampuk pemerintahan pada tahun 1814 memunculkan kembali banyak
bangsawan dan tuan tanah kaya yang mendukung Gereja, yang mereka pandang sebagai
kubu pertahanan konservatisme dan monarkisme. Meskipun demikian, biara-biara berikut
tanah-tanahnya yang luas maupun kekuasaan politiknya yang besar sudah binasa. Sebagian
besar tanah-tanah biara sudah dijual kepada para wirausahawan dari kota yang tidak
memiliki ikatan sejarah dengan tanah maupun kaum taninya. Hanya sejumlah kecil padri
yang ditahbiskan pada kurun waktu 1790–1814, sementara sejumlah besar padri
meninggalkan Gereja. Akibatnya, jumlah rohaniwan paroki menyusut dari 60.000 orang pada
tahun 1790 menjadi 25.000 orang saja pada tahun 1815, dan kebanyakan sudah uzur.
Wilayah Prancis, terutama daerah sekitar kota Paris, hanya dilayani sejumlah kecil padri.
Meskipun demikian, beberapa daerah masih teguh berpegang pada iman Katolik, di bawah
pimpinan bangsawan-bangsawan dan keluarga-keluarga tua setempat.[182] Pemulihan
berlangsung lamban, bahkan sangat lamban di kota-kota besar dan kawasan-kawasan
industri. Melalui karya misi yang sistematis serta pengutamaan liturgi dan devosi-devosi
kepada Santa Perawan Maria, ditambah dukungan dari Kaisar Napoleon III, kondisi Gereja
Katolik di Prancis akhirnya membaik. Pada tahun 1870, ada 56.500 orang imam, yang
merupakan tenaga-tenaga baru yang lebih muda dan lebih dinamis di desa-desa dan kota-
kota kecil, dengan jaringan sekolah, lembaga amal, dan organisasi umat awam yang kuat.[183]
Umat Katolik konservatif menguasai pemerintahan negara pada kurun waktu 1820–1830,
tetapi lebih sering memainkan peran-peran politik sekunder atau harus melawan serangan-
serangan dari golongan republikan, golongan liberal, golongan sosialis, dan golongan
sekuler.[184][185]

Zaman Republik Ketiga (1870–1940)

Pada zaman Republik Ketiga, timbul sengketa seputar status Gereja Katolik. Para rohaniwan
dan uskup-uskup Prancis dipandang sebagai sekutu golongan monarkis, mengingat ada
banyak rohaniwan yang berasal dari kalangan ningrat. Golongan republikan adalah golongan
berbasis kalangan menengah Prancis yang antirohaniwan. Di mata mereka, persekutuan
Gereja dengan golongan monarkis adalah ancaman politik terhadap ideologi republikanisme
sekaligus bahaya yang mengintai semangat kemajuan modern. Golongan republikan merasa
tidak senang terhadap Gereja karena afiliasi politik dan afiliasi kelas sosialnya. Bagi mereka,
Gereja mewakili tradisi-tradisi, takhayul-takhayul, dan ideologi monarkisme yang sudah
ketinggalan zaman. Golongan republikan didukung umat Protestan dan umat Yahudi.
Berbagai aturan hukum diundangkan demi melemahkan Gereja Katolik. Pada tahun 1879,
para padri dikeluarkan dari panitia-panitia pengelola rumah sakit dan badan-badan pengurus
lembaga amal. Pada tahun 1880, dilancarkan upaya-upaya baru untuk menyingkirkan
kongregasi-kongregasi religius. Dari tahun 1880 sampai 1890, tenaga perawat perempuan
dari kalangan awam dijadikan pengganti para biarawati di banyak rumah sakit. Konkordat
1801 masih tetap berlaku, tetapi pada tahub 1881, pemerintah menghentikan pembayaran
gaji kepada padri-padri yang tidak disenanginya.[186]

Undang-undang sekolah tahun 1882 yang diajukan Jules Ferry, perdana menteri dari
golongan republikan, mengatur sistem nasional sekolah-sekolah negeri yang mengajarkan
moralitas puritan yang tegas tetapi tidak mengajarkan agama.[187] Untuk sementara waktu,
sekolah-sekolah swasta katolik ditoleransi. Nikah sipil diwajibkan, perceraian diizinkan, dan
pastor-pastor tentara dibebastugaskan dari angkatan bersenjata.[188]

Ketika terpilih pada tahun 1878, Paus Leo XIII berusaha menenangkan kisruh hubungan
Gereja-negara di Prancis. Pada tahun 1884, ia mengimbau uskup-uskup Prancis untuk tidak
menunjukkan sikap bermusuhan kepada negara. Pada tahun 1892, ia menerbitkan sebuah
ensiklik yang berisi anjuran kepada umat Katolik Prancis untuk mendukung pemerintah
Republik Prancis dan membela Gereja dengan cara berpartisipasi dalam kegiatan politik
golongan republikan. Usaha perbaikan hubungan ini gagal. Rasa saling curiga kedua belah
pihak sudah telanjur mendarah daging, bahkan kian tajam akibat skandal Dreyfus. Sebagian
besar umat Katolik tergolong dalam kubu anti-Dreyfus. Serikat Asumsionis mempublikasikan
artikel-artikel anti-Semit dan antirepublikan dalam jurnal mereka, La Croix. Tindakan tersebut
membuat para politikus republikan kebakaran jenggot dan bernafsu membalas dendam.
Merekas sering kali bekerja bahu membahu dengan loji-loji Tarekat Mason Bebas.
Pemerintah Prancis pada masa kepemimpinan Perdana Menteri Pierre Waldeck-Rousseau
(1899–1902) dan Perdana Menteri Émile Combes (1902–1905) bertikai dengan Vatikan
dalam soal pengangkatan uskup-uskup. Para pastor tentara dikeluarkan dari rumah-rumah
sakit angkatan laut dan rumah-rumah sakit militer (1903–1904), dan tentara diperintahkan
untuk tidak berhubungan dengan klub-klub Katolik (1904). Ketika menjadi perdana menteri
pada tahun 1902, Émile Combes bertekad mengalahkan agama Katolik dengan telak. Ia
menyegel semua sekolah paroki di Prancis, kemudian mengusahakan agar parlemen
menolak keabsahan semua tarekat religius. Kelima puluh empat tarekat religius yang ada di
Prancis dengan demikian dinyatakan bubar, dan sekitar 20.000 anggota tarekat religius
langsung angkat kaki dari Prancis, sebagian besar pindah ke Spanyol.[189] Pada tahun 1905,
Konkordat 1801 dinyatakan batal, sehingga Gereja dan negara akhirnya terpisahkan. Seluruh
harta benda Gereja disita. Penyelenggaraan ibadat berjemaah diserahkan kepada serikat-
serikat awam Katolik yang mengendalikan akses ke gereja-gereja. Pada praktinya, perayaan
Misa dan ibadat-ibadat lain terus berjalan. Gereja Katolik di Prancis menderita kerugian besar
dan kehilangan setengah imam-imamnya. Meskipun demikian, Gereja memetik keuntungan
jangka panjang, yakni kebebasan mengatur diri sendiri, karena negara tidak lagi campur
tangan dalam urusan pemilihan uskup dan ideologi Galikanisme pun akhirnya mati.[190]

Gereja permukiman Indian di San Ignacio Miní

Afrika

Menjelang akhir abad ke-19, para misionaris Katolik, yang datang ke Afrika bersama
pemerintah daerah-daerah koloni, mendirikan sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit, biara-
biara, dan gereja-gereja.[191]

Abad Industri
Konsili Vatikan I

Sebelum penyelenggaraan Konsili Vatikan I, pada tahun 1854, Paus Pius IX mencanangkan
dogma Dikandung Tanpa Noda dengan dukungan penuh mayoritas uskup Gereja Katolik yang
ia mintai sumbang saran dari tahun 1851 sampai tahun 1853.[192] Delapan tahun
sebelumnya, yakni pada tahun 1846, Sri Paus sudah lebih dahulu mempermaklumkan Santa
Perawan Maria Yang Dikandung Tanpa Noda sebagai pelindung Amerika Serikat
sebagaimana yang diharapkan uskup-uskup di negara itu.[193]

Dalam sidang Konsili Vatikan I, sekitar 108 orang bapa konsili meminta agar frasa "perawan
tak bercela" ditambahkan ke dalam doa Salam Maria.[194] Beberapa bapa konsili meminta
agar dogma Dikandung Tanpa Noda dimasukkan ke dalam syahadat, tetapi ditentang Paus
Pius IX.[195]
Banyak orang Katolik di Prancis yang berharap konsili ekumene ini menjadikan
infalibilitas Sri Paus dan pengangkatan Bunda Maria ke surga dijadikan dogma.[196] Selama
konsili berlangsung, muncul sembilan petisi terkait mariologi yang mendukung dogmatisasi
keyakinan tentang pengangkatan Bunda Maria ke surga, tetapi ditentang keras sejumlah
bapa konsili, teristimewa bapa-bapa konsili dari Jerman. Pada tahun 1870, Konsili Vatikan I
mengukuhkan doktrin infalibilitas Sri Paus bilamana dijalankan menurut ketentuan-ketentuan
khusus yang telah ditetapkan.[197][198] Kontroversi seputar infalibilitas Sri Paus maupun
beberapa isu lain mengakibatkan segolongan kecil umat Katolik memisahkan diri dan
membentuk Gereja Katolik Lama.[199]

Ajaran sosial Gereja

Gereja, yang lamban bereaksi terhadap perkembangan industrialisasi dan pemiskinan pekerja, pertama-tama
b h d hk i id i k k k l k ih P d 1891 P L XIII l k
berusaha meneduhkan situasi dengan meningkatkan karya amal kasih. Pada 1891 Paus Leo XIII mengeluarkan
ensiklik Rerum novarum yang menjabarkan definisi martabat dan hak-hak pekerja sektor industri menurut Gereja.

Revolusi Industri memunculkan berbagai keprihatinan terkait memburuknya kondisi kerja


maupun kondisi hidup para buruh di perkotaan. Dipengaruhi Uskup Jerman yang bernama
Wilhelm Emmanuel Freiherr von Ketteler, Paus Leo XIII menerbitkan ensiklik Rerum novarum
pada 1891. Ensiklik ini berisi penjabaran ajaran sosial Katolik yang menolak sosialisme tetapi
menganjurkan regulasi syarat-syarat kerja, serta mendesak penetapan upah layak dan
pengakuan hak buruh untuk membentuk serikat buruh.[200]

Quadragesimo anno dikeluarkan Paus Pius XI pada 15 Mei 1931, 40 tahun sesudah terbitnya
Rerum novarum. Berbeda dari Paus Leo XIII yang lebih banyak membahas mengenai kondisi
kaum buruh, Paus Pius XI memusatkan perhatiannya pada implikasi-implikasi etis dari tata
tertib sosial dan ekonomi. Ia mengimbau agar dilakukan rekonstruksi tata tertib sosial
berdasarkan prinsip solidaritas dan subsideritas.[201] Ia mengungkap pula mengenai bahasa-
bahaya besar yang mengancam kemerdekaan dan keluhuran martabat manusia yang muncul
dari kapitalisme tanpa batas dan komunisme totaliter.

Ajaran-ajaran sosial dari Paus Pius XII mengulangi ajaran-ajaran ini, dan menjabarkannya
secara lebih terperinci bukan hanya bagi kaum buruh dan kaum pemilik modal, melainkan
juga bagi profesi-profesi lain seperti politikus, pendidik, ibu rumah tangga, petani, ahli
pembukuan, organisasi internasional, dan segala aspek kehidupan termasuk militer. Ia
bahkan melangkah lebih jauh lagi daripada Paus Pius XI dengan merumuskan pula ajaran-
ajaran sosial di bidang kedokteran, psikologi, olah raga, televisi, ilmu pengetahuan, hukum,
dan pendidikan. Nyaris tidak ada isu sosial yang tidak dibahas dan dihubungkan dengan
iman Kristen oleh Paus Pius XII.[202] Ia dijuluki "Paus Teknologi" karena kesediaan dan
kesanggupannya untuk menguji dampak-dampak sosial dari kemajuan teknologi. Pokok
perhatian utamanya adalah keberlangsungan hak-hak dan kemuliaan martabat tiap-tiap
manusia. Dengan bermulanya Abad Antariksa menjelang akhir masa jabatannya, Paus Pius
XII menelaah implikasi-implikasi sosial dari penjelajahan antariksa dan satelit-satelit
terhadap sarana pemersatu umat manusia dengan mengimbau masyarakat untuk
menumbuhkan rasa kebersamaan dan solidaritas yang baru dalam terang ajaran-ajaran Sri
Paus sebelumnya mengenai subsidiaritas.[203]

Lembaga-lembaga peranan wanita


Para suster bersama anak-anak penderita kusta di Hawai pada tahun 1886. Perempuan-perempuan Katolik seperti

Santa Marianne Cope sangat berjasa menciptakan dan menjalankan berbagai sistem pendidikan dan perawatan
kesehatan modern.

Kaum wanita Katolik telah berperan penting dalam penyediaan pendidikan dan pelayanan
kesehatan sebagai wujud pengamalan ajaran sosial Katolik. Tarekat-tarekat kuno seperti
Karmelit telah melakukan karya sosial selama berabad-abad.[204] Pada abad ke-19, marak
bermunculan tarekat-tarekat religius baru bagi kaum perempuan yang berkiprah di bidang
pelayanan kesehatan dan pendidikan.Dari antara tarekat-tarekat ini, Tarekat Suster-Suster
Don Bosco, Tarekat Suster-Suster Klaretin, dan Tarekat Misionaris Maria Fransiskan adalah
tarekat-tarekat religius Katolik untuk kaum perempuan yang paling besar.[205]

Tarekat Suster-Suster Belas Kasih dibentuk Catherine McAuley di Irlandia pada tahun 1831.
Anggota-anggotanya tarekat ini di kemudian hari mendirikan rumah-rumah sakit dan sekolah-
sekolah di berbagai belahan dunia.[206] Tarekat Saudari-Saudari Kecil Kaum Papa didirikan
pada pertengahan abad ke-19 oleh Santa Jeanne Jugan di dekat Rennes, Prancis, untuk
merawat para lansia yang menggelandang di jalanan kota-kota kecil maupun besar di
Prancis.[207][208] Di Amerika Serikat, Santa Katharine Drexel mendirikan Universitas Xavier
Louisiana untuk membantu warga pribumi dan keturunan Afrika.[209]

Mariologi
Bunda Maria dan Kanak-Kanak Yesus, karya Filippo Lippi

Para paus telah berulang kali menonjolkan kaitan erat antara Perawan Maria sebagai Bunda
Allah dan penerimaan penuh akan Yesus Kristus sebagai Putra Allah.[210][211] Semenjak abad
ke-19, para paus mulai lebih sering memanfaatkan ensiklik. Paus Leo XIII, Sri Paus Rosario,
menerbitkan sebelas ensiklik terkait Bunda Maria. Penghormatan kepada Santa Perawan
Maria dengan dua disahkan paus-paus terkemudian dengan dua dogma. Paus Pius IX
mengesahkan dogma Maria Dikandung Tanpa Noda 1854, dan Paus Pius XII mengesahkan
dogma Maria Diangkat ke Surga pada tahun 1950. Paus Pius XII juga menetapkan hari raya
baru untuk memuliakan Bunda Maria sebagai Ratu Surga dan memperkenalkan Tahun Maria
untuk pertama kalinya pada tahun 1954. Tahun Maria yang kedua dimaklumkan Paus
Yohanes Paulus II. Paus Pius IX, Paus Pius XI, dan Paus Pius XII memperlancar pengakuan
terhadap kesahihan penampakan-penampakan Bunda Maria semisal yang terjadi di Lourdes
dan Fátima. Para paus di kemudian hari, mulai dari Paus Yohanes XXIII sampai Paus
Benediktus XVI, menganjurkan peziarahan ke tempat-tempat ziarah Bunda Maria (Paus
Benediktus XVI pada tahun 2007 dan 2008). Konsili Vatikan II menggarisbawahi pentingnya
penghormatan kepada Bunda Maria dalam dokumen Lumen gentium. Di tengah
berlangsungnya Konsili Vatikan II, Paus Paulus VI mempermaklumkan Bunda Maria sebagai
Bunda Gereja.

Antirohaniwan
Pada abad ke-20, pemerintahan di sejumlah negara dikuasai pihak-pihak yang berhaluan
politik radikal dan antiklerikal. Undang-Undang Calles tahun 1926, yang memisahkan negara
dari Gereja di Meksiko, bermuara pada Perang Cristero[212] yang mengakibatkan lebih dari
3.000 orang imam diasingkan atau dibunuh,[213] gereja dicemarkan, ibadat diolok-olok,
biarawati diperkosa, dan imam-imam ditembak mati bila tertangkap.[212] Di Uni Soviet, Gereja
dan umat Katolik ditindas seusai Revolusi Bolshevik pada tahun 1917, sampai memasuki era
1930-an.[214] Selain pembunuhan rohaniwan, biarawan, dan umat awam, penyitaan barang-
barang perlengkapan ibadat, dan penutupan gedung-gedung gereja juga merupakan hal yang
umum terjadi.[215] Pada Perang Saudara Spanyol, yang berlangsung dari tahun 1936 sampai
tahun 1939, hierarki Katolik mendukung pasukan pemberontak Nasionalis Spanyol, yang
dipimpin Francisco Franco, melawan pemerintah koalisi Front Kerakyatan,[216] dengan
beralasan bahwa kaum Republikan telah sengaja melakukan tindak kekerasan terhadap
Gereja.[217] Gereja Katolik juga menjadi salah satu unsur aktif di gelanggang politik Spanyol
yang terkotak-kotak menjadi beberapa kubu pada tahun-tahun menjelang pecahnya perang
saudara.[218] Paus Pius XI menjuluki ketiga negara tersebut dengan sebutan "segitiga
mengerikan" dan mengistilahkan sikap diam Eropa dan Amerika Serikat sebagai "konspirasi
bungkam".

Kediktatoran

Italia

Paus Pius XI berniat mengakhiri sengketa lama antara lembaga kepausan dan pemerintah
Italia, serta mengusahakan agara kemerdekaan dan kedaulatan Takhta Suci kembali diakui.
Sebagian besar wilayah Negara Gereja telah direbut pada tahun 1860 oleh angkatan
bersenjata Raja Italia, Victor Emmanuel II (1861–1878), yang bercita-cita mempersatukan
seluruh Italia. Kota Roma sendiri direbut paksa pada tahun 1870, dan Sri Paus menjadi
"tahanan di Vatican." Kebijakan-kebijakan pemerintah Italia selalu bersifat antirohaniwan
sampai dengan Perang Dunia I, manakala Takhta Suci berhasil menyepakati sejumlah
kompromi dengan pemerintah Italia.[219]
Peta tapal batas Kota Vatikan

Guna mengukuhkan rezim Fasis diktatorialnya sendiri, Benito Mussolini juga mengupayakan
tercapainya kesepakatan dengan Takhta Suci. Kesepakatan tercapai pada tahun 1929
dengan penandatanganan Perjanjian Lateran, yang menguntungkan kedua belah pihak.[220]
Berdasarkan syarat-syarat perjanjian pertama, Kota Vatikan diberi kedaulatan sebagai
sebuah negara merdeka sebagai ganti membatalkan klaimnya atas daerah-daerah bekas
wilayah Negara Gereja. Dengan demikan Paus Pius XI menjadi kepala dari sebuah negara
mini dengan wilayah, angkatan bersenjata, stasiun radio, dan perwakilan diplomatik sendiri.
Konkordat tahun 1929 membuat agama Kristen Katolik menjadi satu-satunya agama di Italia
(kendati agama-agama lain ditoleransi), pemerintah Italia membayar gaji imam-imam dan
uskup-uskup, mengakui pernikahan yang dilangsungkan di gereja (sebelumnya, kedua
mempelai harus menjalani upacara pernikahan sipil), serta menghadirkan pelajaran agama di
sekolah-sekolah negeri. Sebagai gantinya, uskup-uskup bersumpah setia pada negara Italia,
yang memiliki hak veto dalam pemilihan uskup.[221] Gereja tidak secara resmi diwajibkan
mendukung rezim Fasis; kedua belah pihak tetap kukuh berseberangan pendirian tetapi
permusuhan yang meluap-luap sudah berakhir. Gereja secara khusus mendukung kebijakan-
kebijakan luar negeri, semisal dukungan terhadap kubu anti-Komunis dalam Perang Saudara
Spanyol, dan dukungan terhadap penaklukan Etiopia. Masih ada silang pendapat seputar
jaringan muda-mudi Aksi Katolik, yang ingin digabungkan Mussolini dengan perkumpulan
muda-mudi Fascis bentukannya. Satu-satunya kompromi yang disepakati adalah
pemerintahan Fascis diperbolehkan untuk mensponsori tim-tim olahraga.[222]

Italia membayar ganti rugi kepada Vatikan 1.750 juta lira (sekitar $100 juta) atas penyitaan
properti gereja semenjak tahun 1860. Paus Pius XI menginvestasikan dana ganti rugi ini di
bursa saham dan lahan yasan. Tugas mengelola investasi ini dipercayakan Sri Paus kepada
Bernardino Nogara, tokoh awam yang dengan cerdik menginvestasikannya dalam bentuk
saham, emas, dan bursa-bursa berjangka, sehingga kondisi keuangan Gereja Katolik
mengalami peningkatan yang signifikan. Sebagian besar laba investasi digelontorkan untuk
mendanai usaha pemeliharaan bangunan-bangunan bersejarah di Vatikan yang sangat tinggi.
Ongkos pemeliharaan yang sangat besar ini sebelumnya ditutupi dengan dana yang
dikumpulkan
Negara Gereja sampai dengan tahun 1870.

Hubungan Vatikan dengan pemerintahan Mussolini memburuk secara drastis selepas tahun
1930, manakala ambisi totaliter Mussolini mulai bersinggungan dengan otonomi Gereja.
Sebagai contoh, kaum fasis berusaha menjadikan perkumpulan-perkumpulan muda-muda
Gereja sebagai bagiannya. Untuk menanggapinya, Paus Pius XI mengeluarkan ensiklik Non
abbiamo bisogno (Kami Tidak Butuh) pada tahun 1931. Ensiklik ini mengecam persekusi
rezim fasis terhadap Gereja di Italia, dan mengutuk "pemberhalaan negara."[223]

Austria dan Jerman Nazi

Penandatanganan Reichskonkordat pada tanggal 20 Juli 1933. Kiri ke kanan: Prelatus Jerman Ludwig Kaas, Wakil
Kanselir Jerman Franz von Papen, mewakili negara Jerman, Monsinyur Giuseppe Pizzardo, Kardinal Pacelli, Monsinyur
Alfredo Ottaviani, Duta Besar Jerman Rudolf Buttmann.

Vatikan mendukung kaum Sosialis Kristen di Austria, negara berpenduduk mayoritas Katolik
namun memiliki unsur sekuler yang kuat. Paus Pius XI sangat mendukung rezim Engelbert
Dollfuss (1932–1934), yang bercita-cita membentuk ulang masyarakat Austria berdasarkan
ensiklik-ensiklik Sri Paus. Engelbert Dollfuss berusaha memberantas anasir-anasir
antirohaniwan dan kaum sosialis, namun tewas dibunuh kaum Nazi Austria pada tahun 1934.
Penggantinya, Kurt von Schuschnigg (1934–1938), juga pro-Katolik dan didukung Vatikan.
Jerman menganeksasi Austria pada tahun 1938 dan memberlakukan kebijakan-kebijakannya
sendiri.[224]

Paus Pius XI bersedia untuk merundingkan butir-butir kesepakatan dengan negara mana saja
yang bersedia melakukannya, karena ia berpikir bahwa perjanjian tertulis adalah cara terbaik
untuk melindungi hak-hak Gereja dari pemerintah yang kian lama kian cenderung campur
tangan dalam urusan-urusannya. Dua belas konkordat ditandatangani pada masa
kepausannya dengan berbagai bentuk pemerintahan, termasuk dengan pemerintah sejumlah
negara Jerman. Ketika Adolf Hitler menjadi Kanselir Jerman pada tanggal 30 Januari 1933
dan meminta sebuah konkordat, Paus Pius XI pun menyambut baik permintaannya itu.
Konkordat tahun 1933 memuat jaminan-jaminan kebebasan bagi Gereja di Jerman Nazi, dan
kemerdekaan bagi organisasi-organisasi Katolik, perkumpulan-perkumpulan muda-mudi
Katolik, dan pengajaran agama Katolik di sekolah-sekolah.[225]

Ideologi Nazi dipelopori Heinrich Himmler dan SS. Dalam usahanya untuk sepenuhnya
mengendalikan raga dan pikiran rakyat Jerman, SS mengembangkan suatu agenda
antiagama.[226] Tak seorang pun rohaniwan Katolik maupun Protestan yang diizinkan
memimpin ibadat tentara di kesatuan-kesatuan SS (namun diperbolehkan memimpin ibadat
tentara di kesatuan-kesatuan angkatan darat biasa). Himmler membentuk sebuah kesatuan
khusus untuk mengidentifikasi dan melenyapkan pengaruh-pengaruh Katolik. SS
memutuskan bahwa Gereja Katolik Jerman adalah ancaman serius bagi hegemoninya, dan
karena Gereja Katolik Jerman terlalu kuat untuk dibubarkan, maka pengaruh-pengaruhnya
harus dikikis satu per satu, misalnya dengan menutup perkumpulan-perkumpulan muda-mudi
Katolik dan usaha-usaha penerbitan Katolik.[227]

Setelah Konkordat berulang kali dilanggar, Paus Pius XI akhirnya mengeluarkan ensiklik Mit
brennender Sorge tahun 1937 yang berisi pengutukan terhadap penindasan Nazi atas Gereja
sekaligus terhadap ideologi neopaganisme dan superioritas ras yang didengung-dengungkan
Nazi.[228]

Perang Dunia II

Setelah Perang Dunia II meletus pada bulan September 1939, Gereja mengutuk aksi invasi
atas Polandia dan aksi-aksi invasi sesudahnya yang dilakukan Nazi pada 1940.[229] Semasa
Holocaust, Paus Pius XII memberi arahan kepada hierarki Gereja untuk membantu
melindungi umat Yahudi dan kaum Gipsi dari Nazi.[230] Meskipun Paus Pius XII dianggap
berjasa menyelamatkan ratusan ribu nyawa orang Yahudi,[231] Gereja tetap saja difitnah telah
mendukung paham antisemit[232] Albert Einstein mengemukakan pendapatnya mengenai
peran Gereja Katolik semasa Holocaust sebagai berikut: "Selaku seorang pecinta kebebasan,
ketika revolusi muncul di Jerman, saya berharap universitas-universitas akan membela
kebebasan, sebab saya tahu bahwa universitas-universitas senantiasa membangga-
banggakan darma baktinya dalam menegakkan kebenaran; namun, tidak, universitas-
universitas dengan cepat dibungkam. Selanjutnya saya berharap para editor besar
persuratkabaran yang dalam editorial-editorial di mereka pada hari-hari yang lalu begitu
berapi-api menggembar-gemborkan kecintaan mereka akan kebebasan; namun sama seperti
universitas-universitas, mereka pun dibungkam hanya dalam hitungan minggu... Hanya
Gereja saja yang teguh berdiri menentang kampanye Hitler untuk menindas kebenaran. Dulu
saya tidak menyimpan minat khusus terhadap Gereja, namun sekarang saya merasa sangat
mengasihi dan mengaguminya karena Gereja sajalah yang sudah berani dan gigih membela
kebenaran intelektual dan kebebasan moral. Oleh karena itu dengan terpaksa saya harus
mengaku bahwa apa yang dulu saya pandang hina kini saya puji secara terang-terangan."
Kutipan pernyataan ini dimuat dalam majalah Time edisi 23 Desember 1940 pada halaman
38.[233] Komentator-komentator lain yang berat sebelah telah mengemukakan tuduhan
bahwa Paus Pius XII tidak cukup gigih berusaha menghentikan kekejaman-kekejaman
Nazi.[234] Perdebatan seputar validitas dari kritik-kritik ini masih berlanjut sampai hari ini.[231]

Abad Pascaindustri

Konsili Vatikan II

Gereja Katolik mengalami suatu proses pembaharuan yang komprehensif selepas Konsili
Vatikan II (1962–1965).[235] Meskipun diniatkan sinambung dengan Konsili Vatikan I, konsili
yang dipimpin Paus Yohanes XXIII ini malah berkembang menjadi semacam mesin
perubahan.[235][236] Para peserta konsili diserahi tugas untuk membuat ajaran-ajaran historis
Gereja menjadi jelas bagi dunia modern, dan mengeluarkan pernyataan-pernyataan mengenai
berbagai topik, termasuk mengenai fitrah Gereja, misi yang diemban umat awam, dan
kebebasan beragama.[235] Para peserta konsili menyetujui revisi atas liturgi dan
membenarkan penggunaan bahasa-bahasa yang dipertuturkan umat di samping bahasa
Latin dalam pelaksanaan ritus-ritus liturgi Latin selama berlangsungnya perayaan Misa dan
ibadat-ibadat sakramen.[237] Upaya-upaya Gereja untuk meningkatkan persatuan umat
Kristen dijadikan prioritas.[238] Selain mencari landasan bersama dalam isu-isu tertentu
dengan gereja-gereja Protestan, Gereja Katolik juga telah membahas kemungkinan-
kemungkinan untuk bersatu dengan Gereja Ortodoks Timur.[239]

Pembaharuan

Perubahan-perubahan pada ritus-ritus dan upacara-upacara lama selepas Konsili Vatikan II


menuai berbagai tanggapan. Sebagian kalangan berhenti pergi ke gereja, sementara yang
lain berusaha melestarikan liturgi lama dengan bantuan imam-imam yang bersimpati.[240]
Kalangan yang memberi tanggapan-tanggapan semacam ini menjadi cikal bakal dari
paguyuban-paguyuban Katolik Tradisionalis, yang percaya bahwa pembaharuan-
pembaharuan Vatikan II sudah kebablasan. Umat Katolik liberal di lain pihak justru merasa
bahwa pembaharuan-pembaharuan Vatikan II tidak cukup pesat. Pandangan-pandangan
liberal dari para teolog, seperti Hans Küng dan Charles Curran, berbuntut pada pencabutan
wewenang mereka untuk mengajar selaku pemeluk agama Kristen Katolik oleh Gereja.[241]
Menurut Profesor Thomas Bokenkotter, sebagian besar umat Katolik "menerima perubahan-
perubahan itu dengan lebih atau kurang santun."[240] Pada 2007, Paus Benediktus XVI
melonggarkan perizinan untuk merayakan Misa cara lama, sebagai salah satu opsi yang
tersedia untuk merayakan misa, bilamana diminta umat beriman.[242]

Sebuah Codex Iuris Canonici baru, yang disusun atas imbauan Paus Yohanes XXIII,
diundangkan Paus Yohanes Paulus II pada 25 Januari 1983. Kitab Hukum Kanonik 1983 juga
mengatur berbagai pembaharuan serta penggantian hukum dan tata tertib Gereja Latin. Kitab
ini menggantikan Kitab Hukum Kanonik 1917 yang diundangkan Paus Benediktus XV.

Teologi

Modernisme

Teologi pembebasan

Tumbuhnya kesadaran dan politisasi sosial dalam Gereja Katolik di Amerika Latin pada era
1960-an melahirkan teologi pembebasan. Seorang imam asal Peru, Gustavo Gutiérrez, adalah
penganjur utama teologi ini.[243] Pada 1979, Konferensi Waligereja Meksiko secara resmi
memaklumkan bahwa Gereja Katolik di Amerika Latin "berpihak pada kaum papa".[244] Uskup
Agung Óscar Romero, salah seorang pendukung gerakan ini, gugur pada 1980 sebagai martir
mutakhir yang paling terkenal dari Amerika Latin, setelah ditembak sewaktu merayakan Misa
oleh gerombolan bersenjata yang terkait dengan pemerintah.[245] Baik Paus Yohanes Paulus
II maupun Paus Benediktus XVI (Kardinal Ratzinger kala itu) mengecam gerakan ini.[246]
Teolog Brazil, Leonardo Boff, sampai dua kali diperintahkan untuk berhenti menerbitkan
karya tulis dan mengajar.[247] Paus Yohanes Paulus II dikecam karena mengambil tindakan
yang sangat tegas terhadap para penganjur gerakan ini, namun ia bersikeras bahwa Gereja,
dalam berbagai usahanya untuk membela kaum papa, tidak dibenarkan menggunakan
kekerasan maupun politik kepartaian.[243] Gerakan ini masih hidup sampai sekarang di
Amerika Latin, meskipun Gereja kini menghadapi tantangan kebangunan rohani Pentakosta
di sebagian besar dari kawasan itu.[248]

Seksualitas dan isu gender

Revolusi seks pada era 1960-an membangkitkan isu-isu yang menantang bagi Gereja Katolik.
Ensiklik Paus Paulus VI yang terbit pada 1968, Humanae Vitae, menegaskan kembali
pandangan tradisional Gereja Katolik tentang pernikahan dan hubungan-hubungan dalam
pernikahan, serta meneguhkan penentangan abadi terhadap pengendalian kelahiran buatan
manusia. Selain itu, ensiklik ini juga kembali menegaskan kesucian hidup manusia, mulai dari
dalam kandungan sampai wafat secara wajar, serta mengutuk aborsi dan eutanasia sebagai
dosa-dosa berat yang setara dengan pembunuhan.[249][250]
Adanya usaha-usaha menggiring Gereja untuk mempertimbangkan pentahbisan kaum
perempuan mendorong Paus Yohanes Paulus II untuk mengeluarkan dua dokumen yang
menjelaskan ajaran Gereja terkait gagasan tersebut. Mulieris Dignitatem dikeluarkan pada
1988 untuk menjelaskan peran yang sama penting dan bersifat melengkapi dari kaum
perempuan di dalam karya Gereja.[251][252] Selanjutnya pada 1994, terbit Ordinatio
Sacerdotalis yang menjelaskan bahwa Gereja hanya menahbiskan laki-laki demi meneladani
Yesus, yang hanya memilih laki-laki saja untuk melaksanakan tugas khusus ini.[253][254][255]

Gereja Katolik dewasa ini

Dialog Katolik-Ortodoks

Pada bulan Juni 2004, Batrik Ekumene, Bartolomeus I, berkunjung ke Roma pada Hari Santo
Petrus dan Santo Paulus (29 Juni) untuk sekali lagi bertemu secara pribadi dengan Paus
Yohanes Paulus II, untuk melakukan pembicaraan dengan Dewan Kepausan Bagi Kemajuan
Persatuan Umat Kristen, dan untuk menghadiri upacara perayaan hari besar itu di Basilika
Santo Petrus.

Keikutsertaan Batrik Ekumene dalam liturgi Ekaristi yang dipimpin Sri Paus mengikuti
program kunjungan Batrik Ekumene sebelumnya yang dilakukan Batrik Dimitrios pada 1987
dan Batrik Bartolomeus I sendiri, yakni program yang terdiri atas keikutsertaan penuh dalam
Liturgi Sabda, pendarasan Syahadat Nikea-Konstantinopel dalam bahasa Yunani secara
bersama-sama oleh Sri Paus dan Batrik Ekumene, dan diakhiri berkat penutup yang diberikan
Sri Paus bersama-sama Batrik Ekumene dari depan altar Confessio.[256] Batrik Ekumene tidak
ikut serta secara penuh dalam Liturgi Ekaristi yang mencakup konsekrasi dan pembagian
komuni.[257][258]

Sesuai dengan praktik Gereja Katolik yang menyertakan klausa filioque bilamana
mendaraskan Syahadat Nikea dalam bahasa Latin,[259] tetapi tidak menyertakannya bilamana
mendaraskan Syahadat Nikea dalam bahasa Yunani,[260] Paus Yohanes Paulus II dan Paus
Benediktus XVI telah mendaraskan Syahadat Nikea bersama-sama dengan Batrik Dimitrios I
dan Batrik Bartholomeus I dalam bahasa Yunani tanpa menyertakan klausa filioque.[261][262]
Tindakan kedua batrik ini, yakni mendaraskan syahadat bersama-sama dengan Sri Paus,
mendapat kecaman tajam dari sebagian pihak di kalangan Kristen Ortodoks Timur, misalnya
Metropolit Kalavryta di Yunani, pada bulan November 2008[263]

Pernyataan Ravenna pada 2007 menegaskan kembali keyakinan-keyakinan ini, dan


mengemukakan kembali gagasan bahwa Uskup Roma memang adalah protos (orang nomor
satu), meskipun kelak akan digelar pembahasan-pembahasan terkait pelaksanaan yang
eklesiologis dan konkret dari keutamaan Sri Paus.

Kasus pelecehan seksual

Pada 2001, muncul gugatan-gugatan hukum yang mengklaim bahwa imam-imam Katolik
telah melakukan pelecehan seksual terhadap kanak-kanak.[264] Untuk menanggapi skandal
yang merebak, Gereja Katolik telah menetapkan prosedur-prosedur resmi untuk mencegah
tindakan pelecehan, untuk mengimbau masyarakat agar melaporkan tindakan-tindakan
pelecehan yang telah terjadi, dan untuk menangani laporan-laporan tersebut dengan segera,
meskipun efektivitas dari prosedur-prosedur ini dipermasalahkan kelompok-kelompok yang
mewakili para korban pelecehan.[265]

Sejumlah imam mengundurkan diri, yang lain dipecat serta dipenjarakan,[266] dan ada pula
penyelesaian-penyelesaian damai secara finansial dengan sejumlah besar korban
pelecehan.[264] Konferensi Waligereja Amerika Serikat memerintahkan dilakukannya suatu
kajian komprehensif yang akhirnya mendapati bahwa empat persen dari seluruh imam yang
bertugas di Amerika Serikat sejak 1950 sampai dengan 2002 telah menghadapi salah satu
dari sekian macam dakwaan pelanggaran kesusilaan.

Paus Benediktus XVI

Dengan terpilihnya Paus Benediktus XVI pada 2005, Gereja Katolik telah menyaksikan
perlanjutan sebagian besar dari kebijakan-kebijakan pendahulunya, Paus Yohanes Paulus II,
dengan beberapa pengecualian yang menonjol: Paus Benediktus mendesentralisasikan
upacara beatifikasi dan membatalkan keputusan pendahulunya terkait pemilihan paus.[267]
Pada 2007, ia menciptakan rekor baru dalam sejarah Gereja dengan menyetujui beatifikasi
498 Martir Spanyol. Ensikliknya yang pertama, Deus caritas est, membahas tentang cinta
kasih dan seks dalam penentangan berkesinambungan terhadap pandangan-pandangan lain
mengenai seksualitas.

Upaya Gereja Katolik untuk memperbaiki hubungan ekumene dengan Gereja Ortodoks Timur
diperumit sengketa seputar doktrin maupun sejarah mutakhir dari Gereja-Gereja Katolik
Timur, yang mencakup pula permasalahan pengembalian properti Gereja-Gereja Katolik
Timur yang diambil alih Gereja Ortodoks semasa Perang Dunia II atas perintah Yosef Stalin.

Paus Fransiskus
Paus Fransiskus adalah paus yang menjabat saat ini. Sesudah pengunduran diri Paus
Benediktus, ia terpilih pada 2013 sebagai paus pertama dari tarekat Yesuit sekaligus paus
pertama dari Benua Amerika dan paus pertama dari Belahan Selatan Bumi.[268] Semenjak
terpilih menjadi paus, ia telah meperlihatkan suatu pendekatan yang lebih sederhana dan
kurang formal terhadap jabatan paus, dengan memilih untuk tinggal di wisma tamu Vatikan
ketimbang di kediaman resmi Sri Paus.[269] Ia juga telah mengisyaratkan sejumlah perubahan
dramatis dalam ranah kebijakan—misalnya menyingkirkan tokoh-tokoh konservatif dari
jabatan-jabatan tinggi di Vatikan, mengimbau para uskup untuk hidup lebih bersahaja, dan
mengambil sikap yang lebih pastoral terhadap homoseksualitas.[270][271]

Lihat pula

Anti-Katolik

Garis waktu agama Kristen

Garis waktu Gereja Katolik

Jasa Gereja Katolik bagi peradaban umat manusia

Sejarah agama Kristen

Sejarah Gereja karya Eusebius

Sejarah Gereja Katolik di Indonesia

Sejarah lembaga kepausan

Keterangan

a.  Joyce, George (1913). "The Pope". Dalam Herbermann, Charles. Catholic Encyclopedia. New York:
Robert Appleton Company.

Sehubungan dengan anggapan bahwa Petrus adalah Uskup Roma yang pertama, "Tidaklah sukar
untuk menunjukkan fakta bahwa statusnya [Petrus] sebagai Uskup Roma didukung banyak sekali
bukti sehingga secara historis dapat dipastikan kebenarannya. Sehubungan dengan hal ini, sebaiknya
dimulai dengan bukti-bukti dari abad ketiga, manakala rujukan-rujukan mengenai statusnya itu
semakin sering muncul, dan setelah itu barulah ditelaah mundur dari titik waktu ini. Pada
pertengahan abad ketiga, Santo Siprianus secara terang-terangan menyebut Takhta Keuskupan Roma
sebagai Takhta Santo Petrus, dan menyebutkan bahwa Kornelius telah mewarisi "kedudukan
Fabianus yang adalah kedudukan Petrus" (Ep 55:8; cf. 59:14). Firmilianus dari Kaisarea mencermati
bahwa Stefanus mengklaim berhak menyelesaikan kontroversi baptisan ulang atas dasar statusnya
selaku waris jabatan Petrus (Siprianus, Ep. 75:17). Ia tidak menafikan klaim itu: meskipun sudah pasti
akan ia nafikan, andaikata mungkin ia lakukan. Jadi, pada tahun 250, status Petrus sebagai Uskup
Roma diakui orang-orang yang benar-benar tahu duduk perkaranya, tidak saja di Roma tetapi juga di
Gereja-Gereja Afrika dan Asia Kecil. Pada perempat pertama abad itu (sekitar tahun 220), Tertulianus
(De Pud. 21) menyebutkan tentang klaim Kalistus bahwa kuasa Petrus untuk mengampuni dosa telah
diturunkan secara istimewa kepada dirinya. Andaikata Gereja Roma hanya sekadar didirikan Petrus
dan tidak mengakuinya sebagai uskup pertama, maka tidak ada dasar bagi klaim-klaim semacam itu.
Tertulianus, sama halnya dengan Firmilianus, punya motif yang kuat untuk menafikan klaim itu. Lagi
pula, ia sendiri menetap di Roma, dan tentunya akan tahu persis jika gagasan mengenai status Petrus
selaku Uskup Roma itu, sebagaimana yang digembar-gemborkan para penentangnya, baru muncul
pada tahun-tahun pertama abad ketiga, sebagai ganti riwayat yang lebih tua bahwasanya Gereja
Roma didirikan bersama-sama oleh Petrus dan Paulus, dan bahwasanya Uskup Roma yang pertama
adalah Linus. Sekitar waktu yang sama, Hipolitus (karena Lightfoot tentunya telah bertindak benar
dengan meyakininya sebagai penulis bagian pertama dari "Catalogus Liberianus" — "Klemens dari
Roma", 1:259) mencantumkan nama Petrus dalam daftar Uskup Roma...."[14]

b. Menurut beberapa sejarawan, termasuk Bart D. Ehrman, "Petrus, singkatnya, tidak mungkin adalah
uskup pertama kota Roma, karena Gereja Roma tidak memiliki uskup seorang pun sampai kurang
lebih seratus tahun sesudah Petrus wafat."[17]

c. Sebagai contoh, Bokenkotter menyebutkan bahwa hari Minggu dijadikan hari libur negara, pelacuran
dan zina diganjar hukuman yang lebih berat, serta sejumlah aturan perlindungan ditetapkan atas para
budak belian. (Bokenkotter, hlmn. 41–42.)

Rujukan

1. "Vatican congregation reaffirms truth, oneness of Catholic Church" (http://webarchive.loc.gov/all/200


70710201403/http://www.catholicnews.com/data/stories/cns/0703923.htm) . Catholic News
Service. Diarsipkan dari versi asli (http://www.catholicnews.com/data/stories/cns/0703923.htm)
tanggal 10 July 2007. Diakses tanggal 17 March 2012.

2. (Inggris) "Paragraph 862" (http://www.vatican.va/archive/ccc_css/archive/catechism/p123a9p3.ht


m) , Catechism of the Catholic Church, Second Edition, Libreria Editrice Vaticana, 2012, diakses
tanggal 16 November 2014

3. Hitchcock, Geography of Religion (2004), hlm. 281, kutipan: "Beberapa (jemaat) di antaranya dibentuk
Petrus, murid yang ditetapkan Yesus menjadi pendiri Gereja. Ketika jabatan ini terlembagakan, para
sejarawan pun menoleh ke masa silam dan mengakui bahwa Petrus adalah paus pertama umat
Kristen di kota Roma"

4. Norman, The Roman Catholic Church an Illustrated History (2007), hlmn. 11, 14, kutipan: "Gereja ini
didirikan Yesus sendiri semasa hidupnya di dunia.", "Karya kerasulan ini dibentuk di Roma, ibu kota
dunia ketika Gereja pertama kali berdiri; jelas-jelas kota inilah yang dijadikan pusat panduan ajaran
agama Kristen sedunia–Uskup Romalah yang sejak semula diminta uskup-uskup lain untuk
menuntaskan silang pendapat."

5. Chadwick, Henry, hlm. 37.

6. Duffy, hlm. 18.


7. Norman, The Roman Catholic Church an Illustrated History (2007), hlm. 81

8. Kreeft, hlm. 980.

9. Bokenkotter, hlm. 30.

10. Barry, hlm. 46.

11. (Inggris) CCC, 880–881 (http://www.vatican.va/archive/ccc_css/archive/catechism/p123a9p4.ht


m) , Vatican.va, diakses tanggal 1 November 2014

12. Matius 16:13-20 (http://alkitab.sabda.org/?Matius+16%3A13-20&version=tb)

13. "Saint Peter the Apostle: Incidents important in interpretations of Peter" (http://www.britannica.com/E
Bchecked/topic/453832/Saint-Peter-the-Apostle/5630/Incidents-important-in-interpretations-of-Pet
er) . Encyclopædia Britannica. Diakses tanggal 8 November 2014.

14.  Joyce, George (1913). "The Pope". Dalam Herbermann, Charles. Catholic Encyclopedia. New York:
Robert Appleton Company.

15. "Was Peter in Rome?" (https://web.archive.org/web/20131207211426/http://www.catholic.com/tract


s/was-peter-in-rome) . Catholic Answers. 10 Agustus 2004. Diarsipkan dari versi asli (http://www.ca
tholic.com/tracts/was-peter-in-rome) tanggal 2013-12-07. Diakses tanggal 9 November 2014.
"andaikata Petrus tidak pernah menjejakkan kakinya di kota Roma, ia tetap dapat menjadi paus
pertama, karena salah seorang penggantinya dapat saja menjadi pemegang jabatan paus yang
pertama kali menetap di Roma. Bagaimanapun juga, kepausan wujud karena dilembagakan Kristus
semasa hidupnya, jauh sebelum Petrus diriwayatkan berkunjung ke Roma. Sudah tentu ada rentang
waktu selama beberapa tahun manakala lembaga kepausan belum memiliki kaitan dengan kota
Roma." line feed character di |quote= pada posisi 266 (bantuan)

16. Raymond E. Brown, 101 Questions and Answers on the Bible (https://books.google.com/books?id=b8
ubeFP6JUYC&pg=PA134&dq=Peter+symbolisms+attached&hl=en&sa=X&ei=j-BlVIHdEcGzaYy9gIgK&r
edir_esc=y#v=onepage&q=Peter%20symbolisms%20attached&f=false) (Paulist Press 2003 ISBN
978-0-80914251-4), hlmn. 132–134

17. Bart D. Ehrman. "Peter, Paul, and Mary Magdalene: The Followers of Jesus in History and Legend."
Oxford University Press, USA. 2006. ISBN 0-19-530013-0. hlm. 84

18. Oscar Cullmann (1962), Peter: Disciple, Apostle, Martyr (ed. ke-2), Westminster Press hlm. 234

19. Henry Chadwick (1993), The Early Church, Penguin Books hlm. 18

20. Bokenkotter, hlm. 24.

21. Chadwick, Henry, hlmn. 23–24.

22. Hitchcock, Geography of Religion (2004), hlm. 281, kutipan: "Pada 100 M, lebih dari 40 jemaat Kristen
tumbuh di kota-kota yang tersebar di sekeliling Laut Tengah, termasuk dua jemaat di Afrika Utara,
yakni di Aleksandria dan Kirene, serta beberapa jemaat di Italia."
23. A.E. Medlycott, India and The Apostle Thomas, hlmn.1-71, 213-97; M.R. James, Apocryphal New
Testament, hlmn.364-436; Eusebius, Historia, bab 4:30; J.N. Farquhar, The Apostle Thomas in North
India, bab 4:30; V.A. Smith, Early History of India, hlm.235; L.W. Brown, The Indian Christians of St.
Thomas, hlmn.49–59

24. stthoma.com (http://www.stthoma.com/) , stthoma.com, diakses tanggal 8 Agustus 2013

25. McMullen, hlmn. 37, 83.

26. Davidson, The Birth of the Church (2005), hlm. 115

27. MacCulloch, Christianity, hlm. 109.

28. Davidson, The Birth of the Church' (2005), hlm. 146

29. Davidson, The Birth of the Church (2005), hlm. 149

30. MacCulloch, Christianity, hlmn.127–131.

31. Duffy, hlmn. 9–10.

32. Markus, hlm. 75.

33. MacCulloch, Christianity, hlm. 134.

34. MacCulloch, Christianity, hlm. 141.

35. Davidson, The Birth of the Church (2005), hlmn. 169, 181

36. Norman, The Roman Catholic Church an Illustrated History (2007), hlmn. 27–8, quote: "Sejumlah ahli
hujah ternama yang muncul satu demi satu kian meningkatkan wibawa intelektual khazanah ajaran
yang dimiliki lembaga kepausan, tepat pada waktunya, dalam kurun waktu awal perkembangannya,
manakala ketiadaan jawatan pengajaran dapat memecah-belah kesaksian semesta, sehingga
menjadi satu kesatuan gagasan yang utuh. Pada penghujung abad pertama, muncul Santo Klemens
dari Roma, pengganti Santo Petrus yang ketiga selaku Uskup Roma; pada abad kedua muncul Santo
Ignasius dari Antiokhia, Santo Ireneus dari Lyons, dan Santo Yustinus Martir; pada abad keempat
muncul Santo Agustinus dari Hipo.

37. MacCulloch, Christianity, hlmn. 155–159, 164.

38. Chadwick, Henry, hlm. 41.

39. Chadwick, Henry, hlmn. 41–42, 55.

40. Heikki Räisänen (2010). The Rise of Christian Beliefs: The Thought World of Early Christians (https://b
ooks.google.com/books?id=ktyMXIjcGakC&pg=PA292) . Fortress Press. hlm. 292.
ISBN 9781451409536.

41. MacCulloch, Christianity, hlm. 174.

42. Duffy, hlm. 20.

43. Collins, The Story of Christianity (1999), hlmn. 58-59

44. Collins, The Story of Christianity (1999), hlm. 59


45. Weil, Surat kepada Seorang Imam, kutipan 35

46. McMullen, hlm. 44.

47. Bokenkotter, hlm. 41.

48. McMullen, hlm. 49–50.

49. Duffy, hlm. 64.

50. McMullen, hlm. 54.

51. MacCulloch, Christianity, hlm. 199.

52. McMullen, hlm. 93.

53. Duffy, hlm. 27. Chadwick, Henry, hlm. 56.

54. Duffy, hlm. 29. MacCulloch Christianity, hlm. 212.

55. MacCulloch, Christianity, hlm. 221.

56. MacCulloch, Christianity, hlm. 225.

57. Chadwick, Henry, hlmn. 56–57.

58. Duffy, hlm. 34.

59. MacCulloch, Christianity, hlmn. 185, 212.

60. "Lecture 27: Heretics, Heresies and the Church" (http://www.historyguide.org/ancient/lecture27b.ht


ml) . 2009. Diakses tanggal 24 April 2010. Review of Church policies towards heresy, including
capital punishment (lihat Sinode di Saragosa).

61. Collins, The Story of Christianity (1999), hlmn. 61–62

62. Denzinger 186 (http://catho.org/9.php?d=bxk#a4r) menurut penomoran baru, 92 (http://www.catec


heticsonline.com/SourcesofDogma1.php) Diarsipkan (https://web.archive.org/web/201004181720
15/http://www.catecheticsonline.com/SourcesofDogma1.php) 18 April 2010 di Wayback Machine.
menurut penomoran lama

63. Duffy, Saints and Sinners (1997), hlm. 35

64. Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church (2004), hlmn. 84–93

65. McManners, Oxford Illustrated History of Christianity (2002), hlm. 142, Bab 4 Eastern Christendom
karya Kallistos Ware

66. Le Goff, Medieval Civilization (1964), hlmn. 5–20

67. Le Goff, Medieval Civilization (1964), hlm. 21

68. Woods, How the Church Built Western Civilization (2005), hlm. 27

69. Le Goff, Medieval Civilization (1964), hlm. 120

70. Duffy, Saints and Sinners (1997), hlm. 50–52


71. Collins, The Story of Christianity (1999), hlmn. 84–6

72. Vidmar, Jedin 34

73. Duffy, Saints and Sinners (1997), hlmn. 63, 74

74. Franzen 35

75. Jedin 36

76. Vidmar, The Catholic Church Through the Ages (2005), hlmn. 107–111

77. Duffy, Saints and Sinners (1997), hlm. 78, quote: "Pengganti Paus Paskalis, Paus Eugenius II (824–7),
justru terpilih berkat pengaruh kaisar, sehingga menghilangkan sebagian besar dari keuntungan-
keuntungan yang sudah dicapai lembaga kepausan. Ia mengakui kedaulatan kaisar atas Negara
Gereja, dan menerima undang-undang dasar sodoran dari Lothair yang mengesahkan pengawasan
kekaisaran atas tata usaha pemerintahan Roma, memaksa seluruh warga Negara Gereja untuk
bersumpah setia kepada kaisar, dan mewajibkan paus terpilih untuk bersumpah setia kepada kaisar
sebelum dinobatkan. Bahkan pada masa jabatan Paus Sergius II (844–847), ditetapkan bahwa paus
terpilih tidak boleh dinobatkan tanpa mandat kaisar, dan upacara penobatan harus dihadiri
wakil
kaisar. Pemberlakuan ketetapan ini sama saja dengan menghidupkan kembali sejumlah aturan
Kekaisaran Romawi Timur yang jauh lebih merendahkan martabat."

78. Franzen. 36–42

79. Duffy, Saints and Sinners (1997), hlmn. 88–89

80. Woods, How the Church Built Western Civilization (2005), hlm. 40

81. Le Goff, Medieval Civilization (1964), hlmn. 80–82

82. Woods, How the Church Built Western Civilization (2005), hlmn. 44–48

83. Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church (2004), hlmn. 158–159

84. Duffy, Saints and Sinners (1997), hlm. 91

85. Collins, The Story of Christianity (1999), hlm. 103

86. Vidmar, The Catholic Church Through the Ages (2005), hlm. 104

87. Duffy, Saints and Sinners (1997), hlmn. 119, 131

88. "Eastern Catholic" (https://web.archive.org/web/20050409045926/http://www.cwnews.com/news/bi


osgloss/definition.cfm?glossID=67) . Catholic World News. Trinity Communications. 2008.
Diarsipkan dari versi asli (https://www.cwnews.com/news/biosgloss/definition.cfm?glossID=67)
tanggal 9 April 2005. Diakses tanggal 30 Mei 2008.

89. Duffy, Saints and Sinners (1997), hlm. 278

90. Riley-Smith, The First Crusaders (1997), hlm. 8

91. Vidmar, The Catholic Church Through the Ages (2005), hlmn. 130–131
92. Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church (2004), hlm. 140 quote: "Jadi ketika Urbanus
menyerukan imbauan untuk mengobarkan Perang Salib di Clermont pada tahun 1095, salah satu
motifnya adalah memberi bantuan kepada umat Kristen Timur yang sedang dirundung masalah."

93. Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church (2004), hlm. 155 quote: "Tersiar pula cerita-
cerita tentang perlakuan semena-mena orang kafir terhadap orang-orang Kristen yang sedang
berziarah ke Yerusalem. Cerita-cerita ini membangkitkan kemarahan masyarakat Dunia Barat."

94. Le Goff, Medieval Civilization (1964), hlmn. 65–67

95. Tyerman, God's War: A New History of the Crusades (2006), hlmn. 525–560

96. "Pope sorrow over Constantinople" (http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/3850789.stm) . BBC News.


29 June 2004. Diakses tanggal 6 April 2008.

97. Woods, How the Church Built Western Civilization (2005), hlmn. 119–122

98. Norman, The Roman Catholic Church (2007), hlm. 62

99. Duffy, Saints and Sinners (1997), hlm. 101

100. Le Goff, Medieval Civilization (1964), hlm. 87

101. Duffy, Saints and Sinners (1997), hlm. 112

102. Vidmar, The Catholic Church Through the Ages (2005), hlmn. 144–147, quote: "Perang Salib yang
kelak dikenal dengan sebutan Perang Salib Albigenses ini berlangsung sampai tahun 1219. Selaku
seorang ahli hukum, Paus Inosensius III mampu menyadari kenyataan bahwa Perang Salib mudah
sekali lepas kendali sekaligus mampu memikirkan cara untuk membendungnya. Ia mengimbau para
penguasa lokal untuk mengadopsi undang-undang anti-ahli bidah dan menghadapkan terdakwa ke
mahkamah. Pada tahun 1231, lembaga kepausan mulai melancarkan inkuisisi, dan para frater
ditugaskan untuk membentuk mahkamah-mahkamah investigasi."

103. Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church (2004), hlm. 132, quote: "Sebuah Perang Salib
dimaklumkan terhadap kaum yang kadang-kadang disebut "Albigenses" ... Dalam rangka Perang Salib
inilah lahir sistem inkuisisi lembaga kepausan, yakni mahkamah khusus yang dibentuk atas
ketetapan Sri Paus dan bertugas mengusut para ahli bidah. Tanggung jawab tersebut sebelumnya
dipercayakan kepada para uskup lokal. Meskipun demikian, Paus Innosensius merasa perlu
menanggulangi ancaman kaum Albigenses sehingga mengirim delegasi-delegasi dengan kuasa
khusus yang membuat mereka lepas dari kewenangan uskup. Pada tahun 1233, Paus Gregorius IX
mengubah lembaga ad hoc ini menjadi sebuah sistem permanen yang dijalankan para inkuisitor, yang
lazimnya dipilih dari kaum fakir Kristen, yakni anggota-anggota tarekat Dominikan dan tarekat
Fransiskan yang terkenal berani, jujur, arif, dan giat."

104. Norman, The Roman Catholic Church an Illustrated History (2007), hlm. 93

105. Black, Early Modern Italy (2001), hlmn. 200–202

106. Casey, Early Modern Spain: A Social History (2002), hlmn. 229–230

107. Duffy, Saints and Sinners (1997), hlm. 122


108. McManners, Oxford Illustrated History of Christianity (1990), hlm. 232, Bab 6 Christian Civilization
oleh Colin Morris (Universitas Southampton)

109. Vidmar, The Catholic Church Through the Ages (2005), hlm. 155

110. McManners, Oxford Illustrated History of Christianity (1990), hlm. 240, Bab 7 Gereja pada Akhir Abad
Pertengahan dan Pembaharuannya oleh Patrick Collinson (Universitas Cambridge)

111. Koschorke, K. A History of Christianity in Asia, Africa, and Latin America (2007), hlmn. 13, 283

112. Dussel, Enrique, A History of the Church in Latin America, Wm B Eerdmans Publishing, 1981, hlmn. 39,
59

113. Woods, How the Church Built Western Civilization (2005), hlm. 135

114. Bruce E. Johansen, The Native Peoples of North America, Rutgers University Press, New Brunswick,
2006, hlmn. 109, 110, quote: "Di Benua Amerika, Bartolomé de Las Casas, seorang imam Katolik, giat
mendorong dilakukannya penyelidikan resmi terhadap berbagai macam kekejaman dalam aksi
penaklukan yang dilakukan bangsa Spanyol. Las Casas mendata tindakan-tindakan brutal bangsa
spanyol terhadap orang-orang pribumi dengan sangat cermat."

115. Koschorke, A History of Christianity in Asia, Africa, and Latin America (2007), hlm. 287

116. Dussel, Enrique, A History of the Church in Latin America, Wm B Eerdmans Publishing, 1981, hlmn. 45,
52, 53 quote: "Gereja yang misioner ini sejak semula sudah menentang tindakan-tindakan negara
tersebut, dan hampir semua hal positif yang dilakukan demi kemaslahatan orang-orang pribumi
adalah buah dari imbauan dan seruan para misionaris. Meskipun demikian, kenyataan bahwa
ketidakadilan yang merajalela sangat sukar diberantas tetap tidak dapat dipungkiri ... Tokoh yang
lebih berjasa daripada Bartolome de Las Casas adalah Uskup Nikaragua, Antonio de Valdeviso, yang
wafat sebagai martir karena membela masyarakat Indian."

117. Bruce E. Johansen, The Native Peoples of North America, Rutgers University Press, New Brunswick,
2006, hlmn. 109, 110, quote: Sebagian besar karena karya tulis Las Casas, muncul gerakan di Spanyol
yang memperjuangkan perlakuan yang lebih manusiawi terhadap orang-orang pribumi.

118. Woods, How the Church Built Western Civilization (2005), hlm. 137

119. Chadwick, Owen, The Reformation, Penguin, 1990, hlm. 327

120. Koschorke, A History of Christianity in Asia, Africa, and Latin America (2007), hlm. 21

121. Bruce E. Johansen, The Native Peoples of North America, Rutgers University Press, New Brunswick,
2006, hlm. 110, quote: "Dalam bula Sublimis deus (1537), Paus Paulus III menegaskan bahwa bangsa
Indian harus dianggap sungguh-sungguh manusia, dan jiwa-jiwa mereka sama abadinya dengan jiwa-
jiwa bangsa Eropa. Penegasan ini juga mengharamkam segala bentuk pembudakan bangsa Indian..."

122. Koschorke, A History of Christianity in Asia, Africa, and Latin America (2007), hlm. 290

123. Samora dkk., A History of the Mexican-American People (1993), hlm. 20

124. Jackson, From Savages to Subjects: Missions in the History of the American Southwest (2000), hlm.
14
125. Jackson, From Savages to Subjects: Missions in the History of the American Southwest (2000), hlm.
13

126. Koschorke, A History of Christianity in Asia, Africa, and Latin America (2007), hlmn. 3, 17

127. Duffy, Saints and Sinners (1997), hlm. 133

128. Norman, The Roman Catholic Church an Illustrated History (2007), hlm. 86

129. Franzen 65–78

130. Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church (2004), hlmn. 201–205

131. Duffy, Saints and Sinners (1997), hlm. 149

132. Vidmar, The Catholic Church Through the Ages (2005), hlm. 184

133. Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church (2004), hlm. 215

134. Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church (2004), hlmn. 223–224

135. Vidmar, The Catholic Church Through the Ages (2005), hlmn. 196–200

136. Vidmar, The Catholic Church Through the Ages (2005), hlm. 233

137. Duffy, Saints and Sinners (1997), hlmn. 177–178

138. Richard R. Henderson; International Council on Monuments and Sites. U.S. Committee; United States.
National Park Service (March 1989). A Preliminary inventory of Spanish colonial resources
associated with National Park Service units and national historic landmarks, 1987 (https://books.goo
gle.com/books?id=AIkIAQAAMAAJ&q=slaughters) . United States Committee, International Council
on Monuments and Sites, for the U.S. Dept. of the Interior, National Park Service. hlm. 87.

139. Pleading the Belly: A Sparing Plea? Pregnant Convicts and the Courts in Medieval England (https://bril
l.com/view/book/edcoll/9789004364950/B9789004364950_009.xml) oleh Sara M. Butler dalam
Crossing Borders: Boundaries and Margins in Medieval and Early Modern Britain DOI:
https://doi.org/10.1163/9789004364950_009

140. Roger Scruton (1996). A Dictionary of Political Thought (https://archive.org/details/dictionaryofpoli00


00scru_h0g0) . hlm. 470 (https://archive.org/details/dictionaryofpoli0000scru_h0g0/page/470) .
"Reformasi (Inggris) tidak boleh dicampuradukkan dengan perubahan-perubahan yang diperkenalkan
dalam Gereja Inggris sewaktu 'Reformasi Parlemen' tahun 1529 sampai tahun 1536, yang pada
hakikatnya bersifat politik alih-alih bersifat keagamaan, dirancang untuk menyatukan sumber
kewenangan sekuler dan sumber kewenangan keagamaan menjadi satu kewenangan tunggal: Gereja
Anglikan baru kemudian hari memunculkan perubahan-perubahan mendasar dalam doktrin."

141. Schama, A History of Britain 1: At the Edge of the World? (2003), hlmn. 309–311
142. Vidmar, The Catholic Church Through the Ages (2005), hlm. 220, quote: "Melihat kegigihan Cranmer
dalam mempengaruhinya untuk menjadikan Inggris sebagai negara Lutheran atau Kalvinis, Henry
mengambil keputusan pada bulan September 1538 dan mengundangkan Enam Pasal, yang bertujuan
memulihkan iman purba, termasuk amalan selibat bagi kaum rohaniwan. Pada tahun 1543, sebagian
besar undang-undang Reformasi ditunggangbalikkan. Satu orang, John Lambert, dijadikan contoh
pada bulan November 1538. Ia dibakar dengan cara diseret keluar masuk kobaran api karena
menganut keyakinan-keyakinan yang sama dengan Cranmer mengenai Ekaristi. Cranmer dipaksa
menyaksikan peristiwa brutal itu. Ia juga harus memulangkan istrinya ke Jerman."

143. Gonzalez, The Story of Christianity, Jilid 2 (1985), hlm. 75, quote: "Di Inggris, ia mengambil langkah-
langkah yang bertujuan sedapat mungkin menyesuaikan gereja di negeri itu dengan agama Kristen
Katolik Roma, kecuali dalam urusan ketaatan kepada Sri Paus. Ia juga menolak memulihkan biara-
biara, yang sudah ia segel dan sita dengan alasan reformasi, dan yang harta bendanya tidak ingin ia
kembalikan."

144. Vidmar, The Catholic Church Through the Ages (2005), hlmn. 225–226

145. Haigh, The English Reformation Revised (1987), hlm. 159, quote: "Mary ingin secepat mungkin
mengubah Inggris menjadi negara Katolik: menegakkan kembali kewibawaan Sri Paus, membatalkan
statuta-statuta parlemen yang telah mengubah hubungan antara Gereja dan negara dengan begitu
radikal, serta memulihkan kembali doktrin dan peribadatan Katolik di dalam gereja Inggris. Tidak ada
yang boleh menghalangi langkahnya. Baik gerutu, kerusuhan, maupun pemberontakan rakyat, bahkan
saran duta besar Spanyol agar tidak bertindak buru-buru, mampu menghentikan usaha sang ratu
untuk mewujudkan niatnya. ... Tewas dibakar hidup-hidup di tangan sheriff menjadi hukuman bagi
siapa saja yang terbukti menganut ajaran bidah di hadapan mahkamah Gereja dan tidak bersedia
mengingkarinya."

146. Solt, Church and State in Early Modern England, 1509–1640, (1990), hlm. 149

147. Schama, A History of Britain 1: At the Edge of the World? (2003), hlmn. 272–273.

148. Jackson, Ireland Her Own (1991), hlm. 514

149. Norman, The Roman Catholic Church an Illustrated History (2007), hlmn. 131–132

150. Potemra, Michael (13 July 2004). "Crucible of Freedom" (https://web.archive.org/web/200704261723


53/http://nationalreview.com/books/potemra200407131542.asp) . National Review. Diarsipkan dari
versi asli (http://nationalreview.com/books/potemra200407131542.asp) tanggal 26 April 2007.
Diakses tanggal 21 Juni 2008.

151. Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church (2004), hlmn. 242–244

152. Vidmar, The Catholic Church Through the Ages (2005), hlm. 237

153. Norman, The Roman Catholic Church an Illustrated History (2007), hlmn. 91–92

154. Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church (2004), hlm. 251

155. Vidmar, The Catholic Church Through the Ages (2005), hlm. 241

156. Murray, Dictionary of the Arts (1994), hlm. 45


157. Koschorke, A History of Christianity in Asia, Africa, and Latin America (2007), hlmn. 31–32

158. McManners, Oxford Illustrated History of Christianity (1990), hlm. 318, Bab 9 The Expansion of
Christianity oleh John McManners

159. Otto Stegmüller, Barock, in Marienkunde, 1967 566

160. F Zöpfl, Barocke Frömmigkeit, dalam Marienkunde, 577

161. Zöpfl 579

162. Lortz, IV, 7–11

163. Duffy 188–189

164. Duffy, Saints and Sinners (1997), hlmn. 188–191

165. Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church (2004), hlmn. 267–269

166. Franzen 326

167. Norman, The Roman Catholic Church an Illustrated History (2007), hlm. 137

168. Franzen 328

169. Ulrich L. Lehner, The Catholic Enlightenment. The Forgotten History of a Global Movement (Oxford
University Press, 2016).

170. Franzen, 362

171. Norman, The Roman Catholic Church an Illustrated History (2007), hlmn. 111–112

172. King, Mission to Paradise(1975), hlm. 169

173. Franzen 362

174. Duffy, Saints and Sinners (1997), hlm. 221

175. Franzen, 323

176. Robert Eric Frykenberg, Christianity in India: From Beginnings to the Present (Oxford University Press,
2008)

177. Stephen Neill, A History of Christianity in India (Cambridge University Press, 1984)

178. Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church (2004), hlmn. 283–285

179. Kenneth Scott Latourette, Christianity in a Revolutionary Age. Jld. I: The 19th Century in Europe;
Background and the Roman Catholic Phase (1958) hlmn. 120–127

180. Duffy, Saints and Sinners (1997), hlmn. 214–216

181. Latourette, Jld. I: The 19th Century in Europe; Background and the Roman Catholic Phase (1958)
hlmn. 127–129, 399–462

182. Robert Gildea, Children of the Revolution: The French, 1799–1914(2008) hlm. 120

183. Roger Price, A Social History of Nineteenth-Century France (1987) bab 7


184. Kenneth Scott Latourette, Christianity in a Revolutionary Age. Jld. I: The 19th Century in Europe;
Background and the Roman Catholic Phase (1958) hlmn. 400–412

185. Theodore Zeldin, France, 1848–1945 (1977) Jld. 2, hlmn. 983–1040

186. Philippe Rigoulot, "Protestants and the French nation under the Third Republic: Between recognition
and assimilation," National Identities, Maret 2009, Jld. 11 Edisi 1, hlmn. 45–57

187. Barnett B. Singer, "Minoritarian Religion and the Creation of a Secular School System in France," Third
Republic (1976) No. 2 hlmn. 228–259

188. Patrick J. Harrigan, "Church, State, and Education in France From the Falloux to the Ferry Laws: A
Reassessment," Canadian Journal of History, April 2001, 36#1 hlmn. 51–83

189. Frank Tallett dan Nicholas Atkin, Religion, society, and politics in France since 1789 (1991) hlm. 152

190. Robert Gildea, Children of the Revolution: The French, 1799–1914 (2010) bab 12

191. Hastings, hlmn. 397–410

192. John Paul II, General Audience (https://web.archive.org/web/20110810175256/http://www.vatican.v


a/holy_father/john_paul_ii/audiences/alpha/data/aud19930324en.html) , Vatican.va, Maret 24,
1993, diarsipkan dari versi asli (http://www.vatican.va/holy_father/john_paul_ii/audiences/alpha/dat
a/aud19930324en.html) tanggal 10 Agustus 2011, diakses tanggal 8 Agustus 2013

193. Pius IX dalam Bäumer, hlm. 245

194. dan menambahkan frasa Immaculata (Yang Tak Bercela) ke dalam Litani Loreto.

195. Bauer 566

196. Civilta Catolica 6 Februari 1869.

197. Leith, Creeds of the Churches (1963), hlm. 143

198. Duffy, Saints and Sinners (1997), hlm. 232

199. Fahlbusch, The Encyclopedia of Christianity (2001), hlm. 729

200. Duffy, Saints and Sinners (1997), hlm. 240

201. Duffy 260

202. Franzen, 368

203. Felicity O'Brien, Pius XII, London 2000, hlm.13

204. Geoffrey Blainey; A Short History of Christianity; Penguin Viking; 2011

205. 140th anniversary of largest women’s religious institute : News Headlines (http://www.catholiccultur
e.org/news/headlines/index.cfm?storyid=14192) , Catholic Culture, 3 Mei 2012, diakses tanggal
8 Agustus 2013

206.  Herbermann, Charles, ed. (1913). "Sisters of Mercy". Catholic Encyclopedia. New York: Robert
Appleton Company.
207.  Herbermann, Charles, ed. (1913). "Little Sisters of the Poor" (http://www.newadvent.org/cathen/12
248a.htm) . Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton Company. Diakses tanggal 8 August
2013.

208. Actualités, Vatican: cinq bienheureux, dont une Française et un Belge, canonisés ce dimanche -
Actualités : Toute l'actualité et l'info en France et dans le Monde-MSN&M6 (https://web.archive.org/w
eb/20131203052008/http://news.fr.msn.com/m6-actualite/article.aspx?cp-documentid=15014355
8) , News.fr.msn.com, diarsipkan dari versi asli (https://news.fr.msn.com/m6-actualite/article.aspx?
cp-documentid=150143558) tanggal 2013-12-03, diakses tanggal 8 August 2013

209. Xavier University of Louisiana (https://web.archive.org/web/20130413051024/http://www.xula.edu/p


resident/index.php) , Xula.edu, diarsipkan dari versi asli (http://www.xula.edu/president/index.ph
p) tanggal 2013-04-13, diakses tanggal 8 August 2013

210. Mystici corporis, Lumen gentium dan Redemptoris Mater menyajikan pemahaman Katolik modern
mengenai keterkaitan ini.

211. lihat Mystici corporis yang dikeluarkan Paus Pius XII, dan Redemptoris Mater yang dikeluarkan Paus
Yohanes Paulus II: Konsili Vatikan II, dengan menghadirkan Maria dalam misteri Kristus, juga
menemukan jalan untuk memahami misteri Gereja secara lebih mendalam. Maria, sebagai Bunda
Kristus, bersatu sedemikian rupa dengan Gereja, "yang didirikan Tuhan sebagai tubuh-Nya sendiri."

212. Chadwick, Owen, hlmn. 264–265.

213. Scheina, hlm. 33.

214. Riasanovsky 617

215. Riasanovsky 634

216. Payne, Stanley G (2008). Franco and Hitler: Spain, Germany and World War II (https://archive.org/deta
ils/francohitlerspai0000payn) . Yale University Press. hlm. 13 (https://archive.org/details/francohitle
rspai0000payn/page/13) . ISBN 0-300-12282-9.

217. Fernandez-Alonso, J (2002). The New Catholic Encyclopedia. 13. Catholic University Press/Thomas
Gale. hlm. 395–396. ISBN 0-7876-4017-4.

218. Mary Vincent, Catholicism in the Second Spanish Republic ISBN 0-19-820613-5 hlm.218

219. Emma Fattorini, Hitler, Mussolini and the Vatican: Pope Pius XI and the Speech That was Never Made
(2011) Bab 1

220. Frank J. Coppa, Controversial concordats: the Vatican's relations with Napoleon, Mussolini, and Hitler
(1999)

221. Cyprian Blamires (2006). World Fascism: A Historical Encyclopedia (https://books.google.com/book


s?id=nvD2rZSVau4C&pg=PA120) . ABC-CLIO. hlm. 120. ISBN 9781576079409.

222. Kenneth Scott Latourette, Christianity In a Revolutionary Age A History of Christianity in the 19th and
20th Century: Jld. 4 The 20th Century In Europe (1961) hlmn. 32-35, 153, 156, 371
223. Eamon Duffy (2002). Saints and Sinners: A History of the Popes; Edisi ke-2 (https://books.google.co
m/books?id=MTWM6PjNvBMC&pg=PA340) . Yale University Press. hlm. 340. ISBN 0300091656.

224. Latourette, Christianity in a Revolutionary Age A History of Christianity in the 19th and 20th Century:
Bab 4 The 20th Century in Europe (1961) hlmn. 188-191

225. Latourette, Christianity in a Revolutionary Age: A History of Christianity in the 19th and 20th Century:
Bab 4 The 20th Century in Europe (1961) hlmn. 176-188

226. Mark Edward Russ, "The Nazis' Religionspolitik: An Assessment of Recent Literature," Catholic
Historical Review (2006) 92#3 hlmn. 252-267

227. Wolfgang Dierker, "Himmlers Glaubenskrieger. Der Sicherheitsdienst der SS, Seine Religionspolitik
und die 'Politische Religion' des Nationalsozialismus," Historisches Jahrbuch (2002), Jld. 122, hlmn.
321-344.

228. Martyn Housden (1997). Resistance and Conformity in the Third Reich (https://books.google.com/bo
oks?id=Rp6Qfc69FjsC&pg=PA52) . Psychology Press. hlm. 52. ISBN 9780415121347.

229. Cook, hlm. 983

230. Bokenkotter hlm. 192

231. Deák, hlm. 182.

232. Eakin, Emily. "New Accusations Of a Vatican Role In Anti-Semitism".

233. "Battle Lines Were Drawn After Beatification of Pope Pius IX" (https://query.nytimes.com/gst/fullpag
e.html?res=9B04E3DF1130F932A3575AC0A9679C8B63&sec=&spon=&pagewanted=all) . The New
York Times. 1 September 2001. Diakses tanggal 9 Maret 2008.

234. Phayer, hlmn. 50–57

235. Duffy, Saints and Sinners (1997), hlmn. 270–6

236. J. Derek Holmes; Bernard Bickers (5 Agustus 2002). Short History of the Catholic Church (https://boo
ks.google.com/books?id=0l2tAwAAQBAJ) . A&C Black. ISBN 978-0-86012-308-8.

237. Paul VI, Pope (1963-12-04). "Sacrosanctum Concilium" (https://web.archive.org/web/2008022118073


5/http://www.vatican.va/archive/hist_councils/ii_vatican_council/documents/vat-ii_const_19631204_
sacrosanctum-concilium_en.html) . Vatican. Diarsipkan dari versi asli (http://www.vatican.va/archiv
e/hist_councils/ii_vatican_council/documents/vat-ii_const_19631204_sacrosanctum-concilium_en.
html) tanggal 2008-02-21. Diakses tanggal 2008-02-09.

238. Duffy, Saints and Sinners (1997), hlm. 274

239. "Roman Catholic-Eastern Orthodox Dialogue" (https://web.archive.org/web/20130310120644/http://


www.pbs.org/wnet/religionandethics/week346/feature.html) . Public Broadcasting Service. 2000-
07-14. Diarsipkan dari versi asli (https://www.pbs.org/wnet/religionandethics/week346/feature.ht
ml) tanggal 2013-03-10. Diakses tanggal 2008-02-16.

240. Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church (2004), hlm. 410
241. Bauckham, Richard, dalam New Dictionary of Theology, oleh Ferguson (penyunting), 1988, hlm. 373

242. Surat Apostolik "Motu Proprio data" Summorum Pontificum mengenai penggunaan Liturgi Romawi
sebelum pembaharuan tahun 1970 (7 Juli 2007)

243. "Liberation Theology" (http://www.bbc.co.uk/religion/religions/christianity/beliefs/liberationtheology.


shtml) . BBC. 2005. Diakses tanggal 2008-06-02.

244. Aguilar, Mario (2007). The History and Politics of Latin American Theology, Jilid 1. London: SCM
Press. hlm. 31. ISBN 978-0-334-04023-1.

245. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai Uskup Romero dari salah seorang mantan koleganya, lihat
Sobrino, Jon (1990). Archbishop Romero: Memories and Reflections (https://archive.org/details/arch
bishopromero0000sobr) . Maryknoll, NY: Orbis. ISBN 978-0-88344-667-6.

246. Rohter, Larry (2007-05-07). "As Pope Heads to Brazil, a Rival Theology Persists" (https://www.nytimes.
com/2007/05/07/world/americas/07theology.html) . The New York Times. Diakses tanggal
2008-02-21. Sebagian besar campur tangan Paus Benediktus XVI dalam usaha penanggulangan
teologi pembebasan terjadi ketika ia masih berpangkat Kardinal.

247. Aguilar, Mario (2007). The History and Politics of Latin American Theology, Jilid 1. London: SCM
Press. hlm. 121. ISBN 978-0-334-04023-1.

248. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai kegigihan teologi pembebasan untuk bertahan, lihat Rohter,
Larry (2007-05-07). "As Pope Heads to Brazil, a Rival Theology Persists" (https://www.nytimes.com/2
007/05/07/world/americas/07theology.html?pagewanted=1&_r=1) . The New York Times. Diakses
tanggal 2008-06-02. Mengenai ancaman gerakan Pentakosta, lihat Stoll, David (1990). Is Latin
America turning Protestant?: The Politics of Evangelical Growth (https://archive.org/details/islatinam
ericatu00davi) . Berkeley: University of California Press. ISBN 978-0-520-06499-7.

249. Paul VI, Pope (1968). "Humanae Vitae" (https://www.webcitation.org/5xI2Wz6n5?url=http://www.vati


can.va/holy_father/paul_vi/encyclicals/documents/hf_p-vi_enc_25071968_humanae-
vitae_en.html) . Vatican. Diarsipkan dari versi asli (http://www.vatican.va/holy_father/paul_vi/encycli
cals/documents/hf_p-vi_enc_25071968_humanae-vitae_en.html) tanggal 2011-03-19. Diakses
tanggal 2008-02-02.

250. Norman, The Roman Catholic Church an Illustrated History (2007), hlm. 184

251. John Paul II, Pope (1988). "Mulieris Dignitatem" (https://web.archive.org/web/20070107000833/htt


p://www.vatican.va/holy_father/john_paul_ii/apost_letters/documents/hf_jp-ii_apl_15081988_mulieri
s-dignitatem_en.html) . Vatican. Diarsipkan dari versi asli (http://www.vatican.va/holy_father/john_p
aul_ii/apost_letters/documents/hf_jp-ii_apl_15081988_mulieris-dignitatem_en.html) tanggal 2007-
01-07. Diakses tanggal 2008-02-21.

252. Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church (2004), hlm. 467
253. Paus Benediktus XVI, Jesus of Nazareth (2008), hlmn. 180–181, kutipan: "Beda antara status murid
dari kedua belas Rasul dan status murid dari perempuan-perempuan pengikut Yesus sangatlah jelas;
tugas-tugas yang dibebankan kepada kedua kelompok ini cukup berbeda. Akan tetapi Lukas
memperjelas—dan Injil-Injil lain juga menunjukkan hal ini dalam berbagai macam cara—bahwasanya
'banyak' perempuan menjadi bagian dari paguyuban umat beriman yang lebih akrab, dan bahwasanya
keikutsertaan mereka dengan penuh iman sebagai pengikut Yesus merupakan suatu unsur hakiki dari
paguyuban itu, sebagaimana yang tergambarkan dengan begitu hidupnya di kaki salib dan pada
peristiwa kebangkitan."

254. John Paul II, Pope (1994-05-22). "Apostolic Letter to the Bishops of the Catholic Church on Reserving
Priestly Ordination to Men Alone" (http://google.com/search?q=cache:hargcmbWQ5QJ:www.vatican.
va/holy_father/john_paul_ii/apost_letters/documents/hf_jp-ii_apl_22051994_ordinatio-sacerdotalis_e
n.html+Catholic+Church,+women%27s+ordination&hl=en&ct=clnk&cd=10&gl=us) . Vatican. Diakses
tanggal 2008-02-02.

255. Cowell, Alan (1994-05-31). "Pope Rules Out Debate On Making Women Priests" (https://query.nytime
s.com/gst/fullpage.html?res=9F05E7DE133BF932A05756C0A962958260&sec=&spon=&pagewant
ed=all) . The New York Times. Diakses tanggal 2008-02-12.

256. Laporan Mengenai Hubungan Katolik-Ortodoks (http://www.ewtn.com/library/Theology/CATORT04.


HTM)

257. Presentasi Perayaan (http://www.vatican.va/news_services/liturgy/2004/documents/ns_lit_doc_200


40629_rite_en.html) Diarsipkan (https://web.archive.org/web/20040806145711/http://www.vatica
n.va/news_services/liturgy/2004/documents/ns_lit_doc_20040629_rite_en.html) 2004-08-06 di
Wayback Machine.

258. Pernyataan Bersama (http://www.vatican.va/holy_father/john_paul_ii/speeches/2004/july/document


s/hf_jp-ii_spe_20040701_jp-ii-bartholomew-i_en.html)

259. Missale Romanum 2002 (Buku Misa Romawi dalam bahasa Latin), hlm. 513

260. Ρωμαϊκό Λειτουργικό 2006 (Buku Misa Romawi dalam bahasa Yunani), Jld. 1, hlm. 347

261. Program Perayaan (http://www.vatican.va/news_services/liturgy/2004/documents/ns_lit_doc_20040


629_rite_en.html) Diarsipkan (https://web.archive.org/web/20040806145711/http://www.vatican.v
a/news_services/liturgy/2004/documents/ns_lit_doc_20040629_rite_en.html) 2004-08-06 di
Wayback Machine.

262. Video rekaman pendarasan syahadat bersama (https://www.youtube.com/watch?v=_MFg8FBOHD


g)

263. Blog pribadi Metropolit Kalavryta (http://www.mkka.blogspot.com/) , dilaporkan pula oleh kantor
berita keagamaan ini (http://www.romfea.gr/index.php?option=com_content&task=view&id=1932)
dan oleh Gereja Ortodoks Rusia (http://www.roacamerica.org/art-kiss-demetrios-latest.shtml)
Diarsipkan (https://web.archive.org/web/20090921003654/http://www.roacamerica.org/art-kiss-dem
etrios-latest.shtml) 2009-09-21 di Wayback Machine.

264. Bruni, A Gospel of Shame (2002), hlm. 336


265. David Willey (15 Juli 2010). "Vatican 'speeds up' abuse cases" (http://www.bbc.co.uk/news/world-eur
ope-10645748) . BBC News. Diakses tanggal 11 Agustus 2013.

266. Newman, Andy (2006-08-31). "A Choice for New York Priests in Abuse Cases" (https://www.nytimes.c
om/2006/08/31/nyregion/31priest.html) . The New York Times. Diakses tanggal 13 Maret 2008.

267. Moto Proprio, De Aliquibus Mutationibus, 11 Juni 2007

268. Cardinal Walter Kasper Says Pope Francis Will Bring New Life To Vatican II (http://www.huffingtonpos
t.com/2013/04/13/cardinal-walter-kasper-says-pope-francis-will-bring-new-life-to-vatican-ii_n_307638
6.html)

269. Vallely, Paul (14 Maret 2013). "Pope Francis profile: Jorge Mario Bergoglio, a humble man who moved
out of a palace into an apartment, cooks his own meals and travels by bus" (https://www.independen
t.co.uk/voices/comment/pope-francis-profile-jorge-mario-bergoglio-a-humble-man-who-moved-out-of
-a-palace-into-an-apartment-cooks-his-own-meals-and-travels-by-bus-8533450.html) . The
Independent. Diakses tanggal 4 Juni 2013.

270. Elizabeth Dias, "Pope Francis Willing To 'Evaluate' Civil Unions, But No Embrace of Gay Marriage"
TIME 5 Maret 2014 (http://time.com/13161/pope-francis-willing-to-evaluate-civil-unions-but-no-embra
ce-of-gay-marriage/)

271. Mariano Castillo, "Pope Francis reassigns conservative American cardinal," CNN 10 November 2014
(http://www.cnn.com/2014/11/09/world/europe/pope-francis-reassigns-conservative-cardinal/inde
x.html)

Daftar pustaka

Aguilar, Mario (2007). The History and Politics of Latin American Theology. 1. London: SCM Press.
ISBN 978-0-334-04023-1.

Armstrong, Alastair (2002). The European Reformation. London: Heinemann. ISBN 0-435-32710-0.

Black, Christopher (2001). Early Modern Italy. Routledge. ISBN 0-415-21434-3.

Bokenkotter, Thomas (2004). A Concise History of the Catholic Church (https://archive.org/details/con


cisehistoryof00boke) . Doubleday. ISBN 0-385-50584-1.

Brown, Stewart J.; Tackett, Timothy, ed. (2007). Cambridge History of Christianity: Jilid 7,
Enlightenment, Reawakening and Revolution 1660-1815. ISBN 052181605X.

Bruni, Frank; Burkett, Elinor (2002). A Gospel of Shame: Children, Sexual Abuse, and the Catholic Church
(https://archive.org/details/gospelofshamechi00brun) . Harper Perennial. hlm. 336. ISBN 978-0-06-
052232-2.

Casey, James (1999). Early Modern Spain: A Social History (Social History of Modern Europe).
Routledge. ISBN 0-415-20687-1.
Chadwick, Henry (1990). "The Early Christian Community". Dalam McManners, John. The Oxford
Illustrated History of Christianity (https://archive.org/details/oxfordillustrate00mcma) . Oxford
University Press. hlm. 20 (https://archive.org/details/oxfordillustrate00mcma/page/20) –61.
ISBN 0-19-822928-3.

Chadwick, Owen (1995). A History of Christianity. Barnes & Noble. ISBN 0-7607-7332-7.

Chadwick, Owen (1990) [1964]. The Reformation (https://archive.org/details/reformation0000chad_


z8f9) . Penguin. ISBN 0-14-013757-2.

Collins, Michael; Price, Mathew A. (1999). The Story of Christianity (https://archive.org/details/storyof


christian0000coll) . Dorling Kindersley. ISBN 0-7513-0467-0.

Duffy, Eamon (1997). Saints and Sinners, a History of the Popes (https://archive.org/details/saintssinn
ershis00duff) . Yale University Press. ISBN 0-300-07332-1.

Dussel, Enrique (1981). A History of the Church in Latin America (https://archive.org/details/historyofc


hurchi0000duss) . Wm. B. Eerdmans. ISBN 0-8028-2131-6.

Edward, John Emerich (1908). The Cambridge Modern History (https://archive.org/details/cambridge


modern05benigoog) . Macmillan & Co. ltd., original from Harvard University. ISBN 0-674-02585-7.

Fahlbusch, Erwin (2007). The Encyclopedia of Christianity (https://books.google.com/?id=7ly4DgtT3Lk


C&pg=PA729&dq=old+catholic+church,+origin) . Wm. B. Eerdmans. ISBN 0-8028-2415-3.

Franzen, August; Bäumer, Remigius; Fröhlich, Roland (2000). Kleine Kirchengeschichte (dalam bahasa
German). Freiburg: Herder. ISBN 978-3-451-26896-0.(quoted as Franzen)

Franzen, August; Bäumer, Remigius (1988). Papstgeschichte (dalam bahasa German). Freiburg:
Herder. ISBN 3-451-08578-X.(quoted as Franzen, Papstgeschichte)

Haigh, Christopher (1987). The English Reformation Revised. Cambridge University Press. ISBN 0-521-
33631-7.

Hitchcock, Susan Tyler; Esposito, John (2004). Geography of Religion (https://archive.org/details/geo


graphyofrelig0000hitc_r6d0) . National Geographic Society. ISBN 0-7922-7313-3.

Jackson, Robert H. (2000). From Savages to Subjects: Missions in the History of the American
Southwest. ME Sharpe, Inc. ISBN 978-0-7656-0597-9.

Jackson, T.A. (1991). Ireland Her Own. Lawrence & Wishart. ISBN 0-85315-735-9.

Bruce E. Johansen (2006). The Native Peoples of North America. Rutgers University Press. ISBN 0-
8135-3899-8.

Kamen, Henry (1997). The Spanish Inquisition. London: Weidenfeld & Nicolson. ISBN 0-297-81719-1.

King, Kenneth (1975). Mission to Paradise: The Story of Junipero Serra and the Missions of California (h
ttps://books.google.com/?id=R_o8AAAAIAAJ&dq=junipero+serra&q=death+of+indians+by+diseas
e) . Society of California Pioneers.
Koschorke, Klaus; Ludwig, Frieder; Delgado, Mariano (2007). A History of Christianity in Asia, Africa,
and Latin America, 1450–1990. Wm B Eerdmans Publishing Co. ISBN 978-0-8028-2889-7.

Langan, Thomas (1998). The Catholic Tradition (https://archive.org/details/catholictraditio00lang_


0) . University of Missouri Press. ISBN 978-0-8262-6096-3.

Le Goff, Jacques (2000). Medieval Civilization (https://archive.org/details/medievalciviliza0000lego


_l6n6) . Barnes & Noble. ISBN 978-0-7607-1652-6.

Leith, John (1963). Creeds of the Churches (https://books.google.com/?id=fOaXP-CjPOIC&pg=PA143


&lpg=PA143&dq=first+vatican+council) . Aldine Publishing Co. ISBN 0-664-24057-7.

MacCulloch, Diarmaid (2010). Christianity: The First Three Thousand Years (https://archive.org/detail
s/christianityfirs0000macc) . Viking. ISBN 978-0-670-02126-0. (originally published 2009 by Allen
Lane, as A History of Christianity)

MacMullen, Ramsay (1984). Christianizing the Roman Empire: (A.D. 100–400) (https://archive.org/deta
ils/christianizingro00macm_0) . New Haven, CT: Yale University Press. ISBN 978-0-585-38120-6.

Markus, Robert (1990). "From Rome to the Barbarian Kingdom (339–700)". Dalam McManners, John.
The Oxford Illustrated History of Christianity (https://archive.org/details/oxfordillustrate00mcma) .
Oxford University Press. hlm. 62 (https://archive.org/details/oxfordillustrate00mcma/page/62) –91.
ISBN 0-19-822928-3.

McManners, John (1990). The Oxford Illustrated History of Christianity (https://archive.org/details/oxf


ordillustrate00mcma) . Oxford University Press. ISBN 0-19-822928-3.

Norman, Edward (2007). The Roman Catholic Church, An Illustrated History (https://archive.org/detail
s/romancatholicchu0000norm) . University of California Press. ISBN 978-0-520-25251-6.

Orlandis, Jose (1993). A Short History of the Catholic Church (https://books.google.com/?id=M8kjqryq


8dIC&dq=catholic+church+and+world+history&pg=PP1&q=Catholic+church+and+world+history&cd
=1) . Scepter Publishers. ISBN 1-85182-125-2.

Pham, John Peter (2006). Heirs of the Fisherman: Behind the Scenes of Papal Death and Succession.
Oxford University Press. ISBN 0-19-517834-3.

Riley-Smith, Jonathan (1997). The First Crusaders (https://archive.org/details/firstcrusaders1000jo


na) . Cambridge University Press. ISBN 978-0-511-00308-0.

Samora, Julian; Simon, Patricia Vandel; Candelaria, Cordelia; Pulido, Alberto L (1993). A History of the
Mexican-American People (https://archive.org/details/historyofmexican00samo) . University of
Notre Dame Press. ISBN 978-0-268-01097-3.

Schama, Simon (2003) [2000]. "Burning Convictions". A History of Britain 1: At the Edge of the World?.
London: BBC Worldwide. hlm. 309–11. ISBN 0-563-48714-3.

Scheina, Robert L. (2007). Latin America's Wars: The Age of the Caudillo (https://books.google.com/?i
d=8aWQ_7oKJfkC&pg=PA33&lpg=PA33&dq=cristero+war+priests+killed) . Brassey's. ISBN 1-57488-
452-2.
Scruton, Roger (1996). A Dictionary of Political Thought (https://archive.org/details/dictionaryofpoli00
00scru_h0g0) . Macmillan. ISBN 0-330-28099-6.

Solt, Leo Frank (1990). Church and State in Early Modern England, 1509-1640 (https://archive.org/detai
ls/churchstateinear0000solt) . Oxford University Press. ISBN 0-19-505979-4.

Stacy, Lee (2003). Mexico and the United States. Marshall Cavendish. ISBN 0-7614-7402-1.

Steinfels, Peter (2003). A People Adrift: The Crisis of the Roman Catholic Church in America (https://arc
hive.org/details/peopleadriftcris0000stei) . Simon & Schuster. ISBN 0-684-83663-7.

Tyerman, Christopher (2006). God's War: A New History of the Crusades (https://archive.org/details/go
dswarnewhistor00tyer) . Harvard University Press. ISBN 0-674-02387-0.

Vidmar, John (2005). The Catholic Church Through the Ages (https://archive.org/details/catholicchurc
hth0000vidm) . Paulist Press. ISBN 0-8091-4234-1.

Walsh, Mary Ann; Thavis, John (2003). John Paul II: A Light for the World, Essays and Reflections on
the Papacy of (https://books.google.com/?id=pWkVkkWcNIUC&pg=PA62&lpg=PA62&dq=john+paul+ii
+no+place+in+priesthood+for+those+who+would+abuse+children) . Rowman & Littlefield. ISBN 1-
58051-142-2.

Woods Jr, Thomas (2005). How the Catholic Church Built Western Civilization (https://archive.org/deta
ils/howcatholicchurc0000wood) . Regnery Publishing, Inc. ISBN 0-89526-038-7.

Woolner, David (2003). FDR, The Vatican and the Roman Catholic Church in America, 1933–1945 (http
s://books.google.com/?id=jMvaoXvJ4VcC&dq=role+of+catholic+church+during+world+war+ii&pg=P
P1&q=Role+of+Catholic+Church+during+World+War+II&cd=2) . Macmillan. ISBN 978-88-209-7908-
9.

Diperoleh dari
"https://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Sejarah_Gereja_Katolik&oldid=20769670"


Terakhir disunting 8 hari yang lalu oleh InternetArchiveBot

Anda mungkin juga menyukai