Anda di halaman 1dari 15

Etika dan Moral Administrasi Negara

Dikirim: 13 Dec 2017, 07:12

Masalah etika memiliki potensi dan peran yang sangat penting dalam proses administrasi negara. Etika
administrasi negara merupakan salah satu wujud kontrol terhadap administrasi negara dalam
melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi dan kewenangannya. Manakala administrasi negara
menginginkan sikap, tindakan dan perilakunya dikatakan baik, maka dalam menjalankan tugas pokok,
fungsi dan kewenangannya harus menyandarkan pada etika administrasi negara. Etika administrasi
negara di samping digunakan sebagai pedoman, acuan, referensi administrasi negara dapat pula
digunakan sebagai standar untuk menentukan sikap, perilaku, dan kebijakannya agar dapat dikatakan
baik atau buruk.

Pertimbangan – pertimbangan etika sama sekali bukan merupakan langkah mundur, tetapi justru
merupakan upaya untuk menemukan pranata – pranata pembangunan yang berwatak dan bermoral
serta mendapatkan bentuk interaksi yang ideal antara aparat negara dengan setiap warga Negara. Hal
ini disebabkan karena masalah etika negara merupakan standar penilaian administrasi negara mengenai
tindakan administrasi negara yang menyimpang dari etika administrasi negara (mal administrasi) dan
faktor yang menyebabkan timbulnya mal administrasi dan cara mengatasinya.

Law enforcement sangat membutuhkan adanya akuntabilitas dari birokrasi dan manajemen
pemerintahan sehingga penyimpangan yang akan dilakukan oleh birokrat – birokrat dapat terlihat dan
ter–akuntable dengan jelas sehingga akan memudahkan law enforcement untuk menata ulang
manajemen pemerintahan Indonesia yang sehat dan berlandaskan pada prinsip – prinsip good
governance dan berasaskan pada nilai – nilai etika administrasi negara.

Pada pemerintahan yang bersih (clean good governance) terkait law enforcement dalam menjalankan
tugas, fungsi dan wewenang yang diberikan kepadanya, pemerintahan tidak melakukan tindakan –
tindakan yang menyimpang dari etika Administrasi publik (mal- administration) yang akan mengabaikan
law enforcement pada penataan ulang pemerintahan di Indonesia. Sehingga pada tujuan law
enforcement terdapat:

Birokrat – birokrat pemerintah dari pemerintahan, yang ditentukan oleh kualitas sumber daya
apaturnya,

Perimbangan kekuasaan yang mencerminkan sistem pemerintahan yang harus diberlakukan,


Kelembagaan yang dipergunakan oleh birokrat – birokrat pemerintahan untuk mengaktualisasikan
kinerjanya,

Kepemimpinan dalam birokrasi publik yang berakhlak, berwawasan (visionary), demokratis dan
responsive terhadap revitalisasi penataan ulang pemerintahan Indonesia (reinventing government).

Pengertian Etika

Dalam banyak tulisan filosofis, jarang ditemukan penggunaan istilah “etika dan moral” secara konsisten.
Etika berasal dari bahasa Yunani; ethos, yang artinya kebiasaan atau watak sedangkan moral berasal dari
bahasa Latin; mos (jamak : mores) yang artinya cara hidup atau kebiasaan. Secara epistemologis,
pengertian etika dan moral memiliki kemiripan namun sejalan dengan perkembangan ilmu, ada
beberapa pergeseran yang kemudian membedakannya.

Etika merujuk kepada dua hal. Pertama, etika berkenaan dengan disiplin ilmu yang mempelajari nilai –
nilai yang dianut oleh manusia beserta pembenarannya. Kedua, etika merupakan pokok permasalahan
dalam disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup dan hukum-hukum yang mengatur tingkah laku
manusia. Moral dalam pengertiannya yang umum menaruh penekanan kepada karakter dan sifat-sifat
individu yang khusus, di luar ketaatan kepada peraturan. Oleh karena itu, moral merujuk kepada tingkah
laku yang bersifat spontan seperti rasa kasih, kemurahan hati, kebesaran jiwa dan sebagainya, yang
kesemuanya tidak terdapat dalam peraturan-peraturan hukum.

Prinsip Nilai Etika Aministrasi Negara

Etika menurut Bertens (1977) adalah seperangkat nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan Darwin (1999)
mengartikan etika adalah prinsip-prinsip moral yang disepakati bersama oleh suatu kesatuan
masyarakat, yang menuntun perilaku individu dalam berhubungan dengan individu lain dalam
masyarakat.

Setiap individu memiliki kepentingan yang berbeda-beda, dan masing-masing menginginkan


kepentingannya itu terpenuhi. Namun, terpenuhinya suatu kepentingan biasanya menutut pemenuhan
kepentingan yang lain sehingga kepuasan setiap orang mustahil bias tercapai. Guna menjaga keutuhan
sistem dari adanya berbagai gejolak yang diakibatkan perselisihan kepentingan itu diperlukan pranata
negara sebagai pihak yang berwenang mengatur, menyesuaikan atau menentukan prioritas bagi
terpenuhinya kepentingan serta tujuan berbagai pihak. Sarana yang memadai untuk melaksanakan hal-
hal ini biasa disebut birokrasi.

Dewasa ini masyarakat begitu peka dengan istilah birokrasi. Hampir semua lapisan masyarakat
mengenal birokrasi. Namun, banyak hal yang tergambar di benak orang jika membicarakan birokrasi
ialah urusan-urusan menjengkelkan yang berkenaan dengan pengisian formulir-formulir, proses
perolehan izin yang melalui banyak kantor secara berantai, aturan-aturan ketat yang mengharuskan
seseorang melewati banyak sekali formalitas, dan sebagainya. Akan tetapi birokrasi yang sesungguhnya,
dimaksudkan sebagai sarana bagi pemerintah yang berkuasa untuk melaksanakan pelayanan publik
sesuai dengan aspirasi masyarakat.

Selanjutnya Darwin (1999) juga mengartikan Etika Birokrasi (Administrasi Negara) adalah sebagai
seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi. Dengan
mengacu pada kedua pendapat ini, maka etika mempunyai fungsi sebagai pedoman, acuan, referensi
bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar
tindakannya dalam birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi
dinilai baik atau buruk, tidak tercela dan terpuji.

Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat dijadikan sebagai acuan, referensi, penuntun bagi
birokrasi publik dalam melaksananakan tugas dan kewenangannya antara lain adalah

Efisiensi, artinya tidak boros. Sikap, perilaku dan perbuatan birokrasi publik dikatakan baik jika mereka
efisien

Membedakan milik pribadi dengan milik kantor, artinya milik kantor tidak digunakan untuk kepentingan
pribadi

Impersonal, maksudnya dalam melaksanakan hubungan kerjasama antara orang yang satu dengan
lainnya secara kolektif diwadahi oleh organisasi, dilakukan secara formal, maksudnya hubungan
impersonal perlu ditegakkan untuk menghindari urusan perasaan daripada unsur rasio dalam
menjalankan tugas dan tanggung jawab berdasarkan peraturan yang ada dalam organisasi. Siapa yang
salah harus diberi sanksi dan yang berprestasi selayaknya mendapatkan penghargaan

Merytal system, nilai ini berkaitan dengan rekrutmen dan promosi pegawai, artinya dalam penerimaan
pegawai atau promosi pegawai tidak didasarkan atas kekerabatan, namun berdasarkan pengetahuan
(knowledge), ketrampilan (skill), sikap (attitude), kemampuan (capable), dan pengalaman (experience),
sehingga menjadikan yang bersangkutan cakap dan profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung
jawabnya dan bukan spoil system (adalah sebaliknya)

Responsible, nilai ini adalah berkaitan dengan pertanggungjawaban birokrasi publik dalam menjalankan
tugas dan kewenangannya

Accountable, nilai ini merupakan tanggung jawab yang bersifat obyektif sebab birokrasi dikatakan
akuntable bilamana mereka dinilai obyektif oleh masyarakat karena dapat mempertanggungjawabkan
segala macam perbuatan, sikap dan sepak terjangnya kepada pihak mana kekuasaan dan kewenangan
yang dimiliki itu berasal dan mereka dapat mewujudkan apa yang menjadi harapan publik (pelayanan
publik yang professional dan dapat memberikan kepuasan publik

Responsiveness, artinya birokrasi publik memiliki daya tanggap terhadap keluhan, masalah dan aspirasi
masyarakat dengan cepat dipahami dan berusaha memenuhi, tidak suka menunda – nunda waktu atau
memperpanjang alur pelayanan.

Akuntabilitas administrasi negara dalam pengertian yang luas melibatkan lembaga-lembaga publik
(agencies) dan birokrat untuk mengendalikan bermacam-macam harapan yang berasal dari dalam dan
adari luar organisasinya. Strategi untuk mengendalikan harapan-harapan dari akuntabilitas administrasi
publik melibatkan dua faktor kritis, pertama yaitu bagaimana kemampuan mendefinisikan dan
mengendalikan harapan-harapan yang diselenggarakan oleh manajemen pemerintahan. Kedua, derajat
kontrol keseluruhan terhadap harapan-harapan yang telah didefinisikan para birokrat.

Korupsi: Salah Satu Bentuk Mal-administrasi

Banyak “mal-praktik” dalam tubuh birokrasi yang diungkap oleh masyarakat, baik korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN). Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) adalah tindakan yang menyimpang hukum serta
penyelewengan law enforcement. Hal ini disebabkan karena etika admnistrasi negara dalam revitalisasi
manajemen pemerintahan dan upaya penataan ulang pemerintahan Indonesia tidak sesuai dengan good
governance.

Korupsi dapat diartikan sebagai bentuk perbuatan menggunakan barang public, bias berupa uang dan
jasa untuk kepentingan memperkaya ddiri dan bukan untuk kepentingan publik. Proses terjadinya dapat
dibedakan dalam tiga bentuk yaitu graft, bribery dan nepotism.
Graft, merupakan korupsi yang bersifat internal, artinya korupsi yang dilakukan tanpa melibatkan pihak
ketiga. Seperti menggunakan atau mengambil barang kantor, uang kantor, jabatan kantor untuk
kepentingan diri sendiri. Korupsi ini terjadi karena mereka mempunyai kedudukan dan jabatan di kantor
tersebut. Dengan wewenangnya, bawahan tidak dapat meolak permintaan atasan.

Sementara bribery (penyogokan, penyuapan) merupkan tindakan korupsi yang melibatkan orang di luar
dirinya (instansinya), biasa disebut dengan korupsi eksternal. Artinya korupsi tersebut tidak dapat terjadi
jika tidak ada orang lain yang melakukan tindakan penyuapan atau penyogokan terhadap dirinya.
Tindakan pemberian sesuatu (penyuapan, penyogokan) dimaksudkan agar dapat mempengaruhi
objektifitas dalam membuat keputusan, atau keputusan yang dibuat akan menguntungkan si pemberi.
Pemberian sesuatu dapat berupa materi, uang dan juga jasa.

Nepotism merupakan suatu tindakan korupsi berupa kecenderungan pengambilan keputusan yang tidak
berdasarkan pada pertimbangan objektif, rasional tetapi didasarkan atas pertimbangan “nepitis”,
“kekerabatan”, seperti masih teman, keluarga, golongan, pejabat dan lain sebagainya. Pertimbangan
pengambilan keputusan ini seringkali untuk kepentingan orang yang membuat keputusan. Mereka akan
lebih aman dan nyaman jika orang yang berada di sekitarnya (anak buahnya) adalah orang-orang yang
masih “nepotism” atau masih kerabat dekat. Jika mereka melakukan tindakan penyimbangan mereka
akan aman dan dilindungi.

Korupsi di atas adalah korupsi yang dilihat dari proses terjadinya. Namun dilihat dari sifat korupsinya
dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu korupsi individualis dan korupsi sistemik.

Korupsi individualis, merupakan penyimpangan yang dilakukan oleh salah satu atau beberapa orang
dalam suatu organisasi dan berkembang suatu mekanisme muncul, hilang dan jika ketahuan pelaku
korupsi akan terkena hukuman, bias berupa dijauhi, dicela, disudukan dan bahkan diakhiri nasib
karirnya.

Korupsi sistemik merupakan suatu korupsi ketika yang melakukan korupsi adalah sebagian besar
(kebanyakan orang) dalam suatu organisasi (melibatkan banyak orang). Dikatakan sistemik, karena
tindakan korupsi ini bias diterima sebagai sesuatu yang wajar/biasa (tidak menyimpang) oleh orang yang
berada di sekitarnya. Jika ketahuan, maka di antara mereka yang terlibat saling melindungi, menutup-
nutupi dan mendukung satu sama lain untuk menyelamatkan orang yang ketahuan tersebut. Hal ini
disebabkan agar instansinya tidak tercemar, sehingga walaupun mereka tau ada tindakan korupsi
mereka lebih baik “diam”, daripada mereka dikucilkan atau dijadikan saksi dalam perkara tindakan
korupsi tersebut.

Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Mal-Administrasi

Faktor internal

Faktor internal berupa kepribadian seseorang, berwujud suatu niat, kemauan dan dorongan yang
tumbuh dalam diri seseorang untuk melakukan tindakan-tindakan mal-administrasi. Hal ini disebabkan
lemahnya mental seseorang, dangkalnya agama dan keimanan sehingga memudahkan untuk melakukan
sesuatu tindakan walaupun sesungguhnya tindakan tersebut tidak baik, tercela dan buruk baik menurut
nilai-nilai sosial maupun menurut ajaran agama.

Faktor eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang berada di luar diri orang yang melakukan tindakan mal-administrasi,
bias berupa lemahnya peraturan, lemahnya lembaga kontrol, lingkungan kerja dan lain sebagainya yang
membuka peluang (kesempatan) untuk melakukan tindakan korupsi.

Peraturan perundangan merupakan suatu tatanan nilai yang dibuat dan diikuti oleh para pegawai dalam
menjalankan tugas dan kewajiban yang diberikan kepadanya. Manakala peraturan memberi kelonggaran
bagi pegawai untuk melakukan tindakan mal-administrasi, karena peraturannya tidak jelas, sanksi yang
diberikan lemah, maka akan memberikan peluang (kesempatan) pegawai melakukan tindakan mal-
administrasi tersebut. Misalnya, walaupun telah ada peraturan perundangan anti korupsi yaitu Undang-
Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
namun peraturan perundangan tersebut tidak efektif untuk mencegah tindakan korupsi.

Etika Administrasi Birokrasi dalam praktik


Sistem penyelenggaraan pemerintahan negara merupakan unsur yang penting dalam suatu negara. Oleh
karena itu, maka tidak berlebihan apabila salah satu faktor penentu krisis nasional dan berbagai
persoalan yang melanda bangsa Indonesia bersumber dari kelemahan di bidang manajemen
pemerintahan, terutama birokrasi, yang tidak mengindahkan prinsip–prinsip tata pemerintahan yang
baik.

Konsep-konsep tentang nilai moral dan etika dalam administrasi pemerintahan dirumuskan untuk
diterapkan dalam kehidupan kenegaraan dan lingkup administrasi yang sesungguhnya. Kemanfaatan
konsepsi etika tersebut hanya akan terasa apabila benar-benar menjadi bagian dari dinamika
administrasi modern. Dalam banyak hal, konsep dan teori filosofis mengenai moralitas dalam bidang
administrasi negara berasal dari praktek administrasi sehari-hari.

Asas – Asas Umum Birokrasi Pemerintahan yang Baik

Setiap negara memiliki konteks budaya yang berbeda-beda, kebutuhan masyarakat pada suatu waktu
yang selalu berubah dan masalah yang dihadapi oleh setiap negara pun berbeda, sehingga merumuskan
asas umum pemerintahan yangbaik dalam satu kata adalah upaya yang sulit. Dalam konteks negara
Indonesia, sebagian besar rakyat Indonesia sepakat bahwa pada pemerintahan orde lama berhasil
meletakkan dasar Nasionalisme bagi bangsa Indonesia tetapi gagal dalam merumuskan program–
program pembangunan yang menyentuh rakyat.

Pada masa pemerintahan orde baru, pemerintahan orde baru, pemerintah memang telah berhasil
melaksanakan pembangunan kemakmuran ekonomis dan stabilitas nasional melalui program-program
yang pragmatis, namun orang mulai berpikir bahwa kemakmuran materi bukan satu-satunya tujuan
yang harus dicapai. Tampaklah bahwa perkembangan situasi politik, sosial and budaya serta dinamika
masyarakat turut mempengaruhi opini masyarakat tentang sistem administrasi pemerintahan yang
ideal. Interpretasi dan pendapat individual mempengaruhi wujud pemerintahan yang didambakan oleh
masyarakat, namun demikian landasan pemikiran yang disepakati oleh sebagian besar masyarakat dapat
dipakai sebagai pedoman.

1. Prinsip Demokrasi

Pemerintahan dengan prinsip demokrasi pada dasarnya berasas pada kedaulatan rakyat. Asas
kedaulatan rakyat mensyaratkan bahwa rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam
pemerintahan negara, rakyat yang menentukan jalannya negara dan pemerintahan. Di dalam
pemerintahan yang berasas kedaulatan rakyat, maka kepentingan rakyatlah yang diutamakan karena
kepentingan rakyat menempati kedudukan yang paling tinggi. Dasar dari konsep demokrasi menyangkut
penilaian tentang nilai manusia, martabat manusia dan kesamaan di hadapan hukum. Demokrasi
mendambakan terciptanya suatu sistem kemasyarakatan dimana setiap warga negaranya mempunyai
kedudukan yang sama dan adil. Oleh karena itu dalam pemerintahan dengan prinsip demokrasi,
hendaknya setiap aktivitas birokrasi pemerintahan dalam mewujudkan kepentingan rakyat berjiwa
demokrasi, dapat dipertanggungjawabkan dan efisien.

2. Keadilan Sosial dan Pemerataan

Keadilan sosial dan pemerataan kesejahteraan tercapai apabila tidak terjadi ketimpangan distribusi
hasil-hasil pembangunan antar kelompok masyarakat yang kaya dan miskin serta antar daerah/wilayah
geografis, antara perkotaan dan pedesaan. Oleh karena itu aparat birokrasi membuat kebijakan-
kebijakan yang dapat menyeimbangkan kebutuhan masyarakat miskin dan masyarakat pedesaan
dengan kebutuhan masyarakat kaya dan masyarakat perkotaan.

3. Mengusahakan Kesejahteraan Umum

Suatu kekuasaan negara legitimate, apabila negara tersebut melalui kegiatan-kegiatannya dapat
meningkatkan kesejahteraan umum bagi rakyatnya. Rakyat akan menerima dengan senang kewajiban-
kewajiban dari negara yang dibebankan kepada rakyat, asalkan dengan kewajiban tersebut rakyat
menjadi lebih sejahtera. Oleh karena itu, setiap aparat birokrasi pemerintah harus mempunyai
komitmen yang tulus untuk memperhatikan kesejahteraan rakyat

4. Mewujudkan Negara Hukum

Mewujukan negara hukum adalah amanat dari konstitusi. Oleh karena itu, aparatur pemerintahan
bersama dengan seluruh rakyat akan mewujudkan suatu pemerintahan yang dijalankan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan. Jadi aparat pemerintahan dalam melaksanakan tugasnya harus sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.

5. Dinamika dan Efisiensi


Dinamika dapat diartikan sebagai kemampuan adaptasi organisasi yang baik sehingga aparat pemerintah
sanggup mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan dapat mengeluarkan
kebijakan-kebijakan yang tepat dan responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang terus
berkembang. Selain itu, ukuran kinerja bagi birokrasi pemerintahan adalah efisiensi. Efisiensi harus tetap
mengutamakan kepuasan dan kelancaran layanan publik serta memperhitungkan pemakaian tenaga
kerja, prosedur pelayanan dan biaya yang dikeluarkan.

B. Administrasi dan Nilai – Nilai Yudisial Norma Pengawasan

Pembuatan keputusan merupakan penopang utama kegiatan administrasi. Sebagian besar proses
administrasi berupa serangkaian pemilihan alternatif tindakan atau pengambilan keputusan. Waktu
yang tersedia untuk mempertimbangkan keputusan-keputusan tersebut seringkali sangat sempit karena
permasalahan yang ada membutuhkan penanganan segera. Sementara itu, pertimbangan efisiensi
terkadang tidak memungkinkan bagi para pejabat pemerintah untuk berlama-lama memikirkan akibat
dari suatu keputusan atau mencari landasan legalitas dari kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Oleh
karena itu, pejabat pemerintah dituntut mampu menjawab persoalan-persoalan secara pragmatis.

Maka dalam menjalankan tugas-tugasnya, para pejabat pemerintah selalu berada di tengah-tengah
kontradiksi antara pertimbangan pragmatis dan pertimbangan legalitas. Dia harus mampu
menyeimbangkan antara preferensi pribadi, kemauan membuat undang-undang, serta peraturan-
peraturan yang berlaku dalam lembaga tempat pejabat pemerintah tersebut mengabdi.

Untuk membuat keputusan, haruslah dilaksanakan dengan hasil pertimbangan yang baik dan tidak
merugikan kedua belah sisi, baik Pemerintah maupun masyarakat, karena hasil keputusan tidak jarang
membawa keributan ataupun demo-demo dari kalangan masyarakat yang tidak terima dengan
keputusan dari pemerintah tersebut. Sebagai contoh, kenaikan harga bahan bakar minyak atau
ditariknya subsidi oleh pemerintah yang berdampak pada kenaikan harga barang di pasaran.

Pembuat keputusan merupakan penopang dalam administrasi. Pertimbangan lain untuk pengambilan
keputusan pragmatis adalah kenyataan bahwa rumusan-rumusan legal yang ada seringkali tidak mampu
menjawab situasi permasalahan yang tengah dihadapi. Ketika mengambil suatu kebijakan, para pejabat
publik kadang kurang bisa melihat keseluruhan aspek yang terkait dalam suatu permasalahan publik.
Perkembangan sistem ketatanegaran di seluruh dunia selama setengah abad terakhir menunjukkan
meluasnya pengakuan atas hak-hak rakyat. Pernyataan-pernyataan tentang hak asasi antara lain
meliputi kebebasan untuk berbicara dan berkumpul, hak hidup dan hak milik, serta hak atas
perlindungan yang sama. Ada dua manfaat yang dapat ditarik dari keterlibatan lembaga-lembaga
peradilan tersebut. Pertama, tentu saja adalah terlindunginya kepentingan-kepentingan rakyat,
terutama pihak warga negara yang kedudukannya lemah. Kedua adalah manfaat yang diperoleh dari
reformasi yang berkesinambungan atas tata kerja dalam institusi-institusi publik serta cara-cara dalam
pengambilan kebijakan oleh aparat-aparatnya. Kemudian perkembangan signifikan adalah ekspansi
tanggungjawab legal bagi administrator publik.

Untuk mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan administrasi negara secara judicial, pemerintah
bersama-sama dengan Dewan perwakilan telah mengesahkan undang-undang PTUN. Untuk
menciptakan sistem administrasi pemerintahan yang tertib, mencegah kebocoran uang negara, serta
menjamin efektivitas dan efisiensi, lembaga-lembaga pemerintah harus memiliki pemeriksa yang
berpotensi dan berkualitas tinggi. Dalam menjalankan tugas-tugas pengawasan, aparat juga harus
memiliki sikap batin tertentu. Diantara kualitas batin tersebut adalah sikap sanksi (suspicious mind),
ingin tahu lebih banyak (inquisitive mind), logis dan analitis (logical and analytical mind) dan akurat
(accurate).

Dari keseluruhan tolak ukur normatif yang dapat digunakan untuk menilai kinerja organisasi-organisasi
publik, tampak bahwa “kebajikan” yang dapat diberikan oleh aparatur pemerintah hanya dapat
terwujud jika mengacu kepada kepentingan umum secara obyektif atau netralitas birokrasi.

C. Kearifan dan Kebijakan

Perkembangan konstelasi politik dan ekonomi di Indonesia selama beberapa dasawarsa terakhir
menampakkan tiga kecenderungan utama. Pertama, meningkatnya kemakmuran dengan semakin
terpenuhinya kebuthan ekonomi. Kedua, meluasnya kekuasaan birokrasi pada setiap jenjang
administrasi pemerintah. Dan yang ketiga, meningkatnya kekuasaan politis bagi para eksekutif dalam
jajaran pemerintah. Meningkatnya kekuasaan politis para eksekutif berarti meningkat pula peranan
birokrat dan administrator dalam penentuan kebijakan-kebijakan yang menyangkut masyarakat luas.

Ketika seorang pejabat pemerintah mendapatkan jabatan yang lebih tinggi, maka dituntut syarat
kearifan karena akan semakin banyak terlibat dalam bidang manajerial daripada teknis. Semakin tinggi
jabatan seseorang semakin banyak orang lain yang akan dipengaruhi oleh keputusan-keputusan pejabat
tersebut, sehingga semakin beresiko ketidakpuasan di antara bawahan ataupun masyarakat.

Pejabat yang arif (Kumorotomo, 2007, hal. 327) adalah pejabat yang mampu menjaga supaya
keputusan-keputusannya diterima oleh sebagian besar dengan landasan kebenaran yang hakiki.
Tanggungjawab seorang pejabat pemerintahan dengan demikian bukan hanya pada organisasi yang
dikelolanya atau kepada atasannya saja, akan tetapi kepada warga negara yang secara langsung ataupun
tidak langsung terkena kebijakan yang diambilnya.

Kebenaran suara hati menuntut agar manusia tidak dipaksa untuk bertindak melawan suara hati. Hak
untuk bertindak sesuai dengan suara hati akan menemukan batasan pada hak orang lain. Kebebasan
suara hati tidak boleh sampai mengurangi atau mempengaruhi hak orang lain, atau bertentangan
dengan kepentingan masyarakat yang wajar (Magis-Suseno, 1999 hal 149). Keterbukaan aparatur
pemerintah dan perlakuan yang adil atau fair sangat penting dalam wacana tugas layanan publik.
Manusia yang bermoral, demikian juga administrasi publik menjadi etis hanya akan ada jika
administrator itu memiliki kemauan untuk bersifat arif sehingga beretika (Sayuti, 2011, hal. 149), tanpa
adanya takut akan hukuman atau harap akan ganjaran, tanpa taku celaan atau harap akan pujian, dan
tanpa takut terkena sanksi atau memperoleh promosi.

Kearifan dalam pengambilan kebijakan mutlak diperlukan, mengingat dewasa ini terdapat
kecenderungan meningkatnya peran pejabat publik atau administrator pemerintahan dalam penentuan
kebijakan-kebijakan yang menyangkut masyarakat luas. Disinilah arti pentingnya kearifan, yang
merupakan landasan etis bagi aparatur pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan guna mewujudkan
kesejahteraan rakyat dan kemanjuan bangsa.

Konsep kearifan menjadi bahan pertimbangan dalam melaksanakan penempatan atau mutasi sehingga
akan meminimalisir timbulnya konflik yang berkepanjangan dan ketidaksepahaman, untuk bias
menjalankan proses pemerintahan yang baik dalam masa transisi dari setralistik ke desentralisasi tidak
semua kemauan Pejabat Publik langsung diterapkan tetapi perlu ada perenungan dan pertimbangan
kearifan sehingga pemerintahan akan berjalan dengan baik.

Dalam membuat kebijakan, seorang pejabat dapat menggunakan interpretasinya terhadap gagasan
tertentu, individu atau kelompok secara positif maupun negatif. Untuk menerapkan gagasan secara
benar, mengelola sumber daya negara dengan tanggungjawab, menetukan alternatif keputusan secara
objektif dan menerapkan prosedur dengan baik, seorang pejabat harus memiliki kualitas pribadi yang
prima. Bailey menguraikan tiga kualitas yang diperlukan bagi seorang pembuat kebijakan yaitu sebagai
berikut :

1. Optimisme

Sifat ini tidak ditafsirkan sebagai kesenangan untuk menganggap mudah semua masalah, tetapi suatu
kecenderungan untuk berasumsi tentang kemungkinan untuk mendapatkan hasil-hasil yang positif,
yakin bahwa peluang untuk memecahkan persoalan selalu ada.

2. Keberanian (courage)

Sifat ini memerlukan kekuatan pribadi dan komitmen yang benar. Pembuat kebijakan harus berani
menolak tekanan-tekanan yang tidak sah dari para politisi, pengaruh kelompok-kelompok kepentingan
yang kuat atau intimidasi dari para pakar dan orang-orang yang mengandalkan favoritisme.

3. Keadilan yang berwatak kemurahan hati

Sifat ini menunjukkan kemampuan untuk menyeimbangkan komitmen atas orang atau kelompok
sasaran dengan perlakuan yang baku, yang sama serta suatu kepekaan atas perbedaan individual. Oleh
karena itu kearifan seorang pemimpin sangat dibutuhkan untuk menjadi perumus kebijakan yang baik.
Kepekaan dan empati sangat diperlukan karena walau bagaimanapun pejabat publik melayani manusia
yang tentunya punya martabat, harga diri dan perasaan. Dalam melayani masyarakat umum yang selalu
perlu diperhatikan adalah ketentuan mengenai keadilan prosedural.

D. Kode Etik sebagai pedoman dalam Pelaksanaan Administrasi Negara

Kode etik dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanksi atau hukuman dari pihak luar, setiap
orang tetap menaatinya. Jadi dorongan untuk mematuhi perintah dan kendali untuk menjauhi larangan
dari kode etik bukan dari sanksi fisik melainkan dari rasa kemanusiaan, harga diri, martabat dan nilai-
nilai filosofis. Kode etik juga merupakan hasil kesepakatan dan konvensi suatu kelompok sosial. Kode
etik adalah persetujuan bersama yang timbul dari para anggota untuk lebih mengarahkan
perkembangan mereka sesuai dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan. Pelaksanaan kode etik tidak
terbatas pada kaum profesi karena sesungguhnya setiap pekerjaan dan setiap jenjang keputusan
mengandung konsekuensi moral.

Manfaat lain dari perumusan kode etik adalah para aparat pemerintah akan memiliki kesadaran moral
atas kedudukan yang diperolehnya adri negara atas nama rakyat. Pejabat yang menaati norma-norma
dalam kode etik akan menempatkan kewajibannya sebagai aparat pemerintah (incumbency obligation)
di atas kepentingan-kepentingan akan karir dan kedudukan. Pejabat tersebut akan melihat kedudukan
sebagai alat, bukan sebagai tujuan. Oleh karena itu kode etik mengandaikan bahwa para pejabat publik
dapat berperilaku sebagai pendukung nilai-nilai moral dan sekaligus pelaksana dari nilai-nilai tersebut
dalam tindakan-tindakan nyata. Dalam kaitan ini, Fredericson dan Hart mengatakan :

…………………… public servant must be both moral philophers and moral active, which would require: first,
an understanding of, and believe in regime and second, a sense of extensive benevolence for the people
of the nation.

Sebagai aparat negara, para pejabat wajib menaati prosedur, tata kerja, dan peraturan-peraturan-
peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi pemerintah. Sebagai pelaksana kepentingan umum,
para pejabat wajib mengutamakan aspirasi masyarakat dan peka terhadap kebutuhan-kebutuhan
masyarakat tertentu. Dan sebagai manusia yang bermoral, pejabat harus memperhatikan nilai-nilai etis
di dalam berindak dan berperilaku. Seorang pejabat pemerintahan harus memiliki kewaspadaan spiritual
dan kewaspadaan profesional. Kewaspadaa spiritual merujuk pada penerapan nilai-nilai kearifan,
kejujuran, keuletan, sikap sederhana dan hemat, tanggungjawab serta akhlak dan perilaku yang baik.
Kewaspadaan profesional berarti menaati kaidah-kaidah teknis dan peraturan-peraturan sehubungan
dengan kedudukannya sebagai seorang pembuat keputusan.

Rumusan eksplisit kode etik yang berlaku bagi setiap pegawai atau pejabat pemerintah, ada bebarapa
sumber yang dapat dijadikan acuan. Salah satunya adalah ketentuan mengenai Sapta Prasetya KORPRI,
keputusan musyawarah KORPRI yang ketiga, No. Kep-05/MUNAS/1989 tanggal 1 Juni 1989 tentang
penyempurnaan kode etik Korps Pegawai Republik Indonesia bahkan dengan tegas mengatakan bahwa
Sapta Prasetya. Kode etik ini pertama kali dilontarkan pada musyawarah Nasional KORPRI, Sapta
Prasetya dimaksudkan sebagai landasan dasar kode etik (pasal 4 Keputusan Munas 1 KORPRI No.
3/MUNAS/1978). Inilah kode etik yang diberlakukan bagi para pegawai. Seorang pegawai atau pejabat
akan mengucapkan atau bahkan menghafal Sapta Prasetya maupun sumpah jabatan dengan mudah.
Namun, perenungan, penghayatan serta pengamalan dari apa yang diucapkan jauh lebih penting.
Untuk menerapkan kaidah-kaidah etis tersebut, para pegawai perlu merujuk kepada peraturan-
peraturan kepegawaian yang lebih operational, salah satu peraturan pemerintah yang memuat adalah
Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Di samping peraturan
dan ketentuan di atas, unsur-unsur etis yang langsung menyangkut pekerjaan sehari-hari seorang
pegawai dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Pelaksanaan
Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil.

Kode etik merumuskan nilai-nilai etis luhur dalam tugas-tugas administrasi negara. Kode etik merupakan
pedoman dalam bertindak. Mengenai pelaksanaannya dalam perilaku nyata, tergantung niat baik dan
sentuhan moral yang ada dalam diri pegawai atau pejabat sendiri. Kode etik dirumuskan untuk
penyempurnaan pekerjaan, mencegah hal-hal yang buruk dan untuk kepentingan bersama, maka setiap
pegawai dan pejabat diharapkan menaatinya dengan kesadaran yang tulus.

Paham idealisme etika mengatakan bahwa pada dasarnya setiap manusia adalah baik dan suka hal-hal
yang baik. Apabila ada orang-orang yang menyimpang dari kebaikan, itu semata-mata karena tidak tahu
norma untuk bertindak dengan baik atau tidak tahu cara-cara bertindak yang menuju ke arah kebaikan.
Yang diperlukan adalah suatu peringatan dan sentuhan nurani yang terus-menerus untuk menggugah
kesadaran moral dan melestarikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dan interaksi antar individu.

Pemerintah pada hakikatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani
diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap
anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreatifitas demi mencapai tujuan bersama
(Rasyid, 1998 : 139). Paradigma penyelenggaraan pemerintahan telah terjadi pergeseran dari paradigma
“rule government” menjadi “good government”, dimana dalam penyelenggaraan pemerintahan,
pembangunan, dan pelayanan publik melibatkan seluruh elemen, baik di dalam intern birokrasi maupun
di luar birokrasi publik.

Unsur utama penyelenggaraan manajemen pemerintahan yang baik adalah penting adanya akuntabilitas
(accountability), transparansi (transparancy), keterbukaan (oppeness), dan law enforcement (penegakan
hukum) “Bhata dalam nisjar (1997;119), sehingga melalui unsur-unsur tersebut dapat menciptakan
sistem administrasi negara di Indonesia yang efisien, efektf dan sekaligus bertanggungjawab.

Penulis:
Jimmy Arief Saud Parsaoran, S.T. - Prakom Pertama BKPSDMD

Sumber:

BKPSDMD

Anda mungkin juga menyukai