Anda di halaman 1dari 50

I.

PENDAHULUAN

1.1. Kerusakan Tanah


 Mengapa terjadi kerusakan tanah ?
 Meningkatnya populasi
 Memenuhi kebutuhan hidup
 Tanah → Berproduksi → Tingkat maksimum

Usaha : - Intensifikasi ( ↑ ton/ha)
- Ekstensifikasi (↑ m2)
 Tanah : Sumber Daya Alam (SDA) tidak dapat diperbaharui

Dipacu untuk berproduksi diluar batas kemampuan lahan
Dengan kebijakan pemerintah disektor pertanian :
 Panca usaha tani: Masukan pupuk N,P,K; Pestisida dan
Pengolahan Tanah, Tanpa diimbangi masukan UH mikro
terutama Fe, Ca dan Mg.
 Akibatnya :
 Ketidak seimbangan UH dalam tanah, berdampak pada
perubahan sifat fisik, kimia dan biologi tanah.
 Terjadi peningkatan pengangkutan UH, termasuk UH
yang tidak pernah ditambahkan, terutama UH mikro
seperti Ca dan Fe yang sangat berperan dalam
pemantapan agregat tanah.

1
 Mesin-mesin pertanian mengakibatkan pemadatan tanah
sehingga bobot isi meningkat dan menghambat pertum-
buhan akar.
 Pemadatan tanah mengakibatkan :
 Menurunkan kapasitas infiltrasi tanah
 Menurunkan kapasitas penyimpanan air
 Meningkatkan limpasan permukaan dan erosi.
 Kerusakan tanah dapat terjadi karena :
 Kegiatan perambah hutan
 Kegiatan pemegang HPH
 Penggunaan lahan kurang sesuai seperti lahan
miring.
 Pengelolaan yang tidak benar, tidak
memperhatikan kaedah konservasi tanah.
 Kegiatan penambangan emas.

1.2. Masalah Erosi


 Kerusakan yang ditimbulkan oleh erosi :
 Di daerah hulu : terjadi pengikisan; penurunan kesuburan
dan produktivitas tanah.
 Di daerah tengah: terjadi pengikisan; menurunnya
kapasitas infiltrasi dan meningkatnya aliran permukaan.

2
 Di daerah hilir : banjir; menurunnya kualitas air, penurun-
an muka air tanah; intrusi air laut; pendangkalan sungai.
 Ada tiga hal yang bertanggungjawab terhadap penurunan
produktivitas tanah karena erosi :
1) Penurunan kandungan bahan organik.
2) Penurunan kandungan hara tanaman.
3) Kekurangan air.

1.3. Ruang Lingkup Konservasi Tanah Dan Air


 Definisi Konservasi Tanah :
Penggunaan tanah sesuai dengan kemampuan dan memper-
lakukannya sesuai dengan persyaratan agar tanah tidak cepat
menjadi rusak.
 Usaha-usaha konservasi tanah ditujukan
untuk :
1) Mencegah kerusakan tanah
2) Memelihara serta menaikkan produktivitas tanah agar
tanah dapat berproduksi tinggi dalam jangka panjang.
3) Memperbaiki tanah yang telah rusak.

3
II. PROSES DAN MEKANISME EROSI

2.1. Jenis Erosi


 Erosi terbagi kedalam 3 jenis :
1). Erosi Geologi/Alam :
 Proses pengikisan kulit bumi yang terjadi secara alami.
 Proses erosi masih dalam keseimbangan alam artinya
kecepatan kehilangan tanah ≤ proses pembentukannya.
2). Erosi Dipercepat (Aceelerated Erosion)
 Erosi yang terjadi akibat aktivitas manusia → usaha
pertanian.
 Kecepatan kehilangan tanah > proses pembentukannya.
3). Erosi Diperbolehkan (permissible limit erosion)
 Batas laju kehilangan tanah tidak melebihi laju pem-
bentukan
 Penentuan nilai erosi diperbolehkan (Edp) harus memper-
timbangkan :
 Ketebalan lapisan tanah atas
 Sifat fisik tanah
 Pencegahan terjadinya selokan (gully)
 Penurunan bahan organik.

4
 Kehilangan zat hara tanaman.
 Laju pembentukan tanah
 Persamaan Untuk Menghitung Nilai Edp :
1) Hammer (1981) :
Kedalaman Tanah Ekivalen
Edp =
Kelestarian Tanah
Kedalaman ekivalen = Kedalaman Tanah x Faktor Kedalaman

2). ETOL = [ ( DE - Dmin ) / MPT ] + PT

Dimana :
ETOL = Erosi yang dapat ditoleransi (mm/tahun)
DE = Nilai Kedalaman Tanah Ekivalen
Dmin = Nilai kedalaman tanah minimum untuk masing-
-masing jenis tanaman (mm).
MPT = Masa Pakai Tanah
PT = Laju Pembentukan Tanah (mm)

2.2. Proses Dan Bentuk Erosi


 Dalam erosi ada 3 proses yang bekerja secara berurutan :
 Penghancuran/Pengikisan
 Pengangkutan
 Pengendapan
 Bentuk-bentuk erosi :
 Erosi Lembar

5
Terkikisnya permukaan tanah secara merata
 Erosi Alur
Terkumpulnya air yang mengalir pada lapisan permukaan
tanah sehingga membentuk selokan-selokan kecil (alur).
 Erosi Selokan
Alur-alur yang terbentuk semakin membesar ukurannya.
 Morgan (1979), membedakan bentuk erosi :
 Erosi percikan/pukulan butiran hujan
 Erosi limpasan permukaan
 Erosi alur
 Erosi selokan
 Carson dan Utomo (1986), menambahkan :
 Erosi massa
 Erosi tebing sungai, danau dan laut.
 Erosi Percikan :
Air hujan ↔ Gaya geser, gaya tekan dan gaya urai

Energi : Energi potensial & Energi kinetik

Tanah terdispersi & konsolidasi
 Kemampuan butiran hujan (Ek) mengerosikan tanah di-
pengaruhi oleh :
 Ukuran butiran hujan
 Gaya gesekan dengan udara

6
 Ketinggian jatuh
 Ketinggian genangan
 Erosi limpasan permukaan :
Butiran hujan → Menyumbat pori-pori di permukan

Terbentuk lapisan kerak yang tidak tembus air.

Kapasitas infiltrasi Menurun ↔ Terjadi limpasan permukaan
 Daya rusak limpasan permukaan dipengaruhi oleh kecepatan
aliran. Kecepatan aliran tergantung pada :
 Kedalamam aliran
 Kekasaran permukaan
 Kemiringan
 Limpasan permukaan baru dapat menyebabkan erosi apabila
energi limpasan permukaan > ketahanan tanah.
 Ketahanan tanah dipengaruhi oleh :
 Ukuran partikel tanah
 Pori-pori tanah
 Ketahanan/kemantapan agregat.
 Erosi Selokan :
Lihat Gambar 1 : Perkembangan erosi selokan oleh Morgan.
 Erosi Massa :
Terjadi : Sejumlah tanah secara bersama-sama berpindah
terangkut oleh air yang terkumpul, karena sebelumnya

7
terbentuk lapisan tanah yang tidak tembus air & jenuh air,
sedangkan lapisan bawah tidak dapat menyerap air → gaya
geser > kekuatan geser tanah → massa tanah pada lapisan
atas bergerak secara bersama.

2.3. Faktor Yang Mempengaruhi Erosi


 Erosi merupakan fungsi dari :
1. Hujan (H)
2. Tanah (T)
3. Kemiringan (K)
4. Vegetasi (V)
5. Manusia (M) atau E = ƒ (H,T,K,V,M)
 Faktor/fungsi ini sebagai dasar dari persamaan erosi USLE :
A = RXKXLSXCXP
U : Universal
S : Soil
L : Loss
E : Equation
Atau dikenal dengan istilah PUKT : Persamaan Umum
Kehilangan Tanah.
 Morgan (1979), Kemungkin terjadinya erosi berdasarkan
atas Faktor Energi yaitu : Hujan, Limpasan Permukaan,
Angin, Lereng dan Ketinggian.

8
 Faktor ketahanan tanah : Erodibilitas, Kapasitas infiltrasi,
dan Pengelolaan Tanah.
 Faktor pelindung : Tanaman penutup tanah dan tekanan
penduduk.
Gambar 1. Perkembangan Erosi Selokan (Morgan,

1979)

9
Lampiran 1.
Nilai Faktor Kedalaman 30 Sub Order Tanah
No Taxonomi Tanah Nilai Faktor
(Sub-Order) Kedalaman Tanah
1 Aqualf 0.90
2 Udalf 0,90
3 Ustalf 0,90
4 Aquent 0,90
5 Arent 1,00
6 Fluvent 1,00
7 Orthent 1,00
8 Psamment 1,00
9 Andept 1,00
10 Aquept 0,95
11 Tropept 1,00
12 Alboll 0,75
13 Aquoll 0,90
14 Rendoll 0,90
15 Udoll 1,00
16 Ustoll 1,00
17 Aquox 0,90
18 Humox 1,00
19 Orthox 0,90
20 Ustox 0,90
21 Aquod 0,90
22 Ferrod 0,95
23 Humod 1,00
24 Orthod 0,95
25 Aquult 0,80
26 Humult 1,00
27 Udult 0,80
28 Ustult 0,80
29 Udert 1,00
30 Ustert 1,00
Sumber : Arsyad (1989)

10
CONTOH PERHITUNGAN EROSI
YANG DIPERBOLEHKAN (Edp)

Contoh Soal 1 :
Diketahui :
Kedalaman Tanah (Hasil Pengukuran di Lapangan) : 1.250 mm.
Klasifikasi Jenis Tanah termasuk Sub-Order : Udult (UD)
Faktor Kedalaman : 0,80.
Hitunglah :
Nilai Erosi yang diperbolehkan (Edp) apabila Kelestarian Tanah yang
ditetapkan : 400 tahun.
Jawab :
Dengan menggunakan Rumus Hammer (1981) :
Kedalaman Tanah Ekivalen (KTe)
Edp =
Kelestarian Tanah
KTe = Kedalaman Tanah (hasil pengukuran lap.) x Faktor Kedalaman

KTe = 1.250 mm x 0.80 = 1.000 mm

Edp = 1.000 / 400 = 2,5 mm/tahun


Apabila diketahui nilai Bobot isi Tanah = 1,2 gr/cm3
Maka Volume Tanah dalam 1 hektar = 10.000 m2 x 2,5 mm
Atau : 10.000 m2 x 0,0025 m = 25 m3 = 25 x 106 cm3
Edp = 25 x 106 x 1,2 gram
= 30 x 106 gram
= 30 ton / ha / tahun

11
Contoh Soal 2:
Diketahui :
Lahan akan dibuka untuk perkebunan Karet
Kedalaman Tanah = 118 cm
Jenis Tanah = Ultisol dengan Sub-Order : Aquult
Dengan Nilai Faktor Kedalaman = 0,80
Bobot Isi Tanah = 1,37 gram/cm3
Masa Pakai Tanah = 300 tahun
Laju Pembentukan Tanah = 2,5 mm/tahun
Hitunglah :
Nilai Laju Erosi yang dapat ditoleransi dengan menggunakan
persamaan :
ETOL = [ ( DE - Dmin ) / MPT ] + PT
Jawab :
DE = 118 cm x 0,8
= 94,4 cm = 944 mm.
Berdasarkan Tabel :
Nilai Dmin untuk Tanaman Karet = 50 cm = 500 mm
ETOL = [ ( 944 - 500 ) / 300 ] + 2,5 mm
= 3,98 mm / tahun

Volume tanah dalam Luasan 1 ha lahan = 10.000 m2 x 0,00398 m


= 39,8 m3 = 39,8 x 106 cm3
ETOL = (39,8 x 106 ) x 1,37

12
= 54,5 x 106 gram
= 54,5 ton / ha / tahun

III. EROSIVITAS HUJAN

3.1. Sifat-sifat Hujan


 Setiap kejadian hujan mempunyai kemampuan yang berbeda
untuk menimbulkan erosi.
 Sifat hujan dicirikan berdasarkan : jumlah curah hujan,
intensitas dan sebaran.
 Hujan dapat diukur dari : besar butir, kecepatan jatuh, dan
energi kinetik (Ek).
 Energi kinetik dipengaruhi oleh ukuran butiran hujan, dan
kecepatan jatuh butiran hujan.
 Kecepatan jatuh dapat diukur dengan teknik foto kecepatan
tinggi.
 Pada waktu jatuh, butiran hujan menerima gaya gesekan
udara yang berlawanan dengan gravitasi.
 Gesekan udara pada masa hujan yang sama makin besar
dengan bertambahnya luas permukaan.
 Jadi makin kecil ukuran butiran hujan, maka makin besar
gesekan udara, sehingga kecepatan jatuhnya makin kecil.
 Diameter butiran hujan diukur dengan metode :
 Kertas absorbent

13
 Pelet tepung.

 Angin juga sangat berpengaruh terhadap kecepatan jatuh
butiran hujan. Hujan yang disertai angin mempunyai
kecepatan jatuh yang lebih besar.
 Angin berfungsi memperkecil gesekan udara, sehingga
mempercepat jatuhnya butiran hujan.
 Oleh karena itu pada butiran hujan yang berukuran kecil,
karena mempunyai luas permukaan yang lebih besar, dengan
pengaruh angin akan mempercepat jatuhnya butiran hujan.
 Terdapat hubungan langsung antara ukuran butiran dan
intensitas hujan.
 Wischmeier dan Smith (1958), menghitung nilai Energi
kinetik hujan dari nilai intensitas hujan dengan persamaan :
Ek = 916 + 131 Log I
dimana :
Ek = Energi Kinetik (Foot-ton/acre.cm)
I = Intensitas hujan (Inchi/jam)
Jika dirubah dalam SI unit, Morgan (1979), mendapatkan :
Ek = 13,32 + 9,78 Log I
dimana :
Ek = Joule/m2.mm
I = mm /jam

3.2. Indeks Erosivitas Hujan

14
 Awalnya pakar beranggapan bahwa makin tinggi jumlah
curah hujan, akan semakin besar tingkat erosi yang terjadi.
Hasil pengamatan ternyata hubungan/korelasi ini tidak selalu
konsisten.
 Jumlah curah hujan yang lebih tinggi ternyata tidak selalu
menyebabkan erosi yang besar. Ternyata curah hujan yang
sama, jatuh pada tanah yang sama, dapat menyebabkan
tingkat erosi yang berbeda.
 Contoh pada suatu kejadian hujan dengan jumlah 100 mm
tidak menyebabkan terjadinya erosi, tetapi pada saat lain
ternyata hujan 100 mm yang jatuh pada tanah yang sama,
justru menimbulkan erosi yang hebat.
 Contoh lain, jumlah hujan sebesar 3000 mm yang tersebar
merata sepanjang tahun mungkin tidak menyebabkan erosi
yang berarti, dibandingkan jika jumlah hujan sebesar 3000
mm ini terjadi selama 2-3 bulan saja secara terus menerus.
 Jadi dengan hanya mengetahui jumlah curah hujan saja, kita
tidak dapat menjelaskan mengapa fenomena ini terjadi ?.
 Ada 2 faktor yang dapat menyebabkan kejadian tersebut :
1. Tanah selalu dalam keadaan tertutup, sehingga butiran
hujan tidak langsung mengenai tanah.

15
2. Hujan yang sama yang turun dalam waktu pendek (2-3)
bulan, mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk
merusak tanah.
 Diantara sifat-sifat hujan tersebut, intensitas hujan
mempunyai hubungan yang erat dengan erosi.
 Makin besar intensitas hujan makin besar kemungkinan
terjadinya erosi.
 Data intensitas hujan dapat dihitung dari alat penakar hujan
sederhana yakni dengan membagi jumlah hujan dengan lama
atau waktu kejadian hujan.
 Pada alat sederhana ini data intensitas hujan diperoleh
dengan membagi jumlah curah hujan (mm) dengan lamanya
atau waktu kejadian hujan.
 Pada alat yang lebih sempurna yaitu penakar hujan otomatis,
kenaikan curah hujan tercatat secara otomatis sebagai fungsi
waktu pada kertas grafik (chart).
 Kadang-kadang juga peranan intensitas hujan yang tinggi
tetapi jatuh dalam waktu yang singkat tidak menimbulkan
erosi, tetapi hujan dengan intensitas sedang dalam waktu
yang lama, sehingga limpasan permukaan yang terjadi
semakin besar, dapat menimbulkan erosi yang berat.
 Indeks erosivitas hujan (R) menunjukkan menunjukkan
kemampuan hujan hujan untuk menimbulkan erosi.

16
 Karena erosi berhubungan erat dengan energi maka
penggunaan energi kinetik sebagai indeks erosivitas
memiliki koefisien korelasi yang paling tinggi.
 Dalam Persamaan Umum Kehilangan Tanah (PUKT) atau
USLE, nilai EI30 digunakan sebagai indeks erosivitas hujan.
 Hasil percobaan menunjukkan bahwa energi kinetik hujan
memiliki hubungan (nilai koefisien korelasi) yang paling
tinggi (paling nyata).
 EI30 = Energi kinetik & intensitas hujan maksimum
selama
30 menit.
 Hudson (1976), meneliti ternyata, EI30 kurang
cocok untuk menghitung indeks erosivitas di daerah tropis,
karena itu Hudson mengembangan indeks erosivitas baru
yang disebut Ek ≥ 25.
 Ek ≥ 25 adalah energi kinetik yang diterima
pada waktu intensitas hujan melebihi 25 mm/hari.
 Penggunaan salah satu sifat hujan untuk
menyatakan indeks erosivitas hujan (R) tidak dapat
digeneralisir.
 Erosi yang terjadi di daerah beriklim tropis dan
sub-tropis jauh lebih tinggi dibandingkan di daerah beriklim
temperate.

17
 Hal ini disebabkan :
1. di daerah tropis misal di Indonesia curah hujan sebesar
1.500 mm/tahun sudah tergolong beriklim kering,
sedangkan di daerah temperate, missal di Australia selatan
curah hujan sebesar 750 mm/tahun sudah tergolong tinggi.
2. Jumlah hujan yang dapat menimbulkan erosi di daerah
tropis lebih tinggi dibandingkan daerah temperate.
3. Energi kinetik hujan tropis lebih tinggi dari daerah
temperate.
4. Di daerah tropis curah hujan yang tinggi, pada umumnya
diikuti oleh intensitas hujan yang tinggi.

3.3. Menghitung Indeks Erosivitas Hujan


 Wischmeier (1962)menghitung EI30 dari data rata-rata hujan
tahunan dengan persamaan :
EI30 = k1 (P x P1 x P24) + k2
dimana :
P = Rata-rata jumlah hujan tahunan.
P1 = Jumlah hujan maksimum selama 1 jam dengan
masa balik 2 tahun.
P24 = Jumlah hujan maksimum selama 24 jam dengan
masa balik 2 tahun.
k1 & k2 = Konstanta.

18
 Amerika Serikat menggunakan nilai k1 = 0,079 dan k2 = 35
mendapatkan hasil yang cukup memuaskan.
 Untuk Indonesia dengan keterbatasan alat penakar curah
hujan, dan penakar yang dipasang lebih sederhana Bols
(1978) & Utomo (1983) menggunakan data jumlah hujan
untuk menghitung indeks erosivitas.
 Hal ini berdasarkan kenyataan :
1. Indeks erosivitas hujan yang dikembangkan oleh
Wischmeir, Hudson dan Lal memberikan hasil yang tidak
jauh berbeda.
2. Korelasi antara jumlah curah hujan dan erosi di beberapa
tempat di Indonesia tidak nyata.
 Bols (1978) menyusun Formula :

Rb = 6,119 (Hb)121 (HH)-0,47 (H24)0,53


dimana :
Rb = Indeks erosivitas bulanan
Hb = Jumlah hujan bulanan (cm)
HH = Jumlah hari hujan bulanan
H24 = Hujan maksimum 24 jam dalam bulan tersebut.
 Untuk menghitung Indeks erosivitas harian (Rh), digunakan
curah hujan harian (Hh), dengan persamaan :
Rh = 2,34 Hh 1,98

19
 Utomo, et.al menghitung indeks erosivitas hujan di DAS
Brantas dengan persamaan :
Rb = 10,80 + 4,15 Hb

Data Curah Hujan Periode 1996 – 2005 Di Desa Karangan Kecamatan


Mempawah Hulu

Tahun Januari Februari Maret April Mei Juni


CH HH M CH HH M CH HH M CH HH M CH HH M CH HH M
1996 182 16 52 201 20 48 271 14 46 185 17 33 110 7 47 178 15 35
1997 128 11 55 129 10 23 131 5 48 134 17 20 193 15 41 124 8 27
1998 515 28 47 110 13 17 238 20 42 261 25 34 125 19 16 119 12 36
1999 167 18 31 57 10 18 99 13 29 100 12 42 188 15 38 182 10 50
2000 349 16 86 205 9 43 182 10 20 207 16 53 167 9 37 272 15 66
2001 295 12 53 260 12 48 156 6 32 267 8 67 154 10 40 186 11 90
2002 481 10 86 221 5 22 286 10 25 318 15 56 404 10 75 170 8 34
2003 750 18 76 317 8 117 239 9 48 349 12 66 280 8 100 165 10 48
2004 361 13 69 133 5 39 207 6 120 298 10 71 190 5 60 57 2 42
2005 362 6 63 395 7 123 250 7 75 274 5 111 363 4 131 156 3 81

Tahu Juli Agustus September Oktober November Desember


n CH HH M CH HH M CH HH M CH HH M CH HH M CH HH M
1996 292 14 60 306 16 52 192 15 54 469 24 71 333 21 65 248 22 36
1997 62 7 18 46 7 23 51 6 22 553 25 161 551 28 63 463 26 52
1998 127 20 54 290 27 37 250 14 48 186 18 68 162 17 77 193 20 57
1999 137 8 53 165 12 33 151 11 28 248 19 38 214 13 44 300 14 45
2000 142 11 16 344 10 70 238 15 35 348 14 44 299 12 75 221 12 71
2001 271 7 85 95 2 48 344 14 85 222 15 69 377 13 57 251 11 34
2002 58 4 50 73 3 63 180 8 26 395 16 49 517 17 50 528 20 105
2003 200 8 58 435 9 83 273 9 61 404 15 80 328 16 70 357 16 45
2004 192 6 64 142 3 58 622 15 73 335 6 94 602 10 127 368 10 109
2005 508 7 132 189 3 73 283 5 123 545 11 122 239 5 90 259 16 52
Sumber : Stasiun Klimatologi Siantan Pontianak, 2005

20
Tabel 1. Nilai Indeks Erosivitas Hujan

BULAN RAIN (cm) DAYS (hari) MAXP (cm) EI30


Januari 35,90 14,8 6,32 348,90
Februari 20,28 9,9 5,05 187,49
Maret 20,59 10,0 5,01 189,28
April 23,93 13,7 5,69 209,61
Mei 21,74 10,2 6,07 221,72
Juni 16,09 9,4 5,23 147,93
Juli 19,89 9,2 6,06 208,81
Agustus 20,85 9,2 5,90 217,83
September 25,84 11,2 6,03 260,66
Oktober 37,05 16,3 8,89 415,05
November 36,22 15,2 7,78 388,83
Desember 31,88 16,7 6,50 289,80
Total 310,26 136,6 74,53 3.085,86
Sumber : Hasil Analisis Data Curah Hujan dari Stasiun Klimatologi Siantan
Pontianak 1996 – 2005

Keterangan : EI30 = 6,119 (RAIN)1,21 (DAYS)-0,47 (MAXP)0,53

R =  EI30

Berdasarkan data indeks erosivitas hujan pada tabel 1, maka didapat

jumlah curah hujan rata-rata tahunan (RAIN) pada daerah penelitian sebesar

310,26 cm dengan jumlah hari hujan (DAYS) sebesar 136,6 hari hujan serta

curah hujan maksimal selama 24 jam per bulan (MAXP) sebesar 74,53 cm

untuk periode 1996 – 2005. Dari data-data tersebut maka dapat dihitung nilai

erosivitas hujan dengan menggunakan persaman Bols (Arsyad, 1989) diperoleh

nilai R sebesar 3.085,86.

21
Dari data tersebut dapat pula dilihat nilai erosivitas hujan bulanan (EI 30),

dimana bulan yang memiliki nilai erosivitas hujan bulanan tertinggi adalah pada

bulan Oktober yaitu 415,05 cm dengan nilai curah hujan rata-rata bulanan

sebesar 37,05 dan jumlah hari hujan rata-rata sebesar 16,3 hari hujan serta curah

hujan maksimal selama 24 jam per bulan sebesar 8,89 untuk waktu 10 tahun.

Sedangkan nilai erosivitas hujan bulanan terendah adalah pada bulan Juni yaitu

147,93 cm dengan nilai curah hujan rata-rata bulanan sebesar 16,09 dan jumlah

hari hujan rata-rata sebesar 9,4 hari hujan serta curah hujan maksimal selama 24

jam per bulan sebesar 5,23. Dari tabel 10 dapat disimpulkan bahwa nilai

erosivitas hujan yang tergolong tinggi terdapat pada bulan September, Oktober,

November, Desember dan Januari. Sedangkan nilai erosivitas hujan yang

tergolong rendah terjadi pada bulan-bulan lainnya termasuk bulan Juni yang

merupakan bulan dengan nilai erosivitas hujan terendah di lokasi penelitian.

Sifat-sifat hujan yang mempunyai pengaruh untuk terjadinya erosi tanah

adalah intensitas, jumlah dan distribusi hujan. Namun dari ketiga sifat tersebut

yang sangat mempengaruhi erosi tanah adalah intensitas hujan. Jumlah hujan

rata-rata tahunan yang tinggi tidak akan menyebabkan erosi yang berat apabila

hujan tersebut terjadi merata, sedikit demi sedikit sepanjang lahan. Sebaliknya

curah hujan tahunan yang rendah dapat menyebabkan erosi berat apabila hujan

tersebut jatuh sangat deras meskipun hanya sekali-kali.

22
IV. ERODIBILITAS TANAH

4.1. Erodibilitas dan Sifat Fisik Tanah


 Erodibilitas adalah kemudahan tanah untuk tererosi.
 Dalam PUKT disebut “Indeks Erodibilitas” (K).
 Tanah dengan nilai K yang tinggi akan lebih mudah tererosi
dibandingkan dengan nilai K yang rendah.
 Nilai erodibilitas tanah ditentukan :
1) Ketahanan tanah terhadap daya rusak dari luar.
2) Kemampuan tanah untuk menyerap air.
 Ketahanan tanah menentukan mudah tidaknya massa tanah
untuk dihancurkan oleh air.
 Infiltrasi/perkolasi menentukan volume limpasan permukaan
 Kemudahan massa tanah untuk dihancurkan ditentukan oleh
tekstur tanah; kemantapan agregat; kandungan bahan organik
dan bahan semen.
 Kemampuan menyerap air dipengaruhi : kapasitas infiltrasi;
permeabilitas tanah; tekstur tanah; kemantapan agregat dan
ruang pori.

23
 Kapasitas infiltrasi dipengaruhi oleh : distribusi ukuran pori;
kemantapan pori; kedalaman efektif tanah dan jenis mineral
liat.

4.2. Cara Menentukan Erodibilitas Tanah


A. Metode Tidak Langsung :
1. Bouyoucos (1935) :
Nisbah kandungan pasir & debu terhadap kandungan liat.
2. Middleton (1930) : Nisbah dispersi.
3. Yoder (1936) : Kemantapan agregat
terhadap air.
4. Mc. Calla (1944):
Energi kinetik air yang dijatuhkan dari ketinggian tertentu
(kemantapan agregat terhadap hancuran energi air).
5. Bryant (1968) :
Ukuran agregat 0,5 mm yang tahan terhadap erosi.
6. Chorley (1959) : Kekuatan geser.
B. Metode Langsung :
 Merupakan metode yang memberikan hasil paling baik.
 Menghitung langsung kehilangan tanah yang sesungguh-
nya (dilapangan) pada petak baku dengan kemiringan 9%
dan panjang lereng 22 m.
A

24
K=
R
dimana :
A = Jumlah tanah yang hilang (ton/ha)
R = Indeks erosivitas hujan.
 Kelebihan metode langsung : merupakan cara yang paling
akurat pada kejadian hujan yang sebenarnya.
 Kekurangan metode langsung :
 Biaya dan waktu yang tinggi
 Tenaga yang banyak
 Peralatan yang banyak
 Untuk mengatasi hal ini dikembangkanlah metode curah
hujan buatan (rainfall simulator) :
 Pengukuran erosi dilaksanakan di
laboratorium dan di lapangan.
 Pengukuran di laboratorium dengan
membuat petak tanah seperti kondisi di lapangan.
 Pengukuran di lapangan dengan
membawa alat curah hujan buatan.
 Wischmeier (1971),
menghubungkan sifat fisik tanah dengan kehilangan tanah
(erosi) sehingga disusun persamaan :
100 K = 1,292 [2,1M1,14 (10-4) (12-a) + 3,25 (b-2) + 2,5 (c-3)]

25
dimana :
K = Indeks Erodibilitas tanah
M = (% pasir sangat halus + % debu) X (100 - % liat)
a = % bahan organik yaitu = (% c-organik x 1,724)
b = kelas struktur tanah
c = kelas permeabilitas
 Wischmeier juga mengembangkan Nomograph Erodibilitas,
data sifat fisik tanah yang diperlukan :
1) Struktur tanah
2) % debu, % pasir sangat halus dan % pasir
3) Kandungan bahan organik
4) Permeabilitas tanah.
 Kelebihan dari metode ini :
1) Dapat memberikan hasil yang cukup memuaskan, karena
mempunyai korelasi yang paling tinggi dengan hasil
pengukuran langsung dilapangan.
2) Pengukuran lebih cepat karena tidak tergantung musim.
 Keterbatas metode ini :
Karena pada awalnya nomograph ini dikembangkan di USA,
pada tanah dengan lereng yang tidak terlalu curam dan curah
hujan yang rendah, maka untuk penerapannya di Indonesia
dengan kondisi lereng yang curam dan curah hujan tinggi
masih diperlukan penelitian secara lebih mendalam.

26
 Prosedur/langkah-langkah penentuan indeks erodibilitas
dengan nomograph :
1) Memasukkan nilai (% debu + % pasir sangat halus)
kedalam nomograph erodibilitas.
2) Ditarik garis tegak lurus hingga memotong hingga
memotong nilai % pasir.
3) Ditarik garis mendatar hingga memotong nilai %
kandungan bahan organik.
4) Ditarik kembali garis tegak lurus hingga memotong kelas
struktur tanah.
5) Ditarik garis mendatar hingga memotong kelas
permeabilitas.
6) Ditarik garis tegak lurus kebawah, kemudian tentukan
nilai erodibilitas pada skala yang tepat.
 Klasifikasi Kelas Struktur Tanah Menggunakan Nomograph

KELAS STRUKTUR TANAH


KELAS
(UKURAN DIAMETER)

Granuler sangat halus (< 1 mm) 1


Granuler halus (1 – 2 mm) 2
Granuler sedang – kasar (2 – 10 mm) 3
Massif, kubus, lempeng 4

 Klasifikasi Kelas Permeabilitas Menggunakan Nomograph

27
PERMEABILITAS
KETERANGAN KELAS
(CM/JAM)
>25,4 Cepat 1
12,7 – 25,4 Sedang sampai cepat 2
6,30 – 12,7 Sedang 3
2,00 – 6,30 Lambat sampai sedang 4
0,50 – 2,00 Lambat 5
<0,5 Sangat lambat 6

 Gambar 2. : Nomograph Untuk Pendugaan Nilai


Erodibilitas
Tanah (K).

28
Soal :

29
Hasil Analisis Sampel Tanah dari lapangan diperoleh data
sebagai berikut :
 % pasir debu + pasir sangat halus : 65%
 % pasir : 5%
 % bahan organik : 2,8 %
 Struktur Tanah : Granuler Halus
 Permeabilitas : 0,95 cm/jam
Tentukanlah Indeks Erodibilitas Tanah dengan menggunakan
Nomograph Erodibilitas ? 0,31

Klasifikasi Kelas Erodibilitas Tanah di Indonesia


(Utomo, 1985)
Kelas Nilai K Tingkat Erodibilitas
1 < 0,10 Sangat Rendah
2 0,10 – 0,15 Rendah
3 0,15 – 0,20 Agak Rendah
4 0,20 – 0,25 Sedang
5 0,25 – 0,30 Agak Tinggi
6 0,30 – 0,35 Tinggi
7 > 0,35 Sangat Tinggi

V. LERENG DAN VEGETASI

30
5.1. Sifat-Sifat Lereng
 Sifat-sifat lereng yang mempengaruhi energi penyebab erosi:
1) Kemiringan (slope) lereng
2) Panjang lereng
3) Konfigurasi/Bentuk lereng
4) Keseragaman lereng
5) Arah lereng
Kemiringan Lereng :
 Kemiringan lereng dinyatakan dlm derajat (º) dan persen (%)
 Lereng mempunyai kemiringan 10% jika perbandingan
tinggi dan panjang kaki 1 : 10 yaitu 1/10 x 100%. Lereng
dengan kemiringan 100% berarti perbandingan tinggi dan
panjang kaki sama dan sama dengan kemiringan 45°.
 Kemiringan mempengaruhi kecepatan dan volume limpasan
permukaan.
 Semakin tinggi kemiringan lereng maka jumlah/volume
aliran permukaan semakin besar, laju limpasan permukaan
semakin besar, dengan demikian akan memperbesar energi
angkut aliran permukaan.
 Dengan semakin miringnya lereng, maka jumlah percikan
butiran tanah ke bagian bawah lereng oleh tumbukan butiran
hujan semakin banyak.

31
 Hasil pengamatan menunjukkan besarnya erosi menjadi dua
kali lebih besar, dengan lereng menjadi dua kali lebih curam,
namun jumlah aliran permukaan tidak banyak bertambah,
bahkan cenderung mendatar. Hal ini disebabkan oleh karena
jumlah aliran permukaan dibatasi oleh jumlah air hujan yang
jatuh.
 Zingg (1940) mendapatkan hubungan Antara kemiringan
lereng dengan erosi sebagai berikut :
X = C Sm
Dimana :
X = Berat tanah tererosi
S = Kemiringan lereng dalam %
C = Konstanta
m = Konstanta Lereng

32
Panjang Lereng :
 Panjang lereng dihitung mulai dari titik pangkal mulai terjadi
nya aliran permukaan sampai suatu titik dimana air masuk ke
dalam saluran atau sungai, atau dimana kemiringan lereng
berubah demikian rupa sehingga kecepatan aliran permukaan
berubah. Air yang mengalir di permukaan tanah akan
terkumpul di ujung lereng.
 Di bagian bawah lereng lebih banyak volume air yang
terkumpul mengalir maka semakin besar kecepatannya
dibandingkan bagian atas lereng.
 Akibatnya tanah di bagian bawah lereng mengalami erosi
yang lebih besar dibandingkan di bagian atas.

33
 Panjang lereng mempengaruhi energi erosi melalui pengaruh
nya terhadap volume limpasan permukaan.
 Penelitian (Lal, 1982), jika lereng makin panjang maka
limpasan permukaan semakin menurun.

 Jika pengaruh derajat kemiringan dan panjang lereng


digabungkan maka didapat hubungan :
E = C Sm Ln

dimana :
m & n = Konstanta (1,4 & 1,6)
S = Kemiringan lereng
L = Panjang lereng

34
 Menurut Wischmeier (1971), perhitungan nilai LS
menggunakan persamaan :
LS = L0,5 x (0,0138 + 0,00965 S + 0,00138 S2)
Dimana :
L = Panjang Lereng (m)
S = Kemiringan Lereng (%).
 Persamaan di atas digunakan untuk kemiringan lahan kurang
dari 20%.
 Untuk kemiringan lahan lebih dari 20% menggunakan
rumus :
L 0,6
S 1,4

LS = x
22,1 9

Bentuk/Konfigurasi Lereng :
 Lereng permukaan tanah dapat berbentuk cembung
(konvek) atau cekung (konkav).
 Bentuk erosi lembar lebih hebat terjadi pada
permukaan cembung dibandingkan permukaan cekung.
Keseragaman Lereng :
 Lereng permukaan tanah memiliki kemiringan yang
tidak seragam, artinya dimana lereng curam diselingi dalam
jarak pendek oleh lereng yang lebih datar.

35
 Aliran permukaan dan erosi akan lebih besar pada
lereng yang tidak seragam dibandingkan lereng yang
seragam.
Arah Lereng :
 Dibelahan bumi bagian utara, lereng yang
menghadap kea rah selatan mengalami erosi yang lebih
besar dibandingkan lereng yang menghadap ke utara.
 Hal ini disebabkan karena tanah-tanah yang
berlerang menghadap ke selatan sebagai akibat pengaruh
cahaya matahari secara langsung dan proses pelapokan
bahan organiknya lebih intensif sehingga kandungan bahan
organiknya lebih rendah, maka tanahnya lebih mudah
terdispersi.

5.2. Kepekaan Lahan Terhadap Erosi (Erosion Succeptibility)

 Kepekaan Erosi Potensial : Kepekaan lahan terhadap erosi


yang ditentukan oleh faktor erosivitas hujan, erodibilitas
tanah dan kemiringan lahan : (R x K x LS).
 Jika kedalam faktor-faktor tersebut dimasukkan faktor
penggunaan lahan maka disebut dengan Kepekaan Erosi
Aktual / Nyata, yang disebut juga dengan istilah “Bahaya
Erosi” : (R xK x LS x C x P).

36
 Kelas Bahaya Erosi :
Laju Erosi
Kelas
(ton/ha/tahun)
0 – 15 I
15 – 60 II
60 – 180 III
180 – 480 IV
>480 V

 Selanjutnya dengan memasukkan faktor Kedalaman Efektif


Tanah disusunlah Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi.
 Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi :
Erosi Kelas Bahaya Erosi (ton/ha/tahun)
I II III IV V
Kedalaman Tanah (cm)
(<15) (15-60) (60-180) (180-480) (>480)
Dalam (>90) SR R S B SB
Sedang (60-90) R S B SB SB

Dangkal (30-60) S B SB SB SB

Sangat Dangkal (<30) B SB SB SB SB


Keterangan :
SR : Sangat Ringan
R : Ringan
S : Sedang
SB : Sangat Berat
B : Berat.

37
5.3. Peranan Tanaman Dalam Menekan Erosi
 Tanaman dapat menekan laju erosi dan limpasan permukaan.
 Tanaman dapat mempengaruhi laju erosi karena peranan :
1) Intersepsi air hujan oleh tajuk tanaman
2) Pengaruh dari perakaran terhadap limpasan permukaan.
3) Pengaruh akar dan bahan organikterhadap sifat fisik tanah
4) Peningkatan kecepatan kehilangan air karena transpirasi.
 Intersepsi hujan oleh tajuk daun dipengaruhi oleh jenis
tanaman dan kerapatan populasi.
 Peranan tanaman ↔ Pembentukan dan pemantapan agregat
. ↕
Retakan ↔ aktivitas akar

Dehidrasi air.
 Agregat mantap ↔ menciptakan ruang pori

Kapasitas infiltrasi meningkat :
 Menurunkan volume limpasan perm.
 Menyimpan lebih banyak air.
 Tanaman ↔ menghasilkan bahan organik ↔ akan berpenga-
ruh baik terhadap : Agregat; Permeabilitas & Infiltrasi.

38
5.4. Efektivitas Tanaman
 Efektivitas tanaman dalam menurunkan laju erosi
dipengaruhi oleh :
1) Tinggi dan kontinuitas mahkota daun
2) Bahan organik yang dihasilkan.
3) Sistim perakaran.
4) Kepadatan tanaman.
 Indeks Efektivitas (IE) ↔ dapat dilihat dari :
1) Bahan kering yang dihasilkan (Kw/ha)
2) Kemampuan tanaman menutup tanah (%).
 Tanaman yang berbatang tinggi, dengan tajuk daun yang
renggang akan kurang efektif dalam melindungi tanah,
sehingga memiliki nilai EI yang rendah dibandingkan
dengan tajuk daun rapat.
 Tinggi tanaman menentukan energi air hujan yang jatuh me-
lalui tajuk. Batang pohon berfungsi sebagai pengumpul air
hujan sehingga dapat membentuk butiran yang besar.
 Kepadatan tanaman akan berhubungan dengan luas per-
mukaan lahan yang tertutup.
 Sistem perakaran tanaman akan mempengaruhi : pembentuk-
an dan pemantapan agregat serta ruang pori tanah.

39
VI. KEMAMPUAN LAHAN

6.1. Klasifikasi Kemampuan Lahan


 Kemampuan Lahan : adalah kemampuan suatu lahan untuk
digunakan sebagai usaha pertanian yang paling intensif , ter-
masuk penentuan tindakan pengelolaan, tanpa menyebabkan
lahan menjadi rusak.
 Pekerjaannya : menilai faktor-faktor yang menentukan daya
guna lahan, kemudian mengelompokkan penggunaan lahan
sesuai dengan sifat yang dimilikinya, disebut “Klasifikasi
Kemampuan Lahan”.
 Klasifikasi Kemampuan Lahan : Hanya menilai faktor pem-
batas lahan (kualitas lahan), terutama yang berhubungan
dengan erosi.
 Klasifikasi Kesesuaian Lahan disamping menilai faktor pem-
batas (kualitas lahan), juga menilai keperluan tanaman yang
akan diusahakan, khususnya faktor yang mempengaruhi
pertumbuhan tanaman seperti: kemasaman, kesuburan tanah.
 Sistem klasifikasi kemampuan lahan USDA berdasarkan atas
sifat dan faktor pembatas :
1) Divisi : a. Dapat diusahakan untuk lahan pertanian
b. Tidak dapat diusahakan untuk lahan pertanian.

40
2) Kelas.
3) Sub-Kelas
4) Satuan Pengelolaan.
 Penggolongan ke dalam :
1) Kelas didasarkan intensitas faktor pembatas permanen
atau sulit/tidak dapat dirubah.
2) Sub-kelas didasarkan : macam faktor pembatas.
3) Satuan pengelolaan didasarkan : perlakuan pengawetan
tanah khusus & jumlah pupuk yang diperlukan.
 Intensitas faktor penghambat/pembatas yang digunakan :
A. Faktor pembatas utama :
Kuantitas tanah sampel kecil :
1) Kedalaman efektif (k)
2) Tekstur tanah (t)
3) Permeabilitas (p)
Kualitas lahan sample besar :
4) Kemiringan lereng (l)
5) Erosi (e)
6) Drainase (d)
B. Faktor pembatas tambahan/khusus :
1) Faktor yang menghambat pengolahan tanah
2) Horizon pembatas
3) pH tanah

41
4) Potensi Banjir
5) Salinitas
6) Warna tanah
7) Kapasitas penyimpanan air tersedia
8) Bahan induk

6.2. Faktor-faktor Klasifikasi Kemampuan Lahan


I. Katagori Kelas
Didasarkan pada faktor pembatas yang bersifat permenen.
A. Lereng (l)
Pengelompokan kemiringan (Indonesia/USDA) → 7 kelas
l0 : datar (0 – 3 %)
l1 : landai/berombak (3 – 8 %)
l2 : agak miring/bergelombang (8 – 15 %)
l3 : miring – berbukit (15 – 30 %)
l4 : agak curam (30 – 45 %)
l5 : curam (45 – 65 %)
l6 : sangat curam (> 65 %)
B. Tekstur (t)
Pengelompokan tekstur (Indonesia/USDA)→ 5 kelompok
t1 : halus; yaitu: liat dan liat berdebu
t2 : agak halus; Yaitu: liat berpasir; lempung liat berdebu
lempung berliat; lempung liat berpasir.

42
t3 : sedang; yaitu: debu; lempung berdebu; lempung
t4 : agak kasar; yaitu: lempung berpasir
t5 : kasar; yaitu: pasir berlempung dan pasir.
C. Permeabilitas (p)
Pengelompokan permeabilitas (Indonesia) → 5 kelas
p1 : lambat (< 0,5 cm/jam)
p2 : agak lambat (0,5 – 2,0 cm/jam)
p3 : sedang (2,0 – 6,25 cm/jam)
p4 : agak cepat (6,25 – 12,5 cm/jam)
p5 : cepat ( > 12,5 cm/jam)
D. Kedalaman efektif (k)
k0 (1) : Dalam > 90 cm (93 cm)
k1 (2) : Sedang 50 – 90 cm (50 – 93 cm)
k2 (3) : Dangkal 25 – 50 cm (25 – 50 cm)
k3 (4) : Sangat dangkal (<25 cm)
E. Drainase (d)
d0 : baik; yaitu: tanah mempunyai peredaran udara baik
d1 : agak baik; tanah mempunyai peredaran udara baik
d2 : agak buruk, lapisan atas peredaran udara baik
d3 : buruk
d4 : sangat buruk
F. Erosi (e)
e0 : tidak ada erosi

43
e1 : ringan, jika 25% lapisan tanah atas hilang
e2 : sedang, jika 25 – 75% lapisan tanah atas hilang
e3 : berat, jika 75% lapisan tanah atas hilang
e4 : sangat berat, jika > 25% lapisan tanah bawah hilang
II. Faktor Khusus
A. Batuan kasar di dalam tanah (b)
b0 : tidak ada atau sedikit : 0-15% volume tanah
b1 : sedang: 15-50% volume tanah
b2 : banyak : 50-90% volume tanah
b3 : sangat banyak > 90% volume tanah
B. Batuan di atas tanah (b)
b0 : tidak ada: 0,01% luas areal
b1 : sedikit : 0,01 – 3 % luas areal
b2 : sedang : 3 – 15 % luas areal
b3 : banyak : 15 – 90 % luas areal
b4 : sangat banyak : 90 % luas areal
C. Ancaman banjir (o)
o0 : tidak pernah; dalam waktu 1 tahun tidak pernah me-
ngalami banjir untuk waktu 24 jam.
o1 : kadang-kadang, banjir >24 jam terjadi tidak teratur
dalam jangka waktu kurang dari satu bulan.
o2 : selama satu bulan dalam setahun secara teratur terjadi
banjir > 24 jam
o3 : 2 – 5 bulan dalam setahun secara teratur terjadi banjir
> 24 jam.

44
o4 : 6 bulan atau lebih dilanda banjir secara teraturlebih
dari 24 jam
6.3. Kelas Kemampuan Lahan
 Tabel 1. Kelas Kemampuan Lahan.
Kelas kemampuan
Faktor pembatas
I II III IV V VI VII VIII
1. Tekstur tanah (t)
a. Lapisan atas
t2/t3 t1/t4 t1/t4 * * * * t5
(40cm)
t2/t3 t1/t4 t1/t4 * * * * t5
b. Lapisan bawah
10 11 12 13 * 14 15 16
2. Lereng (%)
d0/d1 d2 d3 d4 ** * * *
3. Drainase
k0 k0 k1 k2 * k3 * *
4. Kedalaman efektif
e0 e1 e1 e2 * e3 e4 *
5. Tingkat erosi
b0 b0 b0 b1 b2 * * b3
6. Batu/kerikil
00 01 02 01 04 * * *
7. Bahaya banjir
*) dapat mempunyai nilai faktor penghambat dari kelas yang lebih rendah
**) permukaan tanah selalu tergenang

 Gambar 3. Hubungan Antara Kelas Kemampuan Lahan


Dengan Intensitas/Macam Penggunaan

45
6.4. Sub-Kelas Dan Satuan Pengelolaan
 Sub Kelas merupakan jenis faktor penghambat/pembatas
 Sub Kelas ditulis setelah Kelas dengan symbol huruf kecil,
contoh: III d3.
 Satuan Pengelolaan :
 Keterangan satuan pengelolaan ditulis, dengan angka di
belakang Sub-Kelas dengan tanda titik diantaranya,
contoh: III k1 d3 1.
 III k1 d3 1. berarti: lahan tersebut termasuk kelas III,
dengan dengan faktor pembatas kedalaman efektif <50 cm
dan karena drainase buruk, sehingga tanah tersebut hanya
dapat ditanami dengan tanaman semusim dengan syarat

46
harus dibuat saluran drainase, dilakukan pemupukan dan
pengapuran.

47
48
49
50

Anda mungkin juga menyukai