Perda RTRW No 04 Tahun 2014 PDF
Perda RTRW No 04 Tahun 2014 PDF
TENTANG
BUPATI MERANGIN,
MEMUTUSKAN :
2
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
5
50. Wilayah pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang
memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan
administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional;
51. Kawasan peruntukan industri adalah bentangan lahan yang diperuntukkan bagi
kegiatan industri berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
52. Kawasan peruntukan pariwisata adalah kawasan yang didominasi oleh fungsi
kepariwisataan, mencakup sebagian areal dalam kawasan lindung atau kawasan
budidaya yang lain yang di dalamnya terdapat konsentrasi daya tarik dan fasilitas
penunjang pariwisata;
53. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan
lindung baik berupa kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal/lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan;
54. Kawasan pertahanan keamanan adalah kawasan yang diperuntukkan bagi
kepentingan pemeliharaan keamanan dan pertahanan negara berdasarkan
geostrategi nasional, yang diperuntukkan bagi basis militer, daerah latihan militer,
daerah pembuangan amunisi dan peralatan pertahanan lainnya, gudang amunisi,
daerah uji coba sistem persenjataan, dan/atau kawasan industri sistem
pertahanan;
55. Kawasan Strategis Nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional
terhadap kedaulatan Negara, pertahanan dan keamanan Negara, ekonomi, sosial,
budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan
dunia;
56. Kawasan Strategis Provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi
terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan;
57. Kawasan Strategis Kabupaten adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup
Kabupaten terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan;
58. Arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten adalah arahan untuk mewujudkan
struktur ruang dan pola ruang wilayah kabupaten sesuai dengan rencana tata
ruang wilayah kabupaten melalui penyusunan dan pelaksanaan program berserta
pembiayaannya, dalam suatu indikasi program utama jangka menengah lima
tahunan kabupaten;
59. Indikasi program utama jangka menengah lima tahunan adalah petunjuk yang
memuat usulan program utama, lokasi, besaran, waktu pelaksanaan, sumber
dana, dan instansi pelaksana dalam rangka mewujudkan ruang Kabupaten yang
sesuai dengan rencana tata ruang;
60. Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten adalah
ketentuan-ketentuan yang dibuat atau atau disusun dalam upaya mengendalikan
pemanfaatan ruang wilayah kabupaten agar sesuai dengan RTRW kabupaten
yang dirupakan dalam bentuk ketentuan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan
insentif dan disisentif, serta arahan sanksi untuk wilayah kabupaten;
61. Ketentuan umum peraturan zonasi sistem kabupaten adalah ketentuan umum
yang mengatur persyaratan pemanfaatan ruang/penataan Kabupaten dan unsur-
unsur pengendalian pemanfaatan ruang yang disusun untuk setiap klasifikasi
peruntukan/fungsi ruang sesuai dengan RTRW Kabupaten;
62. Ketentuan perizinan adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah
daerah sesuai kewenangannya yang harus dipenuhi oleh setiap pihak sebelum
pemanfaatan ruang, yang digunakan sebagai alat dalam melaksanakan
pembangunan keruangan yang tertib sesuai dengan rencana tata ruang yang
telah disusun dan ditetapkan;
63. Ketentuan insentif dan disinsentif adalah perangkat atau upaya untuk memberikan
imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang
6
dan juga perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi
kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang;
64. Arahan sanksi adalah perangkat untuk memberikan hukuman bagi siapa saja
yang melakukan pelanggaran pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang yang berlaku;
65. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi;
66. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam
bidang penataan ruang;
67. Masyarakat adalah orang perorangan, kelompok orang termasuk masyarakat
hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan nonpemerintah lain
dalam penyelenggaraan penataan ruang;
68. Peran masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang; dan
69. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah, yang selanjutnya disebut BKPRD
adalah badan bersifat ad-hoc yang dibentuk untuk mendukung pelaksanaan
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Kabupaten
Merangin dan mempunyai fungsi membantu pelaksanaan tugas Bupati dalam
koordinasi penataan ruang di daerah.
Bagian Kedua
Kedudukan, Peran dan Fungsi
Pasal 2
Kedudukan RTRW Kabupaten Merangin adalah sebagai penjabaran dari Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jambi dan sebagai matra atau wadah ruang dari
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD).
Pasal 3
Pasal 4
Bagian Ketiga
Ruang Lingkup Pengaturan
Paragraf 1
Muatan
Pasal 5
Paragraf 2
Wilayah Perencanaan
Pasal 6
(1) Wilayah perencanaan mencakup seluruh ruang wilayah Kabupaten dengan batas
yang ditentukan berdasarkan aspek administratif meliputi:
a. Kecamatan Jangkat;
b. Kecamatan Sungai Tenang;
c. Kecamatan Muara Siau;
d. Kecamatan Lembah Mesurai;
e. Kecamatan Tiang Pumpung;
f. Kecamatan Pamenang;
g. Kecamatan Pamenang Barat;
h. Kecamatan Ranah Pamenang;
i. Kecamatan Pamenang Selatan;
j. Kecamatan Bangko;
k. Kecamatan Bangko Barat;
l. Kecamatan Batang Mesumai;
m. Kecamatan Nalo Tantan;
n. Kecamatan Sungai Manau;
o. Kecamatan Renah Pembarap;
p. Kecamatan Pangkalan Jambu;
q. Kecamatan Tabir;
r. Kecamatan Tabir Ulu;
s. Kecamatan Tabir Selatan;
t. Kecamatan Tabir Ilir;
u. Kecamatan Tabir Timur;
v. Kecamatan Tabir Lintas;
w. Kecamatan Margo Tabir; dan
x. Kecamatan Tabir Barat.
(2) Batas-batas wilayah Kabupaten meliputi:
a. sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bungo;
b. sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu;
c. sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tebo dan Kabupaten
Sarolangun; dan
d. sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kerinci.
(3) Luas wilayah administrasi Kabupaten adalah 767.900 (tujuh ratus enam puluh tujuh
ribu sembilan ratus) hektar.
BAB II
TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENATAAN RUANG
Bagian Kesatu
Tujuan Penataan Ruang
Pasal 7
8
Bagian Kedua
Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang
Pasal 8
9
e. meningkatkan kegiatan pariwisata melalui peningkatan prasarana dan sarana
pendukung, pengelolaan objek wisata serta pemasaran yang lebih agresif dan
efektif.
(5) Kebijakan pembangunan dan peningkatan infrastruktur wilayah dalam rangka
pewujudan pelayanan wilayah sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf d
dilaksanakan dengan strategi sebagai berikut:
a. meningkatkan fungsi pusat-pusat pelayanan wilayah guna mendukung
tercipatanya pemerataan pembangunan wilayah;
b. membangun prasarana dan sarana transportasi yang mampu mendorong
pertumbuhan ekonomi kawasan secara signifikan dan berimbang; dan
c. membangun sistem jaringan prasarana dan fasilitas sosial secara proporsional
dan memadai sesuai kebutuhan masyarakat pada setiap pusat permukiman.
(6) Kebijakan peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilaksanakan melalui strategi
sebagai berikut:
a. mengembangkan kawasan lindung dan/atau kawasan budidaya tidak
terbangun di sekitar aset-aset pertahanan dan keamanan/TNI;
b. mengembangkan kegiatan budidaya secara selektif di dalam dan di sekitar
aset-aset pertahanan untuk menjaga fungsi pertahanan dan keamanan/TNI;
dan
c. memelihara dan menjaga aset-aset pertahanan/TNI.
BAB III
RENCANA STRUKTUR RUANG
Bagian Kesatu
Pasal 9
Bagian Kedua
Sistem Pusat Kegiatan
Pasal 10
Sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a
dikembangkan secara hierarki dan dalam bentuk pusat kegiatan, sesuai kebijakan
nasional dan provinsi, potensi, dan rencana pengembangan wilayah kabupaten.
Pasal 11
10
pengolahan, pemukiman perkotaan, pusat pendidikan, pusat kesehatan, pusat
peribadatan dan pusat rekreasi, olahraga dan wisata.
(3) PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. Perkotaan Rantau Panjang di Kecamatan Tabir yang berfungsi sebagai pusat
pemerintahan kecamatan, perdagangan dan jasa sub regional, permukiman
perkotaan, pusat kesehatan, pusat rekreasi, olahraga dan wisata, pusat
pendidikan, pusat peribadatan, dan simpul transportasi;
b. Perkotaan Pamenang di Kecamatan Pamenang yang berfungsi sebagai pusat
pemerintahan kecamatan, perdagangan dan jasa sub regional, permukiman
perkotaan, pusat kesehatan, pusat rekreasi, olahraga dan wisata, pusat
pendidikan, pusat peribadatan, dan simpul transportasi;
c. Perkotaan Sungai Manau di Kecamatan Sungai Manau berfungsi sebagai
pusat pemerintahan kecamatan, perdagangan dan jasa sub regional,
permukiman perkotaan, pusat kesehatan, pusat rekreasi, olahraga dan
wisata, pusat pendidikan, pusat peribadatan, dan simpul transportasi; dan
d. Perkotaan Pasar Masurai di Kecamatan Lembah Masurai berfungsi sebagai
pusat pemerintahan kecamatan, perdagangan dan jasa sub regional,
permukiman perkotaan, industri pengolahan, pusat kesehatan, pusat rekreasi,
olahraga dan wisata, pusat pendidikan, pusat peribadatan, dan simpul
transportasi.
(4) PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berfungsi sebagai pusat
pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala kecamatan atau
beberapa desa, pasar lokal, industri kecil dan kerajinan rumah tangga dan simpul
transportasi meliputi:
a. Perkotaan Simpang Limbur Merangin di Kecamatan Pamenang Barat berfungsi
sebagai pusat pemerintahan kecamatan, permukiman, pusat pelayanan
fasilitas umum skala kecamatan/ beberapa desa, pasar lokal, industri kecil dan
kerajinan rumah tangga, dan simpul transportasi;
b. Perkotaan Rawa Jaya di Kecamatan Tabir Selatan berfungsi sebagai pusat
pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala kecamatan/
beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil dan kerajinan rumah
tangga, simpul transportasi;
c. Perkotaan Muara Jernih di Kecamatan Tabir Ulu berfungsi sebagai pusat
pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala kecamatan/
beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil dan kerajinan rumah
tangga, simpul transportasi;
d. Perkotaan Tambang Emas di Kecamatan Pamenang Selatan berfungsi sebagai
pusat pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala
kecamatan/ beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil dan
kerajinan rumah tangga, simpul transportasi;
e. Perkotaan Meranti di Kecamatan Renah Pamenang berfungsi sebagai pusat
pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala kecamatan/
beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil dan kerajinan rumah
tangga, simpul transportasi;
f. Perkotaan Muara Madras di Kecamatan Jangkat berfungsi sebagai pusat
pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala kecamatan/
beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil dan kerajinan rumah
tangga, simpul transportasi;
g. Perkotaan Rantau Suli di Kecamatan Sungai Tenang berfungsi sebagai pusat
pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala kecamatan/
beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil dan kerajinan rumah
tangga, simpul transportasi;
h. Perkotaan Pasar Muara Siau di Kecamatan Muara Siau berfungsi sebagai
pusat pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala
kecamatan/ beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil dan
kerajinan rumah tangga, simpul transportasi;
11
i. Perkotaan Sekancing di Kecamatan Tiang Pumpung berfungsi sebagai pusat
pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala kecamatan/
beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil dan kerajinan rumah
tangga, simpul transportasi;
j. Perkotaan Pulau Rengas di Kecamatan Bangko Barat berfungsi sebagai pusat
pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala
kecamatan/beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil dan
kerajinan rumah tangga, simpul transportasi dan sentra industri dan
pergudangan;
k. Perkotaan Lubuk Gaung di Kecamatan Batang Masumai berfungsi sebagai
pusat pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala
kecamatan/beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil dan
kerajinan rumah tangga, simpul transportasi;
l. Perkotaan Sungai Ulak di Kecamatan Nalo Tantan berfungsi sebagai pusat
pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala
kecamatan/beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil dan
kerajinan rumah tangga, simpul transportasi, dan industri dan pergudangan;
m. Perkotaan Simpang Parit di Kecamatan Renah Pembarap berfungsi sebagai
pusat pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala
kecamatan/beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil dan
kerajinan rumah tangga, simpul transportasi;
n. Perkotaan Sungai Jering di Kecamatan Pangkalan Jambu berfungsi sebagai
pusat pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala
kecamatan/beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil dan
kerajinan rumah tangga, simpul transportasi;
o. Perkotaan Rantau Limau Manis di Kecamatan Tabir Ilir berfungsi sebagai pusat
pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala
kecamatan/beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil dan
kerajinan rumah tangga, simpul transportasi;
p. Perkotaan Sungai Bulian di Kecamatan Tabir Timur berfungsi sebagai pusat
pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala
kecamatan/beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil dan
kerajinan rumah tangga, simpul transportasi;
q. Perkotaan Mensango di Kecamatan Tabir Lintas berfungsi sebagai pusat
pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala
kecamatan/beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil dan
kerajinan rumah tangga, simpul transportasi, dan industri dan pergudangan;
r. Perkotaan Tanjung Rejo di Kecamatan Margo Tabir berfungsi sebagai pusat
pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala
kecamatan/beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil dan
kerajinan rumah tangga, simpul transportasi; dan
s. Perkotaan Muara Kibul di Kecamatan Tabir Barat berfungsi sebagai pusat
pemerintahan kecamatan, pusat pelayanan fasilitas umum skala
kecamatan/beberapa desa, permukiman, pasar lokal, industri kecil dan
kerajinan rumah tangga, dan simpul transportasi.
Pasal 12
Sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 akan diatur lebih lanjut
dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang ditetapkan melalui Peraturan
Daerah.
12
Bagian Ketiga
Sistem Jaringan Prasarana Utama
Pasal 13
(1) Sistem Jaringan prasarana utama wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf b meliputi:
a. sistem jaringan transportasi darat; dan
b. sistem jaringan perkeretaapian.
(2) Sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi:
a. jaringan jalan;
b. prasarana lalu lintas dan angkutan jalan; dan
c. jaringan pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan
(3) Sistem jaringan perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi:
a. jaringan jalur kereta api umum; dan
b. prasarana perkeretaapian.
Paragraf 1
Sistem Jaringan Transportasi Darat
Pasal 14
(1) Jaringan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) meliputi:
a. jalan arteri;
b. jalan kolektor;
c. jalan lokal; dan
d. pengembangan jaringan jalan baru.
(2) Jalan arteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. ruas jalan batas Kabupaten Bungo/Kabupaten Merangin-batas Kota Bangko;
b. ruas jalan batas Kota Bangko-batas Kabupaten Sarolangun/Kabupaten
Merangin;
c. ruas jalan Lintas Sumatra I (Bangko); dan
d. ruas jalan Lintas Sumatra II (Bangko).
(3) Jaringan jalan kolektor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. Kolektor (K1) meliputi: jalan Makalam Bangko, jalan M. Yamin Bangko, dan
jalan Bangko – Sungai Manau; dan
b. Kolektor (K2) meliputi : ruas Jalan Simpang Jelatang – Batas kabupaten
Merangin/Kabupaten Sarolangun, ruas jalan Simpang kuamang – Batas
Kabupaten Merangin/Kabupaten Bungo, ruas jalan Jangkat – Batas Kabupaten
Merangin/kabupaten Sarolangun, ruas jalan Simpang Pulau Rengas – Jangkat,
ruas jalan Simpang margoyoso – Kabupaten Merangin/kabupaten Sarolangun,
dan ruas jalan Simpang Merkeh – Air Batu (Akses Geopark Merangin).
(4) Jaringan jalan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a. ruas jalan Tambang Mas-Tanjung Benuang–Selango - batas Kabupaten
Sarolangun;
b. ruas jalan Simpang Lubuk Gaung - Simpang Tiga Desa Nalo;
c. ruas jalan Sungai Ulak - Aur Duri;
d. ruas jalan Aur Duri –Telun - Simpang Pulau Layang;
e. ruas jalan Simpang Limbur Merangin - Pinang Merah - Simpang Empat Rasau;
f. ruas jalan Rantau Panjang - Rantau Limau Manis;
g. ruas jalan Simpang Seling - Muara Jernih- Ngaol;
h. ruas jalan Kotojati;
i. ruas jalan Sungai Manau - Sungai Pinang – Sengayau - Ngaol;
j. ruas jalan Simpang Pasar Masurai - Tanjung Dalam – Koto Tapus;
13
k. ruas jalan Kebun Sayur - Simpang Talang Kawo;
l. ruas jalan Simpang Talang Kawo – Simpang Empat Rasau;
m. ruas jalan Ulak Makam – Kotaraja;
n. ruas jalan Simpang Air Batu – Kotaraja;
o. ruas jalan Simpang Mentawak - Sinar Gading - Muara Delang;
p. ruas jalan Simpang Sekancing - Baru Tiang Pumpung - Rantau Limau Kapas;
q. ruas jalan Muara Kibul - Batang Kibul;
r. ruas jalan Jembatan Rasau - Pasar Pamenang;
s. ruas jalan Rejosari – Simpang Rasau;
t. ruas jalan Sri Sembilan - Sungai Limau;
u. ruas jalan Simpang Kodim - Simpang Talang Kawo;
v. ruas jalan Muara Jernih - Danau;
w. ruas jalan BIRR SMA 6 Merangin – Pasar Baru Bangko;
x. ruas jalan BIRR Pasar Baru - Salam Buku; dan
y. ruas jalan BIRR Sungai Ulak – Kandis
z. ruas jalan Simpang Merkeh – Air Batu
(5) Pengembangan jaringan jalan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
berupa pembangunan dan pengembangan Jalan Bangko Outer Ring Road (BORR)
yang meliputi jalur:
a. ruas jalan Simpang Dusun Mudo Langling-Simpang Talang Kawo;
b. ruas jalan Simpang Talang Kawo-Pulau Rengas;
c. ruas jalan Simpang Mentawak-Simpang Dusun Mudo Langling; dan
d. ruas jalan Pulau Rengas-Rantau Alai-Sungai Ulak- Simpang Mentawak.
(6) Penetapan status jalan kabupaten diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bupati:
Pasal 15
(1) Prasarana lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (2) huruf b terdiri atas:
a. terminal penumpang; dan
b. terminal barang.
(2) Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. pengembangan terminal tipe A di Perkotaan Bangko; dan
b. pembangunan terminal tipe C di Perkotaan Bangko, Perkotaan Rantau
Panjang, Perkotaan Pamenang, Perkotaan Sungai Manau dan Perkotaan
Pasar Masurai.
(3) Terminal barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b berada di
Kecamatan Bangko.
Pasal 16
(1) Jaringan pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2) huruf c meliputi:
a. angkutan penumpang; dan
b. angkutan barang.
(2) Angkutan penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa
pengembangan jalur angkutan yang menghubungkan antar pusat – pusat kegiatan
meliputi:
a. jalur Jawa-Sumatra Selatan (Lubuk Linggau)–Sarolangun–Bangko-Muara
Bungo-Sumatera Barat (Sijunjung);
b. Bangko-Sungai Manau -Sanggaran Agung - Sungai Penuh;
c. Bangko–Sarolangun–Muara Bulian–Jambi;
d. Bangko–Bungo; dan
e. jalur penghubung antar kecamatan di Kabupaten Merangin.
(3) Angkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
14
a. jalur Jawa-Sumatra Selatan (Lubuk Linggau)–Sarolangun – Bangko - Muara
Bungo - Sumatera Barat (Sijunjung);
b. jalur Bangko – Sarolangun – Muara Bulian – Jambi–Kuala Tungkal/Ujung
Jabung/Muara Sabak; dan
c. jalur Bangko-Sungai Manau - Sanggaran Agung - Sungai Penuh.
Paragraf 2
Sistem Jaringan Perkeretaapian
Pasal 17
(1) Jaringan jalur kereta api umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3)
huruf a berupa rencana pembangunan jalur kereta api yang menghubungkan batas
Kabupaten Sarolangun–Kec. Pamenang-Kec. Pamenang Barat-Kec. Bangko-Kec.
Nalo Tantan-Kec. Tabir Lintas-Kec. Tabir-batas Kabupaten Bungo.
(2) Prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf b
meliputi:
a. pembangunan stasiun penumpang di Kecamatan Pamenang, Kecamatan
Bangko dan Kecamatan Tabir; dan
b. pembangunan stasiun barang di Kecamatan Bangko
Bagian Keempat
Sistem Jaringan Prasarana Lainnya
Pasal 18
Sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf c meliputi:
a. sistem jaringan energi dan kelistrikan;
b. sistem jaringan telekomunikasi;
c. sistem jaringan sumber daya air; dan
d. sistem jaringan prasarana wilayah lainnya.
Paragraf 1
Sistem Jaringan Energi dan Kelistrikan
Pasal 19
(1) Sistem jaringan energi dan kelistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf
a meliputi:
a. pembangkit tenaga listrik;dan
b. jaringan transmisi listrik.
(2) Pembangkit tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Langkup di
Kecamatan Jangkat;
b. pengembangan dan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro
(PLTMH) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro pada daerah-daerah
potensial yang terisolir dan sulit dijangkau jaringan listrik; dan
c. pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) di
Kecamatan Jangkat dan Kecamatan Sungai Tenang.
(3) Jaringan transmisi listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. pengembangan gardu induk di Kecamatan Nalo Tantan dan pembangunan
gardu induk di Kecamatan Jangkat;
b. pengembangan jaringan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 150 (seratus
lima puluh) kVA yang menghubungkan:
15
1. Sumatera Barat–Jambi–Sumatera Selatan yang melewati Kecamatan
Tabir–Kecamatan tabir Lintas–Kecamatan Nalo Tantan –Kecamatan
Bangko–Kecamatan Pamenang Barat–Kecamatan Pamenang; dan
2. Kecamatan Bangko-Kecamatan Batang Masumai–Kecamatan Renah
Pembarap–Kecamatan Sungai Manau–dan Kecamatan Pangkalan Jambu–
Batas Kerinci.
c. pengembangan jaringan Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM) dengan
kapasitas 50 (lima puluh) kVA menghubungkan antar kecamatan di Kabupaten
Merangin.
Paragraf 2
Sistem Jaringan Telekomunikasi
Pasal 20
Paragraf 3
Sistem Jaringan Sumber Daya Air
Pasal 21
(1) Sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c
meliputi:
a. wilayah sungai (WS);
b. Cekungan Air Tanah (CAT);
c. jaringan irigasi;
d. danau;
e. jaringan air baku untuk air bersih; dan
f. sistem pengendalian daya rusak air.
(2) Wilayah sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. wilayah sungai lintas provinsi Teramang Muar yang mencakup DAS Air Dikit;
dan
b. wilayah sungai lintas provinsi Batanghari, yang mencakup Sub DAS Batang
Tembesi, Sub DAS Batang Tabir, Sub DAS Batang Merangin dan Sub DAS
Batang Masumai.
(3) Cekungan Air Tanah (CAT) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah
CAT Bangko-Sarolangun.
(4) Jaringan irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa Daerah
Irigasi (DI) kewenangan Kabupaten yang meliputi:
a. DI Betuk di Kecamatan Tabir seluas 606 (enam ratus enam) hektar;
b. DI Sei Ulak di Kecamatan Tabir seluas 489 (empat ratus delapan puluh
sembilan) hektar;
16
c. DI Sei Sembilang di Kecamatan Tabir seluas 234 (dua ratus tiga puluh empat)
hektar;
d. DI Karang Birahi di Kecamatan Pamenang seluas 70 (tujuh puluh) hektar;
e. DI Sungai Birun di Kecamatan Pangkalan Jambu seluas 119 (seratus sembilan
belas) hektar;
f. DI Sei Supermin di Kecamatan Pangkalan Jambu seluas 70 (tujuh puluh)
hektar;
g. DI Sei Tanjung Mudo di Kecamatan Pangkalan Jambu seluas 93 (sembilan
puluh tiga) hektar;
h. DI Sei Pelipan di Kecamatan Sungai Manau seluas 88 (delapan puluh
delapan) hektar;
i. DI Sei Nagan di Kecamatan Sungai Manau 98 (sembilan puluh delapan)
hektar;
j. DI Sei Tiangko di Kecamatan Sungai Manau seluas 175 (seratus tujuh puluh
lima) hektar;
k. DI Sei Nilau di Kecamatan Sungai Manau seluas 66 (enam puluh enam)
hektar;
l. DI Sei Lintang di Kecamatan Sungai Manau seluas 65 (enam puluh lima)
hektar;
m. DI Sei Semayo di Kecamatan Tabir seluas 172 (seratus tujuh puluh dua)
hektar;
n. DI Sei Petepah di Kecamatan Tabir seluas 151 (seratus lima puluh satu)
hektar;
o. DI Beringin di Kecamatan Pamenang Barat seluas 62 (enam puluh dua)
hektar; dan
p. DI Batang Nibung di Kecamatan Batang Masumai seluas 644 (enam ratus
empat puluh empat) hektar.
(5) Danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi Danau Depati Empat,
Danau Pauh, dan Danau Kumbang;
(6) Jaringan air baku untuk air bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
meliputi:
a. pengembangan air bersih dengan pipa intake dari Batang Merangin, Batang
Tabir, Batang Tembesi, dan Batang Masumai;
b. sumur bor II di Kecamatan Bangko; dan
c. rencana pengembangan sumber air baku Sigerincing di Kecamatan Lembah
Masurai.
(7) Sistem pengendalian daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e
meliputi:
a. pembangunan turap/tanggul di sepanjang wilayah Sungai Teramang Muar,
Sungai Batang Merangin, Sungai Batang Tembesi, Sungai Batang Tabir dan
Sungai Batang Masumai, dan
b. pembangunan embung di Kecamatan Pamenang.
Paragraf 4
Sistem Jaringan Prasarana Lainnya
Pasal 22
(1) Sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf d
meliputi:
a. sistem persampahan;
b. sistem penyediaaan air minum;
c. sistem pengelolaan air limbah;
d. sistem jaringan drainase; dan
e. jalur dan ruang evakuasi bencana.
(2) Sistem persampahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
17
a. Pengembangan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah Sampah dengan
sistim lahan urug saniter (sanitary landfill) di Desa Langling Kecamatan Bangko;
b. Pembangunan Tempat Penampungan Sampah Sementara di perkotaan
Pamenang, Rantau Panjang, Sungai Manau dan Pasar Masurai; dan
c. Peningkatan sarana prasarana pendukung pelayanan persampahan.
(3) Sistem penyediaan air minum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi:
a. pengembangan sistem penyediaan air minum perpipaan di pusat permukiman
PKWp, PKL dan PPK; dan
b. Pengembangan sistem penyediaan air minum non perpipaan di seluruh wilayah
kecamatan.
(4) Sistem pengelolaan air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
meliputi:
a. Pengelolaan air limbah permukiman dengan sistem pembuangan air limbah
setempat di seluruh kawasan permukiman;
b. Pengembangan sistem pembuangan air limbah dengan menggunakan tanki
septik komunal setempat pada kawasan perumahan perkotaan padat penduduk;
c. Pengelolaan air limbah industri dan air limbah medis dilakukan dengan
penyediaan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) tersendiri; dan
d. Pembangunan dan pengembangan unit pengolahan akhir lumpur tinja di Desa
Langling Kecamatan Bangko.
(5) Sistem jaringan drainase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi:
a. Pemanfaatan sungai-sungai sebagai jaringan drainase utama (primer) seperti
wilayah sungai teramang Muar, batang tembesi, batang merangin, batang tabir,
dan batang masumai;
b. Pembangunan dan pengembangan jaringan drainase sekunder yang terdapat
disepanjang jaringan jalan utama perkotaan dan perdesaan;
c. Pembangunan saluran drainase beton pada sungai atau saluran air yang
merupakan drainase sekunder yang berada di kawasan-kawasan permukiman
perkotaan; dan
d. Pembangunan dan pengembangan jaringan drainase tersier pada kawasan-
kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan.
(6) Jalur dan ruang evakuasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf e
meliputi:
a. pengembangan jalur evakuasi bencana tanah longsor meliputi:
1. ruas Muara Madras – Pasar Masurai;
2. ruas Rantau Suli – Tanjung Dalam – Pasar Masurai;
3. ruas Ngaol – Sengayau – Sungai Manau;
4. ruas Ngaol – Muara Kibul; dan
5. ruas Durian Rambun – Lubuk Birah – Lubuk Beringin – Pasar Muara Siau.
b. pengembangan jalur evakuasi bencana banjir meliputi:
1. ruas Ngaol – Muara Kibul – Muara Jernih – Simpang Seling;
2. ruas Rantau Limau Manis – Rantau Panjang;
3. ruas Nalo – Simpang Lubuk Gaung;
4. ruas Nalo – Sungai Ulak; dan
5. ruas Empang Benao – Tanjung Gedang – Pasar Pemenang
c. pengembangan jalur evakuasi bencana gempa bumi di ruas jalan Simpang
Danau Pauh - Rantau Kermas - Tanjung Kasri - Renah Kemumu - Batas
Kabupaten Kerinci (Lempur), dan Rantau kermas-Batas Provinsi Bengkulu:
d. ruang evakuasi bencana berada di kantor kecamatan, bangunan sekolah, dan
bangunan pemerintah lainnya meliputi:
1. Kecamatan Jangkat;
2. Kecamatan Sungai Tenang;
3. Kecamatan Lembah Masurai;
4. Kecamatan Muara Siau;
5. Kecamatan Tabir Barat;
18
6. Kecamatan Tabir Ulu;
7. Kecamatan Sungai Manau;
8. Kecamatan Renah Pembarap;
9. Kecamatan Pangkalan Jambu;
10. Kecamatan Tabir;
11. Kecamatan Tabir Ilir;
12. Kecamatan Nalo Tantan; dan
13. Kecamatan Pamenang.
BAB IV
RENCANA POLA RUANG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 23
Bagian Kedua
Kawasan Lindung
Pasal 24
Rencana pola ruang kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1)
huruf a meliputi:
a. kawasan hutan lindung;
b. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya;
c. kawasan perlindungan setempat;
d. kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya; dan
e. kawasan rawan bencana alam.
Paragraf 1
Kawasan Hutan Lindung
Pasal 25
Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a dengan luas
kurang lebih 35.484,10 (tiga puluh lima ribu empat ratus delapan puluh empat koma
sepuluh) hektar yang meliputi:
a. hutan lindung Gunung Tungkat di Kecamatan Lembah Masurai dan Kecamatan
Sungai Tenang;
b. hutan lindung Bukit Muncung Gunung Gamut di Kecamatan Jangkat dan
Kecamatan Sungai Tenang; dan
c. hutan lindung Hulu Landai Bukit Pale di Kecamatan Tiang Pumpung, Kecamatan
Muara Siau, Kecamatan Lembah Masurai, dan Kecamatan Sungai Tenang.
19
Paragraf 2
Kawasan Yang Memberikan Perlindungan
Terhadap Kawasan Bawahannya
Pasal 26
Paragraf 3
Kawasan Perlindungan Setempat
Pasal 27
20
Paragraf 4
Kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam dan Cagar Budaya
Pasal 28
(1) Kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 huruf d meliputi:
a. Suaka alam laut dan perairan lainnya;
b. taman nasional;
c. taman wisata alam; dan
d. kawasan cagar budaya.
(2) Suaka alam laut dan perairan lainya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
adalah reservaat atau suaka perikanan Batu Ciri Taman Ciri Sungai Batang Tabir
di Desa Telentam Kecamatan Tabir Barat sebagai Lubuk Inti (zona inti) dan Lubuk
Lanca Bemban sebagai lubuk penyangga (zona penyangga) ;
(3) Taman nasional sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa
kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat seluas kurang lebih 163.439 (seratus
enam puluh tiga empat ratus tiga puluh sembilan koma nol) hektar yang meliputi:
1. Kecamatan Tabir Barat;
2. Kecamatan Pangkalan Jambu;
3. Kecamatan Sungai Manau;
4. Kecamatan Muara Siau;
5. Kecamatan Lembah Masurai;
6. Kecamatan Jangkat; dan
7. Kecamatan Sungai Tenang.
(4) Taman wisata alam seluas kurang lebih 145,83 (seratus empat puluh lima koma
delapan puluh tiga) hektar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a. Taman Wisata Alam Arboretum Rio Alif Bangko di Kecamatan Bangko;
b. Taman Wisata Alam Sungai Misang di Kecamatan Bangko;
c. Taman Wisata Alam Bukit Tiung di Kecamatan Bangko; dan
d. Kawasan Geopark di Kecamatan Bangko Barat dan Kecamatan Renah
Pembarap.
(5) Kawasan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi:
a. kawasan Cagar Budaya Rumah Tuo Rantau Panjang di Kecamatan Tabir; dan
b. kawasan cagar budaya Batu Bertulis Karang Berahi di Desa Karang Berahi
Kecamatan Pamenang;
c. kawasan cagar budaya Batu Larung di Desa Tuo Kecamatan Lembah Masurai.
(6) Pengaturan tentang Taman Wisata Alam sebagaimana dimaksud pada pasal 4 dan
kawasan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada pasal 5, diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Bupati.
Paragraf 5
Kawasan Rawan Bencana Alam
Pasal 29
(1) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf e
meliputi:
a. Kawasan rawan bencana longsor;
b. Kawasan rawan bencana banjir; dan
c. Kawasan rawan gempa bumi.
(2) Kawasan rawan bencana longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi:
a. Kecamatan Jangkat;
b. Kecamatan Sungai Tenang;
c. Kecamatan Lembah Masurai.
d. Kecamatan Muara Siau;
21
e. Kecamatan Tabir Barat;
f. Kecamatan Pangkalan Jambu; dan
g. Kecamatan Sungai Manau;
(3) Kawasan rawan bencana banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi:
a. Kecamatan Tabir Barat;
b. Kecamatan Tabir Ulu;
c. Kecamatan Tabir;
d. Kecamatan Tabir Ilir;
e. Kecamatan Nalo Tantan; dan
f. Kecamatan Pamenang;
g. Kecamatan Margo Tabir
(4) Kawasan rawan gempa bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
meliputi:
a. Kecamatan Lembah Masurai;
b. Kecamatan Jangkat;
c. Kecamatan Sungai Tenang.
d. Kecamatan Muara Siau;
e. Kecamatan Tabir Barat; dan
f. Kecamatan Pangkalan Jambu.
Bagian Ketiga
Kawasan Budi Daya
Pasal 30
Rencana pola kawasan budi daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1)
huruf b meliputi:
a. kawasan peruntukan hutan produksi;
b. kawasan peruntukan pertanian;
c. kawasan peruntukan perikanan;
d. kawasan peruntukan pertambangan;
e. kawasan peruntukan industri;
f. kawasan peruntukan pariwisata;
g. kawasan peruntukan permukiman; dan
h. kawasan peruntukan lainnya.
Paragraf 1
Kawasan Peruntukan Hutan Produksi
Pasal 31
Paragraf 2
Kawasan Peruntukan Pertanian
Pasal 32
Paragraf 3
Kawasan Peruntukan Perikanan
Pasal 33
Paragraf 4
Kawasan Peruntukan Pertambangan
Pasal 34
Paragraf 5
Kawasan Peruntukan Industri
Pasal 35
Paragraf 6
Kawasan Peruntukan Pariwisata
Pasal 36
27
Paragraf 7
Kawasan Peruntukan Permukiman
Pasal 37
Paragraf 8
Kawasan Peruntukan Lainnya
Pasal 38
BAB V
PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS
Bagian Pertama
Umum
Pasal 39
28
Bagian Kedua
Kawasan Strategis Nasional
Pasal 40
Kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) huruf a
berupa kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan
hidup berada di Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Bagian Ketiga
Kawasan Strategis Provinsi
Pasal 41
Kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) huruf b
berupa kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi yaitu Bangko-Sarolangun.
Bagian Keempat
Kawasan Strategis Kabupaten
Pasal 42
(1) Kawasan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1)
huruf c merupakan kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi yang
meliputi:
a. kawasan strategis perkotaan Bangko; dan
b. kawasan strategis Lembah Jang Tenang yang meliputi Kecamatan Lembah
Masurai, Kecamatan Jangkat, dan Kecamatan Sungai Tenang.
(2) Kawasan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dalam Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis yang ditetapkan dengan
Peraturan Daerah
(3) Pada kawasan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibentuk Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) yang diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Bupati.
BAB VI
ARAHAN PEMANFAATAN RUANG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 43
29
Bagian Kedua
Perwujudan Rencana Struktur Ruang
Pasal 44
Perwujudan rencana struktur ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2)
huruf a meliputi:
a. perwujudan sistem pusat kegiatan;
b. perwujudan sistem jaringan prasarana utama; dan
c. perwujudan sistem jaringan prasarana lainnya.
Paragraf 1
Pasal 45
Pasal 46
Pasal 47
(1) Pengembangan Pusat Kegiatan Lokal (PKL) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
45 huruf b berupa pembangunan di Perkotaan Rantau Panjang meliputi:
a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan Perkotaan Rantau
Panjang;
b. pengembangan perkantoran pemerintahan kecamatan;
c. pembangunan pusat perdagangan skala sub regional, meliputi:
1. pengembangan pasar sub regional Rantau Panjang;
2. pengembangan pertokoan;
3. pembangunan SPBU/SPPBE,
4. pembangunan pasar hewan; dan
5. pembangunan toko kerajinan/souvenir.
d. pembangunan pusat jasa skala sub regional, meliputi:
1. pembangunan perbankan; dan
2. pembangunan hotel/penginapan.
e. pengembangan pusat kesehatan skala sub regional, meliputi:
1. pembangunan Rumah Sakit Tipe D; dan
2. Pengembangan puskesmas rawat inap.
f. pengembangan pusat rekreasi, olahraga dan wisata, meliputi:
1. pembangunan taman rekreasi; dan
2. taman kota dan pengembangan wisata.
g. pengembangan pusat pendidikan skala sub regional, meliputi
1. pengembangan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri;
2. pembangunan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK); dan
3. pembangunan pondok pesantren.
h. pembangunan masjid raya;
i. pengembangan dan pembangunan simpul transportasi, meliputi
1. pengembangan terminal Tipe C di Perkotaan Rantau Panjang; dan
2. pembangunan jaringan rel Kereta Api (KA).
j. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan permukiman; dan
k. pembangunan Tempat Penampungan Sampah Sementara.
(2) Pengembangan Pusat Kegiatan Lokal (PKL) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
45 huruf b berupa pembangunan di Perkotaan Pamenang meliputi:
a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan Perkotaan
Pamenang;
b. pengembangan perkantoran pemerintahan kecamatan;
c. pembangunan pusat perdagangan skala sub regional, meliputi:
1. pengembangan pasar sub regional Pamenang;
31
2. pengembangan pertokoan;
3. pembangunan SPBU/SPPBE;
4. pembangunan pasar hewan; dan
5. pembangunan toko kerajinan/souvenir.
d. pembangunan pusat jasa skala sub regional, meliputi:
1. pembangunan perbankan; dan
2. pembangunan hotel/penginapan.
e. pengembangan pusat kesehatan skala sub regional, meliputi:
1. pembangunan Rumah Sakit Tipe D; dan
2. Pengembangan puskesmas rawat inap.
f. pengembangan pusat rekreasi, olahraga dan wisata, meliputi:
1. pembangunan taman rekreasi; dan
2. taman kota dan pengembangan wisata.
g. pengembangan pusat pendidikan skala sub regional, meliputi:
1. pengembangan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri;
2. pembangunan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK); dan
3. pembangunan pondok pesantren.
h. pembangunan masjid raya.
i. pengembangan dan pembangunan simpul transportasi, meliputi:
1. pengembangan terminal Tipe C di Perkotaan Pamenang; dan
2. pembangunan jaringan rel Kereta Api (KA);
i. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan permukiman; dan
j. Pembangunan Tempat Penampungan Sampah Sementara.
(3) Pengembangan Pusat Kegiatan Lokal (PKL) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
45 huruf b berupa pembangunan di Perkotaan Sungai Manau meliputi:
a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan Perkotaan Sungai
Manau;
b. pengembangan perkantoran pemerintahan kecamatan;
c. pembangunan pusat perdagangan skala sub regional, meliputi:
1. pengembangan pasar sub regional Sungai Manau;
2. pengembangan pertokoan;
3. pembangunan SPBU/SPPBE;
4. pembangunan pasar hewan; dan
5. pembangunan toko kerajinan/souvenir.
d. pembangunan pusat jasa skala sub regional, meliputi:
1. pembangunan perbankan; dan
2. pembangunan hotel/penginapan.
e. pengembangan pusat kesehatan skala sub regional, meliputi:
1. pembangunan Rumah Sakit Tipe D; dan
2. Pengembangan puskesmas rawat inap.
f. pengembangan pusat rekreasi, olahraga dan wisata, meliputi:
1. pembangunan taman rekreasi dan taman kota; dan
2. pengembangan wisata.
g. pengembangan pusat pendidikan skala sub regional;
1. pengembangan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri;
2. pembangunan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK); dan
3. pembangunan pondok pesantren.
h. pembangunan masjid raya
i. pengembangan dan pembangunan simpul transportasi berupa terminal Tipe C
di Perkotaan Sungai Manau;
j. pembangunan TPA sub regional; dan
k. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan permukiman.
(4) Pengembangan Pusat Kegiatan Lokal (PKL) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
45 ayat (1) huruf b berupa pembangunan di Perkotaan Pasar Masurai meliputi:
a. penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kawasan Perkotaan Pasar
Masurai;
32
b. pengembangan perkantoran pemerintahan kecamatan;
c. pembangunan pusat perdagangan skala sub regional, meliputi:
1. pengembangan pasar sub regional Pasar Masurai;
2. pengembangan pertokoan;
3. pembangunan SPBU/SPPBE;
4. pembangunan pasar hewan; dan
5. pembangunan toko kerajinan/souvenir.
d. pembangunan pusat jasa skala sub regional, meliputi:
1. pembangunan perbankan; dan
2. pembangunan hotel/penginapan.
e. pengembangan pusat kesehatan skala sub regional, meliputi:
1. pembangunan Rumah Sakit Tipe D; dan
2. Pengembangan puskesmas rawat inap.
a. pengembangan pusat rekreasi, olahraga dan wisata, meliputi:
1. pembangunan taman rekreasi dan taman kota; dan
2. pengembangan wisata.
b. pengembangan pusat pendidikan skala sub regional, meliputi;
1. pengembangan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri;
2. pembangunan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK); dan
3. pembangunan pondok pesantren.
c. pembangunan masjid raya;
d. pengembangan dan pembangunan simpul transportasi berupa terminal Tipe C
di Perkotaan Pasar Masurai; dan
e. penataan, perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan permukiman;
f. Pembangunan Tempat Penampungan Sampah Sementara; dan
g. pembangunan dan pengembangan industri pengolahan.
Pasal 48
Paragraf 2
Perwujudan Sistem Jaringan Prasarana Utama
Pasal 49
(1) Perwujudan sistem jaringan prasarana utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal
44 huruf b meliputi:
a. perwujudan sistem transportasi darat; dan
b. perwujudan jaringan perkeretaapian.
(2) Perwujudan sistem transportasi darat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi:
a. Perwujudan jaringan jalan;
b. Perwujudan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan; dan
c. jaringan pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan
(3) Perwujudan jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
a. pengembangan sistem jaringan jalan arteri meliputi:
1. ruas Batas Kota muara bungo- BTS Kab. Bungo/Kab. Merangin;
2. ruas batas Kota Bangko-batas Kabupaten Sarolangun/Kabupaten Merangin;
3. ruas Lintas Sumatra I (Bangko); dan
4. ruas Lintas Sumatra II (Bangko);
b. pengembangan sistem jaringan jalan kolektor meliputi :
1. Simpang Bukit Tiung Bangko – Sungai Manau – Batas Kabupaten Kerinci
2. Ruas Simpang Pulau Rengas – Ma siau-Dusun Tuo – Jangkat – batang
asai- sei salak/BTS. Kab.sorolangun;
3. Ruas Simpang Margoyoso - Bungo Tanjung - Sri Sembilan -batas
Kabupaten Tebo;;
41
4. Ruas Sumber Agung - Muara Delang - Bungo Antoi - batas Kabupaten
Sarolangun; dan
5. Ruas Simpang Jelatang - batas Kabupaten Sarolangun;
c. pengembangan sistem jaringan jalan lokal meliputi:
1. Ruas Tambang Mas - Tanjung Benuang – Selango - batas Kabupaten
Sarolangun;
2. Ruas Simpang Lubuk Gaung - Simpang Tiga Desa Nalo;
3. Ruas Sungai Ulak - Aur Duri;
4. Ruas Aur Duri –Telun - Simpang Pulau Layang;
5. Ruas Simpang Limbur Merangin - Pinang Merah - Simpang Empat Rasau;
6. Ruas Rantau Panjang - Rantau Limau Manis;
7. Ruas Simpang Seling - Muara Jernih;
8. Ruas Muara Jernih - Ngaol;
9. Ruas jalan Nasional km 19 - Simpang Tugu Rantau Panjang;
10. Ruas jalan Propinsi km 43 Sungai Manau - Sungai Pinang – Sengayau -
Ngaol;
11. Ruas jalan Propinsi Pasar Masurai - Tanjung Dalam;
12. Ruas Tanjung Dalam - Koto Tapus;
13. Ruas Kebun Sayur - Simpang Talang Kawo;
14. Ruas Simpang Talang Kawo - Sungai Kapas - Bukit Bungkul;
15. Ruas Bukit Bungkul - Tambang Mas - Simpang Empat Rasau;
16. Ruas Ulak Makam - Tugu TMD Desa Air Batu;
17. Ruas lintas Sumatera - batas Kabupaten Bungo (Kuamang);
18. Ruas Simpang Mentawak - Sinar Gading - Muara Delang;
19. Ruas jalan provinsi Sekancing - Baru Tiang Pumpung - Rantau Limau
Kapas;
20. Ruas jalan Kibul - Batang Kibul;
21. Ruas Jembatan Rasau Jalan Lintas Sumatera - Pasar Pamenang -
Simpang Kenalip;
22. Ruas lintas Sumatera Rejosari – Sialang - Simpang Rasau;
23. Ruas kabupaten - Sungai Limau;
24. Ruas lintas Sumatera jalur 2 Kodim - Simpang Talang Kawo;
25. Ruas Jernih - Danau;
26. Ruas Kota Raja Jembatan TMD - Tugu Batas Kabupaten Tabir Ilir; dan
27. Ruas Lintas Sumatera SMA 6 Merangin – Pasar Baru Bangko.
d. pengembangan jaringan jalan baru berupa pembangunan dan pengembangan
Jalan Lingkar Luar Bangko (Bangko Outer Ring Road) yang meliputi ruas :
1. ruas Simpang Dusun Mudo - Langling - Simpang Talang Kawo;
2. ruas Simpang Talang Kawo - Pulau Rengas;
3. ruas Mentawak - Langling.
(4) Perwujudan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b meliputi:
a. pengembangan terminal tipe A di Perkotaan Bangko;
b. Pembangunan terminal tipe C di Perkotaan Rantau Panjang, Perkotaan
Pamenang, Perkotaan Sungai Manau dan Perkotaan Pasar Masurai; dan
c. Pengembangan terminal barang di Kecamatan Bangko.
(5) Perwujudan jaringan pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi:
a. pengembangan jalur angkutan penumpang yang menghubungkan antar pusat-
pusat kegiatan meliputi:
1. jalur Jawa-Sumatra Selatan (Lubuk Linggau)–Sarolangun–Bangko-Muara
Bungo-Sumatera Barat (Sijunjung);
2. Bangko-Simpang Pulau Rengas-Sanggaran Agung - Sungai Penuh);
3. Bangko–Sarolangun–Muara Bulian–Jambi;
4. Bangko–Bungo; dan
5. jalur penghubung antar kecamatan di Kabupaten Merangin
42
b. pengembangan jalur angkutan barang meliputi:
1. jalur Jawa-Sumatra Selatan (Lubuk Linggau)–Sarolangun – Bangko - Muara
Bungo - Sumatera Barat (Sijunjung);
2. jalur Bangko – Sarolangun – Muara Bulian – Jambi–Kuala Tungkal/Ujung
Jabung/Muara Sabak ; dan
3. jalur Bangko-Simpang Pulau Rengas - Sanggaran Agung - Sungai Penuh.
(6) Perwujudan jaringan perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi:
a. pembangunan dan pengembangan jaringan jalur kereta api berada di jalur
Kabupaten Sarolangun–Kec. Pamenang-Kec. Pamenang barat-Kec. Bangko-
Kec. Nalo tantan-Kec. Tabir lintas-Kec. Tabir-batas Kabupaten Bungo; dan
b. pembangunan stasiun kereta api, meliputi :
1. pembangunan stasiun kereta api penumpang di Kecamatan Bangko,
Kecamatan Pamenang, dan Kecamatan Tabir;
2. pembangunan stasiun kereta api khusus barang di Kecamatan Bangko
Paragraf 3
Perwujudan Sistem Jaringan Prasarana Lainnya
Pasal 50
Pasal 51
Perwujudan sistem jaringan energi dan kelistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
50 huruf a meliputi:
a. pengembangan kawasan potensi energi listrik tenaga air Batang Langkup di
Kecamatan Jangkat;
b. pengembangan dan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro
(PLTMH) pada daerah-daerah potensial yang terisolir dan sulit dijangkau jaringan
listrik;
c. pengembangan kawasan potensi panas bumi di Kecamatan Sungai Tenang dan
Kecamatan Jangkat;
d. pengembangan jaringan Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM) kapasitas 50
(lima puluh) kV yang menghubungkan antar kecamatan di Kabupaten Merangin;
dan
e. peningkatan pasokan daya listrik yang bersumber dari energi terbarukan untuk
memenuhi kebutuhan listrik perdesaan.
Pasal 52
(1) Perwujudan sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal
50 huruf c meliputi:
a. perwujudan pengembangan sistem pengelolaan wilayah sungai;
b. perwujudan pengembangan jaringan irigasi;
c. perwujudan pengembangan jaringan air baku untuk air bersih; dan
d. perwujudan pengembangan sistem pengendalian daya rusak air.
(2) Perwujudan sistem pengelolaan wilayah sungai sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a berupa pengembangan dan pengelolaan Wilayah Sungai lintas provinsi
Teramang Ipuh melalui:
a. rehabilitasi dan revitalisasi wilayah hulu sungai Teramang Muar yang
bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten yang berbatasan;
b. rehabilitasi dan revilitalisasi Sub Das Batang Merangin, Batang Tembesi, Batang
Masumai dan Batang Tabir;
c. penetapan wilayah sempadan sungai sebagai kawasan lindung;
d. revitalisasi sungai dan cek dam.
(3) Perwujudan pengembangan sistem jaringan irigasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b meliputi:
a. penambahan prasarana dan peningkatan fungsi jaringan irigasi meliputi saluran
irigasi primer, saluran irigasi sekunder, dan saluran irigasi tersier;
b. pengelolaan dan perlindungan daerah irigasi;
c. perbaikan jaringan irigasi teknis;
d. pemanfaatan jaringan irigasi untuk mengairi lahan pertanian;
e. konservasi sumber daya lahan dan air serta pemeliharaan jaringan irigasi untuk
menjamin tersedianya air untuk keperluan pertanian; dan
f. pengembangan jaringan irigasi dapat dilakukan secara terpadu dengan program
penyediaan air.
(4) Perwujudan pengembangan sistem jaringan air baku untuk air bersih sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi:
a. peningkatan pelayanan air bersih sistem perpipaan;
b. Pengembangan potensi air baku sigerincing:
c. pengelolaan dan pembatasan penggunaan air tanah;
d. identifikasi dan pengembangan sumber air baku baru;
e. kerjasama antar daerah terkait pengelolaan, rehabilitasi dan revitalisasi daerah
aliran sungai;
f. peningkatan pelayanan air bersih sistem perpipaan dengan target pencapaian
80 (delapan puluh) persen sesuai dengan Millenium Development Goals
(MDGs) bidang air bersih;
g. pembatasan dan pengendalian penggunaan air tanah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
h. pengembangan pemanfaatan air permukaan lainnya sebagai sumber air baku;
i. pengembangan pelayanan air bersih sistem perpipaan yang memanfaatkan
sumber air permukaan dan pengadaan hidran umum pada kawasan rawan air;
dan
j. pembuatan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) terpadu skala kawasan dan
kota serta IPLT (Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja) pada tiap-tiap lingkungan
untuk menjaga kualitas air permukaan dan air tanah.
(5) Perwujudan pengembangan sistem pengendalian daya rusak air berupa banjir dan
longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a. normalisasi dan rehabilitasi area kawasan resapan air melalui penanaman
pengkayaan atau reboisasi;
b. kerjasama antar Pemerintah Kota/Kabupaten dan lembaga terkait rehabilitasi
dan revitalisasi hulu sungai;
c. prioritas pembuatan embung pada kawasan rawan banjir seperti di Kecamatan;
44
d. menetapkan Garis Sempadan Sungai (GSS) sebagai kawasan lindung serta
melakukan reboisasi dan revitalisasi Garis Sempadan Sungai (GSS);
e. revitalisasi kawasan lindung dan membuka RTH publik sebesar 30 (tiga puluh)
persen dari luas daerah aliran sungai; dan
f. pembangunan turap/tanggul di sepanjang wilayah Sungai Teramang Ipuh,
Batang Merangin, Batang Tembesi, Batang Tabir dan Batang Masumai,
khususnya pada kawasan rawan banjir.
Pasal 54
Bagian Ketiga
Perwujudan Rencana Pola Ruang
Pasal 55
(1) Perwujudan pola ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) huruf b
meliputi:
a. perwujudan kawasan lindung; dan
b. perwujudan kawasan budidaya.
(2) Perwujudan kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi:
a. perwujudan kawasan hutan lindung;
b. perwujudan kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan
bawahannya;
c. perwujudan kawasan perlindungan setempat;
d. perwujudan kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya; dan
e. perwujudan kawasan rawan bencana alam.
(3) Perwujudan kawasan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi:
a. perwujudan kawasan peruntukan hutan produksi;
b. perwujudan kawasan peruntukan pertanian;
c. perwujudan kawasan peruntukan perikanan;
d. perwujudan kawasan peruntukan pertambangan;
e. perwujudan kawasan peruntukan industri;
f. perwujudan kawasan peruntukan pariwisata;
g. perwujudan kawasan peruntukan permukiman; dan
h. perwujudan kawasan peruntukan lainnya.
Pasal 56
Perwujudan kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2)
huruf a meliputi:
a. penetapan batas kawasan hutan lindung;
b. rehabilitasi hutan yang diselengggarakan melalui reboisasi, penghijauan,
pemeliharaan, pengayaan tanaman, konservasi tanah; dan
c. pelibatan masyarakat sekitar dalam pengelolaan kawasan.
Pasal 57
Pasal 58
Pasal 59
(1) Perwujudan kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf d meliputi:
a. perwujudan kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya;
b. perwujudan kawasan taman nasional;
48
c. perwujudan kawasan taman wisata alam; dan
d. perwujudan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.
(2) Perwujudan kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. penetapan batas kawasan;
b. pemantapan fungsi tiap zona kawasan;
c. perlindungan habitat endemik;
d. pelaksanaan rehabilitasi pada area yang mengalami kerusakan; dan
e. peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan kawasan.
(3) Perwujudan kawasan taman nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi:
a. penetapan batas kawasan;
b. pemantapan fungsi tiap zona kawasan;
c. perlindungan habitat endemik;
d. pelaksanaan rehabilitasi pada area yang mengalami kerusakan; dan
e. peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan kawasan taman
nasional.
(4) Perwujudan kawasan taman wisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c meliputi:
a. penetapan batas kawasan;
b. pemantapan fungsi tiap zona kawasan;
c. perlindungan habitat endemik;
d. pelaksanaan rehabilitasi pada area yang mengalami kerusakan; dan
e. peningkatan partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan kawasan taman wisata
alam.
(5) Perwujudan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d meliputi:
a. penetapan dan pemantapan jenis cagar budaya dan ilmu pengetahuan;
b. penetapan batas kawasan;
c. perencanaan kawasan; dan
d. rehabilitasi kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, penguatan program
dan pemberdayaan masyarakat.
Pasal 60
(1) Perwujudan kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal
55 ayat (2) huruf e meliputi:
a. perwujudan pengelolaan kawasan rawan bencana banjir;
b. perwujudan pengelolaan kawasan rawan bencana tanah longsor; dan
c. perwujudan pengelolaan kawasan rawan bencana gempa bumi.
(2) Perwujudan pengelolaan kawasan rawan bencana banjir sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. penyusunan rencana mitigasi bencana banjir;
b. penyediaan jalur dan ruang evakuasi bencana banjir;
c. pemetaan kawasan rawan bencana banjir;
d. penghijauan catchment area;
e. pengendalian pembangunan fisik dan perkembangan kawasan budidaya;
f. rehabilitasi saluran drainase primer;
g. pembuatan kolam penampung air berupa embung, bendung, bendungan, sumur
resapan, dan biopori;
h. pengamanan kawasan sempadan sungai; dan
i. sosialisasi teknis mitigasi banjir kepada masyarakat terdampak.
(3) Perwujudan pengelolaan kawasan rawan bencana tanah longsor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. pemetaan kawasan rawan bencana tanah longsor;
49
b. pemasangan rambu-rambu bahaya pada daerah rawan longsor di setiap wilayah
kecamatan;
c. penyusunan rencana mitigasi bencana tanah longsor;
d. penghijauan di kawasan hulu dengan tanaman berakar kuat;
e. penanganan kawasan secara teknis dan vegetatif;
f. pengembangan jalur evakuasi bencana tanah longsor;
g. penyediaan ruang evakuasi bencana tanah longsor;
h. pengendalian pembangunan fisik dan perkembangan kawasan budidaya di
kawasan rawan bencana; dan
i. penguatan kelembagaan masyarakat, kerjasama dan partisipasi organisasi non
pemerintah dalam penanganan bencana tanah longsor.
(4) Perwujudan pengelolaan kawasan rawan bencana gempa bumi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi:
a. pengembangan sistem peringatan dini (early warning system) pada kawasan
rawan bencana;
b. penguatan kapasitas masyarakat dan kelembagaan dalam menghadapi bahaya
gempa bumi;
c. standarisasi kualitas bangunan tahan gempa bumi, terutama bangunan/obyek
vital dan perumahan penduduk di seluruh wilayah Kabupaten;
d. pembangunan dan penguatan sistem komunikasi ke daerah-daerah terpencil;
e. penguatan akses informasi dan komunikasi ke dan dari instansi-instansi yang
menangani kegempaan dan kebencanaan; dan
f. penguatan dan peningkatan kerjasama dan partisipasi organisasi non
pemerintah dalam penanganan bencana gempa bumi.
Pasal 61
Pasal 62
(1) Perwujudan kawasan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3)
huruf b meliputi:
a. perwujudan kawasan pertanian tanaman pangan;
b. perwujudan kawasan hortikultura;
c. perwujudan kawasan perkebunan; dan
d. perwujudan kawasan peternakan.
(2) Perwujudan kawasan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a meliputi:
a. penetapan batas kawasan pertanian tanaman pangan;
b. peningkatan jaringan irigasi;
c. peningkatan intensifikasi lahan;
d. penyediaan sarana dan prasarana produksi;
e. penguatan kelembagaan petani terkait dengan pengelolaan sumber daya air
untuk irigasi, pengadaan sarana produksi, panen, pasca panen dan pemasaran;
dan
f. pengembangan kawasan pertanian melalui pendekatan agropolitan pada
kawasan-kawasan potensial.
50
(3) Perwujudan kawasan hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi:
a. penetapan kawasan sentra hortikultura dan penetapan komoditas unggulan;
b. peningkatan sarana dan prasarana hortikultura;
c. penguatan kelembagaan petani terkait dengan pengelolaan sumber daya air
untuk irigasi, pengadaan sarana produksi, panen, pasca panen dan pemasaran;
dan
d. pengembangan sentra agropolitan.
(4) Perwujudan kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
meliputi:
a. penetapan kawasan sentra perkebunan dan penetapan komoditas unggulan;
b. peningkatan sarana dan prasarana perkebunan;
c. penguatan kelembagaan petani terkait dengan pengadaan sarana produksi,
panen, pasca panen dan pemasaran; dan
d. pengembangan sentra perkebunan.
(5) Perwujudan kawasan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
meliputi:
a. penetapan kawasan sentra peternakan dan penetapan komoditas unggulan;
b. pengembangan sentra bibit unggul;
c. pengembangan sentra pengolahan pakan ternak;
d. pengembangan pengolahan hasil peternakan;
e. pengembangan pengolahan kotoran ternak;
f. peningkatan produktifitas peternakan dengan komoditas sapi, kerbau, kambing,
domba, ayam ras petelur, dan ayam ras pedaging; dan
g. peningkatan sarana dan prasarana peternakan.
Pasal 63
Pasal 64
51
Pasal 65
Pasal 66
Pasal 67
Pasal 68
Bagian Keempat
Perwujudan Kawasan Strategis
Pasal 69
Pasal 70
Pasal 71
Perwujudan Kawasan strategis provinsi sebagiman dimaksud dalam pasal 69 huruf b
berupa kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi yaitu koridor Bangko-
Sarolangun.
Pasal 72
53
BAB VII
KETENTUAN PENGENDALIAN
PEMANFAATAN RUANG
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 73
Bagian Kedua
Ketentuan Umum Peraturan zonasi
Pasal 74
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf a
digunakan sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dalam menyusun peraturan
zonasi.
(2) Dalam ketentuan umum peraturan zonasi sesuai dengan rencana rinci tata ruang
dimaksud meliputi:
a. ketentuan umum peraturan zonasi struktur ruang; dan
b. ketentuan umum peraturan zonasi pola ruang.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat:
a. kegiatan yang diijinkan;
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat; dan
c. kegiatan yang dilarang.
(4) Ketentuan teknis meliputi:
a. intensitas;
b. prasarana dan sarana minimum; dan
c. ketentuan lain-lain.
(5) Ketentuan umum peraturan zonasi dijabarkan lebih lanjut di dalam Lampiran V
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Pasal 75
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi struktur ruang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 74 ayat (2) huruf a meliputi:
a. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana utama; dan
b. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana lainnya.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana utama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. ketentuan umum peraturan zonasi sistem transportasi darat; dan
b. ketentuan umum peraturan zonasi jaringan kereta api.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana lainnya.
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan energi;
b. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan telekomunikasi;
c. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan sumber daya air; dan
d. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana wilayah lainnya.
54
Pasal 76
Pasal 77
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan kereta api sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) huruf b berupa peraturan zonasi sepanjang kiri
kanan jalur kereta api.
(2) Ketentuan zonasi sistem jaringan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. kegiatan bongkar muat barang; dan
2. kegiatan pelayanan jasa yang mendukung system jaringan kereta api.
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi:
1. kegiatan penunjang angkutan kereta api selama tidak mengganggu
perjalanan kereta api;
2. pembatasan perlintasan sebidang antara rel kereta api dengan jaringan jalan;
dan
3. perlintasan jalan dengan rel kereta api harus disertai palang pintu, rambu-
rambu, dan jalur pengaman dengan mengikuti ketentuan yang berlaku.
c. kegiatan yang dilarang meliputi:
1. kegiatan di sepanjang jalur kereta api yang berorientasi langsung tanpa ada
pembatas dalam sempadan rel kereta api; dan
2. kegiatan yang tidak memiliki hubungan langsung dengan jalur kereta api.
(3) Ketentuan teknis jaringan perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. intensitas KDB, KLB dan KDH menyesuaikan dengan jenis peruntukan yang
akan dilakukan memenuhi ketentuan sistem jaringan kereta api.
b. prasarana dan sarana minimum meliputi:
1. jaringan komunikasi sepanjang jalur kereta api;
2. rambu-rambu; dan
3. bangunan pengaman jalur kereta api.
c. ketentuan lain-lain meliputi:
57
1. sepanjang ruang sempadan dapat dikembangkan RTH produktif; dan
2. penyediaan rambu dan marka keselamatan pengguna lalu lintas yang
berhubungan dengan jalur kereta api.
Pasal 78
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 75 ayat (3) huruf a meliputi:
a. jaringan pipa minyak dan gas bumi, panas bumi; dan
b. jaringan listrik.
(2) Ketentuan zonasi jaringan pipa minyak dan gas bumi, panas bumi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a mengikuti kaidah keselamatan kawasan sekitar
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan zonasi jaringan listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi:
a. kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. RTH berupa taman; dan
2. pertanian tanaman pangan.
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi:
1. fasilitas umum dengan kepadatan dan intensitas rendah;
2. fasilitas komersial perdagangan, jasa, dan industri dengan kepadatan dan
intensitas rendah.
c. kegiatan yang dilarang meliputi:
1. fasilitas umum dengan kepadatan dan intensitas tinggi, dengan ketinggian
bangunan lebih dari dua lantai;
2. fasilitas komersial perdagangan, jasa, dan industri dengan kepadatan dan
intensitas tinggi, dengan ketinggian bangunan lebih dari dua lantai;
3. perumahan dengan kepadatan dan intensitas tinggi, dengan ketinggian
bangunan lebih dari dua lantai.
(4) Ketentuan teknis sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. Intensitas KDB, KLB, dan KDH menyesuaikan dengan jenis peruntukan yang
akan dilakukan dengan KDB 50% dan KLB 0,5.
b. prasarana dan sarana minimum berupa bangunan pelengkap.
c. ketentuan lain-lain melalui penyediaan RTH, pelataran parkir, dan ruang
keamanan pengguna.
Pasal 79
Pasal 80
Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan sumber daya air sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3) huruf c merupakan upaya mempertahankan
keberlanjutan kualitas lingkungan di kawasan sekitar prasarana sumber daya air
meliputi:
58
a. Wilayah Sungai (WS);
b. jaringan irigasi; dan
c. sumber air baku untuk air bersih.
Pasal 81
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi wilayah sungai (WS) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 80 huruf a meliputi:
a. kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. pertanian berupa tanaman keras, perdu, tanaman pelindung sungai;
2. pemasangan papan reklame/pengumuman;
3. pemasangan fondasi dan rentangan kabel listrik;
4. fondasi jembatan/jalan; dan
5. bangunan bendung/bendungan dan bangunan lalu lintas air seperti dermaga,
gardu listrik, bangunan telekomunikasi dan pengontrol/pengukur debit air.
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat berupa:
1. bangunan penunjang pariwisata;
2. bangunan pengontrol debit dan kualitas air; dan
3. bangunan pengolahan limbah dan bahan pencemar lainnya.
c. kegiatan yang dilarang berupa:
1. bangunan yang tidak berhubungan secara langsung dengan fungsi wilayah
sungai; dan
2. kegiatan baik berupa bangunan maupun bukan yang potensi mencemari
sungai.
(2) Ketentuan teknis wilayah sungai (WS) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. intensitas bangunan berupa KDB yang diijinkan 10%, KLB 10%, KDH 90%
sesuai ketentuan bangunan yang dimaksud;
b. prasarana dan sarana minimum berupa pelindung sungai berupa jalan setapak,
kelengkapan bangunan yang diijinkan, dan bangunan pelindung terhadap
kemungkinan banjir;
c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. sepanjang ruang sempadan dapat dikembangkan RTH produktif; dan
2. penyediaan rambu dan peringatan keselamatan terkait dengan badan air.
Pasal 82
Pasal 83
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sumber air baku untuk air bersih sebagaimana
dimaksud dalam pasal 80 huruf c diatur sesuai dengan rencana detail tata ruang
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku meliputi:
a. kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. pertanian berupa tanaman keras, perdu, tanaman pelindung mata air;
2. bangunan penunjang pemanfaatan mata air antara lain pipa sambungan air
bersih; dan
3. bangunan penampung air untuk didistribusikan sebagai air minum dan irigasi.
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat berupa:
1. bangunan penunjang pariwisata; dan
2. bangunan pengontrol debit dan kualitas air.
c. kegiatan yang dilarang berupa:
59
1. bangunan yang tidak berhubungan secara langsung dengan fungsi mata air;
dan
2. kegiatan baik berupa bangunan maupun bukan yang potensi mencemari mata
air.
(2) Ketentuan teknis sistem jaringan sumber air baku untuk air bersih sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. intensitas bangunan berupa KDB yang diijinkan 10%, KLB 10%, KDH 90%
sesuai ketentuan bangunan yang dimaksud;
b. prasarana dan sarana minimum berupa pelindung sungai berupa jalan setapak,
kelengkapan bangunan yang diijinkan, dan bangunan pelindung terhadap
kemungkinan banjir;
c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. sepanjang ruang sempadan dapat dikembangkan RTH produktif; dan
2. penyediaan rambu dan peringatan keselamatan terkait dengan sumber air.
Pasal 84
Pasal 85
Pasal 86
Ketentuan zonasi sistem air minum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf b
diatur sesuai dengan rencana detail tata ruang dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
60
Pasal 87
Ketentuan zonasi sistem pengelolaan air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
84 huruf c diatur sesuai dengan rencana detail tata ruang dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 88
Pasal 89
Ketentuan zonasi jalur dan ruang evakuasi bencana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 84 huruf e diatur sesuai dengan rencana detail tata ruang dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Paragraf 2
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Pola Ruang
Pasal 90
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi pola ruang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 74 ayat (2) huruf b meliputi:
a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung; dan
b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan lindung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. kawasan hutan lindung;
b. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya;
c. kawasan perlindungan setempat;
d. kawasan peruntukan ruang terbuka hijau;
e. kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya; dan
f. kawasan rawan bencana alam.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan budidaya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. kawasan peruntukan hutan produksi;
b. kawasan peruntukan pertanian;
c. kawasan peruntukan perikanan;
d. kawasan peruntukan pertambangan;
e. kawasan peruntukan industri;
f. kawasan peruntukan pariwisata;
g. kawasan peruntukan permukiman; dan
h. kawasan peruntukan lainnya.
Pasal 91
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan hutan lindung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) huruf a memiliki karakter sebagai kawasan
hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan, sistem penyangga
kehidupan untuk mengatur tata air, pencegahan banjir, mengendalikan erosi,
mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
(2) Ketentuan zonasi pada kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. kegiatan yang diijinkan meliputi:
61
1. diperbolehkan untuk wisata alam, penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan dengan syarat tidak merubah bentang alam;
2. memanfaatkan kawasan hutan, jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan
bukan kayu; dan
3. pemanfaatan lahan untuk lokasi evakuasi bencana.
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi:
1. penggunaan kawasan hutan lindung untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan hanya dilakukan dalam kawasan hutan;
2. penggunaan kawasan hutan dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok
kawasan hutan; dan
3. penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan
melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan
batasan luas dan jangka waktu tertentu serta pelestarian lingkungan hidup.
c. kegiatan yang dilarang meliputi:
1. kegiatan yang berpotensi mengurangi luas kawasan hutan;
2. penambangan dengan pola penambangan terbuka; dan
3. pencegahan kegiatan budidaya baru dan budidaya yang telah ada di
kawasan lindung yang dapat mengganggu fungsi lindung dan kelestarian
lingkungan hidup.
(3) Ketentuan teknis pada kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. Intensitas berupa kegiatan pembangunan di kawasan hutan lindung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan b disertai ketentuan
pembanguan dengan besaran KDB yang diijinkan ≤10%, KLB ≤ 10%, dan KDH ≥
90%.
b. prasarana dan sarana minimum berupa penyediaan sarana dan prasarana
kegiatan pembangunan yang menunjang dengan tanpa merubah bentang alam
hutan lindung antara lain penyediaan jalan setapak, bangunan non permanen
yang tidak merusak lingkungan, dan penyediaan prasarana lain penunjang
kegiatan.
c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. pada kawasan hutan yang mengalami penurunan fungsi maka dapat
dilakukan rehabilitasi hutan melalui reboisasi, penghijauan, pemeliharaan,
pengayaan tanaman dan penerapan teknis konservasi tanah;
2. rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan berdasarakan kondisi spesifik
biofisik;
3. penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan diutamakan pelaksanaannya
melalui pendekatan partisipatif dalam rangka mengembangkan potensi dan
memberdayakan masyarakat; dan
4. reklamasi pada kawasan hutan bekas area tambang wajib dilaksanakan oleh
pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan
pertambangan.
Pasal 92
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan yang memberikan perlindungan
terhadap kawasan bawahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2)
huruf b berupa kawasan resapan air memiliki karakter sebagai kawasan
penyangga yang memiliki fungsi menjaga keseimbangan antara hulu dan hillir.
(2) Ketentuan zonasi pada kawasan yang memberikan perlindungan terhadap
kawasan bawahnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. hutan, lahan pertanian, dan wisata alam; dan
2. pemanfaatan lahan untuk lokasi evakuasi bencana.
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi:
1. pertanian intensif yang cenderung mempunyai perubahan rona alam;
62
2. kawasan permukiman dengan syarat kepadatan rendah dan KDH tinggi; dan
3. pengembangan prasarana wilayah antara lain berupa jalan, sistem saluran
yang dilengkapi dengan sistem peresapan di sekitarnya.
c. kegiatan yang dilarang meliputi:
1. kegiatan berupa bangunan dengan intensitas sedang sampai tinggi;
2. kegiatan yang menimbulkan polusi; dan
3. penambangan terbuka yang potensial merubah bentang alam.
(3) Ketentuan teknis pada kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan
bawahnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Intensitas berupa kegiatan pembangunan dengan besaran KDB yang diijinkan
≤10%, KLB ≤ 10%, dan KDH ≥ 90%.
b. prasarana dan sarana minimum berupa penyediaan sarana dan prasarana
kegiatan pembangunan yang menunjang dengan tanpa merubah bentang alam
kawasan resapan air.
c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. pada kawasan resapan air berupa hutan, perkebunan, lahan pertanian yang
mengalami penurunan fungsi dilakukan reboisasi, penghijauan,
pemeliharaan, pengayaan tanaman dan penerapan teknis konservasi tanah;
dan
2. penyelenggaraan rehabilitasi kawasan resapan air diutamakan
pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif.
Pasal 93
Pasal 94
Pasal 95
Pasal 96
Ketentuan zonasi RTH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) huruf d berupa
RTH pada kawasan perkotaan diatur sesuai dengan rencana detail tata ruang dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 97
Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar
budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) huruf e meliputi:
a. kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya;
b. kawasan taman nasional;
b. kawasan suaka alam; dan
c. kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.
64
Pasal 98
Ketentuan zonasi kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 huruf a diatur sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 99
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan taman nasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 huruf b merupakan kawasan pelestarian yang memiliki
ekosistem asli dikelola untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, pariwisata,
rekreasi, pendidikan.
(2) Ketentuan zonasi pada kawasan taman nasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. diperbolehkan untuk wisata alam, penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan dengan syarat tidak merubah bentang alam; dan
2. pemanfaatan lahan untuk lokasi evakuasi bencana.
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi:
1. penggunaan kawasan taman nasional untuk kepentingan pembangunan di
luar kegiatan kehutanan hanya dilakukan dalam kawasan taman nasional;
dan
2. penggunaan kawasan taman nasional dapat dilakukan tanpa mengubah
fungsi pokok kawasan taman nasional.
c. kegiatan yang dilarang meliputi:
1. kegiatan yang berpotensi mengurangi luas kawasan taman nasional;dan
2. pencegahan kegiatan budidaya baru dan budidaya yang telah ada di kawasan
lindung yang dapat mengganggu fungsi lindung dan kelestarian lingkungan
hidup.
(3) Ketentuan teknis pada kawasan taman nasional sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. Intensitas berupa kegiatan pembangunan di kawasan taman nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan b disertai ketentuan
pembanguan dengan besaran KDB yang diijinkan ≤10%, KLB ≤ 10%, dan KDH ≥
90%.
b. prasarana dan sarana minimum berupa penyediaan sarana dan prasarana
kegiatan pembangunan yang menunjang dengan tanpa merubah bentang alam
taman nasional antara lain penyediaan jalan setapak, bangunan non permanen
yang tidak merusak lingkungan, dan penyediaan prasarana lain penunjang
kegiatan.
c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. pada kawasan taman nasional yang mengalami penurunan fungsi maka
dapat dilakukan rehabilitasi taman nasional melalui reboisasi, penghijauan,
pemeliharaan, pengayaan tanaman dan penerapan teknis konservasi tanah;
2. rehabilitasi taman nasional dilaksanakan berdasarakan kondisi spesifik
biofisik; dan
3. penyelenggaraan rehabilitasi taman nasional diutamakan pelaksanaannya
melalui pendekatan partisipatif dalam rangka mengembangkan potensi dan
memberdayakan
Pasal 98
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan suaka alam sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 huruf c merupakan kawasan pelestarian alam untuk
tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli atau
65
bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi.
(2) Ketentuan zonasi pada kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. diperbolehkan untuk wisata alam, penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan dengan syarat tidak merubah bentang alam; dan
2. pemanfaatan lahan untuk lokasi evakuasi bencana.
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi:
1. penggunaan kawasan suaka alam untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan hanya dilakukan dalam kawasan suaka alam; dan
2. penggunaan kawasan suaka alam dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi
pokok kawasan suaka alam.
c. kegiatan yang dilarang meliputi:
1. kegiatan yang berpotensi mengurangi luas kawasan suaka alam; dan
2. pencegahan kegiatan budidaya baru dan budidaya yang telah ada di kawasan
lindung yang dapat mengganggu fungsi lindung dan kelestarian lingkungan
hidup.
(3) Ketentuan teknis pada kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. Intensitas berupa kegiatan pembangunan di kawasan suaka alam sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf a dan b disertai ketentuan pembanguan dengan
besaran KDB yang diijinkan ≤10%, KLB ≤ 10%, dan KDH ≥ 90%.
b. prasarana dan sarana minimum berupa penyediaan sarana dan prasarana
kegiatan pembangunan yang menunjang dengan tanpa merubah bentang alam
suaka alam antara lain penyediaan jalan setapak, bangunan non permanen
yang tidak merusak lingkungan, dan penyediaan prasarana lain penunjang
kegiatan.
c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. pada kawasan suaka alam yang mengalami penurunan fungsi maka dapat
dilakukan rehabilitasi suaka alam melalui reboisasi, penghijauan,
pemeliharaan, pengayaan tanaman dan penerapan teknis konservasi tanah;
2. rehabilitasi suaka alam dilaksanakan berdasarakan kondisi spesifik biofisik;
dan
3. penyelenggaraan rehabilitasi suaka alam diutamakan pelaksanaannya
melalui pendekatan partisipatif dalam rangka mengembangkan potensi dan
memberdayakan masyarakat.
Pasal 99
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan cagar budaya dan ilmu
pengetahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 huruf d merupakan
kawasan yang merupakan lokasi bangunan hasil budaya manusia yang bernilai
tinggi maupun bentukan geologi alami yang khas, kawasan cagar budaya dan ilmu
pengetahuan ditetapkan dengan kriteria sebagai hasil budaya manusia yang
bernilai tinggi yang dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
(2) Ketentuan zonasi pada kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. diperbolehkan untuk wisata alam, penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan dengan syarat tidak merubah bentang alam; dan
2. pemanfaatan lahan untuk lokasi evakuasi bencana.
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi:
1. penggunaan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan untuk
kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dilakukan
dalam kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan; dan
66
2. penggunaan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan dapat dilakukan
tanpa mengubah fungsi pokok kawasan taman cagar budaya dan ilmu
pengetahuan.
c. kegiatan yang dilarang meliputi:
1. kegiatan yang berpotensi mengurangi luas kawasan cagar budaya dan ilmu
pengetahuan; dan
2. pencegahan kegiatan budidaya baru dan budidaya yang telah ada di
kawasan lindung yang dapat mengganggu fungsi lindung dan kelestarian
lingkungan hidup.
(3) Ketentuan teknis pada kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Intensitas berupa kegiatan pembangunan di kawasan cagar budaya dan ilmu
pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan b disertai
ketentuan pembanguan dengan besaran KDB yang diijinkan ≤10%, KLB ≤ 10%,
dan KDH ≥ 90%.
b. prasarana dan sarana minimum berupa penyediaan sarana dan prasarana
kegiatan pembangunan yang menunjang dengan tanpa merubah bentang alam
cagar budaya dan ilmu pengetahuan antara lain penyediaan jalan setapak,
bangunan non permanen yang tidak merusak lingkungan, dan penyediaan
prasarana lain penunjang kegiatan.
c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. pada kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan yang mengalami
penurunan fungsi maka dapat dilakukan rehabilitasi cagar budaya dan ilmu
pengetahuan melalui reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan
tanaman dan penerapan teknis konservasi tanah;
2. rehabilitasi cagar budaya dan ilmu pengetahuan dilaksanakan berdasarakan
kondisi spesifik biofisik; dan
3. penyelenggaraan rehabilitasi cagar budaya dan ilmu pengetahuan
diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam rangka
mengembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat.
Pasal 100
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana alam sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) huruf f meliputi:
a. kawasan rawan bencana banjir;
b. kawasan rawan bencana tanah longsor; dan
c. kawasan rawan bencana gempa bumi;
Pasal 101
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana banjir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf a memiliki karakter banjir tahunan
yang disebabkan oleh sedimentasi wilayah sungai taramah ipuh.
(2) Ketentuan zonasi pada kawasan rawan bencana banjir sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. Kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. hutan, perkebunan, dan pertanian tanaman tahunan; dan
2. bangunan pendukung prasarana wilayah.
b. Kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi:
1. peternakan dan perikanan;
2. bangunan pendukung pengembangan peternakan dan perikanan dengan
intensitas rendah; dan
3. prasarana wilayah yang hanya dapat melalui kawasan rawan bencana
banjir.
c. Kegiatan yang dilarang meliputi:
67
1. seluruh kegiatan berupa kawasan terbangun; dan
2. merubah fungsi hutan, perkebunan, dan pertanian tanaman tahunan.
(3) Ketentuan teknis pada kawasan rawan bencana banjir sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. intensitas berupa kegiatan pembangunan di kawasan rawan bencana banjir
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan b disertai ketentuan
pembanguan dengan besaran KDB yang diijinkan ≤10%, KLB ≤ 10%, dan KDH
≥ 90%.
b. prasarana dan sarana minimum berupa penyediaan sarana dan prasarana
kegiatan penunjang hutan, perkebunan dan pertanian tanaman pangan;
c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. pada kawasan rawan bencana banjir yang mengalami penurunan fungsi
maka dapat dilakukan rehabilitasi melalui reboisasi, pembuatan jalur hijau,
dan pemeliharaan; dan
2. penyelenggaraan rehabilitasi rawan bencana banjir diutamakan
pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif.
Pasal 102
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana tanah longsor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf b memiliki karakter kawasan yang
potensial terjadinya perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan
rombakan, tanah, atau material campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar
lereng.
(2) Ketentuan zonasi pada kawasan rawan bencana tanah longsor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. hutan, perkebunan, dan pertanian tanaman tahunan; dan
2. bangunan pendukung prasarana wilayah.
b. Kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi:
1. peternakan dan perikanan;
2. bangunan pendukung pengembangan peternakan dan perikanan dengan
intensitas rendah; dan
3. prasarana wilayah yang hanya dapat melalui kawasan rawan bencana tanah
longsor.
c. Kegiatan yang dilarang meliputi:
1. seluruh kegiatan berupa kawasan terbangun; dan
2. merubah fungsi hutan, perkebunan, dan pertanian tanaman tahunan.
(3) Ketentuan teknis pada kawasan rawan bencana tanah longsor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Intensitas berupa kegiatan pembangunan di kawasan rawan bencana tanah
longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan b disertai ketentuan
pembanguan dengan besaran KDB yang diijinkan ≤10%, KLB ≤ 10%, dan KDH ≥
90%.
b. prasarana dan sarana minimum berupa penyediaan sarana dan prasarana
kegiatan penunjang hutan, perkebunan dan pertanian tanaman pangan;
c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. pada kawasan rawan bencana tanah longsor yang mengalami penurunan
fungsi maka dapat dilakukan rehabilitasi melalui reboisasi, penghijauan,
pemeliharaan;
2. penyelenggaraan rehabilitasi rawan bencana tanah longsor diutamakan
pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif; dan
3. reklamasi pada kawasan hutan bekas area tambang wajib dilaksanakan oleh
pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan
pertambangan.
68
Pasal 103
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana gempa bumi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf c memiliki karakter kawasan yang
berpotensi tinggi mengalami bencana gempa bumi.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan rawan gempa bumi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. hutan, perkebunan, dan pertanian tanaman tahunan; dan
2. bangunan pendukung prasarana wilayah.
b. Kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi:
1. peternakan dan perikanan;
2. bangunan pendukung pengembangan peternakan dan perikanan dengan
intensitas rendah; dan
3. prasarana wilayah yang hanya dapat melalui kawasan rawan bencana
gempa bumi.
c. Kegiatan yang dilarang meliputi:
1. seluruh kegiatan berupa kawasan terbangun; dan
2. merubah fungsi hutan, perkebunan, dan pertanian tanaman tahunan.
(3) Ketentuan teknis pada kawasan rawan bencana gempa bumi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Intensitas berupa kegiatan pembangunan di kawasan rawan bencana gempa
bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan b disertai ketentuan
pembanguan dengan besaran KDB yang diijinkan ≤10%, KLB ≤ 10%, dan KDH ≥
90%.
b. prasarana dan sarana minimum berupa jalur evakuasi dan tempat perlindungan;
c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. pada kawasan rawan bencana gempa bumi yang mengalami penurunan
fungsi maka dapat dilakukan rehabilitasi melalui reboisasi, penghijauan,
pemeliharaan; dan
2. penyelenggaraan rehabilitasi rawan bencana gempa bumi diutamakan
pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif.
Pasal 104
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan hutan produksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) huruf a memiliki karakter sebagai kawasan
hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
(2) Ketentuan zonasi pada kawasan hutan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. pemanfaatan kawasan hutan, jasa lingkungan, hasil hutan kayu dan bukan
kayu dan pemungutan hasil hutan kayu dan kayu.
2. hutan produksi yang berada di hutan lindung boleh diusahakan tapi harus
ada kejelasan deliniasi kawasan hutan produksi dan izin untuk melakukan
kegiatan;
3. pemanfaatan hutan produksi yang menebang tanaman/pohon diwajibkan
untuk melakukan penanaman kembali sebagai salah satu langkah
konservasi;
4. kegiatan budidaya yang diperkenankan pada kawasan hutan produksi
adalah kegiatan yang tidak mengolah tanah secara intensif atau merubah
bentang alam yang dapat menjadi penyebab bencana alam; dan
5. kegiatan budidaya di hutan produksi diperbolehkan dengan syarat
kelestarian sumber air dan kekayaan hayati di dalam kawasan hutan
produksi dipertahankan.
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi:
69
1. pendirian bangunan hanya untuk menunjang kegiatan pemanfaatan hasil
hutan; dan
2. pemanfaatan hasil hutan hanya untuk menjaga kestabilan neraca sumber
daya kehutanan.
c. kegiatan yang dilarang meliputi:
1. dilarang apabila kegiatan yang ada di hutan produksi tidak menjamin
keberlangsungan kehidupan di daerah bawahnya atau merusak ekosistem
yang dilindungi;
2. siapapun dilarang melakukan penebangan pohon dalam radius/ jarak
tertentu dari mata air, tepi jurang, waduk, sungai, dan anak sungai yang
terletak di dalam kawasan hutan;
3. tidak diperbolehkan adanya perbuatan hukum yang potensial merusak
kelestarian hayati seperti pewarisan untuk permukiman, atau jual beli pada
pihak yang ingin mengolah tanah secara intensif atau membangun
bangunan fisik;
4. pembatasan pembangunan sarana dan prasarana di kawasan hutan
produksi; dan
5. kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang tanpa ada izin dari pihak terkait.
(3) Ketentuan teknis pada kawasan hutan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi:
a. intensitas KDB yang diijinkan 5%, KLB 5%, dan KDH 95%.
b. prasarana dan sarana minimum berupa pembangunan infrastruktur yang
menunjang kegiatan pemanfaatan hasil hutan.
c. ketentuan lain-lain, meliputi:
1. hutan produksi di luar kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat (hutan
rakyat) dapat diberikan Hak Pakai atau Hak Milik sesuai dengan syarat
subyek sebagai pemegang hak;
2. apabila kriteria kawasan berubah fungsinya menjadi hutan lindung,
pemanfaatannya disesuaikan dengan lebih mengutamakan upaya
konservasi, misal: kawasan hutan produksi dengan tebang pilih;
3. diadakan penertiban penguasaan dan pemilikan tanah serta pembinaan dan
pemanfaatannya yang seimbangn anatara kepentingan KPH dengan
masyarakat setempat bagi kawasan yang fisiknya berupa hutan rakyat,
tegalan, atau penggunaan non hutan dan sudah menjadi lahan garapan
masyarakat.
Pasal 105
Pasal 106
70
2. bangunan prasarana penunjang pertanian pada lahan pertanian beririgasi;
dan
3. prasarana penunjang pembangunan ekonomi wilayah.
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi:
1. kegiatan wisata alam berbasis ekowisata;
2. pembuatan bangunan penunjang pertanian, penelitian dan pendidikan; dan
3. permukiman petani pemilik lahan yang berdekatan dengan permukiman
lainnya.
c. Kegiatan yang dilarang meliputi:
1. pengembangan kawasan terbangun pada lahan basah beririgasi;
2. lahan pertanian pangan berkelanjutan tidak boleh dialihfungsikan selain untuk
pertanian tanaman pangan; dan
3. kegiatan sebagai kawasan terbangun maupun tidak terbangun yang memutus
jaringan irigasi.
(3) Ketentuan teknis kawasan peruntukan pertanian tanaman pangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. intensitas alih fungsi lahan pertanian tanaman pangan diijinkan maksimum 30%
di perkotaan dan di kawasan pedesaan maksimum 20% terutama di ruas jalan
utama sesuai dengan rencana detail tata ruang;
b. prasarana dan sarana minimum berupa pemanfaatan untuk pembangunan
infrastruktur penunjang kegiatan pertanian (irigasi); dan
c. ketentuan lain-lain meliputi perubahan penggunaan lahan sawah beririgasi dari
pertanian ke non pertanian wajib diikuti oleh penyediaan lahan pertanian
beririgasi di tempat yang lain melalui perluasan jaringan irigasi.
Pasal 107
71
c. ketentuan lain-lain meliputi perubahan penggunaan lahan hortikultura untuk
kegiatan yang lain diijinkan selama tidak mengganggu produk unggulan daerah
dan merusak lingkungan hidup.
Pasal 108
Pasal 109
Pasal 110
72
keberlanjutan terhadap kawasan – kawasan yang menjadi sentra produksi
perikanan.
(2) Ketentuan zonasi kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. kegiatan yang diijinkan meliputi:
1. sarana dan prasarana pendukung budidaya ikan dan kegiatan perikanan
lainnya;
2. kegiatan lain yang bersifat mendukung kegiatan perikanan dan
pembangunan sistem jaringan prasarana; dan
3. kegiatan penunjang minapolitan.
b. kegiatan yang diijinkan bersyarat meliputi:
1. kegiatan wisata alam, penelitian dan pendidikan secara terbatas;
2. permukiman, fasilitas sosial dan ekonomi secara terbatas;
3. bangunan pendukung pemijahan, pemeliharaan dan pengolahan perikanan;
dan
4. permukiman petani atau nelayan dengan kepadatan rendah.
c. kegiatan yang dilarang meliputi:
1. permukiman, fasilitas sosial dan ekonomi dan industri yang berdampak
negatif terhadap perikanan; dan
2. kegiatan yang memiliki dampak langsung atau tidak terhadap budidaya
perikanan.
(3) Ketentuan teknis kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. intensitas KDB yang diijinkan 30%, KLB 0,3%, dan KDH 50%;
b. prasarana dan sarana minimum berupa sarana dan prasarana pendukung
budidaya ikan dan kegiatan lainnya.
c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. perlu pemeliharaan air untuk menjaga kelangsungan usaha pengembangan
perikanan; dan
2. untuk perairan umum perlu diatur jenis dan alat tangkapnya untuk menjaga
kelestarian sumber hayati perikanan.
Pasal 111
73
(4) Ketentuan teknis kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. Kawasan terbangun pada kawasan pertambangan dengan intensitas KDB yang
diijinkan 50%, KLB 0,5 dan KDH 25%.
b. prasarana dan sarana minimum berupa bangunan penunjang pertambangan,
fasilitas pengangkutan dan penunjangnya, pos pengawasan dan kantor
pengelola, balai penelitian.
c. ketentuan lain-lain meliputi:
1. pengembangan kawasan pertambangan dilakukan dengan
mempertimbangkan potensi bahan galian, kondisi geologi dan geohidrologi
dalam kaitannya dengan kelestarian lingkungan;
2. pengelolaan kawasan bekas penambangan harus direhabilitasi sesuai
dengan zona peruntukan yang ditetapkan;
3. pemanfaatan lahan bekas tambang yang merupakan lahan marginal pada
area bekas penambangan; dan
4. pengelolaan limbah hasil penambangan untuk menjaga keberlanjutan
ekosistem pada kawasan sekitarnya.
Pasal 112
74
2. pengembangan zona industri yang terletak pada sepanjang jalan arteri atau
kolektor harus dilengkapi dengan frontage road untuk kelancaran
aksesibilitas; dan
3. setiap kegiatan industri harus menyediakan kebutuhan air baku untuk
kegiatan industri tanpa menggunakan sumber utama dari air tanah.
Pasal 113
Pasal 114
Pasal 115
76
Bagian Ketiga
Ketentuan Perizinan
Paragraf 1
Umum
Pasal 116
Dalam pemanfaatan ruang setiap orang wajib memiliki izin pemanfaatan ruang dan
wajib melaksanakan setiap ketentuan perizinan dalam pelaksanaan pemanfaatan
ruang.
Pasal 117
Paragraf 2
Jenis Izin Pemanfaatan Ruang
Pasal 118
(1) Izin pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (3) dapat
berupa:
a. izin prinsip;
b. izin lokasi;
c. izin penggunaan pemanfaatan tanah;
d. izin mendirikan bangunan; dan
e. izin lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Izin pemanfaatan ruang untuk kegiatan pemanfaatan sumber daya alam diatur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 119
(1) Izin prinsip dan izin lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf a
dan b diberikan berdasarkan rencana tata ruang wilayah kabupaten;
(2) Izin penggunaan pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118
ayat (1) huruf c diberikan berdasarkan izin lokasi;
(3) Izin mendirikan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf
d diberikan berdasarkan rencana detail tata ruang dan peraturan zonasi;
Pasal 120
Pemberian izin pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 119 disertai
dengan persyaratan teknis dan persyaratan administratif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
77
Paragraf 3
Prosedur Pemberian Izin
Pasal 121
(1) Pemberian izin diberikan oleh pejabat yang berwenang dengan mengacu pada
rencana tata ruang dan/atau peraturan zonasi.
(2) Pemberian izin dilakukan secara terkoordinasi dengan memperhatikan
kewenangan dan kepentingan berbagai instansi terkait sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur pemberian izin pemanfaatan ruang
diatur dengan Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Bagian Keempat
Ketentuan Insentif dan Disinsentif
Pasal 122
(1) Ketentuan Insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf c
merupakan acuan bagi pemerintah daerah dalam pemberian insentif dan
pengenaan disinsentif.
(2) Insentif diberikan apabila pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang
yang diatur dalam Peraturan Daerah ini.
(3) Disinsentif dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang yang diatur dalam Peraturan Daerah ini.
Pasal 123
(1) Insentif yang diberikan terhadap pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana
tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (2) terdiri atas:
a. Insentif yang diberikan Pemerintah kabupaten kepada masyarakat dalam
pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang;
b. Insentif yang diberikan Pemerintah Kabupaten kepada pengusaha dan swasta
dalam pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang; dan
c. Insentif yang diberikan pemerintah Kabupaten kepada Pemerintah Desa dalam
wilayah Kabupaten, atau dengan Pemerintah Kabupaten lainnya dalam
pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang.
(2) Insentif yang diberikan kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dapat diberikan dalam bentuk:
a. Keringanan biaya sertifikasi tanah;
b. Pembangunan serta pengadaan infrastruktur; dan
c. Pemberian penghargaan.
(3) Insentif yang diberikan kepada pengusaha dan swasta sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dapat diberikan dalam bentuk:
a. Kemudahan prosedur perizinan;
b. Kompensasi
c. Subsidi silang;
d. Imbalan;
e. Sewa ruang;Kontribusi saham; dan
f. Pemberian penghargaan.
(4) Insentif yang diberikan kepada Pemerintah Desa atau pemerintah Kabupaten
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat diberikan dalam bentuk
pemberian penghargaan.
78
Pasal 124
(1) Disinsentif yang dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada Pasal 122 ayat (3) terdiri atas:
a. Disinsentif yang dikenakan kepada masyarakat, pengusaha dan swasta dalam
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang; dan
b. Disinsentif yang dikenakan pemerintah Kabupaten kepada Pemerintah Desa
dalam wilayah Kabupaten, atau dengan Pemerintah Kabupaten lainnya dalam
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
(2) Disinsentif yang dikenakan kepada masyarakat, pengusaha dan swasta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. Pengenaan pajak yang tinggi, disesuaikan dengan besarnya biaya yang
dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan
ruang;
b. Pembatasan penyediaan infrastruktur;
c. Penghentian izin; dan
d. Penalti.
(3) Disinsentif yang dikenakan kepada Pemerintah Desa dalam wilayah Kabupaten,
atau dengan Pemerintah Kabupaten lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b berupa teguran tertulis.
Pasal 125
Bagian Kelima
Sanksi
Paragraf 1
Umum
Pasal 126
(1) Setiap orang yang melakukan pelanggaran di bidang penataan ruang dikenakan
sanksi administratif.
(2) Pelanggaran di bidang penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang;
b. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang
diberikan oleh pejabat berwenang;
c. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan persyaratan izin yang diberikan
oleh pejabat yang berwenang; dan/atau
d. menghalangi akses terhadap kawasan yang dinyatakan oleh peraturan
perundang-undangan sebagai milik umum.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi;
e. pencabutan izin;
f. pembatalan izin;
g. pembongkaran bangunan;
h. pemulihan fungsi ruang;
i. dan/atau denda administratif.
79
Pasal 127
(1) Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 126 ayat (2) huruf a meliputi:
a. memanfaatkan ruang dengan izin pemanfaatan ruang di lokasi yang tidak sesuai
dengan peruntukkannya;
b. memanfaatkan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang di lokasi yang sesuai
peruntukannya; dan/atau
c. memanfaatkan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang di lokasi yang tidak sesuai
peruntukannya.
(2) Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang
diberikan oleh pejabat berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat
(2) huruf b meliputi:
a. tidak menindaklanjuti izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan; dan/atau
b. memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan fungsi ruang yang tercantum dalam
izin pemanfaatan ruang.
(3) Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan persyaratan izin yang diberikan oleh
pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (2) huruf c
meliputi:
a. melanggar batas sempadan yang telah ditentukan;
b. melanggar ketentuan koefisien lantai bangunan yang telah ditentukan;
c. melanggar ketentuan koefisien dasar bangunan dan koefisien dasar hijau;
d. melakukan perubahan sebagian atau keseluruhan fungsi bangunan;
e. melakukan perubahan sebagian atau keseluruhan fungsi lahan; dan/atau
f. tidak menyediakan fasilitas sosial atau fasilitas umum sesuai dengan
persyaratan dalam izin pemanfaatan ruang.
(4) Menghalangi akses terhadap kawasan yang dinyatakan oleh peraturan perundang-
undangan sebagai milik umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (2)
huruf d meliputi:
a. menutup akses ke pesisir sungai, danau, waduk, dan sumber daya alam serta
prasarana publik;
b. menutup akses terhadap sumber air;
c. menutup akses terhadap taman dan ruang terbuka hijau;
d. menutup akses terhadap fasilitas pejalan kaki;
e. menutup akses terhadap lokasi dan jalur evakuasi bencana; dan/atau
f. menutup akses terhadap jalan umum tanpa izin pejabat yang berwenang.
Paragraf 2
Kriteria dan Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif
Pasal 128
Pasal 129
(1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3) huruf a
dilakukan melalui penerbitan surat peringatan tertulis dari pejabat yang berwenang.
(2) Surat peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. rincian pelanggaran dalam penataan ruang;
80
b kewajiban untuk menyesuaikan kegiatan pemanfaatan ruang dengan rencana
tata ruang dan ketentuan teknis pemanfaatan ruang; dan
c tindakan pengenaan sanksi yang akan diberikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Surat peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling
banyak 3 (tiga) kali.
(4) Apabila surat peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diabaikan,
pejabat yang berwenang melakukan tindakan berupa pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3) huruf b sampai dengan huruf i
sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 130
(1) Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3)
huruf b dilakukan melalui tahapan:
a. pejabat yang berwenang menerbitkan surat peringatan tertulis sesuai ketentuan
Pasal 129;
b. apabila peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a diabaikan,
pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan penghentian sementara
kegiatan pemanfaatan ruang;
c. berdasarkan surat keputusan sebagaimana dimaksud pada huruf b, pejabat
yang berwenang melakukan penghentian sementara kegiatan pemanfaatan
ruang secara paksa; dan
d. setelah kegiatan pemanfaatan ruang dihentikan, pejabat yang berwenang
melakukan pengawasan agar kegiatan pemanfaatan ruang yang dihentikan tidak
beroperasi kembali sampai dengan terpenuhinya kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2) huruf b.
(2) Penghentian sementara pelayanan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
126 ayat (3) huruf c dilakukan melalui tahapan:
a. pejabat yang berwenang menerbitkan surat peringatan tertulis sesuai ketentuan
Pasal 129;
b. apabila surat peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a diabaikan,
pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan penghentian sementara
pelayanan umum dengan memuat penjelasan dan rincian jenis pelayanan umum
yang akan dihentikan sementara;
c. berdasarkan surat keputusan penghentian sementara pelayanan umum
sebagaimana dimaksud pada huruf b, pejabat yang berwenang menyampaikan
perintah kepada penyedia jasa pelayanan umum untuk menghentikan
sementara pelayanan kepada orang yang melakukan pelanggaran; dan
d. setelah pelayanan umum dihentikan kepada orang yang melakukan
pelanggaran, pejabat yang berwenang melakukan pengawasan untuk
memastikan tidak terdapat pelayanan umum kepada orang yang melakukan
pelanggaran tersebut sampai dengan terpenuhinya kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2) huruf b.
(3) Penutupan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3) huruf d
dilakukan melalui tahapan:
a. pejabat yang berwenang menerbitkan surat peringatan tertulis sesuai ketentuan
Pasal 129;
b. apabila peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a diabaikan,
pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan penutupan lokasi;
c. berdasarkan surat keputusan penutupan lokasi sebagaimana dimaksud pada
huruf b, pejabat yang berwenang melakukan penutupan lokasi dengan bantuan
aparat penertiban melakukan penutupan lokasi secara paksa; dan
d. setelah dilakukan penutupan lokasi, pejabat yang berwenang melakukan
pengawasan untuk memastikan lokasi yang ditutup tidak dibuka kembali sampai
81
dengan orang yang melakukan pelanggaran memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 129 ayat (2) huruf b.
(4) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3) huruf e
dilakukan melalui tahapan:
a. pejabat yang berwenang menerbitkan surat peringatan tertulis sesuai ketentuan
Pasal 129;
b. apabila surat peringatan tertulis sebagamana dimaksud pada huruf a diabaikan,
pejabat yang berwenang mencabut izin menerbitkan surat keputusan
pencabutan izin;
c. berdasarkan surat keputusan pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada
huruf b, pejabat yang berwenang memberitahukan kepada orang yang
melakukan pelanggaran mengenai status izin yang telah dicabut sekaligus
perintah untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan ruang yang telah dicabut
izinnya; dan
d. apabila perintah untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana
dimaksud pada huruf c diabaikan, pejabat yang berwenang melakukan tindakan
penertiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Pembatalan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3) huruf f dilakukan
melalui tahapan:
a. pejabat yang berwenang menerbitkan surat peringatan tertulis sesuai ketentuan
Pasal 129;
b. apabila surat peringatan sebagaimana dimaksud pada huruf a diabaikan,
pejabat yang berwenang melakukan pembatalan izin, menerbitkan surat
keputusan pembatalan izin;
c. berdasarkan surat keputusan pembatalan izin sebagaimana dimaksud pada
huruf b, pejabat yang berwenang memberitahukan kepada orang yang
melakukan pelanggaran mengenai status izin yang telah dibatalkan sekaligus
perintah untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan ruang yang telah dibatalkan
izinnya; dan
d. apabila perintah untuk menghentikan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana
dimaksud pada huruf c diabaikan, pejabat yang berwenang melakukan tindakan
penertiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Pembongkaran bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3) huruf
g dilakukan melalui tahapan:
a. pejabat yang berwenang menerbitkan surat peringatan tertulis sesuai ketentuan
Pasal 129;
b. apabila surat peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a diabaikan,
pejabat yang berwenang menerbitkan surat keputusan pembongkaran
bangunan; dan
c. berdasarkan surat keputusan pembongkaran bangunan sebagaimana dimaksud
pada huruf b, pejabat yang berwenang melakukan penertiban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Pemulihan fungsi ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3) huruf h
dilakukan melalui tahapan:
a. pejabat yang berwenang menerbitkan surat peringatan tertulis sesuai ketentuan
Pasal 129;
b. apabila surat peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a diabaikan,
pejabat yang berwenang menerbitkan surat perintah pemulihan fungsi ruang;
c. berdasarkan surat perintah sebagaimana dimaksud pada huruf b, pejabat yang
berwenang memberitahukan kepada orang yang melakukan pelanggaran
mengenai ketentuan pemulihan fungsi ruang dan cara pemulihan fungsi ruang
yang harus dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu;
d. pejabat yang berwenang melakukan pengawasan pelaksanaan kegiatan
pemulihan fungsi ruang; dan
82
e. apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf d tidak dapat dipenuhi
orang yang melakukan pelanggaran, pejabat yang berwenang melakukan
tindakan pemulihan fungsi ruang secara paksa.
Pasal 131
Apabila orang yang melakukan pelanggaran dinilai tidak mampu membiayai kegiatan
pemulihan fungsi ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (7) huruf c,
pemerintah daerah dapat mengajukan penetapan pengadilan agar pemulihan dilakukan
oleh pemerintah daerah atas beban orang yang melakukan pelanggaran tersebut di
kemudian hari.
Pasal 132
Denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3) huruf i dapat
dikenakan secara tersendiri atau bersama-sama dengan pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 sampai dengan Pasal 131.
Bagian Keenam
Penegakkan Peraturan Daerah
Pasal 133
Penegakan Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja dan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sesuai dengan kewenangannya, berkoordinasi
dengan Kepolisian, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Hak Masyarakat
Pasal 134
Dalam penataan ruang wilayah, setiap masyarakat berhak:
a. mengetahui rencana tata ruang wilayah dan rencana rinci;
b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;
c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul;
d. mengajukan tuntutan pembatalan ijin dan penghentian pembangunan yang tidak
sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang;
e. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang ijin
apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
menimbulkan kerugian; dan
f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang ijin
apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
menimbulkan kerugian.
Bagian Kedua
Kewajiban Masyarakat
Pasal 135
Pasal 136
(1) Pemberian akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 huruf d, adalah untuk
kawasan milik umum, yang aksesibilitasnya memenuhi syarat:
a. untuk kepentingan masyarakat umum; dan
b. tidak ada akses lain menuju kawasan dimaksud.
(2) Kawasan milik umum tersebut, diantaranya adalah sumber air, ruang terbuka publik
dan fasilitas umum lainnya sesuai ketentuan dan perundang-undang yang berlaku.
Bagian Ketiga
Peran Masyarakat
Pasal 137
Pasal 138
Pasal 139
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan peran masyarakat dalam penataan
ruang di daerah diatur dengan Peraturan Bupati.
BAB IX
KELEMBAGAAN
Pasal 140
BAB X
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 141
85
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidanan di bidang penataan
ruang.
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi.
j. menghentikan penyidikan, dan
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidanan
di bidang penataan ruang menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut hukum sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 142
(1) Setiap pejabat yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang
dipidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan
(2) Setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap rencana tata ruang akan
dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
BAB XI
KETENTUAN LAIN LAIN
Pasal 143
(1) Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Merangin adalah 20 (dua
puluh) tahun sejak tanggal ditetapkan dan ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5
(lima) tahun.
(2) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam
skala besar, perubahan batas teritorial Negara, dan/atau perubahan batas wilayah
yang ditetapkan dengan Undang-Undang, Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Merangin dapat ditinjau kembali lebih dari 1(satu) kali dalam 5 (lima)
tahun.
(3) Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga dilakukan apabila
terjadi perubahan kebijakan nasional dan strategi yang mempengaruhi
pemanfaatan ruang kabupaten dan/atau dinamika internal kabupaten;
Pasal 144
(1) Peraturan daerah tentang RTRW Kabupaten Merangin tahun 2014-2034 dilengkapi
dengan Materi Teknis dan Album Peta yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari peraturan daerah ini;
(2) Dalam hal terdapat penetapan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan terhadap
bagian wilayah kabupaten yang kawasan hutannya belum ditetapkan pada saat
Peraturan Daerah ini diundangkan, maka Materi Tekhnis dan Album Peta
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan disesuaikan dengan peruntukan
kawasan hutan yang telah ditetapkan bersama Menteri Kehutanan merupakan
bagian dan terintegrasi dari Peraturan Daerah ini.
86
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 145
87
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 146
Pasal 147
Ditetapkan di Bangko
pada tanggal 07 Februari 2014
BUPATI MERANGIN,
AL HARIS
Diundangkan di Bangko
Pada Tanggal 08 Februari 2014
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN MERANGIN
SIBAWAIHI
88
PENJELASAN ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERANGIN
NOMOR 04 TAHUN 2014
TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN MERANGIN
TAHUN 2014–2034
I. UMUM
90
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup Jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup Jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
91
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
92
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 84
93
Cukup jelas
Pasal 85
Cukup jelas
Pasal 86
Cukup jelas
Pasal 87
Cukup jelas
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Cukup jelas
Pasal 90
Cukup jelas
Pasal 91
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95
cukup jelas
Pasal 96
Cukup jelas
Pasal 97
Cukup jelas
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Cukup jelas
Pasal 100
Cukup jelas
Pasal 101
Cukup jelas
Pasal 102
Cukup jelas
Pasal 103
Cukup jelas
Pasal 104
Cukup jelas
Pasal 105
Cukup jelas
Pasal 106
Cukup jelas
Pasal 107
Cukup jelas
Pasal 108
Cukup jelas
Pasal 109
Cukup jelas
Pasal 110
Cukup jelas
Pasal 111
Cukup jelas
Pasal 112
94
Cukup jelas
Pasal 113
Cukup jelas
Pasal 114
Cukup jelas
Pasal 115
Cukup jelas
Pasal 116
Cukup jelas
Pasal 117
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Retribusi dalam perizinan pemanfaatan ruang
dimaksudkan untuk membiayai administrasi perizinan
pemanfaatan ruang, dan oleh karena itu penarikan
retribusi izin pemanfaatan ruang tidak dimaksudkan
sebagai sumber pendapatan asli daerah. Dengan
demikian pemerintah daerah tidak perlu menetapkan
target pendapatan asli daerah dari retribusi perizinan
pemanfaatan ruang.
Pasal 118
Ayat (1)
huruf a
Yang dimaksud dengan “izin prinsip” adalah surat izin
yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk
menyatakan suatu kegiatan secara prinsip diperkenankan
untuk diselenggarakan atau beroperasi.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “izin lokasi” adalah izin yang
diberikan kepada pemohon untuk memperoleh ruang yang
diperlukan dalam rangka melakukan aktivitasnya.
95
Huruf c
Izin penggunaan pemanfaatan tanah merupakan dasar
untuk permohonan mendirikan bangunan.
Huruf d
Izin mendirikan bangunan merupakan dasar dalam
mendirikan bangunan dalam rangka pemanfaatan ruang.
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Sumber daya alam dimaksud meliputi sumber daya alam
di darat dan di udara. Termasuk dalam sumber daya alam
di darat antara lain sumber daya hutan dan sumber daya
mineral.
Pasal 119
Ayat (1)
Izin prinsip belum dapat dijadikan dasar untuk
pelaksanaan kegiatan pemanfaatan ruang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Izin mendirikan bangunan diberikan berdasarkan
Peraturan Zonasi sebagai dasar bagi pemegang izin untuk
mendirikan bangunan sesuai fungsi yang telah ditetapkan
dalam rencana teknis bangunan dan gedung yang telah
disetujui oleh Pemerintah daerah.
Pasal 120
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang dimaksud
adalah ketentuan tentang perizinan yang diterbitkan oleh
masing-masing sektor dan/atau instansi yang berwenang,
misalnya ketentuan izin lokasi untuk kegiatan pembangunan
perumahan skala besar harus sesuai Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas
Pasal 126
Cukup jelas.
96
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Penerbitan surat peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali,
yang masing-masing diterbitkan dalam rentang waktu
tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Ayat (4)
Cukup Jelas
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
97