Anda di halaman 1dari 27

KERTAS KERJA

IMPLEMENTASI PERPAJAKAN PADA PMK 58 DAN 59 TAHUN 2022 DALAM


BELANJA INSTANSI PEMERINTAH

Pembimbing : NURRAHMAN ADI PUTRA, SE, A.kt

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 2


1. Dwi Sulistiawan
2. Erlina Dewi Wahyuni
3. Erlinna Istyana Dewi
4. Esti Hastuti
5. Fajriyah Syamsi Noormahwati
6. Finna Afifatul Umma
7. Galuh Setyowati
8. Gregorius Dimas Nugrahadi
9. Haidar Tsany Alim
10. Hildha Hidayah

PELATNIS PENINGKATAN KOMPETENSI PENATAUSAHAAN KEUANGAN


BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA DAERAH
PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2023
HALAMAN PERSETUJUAN

Disyahkan dan disetujui untuk diseminarkan pada:

Hari : Rabu

Tanggal : 12 April 2023

Menyetujui:

Ketua Kelompok, Pembimbing

Dwi Sulistiawan Nurrahman Adi Putra, SE.Akt


NIP.197412172007011003 NIP.198606252011011004

Penguji

Bayu Wardhani, SE, MM


NIP.196506221986032016
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah,

rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Kertas Kerja dengan judul

“Implementasi Perpajakan pada PMK 58 dan 59 Tahun 2022 Dalam Belanja Instansi

Pemerintah” sebagai salah satu dari serangkaian kegiatan dalam Pelatihan Teknis peningkatan

komptensi penatausahaan keuangan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Daerah

Provinsi Jawa Tengah Tahun 2023.

Dalam membuat kertas kerja ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan, bantuan, dan

dukungan dari banyak pihak sehingga dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis

menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Nurrahman Adi Putra, SE, Akt selaku pembimbing yang senantiasa memberikan

bimbingan, masukan dan saran dalam penyelesaian kertas kerja;

2. Ibu Bayu Wardhani, SE, MM selaku narasumber/penguji yang telah memberikan arahan,

penilaian, masukan, dan sarannya dalam penyempurnaan kertas kerja;

3. Bapak dan Ibu pemateri yang telah memberikan ilmunya yang bermanfaat; dan

4. Rekan-rekan Kelompok 2 yang telah bekerjasama menyelesaikan penyusunan kertas kerja.

Penulis menyadari bahwa kertas kerja ini masih terdapat kekurangan karena terbatasnya

kemampuan dan pengetahuan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik

demi perbaikan kertas kerja ini agar bermanfaat bagi orang banyak.

Semarang, 12 April 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi

perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan

pengawasan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah merupakan sub-sistem dari

sistem pengelolaan keuangan negara dan merupakan elemen pokok dalam

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pengelolaan keuangan yang baik ialah

pengelolaan yang bisa mengoptimalkan potensi-potensi pembangunan suatu daerah,

sehingga dapat tercapai target-target dalam peningkatan kualitas pembangunan.

Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan pengelolaan

keuangan daerah, antara lain: (i) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara, (ii) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan

Negara, (iii) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan

dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan (iv) Peraturan Pemerintah Nomor 12

Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Pengelolaan keuangan daerah diwujudkan dalam Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) yang merupakan salah satu perencanaan pemerintah daerah

dalam mencapai tujuan penyelenggaran pemerintahan. Perencanaan merupakan salah

satu elemen yang terdapat dalam pengelolaan keuangan. Pada tahap penatausahaan

keuangan daerah dilakukan penatausahaan terhadap pendapatan, belanja, pembiayaan,

asset/kekayaan, dan kewajiban daerah dengan berbagai ketentuan, prosedur, dokumen

dan lainnya untuk memberikan pengelolaan keuangan daerah yang baik. Hasil dari

penatausahaan keuangan selanjutnya dilakukan untuk pertanggung jawaban pengelolaan

keuangan daerah.
Dalam proses penatausahaan belanja daerah, bendahara pengeluaran memegang

peranan penting sebagai pihak yang menguji dan memutuskan, apakah suatu tagihan

layak dilakukan pembayaran. Selain melakukan pembayaran, bendahara pengeluaran

juga memliki kewajiban untuk memungut/memotong pajak, menyetorkan, dan

melaporkan pajak yang dipungut/dipotong sesuai dengan perarturan perundang-

undangan perpajakan.

Peraturan perpajakan sangatlah dinamis seiring dengan pesatnya dinamika

kehidupan masyarakat. Seiring dengan berkembangnya dunia teknologi yang

berimplikasi pada berubahnya cara masyarakat berbelanja, turut mendorong pula

berubahnya pola pengadaan barang jasa pemerintah. Belanja pemerintah kini tidak lagi

dilakukan dengan pola tradisional, tetapi sudah mulai ikut menggunakan toko daring.

Sejalan dengan hal tersebut, perlu pula dilakukan pengkinian peraturan perpajakan agar

belanja pemerintah dapat tetap terpenuhi aspek legalitas dan akuntabilitasnya walaupun

dilakukan dengan metode yang belum dikenal dalam peraturan perpajakan sebelumnya.

Kementerian Keuangan dalam hal ini menetapkan PMK Nomor 58 tahun 2022 tentang

Penunjukan Pihak Lain sebagai Pemungut Pajak dalam transaksi pengadaan barang jasa

melalui sistem informasi pengadaan pemerintah. Peraturan tersebut tentunya menjadi

dasar seluruh bendahara pengeluaran di instansi pemerintah termasuk pada Pemerintah

Provinsi Jawa Tengah. Berkaitan dengan hal tersebut, kami mengambil judul

“IMPLEMENTASI PERPAJAKAN PADA PMK 58 DAN 59 TAHUN 2022 DALAM

BELANJA INSTANSI PEMERINTAH”.

B. RUMUSAN MASALAH

Meskipun PMK 58 dan 59 Tahun 2022 telah diundangkan dan berlaku, namun

masih terdapat kebingungan dan belum sepenuhnya tersosialisasikan kepada seluruh

pengelola keuangan. Berdasarkan pokok pikiran diatas maka perlu dikaji lebih lanjut
tentang: Bagaimana implementasi PMK 58 dan 59 tahun 2022 terhadap belanja instansi

pemerintah.

C. TUJUAN PENYUSUNAN MAKALAH

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi PMK 58 dan

59 tahun 2022 dalam belanaja instansi pemerintah.

D. MANFAAT PENYUSUNAN MAKALAH

1. Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan pemikiran teoritik tentang implementasi PMK 58 dan 59

tahun 2022 dalam belanja instansi pemerintah.

2. Manfaat Praktis

Memberikan pemahaman kepada pengelola keuangan tentang implementasi PMK 58

dan 59 tahun 2022 dalam belanja instansi pemerintah.


BAB II
KONSEP TEORI

A. Pengelolaan Keuangan Daerah

Keuangan Daerah sebagimana tertuang dalam PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang

Pengelolaan Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka

penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk

didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban

daerah tersebut. Sedangkan pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan

yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggung-

jawaban, dan pengawasan keuangan daerah.

Keuangan daerah menurut PP Nomor 12 Tahun 2019 meliputi:

1. hak Daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan

pinjaman;

2. kewajiban Daerah untuk menyelenggarakan Urusan Pemerintahan daerah dan

membayar tagihan pihak ketiga;

3. Penerimaan Daerah;

4. Pengeluaran Daerah;

5. kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat

berharga, piutang, barang, serta hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk

kekayaan daerah yang dipisahkan; dan/atau

6. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah dalam rangka

penyelenggaraan tugas Pemerintahan Daerah dan/atau kepentingan umum

B. Pengelola Keuangan Daerah SKPD

Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan oleh pemegang kekuasaan pengelola


keuangan daerah. Kepala Daerah (dalam hal ini Gubernur) selaku kepala pemerintahan

daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan mewakili

pemerintah daerah, dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Kepala

Daerah perlu menetapkan pejabat-pejabat tertentu dan para bendahara untuk

melaksanakan pengelolaan keuangan daerah.

Para pengelola keuangan daerah tersebut adalah:

1. Pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang (PA/PB)

2. Pejabat Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah (PPK SKPD)

3. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK)

4. Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran

C. Pengertian dan Fungsi Pajak

Pengertian Pajak berdasarkan Undang-Undang KUP Nomor 28 Tahun 2007 adalah

kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang

bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan

secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.

Secara umum, terdapat empat fungsi pajak, antara lain :

1. Fungsi Anggaran (Budgeter)

Pajak merupakan sumber pemasukan keuangan negara dengan cara mengumpulkan

dana atau uang dari wajib pajak ke kas negara untuk membiayai pembangunan

nasional atau pengeluaran negara lainnya. Dengan demikian, fungsi pajak

merupakan sumber pendapatan negara yang memiliki tujuan menyeimbangkan

pengeluaran negara dengan pendapatan negara.

2. Fungsi Mengatur (Fungsi Regulasi)

Pajak merupakan alat untuk melaksanakan atau mengatur kebijakan negara dalam
lapangan sosial dan ekonomi. Fungsi mengatur tersebut antara lain:

a. Pajak dapat digunakan untuk menghambat laju inflasi.

b. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mendorong kegiatan ekspor, seperti

pajak ekspor barang.

c. Pajak dapat memberikan proteksi atau perlindungan terhadap barang produksi

dari dalam negeri, contohnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

d. Pajak dapat mengatur dan menarik investasi modal yang membantu

perekonomian agar semakin produktif.

3. Fungsi Pemerataan (Pajak Distribusi)

Pajak dapat digunakan untuk menyesuaikan dan menyeimbangkan antara pembagian

pendapatan dengan kesejahteraan masyarakat.

4. Fungsi Stabilisasi

Pajak dapat digunakan untuk menstabilkan kondisi dan keadaan perekonomian,

seperti untuk mengatasi inflasi, pemerintah menetapkan pajak yang tinggi, sehingga

jumlah uang yang beredar dapat dikurangi. Sedangkan untuk mengatasi kelesuan

ekonomi atau deflasi, pemerintah menurunkan pajak, sehingga jumlah uang yang

beredar dapat ditambah dan deflasi dapat di atasi.

Tanggung jawab atas kewajiban membayar pajak berada pada anggota masyarakat

sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut, sesuai dengan sistem self assessment yang

dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia. Self assessment system berarti wajib pajak

menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melapor kewajiban perpajakannya

sendiri.

D. Bendahara selaku pemotong/ pemungut pajak

Bendahara instansi pemerintah memiliki kewajiban sebagaimana diatur dalam PMK

231 tahun 2019 sebagaimana telah diubah dalam PMK 59 Tahun 2022 diatur ketentuan
kewajiban instansi pemerintah sebagai berikut:

1. Instansi Pemerintah ditunjuk sebagai pemotong dan/ atau pemungut PPh yang

terutang sehubungan dengan belanja pemerintah.

2. Instansi Pemerintah wajib memotong atau memungut, menyetor, dan melaporkan

PPh yang terutang atas setiap pembayaran yang merupakan objek pemotongan atau

pemungutan PPh.

Berdasarkan kewajiban tersebut, terdapat jenis-jenis pajak yang wajib

dipotong/dipungut bendahara pemerintah. Pajak tersebut, yaitu:

1. PPh Pasal 4 ayat 2

Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) yaitu pemotongan PPh atas penghasilan yang

dibayarkan kepada pihak lain atas:

a. Persewaan tanah dan/ atau bangunan;

b. pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan;

c. usaha jasa konstruksi;

d. hadiah undian; serta

e. pembelian barang atau penggunaan jasa dari Wajib Pajak yang memiliki

peredaran bruto tertentu.

Instansi Pemerintah tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas:

1. sebagian atau seluruh pembayaran pengalihan hak atas tanah dan/ atau

bangunan kepada:

a. Orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah penghasilan tidak

kena pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan

dengan jumlah bruto pengalihan kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh

juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;

b. orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan harta berupa bangunan
dalam rangka melaksanakan perjanjian bangun guna serah, bangun serah

guna, atau pemanfaatan barang milik negara berupa tanah dan/atau

bangunan; atau

c. orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak yang melakukan

pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan;

d. pembayaran dengan mekanisme Uang Persediaan atas transaksi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan melalui Pihak Lain

dalam Sistem Informasi Pengadaan, yang telah dipungut PPh Pasal 22 oleh

Pihak Lain.

2. PPh Pasal 15

Pemotongan PPh Pasal 15 yaitu pemotongan PPh kepada Wajib Pajak tertentu

atas:

a. imbalan jasa pelayaran dalam negeri;

b. imbalan jasa penerbangan dalam negeri; atau

c. imbalan jasa pelayaran dan/ atau penerbangan luar negeri.

Instansi Pemerintah tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 15 atas

pembayaran dengan mekanisme Uang Persediaan sehubungan dengan imbalan

jasa yang dilakukan melalui Pihak Lain dalam Sistem Informasi Pengadaan,

yang telah dipungut PPh Pasal 22 oleh Pihak Lain.

3. PPh Pasal 21

Pemotongan PPh Pasal 21 meliputi pemotongan PPh atas penghasilan sehubungan

dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun

yang dibayarkan kepada rekanan pemerintah yang merupakan Wajib Pajak orang

pribadi dalam negeri.

Instansi Pemerintah tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap:


a. pembayaran kepada rekanan pemerintah yang memiliki dan menyerahkan

fotokopi Surat Keterangan;

b. pembayaran penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada

rekanan pemerintah yang dapat menyerahkan fotokopi surat keterangan bebas

pemotongan dan/atau pemungutan PPh sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pengajuan

permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh; atau

c. pembayaran dengan mekanisme Uang Persediaan sehubungan dengan

pekerjaan, jasa, atau kegiatan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang

dibayarkan kepada rekanan pemerintah yang dilakukan melalui Pihak Lain

dalam Sistem Informasi Pengadaan, yang telah dipungut PPh Pasal 22 oleh

Pihak Lain.

4. PPh Pasal 22

Pemungutan PPh Pasal 22 meliputi pemungutan PPh sehubungan dengan

pembayaran atas pembelian barang kepada rekanan pemerintah.

Instansi Pemerintah tidak melakukan pemungutan PPh Pasal 22 atas:

a. pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah)

tidak termasuk PPN dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu

transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp2.000.000,00 (duajuta rupiah);

b. pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan dengan menggunakan kartu

kredit pemerintah;

c. pembayaran untuk: pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas,

benda pos; atau pemakaian air dan listrik;

d. pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana

bantuan operasional sekolah, bantuan operasional penyelenggaraan pendidikan


anak usia dini, atau bantuan operasional penyelenggaraan pendidikan lainnya,

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan;

e. pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras;

f. pembayaran kepada rekanan pemerintah yang memiliki dan menyerahkan

fotokopi Surat Keterangan;

g. pembayaran untuk pembelian barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

kepada rekanan pemerintah yang dapat menyerahkan fotokopi surat keterangan

bebas pemotongan dan/atau pemungutan PPh sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pengajuan

permohonan pembebasan dari pemotongan dan/ atau pemungutan PPh; atau

h. pembayaran dengan mekanisme Uang Persediaan atas pembelian barang yang

dilakukan melalui Pihak Lain dalam Sistem Informasi Pengadaan, yang telah

dipungut PPh Pasal 22 oleh Pihak Lain.

5. PPh Pasal 23

Pemotongan PPh Pasal 23 meliputi pemotongan PPh atas penghasilan yang

dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya

kepada rekanan pemerintah yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri atau

bentuk usaha tetap berupa:

a. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karenajaminan pengembalian

utang;

b. royalti;

c. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh

Pasal 21;

d. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa

dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai
PPh Pasal 4 ayat (2); dan/atau

e. imbalan sehubungan dengan jasa yang pembayarannya dibebankan pada

anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja

daerah, atau anggaran pendapatan dan belanja desa selain jasa yang telah

dipotong PPh Pasal 21.

Instansi Pemerintah tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas:

a. penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada bank;

b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha

dengan hak opsi;

c. penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada badan usaha atas jasa

keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/ atau pembiayaan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;

d. imbalan sehubungan dengan jasa yang telah dikenai PPh yang bersifat final

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;

e. imbalan sehubungan dengan pengangkutan/ekspedisi sebagaimana dalam Pasal

15 Undang-Undang PPh; jasa diatur

f. penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh

tempo pembayarannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada rekanan

pemerintah yang dapat menyerahkan fotokopi surat keterangan bebas

pemotongan dan/atau pemungutan PPh sesuai dengan ketentuan peraturan

perundangundangan yang mengatur mengenai tata cara pengajuan permohonan

pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh;

g. penghasilan yang dibayarkan kepada rekanan pemerintah dengan mekanisme

Uang Persediaan atas: 1). sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan

penggunaan harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d; atau 2).
penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, yang dilakukan

melalui Pihak Lain dalam Sistem Informasi Pengadaan, yang telah dipungut

PPh Pasal 22 oleh Pihak Lain; atau

h. pembayaran kepada rekanan pemerintah yang memiliki dan menyerahkan

fotokopi Surat Keterangan.

6. PPh Pasal 26

Pemotongan PPh Pasal 26 meliputi pemotongan PPh atas penghasilan yang

dibayarkan kepada rekanan pemerintah yang merupakan Wajib Pajak luar negeri

selain bentuk usaha tetap berupa:

a. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan

pengembalian utang;

b. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

c. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan; dan/ atau

d. hadiah dan penghargaan.

7. PPN dan PPnBM

Instansi Pemerintah ditunjuk sebagai pemungut PPN atau PPN dan PPnBM yang

terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak oleh PKP

Rekanan Pemerintah kepada Instansi Pemerintah.

E. Pihak Lain selaku pemotong/pemungut pajak

Berdasakan PMK No 58 Tahun 2022, Pihak Lain ditunjuk sebagai pemungut

pajak untuk melakukan pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak atas

penyerahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh Rekanan.

Penyerahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh Rekanan meliputi penyerahan

barang dan/ atau jasa kepada Instansi Pemerintah dan pihak selain Instansi
Pemerintah dalam Sistem Informasi Pengadaan.

Jenis transaksi yang dipungut merupakan objek PPh Pasal 22 yang meliputi:

a. penjualan barang;

b. penyerahan jasa; dan/ atau

c. persewaan dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.

Atas pajak yang dipungut tersebut, Pihak Lain memiliki kewajiban untuk

melakukan penyetoran dan pelaporan secara berkala.

Besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 yaitu sebesar 0,5% (nol koma

lima persen) dari seluruh nilai pembayaran yang tercantum dalam dokumen tagihan,

tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Dasar dan Tujuan Perubahan Perpajakan Peraturan Menteri Keuangan No.

58/PMK.03/Tahun 2022 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 59/PMK.03/Tahun 2022.

Kewenangan dan tanggung jawab dalam penggunaan anggaran yang dimiliki oleh

instansi pemerintah, berkewajiban dalam meningkatkan penggunaan produk dalam negeri

untuk mewujudkan pengadaan yang transaparan dan efisien melalui Sistem Informasi

Pengadaan Pemerintah (SIPP). Didukung dengan meresmikan 14 aturan perpajakan

terbaru sebagai peraturan pelaksana UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) No. 7

Tahun 2021, yaitu beberapa diantaranya ialah Peraturan Menteri Keuangan Republik

Indonesia No.58/PMK.03/2022 tentang Penunjukan Pihak Lain Sebagai Pemungut Pajak

dan Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan/atau Pelaporan Pajak yang dipungut oleh

Pihak Lain Atas Transaksi Pengadaan Barang dan/atau Jasa Melalui Sistem Informasi

Pengadaan Pemerintah dan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No .

59/PMK.03/2022 yang menjadi perubahan atas PMK 231/PMK.03/2019 tentang Tata Cara

Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Pengukuhan dan

Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP), serta Pemotongan dan/atau

Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak bagi Instansi Pemerintah . Kedua PMK

terbaru ini efektif berlaku mulai tanggal 1 Mei 2022.

Peresmian aturan perpajakan terbaru melalui PMK No. 58/PMK.03/Tahun 2022 dan

PMK No. 59/PMK.03/Tahun 2022 ini bertujuan untuk:

1. memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban

perpajakan bagi Instansi Pemerintah yang melakukan belanja barang/jasa pemerintah

secara elektronik melalui sistem informasi pengadaan pemerintah;


2. mendukung penggunaan produk dalam negeri dan meningkatkan transparansi serta

efisiensi belanja, pemerintah menyelenggarakan pengadaan barang dan/atau jasa

pemerintah secara elektronik melalui sistem informasi pengadaan pemerintah;

3. mengamankan penerimaan pajak atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa

pemerintah secara elektronik melalui sistem informasi pengadaan pemerintah, perlu

menunjuk pihak lain sebagai pemungut pajak;

4. mendukung gerakan nasional non-tunai dengan memberikan kemudahan perpajakan

dalam pembayaran atas belanja barang/jasa pemerintah yang dilakukan dengan

menggunakan kartu kredit pemerintah bagi instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah

daerah, dan instansi pemerintah desa.

B. Isi Pokok Peraturan Menteri Keuangan Nomor 58/PMK.03/Tahun 2022

Pokok pengaturan perubahan dari PMK ini ialah berupa subjek pajak yang ditunjuk

sebagai pemungut pajak atas penyerahan barang dan jasa. Pemungutan dilakukan rekanan

termasuk penyerahan kepada instansi pemerintah dan pihak lainnya, selain instansi

pemerintah dalam sistem informasi pengadaan. Pihak lain yang disebut sebagai pemungut

atas transaksi pengadaan barang dan jasa menggunakan sistem informasi pengadaan yaitu

marketplace pengadaan dan ritel daring pengadaan yang terlibat langsung atau memfasilitasi

transaksi yang dilakukan melalui SIPP. Pajak yang dipungut oleh pihak lain ialah PPN, PPh

Pasal 22, atau PPN dan PPnBM, dan apabila pajak telah dipungut oleh pihak lain, tidak

dilakukan pemotongan atau pemungutan pajak kembali.

Penyebutan marketplace pengadaan barang atau jasa pemerintah digunakan untuk

penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik yang digunakan sebagai tempat

rekanan untuk memberikan penawaran bagi barang dan jasa kepada instansi pemerintahan.

Selanjutnya, penyebutan ritel daring pengadaan barang dan jasa pemerintah ialah

penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik yang menggunakan sarana PMSE,


digunakan sendiri untuk memberikan penawaran barang dan jasa kepada instansi

pemerintah.

Adapun, pihak lain yang ditunjuk sebagai pemungut harus mendaftarkan diri pada

kantor Direktorat Jenderal Pajak dengan wilayah kerja meliputi tempat tinggal atau tempat

kedudukan pihak lain untuk diberikan NPWP. Kemudian, pihak lainnya perlu melaporkan

usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat

tinggal, kedudukan, atau kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha

Kena Pajak atau PKP.

Dalam PMK 58/PMK.03/2022 pasal 5 ayat (5) b. disebutkan bahwa Pihak Lain tidak

melakukan pemungutan Pajak Penghasilan 22 atas pembayaran sehubungan dengan

transaksi penjualan barang, penyerahan jasa, dan/atau persewaan dan penghasilan lain

sehubungan dengan penggunaan harta yang dilakukan oleh rekanan yang pembayarannya

dilakukan melalui mekanisme pembayaran langsung. Pembayaran langsung merupakan

pembayaran kepada bendahara pengeluaran/penerima hak lainnya atas dasar perjanjian

kerja, surat tugas, dan/atau surat perintah kerja lainnya melalui penerbitan surat perintah

membayar langsung (LS).

Ketentuan permintaan pembayaran melalui pembebanan LS berdasarkan Peraturan

Gubernur Jawa Tengah Nomor 42 Tahun 2022 tentang Pedoman Pelaksanaan APBD

Provinsi Jawa Tengah Tahun 2023 salah satunya adalah untuk belanja barang dan jasa,

belanja modal termasuk pekerjaan yang dilaksanakan sendiri (swakelola) yang nilainya di

atas Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) kecuali pengadaan barang/jasa melalui e-

purchasing di atas Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Berdasarkan hal tersebut,

Pihak Lain dalam hal ini adalah marketplace dan ritel daring menjadi wajib pungut pajak

untuk transaksi yang pembayarannya menggunakan mekanisme UP/GU/TU dengan nominal

transaksi maksimal Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).


C. Pokok Perubahan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 59/PMK.03/Tahun 2022

Isi pokok pengaturan dalam PMK ini ialah pengecualian pemotongan atau pemungutan

pajak oleh instansi pemerintah untuk transaksi yang dilakukan menggunakan sistem

informasi pengadaan pemerintah.

Berikut poin pokok perubahannya:

1. Perubahan PMK 59/2022 Pasal 9

Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) meliputi pemotongan PPh atas penghasilan yang

dibayarkan kepada rekanan pemerintah atas:

a. persewaan tanah dan/atau bangunan;

b. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;

c. usahajasa konstruksi;

d. hadiah undian;

e. pembelian barang atau penggunaan jasa dari Wajib Pajak yang memiliki peredaran

bruto tertentu.

Tidak termasuk pembayaran atas persewaan tanah dan/ atau bangunan, yaitu pembayaran

atas penggunaan jasa pelayanan penginapan serta akomodasinya.

Instansi Pemerintah tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas:

(a) sebagian atau seluruh pembayaran pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan

kepada:

(1) orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah penghasilan tidak kena pajak

yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/ atau bangunan dengan jumlah bruto

pengalihan kurang dari Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan

merupakan jumlah yang dipecah-pecah;


(2) orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan harta berupa bangunan dalam

rangka melaksanakan perjanjian bangun guna serah, bangun serah guna, atau

pemanfaatan barang milik negara berupa tanah dan/ atau bangunan;

(3) orang pribadi atau badan yang tidak termasuk subjek pajak yang melakukan

pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan;

(b) pembayaran dengan mekanisme Uang Persediaan atas transaksi yang dilakukan melalui

Pihak Lain dalam Sistem Informasi Pengadaan, yang telah dipungut PPh Pasal 22 oleh

Pihak Lain.

2. Perubahan PMK 59/2022 Pasal 10

Penambahan pengecualian pemotongan PPh Pasal 15 oleh instansi pemerintah:

Instansi Pemerintah tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 15 atas pembayaran dengan

mekanisme Uang Persediaan sehubungan dengan imbalan jasa yang dilakukan melalui

Pihak Lain dalam Sistem Informasi Pengadaan, yang telah dipungut PPh Pasal 22 oleh

Pihak Lain.

3. Perubahan PMK 59/2022 Pasal 11

Perubahan dan penambahan pengecualian pemotongan PPh Pasal 21 oleh instansi

pemerintah:

Instansi Pemerintah tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas:

a. pembayaran kepada rekanan pemerintah yang memiliki dan menyerahkan fotokopi

Surat Keterangan;

b. pembayaran penghasilan kepada rekanan pemerintah yang dapat menyerahkan

fotokopi surat keterangan bebas pemotongan dan/atau pemungutan PPh sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara

pengajuan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/ atau pemungutan PPh;


c. pembayaran dengan mekanisme Uang Persediaan sehubungan dengan pekerjaan,

jasa, atau kegiatan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan kepada

rekanan pemerintah yang dilakukan melalui Pihak Lain dalam Sistem Informasi

Pengadaan, yang telah dipungut PPh Pasal 22 oleh Pihak Lain.

4. Perubahan PMK 59/2022 Pasal 12

Perubahan dan penambahan pengecualian pemotongan PPh Pasal 22 oleh instansi

pemerintah:

Instansi Pemerintah tidak melakukan pemungutan PPh Pasal 22 atas:

(a) pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) tidak

termasuk PPN dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi

yang nilai sebenarnya lebih dari Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah);

(b) pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan dengan menggunakan kartu kredit

pemerintah;

(c) pembayaran untuk:

(1) pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda pos;

(2) pemakaian air dan listrik;

(d) pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana bantuan

operasional sekolah, bantuan operasional penyelenggaraan pendidikan anak usia dini,

atau bantuan operasional penyelenggaraan pendidikan lainnya, sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan;

(e) pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras;

(f) pembayaran kepada rekanan pemerintah yang memiliki dan menyerahkan fotokopi

Surat Keterangan;

(g) pembayaran untuk pembelian barang kepada rekanan pemerintah yang dapat

menyerahkan fotokopi surat keterangan bebas pemotongan dan/atau pemungutan PPh


sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata

cara pengajuan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/ atau pemungutan PPh;

(h) pembayaran dengan mekanisme Uang Persediaan atas pembelian barang yang

dilakukan melalui Pihak Lain dalam Sistem Informasi Pengadaan, yang telah dipungut

PPh Pasal 22 oleh Pihak Lain.

5. Perubahan PMK 59/2022 Pasal 13

Perubahan dan penambahan pengecualian pemotongan PPh Pasal 23 oleh instansi

pemerintah:

Instansi Pemerintah tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas:

(a) penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada bank;

(b) sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak

opsi;

(c) penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan

yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/ atau pembiayaan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;

(d) imbalan sehubungan dengan jasa yang telah dikenai PPh yang bersifat final sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;

(e) imbalan sehubungan dengan pengangkutan/ ekspedisi sebagaimana dalam Pasal 15

Undang-Undang PPh; jasa diatur

(f) penghasilan yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo

pembayarannya kepada rekanan pemerintah yang dapat menyerahkan fotokopi surat

keterangan bebas pemotongan dan/atau pemungutan PPh sesuai dengan ketentuan

peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai tata cara pengajuan

permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan PPh;


(g) penghasilan yang dibayarkan kepada rekanan pemerintah dengan mekanisme Uang

Persediaan atas:

(1) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta

(2) penggunaan jasa, yang dilakukan melalui Pihak Lain dalam Sistem Informasi

Pengadaan, yang telah dipungut PPh Pasal 22 oleh Pihak Lain;

(h) pembayaran kepada rekanan pemerintah yang memiliki dan menyerahkan fotokopi

Surat Keterangan

6. Perubahan PMK 59/2022 Pasal 18

Penambahan pengecualian pemungutan PPN atau PPN dan PPnBM oleh instansi

pemerintah, PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut oleh Instansi Pemerintah, dalam:

(a) pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) tidak

termasukjumlah PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang, dan bukan merupakan

pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp

2.000.000,00 (dua juta rupiah);

(b) pembayaran dengan kartu kredit pemerintah atas belanja Instansi Pemerintah;

(c) pembayaran untuk pengadaan tanah;

(d) pembayaran atas penyerahan bahan bakar minyak dan bahan bakar bukan minyak

oleh PT Pertamina (Persero) dan/atau anak usaha PT Pertamina (Persero) yang

meliputi PT Pertamina Patra Niaga, PT Kilang Pertamina Internasional, dan PT

Elnusa Pertrofin;

(e) pembayaran atas penyerahan jasa telekomunikasi oleh perusahaan telekomunikasi;

(f) pembayaran atas Jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan;

(g) pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak yang

menurut ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, mendapat

fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan PPN;


(h) pembayaran dengan mekanisme Uang Persediaan atas penyerahan Barang Kena

Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh PKP Rekanan Pemerintah kepada Instansi

Pemerintah yang dilakukan melalui Pihak Lain dalam Sistem Informasi Pengadaan.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pengelolaan keuangan daerah tidak terlepas dari pelaksaan pemungutan dan

pemotongan pajak yanng merpakan salah satu sumber penerimaan negara terbesar yang

diperoleh dari kontribusi rakyat yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang,

dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk kemakmuran

negara. Seiring perkembangan teknologi, transaksi belanja pengadaan barang serta jasa

dapat dilakukan melalui daring sehingga pemerintah memfasilitasi pengadaan berupa

marketplace pengadaan atau ritel daring pengasaan melalui Sistem Informasi Pengadaan

Pemerintah (SIPP) yang dapat dilakukan menggunakan mekanisme Uang Persediaan

(UP). Atas transaksi belanja melalui daring, diterbitkanlah UU HPP No 7 Tahun 2021

yang bertujuan untuk:

1. memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban

perpajakan

2. mendukung penggunaan produk dalam negeri dan meningkatkan transparansi serta

efisiensi belanja

3. mengamankan penerimaan pajak atas transaksi pengadaan barang dan/ atau jasa

pemerintah secara elektronik

4. mendukung gerakan nasional non-tunai dengan memberikan kemudahan perpajakan

dalam pembayaran dengan menggunakan kartu kredit pemerintah

Pemerintah resmi menerbitkan peraturan pelaksana dari UU HPP sebanyak 14

PMK yang mengatur tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), beberapa diantaranya

adalah Peraturan Menteri Keuangan No.58/PMK.03/Tahun 2022 dan Peraturan Menteri


Keuangan No.59/PMK.03/Tahun 2022 yang berisi penyerahan barang dan jasa yang

dilakukan rekanan termasuk penyerahan kepada instansi pemerintah dan pihak lainnya,

selain instansi pemerintah dalam sistem informasi pengadaan. Sedangkan Isi pokok

pengaturan dalam PMK No.59/PMK.03/Tahun 2022 ialah pengecualian pemotongan

atau pemungutan pajak oleh instansi pemerintah untuk transaksi yang dilakukan

menggunakan sistem informasi pengadaan pemerintah.

B. Saran

Adapun saran-saran yang dapat diberikan oleh penulis kepada beberapa pihak

adalah sebagai berikut:

1. Pemerintah diharapkan untuk memberikan info melalui infogradis dengan gambar

dan kalimat ajakan yang dapat dengan mudah dipahami sehingga tidak terjadi

kesalahan dalam pemungutan dan pemotongan perpajakan.

2. Perlunya peningkatan sosialisasi yang dilakukan pemerintah khususnya Direktorat

Jenderal Pajak terkait poin-poin 14 peraturan turunan terbaru berupa Peraturan

Menteri Keuangan atas UU No 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan

Perpajakan.

3. Perlunya peningkatan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah khususnya

Direktorat Jendral Pajak terhadap jajaran pegawainya yang mengelola dana dari

pemenuhan pajak penghasilan agar tidak terjadi lagi kasus korupsi yang dilakukan

oleh aparat pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai