Anda di halaman 1dari 58

DRAFT LAPORAN

KAJIAN PERATURAN DAERAH


NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG
PENANAMAN MODAL DI PROVINSI
JAWA TENGAH

DINAS PENANAMAN MODAL DAN

PELAYANAN TERPADU SATU PINTU

PROVINSI JAWA TENGAH

TAHUN 2019

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan anugerah dan
maunah-Nya, sehingga kajian Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 7
Tahun 2010 tentang Penanaman Modal di Jawa Tengah, berhasil kami
selesaikan dengan baik. Kajian ini merupakan bentuk executive review
atas berlakunya perda tersebut dalam kondisi saat ini, dimana berbagai
regulasi baru di tingkat nasional sudah banyak yang berubah dan
bertambah. Kondisi ini tentu membawa dampak yang signifikan
terhadap keberlakuan perda ini, baru dari sisi landasan hukum yang
menjadi bahan rujukan dan pertimbangan dari pembuatan ini pertama
kali, maupun secara subtansi.
Hasil kajian ini dimaksudkan untuk melakukan telaah kritis
terhadap implikasi-implikasi yang berpengaruh terhadap keberlakuan
perda ini ke depannya, apakah perlu dilakukan perubahan yang bersifat
tambal-sulam ataukah secara total dilakukan penggantian dengan perda
yang baru, disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang ada.
Terkait dengan hal itu, Tim Penyusun mengucapkan banyak
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran
pelaksanaan kajian ini, yaitu: Tim Ahli dari Pusat Kajian Hukum,
Otonomi Daerah dan Demokrasi, Kementerian Dalam Negeri dan
berbagai Dinas dan Biro Hukum di lingkungan Provinsi Jawa Tengah—
yang cukup banyak memberikan masukan dan kritisi terhadap data dan
analisis yang dilakukan tim.
Semarang, November 2019
KEPALA DINAS PENANAMAN MODAL DAN
PELAYANAN TERPADU SATU PINTU
PROVINSI JAWA TENGAH

RATNA KAWURI, SH

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ---------------------------------------------------- i


KATA PENGANTAR----------------------------------------------------- ii
DAFTAR ISI ------------------------------------------------------------- iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang -------------------------------------------------- 1
B. Identifikasi Masalah -------------------------------------------- 5
C. Tujuan dan Kegunaan ----------------------------------------- 6
D. Metode Kajian --------------------------------------------------- 6

BAB II KAJIAN SINKRONISASI DAN HARMONISASI PERATURAN


A. Kajian Teoretis -------------------------------------------------- 11
B. Dinamika Penanaman Modal di Jateng --------------------- 15
C. Kajian Peraturan Penanaman Modal ------------------------ 18

BAB III KAJIAN PERDA PENANAMAN MODAL


A. Kajian Anatomi Perda ------------------------------------------ 20
B. Kesesuaian Perda Penanaman Modal denagn –
Peraturan Perundang-undangan Lainnya ----------------- 23
C. Sinkronisasi dan Harmonisasi yang Diperlukan ---------- 34
D. Relevansi Perubahan Kelembagaan Penanaman Modal -- 36

BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ------------------------------------------------------ 50
B. Rekomendasi ---------------------------------------------------- 50

DAFTAR ISI ------------------------------------------------------------- 53

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya
untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar
terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan, sehingga tercapai
tujuan reformasi birokrasi yaitu untuk mempercepat tercapainya
tata kelola pemerintahan yang baik dan upaya memperbaiki
dukungan terhadap pemerintah daerah dalam meningkatkan
kinerjanya.
Program reformasi birokrasi berjalan yang pada pokoknya
terdiri dari reformasi kelembagaan, sumber daya manusia dan
reformasi manajemen dukungan teknologi informasi dalam proses
perizinan. Reformasi kelembagaan yaitu dengan membentuk
lembaga baru yang menangani proses perizinan terpadu yang
dimasa lalu proses perizinan harus melalui instansi yang berbeda
dan dengan adanya reformasi birokrasi proses perizinan disatukan
dalam satu lembaga yang bersifat terpadu, meningkatkan
sumberdaya manusia dan meningkatkan keterbukaan informasi
melalui manajemen dengan dukungan teknologi informasi.
Salah satu Urusan Pemerintahan Konkuren yang menjadi
kewenangan Pemerintah Daerah adalah menyelenggarakan
Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan
Pelayanan Dasar, yakni Penanaman Modal sebagaimana diatur
dalam Pasal 12 ayat (2) butir I UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Penanaman Modal atau Investasi
merupakan salah satu instrument untuk mendapatkan modal
atau sumber pendapatan dan pembiayaan bagi terselengaranya

1
pembangunan daerah.1 Upaya ini merupakan konsekuensi logis
dari penyelenggaraan Otonomi Daerah—yang menuntut setiap
daerah otonom untuk bersikap kreatif, inovatif dalam mencari
alternatif sumber pembiayaan pembangunan. Oleh sebab itu,
salah satu upaya Pemerintah Daerah dalam mencari alternatif
pembiayaan bagi pembangunan daerahnya dilakukan dengan
mengundang investor. Kegiatan investasi di Daerah menjadi
pendorong bagi pertumbuhan dan pembangunan ekonomi daerah
sehingga memiliki dampak positif bagi meningkatnya jumlah dan
jenis peluang kerja serta pemerataan pendapatan masyarakat
guna menekan angka kemiskinan di daerah.2
Otonomi daerah telah menciptakan peluang bagi daerah guna
berkembang dan maju sesuai dengan realitas dan kondisi
masyarakat setempat serta kemampuan mendayagunakan
sumber-sumber ekonomi yang dimiliknya. Dalam hal ini
pemerintah pusat berperan sebagai pembina untuk memberikan
pedoman agar pembangunan daerah tetap pada jalur yang sinergis
satu sama lain dan sinergis secara nasional.
Salah satu pedoman yang digariskan oleh Pemerintah Pusat
kepada daerah adalah perbaikan tata kelola investasi atau
penanaman modal di daerah yang selama ini menjadi hambatan
yang dihadapi oleh investor dalam proses perizinan. Iklim investasi
yang kondusif dapat menciptakan insentif untuk dunia usaha baik
dalam bentuk perluasan lapangan kerja, ketersediaan usaha dan
daya saing. Dalam aspek makro, kondisi tersebut juga menjadi
salah satu faktor yang diperlukan dalam mendorong terciptanya
pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta berkelanjutan.

1 Murtir Jeddawi, 2005, Memacu Investasi di Era Otonomi Daerah, UII Press
Yogyakarta.
2 Mohammad Khusaini, 2006. Ekonomi Publik Desentralisasi Fiskal dan
Pembangunan Daerah. BPFE UNIBRAW. Malang

2
Berdasarkan data dari DPMPTSP Provinsi Jawa Tengah,3
telah lampaui target investasi yang ditetapkan Tahun 2018
sebesar Rp. 47,15 Triliun, rilis yang disampaikan oleh BKPM RI
mengumumkan bahwa Jawa Tengah pada Tahun 2018 mencatat
angka sebesar Rp. 59,27 triliun. Angka tersebut sekaligus
menyatakan adanya peningkatan nilai investasi yang diperoleh
Tahun 2017 yang sebesar 51,54 Triliun Jika dibanding perolehan
Tahun 2017, maka ada peningkatan di tahun 2018 sebesar 15%,
selisih 7,7 Triliun. Dalam upaya peningkatan investasi tentu tidak
hanya dapat dilakukan dari sudut pandang dan pertimbangan
ekonomi, melainkan juga dengan memperhatikan faktor terkait,
seperti faktor sosial budaya, hukum dan kondisi politik. Faktor
hukum yang menjadi pertimbangan tidak hanya mencakup
produk hukum dalam tingkat nasional, melainkan juga produk
hukum daerah beserta peraturan pelaksanaannya.
Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah telah memiliki
Peraturan Daerah mengenai penanaman modal, yaitu Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 7 Tahun 2010 tentang
Penanaman Modal di Provinsi Jawa Tengah. Spirit yang
mendorong Perda ini adalah untuk mencari sumber pembiayaan
pembangunan daerah, menciptakan lapangan kerja dan secara
umum untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sebagaimana hal ini terlihat secara eksplisit dalam konsideran
perda tersebut yakni: “penanaman modal merupakan salah satu
faktor penggerak perekonomian daerah, pembiayaan
pembangunan daerah dan penciptaan lapangan kerja, sehingga
perlu diciptakan kemudahan pelayanan untuk meningkatkan
realisasi penanaman modal dan kesejahteraan masyarakat dengan

http://web.dpmptsp.jatengprov.go.id/p/232/jawa_tengah_lampaui_target_in
vestasi_2018, diakses 10 Februari 219.

3
menjadikan Jawa Tengah menjadi daerah yang menarik bagi
penanaman modal”.
Bagian terpenting lainnya dalam konsideran Perda tersebut
adalah perlunya menciptakan insentif dan kemudahan pelayanan
dalam penanaman modal di Jawa Tengah. Persoalan ini menjadi
perhatian yang serius dari Pemerintah Pusat, dimana salah satu
persoalan mendasar dari investasi di Indonesia terletak pada
birokrasi di daerah yang dinilai lambat, baik menyangkut regulasi,
perizinan, ketersediaan lahan maupun infrastruktur pendukung.
Kementerian Dalam Negeri telah menerbitkan Instruksi
Mendagri Nomor: 582/476/SJ tentang Pencabutan/ Perubahan
Peraturan Kepala Daerah, Peraturan Kepala Daerah Dan
Keputusan Yang Menghambat Birokrasi Dan Perizinan Investasi.
Instruksi ini ditetapkan pada 16 Februari 2016. Pemerintah
melalui Kementerian Dalam Negeri membatalkan 3.143 Peraturan
Daerah (Perda) bermasalah yang dinilai menghambat
pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi,
menghambat proses perizinan dan investasi, menghambat
kemudahan berusaha, dan bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Selain itu Pemerintah Pusat telah mengeluarkan sejumlah
peraturan perundang-undangan baru untuk memperbaiki kondisi
investasi di Indonesia. Beberapa peraturan perundang-undangan
dimaksud adalah:
1. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
2. UU Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian
3. PP Nomor 24 tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan
Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik
4. Perpres Nomor 97 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
PTSP

4
5. Perpres Nomor 44 tahun 2016 tentang Daftar Bidang
Usaha Tertutup dan Terbuka Dengan Persyaratan di
Bidang Penanaman Modal
6. Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 7
Tahun 2018 tentang Pedoman dan Tata Cara
Pengendalian Pelaksnaan Penanaman Modal.
Diundangkannya beberapa peraturan perundang-undangan
tersebut di atas berimplikasi terhadap dasar hukum dan subtansi
norma yang diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah
Nomor 7 Tahun 2010 tentang Penanaman Modal di Provinsi Jawa
Tengah. Oleh sebab itu, maka untuk memenuhi syarat
harmonisasi dan sinkronisasi aturan dalam bidang penanaman
modal di Provinsi Jawa Tengah, maka keberadaan Perda tersebut
perlu dilakukan kajian pada dua hal, yakni: dasar hukum dan
sebagian subtansi perda diselaraskan dengan peraturan
perundang-undangan terkait.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan kajian terhadap Peraturan Daerah Provinsi Jawa
Tengah Nomor 7 Tahun 2010 tentang Penanaman Modal Di
Provinsi Jawa Tengah, maka ada dua permasalahan terkait
dengan keberlakuan Perda tersebut seiring dengan
diundangkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang
terkait penanaman modal di tingkat nasional, yaitu:
1. Apa saja dasar hukum yang dijadikan rujukan Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 7 Tahun 2010
tentang Penanaman Modal Di Provinsi Jawa Tengah yang
perlu dilakukan penyesuaian dengan peraturan
perundang-undangan di tingkat nasional?

5
2. Apa saja substansi aturan yang terdapat dalam
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 7 Tahun
2010 tentang Penanaman Modal Di Provinsi Jawa
Tengah yang sudah tidak sesuai dengan beberapa
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang
diundangkan setelah berlakunya perda ini?

C. Tujuan dan Kegunaan


Kajian terhadap keberadaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa
Tengah Nomor 7 Tahun 2010 tentang Penanaman Modal Di
Provinsi Jawa Tengah ini dimaksudkan untuk mendapatkan
gambaran mengenai dasar hukum apa saja yang sudah tidak
sesuai menjadi dasar hukum dari perda ini, serta menganalisis
subtansi peraturan perundang-undangan apa saja yang sudah
tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di atasnya
dan perlu disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan di
atasnya.
Hasil kajian ini dapat dijadikan sebagai dasar pertimbangan
bagi Perangkat Daerah untuk melakukan peninjauan atau
perubahan terhadap Perda Provinsi Jawa Tengah No. 7 Tahun
2010 tentang Penanaman Modal Di Provinsi Jawa Tengah,
khususnya terhadap dua permasalahan yang mendasar tersebut
di atas.

D. Metode Kajian
1. Jenis Kajian
Jenis Penelitian yang dilakukan dalam penyusunan kajian
Perda No. 7 Tahun 2010 tentang Penanaman Modal Di Provinsi
Jawa Tengah ini menggunakan metode yuridis normatif dengan
memusatkan perhatian pada kajian tentang norma-norma hukum

6
yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan
tentang penanaman modal, yaitu berbagai peraturan perundang-
undangan baik langsung maupun tidak langsung terkait dengan
penanaman modal. Penelitian ini dilakukan dengan beberapa
pendekatan, yaitu :
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach);
Pendekatan ini digunakan untuk meneliti dan menelaah
berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur
penyelenggaraan penanaman modal sehingga dapat
dijelaskan dari sudut ilmu perundang-undangan, untuk
mengetahui juga ada tidaknya konsistensi atau
kesesuaian baik secara horisontal maupun vertikal antar
peraturan perundang-undangan yang diteliti. Bahan-
bahan yang dijadikan kajian adalah berbagai peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan pengaturan
penanaman modal di Indonesia mulai dari undang-
undang sampai pada peraturan daerah.
b. Pendekatan konseptual (conceptual approach);
Pendekatan ini digunakan untuk mendalami konsep
tentang penyelenggaraan penanaman modal di negara
Republik Indonesia. Tujuannya adalah menemukan
pemahaman dari para pembentuk peraturan perundang-
undangan dan pendapat sarjana bidang penanaman
modal yang akhirnya bermuara pada nilai-nilai Pancasila
sebagai sumber segala sumber hukum. Sehingga
pengaturan yang akan dituangkan dalam Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Tengah tentang Penanaman Modal
bermuara baik pada peraturan perundang-undangan
yang berada di atasnya, maupun pada konsep yang

7
benar dalam penyelenggaraan penanaman modal di
daerah.

2. Spesifikasi Kajian
Dilihat dari spesifikasinya, penelitian untuk penyusunan
kajian ini bersifat deskriptif analitis, karena mendeskripsikan
mengenai perkembangan pengaturan (regulasi) penyelenggaraan
penanaman modal di Provinsi Jawa Tengah. Dengan demikian,
untuk menganalisis pengaturan penanaman modal telah
diselenggarakan dengan adanya pengaturan dalam suatu
peraturan perundang-undangan atau dalam bentuk peraturan
daerah provinsi. Penyusunan kajian ini dilakukan dengan tujuan
untuk memberikan gambaran apakah pengaturan penanaman
modal di Provinsi Jawa Tengah sudah memadai dan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Sumber Bahan Hukum


Bahan yang digunakan dalam kajian ini mencakup bahan
hukum bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan
hukum primer merupakan bahan hukum yang memiliki otoritas
tertentu.
a. Bahan hukum primer terdiri dari:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945;
2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal;
3) Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang
Perkoperasian;

8
5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian;
6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
7) Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 1 Tahun 2008 tenang Investasi
Pemerintahan;
8) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016
tentang Perangkat Daerah;
9) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018
tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi
Secara Elektronik;
10) Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu;
11) Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang
Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang
Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang
Penanaman Modal;

b. Bahan hukum sekunder terdiri dari:


1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 100 Tahun
2016 tentang Pedoman Nomenklatur Dinas
Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu Provinsi dan Kabupaten/Kota;
2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 138 Tahun
2017 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu Daerah;

9
3) Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal
Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pedoman dan Tata
Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal;
4) Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 9
Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan
Perangkat Daerah Provinsi Jawa Tengah;
5) Bahan/data tentang Kondisi Penanaman Modal Di
Jawa Tengah;

10
BAB II
KAJIAN SINKRONISASI DAN HARMONISASI
PERATURAN PERUNDANGAN PENANAMAN MODAL

A. Kajian Teoretis
Sinkronisasi adalah penyelarasan dan penyelerasian berbagai
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan
perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun
yang mengatur suatu bidang tertentu. Proses sinkronisasi
peraturan bertujuan untuk melihat adanya keselarasan antara
peraturan yang satu dengan peraturan lainnya. Sinkronisasi
dilakukan baik secara vertikal dengan peraturan di atasnya
maupun secara horizontal dengan peraturan yang setara4.
Sinkronisasi peraturan perundang-undangan dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu:5
a. Sinkronisasi Vertikal
Dilakukan dengan melihat apakah suatu peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam suatu
bidang tertentu tidak saling bertentangan antara
satu dengan yang lain.
Di samping harus memperhatikan hierarki
peraturan perundang-undangan, sinkronisasi
vertikal harus juga diperhatikan kronologis tahun
dan nomor penetapan peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan.
b. Sinkronisasi Horizontal

4 Novianto M Hantoro, Sinkronisasi Dan Harmonisasi Pengaturan Mengenai


Peraturan Daerah, Serta Uji Materi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16
Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun
2009-2029, Buku Kesatu.
5 AA. Oka Mahendra, Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan,
http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-
peraturan-perundang-undangan.html dalam Novianto M Hantoro.

11
Dilakukan dengan melihat pada berbagai peraturan
perundang-undangan yang sederajat dan mengatur
bidang yang sama atau terkait. Sinkronisasi
horizontal juga harus dilakukan secara kronologis,
sesuai dengan urutan waktu ditetapkannya
peraturan perundangan-undangan yang
bersangkutan.
Harmonisasi peraturan perundang-undangan adalah proses
penyerasian dan penyelarasan antar peraturan perundang-
undangan sebagai suatu bagian integral atau sub sistem dari
sistem hukum guna mencapai tujuan hukum. Mengapa terjadi
disharmoni antar peraturan perundang-undangan.
Ada 6 (enam) faktor yang menyebabkan disharmoni sebagai
berikut:6
a. Pembentukan dilakukan oleh lembaga yang berbeda dan
sering dalam kurun waktu yang berbeda;
b. Pejabat yang berwenang untuk membentuk peraturan
perundang-undangan berganti-ganti baik karena dibatasi
oleh masa jabatan, alih tugas atau penggantian;
c. Pendekatan sektoral dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan lebih kuat dibanding pendekatan
sistem;
d. Lemahnya koordinasi dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan yang melibatkan
berbagai instansi dan disiplin hukum;
e. Akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan masih
terbatas;

6 Ditjen PP Kemenkumham, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-


puu/421-harmonisasi-peraturan-perundang-undangan.html, diakses 10
Februari 2019

12
f. Belum mantapnya cara dan metode yang pasti, baku dan
standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang
membuat peraturan perundang-undangan.
Disharmoni peraturan perundang-undangan mengakibatkan
beberapa implikasi sebagai berikut:7
a. Terjadinya perbedaan penafsiran dalam
pelaksanaannya;
b. Timbulnya ketidakpastian hukum;
c. Peraturan perundang-undangan tidak terlaksana
secara efektif dan efisien;
d. Disfungsi hukum, artinya hukum tidak dapat
berfungsi memberikan pedoman berperilaku kepada
masyarakat, pengendalian sosial, penyelesaian
sengketa dan sebagai sarana perubahan sosial secara
tertib dan teratur.
Bagaimana mengatasi disharmoni peraturan perundang-
undangan?. Dalam hal terjadi disharmoni peraturan perundang-
undangan ada 3 (tiga) cara mengatasi sebagai berikut:8
a. Mengubah/ mencabut pasal tertentu yang mengalami
disharmoni atau seluruh pasal peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan, oleh lembaga/instansi
yang berwenang membentuknya.
b. Mengajukan permohonan uji materil kepada lembaga
yudikatif sebagai berikut;
1) Untuk pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar kepada Mahkamah
Konsitusi;

7 Ditjen PP Kemenkumham, ibid.


8 Ditjen PP Kemenkumham, ibid.

13
2) Untuk pengujian peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang terhadap undang-
undang kepada Mahkamah Agung.
c. Menerapkan asas hukum/doktrin hukum sebagai
berikut:
1) Lex superior derogat legi inferiori
Peraturan perundang-undangan bertingkat lebih
tinggi mengesampingkan peraturan perundang-
undangan tingkat lebih rendah, kecuali apabila
substansi peraturan perundang-undangan lebih
tinggi mengatur hal-hal yang oleh undang-undang
ditetapkan menjadi wewenang peraturan
perundang-undangan tingkat lebih rendah.
2) Lex specialis derogat legi generalis
Asas ini mengandung makna, bahwa aturan
hukum yang khusus akan menggesampingkan
aturan hukum yang umum.
Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan
dalam asas Lex specialis derogat legi generalis :
(a) Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam
aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali
yang diatur khusus dalam aturan hukum
khusus tersebut.
(b) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus
sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex
generalis (undang-undang dengan undang-
undang).
(c) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada
dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama
dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang

14
Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata sama-sama termasuk
lingkungan hukum keperdataan.
3) Asas lex posterior derogat legi priori.
Aturan hukum yang lebih baru mengesampingkan
atau meniadakan aturan hukum yang lama. Asas
lex posterior derogat legi priori mewajibkan
menggunakan hukum yang baru.
Asas ini pun memuat prinsip-prinsip :
(a) Aturan hukum yang baru harus sederajat atau
lebih tinggi dari aturan hukum yang lama;
(b) Aturan hukum baru dan lama mengatur aspek
yang sama.
Asas ini antara lain bermaksud mencegah
dualisme yang dapat menimbulkan ketidak pastian
hukum. Dengan adanya Asas Lex posterior derogat
legi priori, ketentuan yang mengatur pencabutan
suatu peraturan perundang-undangan sebenarnya
tidak begitu penting. Secara hukum, ketentuan
lama yang serupa tidak akan berlaku lagi pada
saat aturan hukum baru mulai berlaku.

B. Dinamika Penanaman Modal di Jawa Tengah


Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat
Statitik Jawa Tengah, Realisasi Nilai Investasi dan Tenaga Kerja
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Menurut Kabupaten /
Kota di Provinsi Jawa Tengah untuk tahun 2016 adalah
sebagaimana disajikan dalam tabel berikut :9

9 Badan Pusat Statistik Jawa Tengah,


https://jateng.bps.go.id/statictable/2017/ 10/29/1601/realisasi-nilai-
investasi-dan-tenaga-kerja-penanaman-modal-dalam-negeri-pmdn-menurut-

15
Dari data di atas, dapat dilihat bahwa penanaman modal
khususnya dalam negeri (PMDN) pada tahun 2016 telah
memberikan kontribusi dalam penyerapan tenaga kerja dalam
negeri sebanyak 50 ribu lebih tenaga kerja yang hampir
seluruhnya adalah tenaga kerja dalam negeri, yaitu sebesar
99.8%. Sedangkan realisasi Nilai Investasi dan Tenaga Kerja
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMA) Menurut Kabupaten / Kota

kabupaten-kota-di-provinsi-jawa-tengah-2016.html, diunduh tanggal 10


Februari 2019.

16
di Provinsi Jawa Tengah untuk tahun 2016 disajikan dalam tabel
berikut :

Dari data diatas, dapat dilihat bahwa penanaman modal


khususnya luar dalam negeri (PMA) pada tahun 2016 telah
memberikan kontribusi dalam penyerapan tenaga kerja dalam
negeri sebanyak 125.204 lebih tenaga kerja yang hampir
seluruhnya adalah tenaga kerja dalam negeri, yaitu sebesar
99.28%. Data ini cukup memberikan bukti yang signifikan bahwa

17
penanaman modal telah memberikan kontribusi positif dalam hal
penyerapan tenaga kerja.

C. Kajian Peraturan Penanaman Modal


1. Undang-Undang terkait:
a. UU Kesehatan
b. UU ESDM
c. UU Kelistrikan
d. UU Pertanahan
e. UU Sumber Daya Air
f. UU Gedung
g. UU Pertanian-Perkebunan
h. UU Lingkungan Hidup dan Kehutanan
i. UU Kelautan dan Perikanan
2. PP Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5887);
3. PP Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan
Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 90,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6215);
4. Perpres Nomor 97 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 22);
5. Perpres Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang
Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka
Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal

18
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 97);
6. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun
2016 tentang Pembentukan Dan Susunan Perangkat
Daerah Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Daerah Provinsi
Jawa Tengah Thun 2016 Nomor 9 Noreg Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Tengah (10/260/2016);
7. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 7 Tahun
2010 tentang Penanaman Modal Di Provinsi Jawa
Tengah.

19
BAB III
KAJIAN PERDA PENANAMAN MODAL

A. Kajian Anatomi Perda


1. Kondisi Yuridis Regulasi di bidang Penanaman Modal
Pembentukan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengh Nomor
7 Tahun 2010 tentang Penanaman Modal Di Provinsi Jawa Tengah
masih mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Thun 2004
tentang Pemerintahan Daerah jo Peraturan Pemerintah Nomor 41
Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah yang dalam
perkembangannya kedua peraturan perundang-undangan tersebut
telah dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor
18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.
Dengan dicabutnya Undang-Undang Nomor 32 Thun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan diganti dengan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014, telah terjadi perubahan yang krusial baik
formal maupun material terakait dengan pembagian urusan
Pemeritahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Perubahan
formal yang terjadi adalah bahwa pengaturan dalam lampiran PP
Nomor 38 Tahun 2007 ditingkatkan pengaturannya menjadi
bagian dari lampiran UU Nomor 23 Tahun 2004. Dengan demikian
maka terkait pembagian urusan yang telah ditetapkan dalam UU
Nomor 23 Tahun 2014 diharapan tidak dapat disimpangi atau
dikecualikan oleh UU sektoral. Perubahan substansi di bidang
urusan pemerintahan dapat dicontohan sebagai berikut.
Pertama, pada bidang Energi dan Sumber Daya Mineral yang
semula kewenangan dibagi antara Pemerintah Pusat,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah

20
Kabupaten/Kota, hanya diberikan kepada Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah Provinsi. Kewenangan Kabupaten/Kota yang
hilang diantaranya adalah membuat Perda terkait ESDM,
pemberian izin kecuali panas bumi, pembinaan dan pengawasan.
Pada Bidang kelautan yang semula kewenangan dibagi antara
Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, kini hanya diberikan
kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah Provinsi.
Kewenangan Kabupaten/Kota yang hilang diantaranya adalah
pelaksanaan kebijakan, penataan ruang laut, pengawasan dan
penegakan hukum, koordinasi pengelolaan dan pemanfaatan, dan
perizinan kecuali izin usaha perikanan.
Kedua, pada bidang kehutanan yang semula kewenangan
dibagi antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah Provinsi,
dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, kini hanya diberikan
kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah Provinsi.
Kewenangan Kabupaten/Kota yang hilang diantaranya adalah
inventarisasi hutan, pengelolaan taman hutan, pertimbangan
teknis, dan pemberian izin. Demikian halnya juga telah
berpengaruh terhadap kelembagaan, peraturan perundang-
undangan maupun rencana pembangunan.
Seiring dengan dicabutnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah
Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah,
maka telah berpengaruh pada kebijakan Pemerintahan Daerah
Provinsi dalam hubungannya dengan Peraturan Daerah Provinsi
Jawa Tengah Nomor 7 Tahun 2010 tentang Penanaman Modal Di
Provinsi Jawa Tengah.
Pengaturan dalam Perda tersebut mengenai kewenangan di
bidang pelayanan penanaman modal yang semula didelegasikan

21
kepada Badan Penanaman Modal sebagai Lembaga Teknis Daerah
(LEMTEKDA) yang secara administrasi menjadi tugas Unit
Pelaksana Teknis (UPT) Pelayanan Terpadu Satu Pintu, kini
beralih pendelegasiannya kepada Dinas Penanaman Modal Daerah
Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Jawa
Tengah sebagaimana ditetapkan berdasarkan Perda Nomor 9
Tahun 2016 tentang Pembentukan Dan Susunan Perangkat
Daerah Provinsi Jawa Tengah.
Terkait dengan perkembangan dinamika peraturan
perundang-udangan tersebut, maka secara regulasi telah
berpengaruh secara krusial terhadap kelembagaan. Oleh sebab itu
perlu dilakuan penyelarasan untuk sinkronisasi dan harmonisasi
peraturan perundang-undangan bagi kebijakan pelayanan
penanaman modal di Daerah Provinsi Jawa Tengah. Disamping itu
Perda Nomor 7 Thun 2010 pada saat pembentukannya masih
mendasarkan pada Perda Nonor 7 Tahun 2008 tentang Organisasi
Dan Tata Kerja Badan Perencanaan Pembangunan Daerah,
Inspektorat dan Lembaga Teknis Daerah Provininsi Jawa Tengah
yang telah dicabut dan dinayatakan tidak berlaku beradasarkan
Perda Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pembentukan Dan Susunan
Perangkat Daerah Provinsi Jawa Tengah.

22
B. Kesesuaian Perda Penanaman Modal dengan Peraturan Perundangan Lainnya
NO. DASAR HUKUM/NORMATIF KONDISI NORMATIF RELEVANSI KETERANGAN
1. Nomenklatur organ Nomenklatur Badan sudah Dasar hukum konsideran Perda No.7 Tahun 2008 ttg
kelembagaan dalam Perda tidak sesuai dengan yang menjadi dasar Perda Organisasi Dan Tata Kerja
7/2010 ttg Penanaman Modal dinamika perkembangan 7/2010: BAPPEDA, Inspektorat Dan
Di Provinsi Jawa Tengah peraturan perundang- a. UU No.5 Tahun 1984 Lemtekda dicabut
masih menggunakan undangan, yaitu: tentang Perndustrian, bedasarkan Perda
nomenklatur Badan. a. Permendagri Nomor 100 telah dicabut No.9/2016.
Pasal 1 angka 6 berbunyi:” Tahun 2016 ttg berdasarkan UU Nomor Noemenklatur Badan sudah
Badan adalah Satuan Kerja Pedoman Nomenklatur 3 Tahun 2014 tentang tidak sesuai lagi dengan
Perangkat Daerah Provinsi Dinas Penanaman Perindustrian (Lembaran perkembangan keadaan
Jawa Tengah yang Modal Dan Pelayanan Negara Republik sehingga perlu dilakukan
bertanggung jawab di bidang Terpadu Satu Pintu Indonesia Tahun 2014 penataan kebijakan
Penanaman Modal. Provinsi Dan Kab/Kota. Nomor 4, Tambahan kelembagaan.
Nomenklatur Badan Lembaran Negara
mendasarkan pada Republik Indonesia
konsideran Perda 7/2008. Nomor 5492);
Sebanyak 9 (sembian)
b. Perda Prov. Jateng b. UU No.25 Tahun 1992 konsideran dasar hukum
Nomor 9 Tahun 2016 tentang Perkoperasian Perda 7/2010 ttg Penanaman
ttg Pembentukan Dan telah dicabut Modal Di Provinsi Jawa
Susunan Perangkat berdasarkan UU Nomor Tengah, telah banyak
Daerah Prov. Jateng. 17 Tahun 2012 tentang mengalami perubahan
Perkoperasian dengan rincian:
(Lembaran Negara a. 8 (delapan) dicabut;
Republik Indonesia b. 1 (satu) diubah; dan
Tahun 2012 Nomor 212, c. 1 (satu) dalam proses
Tambahan Lembaran perubahan.
Negara Republik
Indonesia Nomor 5355);
c. UU No.10 Tahun 2004
tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-
undangan, telah
dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku

23
NO. DASAR HUKUM/NORMATIF KONDISI NORMATIF RELEVANSI KETERANGAN
berdasarkan UU Nomor
12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
(Lembaran Negara
Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 82,
Tambahan Lembaran
Negara Republik
Indonesia Nomor 5234).
d. UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang
Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara
Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 2,
Tambahan Lembaran
Negara Republik
Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah
diubah beberapa kali
terakhir dengan UU
Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan
Kedua Atas UU Nomor
32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara
Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 59,
Tambahan Lembaran
Negara Republik
Indonesia Nomor 4844)
Republik Indonesia
Nomor 5234), telah
dicabut berdasarkan

24
NO. DASAR HUKUM/NORMATIF KONDISI NORMATIF RELEVANSI KETERANGAN
UU No.23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan
Dearah (Lembaran
Negara Republik
Indonesia Tahun 2014
Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara
Republik Indonesia
Nomor 5587)
sebagaimana telah
beberapa kali diubah
terakhir dengan UU
No.9 Tahun 2015
tentang Perubahan
Kedua Atas UU No.23
Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara
Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 58,
Tambahan Lembaran
Negara Republik
Indonesia Nomor 5679);
e. PP No.6 Tahun 2006
tentang Pengelolaan
Barang Milik
Negara/Daerah, telah
dicabut berdasarkan
berdasarkan PP Nomor
27 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah
(Lembaran Negara
Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 92,
Tambahan Lembaran

25
NO. DASAR HUKUM/NORMATIF KONDISI NORMATIF RELEVANSI KETERANGAN
Negara Republik
Indonesia Nomor 5533);
f. PP No.1 Tahun 2008
tentang Investasi
Pemerintah telah
diubah berdasarkan PP
Nomor 49 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas
PP Nomor 1 Tahun 2008
tentang Investasi
Pemerintah (Lembaran
Negara Republik
Indonesia Tahun 2011
Nomor 124, Tambahan
Lembaran Negara
Republik Indonesia
Nomor 5261);
g. Perpres No.77 Tahun
2007 tentang Daftar
Bidang Usaha Yang
Tertutup Dan Bidang
Usaha Yang Terbuka
Dengan Persyaratan Di
Bidang Penanaman
Modal sebagaimana
telah diubah dengan
Perpres No.111 Tahun
2007 tentang
Perubahan Atas Perpres
No.77 Tahun 2007
tentang Daftar Bidang
Usaha Yang Tertutup
Dan Bidang Usaha Yang
Terbuka Dengan
Persyaratan Di Bidang
Penanamn Modal, telah

26
NO. DASAR HUKUM/NORMATIF KONDISI NORMATIF RELEVANSI KETERANGAN
dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku
berdasarkan Perpres
Nomor 36 Tahun 2010
tentang Daftar Bidang
Usaha Yang Tertutup
Dan Bidang Usaha Yang
Terbuka Dengan
Persyaratan Di Bidang
Penanaman Modal;
h. Perpres No.27 Thun
2009 tentang Pelayanan
Terpadu Satu Pintu Di
Bidang Penanaman
Modal, telah dicabut
berdasarkan Perpres
Nomor 97 Tahun 2014
tentang
Penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu
Pintu (Lembaran Negara
Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 22).
i. Perda No.7 Tahun 2008
tentang Organisasi Dan
Tata Kerja BAPPEDA,
Inspektorat Dan
Lembaga Teknis
Daerah, telah dicabut
berdasarkan Perda
No.9/2016 tentang
Pembentukan Dan
Susunan Perangkat
Derah Provinsi Jawa
Tengah (Diundangkan
pada tanggal 9

27
NO. DASAR HUKUM/NORMATIF KONDISI NORMATIF RELEVANSI KETERANGAN
Nopember 2016);
j. Perda No.6 Tahun 2010
tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi
Jawa Tengah, dalam
proses revisi.

2. Turunan Perda 7/2010: - Sebagai dasar Kepala UPT memiliki fungsi: SIAPA YANG
a. Pergub No.74/2012 ttg pembentukan UPT-PTSP - Penyusunan rencana MENADATANGANI
Organisasi Dan Tata Kerja pada Badan Penanaman teknis operasional PERIZINAN DAN
Unit Pelaksana Teknis Modal Daerah Prov. pelayanan administrai NONPERIZINAN ???
Pelayanan Terpadu Satu Jateng. perizinan dan Dengan terbitnya Pergub
Pintu Pada Badan - Sebagai tindak lanjut nonperizinan; No.67/2013 ttg
Penanaman Modal Daerah Pergub 74/2012 ttg - Pelaksanaan kebijakan Penyelenggaraan Pelayanan
Prov. Jateng. Organisasi Dan Tata teknis operasional Terpadu Datu Pintu Prov.
b. Pergub No.67/2013 ttg Kerja Unit Pelaksana perizinan dan Jateng, keberadaan UPT-
Penyelenggaraan Teknis Pelayanan nonperizinan. PTSP sebagai Lemteknis pada
Pelayanan Terpadu Datu Terpadu Satu Pintu - Pelayanan administrasi Badan Penanaman Modal
Pintu Prov. Jateng. Pada Badan Penanaman perizinan dan Daerah Provinsi Jawa Tengah
Modal Daerah Prov. nonperzinan beralih ke hapus.
Jateng. UPT-PTSP.

c. Pergub No.27/2014 ttg Perubahan terkait - Penandatanganan Turunan Perda 7/2010 ttg
Perubahan Atas Pergub pembidangan jenis perizinan dan Penanaman Modal Di Provinsi
Nomor 67 Tahun 2013 perizinan dan nonperizinan. nonperizinan menjadi Jawa Tengah, sudah tidak
Tentang Penyelenggaraan kewenangan Kepala sesuai lagi dengan peraturan
Pelayanan Terpadu Satu Badan. perundang-undangan di
Pintu Prov. Jateng - Pengurangan dan atasnya sehingga perlu
sebagaimana telah diubah penambahan jenis dilakukan sinkronissi dan
beberapa kali terakhir perizinan dan harmonisasi.
dengan Pergub nonperizinan.
No.22/2015.

3. Perda No.9/2016 ttg Sebagai tindak lanjut PP Mencabut Perda No.7/2008 Eksistensi UPT-PTSP sebagai
28
NO. DASAR HUKUM/NORMATIF KONDISI NORMATIF RELEVANSI KETERANGAN
Pembentukan Dan Susunan No.18 Tahun 2018 ttg ttg Organisasi Dan Tata Lemteknis pada Badan
Perangkat Derah Provinsi Perangkat Daerah Kerja BAPPEDA, Inspektorat Penanaman Modal Daerah
Jawa Tengah (Diundangkan Dan Lemtekda Prov. Jateng. Provinsi Jawa Tengah hapus.
pada tanggk 9 Nopember Perda 7/2010 ttg Penanaman
2016) Modal di Provinsi Jateng,
sudah tidak sesuai dgn Perda
No.9/2016 ttg Pembentukan
dan Susunan Perangkat
Derah Provinsi Jateng, juga
dgn PP No.18/2018 ttg
Perangkat Daerah.
Turunan Perda 9/2016: Sebagai tindak lanjut Telah disesuaikan dengan Turunan Perda 7/2010 ttg PP
a. Pergub 72/2016 ttg pelaksanaan ketentuan perkembangan keadaan. No.18 Tahun 2018 ttg
Organisasi Dan Tata Kerja Pasal 3 Perda 9/2016 dan Perangkat Daerah sudah
Dinas Penanaman Modal Perpres No.97/2014 ttg tidak sesuai dengan Perda
Dan Pelayanan Terpadu Penyelenggaraan Pelayanan No.9/2016 ttg Pembentukan
Satu Prov. Jateng Terpadu Satu Pintu. Dan Susunan Perangkat
(Diundangkan pada Derah Provinsi Jawa Tengah.
tanggal 15 Desember 2016)
b. Pergub 18/2017 ttg Mendasarkan pada PP Mencabut Pergub Pergub Pergub 18/2017 ttg
Penyelenggaraan 18/2016 dan Perpres Nomor 67 Tahun 2013 Penyelenggaraan Pelayanan
Pelayanan Terpadu Satu 97/2014. Tentang Penyelenggaraan Terpadu Satu Pintu Di Prov.
Pintu Di Prov. Jateng Pelayanan Terpadu Satu Jateng (Diundangkan pada
(Diundangkan pada Pintu Prov. Jateng tanggal 10 Mei 2017) ada
tanggal 10 Mei 2017) sebagaimana telah diubah rencana untuk diubah.
beberapa kali terakhir
dengan Pergub No.22/2015
karena sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan
keadaan.
4. Permendagri no.138/2017 ttg - Sebagai tindak lanjut Permendagri no.138/2017 Permendagri no.138/2017 ttg
Penyelenggaraan Pelayanan pelaksanaan ketentuan ttg Penyelenggaraan Penyelenggaraan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu Daerah Pasal 25 ayat (1) Perpres Pelayanan Terpadu Satu Terpadu Satu Pintu Daerah,
(Diundangkan pada tanggal 97/2014. Pintu Daerah, belum masuk mendahului terbitnya PP
27 Desember 2017) - Belum mendasarkan konsideran dasar hukum 24/2018.
pada PP 24/2018 Pergub 18/2017 ttg

29
NO. DASAR HUKUM/NORMATIF KONDISI NORMATIF RELEVANSI KETERANGAN
Penyelenggaraan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu Di Prov.
Jateng (Diundangkan pada
tanggal 10 Mei 2017).
5. PP 24/2018 ttg Pelayanan
Perizinan Berusaha
Terintegrasi Secara Elektronik
(Diundangkan pada tanggal 21
Juni 2018)
6. Perda 7/2010 ttg Penanaman Substansi Perda 7/2010: Substansi PP 24/2018:
Modal Di Provinsi Jawa Tengah
(Lembaran Daerah Provinsi BAB I BAB I
Jawa Tengah ahun 2010 KETENTUAN UMUM KETENTUAN UMUM
Nomor 7, Tambahan Lmbaran BAB II BAB II
Daerah Provinsi Jawa Tengah ASAS, TUJUAN DAN SASARAN JENIS, PEMOHON, DAN
Nomor 29). PENERBIT PERIZINAN
BERUSAHA
Bagian Kesatu
Jenis Perizinan Berusaha
Bagian Kedua
Pemohon Perizinan Berusaha
Bagian Ketiga
Penerbit Perizinan Berusaha

BAB III
BAB III PELAKSANAAN PERZINAN
KEWENANGAN PENANAMAN BERUSAHA
MODAL Bagian Kesatu
Umum
Bagian Kedua
Pendaftaran
Bagian Ketiga
Penerbitan Izin Dan
Penerbitan Izin Komersial atau
Operasional Berdasarkan
Komitmen

30
NO. DASAR HUKUM/NORMATIF KONDISI NORMATIF RELEVANSI KETERANGAN
Bagian Keempat
Pemenuhan Komitmen Izin
Lokasi, Izin Lokasi Perairan,
Izin Lingkungan dan/atau Izin
Mendirikan Bangunan
Paragraf 1
Pemenuhan Komitmen Izin
Lokasi
Paragraf 2
Pemenuhan Komitmen Izin
Lokasi Perairan
Paragraf 3
Pemenuhan Izin Lingkungan
Paragraf 4
Pemenuhan Komitmen Izin
Mendirikan Bangunan Gedung
Bagian Kelima
Pembayaran Biaya Perizinn
Berusaha
Bagian Keenam
Fasilitasi Perizinan Berusaha
Bagian Ketujuh
Masa Berlaku Perizinan
Berusaha
Bagian Kedelapan
Pengawasan Atas Pelaksanaan
Perizinan Berusha

BAB IV
KEBIJAKAN PENANAMAN BAB IV
MODAL REFORMASI PERIZINAN
Bagian Pertama BERUSAHA SEKTOR
Kerjasama Penanaman Modal
Bagian Kedua
Promosi Penanaman Modal
Bagian Ketiga

31
NO. DASAR HUKUM/NORMATIF KONDISI NORMATIF RELEVANSI KETERANGAN
Pelayanan Penanaman Modal
Paragraf 1
Jenis Bidang Usaha
Paragraf 2
Penanam Modal
Paragraf 3
Bentuk Badan Usaha

Paragraf 4
Perizinan
Paragraf 5
Jangka Waktu
Paragraf 6
Hak, Kewajiban Dan Tanggung
Jawab Penamam Modal
Paragraf 7
Lokasi Penanam Modal
Paragraf 8
Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Bagian Keempat
Pengendalian Pelaksanaan
Penanaman Modal
Bagian Kelima
Pengolahan Data Dan Sistem
Informasi Penanman Modal
Bagian Keenam
Penyebarluasan, Pendidikan,
Dan Pelatuhan Penanaman
Modal

BAB V BAB V
PERAN SERTA MASYARAKAT ONLINE SINGLE SUBMISSION
Bagian Kesatu
Sistem Online Single
Submission
Bgian Kedua

32
NO. DASAR HUKUM/NORMATIF KONDISI NORMATIF RELEVANSI KETERANGAN
Lembaga Online Single
Submission
Bagian Ketiga
Pendanaan Sistem Online
Sinle Submission

BAB VI BAB VI
INSENTIF DAN KEMUDAHAN INSENTIF ATAU DISINSENTIF
PENANAMAN MODAL PELAKSANAAN PERZINAN
BERUSAHA MELALUI ONLINE
SINGLE SUBMISSION

BAB VII BAB VII


SANKSI ADMINISTRASI PENYELESAIAN
PERMASALAHAN DAN
HAMBATAN PERIZINAN
BERUSAHA MELALUI ONLINE
SINGLE SUBMISSION

BAB VIII BAB VIII


KETENTUAN PERALIHAN SANKSI

BAB IX BAB IX
PENUTUP KETENTUAN LAIN-LAIN

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

33
C. Sinkronisasi dan Harmonisasi yang Diperlukan
1. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 7 Tahun
2010 tentang Penanaman Modal Di Provinsi Jawa Tengah
perlu dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu:
a. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Provinsi Jawa Tengah (Himpunan
Peraturan-Peraturan Negara Tahun 1950 Halaman
86-92);
b. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);
c. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5492);
d. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang
Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 212, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5355);
e. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234).
f. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Dearah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)

34
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan UU No.9 Tahun 2015 tentang Perubahan
Kedua Atas UU No.23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
g. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang
Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 114, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5887);
h. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 92,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5533);
i. Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas PP Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Investasi Pemerintah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 124, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5261);
j. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang
Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara
Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6215);
k. Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 22);

35
l. Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang
Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang
Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang
Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 97);
m. Undang-Undang Sektoral terkait, antara lain:
1) UU tentang ESDM;
2) UU tentang Pertanahan;
3) UU tentang Kelistrikan;
4) UU tentang Sumber Daya Air;
5) UU tentang Gedung;
6) UU tentang Pertanian/Perkebunan;
7) UU tentang Lingkungan Hidup Dan Kehutanan;
8) UU tanteng Kelautan Dan Perikanan;
9) UU tentang Kesehatan;
n. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 9
Tahun 2016 tentang Pembentukan Dan Susunan
Perangkat Daerah Provinsi Jawa Tengah (Lembaran
Daerah Provinsi Jawa Tengah Thun 2016 Nomor 9
Noreg Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah
(10/260/2016).

D. Relevansi Perubahan Kelembagaan Penanaman Modal


1. Organisasi Perangkat Daerah
Perangkat Daerah atau Organisasi Pemerintah Daerah
(OPD)10 merupakan organisasi atau lembaga pada Pemerintah
Daerah yang bertanggung jawab kepada Kepala Daerah dalam

10Menurut ketentuan Pasal 1 butir 1 PP Nomor 18 Tahun 2016 Tentang


Perangkat Daerah, dinyatakan bahwa Perangkat Daerah adalah unsur
pembantu kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.

36
rangka penyelenggaraan pemerintahan di daerah11. Perangkat
Daerah dibentuk oleh masing-masing Daerah berdasarkan
beberapa pertimbangan, seperti: karakteristik, potensi, dan
kebutuhan Daerah. Dasar utama penyusunan organisasi
perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, yang
terdiri atas urusan konkuren yang dibagi menjadi urusan wajib
dan urusan pilihan12, namun tidak berarti setiap penanganan
urusan pemerintahan harus dibentuk kedalam organisasi
tersendiri. Pembentukan perangkat daerah semata-mata
didasarkan pada pertimbangan rasional untuk melaksanakan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah secara
efektif dan efisien.

11Penyelenggaraan pemerintahan daerah didasarkan pada sejumlah


kewenangan yang dinyatakan dalam Pasal 9 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Urusan Pemerintahan untuk level Daerah
dikelompokkan menjadi 3 (tiga) urusan sebagai berikut:
1. Urusan pemerintahan absolut adalah Urusan Pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
2. Urusan pemerintahan konkuren adalah Urusan Pemerintahan yang
dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota.
3. Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi
dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.
Sementara dua urusan pemerintahan lainnya, yakni urusan pemerintahan
absolut yaitu Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat yang terdiri dari: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c.
keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; f. agama (Lihat Pasal 10
UU no.23 Tahun 2014). Urusan pemerintahan berikutnya adalah urusan
pemerintahan umum, yaitu: Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Sementara itu, terkait dengan urusan pemerintahan daerah yang bersifat
konkuren, terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib berkaitan
dengan pelayanan dasar yang harus diselenggarakan oleh setiap Pemda sesuai
dengan kapasitas dan kemampuan daerah masing-masing, seperti: pendidikan;
kesehatan; pekerjaan umum dan penataan ruang; perumahan rakyat dan
kawasan permukiman; ketentraman, ketertiban umum; dan perlindungan
masyarakat; serta sosial. Terkait dengan penanaman modal, bidang ini
termasuk dalam kelompok urusan wajib pemerintahan yang tidak berkaitan
dengan pelayanan dasar.
12 Lihat ketentuan Pasal 11 et.seq. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah.

37
Secara yuridis, ketentuan mengenai pembentukan
Perangkat Daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18
Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. PP ini dibuat atas
perintah13 dari Pasal 232 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah. Pembentukan Perangkat Daerah
tersebut sebelum disahkan berlakunya melalui Peraturan Daerah,
untuk level Provinsi harus lebih terlebih dahulu dikonsultasi
kepada dua kementerian, yaitu Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Reformasi Birokrasi dan Pendayagunaan Aparatur Negara14.
Ketentuan ini sifatnya wajib, dan karenanya jika sebuah perda
yang mendasari pembentukan perangkat daerah tidak melalui
prosedur ini, maka Menteri dapat membatalkan perda dimaksud15.
Terkait dengan hal ini, ada sejumlah prinsip yang perlu
diperhatikan dalam pembentukan suatu perangkat daerah,
yaitu16:
1. Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah17;
2. intensitas Urusan Pemerintahan dan potensi Daerah18;

13 Hal ini selarasan dengan ketentuan Pasal 12 UU Nomor 12 Tahun 2011


Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Pasal 12
tersebut dinyatakan bahwa: “Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi
untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya”.
14Hal ini secara implisit dinyatakan dalam Pasal 231 UU Nomor 23 Tahun 2014

Tentang Pemerintahan Daerah.


15Lihat Pasal 5 PP Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah. Namun

demikian, terkait dengan kewenangan Menteri dalam membatalkan perda sudah


ditputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa frasa " perda provinsi dan"
yang tercantum dalam Pasal 251 Ayat 7, serta Pasal 251 Ayat 5 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah, bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian,
Menteri Dalam Negeri tidak lagi bisa mencabut atau membatalkan perda
Provinsi. Kewenangan pembatalan perda dikembalikan kepada mekanisme
Jucial Review oleh Mahkamah Agung agar selaras dengan spirit UUD 1945 dan
sekaligus menjamin kepastian hukum.
16Lihat Pasal 2 PP Nomer 18 Tahun 2016 tentang Perangkat daerah.
17Pengertiannya adalah perangkat daerah hanya dibentuk untuk melaksanakan

Urusan Pemerintahan berdasarkan Urusan Pemerintahan berdasarkan asas


otonomo dan Tugas Pembantuan;
18 Artinya adalah penentuan jumlah dan susunan Perangkat Daerah didasarkan

pada volume beban tugas untuk melaksanakan suatu Urusan Pemerintahan

38
3. efisiensi19;
4. efektivitas20;
5. pembagian habis tugas21;
6. rentang kendali22;
7. tata kerja yang jelas23; dan
8. fleksibilitas24.
Secara teknis, penyusunan organisasi perangkat daerah
berdasarkan pertimbangan adanya urusan pemerintahan yang
perlu ditangani. Masing-masing urusan pada prinsipnya tidak
mutlak dibentuk dalam lembaga tersendiri, namun sebaliknya
masing-masing urusan dapat dikembangkan atau dibentuk lebih
dari satu lembaga perangkat daerah sesuai dengan prinsip-prinsip
organisasi, kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing.
Dalam hal beberapa urusan yang ditangani oleh satu perangkat
daerah, maka penggabungannya sesuai dengan perumpunan
urusan pemerintahan yang dikelompokkan dalam bentuk Dinas
dan Lembaga Pelaksana Daerah. Oleh sebab itu, prinsip-prinsip
diatas memungkinkan suatu dinas mewadahi beberapa urusan

atau volume beban tugas untuk mendukung dan menunjang pelaksanaan


Urusan Pemerintahan;
19 Bahwa pembentukan Perangkat Daerah ditentukan berdasarkan
perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh;
20Bahwa pembentukan Perangkat Daerah ditentukan berdasarkan
perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh;
21 Bahwa pembentukan Perangkat Daerah yang membagi habis tugas dan

fungsi penyelenggaraan pemerintah kepada Perangkat Daerah dan tidak


terdapat suatu tugas dan fungsi yang dibebankan pada lebih dari satu
Perangkat Daerah;
22 Bahwa penentuan jumlah Perangkat Daerah dan jumlah unit kerja pada

Perangkat Daerah didasarkan pada kemampuan pengendalian unit kerja


bawahan;
23Bahwa pelaksanaan tugas dan fungsi Perangkat Daerah dan unit kerja pada

Perangkat Daerah mempunyai hubungan kerja yang jelas, baik vertikal maupun
horizontal;
24Bahwa penentuan tugas dan fungsi Perangkat Daerah dan unit kerja pada

Perangkat Daerah memberikan ruangan untuk menampung tugas dan fungsi


yang diamanatkan oleh ketentuan perundang-undangan setelah Peraturan
Pemerintah ini ditetapakan. Inilah 8 asas pokok pedoman dalam pembentukan
Perangkat Daerah.

39
yang saling berkaitan, sebagaimana halnya DPMPTSP yang
menggabungkan pelayanan penanaman modal dengan perizinan
terpadu satu pintu.
Kelembagaan daerah merupakan wadah atau sarana
berlangsungnya penyelenggaraan urusan yang menjadi
kewenangan daerah tersebut. Kehadiran kelembagaan daerah
memberikan kejelasan dalam pertanggungjawaban pelaksanaan
tugas dan fungsi dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah.
Oleh karena itu, penataan terhadap kelembagaan daerah
merupakan bagian penting dalam mendukung pencapaian tujuan
otonomi daerah.
Perlu dipahami bahwa untuk konteks Indonesia, ada dua
kelembagaan penting yang membentuk pemerintahan daerah
yaitu: kelembagaan untuk pejabat politik yaitu kelembagaan
kepala daerah dan DPRD; dan kelembagaan untuk pejabat karir
yang terdiri dari perangkat daerah (dinas, badan, kantor,
sekretariat, kecamatan, kelurahan dll). Kedua kelembagaan ini
sejatinya merupakan titik bidik atau fokus dalam upaya penataan
dan perbaikan sehingga berjalan dalam koridor penyelenggaraan
tugas dan fungsi yang ditetapkan.
Selanjutnya, terkait dengan kelembagaan untuk birokrasi,
fokus perhatian diarahkan pada beberapa aspek. Hal ini
mengingat keberadaan kelembagaan ini selain menjadi pendukung
keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah, tetapi juga wadah
bagi ribuan orang yang telah mengorbankan diri untuk bekerja
sebagai birokrat. Para pegawai ini telah menjadi alat kekuasaan
untuk menjalankan roda pemerintahan dan mewujudkan visi dan
misi organisasi. Disisi lain, penataan kelembagaan ini harus
memperhatikan efektivitas dan efisiensi organisasi sehingga
mampu memenuhi pencapaian tujuan otonomi daerah.

40
Kompleksitas persoalan yang ada dan banyaknya aspek yang
dipertimbangkan, membuat kelembagaan pemerintah daerah
dibuat dengan mengacu pada pedoman yang terukur dan kajian
argumentasi yang rasional.
Pembenahan perangkat daerah sebagai wadah karir
birokrasi di daerah, dapat dilihat sebagai upaya mendukung
semangat reformasi manajemen pemerintahan. Apabila model
klasik menempatkan institusi pemerintah sebagai aktor dominan
dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka sebagai upaya
mengantisipasi berbagai perubahan yang tidak dapat diprediksi
dan berlangsung cepat dalam lingkungan sistem politik, dilakukan
perbaikan terus menerus menyesuaikan dengan kondisi yang ada.
Harus dipahami bahwa perubahan tersebut dapat berlangsung
dalam aras global, nasional, maupun lokal. Oleh karena itu,
reformasi manajemen pemerintahan harus mengakomodasi semua
aspek yang ada.
Pembentukan organisasi pemerintah daerah selama ini
didasarkan pada peraturan perundang-undangan (rule driven
organization). Banyak organisasi perangkat daerah yang dibentuk
tidak dalam posisi sebagai sentral penyelenggaraan visi dan misi
pemerintah daerah atau visi daerah. Besaran organisasi yang
dibentuk tersebut selama ini hanya berdasarkan perhitungan
scoring dan sangat berpengaruh dalam menentukan apakah suatu
unit perlu dipertahankan, diubah, atau dihapuskan. Padahal,
seharusnya pertimbangan untuk membentuk suatu organisasi
harus menyangkut pertimbangan-pertimbangan administratif,
ekonomi, bahkan politis. Pertimbangan politis disini menyangkut
bagaimana sebuah organisasi dibentuk untuk menjalankan
tanggungjawab mewujudkan visi dan misi daerah maupun kepala
daerah.

41
Ketidaksinkronan antara besaran organisasi yang dibentuk
dengan visi dan misi yang ditetapkan menyebabkan
penyelenggaraan pemerintahan daerah berjalan dalam koridor
rutinitas belaka. Tidak mampu membawa perubahan yang
mendasar di daerah sesuai perencanaan. Organisasi perangkat
daerah yang dibentuk seringkali tidak memberikan konstribusi
bagi pengembangan pembangunan daerah. Hal ini disebabkan
oleh pembentukan perangkat daerah selama ini menggunakan
pertimbangan subjektivitas birokrat di daerah sehingga terkadang
muncul organisasi yang dibentuk tidak sesuai dengan kebutuhan
daerah kabupaten atau kota. Padahal, kalau diperhatikan
karaterisitik unggulan daerah kota tentu berbeda dengan
karakterisitk unggulan daerah kabupaten. Oleh karena itu,
organisasi yang dibentuk dan besarannyapun tentu berbeda pula.

2. Perubahan Badan menjadi Dinas PMPTSP


Semakin maraknya tuntutan berbagai pihak untuk
melakukan reformasi birokrasi juga berdampak pada penataan
kelembagaan yang cenderung efektif dan efisien. Hal ini sejalan
dengan perkembangan paradigma pemerintahan di negara –
negara maju yang dewasa ini telah meninggalkan konsep
pemerintahan/birokrasi yang dikembangkan Max Weber, yang
menekankan pada konsep administrasi pemerintahan yang
mekanistis dan kaku yang dikenal dengan tipe ideal25. Konsep
tersebut kemudian dikenal pula dengan sebutan birokrasi feodal
atau tradisional yaitu birokrasi yang lebih cenderung menerapkan
sentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam bentuk
birokrasi semacam ini perkembangan kebutuhan masyarakat
cenderung kurang dapat terlayani. Hal ini karena penerapan
25 Peter M, Blau dan & Marshall W. Meyer, 2000. Alih bahasa oleh Slamet
Rijanto, Birokrasi Dalam Masyarakat Modern, jakarta : Prestasi Pustakaraya.

42
sentralisasi pemerintahan dapat menimbulkan public sector as too
big, overstaffed and too expensive26. Disamping itu, birokrasi
feodal juga menimbulkan inefisiensi dan produktivitas yang
rendah, sementara yang menonjol justru formalisme dan rigiditas
sehingga efektivitas dalam melaksanakan pelayanan dan
pembangunan tidak bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Dengan adanya kekecewaan terhadap hasil yang didapatkan
dari birokrasi feodal tersebut, timbul dorongan untuk
menciptakan inovasi baru dalam praktik penyelenggaraan
birokrasi. Konsep inovasi birokrasi antara lain dihasilkan Osborn
dan Gaebler27 yang mengemukakan 10 prinsip dalam
melaksanakan perubahan-perubahan dalam pemerintahan yang
diberi istilah Reinventing Government. Kesepuluh prinsip tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Catalytic Government: Steering Rather Rowing;
Pemerintah lebih mengkonsentrasikan diri pada aspek
pengaturan/regulasi dengan membuat kebijaksanaan
daripada sebagai pelaksana kebijakan atau pelaksana
penyelenggaraan pelayanan umum bagi masyarakat;
2. Community-owned Government: Empowering Rather Than
Serving; Pemerintah lebih bertujuan kepada
memberdayakan masyarakat (empowering citizens) tidak
hanya melayani yang membuat masyarakat terlena dan
tergantung kepada pemerintah tetapi pemberian layanan
dan penyediaan fasilitas dilakukan dalam rangka
pendewasaan dan pemandirian masyarakat;

26 The British Council, 2002. Public Sector Reform in Britain. Diakses Melalui
http://www.britishcouncil.org.
27 Osborne, David dan Gaebler, Ted. 1997. Mewirausahakan Birokrasi
Reinventing Government : Mentransformasi Semangat Wirausaha Ke Dalam
Sektor Publik. Terjemahan Abdul Rosyid, Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo.

43
3. Competitive Government: Injecting Competition into service
Delivery; Menciptakan kompetisi dalam pemerintahan
dengan mendorong terjadinya kompetisi dalam
pemberian layanan di antara penyelenggara pelayanan
umum;
4. Mission-Driven Government: Transforming Rule-Driven
Organizations; Pemerintah atau birokrasi Max weber
mengemukakan bahwa jalannya birokrasi dikendalikan
atau diarahkan oleh aturan, konsepsi tersebut dirasakan
kurang tepat lagi tetapi sebaiknya Pemerintah atau
birokrasi berjalan diarahkan oleh tujuan dan misi
(mission) yang telah ditetapkan yakni untuk kepentingan
masyarakat;
5. Results-Oriented Government: Funding Outcomes, Not
Input; Pemerintah yang berorientasi pada hasil dengan
penekanan atau pokok perhatian bukan pada aspek
"inputs", melainkan pada aspek hasilnya (outcomes);
6. Customer-Driven Government: Meeting the Needs of the
Customer, Not the Bureaucracy; Pemerintah yang
diarahkan oleh kebutuhan dari konsumen yaitu
masyarakat bukan diarahkan oleh kebutuhan dari pada
Birokrasi;
7. Enterprising Government: Earning Rather Than Spending;
penanaman semangat entrepreneur dalam Pemerintah,
yakni bersemangat untuk menghasilkan atau
mendapatkan keuntungan untuk penerimaan keuangan
(earning money), daripada memikirkan bagaimana
menghabiskan anggaran yang dialokasikan (spending
money);

44
8. Anticipatory Government: Prevention Rather Than Cure;
Pemerintah yang antisipatif, yakni melakukan antisipasi
baik berupa pencegahan terjadinya sesuatu
permasalahan, antisipasi terhadap perubahan yang
mungkin akan terjadi, daripada mengatasi masalah
setelah permasalahan tersebut muncul atau
menyesuaikan setelah perubahan terjadi;
9. Decentralized Government: From Hierarchy to Participation
and Teamwork; Pemerintah yang melaksanakan
desentralisasi atau mendelegasikan kewenangan kepada
unsur-unsur bawahannya antara lain dengan
menerapkan pola manajemen partisipatif serta
kerjasama kelompok (teamwork) dalam pencapaian
sasaran organisasi.
10. Market-Oriented Government: Leveraging Change Through
the Market; Pemerintah yang mendorong berlakunya
"mekanisme pasar" secara sehat dan menyesuaikan
tuntutan perubahan berdasarkan tuntutan dan
mekanisme pasar.
Menurut Mintzberg28 dalam struktur organisasi terdapat
peraturan-peraturan, tugas dan hubungan kewenangan yang
bersifat formal. Hubungan kewenangan tersebut mengatur
bagaimana orang bekerjasama dan menggunakan sumber daya
yang adauntuk mencapai tujuan organisasi. Tugas-tugas yang
terdapat dalam struktur organisasi dibedakan ke dalam lima
unsur dasar, yaitu Strategic Apex, Middle Line, Technostructure,
Supporting Staff dan Operating Core. Masing-masing unsur
menjalankan fungsinya masing-masing dalam suatu hubungan

28 Lihat Mintzberg, Henry, 1993. Structure in Five Designing Effective


Organizations, New Jersey : Prentice-Hall, Inc.

45
kerja yang sinergis dan sistematis sehingga tujuan yang
diharapkan dapat diwujudkan.
Berkaitan dengan struktur organisasi tersebut, Mintzberg29
mendeskripsikan kelima unsur dasar dimaksud sebagai berikut:
1) The Strategic Apex, yaitu bagian dari organisasi yang
berfungsi sebagai penanggungjawab berhasil tidaknya
organisasi mencapai tugas pokoknya;
2) The Middle Line,yaitu bagian dari organisasi yang bertugas
membantu menerjemahkan kebijakan - kebijakan
manajemen puncak untuk selanjutnya disampaikan kepada
unit pelaksana guna ditindaklanjuti;
3) The Technostructure, yaitu bagian dari organisasi yang
berfungsi menganalisis kebijakan-kebijakan pimpinan
dengan mengeluarkan berbagai pedoman-pedoman atau
standardisasi-standardisasi tertentu yang harus
diperhatikan oleh seluruh perangkat daerah/pengguna
masing-masing;
4) The Supporting Staff, yaitu bagian dari organisasi yang
pada dasarnya ikut memberi dukungan untuk tugas
perangkat daerah secara keseluruhan; dan
5) The Operating Core, yaitu bagian dari organisasi yang
berfungsi melaksanakan tugas pokok organisasi yang
berkaitan dengan pelayanan langsung kepada masyarakat.
Berangkat dari kerangka pemikiran teoretik tersebut, maka
sejalan dengan kebijakan nawa cita Pemerintah dalam bidang
investasi dan deregulasi perizinan, maka status Lembaga
Penanaman Modal dinaikan dari Badan yang bersifat teknis
menjadi Dinas yang bersifat strategis digabungkan dengan
perizinan terpadu satu pintu. Dinas adalah organisasi yang

29 Ibid.

46
menjalankan tugas-tugas pokok (kewenangan substantif atau
kewenangan material) daerah. Itulah sebabnya, bidang
kewenangan dan nomenklatur dinas dibentuk berdasarkan
pertimbangan urusan (urusan pendidikan, urusan kesehatan,
dan sebagainya).
Sementara badan merupakan lembaga teknis pendukung
yang bertugas melaksanakan fungsi-fungsi strategis daerah yang
belum terakomodasikan oleh pola kelembagaan yang lain. Fungsi-
fungsi yang diemban oleh lembaga teknis bukanlah kewenangan
substantif daerah, namun memiliki peran yang sangat penting
bagi daerah. Contohnya adalah badan penelitian dan
pengembangan, badan perencanaan daerah, serta badan lainnya.
Berdasarkan hal itu, maka dengan perubahan status
lembaga penanaman modal dari yang bersifat teknis menjadi
strategis dengan menggabungkan tatakelola penanaman modal
dan perizinan satu pintu di daerah menjadikan lembaga ini lebih
memiliki ruang kewenangan yang lebih luas. Secara teoritis,
birokrasi Pemerintahan memiliki tiga fungsi utama, yaitu;
fungsi “Pelayanan” berhubungan dengan unit organisasi
pemerintahan yang berhubungan langsung dengan masyarakat
(public service), fungsi “Pembangunan” yang berhubungan dengan
unit oganisasi pemerintahan yang menjalankan salah satu bidang
tugas tertentu disektor pembangunan (development function), dan
fungsi “Pemerintahan” umum, berhubungan dengan rangkaian
kegiatan organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas
pemerintahan umum (regulation and function), temasuk di
dalamnya menciptakan dan memelihara ketentraman dan
ketertiban.
Dalam rangka menjalankan fungsi pelayanan, pembangunan
dan pemerintahan dibidang penanaman modal tersebut maka

47
Provinsi Jaw Tengah menerbitkan Perda Nomor 9 Tahun 2016
tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Provinsi
Jawa Tengah. Salah satu Perangkat Daerah yang dibentuk melalui
Perda30 tersebut adalah Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu Tipe A31, menyelenggarakan urusan
pemerintahan bidang penanaman modal. Secara umum, tugas dan
fungsi DPMPTSP ada sebagai berikut:
a. penyelenggaraan perumusan kebijakan teknis di bidang
penanaman modal dan pelayanan terpadu satu pintu, yang
menjadi kewenangan Provinsi;
b. penyelenggaraan pengelolaan penanaman modal dan
pelayanan terpadu satu pintu yang menjadi kewenangan
Provinsi;
c. penyelenggaraan administrasi Dinas;
d. penyelenggaraan evaluasi dan pelaporan Dinas; dan
e. penyelenggaraan fungsi lain sesuai dengan tugas pokok dan
fungsinya.
Berdasarkan deskripsi di atas, diketahui bahwa DPMPTS
merupakan pelaksana fungsi inti (operating core) yang
melaksanakan tugas dan fungsi sebagai pembantu kepala Daerah
dalam melaksanakan fungsi mengatur dan mengurus sesuai
bidang Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah,
baik urusan wajib maupun urusan pilihan. Sementara Badan
Daerah melaksanakan fungsi penunjang (technostructure) yang
melaksanakan tugas dan fungsi sebagai pembantu kepala Daerah

30Lihat Pasal 2 ayat (1) butir d huruf 16 Perda Provinsi Jawa Tengah Nomer 9
tahun 2016 tentang Pembentukan Perangkat Daerah Provinsi Jawa Tengah.
31Tipe Dinas dalam kelompok A ini jika sekor perhitungan variabel yang

didapatkan 800. Hal ini juga menunjukkan bahwa urusan yang ditanganinya
juga besar. Dinas Provinsi dengan tipe A ini terdiri dari 1 sekretariat, dan paling
banyak 4 bidang. Sekretariat terdiri dari 3 subbag, dan setiap bidang terdiri dari
paling banyak 3 seksi.

48
dalam melaksanakan fungsi mengatur dan mengurus untuk
menunjang kelancaran pelaksanaan fungsi inti (operating core).
Dalam melaksanakan Urusan Pemerintahan dan Tugas
Pembantuan hubungan Perangkat Daerah provinsi dan Perangkat
Daerah kabupaten/kota bersifat koordinatif dan fungsional
untuk menyinkronkan pelaksanaan tugas dan fungsi masing-
masing Perangkat Daerah. Sinkronisasi tersebut meliputi:
1. sinkronisasi data;
2. sinkronisasi sasaran dan program; dan
3. sinkronisasi waktu dan tempat kegiatan.
Itulah gambaran mengenai relevansi perubahan status
lembaga penanaman modal di level provinsi yang digabungkan
dengan perizinan satu pintu menjadi DPMPTSP yang memiliki
fungsi yang sangat strategis dalam tata kelola kedua bidang
tersebut serta koordinasi dengan pemerintah daerah
Kabupaten/Kota di Jawa Tengah yang berjumlah 35
Kabupaten/Kota.

49
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 7 Tahun 2010
tentang Penanaman Modal di Provinsi Jawa Tengah sudah
tidak sesuai dengan dinamika perkembangan peraturan
perundang-undangan di tingkat nasional.
2. Secara substansi, Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah
Nomor 7 Tahun 2010 tentang Penanaman Modal di Provinsi
Jawa Tengah perlu dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

B. Rekomendasi
1. Perlu dilakukan revisi terhadap Peraturan Daerah Provinsi
Jawa Tengah Nomor 7 Tahun 2010 tentang Penanaman
Modal Di Provinsi Jawa Tengah dengan memasukannya di
dalam Prolegda Provinsi Jawa Tengah sebagai prioritas baik
melalui inisiatif dewan maupun pemerintah daerah,
mengingat bahwa :
a. Perda ini sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika
perkembangan peraturan perundang-undangan;
b. Terdapat hal-hal esensial yang mengalami
perubahan,
1) sebanyak 9 (sembilan) Dasar hukum Peraturan
Perundang-undangan yang bersifat primer yang
menjadi dasar hukum Perda Nomor 7 Tahun
2010 telah dicabut, yaitu:
a. UU No.5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;

50
b. UU No.25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
c. UU No.10 Tahun 2004 tentnag Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan;
d. UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah;
e. PP No.6 Tahun 2006 tentang Jangka Waktu
Izin Penanaman Modal Asing;
f. PP No.1 Thun 2008 tentang Investasi
Pemerintah;
g. Perpres No.77 Tahun 2007 tentang Daftar
Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang
Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di
Bidang Penanaman Modal;
h. Perpres No.27 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di Bidang
Penanaman Modal;
i. Perda No.7 Tahun 2008 tentang Organisasi
Dan Tata Kerja Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah, Inspektorat Dan
Lembaga Teknis Daerah Provinsi Jawa
Tengah;
j. Perda No.6 Tahun 2010 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2009-2029, dalam proses perubahan.
2. Untuk mengatasi kebutuhan pelayanan perizinan, perlu
dilakukan perubahan Peraturan Gubernur No. 72 Tahun
2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja DPMPTS Provinsi
Jawa Tengah, Bidang Pengaduan dan Peningkatan Layanan,
khususnya Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2), yakni dengan

51
menambah nomenklatur Seksi Pengaduan menjadi Seksi
Penanganan Pengaduan dan Litigasi. Selain itu, dalam uraian
tugasnya perlu ditambahkan mediasi dan pendampingan
litigasi.
Selanjutnya, perlu juga dilakukan revisi terhadap Pasal 46
huruf e bahwa seksi peningkatan sarana dan prasarana
adalah menyiapkan bahan pengkoordinasian sarana dan
prasarana dengan Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta
lembaga non pemerintah.
3. Kedudukan Dinas Penanaman Modal–Pelayanan Terpadu
Satu Pintu (DPM-PTSP) berdasarkan Perda Nomor 7 Tahun
2010 adalah suatu Badan sebagai Lembaga Teknis Daerah
yang merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah yang
bertanggung jawab di bidang Penanaman Modal. Nemun
demikian, berdasarkan Permendagri Nomor 100 Tahun 2016
tentang Pedoman Nomenklatur Dinas Penanaman Modal dan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi dan Kabupaten/Kota
secara jelas dinyatakan bahwa : “Nomenklatur Dinas yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
penanaman modal dan PTSP Provinsi dan kabupaten/kota
adalah Dinas Penanaman Modal dan PTSP ”. Demikian pula,
dalam Perda Nomor 7 Tahun 2008 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Badan Perencanaan Pembangunan Daerah,
Inspektorat dan Lembaga Teknis Daerah Provinsi Jawa
Tengah, yang menjadi dasar ditetapkannya nama Badan
Penamanan Modal telah dicabut berdasarkan Perda Nomor 9
Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat
Daerah.
4. Untuk menyesuaikan dengan dinamika perkembangan
peraturan perndang-undangan, akan lebih relevan dilakukan

52
pembentukan Perda baru dan mencabut Perda yang lama,
yaitu Perda Nomor 7 Tahun 2010 tentang Penanaman Modal
Di Provinsi Jawa Tengah.

53
DAFTAR PUSTAKA

Gomes, Faustino, 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia.


Yogyakarta : Andi Offset.
http://web.dpmptsp.jatengprov.go.id/p/232/jawa_tengah_lampau
i_target_investasi_2018.
Keban, Yeremias T. 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi
Publik : Konsep, Teori, dan Isu.Yogyakarta : Penerbit Gava
Media.
Khusaini, Mohammad, 2006. Ekonomi Publik Desentralisasi Fiskal
dan Pembangunan Daerah. BPFE UNIBRAW. Malang;
Mintzberg, Henry, 1993. Structure in Five Designing Effective
Organizations, New Jersey : Prentice-Hall, Inc.
Murtir Jeddawi, 2005, Memacu Investasi di Era
Otonomi Daerah, UII Press Yogyakarta;
Osborne, David dan Gaebler, Ted. 1997. Mewirausahakan
Birokrasi Reinventing Government : Mentransformasi
Semangat Wirausaha Ke Dalam Sektor Publik. Terjemahan
Abdul Rosyid, Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo.
Peter M, Blau dan & Marshall W. Meyer, 2000. Alih bahasa oleh
Slamet Rijanto, Birokrasi Dalam Masyarakat Modern, jakarta
: Prestasi Pustakaraya.
The British Council, 2002. Public Sector Reform in Britain. Diakses
Melalui http://www.britishcouncil.org.

Peraturan Perundang-Undangan
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang
Perindustrian;

54
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang
Pelayanan Perizinan Berusaha Terinegrasi Secara
Elektronik;
5. Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu
Pintu;
6. Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar
Bidang Usaha Tertutup Dan Terbuka Dengan Persyaratan Di
Bidang Penanaman Modal;
7. Instruksi Mendagri Nomor: 582/476/SJ tentang
Pencabutan/ Perubahan Peraturan Kepala Daerah;
8. Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 7
Tahun 2018 Tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian
Pelaksnaan Penanaman Modal;
9. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 7 Tahun
2010 tentang Penanaman Modal di Provinsi Jawa Tengah.

55

Anda mungkin juga menyukai