Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN UJI COBA KUESIONER

ZOOMAL SOCIAL SCIENCE


Kabupaten Langkat, 5 – 7 Agustus 2022

A. Kecamatan Salapian

Terletak antara :
Lintang Utara : 03015’38” – 03036’48”
Bujur Timur : 98014’17” – 98022’24”

Letak diatas permukaan laut : 88 meter

Luas Wilayah : 22173 Ha (221,73 Km2 )

Berbatasan dengan :
Sebelah Utara : Kecamatan Serapit
Sebelah Selatan : Kecamatan Kutambaru
Sebelah Barat : Kecamatan Bahorok
Sebelah Timur : Kecamatan Kuala

Jarak Kantor Camat ke Kantor Bupati 55 Km

B. Gambaran Umum Responden

Berikut ini adalah uraian mengenai gambaran umum responden penelitian berdasarkan
jenis kelamin, lama bekerja di perkebunan, usia, tingkat pendidikan, penghasilan
perbulan dan lama bekerja di kebun/hari responden.

Tabel 1
Gambaran Demografis Responden Penelitian

Karakteristik Data Subjek Frekuensi Persentase


Responden
Jenis kelamin Laki-laki 5 62.5 %
Perempuan 3 37.5 %
Lama bekerja 1-5 tahun - -
6-10 tahun 1 12.5 %
11-20 tahun 2 25 %
>21 tahun 5 62.5 %
Usia 21 - 30 tahun - -
31 - 40 tahun 2 25 %
41 - 50 tahun 4 50 %
>50 tahun 2 25 %
Pendidikan terakhir SD 1 12.5 %
SMP 2 25 %
SMA 5 62.5 %
Akademi/PT - -
Lama bekerja di 1-3 Jam - -
Kebun/hari 4-6 Jam 3 37.5 %
7-9 Jam 4 50 %
>10 Jam 1 12.5 %
Rata-rata < 1 Juta - -
Penghasilan/hari 1-2 Juta 3 37.5 %
2-3 Juta 2 25 %
>3 Jam 3 37.5 %

C. Alih Fungsi Lahan Menjadi Kebun Sawit Di Kecamatan Salapian Kabupaten


Langkat Propinsi Sumatera Utara.

Perkebunan Inti Rakyat (PIR) adalah pola pengembangan perkebunan rakyat di


wilayah lahan bukaan baru dengan perkebunan besar sebagai inti yang membangun
dan membimbing perkebunan rakyat disekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem
kerjasama yang saling menguntungkan, utuh dan berkelanjutan.

Salah satu tujuan pola perkebunan inti rakyat yaitu memobilisasi keunggulan atau
keahlian teknis dan manajerial yang dimiliki perkebunan besar untuk membantu
mengembangkan perkebunan plasma bagi pemukim yang tidak memiliki tanah dan
berada di lahan yang cocok untuk komoditas perkebunan.

Pihak perkebunan besar sebagai inti dengan perkebunan rakyat sebagai plasma
memiliki hak dan kewajiban masing-masing.membina petani agar mampu
mengusahakan kebunnya dengan baik dan membeli hasil kebun plasma.

Pengembangan perkebunan pola PIR di Indonesia dimulai melalui serangkaian proses


persiapan, pada tahap awal berupa penguatan kepada perusahaan perkebunan negara
melalui bantuan Bank Dunia untuk menjadi calon perusahaan inti. Untuk
pengembangan perkebunan kelapa sawit baru dimulai sekitar awal tahun 80-an.

D. Peran Pemerintah Dalam Alih Fungsi Lahan Menjadi Kebun Sawit Di


Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara.

Program peremajaan perkebunan kelapa sawit petani di Kabupaten Langkat, Sumatera


Utara, dilaksanakan seluas 213 hektare dari pengusulan yang dilakukan seluas 425
hektare. Menurut Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Langkat mengatakan
dari usulan 425 hektare itu, terealisasi lulus administrasi seluas 213 hektare. 

Sekarang ini dilapangan sudah dilakukan tumbang ciping seluas 185 hektare dan
sudah juga dilakukan penanaman kembali seluas 85 hektar. Kesemuanya milik petani
yang sudah lulus administrasi, dimana dananya merupakan dana hibah dari Badan
Pengelola Dana Petani kelapa sawit (BPDPKS). Program peremajaan kelapa sawit ini
merupakan program pemerintah guna peningkatkan pertanaman dan produksi kepala
sawit sehingga diharapkan hasilnya nanti akan meningkat dan ini merupakan suatu
terobosan baru. Program hibah dari Kementerian Pertanian Republik Indonesia dimana
nantinya petani yang mengikuti program ini akan menerima bantuan hibah berupa
uang guna meremajakan perkebunan kepala sawitnya berupa uang sebesar Rp25 juta
per hektarenya untuk membeli bibit dan pupuk,

Alih fungsi lahan atau lazimnya disebut konversi lahan adalah perubahan fungsi
sebagian atau seluruh lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan)
menjadi fungsi lain. Alih fungsi lahan juga dapat diartikan sebagai perubahan untuk
penggunaan lain disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi
keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya
dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.

Subtema yang muncul:


1. Motivasi Masyarakat Dalam Alih Fungsi Lahan Menjadi Kebun Sawit Di
Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara.

Berdasarkan hasil wawancara tentang motivasi petani dalam melakukan konversi lahan
karet menjadi lahan kelapa sawit di Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat dapat
disimpulkan sebagai berikut:

Pada awalnya masyarakat petani Kecamatan Salapian Kabupaten Langkat


menekuni usahanya dibidang perkebunan rambung. Tanaman ini merupakan sumber
utama bahan karet alam dunia. Adapun yang diambil dari tanaman rambung adalah
getah atau lateksnya, yang oleh masyarkat Kecamatan Salapian tanaman merupakan
salah
satu tanaman yang dikebunkan secara besar-besaran. Karet merupakan salah satu
komoditas perkebunan dengan nilai ekonomis tinggi pada masa itu. Oleh karena itu
tidak salah banyak masyarakat yang beranggapan kekayaan yang dimiliki masyarakat
petani karet. Namun sejalan dengan berjalannya waktu ternyata harga karet yang
dulunya mampu mensejahterakan masyarakat petani, acapkali harganya menurun dan
menukik tajam. Fenomena ini merusak rasa kenyamanan masyarakat Salapian yang
dulunya
merasa sejahtera dengan hasil perkebunan karet yakni merasa aman justru
menjadi kaget dengan fluktuatif harga karet yang menurun tajam

Melihat pada fenomena anjloknya bertahun-tahun maka masyarakat Salapian berinisiatif


ingin merubah budidaya kebun karet menjadi budidaya kelapa sawit. Kelapa sawit yang
awalnya dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat melalui program Perkebunan Inti
Rakyat (PIR) pada tahun 1985 yang membuahkan hasil yang lebih baik dibandingkan
penghasilan kebun karet, maka munculah minat masyarakat lain di Kecamatan Salapian
tersebut turut
serta alih fungsi kebun karet ke Kelapa Sawit.

Kelapa sawit di Indonesia dewasa ini merupakan komoditas primadona. Oleh


pemerintah Indonesia mendukung kegiatan perkebunan sawit tersebut bahkan dibuat
program plasma untuk mendukung alihfugsi perkebunan sawit tersebut dan saat ini
perkebunan rakyat sudah berkembang dengan pesat. Permintaan kelapa sawit disamping
digunakan sebagai bahan mentah industri non pangan.

Potensi sawit inilah yang memotivasi masyarakat untuk beralih fungsi dari perkebunan
karet ke kelapa sawit. Aktifitas yang dilakukan petani Kecamatan Salapian
adalah petani yang mengolah hasil pertanian dengan bantuan tenaga keluarga atau
petani dengan bantuan buruh tani harian untuk menjalankan produksi guna mencari
keuntungan.

Belakangan ini menyikapi harga kelapa sawit yang mengalami fluktuatif harga namun
masih dalam status kewajaran disamping secara teknis pekerjaan kebun kelapa sawit
tidak setiap hari harus dikunjungi sebagaimana yang dilakukan pada kebun karet.
Pekerjaan kelapa sawit hanya dilakukan dua minggu sekali, sedangkan kebun karet
harus setiap hari “menderes” atau “nyadap”. Dengan demikian maka dari sisi pekerjaan
akan lebih mudah petani kebun sawit dibandingkan dengan kebun karet. Dimana
pengerjaan karet mengahabiskan waktu dan tenaga dikarenakan harus berangkat setiap
hari, jikalau tidak berangkat untuk dikerjakan maka mereka tidak akan mendapatkan
hasil. Karena teknis pengerjaan karet adalah dengan melakukan penyadapan.
Penyadapan merupakan salah satu kegiatan pokok dari usaha tani karet, tujuannya untuk
membuka pembuluh lateks pada kulit pohon agar lateks tersebut mengalir. Kegiatan
tersebutlah yang petani karet lakukan setiap hari. Sedangkan dengan menjadi petani
kelapa sawit mereka hanya perlu waktu menunggu buah panen dengan sendirinya
sekitar dua minggu sekali, jadi sisa waktu yang dimiliki bisa untuk pekerjaan lain
ataupun santai dengan keluarga.

Sisi lain juga yang menyebabkan petani karet mengalihfungsikan kebun karetnya
menjadi kelapa sawit yaitu karena petani merasa lelah sebab teknis pekerjaan petani
karet yang harus dikerjakan setiap hari, berbeda dengan kelapa sawit yang hanya
menunggu waktu buah panen sekitar dua minggu sekali. Dengan menjadi petani kelapa
sawit pendapatan mereka menjadi lebih banyak dan lebih mempunyai banyak waktu
untuk keluarga ataupun untuk usaha lainya.

Selanjutnya faktor diatas, Kecamatan Salapian juga mengalami perubahan yang terjadi
karena adanya Program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) pada tahun 1985 perubahan
fungsi lahan karet menjadi kebun kelapa sawit, maka secara berangsur-angsur hingga
saat ini masyarakat Kecamatan Salapian mengalihfungsikan kebun karetnya

Kelapa sawit dalam proses menunggu panennya sekitar 3 tahun setengah baru bisa
panen, sudah barang tentu bagi mereka yang hanya mengandalkan kebun karet sebagai
mata pencaharian apabila lahan tersebut dialihkan fungsikan mereka tidak punya
pekerjaan selama 3 tahun tersebut. Jadi, cara mereka yaitu dengan cara menjadi buruh
harian lepas (buruh upah) untuk kebun lainnya yang membutuhkan tenaga, maka bisa
dikatanya selain menjadi pemilik kebun, mereka juga (suami-istri) menjadi buruh
kebun.

2. Peningkatan keterpaparan gigitan nyamuk akibat aktivitas di kebun


Mayoritas masyarakat berkebun, baik kebun sendiri maupun bekerja dikebun orang lain
(berbagi hasil), jarak kebun sekitar 300 m dari rumah, sedangkan yang terjauh berkisar
2 km dari rumah.
Bermalam dikebun Bisa sampai 2 – 3 bulan (tergantung jenis tanaman yang dijaga), tapi
saat panen maka masyarakat akan bermalam di kebun dan Pulang seminggu sekali, istri
mengantar makanan atau mereka akan mengajak keluarga untuk tinggal sementara
dikebun (jika anak-anak libur sekolah)
Bermalam dikebun menggunakan lampu teplok dan tidak ada kelambu, untuk mengusir
nyamuk mereka menggunakan api unggun atau membakar sabut kelapa, menurut
mereka nyamuk biasanya akan banyak muncul pada saat musim tanam padi.
Tidak ada pekerja kebun yang bergaji bulanan, semua pekerja adalah Upah Harian,
dengan upah sebagai tukang babat Rp. 80.000,-/hari, dan pekerja mendodos sawit (saat
panen) diupah secara borongan Rp. 250,-/perkilo atau rata-rata penghasilan sekitar Rp.
250.000,- /2-3 hari kerja.

3. Kurangnya pengetahuan mengenai penyebab penularan dan pencegahan


Malaria
Ada sekitar 12 Desa di Kabupaten Langkat yang berada di kecamatan Salapian, Kuala,
Hutaimbaru dan Bahorok merupakan daerah endemi malaria. Desa Ujung Bandar
merupakan salah satunya karena situasi dan lingkungan yang rentan terhadap malaria.
Desa ujung bandar di Kecamatan Salapian merupakan daerah endemis, dimana jarak
rumah dengan kebun sangat dekat.

Puncak kasus tertinggi malaria terjadi pada tahun 2015, karena sebelumnya fokus
Pemerintah hanya pada daerah pantai. Salah satu penyebabnya adalah
perubahan/pengalihan fungsi hutan dari kebun karet ke kebun sawit (tahun 1990an),
berakibat nyamuk lebih cepat berkembang jika di kebun sawit. Karena suhu lebih panas,
sehingga jentik lebih cepat berkembang.

Penyakit malaria biasanya muncul pada musim penghujan, puncaknya pada bulan
september atau pada saat musim buah biasa juga angka malaria menjadi meningkat,
karena kebiasaan masyarakat bermalam di kebun.

Pada tahun 2016 - 2019 Pemerintah melalui Dinas Kesehatan melaksanakan program
membagi kelambu serta bibit bunga Lavender untuk ditanam masyarakat. Program
tersebut terbilang berhasil karena sejak tahun 2019 jumlah kunjungan pasien malaria
menjadi jauh berkurang, dan pada tahun 2020 sudah Jarang ditemukan pasien malaria.
Di Desa Ujung Bandar pasien malaria selama ini ditangani langsung oleh Puskesmas
Tanjung Langkat (Puskesmas Induk).
Dan sejak tahun 2020 tidak ada lagi program program maupun edukasi tentang penyakit
malaria, karena malaria dianggap sudah berlalu dan masyarakat sudah memahami
terkait malaria maupun pencegahannya.

Namun Pustu Ujung Bandar tetap rutin mengadakan pertemuan bulanan dengan
aparatur desa untuk tetap mengingatkan masyarakat agar menjaga perilaku hidup sehat,
dan sebagai antisipasi Pustu masih menyiapkan obat dan alat pemeriksaan malaria.

Hanya sebahagian kecil masyarakat yang menggunakan kelambu untuk tidur, bahkan
masih ditemukan di masyarakat kelambu yang dibagi Pemerintah pada tahun 2019
masih bagus dan bahkan ada yang belum terpakai. Sebahagian besar masyarakat merasa
tidak memerlukan anti nyamuk, karena tidak ada merasakan nyamuk ketika tidur,
pengalaman masyarakat nyamuk hanya ada saat magrib, selebihnya sudah tidak ada
lagi.

4. Eksistensi monyet dalam keseharian hidup masyarakat

Setiap hari masyarakat Desa Ujung Bandar selalu bertemu monyet, bahkan rumah yang
di area kebun sering didatangi dan dimasuki monyet.  Pada dasarnya setiap rumah yang
berada di Desa Ujung Bandar tidak memiliki jarak rumah dengan kebun, pintu belakang
rumah masyarakat akan langsung berada di area kebun.

Selain makan buah sawit dan masuk masuk ke rumah masyarakat, monyet juga menjadi
hama bagi masyarakat, karena merusak tanaman masyarakat seperti padi, jagung,
Kelapa dan durian. Sehingga saat musim buah muncul, masyarakat harus menjaga
kebun agar tidak di rusak monyet. Biasanya monyet diusir masyarakat dengan suara
senapan angin.
Untuk tanaman buah, durian merupakan tanaman yang paling banyak ditanam
masyarakat, pada saat musim buah durian (sekali dalam setahun jatuh), masyarakat
harus menjaga durian ke ladang sejak pohon berbunga, agar tidak di rusak monyet. Itu
berlangsung 4 – 5 bulan, namun menjaganya hanya pada siang hari, karena malam
monyet tidak muncul lagi (tidur).
Berbeda jika musim panen dan buah durian jatuh, biasa masyarakat menjaganya dan
bermalam di ladang. Musim buah berlangsung sekitar 5 - 6 minggu. Pada musim buah
bisanya berefek juga terhadap habitat kera yang turun ke kebun dengan jumlah yang
semakin meningkat, karena keinginan untuk memakan buah tersebut.

5. Preferensi masyarakat dalam mengobati penyakit

Perubahan penggunaan lahan yang disebabkan oleh manusia, termasuk deforestasi,


perambahan manusia dan migrasi, telah menyebabkan perubahan luas dalam distribusi
organisme dan menyebabkan penurunan yang cukup besar dalam keanekaragaman
hayati melalui hilangnya suatu habitat. Perubahan lingkungan dan perambahan manusia
ke habitat satwa liar merupakan pendorong utama munculnya dan terjadinya penularan
penyakit zoonosis. Pergerakan individu ke habitat yang berbeda mempengaruhi paparan
vektor penyakit dan reservoir hewan, menentukan risiko dan penyebaran penyakit yang
ditularkan melalui vektor
Jika sakit masyarakat akan membeli obat ke warung, apabila tidak sembuh dalam 3 hari
maka masyarakat datang Puskesmas (BPJS) atau Bidan yang tersebar diseluruh desa
(Non BPJS).

Anda mungkin juga menyukai