Anda di halaman 1dari 5

Nama : Benii Ardliana

NIM : 0102517016
Mata Kuliah : Evaluasi dan Penjaminan Mutu Pendidikan
Pengampu : Dr. Masrukan, M.Si.

Ujian Akhir Semester


(UAS)

EVALUASI PROGRAM KONSELING DI SMP KOTA SEMARANG MENGGUNAKAN:


DISCREPANCY MODEL

1. Pertama : Tahap Penyusunan Desain.


a. Merumuskan tujuan program
Evaluasi menggunakan discrepancy model yang membantu administrator membuat
keputusan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sistem yang difokuskan pada
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program konseling di SMP Kota Semarang.
Discrepancy model merupakan model evaluasi yang dikembangkan oleh Malcom
Provus. Provus mendefinisikan evaluasi sebagai proses dari (1) menentukan standar
program; (2) menentukan perbedaan antara kinerja dengan standar; (3) menggunakan
ketidaksesuaian sebagai bahan untuk mengubah kinerja atau standar program.
Panduan untuk mengevaluasi program konseling individu menggunakan standar
evaluasi program dari Guidelines for Performance Based Professional School
Counselor Evaluation (Missouri Department of Elementary and Secondary Education,
2000).
Tujuan dari pelaksanaan evaluasi program konseling ini adalah untuk mengetahui
kesenjangan antara performansi program konseling di SMP Kota Semarang dengan
standar yang telah ditentukan.
b. Menyiapkan murid, staf dan kelengkapan lain
Menurut panduan evaluasi program bimbingan konseling dari Guidelines for
Performance Based Professional School Counselor Evaluation (Missouri Department of
Elementary and Secondary Education, 2000), standar evaluasi program konseling berada
pada standar 3 kriteria 5 yang berbunyi “konselor sekolah professional melaksanakan
konseling pada siswa secara individual dan kelompok yang teridentifikasi kebutuhan
dan masalahnya dan memerlukan bantuan.”
c. Merumuskan standar
Kriteria tersebut dijabarkan untuk menentukan program konseling sesuai dengan standar,
mendekati standar, atau jauh dari standar. Adapun rubriknya dapat dijelaskan pada tabel
di bawah ini.
No Kriteria Keterangan
1 Terlaksana 78-100% Sesuai dengan standar
2 Terlaksana 66-77% Mendekati standar
3 Terlaksana ≤65% Jauh dari standar

2. Kedua : Tahap Penetapan Kelengkapan Program


a. Meninjau kembali penetapan standar
Dilakukan dengan memastikan bahwa program yang akan dilaksanakan dapat diuji
dengan standar yang telah ditetapkan dengan penetapan rubrik tersebut.
b. Meninjau program yang sedang berjalan
Setelah menentukan rubrik penilaian, evaluator melaksanakan analisis hasil evaluasi
program konseling. Instrumen utama yang digunakan berupa kuesioner evaluasi
program konseling.
c. Meneliti kesenjangan antara yang direncanakan dengan yang sudah dicapai.
Jika berdasarkan hasil analisis data kuesioner evaluasi program konseling, SMP Kota
Semarang masih jauh dari standar. Maka dilakukan analisis kesenjangan tersebut.

3. Ketiga : Tahap Proses (Process)


Telah disebutkan dalam pemaparan di atas bahwa evaluasi yang dilaksanakan menggunakan
evaluasi discrepancy model. Evaluasi discrepancy model memberikan gambaran
kesenjangan yang terjadi antara performansi program konseling dengan standar yang telah
ditentukan. Menurut panduan evaluasi program bimbingan konseling dari Guidelines for
Performance Based Professional School Counselor Evaluation (Missouri Department of
Elementary and Secondary Education, 2000), standar evaluasi program konseling berada
pada standar 3 kriteria 5 yang berbunyi “konselor sekolah professional mengkonseling
siswa secara individual dan kelompok yang teridentifikasi kebutuhan dan masalahnya dan
memerlukan bantuan.”

4. Keempat : Tahap Pengukuran Tujuan (Product)


Jika berdasarkan hasil analisis kuesioner evaluasi program konseling dapat dipahami bahwa
program konseling di SMP Kota Semarang masih jauh dari standar. Maka dapat dinyatakan
bahwa program konseling yang berjalan masih banyak kegiatan yang belum dilaksanakan
dengan baik oleh konselor.
Dapat diperkuat kuesioner evaluasi program konseling tersebut dengan adanya instrumen
lain, misalnya yaitu: pedoman wawancara evaluasi program konseling, dan studi
dokumentasi.

5. Kelima : Tahap Pembandingan (Programe Comparison)


Berdasarkan hasil kajian secara komprehensif kuesioner evaluasi program konseling,
pedoman wawancara evaluasi program konseling, dan studi dokumentasi, terdapat beberapa
kegiatan yang tidak bisa dilaksanakan konselor dengan baik.
Ada beberapa kagiatan yang kebanyakan belum dilaksanakan konselor dengan baik di
lapangan adalah sebagai berikut:
a. Evaluasi hasil program konseling
Konselor di SMP belum melaksanakan penilaian pengaruh program konseling. Hal ini
akan berdampak pada biasnya tindak lanjut dari program konseling yang telah
dilaksanakan. Dikatakan bias karena tidak ada data empiris ataupun rekaman data faktual
yang memuat bagaimana perubahan tingkah laku konseling yang telah usai
melaksanakan program konseling dengan konselor.
b. Pemanfaatan teknologi
Pemanfaatan teknologi dengan menggunakan media sosial untuk program konseling juga
belum bisa dilaksanakan konselor di SMP tersebut. Salah satu faktor yang menjadi
alasan konselor tidak melaksanakan konseling online adalah konselor belum memahami
bagaimana merancang program tersebut. Dengan memanfaatkan media sosial seharusnya
konselor mampu membuat sebuah konsep program konseling online. Upaya ini
kemungkinan besar akan mendapat respon positif dari siswa untuk memanfaatkannya
daripada penggunaan media kotak konseling sebagai media program konseling.
Konseling online akan menjadi alternatif dalam pelaksanaan konseling.
c. Pembuatan agenda yang jelas
Konselor di SMP banyak ditemukan belum membuat agenda yang jelas dalam
melaksanakan konseling. Konseling dilakukan secara insidental, yaitu jika memang
terjadi permasalahan yang bisa dibantu dengan program konseling. Salah satu faktor
yang menjadi alasan konselor tidak mengagendakan secara jelas program konseling
adalah karena konselor menganggap bahwa kapan terjadinya masalah tidak bisa ditebak.

Dengan langkah-langkah evaluasi dengan pendekatan Discrepancy Model kita dapat


mudah mengetahhui kesenjangan yang ada dilapangan dengan menggunakan teknik observasi
dengan menggunakan instrumen kuesioner dengan didukung juga melalui instrumen wawancara
dan dokumentasi. Sehingga evaluator dengan mudah dapat mengambil alternatif pemecahan
masalah yang sedang dihadapi selama periode berlangsungnya organisasi.
Dilihat dari kasus di atas mengenai evaluasi program bimbingan konseling yang
dilakukan di SMP Kota Semarang. Saya ambil disini adalah dikarenakan kebanyakan sekolah
menganggap program bimbingan konseling adalah merupakan hal yang dapat dilakukan kapan
saja, dengan melihat kejadian atau kasus yang dialami peserta didik saat itu juga, atau dikatakan
dengan pengamatan insidental. Merupakan sebuah kasus yang memiliki kesenjangan dimana
program bimbingan konseling tersebut harus dibuat rancangan program atau agenda untuk
melaksanakan kegiatannya dalam melayani peserta didik. Sehingga diharapkan tidak terjadi
permasalahan mengenai konseling peserta didik yang berlarut-larut. Dengan demikian dapat
membangun lingkungan yang kondusif dalam proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru
dan siswa.
Sebagai seorang evaluator, kepala sekolah harus memiliki pemikiran yang maju dan kritis
terhadap program-program yang sedang berjalan pada lembaga sekolah yang mereka pimpin.
Salah satunya dengan melakukan evaluasi denggan pendekatan Discrepancy Model terhadap
kegiatan atau program yang sedang dilaksanakan. Dengan melihat kesenjangan program yang
dilaksanakan disekolah, diharapkan kepala sekolah dapat menemukan solusi alternatif untuk
memperbaiki bahkan mengganti sebuah program yang sudah dinilai tidak layak pakai atau sudah
ketinggalan zaman. Karena di era globalisasi sekarang ini, kepala sekolah dituntut untuk
memiliki pemikiran yang maju dan update untuk dapat mengikuti perkembangan, sehingga
mampu membuat terobosan inovasi-inovasi baru.

Anda mungkin juga menyukai