0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
3 tayangan5 halaman
Dokumen tersebut merupakan ringkasan evaluasi program konseling di SMP Kota Semarang menggunakan model kesenjangan (discrepancy model). Evaluasi menunjukkan adanya kesenjangan antara kinerja program konseling dengan standar yang ditetapkan, terutama dalam hal penilaian hasil program, pemanfaatan teknologi, dan penjadwalan kegiatan secara terstruktur. Model evaluasi ini bermanfaat untuk mengidentifikasi masalah dan merencanakan perbaikan.
Dokumen tersebut merupakan ringkasan evaluasi program konseling di SMP Kota Semarang menggunakan model kesenjangan (discrepancy model). Evaluasi menunjukkan adanya kesenjangan antara kinerja program konseling dengan standar yang ditetapkan, terutama dalam hal penilaian hasil program, pemanfaatan teknologi, dan penjadwalan kegiatan secara terstruktur. Model evaluasi ini bermanfaat untuk mengidentifikasi masalah dan merencanakan perbaikan.
Dokumen tersebut merupakan ringkasan evaluasi program konseling di SMP Kota Semarang menggunakan model kesenjangan (discrepancy model). Evaluasi menunjukkan adanya kesenjangan antara kinerja program konseling dengan standar yang ditetapkan, terutama dalam hal penilaian hasil program, pemanfaatan teknologi, dan penjadwalan kegiatan secara terstruktur. Model evaluasi ini bermanfaat untuk mengidentifikasi masalah dan merencanakan perbaikan.
NIM : 0102517016 Mata Kuliah : Evaluasi dan Penjaminan Mutu Pendidikan Pengampu : Dr. Masrukan, M.Si.
Ujian Akhir Semester
(UAS)
EVALUASI PROGRAM KONSELING DI SMP KOTA SEMARANG MENGGUNAKAN:
DISCREPANCY MODEL
1. Pertama : Tahap Penyusunan Desain.
a. Merumuskan tujuan program Evaluasi menggunakan discrepancy model yang membantu administrator membuat keputusan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sistem yang difokuskan pada perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program konseling di SMP Kota Semarang. Discrepancy model merupakan model evaluasi yang dikembangkan oleh Malcom Provus. Provus mendefinisikan evaluasi sebagai proses dari (1) menentukan standar program; (2) menentukan perbedaan antara kinerja dengan standar; (3) menggunakan ketidaksesuaian sebagai bahan untuk mengubah kinerja atau standar program. Panduan untuk mengevaluasi program konseling individu menggunakan standar evaluasi program dari Guidelines for Performance Based Professional School Counselor Evaluation (Missouri Department of Elementary and Secondary Education, 2000). Tujuan dari pelaksanaan evaluasi program konseling ini adalah untuk mengetahui kesenjangan antara performansi program konseling di SMP Kota Semarang dengan standar yang telah ditentukan. b. Menyiapkan murid, staf dan kelengkapan lain Menurut panduan evaluasi program bimbingan konseling dari Guidelines for Performance Based Professional School Counselor Evaluation (Missouri Department of Elementary and Secondary Education, 2000), standar evaluasi program konseling berada pada standar 3 kriteria 5 yang berbunyi “konselor sekolah professional melaksanakan konseling pada siswa secara individual dan kelompok yang teridentifikasi kebutuhan dan masalahnya dan memerlukan bantuan.” c. Merumuskan standar Kriteria tersebut dijabarkan untuk menentukan program konseling sesuai dengan standar, mendekati standar, atau jauh dari standar. Adapun rubriknya dapat dijelaskan pada tabel di bawah ini. No Kriteria Keterangan 1 Terlaksana 78-100% Sesuai dengan standar 2 Terlaksana 66-77% Mendekati standar 3 Terlaksana ≤65% Jauh dari standar
2. Kedua : Tahap Penetapan Kelengkapan Program
a. Meninjau kembali penetapan standar Dilakukan dengan memastikan bahwa program yang akan dilaksanakan dapat diuji dengan standar yang telah ditetapkan dengan penetapan rubrik tersebut. b. Meninjau program yang sedang berjalan Setelah menentukan rubrik penilaian, evaluator melaksanakan analisis hasil evaluasi program konseling. Instrumen utama yang digunakan berupa kuesioner evaluasi program konseling. c. Meneliti kesenjangan antara yang direncanakan dengan yang sudah dicapai. Jika berdasarkan hasil analisis data kuesioner evaluasi program konseling, SMP Kota Semarang masih jauh dari standar. Maka dilakukan analisis kesenjangan tersebut.
3. Ketiga : Tahap Proses (Process)
Telah disebutkan dalam pemaparan di atas bahwa evaluasi yang dilaksanakan menggunakan evaluasi discrepancy model. Evaluasi discrepancy model memberikan gambaran kesenjangan yang terjadi antara performansi program konseling dengan standar yang telah ditentukan. Menurut panduan evaluasi program bimbingan konseling dari Guidelines for Performance Based Professional School Counselor Evaluation (Missouri Department of Elementary and Secondary Education, 2000), standar evaluasi program konseling berada pada standar 3 kriteria 5 yang berbunyi “konselor sekolah professional mengkonseling siswa secara individual dan kelompok yang teridentifikasi kebutuhan dan masalahnya dan memerlukan bantuan.”
4. Keempat : Tahap Pengukuran Tujuan (Product)
Jika berdasarkan hasil analisis kuesioner evaluasi program konseling dapat dipahami bahwa program konseling di SMP Kota Semarang masih jauh dari standar. Maka dapat dinyatakan bahwa program konseling yang berjalan masih banyak kegiatan yang belum dilaksanakan dengan baik oleh konselor. Dapat diperkuat kuesioner evaluasi program konseling tersebut dengan adanya instrumen lain, misalnya yaitu: pedoman wawancara evaluasi program konseling, dan studi dokumentasi.
5. Kelima : Tahap Pembandingan (Programe Comparison)
Berdasarkan hasil kajian secara komprehensif kuesioner evaluasi program konseling, pedoman wawancara evaluasi program konseling, dan studi dokumentasi, terdapat beberapa kegiatan yang tidak bisa dilaksanakan konselor dengan baik. Ada beberapa kagiatan yang kebanyakan belum dilaksanakan konselor dengan baik di lapangan adalah sebagai berikut: a. Evaluasi hasil program konseling Konselor di SMP belum melaksanakan penilaian pengaruh program konseling. Hal ini akan berdampak pada biasnya tindak lanjut dari program konseling yang telah dilaksanakan. Dikatakan bias karena tidak ada data empiris ataupun rekaman data faktual yang memuat bagaimana perubahan tingkah laku konseling yang telah usai melaksanakan program konseling dengan konselor. b. Pemanfaatan teknologi Pemanfaatan teknologi dengan menggunakan media sosial untuk program konseling juga belum bisa dilaksanakan konselor di SMP tersebut. Salah satu faktor yang menjadi alasan konselor tidak melaksanakan konseling online adalah konselor belum memahami bagaimana merancang program tersebut. Dengan memanfaatkan media sosial seharusnya konselor mampu membuat sebuah konsep program konseling online. Upaya ini kemungkinan besar akan mendapat respon positif dari siswa untuk memanfaatkannya daripada penggunaan media kotak konseling sebagai media program konseling. Konseling online akan menjadi alternatif dalam pelaksanaan konseling. c. Pembuatan agenda yang jelas Konselor di SMP banyak ditemukan belum membuat agenda yang jelas dalam melaksanakan konseling. Konseling dilakukan secara insidental, yaitu jika memang terjadi permasalahan yang bisa dibantu dengan program konseling. Salah satu faktor yang menjadi alasan konselor tidak mengagendakan secara jelas program konseling adalah karena konselor menganggap bahwa kapan terjadinya masalah tidak bisa ditebak.
Dengan langkah-langkah evaluasi dengan pendekatan Discrepancy Model kita dapat
mudah mengetahhui kesenjangan yang ada dilapangan dengan menggunakan teknik observasi dengan menggunakan instrumen kuesioner dengan didukung juga melalui instrumen wawancara dan dokumentasi. Sehingga evaluator dengan mudah dapat mengambil alternatif pemecahan masalah yang sedang dihadapi selama periode berlangsungnya organisasi. Dilihat dari kasus di atas mengenai evaluasi program bimbingan konseling yang dilakukan di SMP Kota Semarang. Saya ambil disini adalah dikarenakan kebanyakan sekolah menganggap program bimbingan konseling adalah merupakan hal yang dapat dilakukan kapan saja, dengan melihat kejadian atau kasus yang dialami peserta didik saat itu juga, atau dikatakan dengan pengamatan insidental. Merupakan sebuah kasus yang memiliki kesenjangan dimana program bimbingan konseling tersebut harus dibuat rancangan program atau agenda untuk melaksanakan kegiatannya dalam melayani peserta didik. Sehingga diharapkan tidak terjadi permasalahan mengenai konseling peserta didik yang berlarut-larut. Dengan demikian dapat membangun lingkungan yang kondusif dalam proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dan siswa. Sebagai seorang evaluator, kepala sekolah harus memiliki pemikiran yang maju dan kritis terhadap program-program yang sedang berjalan pada lembaga sekolah yang mereka pimpin. Salah satunya dengan melakukan evaluasi denggan pendekatan Discrepancy Model terhadap kegiatan atau program yang sedang dilaksanakan. Dengan melihat kesenjangan program yang dilaksanakan disekolah, diharapkan kepala sekolah dapat menemukan solusi alternatif untuk memperbaiki bahkan mengganti sebuah program yang sudah dinilai tidak layak pakai atau sudah ketinggalan zaman. Karena di era globalisasi sekarang ini, kepala sekolah dituntut untuk memiliki pemikiran yang maju dan update untuk dapat mengikuti perkembangan, sehingga mampu membuat terobosan inovasi-inovasi baru.