Anda di halaman 1dari 11

MODEL EVALUASI BIMBINGAN DAN KONSELING

(Model Evaluasi Accountability Bridge & Model Evaluasi CIPSS)


Oleh:
Tri Cahyono, M.Pd

Evaluasi merupakan langkah penting dalam manajemen program bimbingan.


Tanpa evaluasi tidak mungkin kita dapat mengetahui dan mengidentifikasi
keberhasilan pelaksanaan program bimbingan yang telah direncanakan. Evaluasi
program bimbingan merupakan usaha untuk menilai sejauh mana pelaksanaan
program itu mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain bahwa
keberhasilan program dalam pencapaian tujuan merupakan suatu kondisi yang
hendak dilihat lewat kegiatan evaluasi.
Evaluasi dalam pandangan umum disamakan dengan pengukuran, penilaian,
padahal satu dan lainnya berbeda. Pengukuran merupakan kegiatan kuantitatif
membandingkan dengan kriteria tertentu misalnya kegiatan ulangan tengah semester.
Penilaian merupakan proses pemberian kategori kualitatif misalnya hasil pengukuran
berupa nilai diberikan kategorisasi baik buruk.
Definisi evaluasi tentu diperlukan secara sepesifik agar tidak rancu karena
memiliki kemiripan dengan kedua hal tersebut. (Stufflebeam, 1973) menyatakan:
“Evaluation is process of deliniating, obtaining, and providing useful information
for judging decision alternatives’. Bloom et.al menyatakan, evaluation as we see it is
systematic cellection of evidence to determinate whether in fact certain changes are
thingking place in the learner as well as to determinate the amount or degree of change
in Individual students.
Definisi-definisi diatas menunjukan bahwa evaluasi didalamnya memuat
pengukuran dan penilaian. Definisi (Stufflebeam, 1973) memberikan pengertian
bahwa pengukuran dan penilaian dalam evaluasi dilakukan untuk memperoleh
informasi untuk memperoleh keputusan serta mengukur perubahan yang terjadi pada
objek evaluasi.
Menurut (TIM PSG UNM, 2012) Evaluasi program dan hasil layanan BK ini perlu
dilakukan oleh konselor karena a) makin meningkatnya akuntabilitas publik yang
memperoleh layanan BK, baik program BK di sekolah maupun layanan BK di luar
sekolah, b) evaluasi program merupakan tanggung jawab profesional dan keharusan
profesional. Kebutuhan-kebutuhan ini makin mendesak di era otonomi daerah, di
mana manajemen berbasis sekolah (MBS) menghendaki kemandirian sekolah dalam
merencanakan program-program untuk meningkatkan kualitas sekolah, termasuk
didalamnya program layanan BK.
Tetapi sangat disayangkan bahwa pemahaman konselor tentang evaluasi
program masih belum memadai, (TIM PSG UNM, 2012). Hal ini disebabkan a) masih
ada konselor yang ketika pendidikan prajabatan belum memperoleh mata kuliah
evaluasi BK, b) ketika dalam jabatan konselor belum semuanya memperoleh pelatihan
dalam evaluasi program, c) kurangnya motivasi intrinsik untuk menyelenggarakan
evaluasi program dan d) keuntungan pragmatik dari penyelenggaraan evaluasi
umumnya msih meragukan atau belum dilakukan verifikasi. Karena itu sebagai akibat
adalah konselor tidak merespon terhadap kebutuhan dilakukannya evaluasi program,
masalah ini masih diperberat dengan tidak adanya pertanyaan-pertanyaan atau pola
yang seragam untuk memandu proses evaluasi, akibatnya konselor sulit
mengembangkan pendekatan evaluasi program yang sistematis.
Oleh karenanya, untuk memperdalam khazanah ilmu pengetahuan mahasiswa
dengan mengacu pada rencana pembelajaran semester (RPS) mata kuliah Evaluasi
dan Supervisi Bimbingan dan Konseling dengan sub materi model evaluasi program
bimbingan dan konseling, maka dosen atau tutor menyajikan 2 model dalam evaluasi
program bimbingan dan konseling, yaitu model evaluasi Accountability Bridge dan
model evaluasi CIPP yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

A. Model Evaluasi Accountability Bridge (Model Jembatan)


Seiring dengan pembahasan akuntabilitas, evaluasi terus dikembangkan di
Amerika. Evaluasi merupakan sebuah cara untuk mengetahui efektivitas layanan yang
akan ditunjukan kepada stakeholder. (Astramovich & Coker, 2007) mereka
mengatakan bahwa ‘outcomes data and evaluation findings are the means for
providing information about program effectiveness to stakeholders’ (mereka
mengatakan bahwa hasil data dan temuan-temuan evaluasi merupakan sarana untuk
memberikan informasi tentang efektivitas program kepada para stakeholder).
(Astramovich & Coker, 2007) lalu membuat model evaluasi yang berorientasi pada
akuntabilitas dengan istilah brige model.
Model Bridge (gambar 3.1) memiiliki dua siklus yaitu pada pengembangan
program dan evaluasi pada kontek (kondisi) serta satu jembatan komunikasi (brige).
Pada siklus evaluasi pengembangan program konseling akan perencanaan dan
penerapan berbagai strategi, intervensi dan program, pengawasan dan penyelarasan
program–program tersebut dan assessment hasil yang sebelumnya telah
teridentifikasi. Pada kegiatan evaluasi dalam siklus kontek (kondisi) akan dihasilkan
data hasil, saran dan respon pihak-pihak terkait atau para stakeholder atau pihak yang
berkepentingan dan kebutuhan siswa yang mendapatkan layanan BK. Kedua siklus
tersebut berjalan selaras dan berkelanjutan terus menerus melalui penyampaian hasil
evaluasi kepada stake holder untuk menghasilkan sejumlah masukan dari mereka
untuk menyusun program dengan melalui jembatan komunikasi (brige).
Gambar 3.1. Siklus Evaluasi Model Jembatan (Brige Model)

Sumber: (Astramovich & Coker, 2007)

Adapun penjelasan mengenai siklus evaluasi model jembatan (bridge model)


dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Siklus Evaluasi Program Konseling (Counseling Program Evaluation Cycle)


a. Tahap Perencanaan Program
Pada tahap ini informasi dikumpulkan melalui proses need assessment dan
identifikasi tujuan layanan. Setelah itu layanan dan program konseling
direncanakan dan dikembangkan. Pada tahap ini, konselor sekolah
menentukan berbagai intervensi dan program yang akan diterapkan serta
sumber daya yang dibutuhkan untuk menjalankan intervensi dan program
tersebut. Pada tahap ini juga, konselor sekolah juga perlu membuat
perencanaan yang seksama terkait dengan cara yang akan mereka gunakan
untuk menilai hasilnya. Cara yang dapat digunakan untuk menilai hasil
mencakup instrumen pra-pasca, indikator perfomansi, dan checklist. Selain
data tambahan, data sekolah, data dari hasil laporan sendiri/ self-Report dan
data observasi dapat digunakan juga (Norman C Gysbers & Henderson, 2014;
Studer & Sommers, 2000).
b. Tahap Implementasi Program
Konselor sekolah mulai memulai melakukan program dan layanan. Tahap
merujuk pada evaluasi formatif karena penyampaian atau pemberian layanan
dibentuk dan oleh masukan dari siklus konteks.
c. Tahap Penyelarasan Dan Pengawasan Program
Pertimbangakan kesesuaian seluruh masukan juga perlu dilakukan. Hal ini
berarti umpan balik dari para stakeholder perlu dipilih. Program intervensi yang
terpilih akan menjadi program yang dijalankan oleh guru BK. Pertimbangan
pemilihan tentu mempertimbangkan kondisi sekolah dan kesiapan personil
(Guru BK)
d. Tahap Assessment Hasil Pada Siklus Evaluasi Program
Setelah melakukan tiga tahap diatas, konselor telah memiliki data. Namun
dalam melakukan analisis dan interpretasi data memungkinkan Konselor
memiliki keterbatasan. Oleh karena itu guru BK dapat melakukan diskusi
dengan guru BK yang lainnya atau dengan kelapa supervise mereka.
Pengunaan teknologi juga direkomendasikan untuk menganalisa data (seperti,
SPSS dan Microsoft EXCELL) dapat membantu mempercepat interpretasi dan
presentasi data.

2. Siklus Evaluasi Konteks Konseling (Counseling Conteks Evaluation Cycle) Pada


saat siklus ini dilakukan pada empat tahap yaitu:
a. Tahap Umpan Balik
Umpan balik dari pihak-pihak yang terkait, konselor sekolah dengan aktif
mengumpulkan umpan balik berdasarkan pada hasil yang telah
dikomunikasikan. Ketika pihak yang terlibat merasa mereka juga memiliki hak
untuk bersuara/ memberi saran dalam perencanaan dan penerapan berbagai
layanan yang diperlukan, mereka cenderung mendukung usaha-usaha dalam
meningkatkan layanan tersebut secara berkelanjutan, (Ernst & Hiebert, 2002).
b. Perencanaan Strategi Pelaksanaan
Konselor sekolah akan mulai melakukan perencanaan dengan menggunakan
sejumlah masukan dari stakeholder. Strategi pelaksanaan mencakup
pengkajian ulang dan revisi misi dan tujuan dari program konseling sekolah
secara menyeluruh. Tahap ini didalam konteks di mana program konseling
sekolah tersebut diselenggarakan dan mempertimbangkan pengaruh
program terhadap keseluruhan misi dan tujuan sekolah.
c. Tahap need assessment
Tahap ini memberikan konselor sekolah berbagai informasi penting yang akan
mendesain dan mendefinisikan kembali program konseling sekolah secara
keseluruhan beserta layanan yang ditawarkan didalam program tersebut.
Need assessment tidak hanya mencakup kebutuhan populasi tetapi juga
kebutuhan dari pihak-pihak terkait lainnya seperti pihak pengelola sekolah,
orang tua, dan para guru. Need assessment yang komprehensif akan
mengumpulkan informasi dari berbagai macam sumber dan harus
direncanakan dengan tujuan yang jelas, (Royse, D., Thyer, B. A., & Padgett,
2010).
d. Identifikasi tujuan atau sasaran
Layanan harus didasarkan pada hasil-hasil utama yang ingin dicapai oleh
layanan konseling, perencanaan strategis berdasarkan umpan balik
pihakpihak yang terkait, dan hasil dari need assessment. Komponen penting
dari penerapan suatu program adalah penyusunan intervensi dan strategi
yang memiliki tujuan. Sasaran yang didesain dengan jelas. Jika program yang
diterapkan tidak memiliki tujuan yang teridentifikasi dengan jelas, program
tersebut tidak dapat dievaluasi keefektifannya secara tepat. Ketika tujuan
layanan telah terbentuk dan teridentifikasi dengan jelas, maka seluruh siklus
evaluasi akan dimulai lagi dari siklus evaluasi konteks konseling dengan
memberikan umpan balik kepada perencanaan program pada siklus evaluasi
program konseling.
3. Jembatan Komunikasi
Pengelola sekolah, orang tua, pegawai kantor urusan pendidikan dan konseling,
konselor sekolah lainnya dan para guru adalah pihak-pihak yang dapat dijadikan
masukan penting pada pencapaian keberhasilan siswa. Komunikasi antara guru BK
dengan stakeholder menjadi aspek penting dalam brige model. Guru BK yang
mengkomunikasikan rancangan programnya dapat membantu konselor sekolah
dalam mendukung layanan yang mereka berikan dan meningkatkan permintaan akan
layanan yang diberikan pada siswa, (Ernst & Hiebert, 2002). Komunikasi hasil dapat
berupa beberapa bentuk termasuk laporan, ringkasan, presentasi dan diskusi.
B. Model Evaluasi CIPP
(Stufflebeam, 1973) yang mendefinisikan evaluasi sebagai “the process of
delineating, obtaining, dan providing usefull information for judging decision
alternative. Definisi tersebut sejalan dengan definisi yang dikeluarkan oleh Comitte
yang mendefinisikan evaluasi program dalam pendidikan as being “the process of
delineating, obtaining, dan providing usefull information for judging decision
alternative. Definisi ini memberikan tekanannya pada tiga (3) hal, pertama, bahwa
evaluasi merupakan proses sistematis yang terus menerus. Kedua proses ini terdiri
atas 3 langkah, yaitu (1) menyatakan pertanyaan yang menuntut suatu jawaban dan
informasi yang spesifik untuk digali, (2) membangun data yang relevan, dan (3)
menyediakan informasi akhir (kesimpulan) yang menjadi bahan pertimbangan
mengambil keputusan. Ketiga evaluasi memberikan dukungan pada proses
mengambil keputusan dengan memilih salah satu alternatif pilihan dan melakukan
tindak lanjut atas keputusan tersebut.
Lebih lanjut (Stufflebeam, 1973) berpendapat bahwa evaluasi seharusnya
memiliki tujuan untuk memperbaiki (to improve) bukan untuk membuktikan (to prove).
Dengan demikian evaluasi seharusnya dapat membuat suatu perbaikan,
meningkatkan akuntabilitas, serta pemahaman yang lebih dalam mengenai fenomena.
Hal ini yang kemudian mempengaruhi model evaluasi yang dikembangkan oleh
Stufflebeam tersebut. Ia memperkenalkan model evaluasi CIPP. Model ini dipilih
karena dianggap lebih menyeluruh, memiliki penekanan tidak hanya pada hasil, akan
tetapi juga pada proses, dan yang paling penting evaluasi yang dikembangkan oleh
Stufflebeam ini berorientasi perbaikan bukan pembuktikan.
Dalam model ini, evaluasi harus dapat memberikan landasan berupa informasi
informasi yang akurat dan obyektif bagi pengambil kebijakan untuk memutuskan
sesuatu yang berhubungan dengan program. Evaluasi CIPP yang dikembangkan oleh
stufflebeam merupakan salah satu contoh model evaluasi ini. Model CIPP merupakan
salah satu model yang paling sering dipakai oleh evaluator. Model ini terdiri dari 4
komponen evaluasi sesuai dengan nama model itu sendiri yang merupakan singkatan
dari Context, Input, Process dan Product, yaitu 1) Evaluasi konteks (context
evaluation) merupakan dasar dari evaluasi yang bertujuan menyediakan
alasanalasan (rationale) dalam penentuan tujuan, (Worthen et al., 1997). Karenanya
upaya yang dilakukan evaluator da-lam evaluasi konteks ini adalah memberikan
gambaran dan rincian terhadap ling-kungan, kebutuhan serta tujuan (goal); 2)
Evaluasi input (input evaluation) merupakan evaluasi yang bertujuan menyediakan
informasi untuk menentukan bagaimana menggunakan sumberdaya yang tersedia
dalam mencapai tujuan program; 3) Evaluasi proses (process evaluation)
diarahkan pada sejauh mana kegiatan yang direncanakan tersebut sudah
dilaksanakan. Ketika sebuah program telah disetujui dan dimulai, maka dibutuhkanlah
evaluasi proses dalam menyediakan umpan balik (feedback) bagi orang yang
bertanggung-jawab dalam melaksanakan program tersebut; 4) Evaluasi Produk
(product evaluation) merupakan bagian terakhir dari model CIPP. Evaluasi ini
bertujuan mengukur dan menginterpretasikan capaian-capaian program. Evaluasi
produk menunjukkan perubahan-perubahan yang terjadi pada input. Dalam proses ini,
evaluasi produk menyediakan informasi apakah program itu akan dilanjutkan,
dimodifikasi kembali atau bahkan akan dihentikan.
Untuk lebih jelasnya penerapan tentang model evaluasi CIPP dapat dijelaskan
sebagai berikut, yaitu:
1. Evaluasi Konteks (Contex Evaluation)
Orientasi utama dari evaluasi konteks adalah untuk mengidentifikasi kekuatan
dan kelemahan suatu objek, seperti institusi, program, populasi target, atau orang, dan
juga untuk menyediakan arahan untuk perbaikan. Stufflebeam mengemukakan bahwa
objektivitas utama dari tipe ini adalah untuk menelaah status objek secara
keseluruhan, untuk mengidentifikasikan kekurangan, untuk mengidentifikasikan
kekuatan yang dimiliki yang dapat digunakan untuk memperbaiki kekurangan, untuk
mendiagnosa masalah sehingga dapat ditemukan solusi yang dapat memperbaikinya,
dan secara umum untuk memberikan gambaran karakteristik lingkungan/setting
program. Evaluasi konteks juga bertujuan untuk melihat apakah tujuan yang lama dan
prioritas terhadapnya telah sesuai dengan kebutuhan yang seharusnya dilayani.
Apapun yang menjadi fokus objeknya, hasil dari evaluasi konteks harus menyediakan
dasar untuk penyesuaian (pemantapan) tujuan dan prioritas, serta target perubahan
yang dibutuhkan. Tujuan evaluasi konteks adalah untuk menyediakan alasan yang
rasional bagi konselor dan administrator dalam menentukan tujuan dan kompetensi
siswa, yang mana semua itu akan membantu membentuk program dan highlight
berbagai elemen struktur dalam kebutuhan akan perhatian. Disinilah, evaluator harus
mendefinisikan lingkungan (invironment) dimana program dilaksanakan,
mengidentifikasikan berbagai kebutuhaan yang tidak terakomodir, dan menentukan
kenapa kebutuhan ini belum diakomodir. Evaluasi ini dicapai melalui seperangkat
evaluasi berdasarkan penelahana (assesment) atas kebutuhan pelanggan
(Customers), penentuan atas kelebihan dan kekurangan program terkini, dan
menyetujui prioritas program.
(Trotter & Kell, 2014) mengidentifikasikan empat langkah dalam melakukan
evaluasi konteks dalam program bimbingan klasikal. Keempat langkah tersebut
meliputi; mengidentifikasikan kebutuhan siswa melalui diskusi dengan siswa, guru,
dan orang tua, mengkonstruk item survey, melakukan survey kebutuhan, serta
membandingkan kebutuhan siswa berdasarkan evaluasi dengan tujuan yang telah
ditetapkan.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka evaluasi konteks yang dimaksud adalah
kesesuaian antara tujuan yang telah ditetapkan dengan kebutuhan siswa, yang
meliputi; permasalahan siswa, serta tugas perkembangan siswa. Evaluasi konteks
bukan hanya dimaksudkan untuk membantu guru bimbingan konseling menemukan
kebutuhan yang tidak terakomodir, atau tujuan yang tidak relevan dengan kebutuhan,
akan tetapi dapat juga membantu guru bimbingan konseling untuk memformulasikan
tujuan program bimbingan dan konseling dan kompetensi siswa yang diharapkan.
2. Evaluasi Input (Input Evaluation)
Orientasi utama dari evaluasi input adalah untuk membantu menentukan
program yang membawa pada perubahan yang dibutuhkan. evaluasi input
mempermasalahkan apakah strategi yang dipilih untuk mencapai tujuan program
sudah tepat. Evaluasi ini dilakukan dengan menelaah dan menilai secara kritis
pendekatan yang relevan yang dapat digunakan. Itu merupakan pendahuluan atau
tanda kesuksesan, kegagalan, dan efesiensi atas usaha untuk melakukan perubahan.
(Trotter & Kell, 2014) menambahkan bahwa evaluasi input ini juga dapat dipandang
sebagai bagaimana sumbersumber sistem yang ada di sekolah dapat digunakan
untuk memberikan dukungan pada praktek dan strategi yang dipilih.
Evaluasi input bertujuan untuk mengidentifikasikan dan menelaah kapabilitas
system, alternatif strategi program, disain prosedur dimana strategi akan
dimplementasikan. Input dalam program bimbingan dan konseling dapat berupa
jumlah sumber daya manusia dalam divisi bimbingan dan konseling, dukungan
keuangan, ruangan, peralatan seperti komputer, software, serta media bimbingan.
Evaluasi input ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode
menginventarisir dan menganalisa sumber-sumber yang tersedia, baik guru
bimbingan konseling, ataupun material, strategi solusi, relevansi desain prosedur,
kepraktisan dan biaya, kemudian dibandingkan dengan kriteria yang ditetapkan
berdasarkan telaah literatur, atau dengan mengunjungi program yang telah berhasil,
atau berdasarkan ahli.
Untuk mengetahui apakah strategi yang ditetapkan oleh divisi bimbingan dan
konseling dalam mencapai tujuannya sudah tepat tentunya tidak akan terlepas dari
sumber-sumber yang mereka miliki. (N C Gysbers & Henderson, 2000) bahkan
mengatakan bahwa efesiensi suatu program bimbingan dan konseling dapat diukur
berdasarkan keberadaan sumber-sumber yang dimiliki oleh suatu sekolah.
Menentukan suatu strategi tentunya perlu mempertimbangkan sumber apa yang
mereka miliki. Dengan mempertimbangkan sumber-sumber yang dimiliki, strategi
akan lebih realistis, dan didukung dengan kemampuan yang ada. Pemilihan strategi
yang tidak mempertimbangkan sumbersumber yang dimiliki tentunya dapat membuat
strategi sulit diterapkan karena mungkin tidak atau kurang realistis. (N C Gysbers &
Henderson, 2000) mengemukakan bahwa sumber-sumber yang mestinya ada pada
program bimbingan dan konseling terdiri atas tiga kategori, yaitu sumber berupa
personel, sumber berupa finansal, dan sumber berupa kebijakan.
3. Evaluasi Proses (Process Evaluation)
Evaluasi proses merupakan evaluasi yang dilakukan untuk melihat apakah
pelaksanaan program sesuai dengan strategi yang telah direncanakan. Dalam
ungkapan yang lain, Stufflebeam mengatakan bahwa evaluasi proses merupakan
pengecekan yang berkelanjutan atas implementasi perencanaan. Evaluasi proses
bertujuan untuk mengidentifikasikan atau memprediksi dalam proses pelaksanaan,
seperti cacat dalam disain prosedur atau implementasinya. Evaluasi proses juga
bertujuan untuk menyediakan informasi sebagai dasar memperbaiki program, serta
untuk mencatat, dan menilai prosedur kegiatan dan peristiwa.
Evaluasi proses ini dapat dilakukan dengan memonitor kegiatan, berinteraksi
terus menerus, serta dengan mengobservasi kegiatan, dan staf. Hal ini dapat
melibatkan pengukuran pre-test dan post-test terhadap pengetahuan dan
keterampilan, mengobservasi perilaku tertentu pada siswa, selfreport mengenai
perbaikan tingkah laku, evaluasi performance rutin (tingkat, tes terstandard,
portofolios), self-studi yang terus-menerus, studi kasus individual, kehadiran dan data
kedisplinan, kesesuaian antara program dengan pelaksanaan, keterlaksanaan
program, pengukuran sosiometri, serta hambatan-hambatan yang ditemui.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka evaluasi proses dalam hal ini meliputi;
keterlaksanaan program, pemberian materi bimbingan, penggunaan media
bimbingan, penggunaan teknik bimbingan, penggunaan komputer dan software, serta
penggunaan anggaran/dana.
4. Evaluasi Produk (Product Evaluation)
Evaluasi produk adalah evaluasi yang bertujuan untuk mengukur,
menginterpretasikan, dan menilai pencapaian program. Feedback atas
pencapaian/prestasi ini penting selama pelaksanaan program dan sebagai sebuah
kesimpulan. Evaluasi produk juga bertujuan mengumpulkan deskripsi dan evaluasi
terhadap luaran (outcome) dan menghubungkan itu semua dengan objektif, konteks,
input, dan informasi proses, serta untuk menginterpretasikan kelayakan dan
keberhargaan program.
Evaluasi produk dapat berupa dampak layanan bimbingan terhadap kegiatan
belajarmengajar, respon siswa, personel sekolah, orangtua, dan masyarakat,
terhadap layanan bimbingan, perubahan kemajuan siswa, pencapaian tugas
perkembangan, serta keberhasilan setelah menamatkan sekolah.
Evaluasi produk dapat dilakukan dengan membuat definisi operasional dan
mengukur kriteria objektif, melalui mengumpulkan evaluasi dari stakeholder, dengan
unjuk kerja (performing) baik dengan menggunakan analisis secara kuantitatif,
maupun kualitatif. Analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui pengaruh program
pada tujuan yang ditetapkan, sedangkan analisis kualitatif dapat digunakan untuk
memperkaya informasi mengenai aspek produk. Berdasarkan pembahasan di atas,
maka evaluasi produk dalam hal ini meliputi; adanya peningkatan pencapaian tugas
perkembangan siswa.
DAFTAR PUSTAKA

Astramovich, R. L., & Coker, J. K. (2007). Program evaluation: The accountability


bridge model for counselors. Journal of Counseling & Development, 85(2), 162–
172.
Ernst, K., & Hiebert, B. (2002). Toward the development of a program evaluation
business model: Promoting the longevity of counselling in schools. Canadian
Journal of Counselling and Psychotherapy, 36(1).
Gysbers, N C, & Henderson, P. (2000). Developing and managing your school
guidance program Ord ed. Alexandria, VA: American Counseling Association.
Gysbers, Norman C, & Henderson, P. (2014). Developing and managing your school
guidance and counseling program. John Wiley & Sons.
Royse, D., Thyer, B. A., & Padgett, D. K. (2010). Program Evaluation: : An introduction.
Nelson Education.
Studer, J. R., & Sommers, J. A. (2000). The professional school counselor and
accountability. NASSP Bulletin, 84(615), 93–99.
Stufflebeam, D. L. (1973). Toward a science of educational evaluation. Evaluation of
Education, 11, 20.
TIM PSG UNM. (2012). Bimbingan dan Konseling: Modul Pendidikan dan Latihan
Profesi Guru. Universitas Negeri Surabaya.
Trotter, H., & Kell, C. (2014). Seeking impact and visibility: Scholarly communication
in Southern Africa. African Minds.
Worthen, B. R., Sanders, J. R., & Fitzpatrick, J. L. (1997). Program evaluation.
Alternative Approaches and Practical Guidelines, 2.

Anda mungkin juga menyukai