Anda di halaman 1dari 36

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Tanah


Menurut (Hardiyatmo 2019:1) Dalam pengertian teknik sipil, tanah adalah
himpunan mineral, bahan organik, dan endapan-endapan yang relatif lepas (loose),
yang terletak di atas batuan dasar (bedrock). Ikatan antara butiran yang relatif lemah
dapat disebabkan oleh zat organic, karbonat, atau oksida-oksida yang mengendap
diantara partikel-partikel. Ruang di antara partikel-partikel dapat berisi udara, air,
ataupun keduanya. Proses pelapukan batuan atau proses geologi lainnya yang
terjadi di dekat permukaan bumi membentuk tanah. Bentukan terjadinya tanah dari
bebatuan induknya, dapat berupa proses kimia maupun proses fisik. Proses
terbentuknya tanah secara fisik yang mengubah bebatuan menjadi partikel-partikel
kecil, akibat terjadinya pengaruh dari air, angin, erosi, es, manusia, atau hancurnya
partikel-partikel tanah akibat dari perubahan suhu maupun cuaca. Partikel-partikel
tanah mungkin berbentuk bergerigi, bulat, ataupun bentuk-bentuk lain-lain
diantaranya. Secara umum, terjadinya pelapukan akibat proses kimia yang dapat
terjadi oleh pengaruh karbondioksida, oksigen, air (mengandung alkali maupun
asam) dan proses-proses kimia yang lainnya. Jika hasil dari pelapukan telah
berpindah dari tempatnya disebut sebagai tanah terangkut (transported soil) dan
apabila tanah masih berada pada tempat asalnya disebut sebagai tanah residual
(residual soil).
Istilah dari jenis-jenis tanah seperti kerikil, pasir, lanau, lempung atau
lumpur digunakan untuk menggambarkan ukuran partikel-partikel pada batas-batas
ukuran butiran yang telah ditentukan. Tetapi ada juga beberapa istilah yang sama
juga digunakan untuk menggambarkan sifat-sifat tanah yang khusus. Contohnya,
lempung merupakan jenis tanah yang memiliki sifat plastis dan kohesif, sedangkan
pasir digambarkan sebagai jenis tanah yang tidak memiliki sifat kohesif dan tidak
plastis. Pada umumnya jenis-jenis tanah terdiri dari banyaknya campuran-campuran
ataupun lebih dari satu macam ukuran partikel. Jenis tanah lempung belum tentu
terdiri dari partikel lempung itu saja, tapi dapat juga tercampur dengan butir-butir

5
6

ukuran tanah jenis pasir maupun lanau, dan mungkin saja terdapat beberapa
campuran bahan organik. Ukuran-ukuran partikel dari tanah terdapat beberapa
bervariasi dan bahkan lebih besar dari 100 mm sampai ke yang lebih kecil dari
0,001 mm.
2.2 Ukuran Tanah
Menurut (Bowles 1984:25) Tanah merupakan campuran partikel-partikel
yang terdiri dari semua atau salah satu dari jenis tanah berikut:
Berangkal (boulders) potongan batuan yang besar, biasanya lebih besar dari 250 -
300 mm. untuk kisaran ukuran 150 - 250 mm, fragmen batuan ini disebut
kerakal (cobbles) atau pebbles.
Kerikil (gravel) partikel batuan yang berukuran 5 - 150 mm.
Pasir (sand) partikel batuan yang berukuran 0,074 - 5 mm. Berkisar dari kasar (3 -
5 mm) sampai halus (<1 mm).
Lanau (silt) partikel batuan yang berukuran dari 0,002 - 0,074 mm.
Lempung (clay) partikel mineral yang berukuran lebih kecil dari 0,002 mm.
Koloid (colloids) partikel mineral yang “diam”, berukuran lebih kecil dari 0,001
mm.
Menurut (Hardiyatmo 2019:2) Batas-batas interval ukuran butiran kerikil,
pasir, lanau dan lempung menuurut USCS (Unified Soil Classification System),
MIT (Massachusetts Institude of Technology) dan British Standard, AASHTO
(American Association of State Highway and Transportation Officials), USDA
(United State Departement of Algiculture), dan ASTM (American Society for
Testing and Materials) ditunjukkan pada Tabel 2.1, umumnya lebih banyak
digunakan klasifikasi tanah USCS dan AASHTO.
7

Tabel 2.1 Klasifikasi butiran tanah menurut USCS, MIT, AASHTO,


USDA dan ASTM

Klasifikasi Tanah Ukuran Butiran (mm)

Menurut Kerikil Pasir Lanau Lempung Kolloid

Butiran halus (lanau atau lempung)


USCS (Unified Soil 4,75 -
75 - 4,75
Classification System) 0,075
< 0,075

MIT (Massachusetts
0,06 -
Institude of Technology) 60 - 2 2 - 0,06 < 0,0002
0,002
dan British Standard
AASHTO (American
Association of State
0,075 - 0,005 -
Highway and 75 - 2 2 - 0,075 < 0,001
0,005 0,001
Transportation
Officials)
USDA (United State
0,05 -
Departement of 75 - 2 2 - 0,05 < 0,002
0,002
Algiculture)

ASTM (American
4,75 - 0,075 - 0,005 -
Society for Testing and 75 - 4,75 < 0,001
0,075 0,005 0,001
Materials)

(Sumber: Hardiyatmo, 2019)

Menurut (Das 1991:7) Ukuran dari partikel tanah adalah sangatberagam


dengan variasi yang cukup besar. Tanah umumnya dapat disebut sebagai
kerikil(gravel), pasir (sand), lanau (slit), atau lempung (clay), tergantung pada
ukuran partikelyang paling dominan pacta tanah tersebut. Untuk menerangkan
tentang tanah berdasarkanukuran-ukuran partikelnya, beberapa organisasi telah
mengembangkan batasan-batasanukuran golongan jenis tanah (soil-separate-size
limits). Pada Tabel 2.2 ditunjukkan batasan-batasanukuran golongan jenis tanah
yang telah dikembangkan oleh Massachusset ts Institute of Technology (MIT),
United State Department of Agriculture (USDA), American Association of State
Highway and Transportation Officials (AASHTO) dan oleh U.S. Army Corps of
EngineersdanU.S. Bureau of Reclamation yang kemudian menghasilkan apa yang
disebut sebagaiUnified Soil Classification System (USCS). Pada Tabel tersebut,
sistem MIT diberikan hanya untuk keterangan tambahan saja. Sistem MIT ini
8

penting artinya dalam sejarah perkembangan sistem batasan ukuran golongan jenis
tanah. Pada saat sekarang, Sistem Unified (USCS) telah diterima di seluruh dunia.
Sistem ini sekarang telah dipakai pula oleh American Society of Testing and
Materials (ASTM). Gambar 2.1 menunjukkan batasan-batasan ukuran dalam
bentuk grafik.
Kerikil (gravels) adalah kepingan-kepingan dari batuan yang kadang-
kadang juga mengandung partikel-partikel mineral quartz, feldspar, dan mineral-
mineral lain.
Pasir (sand) sebagian besar terdiri dari mineral quartz dan feldspar. Butiran
dari mineral yang lain mungkin juga masih ada pada golongan ini.
Lanau (silts) sebagian besar merupakan fraksi mikroskopis (berukuran
sangat kecil) dari tanah yang terdiri dari butiran-butiran quartz yang sangat halus,
dan sejumlah partikel berbentuk lempengan-lempengan pipih yang merupakan
pecahan dari mineral-mineral mika.
Lempung (clays) sebagian besar terdiri dari partikel mikroskopis dan
submikroskopis (tidak dapat dilihat dengan jelas bila hanya dengan mikroskopis
biasa) yang berbentuk lempengan- lempengan pipih dan merupakan partikel-
partikel dari mika

Tabel 2.2 Batasan-batasan Ukuran Golongan Tanah

Nama Golongan Kerikil Pasir Lanau Lempung

Massachusset Institute of
>2 2 - 0,06 0,06 - 0,002 < 0,002
Technology (MIT)

U.S. Department of
>2 2 - 0,05 0,05 - 0,002 < 0,002
Agriculture (USDA)

American Association of
State Highway and
76,2 - 2 2 - 0,075 0,075 - 0,002 < 0,002
Transportation Official
(AASHTO)

Unidield Soil Classification


Halus
System (U.S. Army Corps of
76,2 - 4,75 4,75 - 0,075 (Yaitu lanau dan
Engineers, U.S. Bureau of
lempung < 0,0075)
Reclamation
(Sumber: DAS, 1991)
9

(Sumber: DAS, 1991)


Gambar 2.1 Batasan-batasan Ukuran Jenis Golongan Tanah Beberapa Sistem.

Ada beberapa macam jenis-jenis tanah sebagai untuk klasifikasi tanah di


lapangan antara lain:
1. Kerikil dan Pasir
Keriki dan Pasir adalah agregat yang tak berkohesi yang tersusun dari
sub angranular atau granular. Partikel berukuran 1/8 inchi sampai 6/8
inchi disebut sebagai kerikil sedangakan partikel berukuran <1/8 inchi
disebut sebagai pasir. Dan fragmen bergaris tengah lebih besar dari 8
inchi dinamakan sebagai bongkahan (boulders)
2. Hardpan
Hardpan adalah tanah yang tertahan terhadap penetrasi alat pemboran
besar. Ciri-cirinya dapat dijumpai dalam keadaan bergradasi baik, luar
biasa padat, dan merupakan agregat partikel mineral yang kohesif.
3. Lanau Organik (organic silt)
Lanau organic adalah tanah yang agak plastis, berbutir halus dengan
campuran partikel-partikel bahan organik terpisah secara halus. Warna
tanah bervariasi dari abu-abu terang sampai abu-abu sangat gelap,
disamping itu bisa mengandung H2S, CO2, serta berbagai gas hasil
peluruhan tumbuhan yang akan memberikan bau khas kepada tanah.
10

Permeabilitas tanah lanau organic sangat rendah sedangkan


kompresibilitasnya sangat tinggi.
4. Lanau Anorganik (inorganic silt)
Lanau Anorgaik adalah tanah berbutir halus dengan plastisitas kecil atau
samasekali tidak ada. Jenis yang plastisnya paling kecil biasanya
mengandung butiran kuarsa sedimentasi yang kadang-kadang disebut
tepung batuan (rockflour), sedangkan yang sangat plastis mengandung
partikel berwujud serpihan dan dikenal sebagai lanau plastis.
5. Lempung (clay)
Tanah Lempung adalah agregat partikel-partikel berukuran mikroskopik
dan submikroskopik yang berasal dari pembusukan kimiawi unsur-unsur
penyusun batuan, dan bersifat plastis dalam selang kadar air sedang
sampai luas. Dalam keadaan kering sangat keras, dan tak mudah
terkelupas hanya dengan jari tangan. Permebilitas lempung sangat
rendah.
6. Lempung Organik (organic clay)
Lempung Organik adalah tanah lempung yang sebagian sifat-sifat fisis
pentingnya dipengaruhi adanya bahan organic yang terpisah dalam
keadaan jenuh lempung organic cenderung bersifat sangat kompresibel
tapi pada keadaan kering kekuatannya sangat tinggi. Tanah lempung
berwarna abu-abu tua atau hitam dan berbau.
7. Gambut (peat)
Tanah Gambut adalah agregat agak berserat yang berasal dari serpihan
makroskopik dan mikroskopik tumbuhan-tunbuhan. Tanah gambut
berwarna coklat terang dan hitam, bersifat kompresibel sehingga tidak
mungkin menompang pondasi.
11

2.3 Tanah Dasar (Sub-grade)


Pada konstruksi jalan umumnya terdapat tiga bagian penting yaitu tanah
dasar, lapis perkerasan dan lapis penutup. Tanah dasar (sub-grade) adalah bagian
bawah dari lapisan perkerasan jalan yang berfungsi sebagai penunjang pada lapisan
perkerasan tersebut. Oleh karena itu, keawetan dan kekuatan tanah suatu kontruksi
jalan bergantung pada kekuatan tanah atau daya dukung tanah dasar (Darwis and
Mulya 2020). Tanah dasar (Sub-grade) adalah tanah dasar, permukaan tanah galian
atau timbunan yang dipadatkan (Sumarna 2016). Tanah dasar (Sub-grade) yang
digunakan untuk suatu pekerjaan konstruksi jalan raya harus memiliki daya dukug
tanah yang baik, karena beban yang bekerja pada bagian atas konstruksi jalan
adalan beban dinamis dan statis (Apriyanti 2016). Oleh karena itu, keawetan dan
kekuatan tanah suatu kontruksi jalan bergantung pada kekuatan tanah atau daya
dukung tanah dasar.
2.4 Klasifikasi Tanah
Menurut (Das 1991:64) Sistem klasifikasi tanah adalah suatu sistem
pengaturan beberapa jenis tanah yang berbeda-beda tapi mempunyai sifat yang
serupa ke dalam kelompok-kelompok dan subkelompok-subkelompok berdasarkan
pemakaiannya. Sistem klasifikasi memberikan suatu bahasa yang mudah untuk
menjelaskan secara singkat sifat-sifat umum tanah yang sangat bervariasi tanpa
penjelasan yang terinci. Sebagian besar sistem klasifikasi tanah yang telah
dikembangkan untuk tujuan rekayasa didasarkan pada sifat-sifat indeks tanah yang
sederhana seperti distribusi ukuran butiran dan plastisitas. Walaupun saat ini
terdapat berbagai sistem klasifikasi tanah, tetapi tidak ada satupun dari sistem-
sistem tersebut yang benar-benar memberikan penjelasan yang tegas mengenai
segala kemungkinan pemakaiannya. Hal ini disebabkan karena sifat-sifat tanah
yang sangat bervariasi.
Pada saat sekarang ada dua buah sistem klasifikasi tanah yang selalu dipakai
oleh para ahli teknik sipil. Kedua sistem tersebut memperhitungkan distribusi
ukuran butir dan batas-batas Atterberg. Sistem-sistem tersebut adalah Sistem
Klasifikasi Unified (Unified Soil Classification System) dan Sistem Klasifikasi
AASHTO (American Association of State Highway and Transportation Officials).
12

Sistem Klasifikasi Unified pada umumnya lebihdisukai oleh para ahli geoteknik
untuk keperluan-keperluan teknik yang lain. Sedangkan Sistem Klasifikasi
AASHTO pada umumnya dipakai oleh Departemen Jalan Raya di semua Negara
bagian di Amerika Serikat.
2.4.1 Sistem Klasifikasi Unified
Menurut (Hardiyatmo 2019:60) Pada sistem Unified, tanah
diklasifikasikan kedalam tanah berbutir kasar (kerikil dan pasir) jika kurang
dari 50% lolos saringan 200, dan sebagai tanah berbutir halus
(lanau/lempung) jika lebih dari 50% lolos saringan nomor 200. Selanjutnya
tanah diklasifikasi dalam jumlah kelompok dan subkelompok yang dapat
dilihat pada Tabel 2.3 Sistem Klasifikasi Tanah Unified, Simbol-simbol
yang digunakan tersebut adalah:
G = kerikil (gravel)
S = pasir (sand)
C = lempung (clay)
M = lanau (silt)
O = lanau atau lempung organik (organic silt or clay)
Pt = tanah gambut dan tanah oraganik tinggi (peat and highly
organic soil)
W = gradasi baik (well-graded)
P = gradasi buruk (poorly-graded)
H = plastisitas tinggi (high-plasticity)
L = plastisitas rendah (low-plasticity)
Prosedur untuk menentukan klasifikasi tanah Sistem Unified yaitu:
1) Tentukan apakah tanah berupa butiran halus atau butiran kasar secara
visual atau dengan cara menyaringnya dengan saringan nomor 200.
2) Jika tanah berupa butiran kasar:
a) Saring tanah tersebut dan gambarkan grafik distribusi butiran
b) Tentukan persen butiran lolos saringan nomor 4. Bila presentase yang
lolos kurang dari 50%, klasifikasikan tanah tersebut sebagai kerikil.
Bila persen yang lolos lebih dari 50%, kasifikasikan sebagai pasir.
13

c) Tentukan jumlah butiran yang lolos saringan nomor 200. Jika


presentase butiran yang lolos kurang dari 5%, pertimbangkan grafik
distribusi butiran dengan menghitung Cu dan Cc. Jika termasuk
bergradasi baik, maka klasifikasikan sebagai GW (bila kerikil) atau
SW (bila pasir). Jika termasuk bergradasi buruk, klasifikasikan
sebagai GP (bila kerikil) atau SP (bila pasir).
d) Jika presentase butiran tanah yang lolos saringan nomor 200 diantara
5% – 12%, tanah yang mempunyai symbol dobel dan mempunyai
sifat keplastisan (GW – GM, SW – SM, dan sebagainya).
e) JIka persentase butiran yang lolos saringan nomor 200 lebih besar
12%, harus dilakukan uji batas-batas Atterberg dengan
menyingkirkan butiran tanah yang tinggal dalam saringan nomor 40.
Kemudian dengan menggunakan diagram plastisitas, tentukan
klasifikasinya (GM, GC, SM, SC. GM – GC atau SM –SC).
3) Jika tanah berbutir halus:
a) Kerjakan uji batas-batas Atterberg dengan menyingkirkan butiran
tanah yang tinggal dalam saringan nomor 40. Jika batas cair tanah
lebih besar dari 50, di klasifikasikan sebagai huuruf H (plastisitas
tinggi) dan jika kurang dari 50, di klasifikasikan sebagai huruf L
(plastisitas rendah).
b) Untuk H (plastisitas tinggi), jika plot batas-batas Atterberg pada
grafik plastisitas dibawah garis A, tentukan apakah tanah organic
(OH) atau anorganik (MH). Jika plotnya jatuh diatas garis A,
klasifikasikam sebagai CH.
c) Untuk L (plastisitas rendah), jika plot batas-batas Atterberg pada
grafik plastisitas dibawah garis A dan area yang diarsir, tentukan
klasifikasi tanah tenah tersebut sebagai organic (OL) atau anorganik
(ML) berdasarkan pada bau, warna, maupun perubahan pada batas
plastis dan batas cairnya dengan cara mengiringkannya didalam oven.
14

d) Jika plot batas-batas Atterberg pada grafik plstisitas jatuh pada area
yang diarsir, dekat dengan garis A atau nilai LL sekitar 50, gunkan
simbol dobel.
15

Tabel 2.3 Sistem Klasifikasi Tanah Unified


Simbol
Devisi Utama Nama Jenis
Kelompok
Kerikil gradasi baik dan campuran
dari fraksi kasar ter- Kerikil bersih GW pasir-kerikil, sedikit atau tidak
(sedikit atau tak mengandung butiran halus
Kerikil 50% atau lebih

tahan saringan
ada b u t i r a n Kerikil gradasi buruk dan *campuran
halus) GP pasir-kerikil, atau tidak mengandung
no. 4 (4,75mm)

butiran halus
tertahan saringan no. 200 (0,075 mm)

Kerikil berlanau, campuran kerikil


Kerikil banyak GM
Tanah berbutir kasar 50% butiran

pasir-lempung
kandungan
butiran halus Kerikil berlempung, campuran kerikil
GC
pasir-lempung
Pasir gradasi baik, pasir berkerikil,
Kerikil bersih SW sedikit atau tidak mengandung butiran
(sedikit atau tak halus.
fraksi kasar lolos sari-
ngan no. 4 (4,75mm)
Pasir lebih dari 50%

ada b u t i r a n Pasir gradasi buruk, pasir kerikil,


halus) SP sedikit atau tidak mengandung butiran
halus.

Kerikil banyak SM Pasir berlanau, campuran pasir-lanau


kandungan
butiran halus Pasir berlempung, campuran pasir-
SC
lempung
Lanau tak organik dan pasir sangat
Tanah berbutir halus 50% atau lebih lolos saringan

ML halus, serbuk batuan atau pasir halus


berlanau atau berlempung
Lempung tak organik dengan
Lanau dan lempung plastisitas rendah sampai sedang,
batas cair 50% atau CL lempung berkerikil, lempung berpasir,
no. 200 (0,075 mm)

kurang lempung berlanau, lempung kurus


('lean clays)
Lanau organik dan lempung berlanau
OL
organik dengan plastisitas rendah
Lanau tak organik atau pasir halus
MH
diatomae, lanau elastis
Lempung tak organik dengan
Lanau dan lempung
CH plastisitas tinggi, lempung gemuk ('fat
batas cair > 50%
clays')
Lempung organik dengan plastisitas
OH
sedang sampai tinggi
Gambut ('peat') dan tanahlain dengan
Tanah dengan kadar organik tinggi Pt
kandungan organik tinggi.
(Sumber: Hardiyatmo, 2019)
16

Tabel 2.3 Sistem Klasifikasi Tanah Unified (lanjutan)

Kriteria Laboratorium

𝐷60 (𝐷10 )2
𝐶𝑢 = > 4, 𝐶𝑐 = 𝐷 antara 1 dan 3
kurang dari 5% lolos saringan no. 200. GW, GP, SW,
SP. Lebih dari 12% lolos saringan no. 200. GM, GC,

𝐷10 10 × 𝐷60
Batasan klasifikasi yang mempunyai simbol dobel
Klasifikasi berdasarkan prosentase butiran halus,

Tidak memenuhi kedua kriteria untuk GW

Batas-batas Atterberg di bawah garis


SM, SC 5%-12% lolos saringan no. 200.

A atau PI < 4 Bila batas Atterberg berada di


daerah arsir dari diagram plastisitas,
Batas-batas Atterberg di atas garis A maka dipakai dobel simbol
atau PI > 7
𝐷60 (𝐷10 )2
𝐶𝑢 = > 6, 𝐶𝑐 = 𝐷 antara 1 dan 3
𝐷10 10 × 𝐷60

Tidak ememnuhi kedua kriteria untuk SW

Batas-batas Atterberg di bawah garis


A atau PI < 4 Bila batas Atterberg berada di daerah
arsir dari diagram plastisitas, maka
Batas-batas Atterberg di atas garis A dipakai dobel simbol
atau PI > 7

Batas Cair LL (%)


Garis A, PI = 0.73 (LL – 20)

Manual untuk identifikasi secara visual dapat dilihat di ASTM Designation D-2488

(Sumber: Hardiyatmo, 2019)


17

2.4.2 Sistem Klasifikasi AASHTO


Menurut (Hardiyatmo 2019:63) Klasifikasi sistem AASHTO
(American Association of State Highway and Transportation Officials
Classification) dapat digunakan untuk menentukan kualitas tanah untuk
perencanaan pada timbunan jalan, sub-grade, dan sub-base.
Klasifikasi sistem AASHTO membagi-bagi tanah ke dalam beberapa
kelompok, dari kelompok A-1 sampai A-8 termasuk dengan sub-sub
kelompoknya. Tanah dalam tiap-tiap kelompoknya dievaluasi terhadap
indeks kelompoknya yang dapat dihitung menggunakan rumus-rumus
empiris. Pengujian yang dilakukan adalah analisis saringan dan bata-batas
Atterberg. Sistem klasifikasi AASHTO, dapat dlihat dalam Tabel 2.4 Sistem
Klasifikasi AASHTO.
Indeks kelompok (group index) atau GI digunakan untuk
mengevaluasi lebih lanjut pada pengelompokkan tanah. Indeks kelompok
dapat dihitung dengan persamaan 2.1 berikut:
GI = (F − 35)[0,2 + 0,005(LL − 40)] + 0,01(F − 15)(PI − 10) .... (2.1)
Dengan
GI = indeks kelompok (group index)
F = persen butiran lolos saringan nomor 200 (0,075 mm)
LL = batas cair
PI = indeks plastisitas
18

Tabel 2.4 Sistem Klasifikasi Tanah AASHTO

Material granuler
Klasifikasi Umum
(<35% lolos saringan no. 200)

A-1 A-3 A-2


Klasifikasi
kelompok
A-1-a A-1-b A-2-4 A-2-5 A-2-6 A-2-7

Analisis saringan
(% lolos)
50
2,00 mm (no. 10) - - - - - -
maks
30 50
0,425 mm (no. 40) 51 min - - - -
maks maks
15 25 10 35 35 35
0,075 mm (no. 200) 35 maks
maks maks maks maks maks maks
Sifat fraksi lolos
saringan no. 40
40
Batas cair (LL) - - - 40 maks 41 min 41 min
maks
10
Indeks plastis (PI) 6 maks Np 10 maks 11 min 11 min
maks
Indeks kelompok
0 0 0 4 maks
(GI)
Tipe material yang
Pecahan batu, Pasir Kerikil berlanau atau berlempung dan
pokok pada
kerikil dan pasir halus pasir
umumnya
Penilaian umum
Sangat baik sampai baik
sebagai tanah dasar
(Sumber: Hardiyatmo, 2019)
19

Tabel 2.4 Sistem Klasifikasi AASHTO (lanjutan).

Tanah-tanah lanau-lempung
Klasifikasi Umum
(>35% lolos saringan no. 200)

A-7
Klasifikasi kelompok A-4 A-5 A-7
A-7-5/A-7-6

Analisis saringan (% lolos)

2,00 mm (no. 10) - - - -

0,425 mm (no. 40) - - - -

0,075 mm (no. 200) 36 min 36 min 36 min 36 min

Sifat fraksi lolos saringan no. 40

Batas cair (LL) 40 maks 41 min 40 maks 41 min

Indeks plastis (PI) 10 maks 10 maks 11 min 11 min

Indeks kelompok (GI) 8 maks 12 maks 16 maks 20 maks

Tipe material yang pokok pada


Tanah berlanau Tanah berlempung
umumnya
Penilaian umum sebagai tanah
Sedang sampai buruk
dasar
(Sumber: Hardiyatmo, 2019)
Catatan:
Kelompok A-7 dibagi atas A-7-5 dan A-7-6 bergantung pada batas plastisnya (PL)
Untuk PL > 30, Klasifikasinya A-7-5.
Untuk PL < 30, klasifikasinya A-7-6.
Np = nonplastis
20

2.5 Sifat Fisis Tanah


Sifat-sifat fisis tanah berhubungan erat dengan kelayakan pada banyak
penggunaan tanah. Kekuatan pendukung dan kekokohan, volume penyimpanan air,
dan plastisitas semuanya sangat erat berkaitan dengan kondisi fisis suatu tanah. Hal
ini berlaku pada tanah yang digunakan sebagai bahan struktural dalam
pembangunan pondasi untuk sebuah gedung, bendungan, badan jalan raya maupun
pada sistem pembuangan limbah.
Keadaan alami tanah memiliki beberapa sifat-sifat dasar. Sifat-sifat dasar
tersebut berupa sifat fisis yang berhubungan dengan tampilan dan ciri-ciri umum
dari tanah. Sifat fisis tanah berguna untuk mengetahui jenis tanah tersebut. Untuk
mengetahui sifat-sifat fisis tanah tersebut, ada beberapa ketentuan yang harus
diketahui terlebih dahulu, diantaranya adalah sebagai berikut:
2.5.1 Ukuran Butiran
Menurut (Bowles 1984:45) Ukuran butiran tanah tergantung pada
diameter partikel-partikel tanah yang membentuk masa tanah itu. Ukuran
butiran ditentukan melalui penyaringan sejumlah tanah menggunakan
seperangkat atau set saringan ayakan yang disusun dengan diameter lubang
paling besar di tempatkan paling atas, dan semakin ke bawah makin kecil
hingga PAN. Jumlah berat tanah yang tertahan pada saringan disebut sebagai
salah satu dari ukuran butiran contoh berat tanah tersebut.
Metode yang digunakan untuk menentukan ukuran butiran dari
contoh tanah tersebut adalah metode analisa ayakan atau analisa saringan
dan metode analisa hydrometer.
1. Analisa Ayakan
Menurut (Das 1991:17) Analisa ayakan merupakan proses mengayak
dan menggetarkan contoh tanah melalui satu set ayakan yang memiliki
diameter lubang-lubang ayakan makin kecil secara berurutan. Setelah
beberapa waktu proses mengayak dengan cara digetarkan, timbang berat
tanah yang tertahan pada setiap nomor ayaka. Hasil dari analisa ayakan
tersebut dinyatakan dalam persentase dari berat total contoh tanah tersebut.
21

Meurut (Budi 2011:29) Analisa ayakan adalah metode yang dipakai


untuk menetukan penyebaran butiran tanah yang mempunyai ukuran lebih
besar dari 0.075 mm (ayakan nomor 200 American Society for Testing and
Material, ASTM). Ukuran Ayakan yang umum dipakai untuk menetukan
distribusi butiran tanah adalah metode American Society for Testing and
Materials (ASTM, 1981), British Standar (BS 410: BS 1377, 1975) dan
American Association of State Highway and Transportation Officials
(AASHTO). Ukuran dari ebebrapa standar dilihat pada Tabel 2.5 Diameter
lubang ayakan beberapa standar.

Tabel 2.5 Diameter Lubang Ayakan Beberapa Standar

American Society for Testing and British Standar


AASHTO
Materials, ASTM BS 1377: 1975
Nomor Ukuran Ukuran Nomor Ukuran
ayakan lubang (mm) lubang (mm) ayakan lubang (mm)
No. 4 4.76 4.75
No. 6 3.35
No. 8 2.36 2.36 No. 8 2.075
No. 10 2.00
No. 16 1.18 1.18 No. 16 1.003
No. 20 0.841
No. 30 0.595 0.600 No. 30 0.500
No. 36 0.422
No. 40 0.425
No. 50 0.300 0.300 No. 52 0.295
No. 60 0.250 No. 60 0.251
No. 80 0.180 No. 85 0.178
No. 100 0.150 0.150 No. 100 0.152
No. 140 0.106
No. 170 0.088 0.090
No. 200 0.075 0.075 No. 200 0.076
(Sumber: Budi, 2011)
22

2. Analisa Hydrometer
Menurut (Budi 2011:38) Analisa hydrometer merupakan cara tidak
langsung yang digunakan agar penyebaran butiran tanah yang mempunyai
ukuran lebih kecil dari 0.075 mm dapat ditentukan. Metode yang digunakan
didasarkan pada perumusan Stokes, yang mengkolerasikan diameter-
diameter kecepatan penurunan butiran tanah didalam cairan.
Menurut (Das 1991:18) Analisa hydrometer didasarkan pada prisip
sedimentasi (pengendapan) butiran-butiran tanah dalam air. Jika suatu
contoh tanah yang dilarutkan dalam cairan, kecepatan mengendap partikel-
partikel tanah berbeda-beda tergantung pada berat, bentuk dan ukurannya.
Semua partikel tanah tersebut berbentuk bola (bulat) dan kecepatan
mengendap partikel-partikel tersebut dinyatakan dalam hokum Stokes pada
persamaan 2.2 berikut, yaitu:
γs − γw
v= D2 ... (2.2)
18ɳ

di mana :
v = kecepatan pengendapan
𝛾𝑠 = berat volume partikel tanah
𝛾𝑤 = berat volume air
ɳ = kekentalan air
D = diameter partikel tanah

2.5.2 Batas-Batas Atterberg


Batas kadar air tanah berbutir halus dari satu keadaan disebut sebagai
batas-batas kekentalan/konsistensi. Menurut (Hardiyatmo 2019:47)
Konsistensi bergantung pada gaya tarik antara partikel mineral lempung.
Suatu studi oleh Atterberg (1911) (dikutip dalam Hardiyatmo (2017:47),
yang memberikan cara untuk penggambaran batasan-batasan konsistensi
tanah berbutir halus dengan mempertimbangkan kandungan kadar air tanah.
23

Menurut (Bowles 1984:39) Batas-batas konsistensi tanah yang


didasarkan pada kadar air terdapat lima keadaan konsistensi tanah yang di
kenal sebagai batas-batas Atterberg, yaitu batas cair (liquid limit), batas
plastis (plastic limit), batas susut (shrinkage limit), batas lengket (sticky
limit), dan batas kohesi (cohesion limit). Batas cair, batas plastis, dan batas
susut telah diketahui oleh seluruh dunia ini dan pada umumnya batas lengket
dan batas kohesi tidak digunakan oleh insinyur geoteknik, tetapi batas
lengket telah dipakai di Eropa.

(Sumber: Hardiyatmo, 2019)


Gambar 2.2 Batas-batas Konsistensi Tanah (Aterrberg)

1. Batas Cair (Liquid Limit)


Menurut (Hardiyatmo 2019:48) Batas Cair (LL), ditentukan sebagai
kadar air suatu tanah pada batas antara keadaan plastis dan keadaan cair,
yaitu batas atas dari daerah plastis. Pada Gambar 2.3 contoh tanah
dimasukkan dalam cawan, tinggi contoh dalam cawan kurang lebih 8 mm.
Alat pembuat alur atau grooving tool, dikerukkan tepat di tengah-tengah alat
cassagrande hingga menyentuh dasar cassagrande hingga membentuk jalur.
Kemudian, cassagrande diketuk-ketukkan pada landasan menggunakan alat
penggetar dengan tinggi jatuh sebesar 1 cm.
24

(Sumber: Hardiyatmo, 2019)


Gambar 2.3 Skema Alat Uji Batas Cair.

Persentase kadar air yang diperlukan untuk menutup celah sepanjang


12,7 mm pada daras cawan, sesudah 25 pukulan didefinisikan sebagai batas
cair tanah tersebut. Karna sulitnya mengatur kadar air pada waktu menutup
pada 25 pukulan, percobaan harus dilakukan beberapa kali, yaitu dengan
jumlah pukulan antara 15 – 35 pukulan dengan kadar air yang berbeda.
Kemudian, hubungan kadar air dan jumlah pukulan digambarkan dalam
grafiksemi logaritmik untuk menentukan kadar air pada 25 kali pukulan
(Gambar 2.4).

(Sumber: Hardiyatmo, 2019)


Gambar 2.4 Kurva Untuk Menentukan Batas Cair Lempung.
25

Kemiringan dari garis pada kurva didefinisikan sebagai indeks aliran


(flow index), dengan rumus 2.3 sebagai berikut:
w −w
1 2
IF = log(N ... (2.3)
1 / N 2)

dimana :
IF = indeks aliran
𝑤1 = kadar air (%) pada 𝑁1 pukulan
𝑤2 = kadar air (%) pada 𝑁2 pukulan
Catatan: nilai 𝑤1 dan 𝑤2 dapat ditukarkan untuk memperoleh nilai
positifnya, walaupun kemiringan kurvanya negatif.

Dari banyak uji batas-cair, Waterways Experiment Station di


Vicsburg, Mississipi (1949), mengusulkan rumus 2.4 batas cair pada sebagai
berikut:
N tanβ
LL = WN [25] ... (2.4)

dimana :
LL = batas cair
WN = kadar air
N = jumlah pukulan pada kadar air
tanβ = 0,121 (tidak semua jenis tanah mempunyai harga
tanβ = 0,121)
2. Batas Plastis (Plastic Limit)
Menurut (Hardiyatmo 2019:50) Batas Plastis (PL), ditentukan
sebagai kadar air antara keadaan semi padat dan daerah plastis, yaitu
persentase kadar air dimana tanah dengan diameter silinder 3,2 mm mulai
retak-retak ketika digulung.
Menurut (Das 1991:47) Batas Plastis (PL) ditentukan sebagai kadar
air dan dinyatakan dalam persen (%), apabila tanah digulung sampai
berukuran 1/8 in (3,2 mm) terjadi retakan. Batas plastis merupakan batas
terendah dari tingkat keplastisan suatu tanah.
26

3. Batas Susut (Shrinkage Limit)


Menurut (Hardiyatmo 2019:51) Batas Susut (SL), merupakan kadar
air pada kedudukan antara daerah padat dan semi padat, dimana
pengurangan kadar air selanjutnya tidak mengakibatkan perubahan berat isi
tanah. Dinyatakan dalam rumus:
Menurut (Das 1991:47) Batas Susut (shrinkage limit) merupakan
berhentinya perubahan suatu volume suatu massa tanah. Suatu tanah akan
terjadi penyusutan apabila air yang terkandung dalam tanah secara perlahan-
lahan hilang. Dimana hilangnya air terjadi secara terus menerus, tanah akan
mencapai suatu fase keseimbangan dimana bertambahnya kehilangan air
tidak akan menyebabkan perubahan volume pada massa tanah. Kadar air
dinyatakan dalam persen (%).
Menurut (Bowles 1984:39) apabila semakin kecil suatu batas susut,
maka tanah akan lebih mudah mengalami perubahan volume, yaitu jumlah
air yang dibutuhkan untuk munyusut semakin mengecil.
Batas susut dapat dihitung dengan pendekatan rumus 2.5 sebagai
berikut:
(m1 − m2) (v1 − v2 )γw
SL = {
m2
− m2
} ... (2.5)

dimana :
SL = batas susut
m1 = berat tanah basah dalam cawan percobaan (g)
m2 = berat tanah kering oven (g)
V1 = volume tanah basah dalam cawan (cm3)
V2 = volume tanah kering oven (cm3)
γw = baerat volume air (g/cm3)
4. Indeks Plastisitas (Plasticity Index)
Menurut (Das 1991; Hardiyatmo 2019) Indeks Plastisitas (PI) adalah
perbedaan antara batas cair dan batas plastis suatu tanah. Indeks Plastisitas
(PI) dapat dihitung dengan pendekatan rumus 2.6 sebagai berikut:
PI = LL − PL ... (2.6)
27

dimana:
PI = indeks Plastisitas
LL = batas cair
PL = batas plastis
PI merupakan interval kadar air dimana tanah masih bersifat plastis.
Karena itu, indeks plasitas menunjukkan sifat keplastisan tanah. Pada Tabel
2.6 Atterberg memberikan batas-batas mengenai indeks, sifat, macam tanah
dan kohesi.

Tabel 2.6 Macam Tanah dan Indeks Plastisitasnya

PI Sifat Macam Tanah Kohesi

0 Non plastis Pasir Non kohesi

<7 Plastisitas rendah Lanau Kohesif sebagian

7 - 17 Plastisitas sedang Lempung berlanau Kohesif

> 17 Plastisitas tinggi Lempung Kohesif


(Sumber: Hardiyatmo, 2019)

2.5.3 Berat Jenis Tanah


Menurut (Hardiyatmo 2019) Berat Jenis (Gs) didefinisikan sebagai
perbandingan antar berat volume butir padat tanah (γ s) dan berat volume air
(γw) pada suhu tertentu atau temperature 4°C. Berat butir padat tanah (γ s)
merupakan perbandingan antara volume butiran padat (Vs) dan massa butir
padat (Ws). Berat jenis tanah dapat dihitung dengan rumus 2.7 sebagai
berikut:
γ Ws
Gs = γ s = ... (2.7)
w Vs × γw

dimana:
Gs = berat jenis tanah
𝛾𝑠 = berat volume butiran padat
𝛾𝑤 = berat volume air
𝑉𝑠 = volume butiran padat
28

Berat jenis (Gs) atau berat spesifik tidak berdimensi dan berkisar
antara 2,65 - 2,75. Nilai-nilai berat jenis tanah dari berbagai macam jenis
tanah dapat dilihat pada Tabel 2.7.

Tabel 2.7 Berat Jenis Tanah (Specific Gravity)

Macam Tanah Berat Jenis (Gs)

Kerikil 2,65 - 2,68

Pasir 2,65 - 2,69

Lanau Anorganik 2,62 - 2,70

Lempung Organik 2,58 - 2,65

Lempung Anorganik 2,68 - 2,75

Humus 1,37

Gambut 1,25 - 1,80


(Sumber: Hardiyatmo, 2017)

2.5.4 Berat Volume Tanah dan Hubungan-Hubungannya


Menurut (Hardiyatmo 2019:3) Segumpal tanah terdapat dua atau tiga
bagian. Pada tanah yang jenuh terdiri dari dua bagian yaitu bagian padat atau
butiran dan air pori. Pada tanah yang kering terdapat juga dua bagian yaitu
butir-butir tanah dan pori-pori udara. Tanah dalam keadaan tidak jenuh
terdapat tiga bagian yaitu pori-pori udara, air pori dan bagian padat tanah
(butiran). Pada Gambar 2.5 digambarkan bagian-bagian tanah dalam
bentuk diagram fase.
29

(Sumber: Hardiyatmo, 2019)


Gambar 2.5 Diagram Fase Tanah

Gambar 2.5 (a) menunjukan elemen tanah yang mempunyai volume


(V) dan berat total (W), sedangkan Gambar 2.5 (b) menunjukan hubungan
berat dengan volumenya.
Dari Gambar 2.5 didapat persamaan 2.8, 2.9 dan 2.10 sebagai berikut:
W = Ws + Ww ... (2.8)
Dan
V = Vs + Vw + Va ... (2.9)
Vv = Vw + Va ... (2.10)
dimana :
Ww = berat air
Ws = berat butiran padat
Vw = volume air
Vs = volume butiran padat
Va = volume udara
Berat Udara (Wa) dianggap sama dengan nol. Hubungan-hubungan
volume yang sering pakai pada mekanika tanah adalah angka pori (e),
porositas (n), kadar air (w) dan derajat kejenuhan (S).
1. Kadar Air (w) di definisikan sebagai perbandingan antara berat air
(Ww) dan berat butiran padat (Ws) atau isi tanah dari volume tanah yang
30

diselidiki. Kadar air dinyatakan dalam persen, dirumuskan sebagai


persamaan 2.11 berikut:
Ww
w = Ws × 100% ... (2.11)

dimana:
w = Kadar air
Ww = Berat air
Ws = Berat tanah kering
2. Angka Pori (e) didefinisikan sebagai perbandingan antara volume ruang
kosong atau volume rongga (Vv) dan volume butir padat (Vs). Semakin
besar nilai angka pori maka daya dukung tanah semakin kecil. Angka pori
dapat dihitung dengan rumus 2.12 sebagai berikut:
V
e = Vv ... (2.12)
s

dimana:
e = Angka pori
Vv = Volume pori
Vs = Volume butir padat
3. Porositas (n) didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah volume
ruang kosong atau volume rongga (Vs) dengan volume keseluruhan
massa tanah atau volume total (V). Porositas dapat dihitung dengan
rumus 2.13 sebagai berikut:
Vv
n= × 100 % ... (2.13)
V

dimana:
n = porositas
Vv = volume rongga
V = volume keseluruhan massa tanah
4. Derajat Kejenuhan (S) didefinisikan sebagai perbandingan antara
volume air (Vw) dan volume pori atau volume total rongga pori (Vv).
Nilai derajat kejenuhan dapat dihitung dengan rumus 2.14 sebagai
berikut:
31

V
S(%) = Vw × 100 % ... (2.14)
v

dimana:
S = derajat kejenuhan (%)
Vv = volume pori
Vw = volume air
Derajat kejenuhan dinyatakan dalam presentase dan nilainya berkisar
antara 0% sampai 100% atau 0 sampai 1. Bila tanah dalam keadaan jenuh
maka nilai derajat kejenuhannya adalah 1 (100%), jika tanah dalam keadaan
kering maka nilai derajat kejenuhannya adalah 0 (0%). Pada Tabel 2.8
menunjukan berbagai macam derajat kejenuhan (S) pada kondisi tanah.

Tabel 2.8 Derajat Kejenuhan Dan Kondisi Tanah

Keadaan Tanah Derajat Kejenuhan (S)

Tanah Kering 0

Tanah Agak Lembab > 0 - 0,25

Tanah Lembab 0,26 - 0,50

Tanah Sangat Lembab 0,51 - 0,75

Tanah Basah 0,76 - 0,99

Tanah Jenuh Air 1


(Sumber: Hardiyatmo, 2019)

2.6 Sifat Mekanis Tanah


Sifat mekanis tanah merupakan sifat-sifat suatu tanah yang mengalami
perubahan setelah diberikan pembebanan atau gaya-gaya tambahan dengan tujuan
untuk memperbaiki sifat-sifat tanah tersebut.
2.6.1 Pemadatan Tanah
1. Prinsip Pemadatan Tanah
Menurut (Hardiyatmo 2019:79) Tanah berfungsi sebagai bahan
pendukung pondasi bawah suatu bangunan, dan juga digunakan sebagai
bahan timbunan seperti: tanggul, bendungan dan badan jalan. Pemadatan
32

tanah dilakukan sebagai perbaikan untuk mendukung bangunan diatasnya


atau sebagai bahan timbunan. Maksud pemadatan tanah antara lain:
a. Mempertinggi Kuat Geser Tanah
b. Mengurangi sifat mudah mampat (kompresibilitas)
c. Mengurangi permeabilitas
d. Mengurangi perubahan volume akibat perubahan kadar air, dan lain-
lainnya.
Tingkat kepadatan tanah dapat diukur dari nilai massa volume
keringnya (γd). Massa volume kering tidak dapat berubah oleh kenaikan
kadar air. Dengan demikian, tanah yagn dipadatkan dilapangan dan berubah
kadar airnya (dikarenakan hujan) maka berat volume keringtetap tidak
berubah, sepanjang volume total tanah tetap.
Pemadatan disebut juga dengan peristiwa bertambahnya berat
volume kering oleh beban dinamis. Akibat berkurangnya rongga udara,
butir-butir tanah merapat satu sama lain. Ada perbedaan yang mendasar
antara peristiwa pemadatan tanah dan peristiwa konsolidasi tanah.
Konsolidasi merupakan pengurangan volume pori yang berakibat
bertambahnya massa volume kering akibat beban statis yang terjadi dalam
waktu tertentu. Contohnya berkurangnya volume pori tanah jenuh akibat
massa tanah timbunan atau karena beban struktur di atasnya. Dalam kohesi
yang jenuh, proses konsolidasi diikuti oleh pengurangan volume pori dan
kandungan air dalam tanah yang berakibat pengurangan volume tanah
tersebut. Pada pemadatan dengan beban dinamis, proses bertambahnya
beerat volume kiring tanah sebagai akibat pemadatan partikel yang diikuti
oleh pengurangan volume udara dengan volume air tetap tidak berubah. Saat
air ditambahkan pada pemadatan, air akan melunakkan partikel-partikel
tanah, partikel-partikel tanah menggelincir satu sama lain dan bergerak pada
posisi yang lebih rapat.
Prinsip-prinsip pemadatan tanah saat dilakukan uji pemadatan di
laboratorium, diteragnkan dalam Gambar 2.6 (Johnson dan Sallbreg, 1960).
Pada awal pemadatan dengan penambahan kadar air dapat membuat massa
33

volume kering bertambah. Pada kadar air nol (w = 0) massa volume kering
(γd) sama dengan ) berat volume tanah basah (γb).

(Sumber: Hardiyatmo, 2019)


Gambar 2.6 Prinsip-prinsip Pemadatan (Johnson dan Sallberg, 1960)

Ketika kadar air ditambahkan dengan cara pemadatan yang sama,


massa butiran tanah padat per satuan volume (γd) akan bertambah. Misalnya
pada saat kadar air sama dengan w1, maka berat volume basah (γb) menjadi:
γb = γ2 ... (2.15)
Massa volume kering (γd) pada kadar air tersebut:
γd(w = w1 ) = γd(w = 0) + Δγd ... (2.16)
Pada kadar air lebih besar dari kadar air tertentu, yaitu w = w2 (saat
kadar air optimum), dengan naiknya kadar air dapat mengurangi massa
volume keringnya. Hal ini dikarenakan air mengisi rongga pori-pori yang
sebelumnya di isi oleh butiran tanah padat. Kadar air optimum (wopt)
merupakan kondisi kadar air saat berat bolume kering mencapai maksimum
(γdmaks).
34

2. Uji Pemadatan Tanah


Pengujian pemadatan dilakukan untuk menentukan suatu hubungan
berat volume kering tanah dengan kadar air agar memenuhi syarat
kepadatan, terdapat satu nilai kadar air optimum tertentu untuk mencapai
berat volume kering maksimumnya. Hubungan kadar air (w), berat volume
kering (γd) dengan berat volume basah (γb), dinyatakan pada rumus 2.16
sebagai berikut:
γb
γd = ... (2.17)
1+w

Berat volume kering setelah dilakukan pemadatan tergantung pada


pada kadar air, jenis tanah dan usaha yang diberikan oleh alat penumbuknya.
Karakteristik kepadatan tanah dapat dinilai dari pengujian standar yang
dilakukan dilaboratorium yang disebut sebagai uji proctor. Prinsip
pengujiannya sebagai berikut:
Alat pemadat berupa silinder mould yang mempunyai volume 9,44 x
10-4 m3 pada Gambar 2.7. Tanah didalam cetakan mould dipadatkan dengan
alat penumbuk yang memiliki berat 2,5 kg dengan tinggi jatuh penumbuk
sebesar 30,5 cm (1 ft). Pemadatan dilakukan sampai 3 lapisan dengan
penumbukkan tiap lapisan sebanyak 25 kali pukulan. Pada uji Proctor
modifikasi (modified proctor), cetakan mould yang dipakai masih sama,
yang berbeda adalah penumbuknya diganti dengan alat penumbuk yang
berat 4,54 kg dengan tinggi jatuh alat penumbuk sebesar 45,72 cm dan
dilakukan penumbukan sebanyak 5 lapisan. Pada uji pemadatan, dilakukan
minimal 5 kali percobaan dengan kadar air pada tiap percobaan divariasikan.
Kemudian digambarkan suatu grafik hubungan berat volume kering dengan
kadar airnya seperti pada Gambar 2.8. Dari pengujian pemadatan tanah,
dihasilkan kurva yang memperlihatkan nilai kadar air optimum (wopt)
mencapai kepadatan kering maksimum (γdmaks).
35

(Sumber: Hardiyatmo, 2019)


Gambar 2.7 Alat Uji Standar Proctor

(Sumber: Hardiyatmo, 2019)


Gambar 2.8 Kurva Hubungan Kadar Air Dan Berat Volume Kering
36

2.6.2 California Bearing Ratio (CBR)


California Bearing Ratio (CBR) merupakan pengujian penetrasi
yang dilakukan untuk mendapatkan kekuatan tanah pada bagian base-
courses dan sub-grade pada suatu konstruksi (Juansyah 2016). Menurut
(Budi 2011:63) Umumnya suatu konstruksi jalan, lapisan tanah yang
digunakan sebagai sub-grade ataupun sub-base membutuhkan proses
pekerjaan pemadatan untuk mampu menerima beban rencana. Dasar
pengujian CBR adalah dengan membandingkan besarnya beban (gaya) yang
diperlukan untuk menekan torak dengan luas penampang 3 inch 2 kedalam
lapisan perkerasan sedalam 1 inchi (2,54 mm) atau 2 inchi (5,08 mm) dengan
beban standar. Oleh sebab itu, kekokohan lapisan perkerasan dinyatakan
dalam “kekokohan relative” atau persen kekokohan. Beban untuk penetrasi
0,1'' sebesar 3000 lbs (pound) atau sekitar 1350 kg, sedangkan untuk beban
penetrasi 0,2'' sebesar 4500 lbs (pound) atau sekitar 2025 kg.
Hasil pengujian bisa didapatkan dengan mengukur besarnya beban
pada penetrasi tertentu. Besarnya penetrasi sebagian besar menentukan CBR
adalah 0,1” dan 0,2”. Dari kedua nilai perhitungan digunakan nilai terbesar
dihitung dengan persamaan 2.17 dan 2.18 sebagai berikut:
- Penetrasi 0,1” (0,254 cm)
p1 (psi)
CBR (%) = 1000 (psi) × 100 % ... (2.18)

- Penetrasi 0,2” (0,508 cm)


p2 (psi)
CBR (%) = 1500 (psi) × 100 % ... (2.19)
37

2.7 Timbunan
Timbunan adalah pekerjaan yang bertujuan untuk meningkatkan elevasi
tanah dasar (sub-grade) agar permukaan tanah menjadi datar atau rata. (Prasetio
and Rismalinda 2019). Menurut (Spesifikasi Umum Bina Marga 2018) Timbunan
merupakan pekerjaan yang mencangkup pengadaan, pengangkutan, penghamparan
dan pemadatan tanah. Untuk penimbunan kembali pada umumnya yang diperlukan
untuk membentuk ukuran timbunan sesuai dengan elevasi penampang melintang,
kelandaian dan garis yang disetujui dan disyaratkan oleh Pengawas Pekerjaan.
Pekerjaan penimbunuan yang mencangkup mengenai pekerjaan timbunan
ini terbagi menjadi 4 jenis yaitu Timbunan Biasa, Timbunan Pilihan, Timbunan
Pilian Berbutir di atas Tanah Rawa dan Timbunan Kembali Berbutir (Granular
backfill).
1. Timbunan Biasa
Timbunan Biasa merupakan pekerjaan urungan atau penimbunan yang
dilakukan untuk mencapai elevasi akhir pada lapisan subgrade yang disyaratkan
dalam gambar perencanaan.
2. Timbunan Pilihan
Timbunan Pilihan merupakan pekerjaan yang dilakukan untuk meningkatkan
kapasitas daya dukung tanah dasar atau DDT pada lapisan penompang dan jika
diperlukan di daerah galian. Timbunan pilihan juga dapat digunakan untuk
pekerjaan stabilisasi lereng yang curam atau pelebaran timbunan dikarenakan
keterbatasan tempat.
3. Timbunan Pilihan Berbutir
Timbunan Pilihan Berbutir ini digunakan di atas tanah berair atau daerah yang
berawa dan lokasi-lokasi yang serupa. Pada timbunan ini bahan timbunan biasa
dan timbunan pilihan tidak dapat dipadatkan dengan memuaskan
4. Timbunan Kembali Berbutir (Granular Backfill)
Timbuanan Kembali Berbutir merukan pekerjaan penimbunan kembali di daerah
yang terpengaruh dari struktur seperti abutmen dan dinding penahan tanah serta
daerah kritis yang memiliki keterbatasan dengan alat pemadatan.
38

2.8 Syarat Bahan Material Timbunan


Apabila kita mengacu pada spesifikasi yang ditetapkan (Buku Direktorat
JEnderal Bina Marga, Spesifikasi Umum 2018) Syarat untuk bahan timbunan dapat
dilihat pada Divisi 3 Pekerjaan tanah dan geosintetik, Seksi 3.2 untuk Timbunan,
yaitu: (Spesifikasi Umum Bina Marga 2018)
1. Timbunan Biasa
a. Timbunan yang diklasifikasikan sebagai timbunan biasa harus terdiri dari
bahan galian tanah atau galian batu yang disetujui oleh Pengawas Pekerjaan
sebagai bahan yang memenuhi syarat untuk digunakan dalam pekerjaan
pekerjaan permanen.
b. Bahan yang dipilih sebaiknya tidak tidak termasuk tanah yang berplasitas
tinggi, yang diklasifikasikan sebagai A-7-6 menurut SNI-03-6797-2002
(AASHTO M145-91(2012)) atau sebagai CH menurut “Unified atau
Casagrande Soil Classification System”. Jika tanah yang digunakan
berplastisitas tinggi, bahan tersebut harus digunakan hanya pada
penimbunan kembali yang tidak memerlukan kekuatan geser atau daya
dukung yang tinggi dan pada bagian dasar dari timbunan. Tanah dengan
plastis seperti itu tidak boleh digunakan pada 30 cm lapisan langsung
dibawah bagian dasar perkerasan atau tanah dasar bahu jalan. Lapisan
timbunan ini bila di uji dengan SNI 1744-2012 harus memiliki nilai CBR
tidak kurang dari 6 % (CBR setelah rendaman 4 hari bila dipadatkan 100%
kepadatan kering maksimum (MDD) seperti yang ditentukan oleh SNI 1742-
2008.
c. Tanah sangat ekspansif yang memiliki nilai aktif lebih besar dari 1.25 atau
derajat pengembangan yang diklasifikasikan oleh AASHTO T258-81
(2013) sebagai “very high” atau “extra high” tidak boleh digunakan sebagai
bahan timbunan. Nilai aktif adalah perbandingan antara Indeks Plastisitas /
PI dan persentase Kadar Lempung.
d. Bahan untuk timbunan biasa tidak boleh dari bahan galian tanah yang
mempunyai sifat-sifat yaitu tanah yang mengandung organic seperti jenis
39

tanah OL, OH dan Pt dalam system USCS serta mengandung daun-daunan,


rumput-rumputan dan sampah.
2. Timbunan Pilihan
a. Timbunan hanya boleh diklasifikasi apabila digunakan pada loaksi atau
untuk maksud dimana bahan-bahan ini telah ditentukan atau disetujui secara
tertulis oleh Pengawas Pekerjaan.
b. Klasifikasi timbunan pilihan harus terdiri dari bahan tanah atau batu yang
memenuhi semua ketentuan diatas untuk timbunan biasa dan sebagai
tambahan harus memiliki sifat-sifat tertentu yang tergantung dari maksud
penggunaanya seperti diperintahkan atau disetujui oleh Pengawas
Pekerjaan. Pengujian timbunan pilihan ini harus sesuai dengan SNI 1744-
2012. Memiliki nilai CBR paling sedikit 10 % setelah dilakukan 4 hari
perendaman yang dipadatkan sampai 100% kepadatan kering maksimum
sesuai dengan SNI 1742-2008.
c. Bahan timbunan yang digunakan pada lereng atau pekerjaan stabilitasi
timbunan atau pada situasi lainnya yang memerlukan kuat geser yang cukup,
bilamana dilaksanakan dengan pemadatan kering normal, maka bahan
timbunan pilihan berupa lempung pasiran atau berplastisitas rendah maupun
batu atau kerikil lempungan bergradasi baik. Jenis bahan tergantung pada
kecuraman dan lereng yang akan dibangun atau di timbun atau pada tekanan
yang akan dipikul serta disetujui dan diterima oleh Pengawas Pekerjaan.
3. Timbunan Pilihan Berbutir di atas Tanah Rawa
Bahan untuk timbunan pilihan di atas tanah berawa dan keadaan tanah dimana
penghamparan dalam kondisi jenuh atau banjir tidak dapat dihindarkan haruslah
batu, kerikil atau pasir, atau bahan berbutir bersih lainnya dengan nilai Indeks
Plastisitas maksimum atau plasticity index sebesar 6%
4. Timbunan Kembali Berbutir (Granular Back Fill)
Bahan-bahan timbunan berbutir di daerah oprit terdiri dari batu, kerikil pecah,
pasir alam atau campuran yang baik dari campuran bahan-bahan ini dengan
bergradasi bukan menerus dan mempunyai nilai Indeks Plastisitas maksimum
40

sebesar 10%. Gradasi timbunan berbutir daerah oprit ditunjukan sebagai


berikut:
Tabel 2.9 Gradasi Penimbunan Kembali Berbutir
Ukuran Ayakan
Persen Berat Yang Lolos
ASTM (mm)
4" 100 100
No.4 4.75 25 - 90
No.200 0.075 0 - 10
(Sumber: Spesifikasi Umum 2018 Bina Marga)

Anda mungkin juga menyukai