Anda di halaman 1dari 39

1

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanah
2.1.1 Defenisi Tanah
Tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-
mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan
dari bahan-bahan organik yang telah melapuk (berpartikel padat) disertai dengan
zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong diantara partikel- partikel padat
tersebut (Braja M Das, 1988). Tanah terbentuk dari proses pelapukan batuan bumi
melalui proses mekanik maupun kimia kemudian tersebar ke tempat lain dengan
bantuan angin, air maupun gravitasi bumi. Tanah berguna sebagai bahan
bangunan pada berbagai macam pekerjaan teknik sipil, disamping itu tanah
berfungsi juga sebagai pendukung pondasi dari bangunan.

2.1.2 Klasifikasi Tanah


Klasifikasi tanah dibutuhkan guna pengamatan lapangan dan pengujian lapangan
sederhana. Untuk memperoleh hasil klasifikasi yang objektif, berguna untuk
mendapatkan gambaran sepintas mengenai survei, perencanaan, dan pelaksanaan
berbagai pekerjaan yang berhubungan dengan tanah. Secara garis besar tanah
terdiri dari dua golongan utama yaitu tanah berbutir kasar dan tanah berbutir
halus. Berdasarkan keragaman gradasinya, dapat digolongkan menjadi tiga yaitu,
gradasi senjang (poor graded) dimana ukuran butiran tidak merata, gradasi
seragam (uniform graded) ukuran butiran relatif sama, dan gradasi baik (well
greded) ukuran butiran yang saling mengisi. Tanah dikatakan baik jika memiliki
gradasi yang baik, dimana partikel tanah ada mengisi dan menutup rongga
sehingga memiliki kontak yang lebih banyak dan bai kantar partikel.
Tanah berbutir kasar perbedaan yang lebih rinci dibuat menurut ukuran partikel.
Pasir (sand dilambangkan S) apabila diameter butiran berkisar 2-0,6 mm adalah
pasir kasar, diameter antara 0,6-0,2 mm adalah pasir sedang, dan pasir halus jika
2

diameter berkisar 0,2-0,06 mm. Kerikil (gravel dilambangkan G) yang


berdiameter >2 mm. Sedangkan tanah berbutir halus berupa tanah lempung (clay
dilambangkan dengan C) dengan ukuran butiran <0,002 mm dan lanau (silt
dilambangkan M) berdiameter sekitar 0,06-0,002 mm (Das,1995).
Tabel 2.1 Batasan Ukuran Kategori Tanah
Ukuran Butiran (mm)
Nama Golongan
Kerikil Pasir Lanau Lempung
Massachusetts
Institute of >2 2-0,06 0,06-0,002 <0,002
Technology (MIT)
U.S. Department of
>2 2-0,06 0,06-0,002 <0,002
Agriculture (USDA)
American Association
of State Highway and
76,2-2 2-0,06 0,06-0,002 <0,002
Trasnportation
Officials (AASHTO)
Unified Soil
Classification System 76,2-4,75 4,75-0,075 Halus <0,075
(USCS)
(Sumber: Das, 1995)

Klasifikasi tanah berdasarkan kerekatannya digolongkan menjadi dua bagian,


yaitu tanah kohesif (tanah lempung) dan tanah non-kohesif (tanah berbutir).
Tanah kohesif merupakan tanah memiliki sifat kerekatan antar butiran seperti
tanah lempung. Tanah lempung terdiri dari partikel mikroskopis dan
submikroskopis (hanya dapat dilihat dengan mikroskop) berupa lempengan-
lempengan datar dan partikel dari mika, mineral lempung, dan mineral halus
lainnya (Pratikso, 2017). Tanah non-kohesif adalah tanah yang tidak mempunyai
atau sedikit sekali kerekatan antar butiran atau hampir tidak mengandung lempung
seperti pasir.

2.1.3 Penyelidikan Tanah


Secara umum maksud penyelidikan tanah ini adalah untuk mengetahui kondisi
dan karateristik/sifat tanah baik secara fisik maupun secara mekanik dari lokasi
dimana pondasi akan didirikan. Adapun tujuan penyelidikan tanah ini untuk
3

mendapatkan data-data parameter tanah yang diperlukan dalam perhitungan daya


dukung pondasi. Dengan diperolehnya data-data tersebut diharapkan dapat
menjadi acuan perencanaan pondasi yang aman dan optimal ditinjau dari segi
teknis maupun ekonomis. Penyelidikan tanah di bagi menjadi dua jenis yaitu:
1. Penyelidikan tanah di lapangan (in situ test)
Jenis penyelidikan ini di lakukan langsung di lapangan menggunakan alat dan
mesin sesuai dengan peneyelidikan yang dilakukan. Seperti: pengeboran
(hand boaring or machine boring), sondir (Cone Penetometer Test), SPT
(Standard Penetration Test), sand cone test dan Dynamic Cone Penetometer.
2. Penyelidikan tanah di laboratorium (laboratory test)
Jenis penyelidikan ini dilakukan di dalam ruangan laboratorium tanah dengan
pemakaian alat yang sesuai dengan pengujian. Jenis pengujian yang di
laksanakan untuk mengetahui sifat fisik tanah dan sifat teknis tanah adalah
sebagai berikut:
a. Sifat fisik tanah (index properties):
1) Pengujian konsistensi atterberg (Atterberg limit test)
2) Pengujian kadar air tanah (moisture content test)
3) Pengujian berat jenis tanah (spesific gravity test)
4) Pengujian berat isi tanah (bulk density test)
5) Pengujian analisis saringan (shieve analysis test)
b. Sifat teknis tanah (engineering properties)
1) Pengujian konsilidasi (consolidation test)
2) Pengujian triaksial UU (triaxial test UU)
3) Pengujian sudut geser langsung (direct shear test)

2.1.4 Standard Penetration Test (SPT)


Standar tentang cara uji penetrasi lapangan dengan Standard Penetration Test
(SPT) di Indonesia tertulis dalam SNI 4153-2008, yang merupakan revisi dari SNI
03-4153-1996, yang mengacu pada ASTM D 1586-84 “Standard penetration test
and split barrel sampling of soils”. Pengujian Standard Penetration Test (SPT)
dilakukan setiap interval kedalaman pemboran 2 meter. Tabung alat uji harus
4

mempunyai ukuran OD 2 inci, ID 1 3/8 inci dan panjang 24 inci dengan tipe split
spoon sample. Nilai SPT atau N - SPT diperoleh dengan cara, sebagai berikut:
Tahap pertama, tabung belah standar dipukul hingga sedalam 15,24 cm (6 inci)
pukulan ini di sebut dengan N1, hasil dari pemukulan ini tidak di perhitungkan
karena dianggap di tanah yang terganggu (disturbed sample) dan kotoran sisa
pengeboran. Kemudian dilanjutkan dengan pemukulan tahap kedua sedalam 30,48
cm (12 inci) kemudian disebut dengan N2. Selanjutnya dilakukan pemukulan pada
tahap ke 3 sedalam 45,72 cm (12 inci) yang disebut dengan N 3. Jumlah pukulan
pada tahap kedua (N2) dan tahap ke tiga (N3) ini di definisikan sebagai nilai (N).
Pengujian yang lebih baik dilakukan dengan menghitung pukulan pada tiap-tiap
penembusan sedalam 7,62 cm (3 inci) dengan cara ini, kedalaman sembarang jenis
tanah di dasar lubang bor dapat ditaksir, dan elevasi dimana gangguan terjadi
dalam usaha menembus lapisan yang keras seperti batu dapat dicatat. Pada kasus-
kasus yang umum, pengujian Standard Penetration Test dilakukan pada tiap-tiap
1,5 meter atau paling sedikit pada tiap-tiap pergantian jenis lapisan tanah di
sepanjang kedalaman lubang bornya. Hasil pengujian pengeboran ini dituangkan
dalam bore log.

2.1.5 Parameter Tanah


Parameter tanah merupakan acuan atau indikator untuk mengetahui proses
perubahan yang terjadi pada tanah akibat sifat fisik dan jenis tanah. Berikut
parameter tanah:
1. Berat Volume Lembab atau Basah (γb)
Berat volume lambab atau basah (γ b), adalah perbandingan antara berat butiran
tanah termasuk air dan udara (W), dengan volume total tanah (V) (lihat
Persamaan 2.1).
W
γ b= (2.1)
V

2. Berat Volume Jenuh Air (γsat)


Berat volume jenuh air (γsat), (S=100%) (lihat Persamaan 2.2).
5

γ w (G s+ e)
γ sat = (2.2)
1+e
3. Modulus Young
Nilai modulus young menunjukkan besarnya nilai elastisitas tanah yang
merupakan perbandingan antara tegangan yang terjadi terhadap regangan. Nilai
ini bisa didapatkan dari triaxial test. Umumnya modulus elastisitas (E)
ditentukan dari uji triaksial kondisi undrained, dan nilai E ditentukan dari
pendekatan kemiringan kurva tegangan-regangan yang diambil pada setengah
dari beban ultimit aksial. Nilai Modulus elastisitas (E s) secara empiris dapat
ditentukan dari jenis tanah dan data sondir seperti terlihat pada Tabel 2.2..
Tabel 2.2 Perkiraan Modulus Elastis
Macam Tanah E (kN/m2)
LEMPUNG
Sangat Lunak 300-3000
Lunak 2000-4000
Sedang 4500-5000
Keras 7000-20000
Berpasir 30000-42500
PASIR
Berlanau 5000-20000
Tidak Padat 10000-25000
Padat 50000-100000
PASIR DAN KERIKIL
Padat 80000-200000
Tidak Padat 50000-140000
LANAU 2000-20000
LOESS 15000-60000
CADAS 140000-1400000

Sumber: Bowles (1977)


Nilai-nilai E yang dipergunakan dalam Persamaan (2.3), terdapat beberapa
usulan nilai E yang diberikan oleh peneliti yang lain. Hasil-hasil uji kerucut
statis (sondir) yang dilakukan oleh De Beer (1965) memberikan korelasi antara
tahanan kerucut qc dan E, seperti dalam Persamaan (2.3) sebagai berikut :

E = 2qc (2.3)

Dengan qc dalam kg/cm2, nilai perkiraan modulus elastis diperoleh dari uji SPT.
Mitchell dan Gardner (1975) mengusulkan nilai modulus elastis yang
6

dihubungkan dengan nilai SPT seperti dalam Persamaan (2.4) dan (2.5),
sebagai berikut:

E = 6 (N+5) k/ft2 (untuk pasir berlempung) (2.4)

E = 10 (N+15) k/ft2 (untuk pasir) (2.5)

Didasarkan pada nilai pendekatan hubungan antara nilai N dari pengujian SPT
dan tahanan konus (Meyerhof, 1956) nilai q c dapat menggunakan rumus seperti
dalam Persamaan (2.6), sebagai berikut :

qc = 4N (2.6)

4. Poisson Ratio
Nilai poisson ratio ditentukan sebagai rasio kompresi poros terhadap regangan
permuaian lateral. Nilai poisson ratio dapat ditentukan berdasarkan jenis tanah
seperti yang terterlihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Perkiraan Rasio Poisson

Macam Tanah v
Lempung jenuh 0,40-0,50
Lempung tak jenuh 0,10-0,50
Lempung berpasir 0,20-0,50
Lanau 0,30-0,35
Pasir padat 0,20-0,40
Pasir kasar (e=0,4-0,7) 0,15
Pasir halus (e=0,4-0,7) 0,25
Batu 0,10-0,40
Loess 0,10-0,30
Beton 0,15
(Sumber:Bowles, 1977)

5. Kohesi
Kohesi adalah gaya tarik antar partikel tanah. Kohesi menjadi parameter kuat
geser tanah yang menentukan ketahanan tanah terhadap deformasi akibat
tegangan yang bekerja pada tanah dalam hal ini berupa gerakan lateral tanah.
Nilai ini didapat dari pengujian Triaksial dan Direct Shear.
6. Kuat Geser Tanah (τ)
Kuat geser tanah adalah gaya perlawanan yang diakukan oleh butir-butir tanah
7

terhadap desakan atau tarikan (Hardiyatmo, 2006). Kuat geser tanah diukur
menggunakan parameter kohesi (c) dan sudut geser dalam. Dengan dasar
pengertian ini, bila tanah mengalami pembebanan akan ditahan oleh :
a. kohesi tanah yang bergantung pada jenis tanah dan kepadatannya, tetapi
tidak tergantung dari tegangan normal yang terjadi pada bidang geser, dan
b. gesekan antara butir-butir tanah yang besarnya berbanding lurus dengan
tegangan normal pada bidang gesernya.
Coulomb (1776) mendefinisikan τ sebagai:

τ = c + σ tg ϕ (2.7)

dengan,
τ = kuat geser tanah (kN/m2)
c = kohesi tanah (kN/m2)
ϕ = sudut geser dalam (°)
σ = tegangan normal bidang runtuh (kN/m2)
Tabel 2.4 Hubungan kepadatan tanah dengan sudur geser dalam (ϕ)

Jenis Tanah ϕ
Very Loose < 30
Loose 30 - 35
Medium Dense 35 - 40
Dense 40 - 45
Very Dense > 45
(Sumber:Meyerhof, 1965)

2.2 Pondasi
Setiap bangunan seperti gedung, jembatan, jalan raya, terowongan, menara,
bendung dan bangunan lainnya umumnya memiliki pondasi yang dapat menopang
beban bangunan diatasnya (upper structure) dan beban sendiri pondasi. Pondasi
adalah bagian dari suatu sistem rekayasa yang meneruskan beban yang ditopang
oleh pondasi dan beratnya sendiri ke dalam tanah dan batuan yang terletak
dibawahnya (Bowles, 1997). Istilah pondasi digunakan dalam teknik sipil untuk
mendefenisikan suatu konstruksi bangunan yang berfungsi sebagai penopang
bangunan dan meneruskan beban bangunan diatasnya ke lapisan tanah yang cukup
8

kuat daya dukungnya. Suatu perencanaan pondasi dikatakan benar apabila


bebannya yang diteruskan oleh pondasi ke tanah tidak melampaui kekuatan tanah
yang bersangkutan (Braja M. Das, 1995).
Daya dukung pondasi yang direncanakan harus lebih besar dari pada beban yang
bekerja pada pondasi tersebut baik beban statis dan beban dinamisnya. Penurunan
yang terjadi akibat pembebanan tidak boleh melebihi penurunan yang diijinkan.
Banyak faktor dalam pemilihan jenis pondasi, faktor tersebut antara lain beban
yang direncanakan bekerja, jenis lapisan tanah dan faktor non-teknis seperti biaya
konstruksi, dan waktu konstruksi.

2.2.1 Klasifikasi Pondasi


Secara garis besar pondasi dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu pondasi dangkal
(shallow foundation) dan pondasi dalam (deep foundation). Setiap jenis pondasi
harus disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan, agar konstruksi yang berdiri di
atas pondasi dapat berdiri dengan kokoh dan tidak mengalami kegagalan. Jenis-
jenis pondasi yaitu:
1. Pondasi Dangkal (shallow foundation)
Pondasi dangkal atau shallow foundation didefenisikan sebagai pondasi yang
mendukung bebannya secara langsung seperti: pondasi telapak, pondasi
memanjang, dan pondasi rakit. Pondasi dangkal digunakan apabila lapisan
tanah keras terletak tidak jauh dari permukaan tanahnya. Pondasi dangkal
didesain dengan kedalaman lebih kecil atau sama dengan lebar pondasi
tersebut. Berikut jenis-jenis pondasi dangkal:
a. Pondasi telapak (spread footing)
Pondasi telapak atau sering juga disebut dengan pondasi cakar ayam
merupakan pondasi yang banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia
ketika mendirikan suatu bangunan bertingkat 2 - 3 lantai, terutama
bangunan bertingkat serta bangunan yang berdiri di atas tanah lembek. Jenis
pondasi ini merupakan pondasi yang berdiri sendiri dalam mendukung
kolom.
b. Pondasi memanjang atau pondasi kontinyu (continous footing).
9

Pondasi memanjang merupakan pondasi yang digunakan untuk mendukung


dinding memanjang atau digunakan untuk mendukung sederetan kolom-
kolom yang berjarak sangat dekat, sehingga bila dipakai pondasi telapak
sisi-sisinya akan berhimpit satu sama lainnya.
c. Pondasi rakit (raft foundation or mat foundation)
Pondasi rakit merupakan pondasi yang digunakan untuk mendukung
bangunan yang terletak pada tanah lunak, atau digunakan apabila susunan
kolom-kolom jaraknya sedemikian dekat disemua arahnya, sehingga bila
dipakai pondasi telapak sisi-sisinya akan berhimpit satu sama lain.

2. Pondasi Dalam (deep foundation)


Pondasi dalam atau deep foundation didefinisikan sebagai pondasi yang
meneruskan beban bangunan ketanah keras atau batuan yang terletak relatif
jauh dari permukaan. Pondasi yang termasuk pondasi dalam adalah pondasi
sumuran dan pondasi tiang. Pondasi dalam digunakan apabila lapisan tanah
kerasnya terletak jauh dari permukaan tanah. Pondasi dalam didesain dengan
kedalaman lebih besar atau sama dengan lebar dari pondasi tersebut. Berikut
dijelaskan jenis pondasi dalam:
a. Pondasi sumuran atau kaison (pier foundation/caisson)
Pondasi sumuran merupakan pondasi bentuk peralihan antara pondasi
dangkal dan pondasi tiang, digunakan pada tanah bila tanah dasar yang kuat
terletak pada kedalaman yang relatif dalam. Diameter pondasi sumuran
biasanya antara 0,80 – 1,00 meter dan ada kemungkinan dalam satu
bangunan diameternya berbeda-beda, ini dikarenakan masing-masing kolom
berbeda bebannya. Disebut pondasi sumuran karena dalam pengerjaannya
membuat lubang-lubang berbentuk sumur. Lubang ini digali hingga
mencapai tanah keras atau stabil. Sumur-sumur ini diberi buis beton dengan
ketebalan kurang lebih 10 cm dengan pembesian.
b. Pondasi tiang (pile foundation)
Pondasi tiang adalah bagian dari struktur yang digunakan untuk menerima
dan menyalurkan beban dari struktur atas ke tanah pada kedalaman tertentu.
Dalam perencanaannya pondasi tiang didesain agar mampu untuk menahan
10

beban vertikal dan beban lateral. Pondasi yang digunakan apabila tanah
pondasi pada kedalaman yang normal tidak mampu menahan dan
mendukung bebannya serta tanah kerasnya terletak pada kedalaman yang
sangat dalam. Dimana pondasi tiang pada umumnya berdiameter kecil dan
lebih panjang dibanding dengan pondasi sumuran (Bowles, 1991).

2.2.2 Pengelompokan Pondasi Tiang


Tiang pancang dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu tiang pancang
berdasarkan daya dukungnya dan tiang pancang berdasarkan bahan atau material
yang digunakan. Pengelompokan tiang dapat dilihat di bawah ini.
1. Tiang Pancang Berdasarkan Daya Dukung
Berdasarkan daya dukungnya, pondasi tiang terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu tiang
pancang dengan daya dukung ujung/konus (end bearing capacity) dan tiang
dengan daya dukung selimut atau dengan daya dukung gesekan/lekatan (skin
friction capacity).
a. Tiang pancang dengan daya dukung ujung (end bearing)
Tiang pancang dengan dukung ujung adalah tiang pancang yang mengandalkan
tahanan ujung atau konus tiang yang dipancangkan ke dalam tanah. Tiang
pancang jenis ini mengabaikan tahanan selimut, karena dianggap tahanan
selimut (skin friction) yang bekerja pada tiang tersebut sangat kecil sehingga
dapat diabaikan. Dalam pengerjaannya, tiang pancang jenis ini harus
ditanam/dipancang hingga ke dalam lapisan keras agar diperoleh tahanan
ujung/konus yang baik sehingga dapat memikul bangunan yang berdiri
diatasnya.
11

Gambar 2.1 Tiang dengan daya dukung ujung (end bearing)


b. Tiang dengan daya dukung selimut atau gesekan/lekatan (skin friction)
Tiang pancang dengan daya dukung selimut atau gesekan/lekatan adalah tiang
pancang yang meneruskan beban ke dalam tanah dengan mengandalkan
gesekan antara tanah luas selimut tiang. Pada tiang pancang jenis ini tahanan
ujung/konus pada tiang dianggap sangat kecil dan dapat diabaikan. Penggunaan
jenis ini biasanya pada tanah dengan butiran halus dan sukar menyerap air.
Pada umumnya di lapangan daya dukung tiang pancang merupakan kombinasi
dari point bearing pile dengan friction pile atau cohesion pile, keadaan ini
terjadi karena tanah merupakan kombinasi tanah kasar dengan tanah berbutir
halus.

Gambar 2.2 Tiang dengan daya dukung selimut (skin friction)

2. Tiang Pancang Berdasarkan Bahan yang Digunakan


12

Tiang pancang terdiri dari macam-macam jenis bahan, hal tersebut dikarenakan
kebutuhan dan ketersediaan bahan di lapangan yang berbeda-beda. Setiap bahan
memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Jenis-jenis tiang
pancang tersebut antara lain:
a. Tiang Pancang Kayu
Tiang pancang kayu adalah tiang pancang dengan pemakaian tertua dalam
penggunaan tiang pancang sebagai pondasi. Tiang pancang kayu umumnya
dibuat dari batang pohon dan biasanya diberi bahan pengawet. Pemakaian tiang
pancang kayu dibatasi hanya boleh menahan beban dengan berat 25 sampai 30
ton untuk tiap tiang. Tiang kayu akan awet jika tiang pancang kayu tersebut
dalam keadaan selalu terendam penuh di bawah muka air tanah dan akan lebih
cepat rusak apabila dalam keadaan kering dan basah yang selalu berganti-ganti.
Tiang pancang kayu tidak akan tahan terhadap benda-benda agresif dan
serangan jamur yang bisa menyebabkan pembusukan pada kayu tersebut.

b. Tiang Pancang Beton


Tiang pancang beton terbuat dari bahan beton bertulang yang terdiri dari
beberapa jenis, yaitu:
1) Precast Reinforced Concrete Pile
Precast reinforced concrete pile adalah tiang pancang dari beton bertulang
yang dicetak dan dicor dalam acuan beton (bekisting), kemudian setelah
cukup kuat atau keras lalu diangkat dan dipancangkan. Tiang pancang beton
ini dapat memikul beban lebih besar dari 50 ton untuk setiap tiang, tetapi
tergantung pada dimensinya. Penampang tiang pancang jenis ini dapat
berupa lingkaran, segi empat dan segi delapan.
2) Precast Prestressed Concrete Pile
Precast prestressed concrete pile adalah tiang pancang dari beton prategang
yang menggunakan baja dan kabel kawat sebagai gaya prategangnya.
3) Cast in Place
Tiang pancang cast in place ini adalah pondasi yang dicetak di tempat
pekerjaan dengan terlebih dahulu membuatkan lubang dalam tanah dengan
cara mengebor.
13

c. Tiang Pancang Baja


Jenis tiang pancang baja ini biasanya berbentuk profil H. Karena terbuat dari
baja maka kekuatan dari tiang ini adalah sangat besar sehingga dalam proses
transportasi dan pemancangan tidak menimbulkan bahaya patah seperti pada
tiang pancang beton precast. Jadi pemakaian tiang pancang ini sangat
bermanfaat jika dibutuhkan tiang pancang yang panjang dengan tahanan ujung
yang besar. Tingkat karat pada tiang pancang baja sangat berbeda-beda
terhadap texture (susunan butir) dari komposisi tanah, panjang tiang yang
berada dalam tanah dan keadaan kelembaban tanah (moisture content). Pada
tanah dengan susunan butir yang kasar, karat yang terjadi hampir mendekati
keadaan karat yang terjadi pada udara terbuka karena adanya sirkulasi air
dalam tanah. Pada tanah liat (clay) yang kurang mengandung oksigen akan
menghasilkan karat yang mendekati keadaan seperti karat yang terjadi karena
terendam air. Pada lapisan pasir yang dalam letaknya dan terletak di bawah
lapisan tanah yang padat akan sedikit sekali mengandung oksigen, maka
lapisan pasir tersebut akan menghasilkan karat yang kecil sekali pada tiang
pancang baja.
d. Tiang Pancang Komposit (composite pile)
Tiang pancang komposit atau composite pile adalah tiang pancang yang terdiri
atas dua bahan yang berbeda yang dikombinasikan sehingga menjadi sebuah
tiang. Tiang pancang komposit dapat berupa beton dan baja maupun beton dan
kayu. Tiang pancang kompposit terdiri dari beberapa jenis, yaitu:
1) Water proofed steel pipe and wood pile
Tiang jenis ini terdiri dari tiang pancang kayu untuk bagian, bawah muka air
tanah dan bagian atasnya adalah beton. Kelemahan tiang ini adalah terdapat
tempat sambungan yang memungkinkan terjadi kerusakan apabila tiang
pancang ini menerima gaya horizontal yang permanen.
2) Composite dropped in - shell and wood pile
Composite dropped in - shell and wood pile hampir sama dengan water
proofed steel pipe and wood pile perbedaannya hanya tiang ini memakai
shell yang terbuat dari logam tipis yang permukaannya diberi alur spiral.
3) Composite ungased – concrete and wood pile
14

Tiang komposit jenis ini dipilih jika lapisan tanah keras letaknya sangat
dalam, sehingga tidak memungkinkan menggunakan cast-in place concrete
pile. Sedangkan jika menggunakan precast concrete pile ukurannya terlalu
panjang sehingga mengakibatkan pengangkutan menjadi sulit dan biayanya
mahal.
4) Composite dropped – shell and pipe pile
Tiang jenis ini umumnya dipilih jika lapisan tanah dasar letaknya terlalu
dalam bila digunakan cast in – place concrete pile, letak muka air tanah
terendah terlalu dalam kalau menggunakan tiang komposit yang bagian
bawahnya terbuat dari kayu.
5) Franki Composite Pile
Prinsip kerja tiang jenis ini mirip dengan tiang Franki biasa, tetapi
terdapat perbedaan pada tiang ini bagian atasnya digunakan beton
precast biasa atau dengan tiang baja profil H.

2.3 Dasar Pemilihan Jenis Pondasi


Pemilihan bentuk dan jenis pondasi perlu memperhatikan beberapa hal yang
berkaitan dengan pekerjaan pondasi tersebut. Tidak semua jenis pondasi dapat
dilaksanakan di semua tempat. Misalnya pemilihan jenis pondasi tiang pancang di
tempat padat penduduk tentu tidak tepat walaupun secara teknis cocok dan secara
ekonomis sesuai dengan jadwal kerjanya. Beberapa hal yang harus
dipertimbangkan dalam penentuan jenis pondasi sesuai dengan kondisi tanah
adalah:
1. Bila tanah keras dekat dengan permukaan tanah maka pondasi yang dipilih
sebaiknya jenis dipilih pondasi dangkal (pondasi jalur atau pondasi tapak);
2. Bila tanah keras terletak pada kedalaman 10 meter di bawah permukaan tanah
maka jenis pondasi yang biasanya dipakai adalah pondasi tiang minipile atau
pondasi tiang apung untuk memperbaiki tanah pondasi;
3. Bila tanah keras terletak pada kedalaman 20 meter di bawah permukaan tanah
maka jenis pondasi yang biasanya dipakai adalah pondasi tiang pancang atau
pondasi bor bilamana tidak boleh terjadi penurunan. Bila terdapat batu besar
pada lapisan tanah, pemakaian kaison lebih menguntungkan;
15

4. Bila tanah keras terletak pada kedalam hingga 30 meter di bawah permukaan
tanah maka jenis pondasi yang dipakai adalah pondasi kaison terbuka tiang
baja atau tiang yang dicor di tempat; dan
5. Bila tanah keras terletak pada kedalaman hingga 40 meter di bawah
permukaan tanah maka jenis pondasi yang dipakai adalah tiang baja dan tiang
beton yang dicor di tempat.

2.4 Kapasitas Daya Dukung Pondasi


Pondasi harus dirancang untuk menahan berat yang direncanakan agar tidak
terjadi kegagalan pondasi (settlement) yang dapat marusak konstruksi diatasnya.
Beberapa kriteria yang perlu diperhatikan ketika merancang pondasi yaitu,
pondasi harus menahan massa sampai faktor aman dan pondasi berada pada
tempatnya dengan aman jika telah sampai batas toleransi tertentu (Hakam, 2008).

Perhitungan Daya Dukung Pondasi Metode Meyerhof


Berdasarkan pada data pengujian CPT dan SPT perhitungan kapasitas daya
dukung pondasi menggunakan metode Meyerhof (1976) sebagai berikut:

1. Data Uji Cone Penetration Test (CPT)


Persamaan daya dukung ultimit pondasi tiang pancang:

Qu = Qp + Qs = (qc x Ap) + (JHL x K) (2.8)

Keterangan:
Qp = Kapasitas dukung pada ujung tiang (kN)
Qs = Kapasitas dukung selimut tiang (kN)
qc = Tahanan ujung sondir (kg/cm2)
Ap = Luas penampang tiang (m2)
JHL= Jumlah hambatan lekat (kg/cm)
K = Keliling tiang (m)

Persamaan daya dukung izin pondasi:


Qu
Q izin= −W p (2. 9)
SF
Keterangan:
16

Qu = daya dukung ultimit (kN)


SF = Safety Factor
Wp = Berat tiang (kN)

2. Data Uji Standard Penetration Test (SPT)


Dalam menghitung daya dukung pondasi tiang dengan data SPT menggunakan
metode Meyerhof terdapat dua macam pengelompokan tanah yaitu :
1. Tanah non kohesif yaitu tanah dengan granularnya minim lekatan atau
hampir tidak lempung misal pasir.
2. Tanah kohesif yaitu tanah dengan granularnya terdapat lekatan atau
terkandung lempung seperti tanah lempungan.
Maka, seperti pengelompokan diatas untuk rumus perhitungan daya dukung
pondasi tanah non-kohesif Persamaan 2.10 sebagai berikut.
N 1+ N 2
Q p=40 x N b x A p= x Ap (2.10)
2
Keterangan :
Nb = Nilai SPT rata-rata pada elevasi tiang pancang,
N1 = Nilai SPT kedalaman 4D dari ujung tiang ke bawah
N2 = Nilai SPT pada kedalaman 8D dari ujung tiang ke atas
Ap = Luas penampang tiang (m2)
Meyerhof mengusulkan 0,2 sebagai nilai koefisien Qs seperti pada Persamaan
2.11 berikut ini.

Qs = 0,2 N-SPT x As (2.11)

Keterangan :
N-SPT = Nilai rata-rata SPT sepanjang tiang
Ap = Luas selimut tiang (m2)
Qs = Daya dukung selimut tiang (kN)
Untuk perhitungan daya dukung pondasi tanah kohesif seperti pada Persamaan
2.12 dan pada Persamaan 2.13 untuk daya dukung selimut.

Qp = 9 x Cu x Ap (2.12)
17

Qs = α × Cu × K × Li (2.13)

Keterangan :
Qp = Daya dukung ujung tiang (kN)
Cu = Kohesi undrained (kN/m2)
Ap = Luas penampang tiang (m2)
Li = Tebal lapisan tanah (m)
K = Keliling (m)
α = Faktor Adhesi, didapat dari grafik McClelland

Gambar 2.3 Faktor adhesi (α) untuk tiang pancang dalam lempung menurut
McClelland, 1974.
Sumber: (Hardiyatmo, 2015)

2.5 Daya Dukung Kelompok Tiang dan Efisiensi Kelompok Tiang


Beberapa tiang yang disusun menjadi dua, tiga atau lebih dan disatukan dengan
sebuah topi (cap) dinamakan kelompok tiang (pile group). Setiap kelompok tiang
pasti memiliki nilai efisiensi yang dapat mempengaruhi nilai daya dukung
kelompok tiang. Nilai efisiensi tiang dapat dihitung menggunakan formula yang
akan dijelaskan di bawah.
18

2.5.1 Daya Dukung Kelompok Tiang


Daya dukung kelompok tiang merupakan daya dukung yang dihasilkan dari
gabungan beberapa tiang tunggal yang disusun secara teratur. Rumus kapasitas
ultimit kelompok tiang didapatkan dari mengalikan beberapa variabel dengan
efisiensi tiang seperti berikut.
Qg = η x n x Qu (2.14)
Dimana:
Qg= daya dukung kelompok tiang (kN)
Qu = daya dukung ultimit 1 tiang pancang (kN)
n = jumlah tiang pancang
η = efisiensi kelompok tiang

2.5.2 Efisiensi Kelompok Tiang


Efisiensi kelompok tiang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: jumlah tiang
dalam grup, panjang tiang, dimensi tiang, susunan tiang, dan jarak antar tiang.
Nilai efisiensi kelompok tiang sangat berpengaruh terhadap daya dukung
kelompok tiang yang akan dipancangkan. Efisiensi kelompok tiang dapat dihitung
dengan formula yang dikemukakan Converse - Labbare sebagai berikut.
( m — 1 ) n+(n−1)m (2.15)
η=1−θ
90 x m x n
dimana:
d (2.16)
θ=(arc tan )
S
Keterangan:
η = efisiensi kelompok tiang
m = jumlah tiang pada deretan baris
n = jumlah tiang pada deretan kolom
S = jarak antar tiang (m)
d = diameter atau sisi tiang (m)

2.6 Jembatan
19

Jembatan adalah bagian dari jalan yang berfungsi untuk menghubungkan antara
dua jalan yang terpisah karena suatu rintangan seperti sungai, lembah, laut, jalan
raya, rel kereta api dan rintangan lain. Jembatan memiliki fungsi yang vital bagi
kehidupan manusia dalam bertransportasi. Konstruksi bangunan jembatan terdiri
dari bangunan atas (upper structure), bangunan bawah (sub structure) dan pondasi
(foundation). Bangunan atas jembatan berfungsi untuk menerima beban langsung
yang ditimbulkan oleh lalu lintas kendaraan, manusia dan beban lainnya
sedangkan bangunan bawah berfungsi menerima beban-beban yang diterima oleh
bangunan atas kemudian menyalurkannya ke pondasi kemudian pondasi
meneruskan beban yang diterimanya dari struktur bawah ke dalam tanah keras.
Jembatan pada awalnya hanya berupa jembatan simple beam, seiring dengan
perkembangan dalam dunia konstruksi berkembang menjadi jembatan cable
stayed. Untuk itu jembatan dapat diklasifikasikan dalam banyak kriteria dan
karakteristik. Jembatan umumnya diklasifikasikan berdasarkan struktur atasnya
yang dapat dilihat dalam Tabel 2.5 berikut.
Tabel 2.5 Klasifikasi Jembatan
20

No. Klasifikasi Jembatan


Jembatan jalan raya
1. Berdasarkan Fungsi Jembatan jalan kereta api
Jembatan pejalan kaki
Jembatan diatas sungai, danau, atau laut
Jembatan diatas lembah
2. Berdasarkan Lokasi Jembatan diatas jalan
Jembatan diatas saluran irigasi/drainase
Jembatan di dermaga/jetty
Jembatan kayu
Jembatan beton
3. Berdasarkan konstruksi Jembatan beton prategang
Jembatan baja
Jembatan komposit
Jembatan pelat
Jembatan pelat berongga
Jembatan gelagar
Berdasarkan Tipe
4. Jembatan rangka
Struktur
Jembatan pelengkung
Jembatan gantung
Jembatan kabel
Bentang pendek, panjang bentang hingga 15m
Bentang sedang, panjang bentang hingga 75m
5. Berdasarkan bentang
Bentang menengah, panjang bentang antara 50-150m
Bentang panjang, panjang bentang >150m
Bascule bridge
Berdasarkan Position
6. Swing bridge
Movable
Lift bridge
Simply supported bridge
Berdasarkan
7. Skewed bridge
Interspanrelation
Curved bridge
Straight bridge
Berdasarkan kondisi
8. Skewed bridge
geometrik jembatan
Curved bridge
(Sumber: Bridge Engineering, Classification, Design Loading and Analysis Method,
2017)
2.7 Pembebanan Pada Jembatan
Pembebanan pada jembatan perlu diperhatikan agar tidak terjadi kegagalan pada
struktur jembatan itu sendiri. Beban-beban yang ditopang jembatan akan
mempengaruhi besarnya dimensi dari struktur jembatan.
21

2.7.1 Beban Mati


Beban mati adalah semua beban tetap yang berasal dari berat sendiri jembatan
atau bagian jembatan yang ditinjau, termasuk segala unsur tambahan yang
dianggap merupakan satu kesatuan tetap dengannya (Pembebanan Untuk
Jembatan SNI 1725:2016, 2016). Berat dari bangunan jembatan tersebut adalah
massa dikalikan dengan percepatan gravitasi (g). Percepatan gravitasi yang
digunakan dalam standar ini adalah 9,81 m/detik2. Berikut besar kerapatan massa
dan berat isi dari berbagai macam bahan diberikan dalam Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Berat isi untuk beban mati

Berat isi Kerapatan


No. Bahan
(kN/m3) massa (kg/m3)
Lapisan permukaan beraspal
1. 22 2245
(bituminous wearing surfaces)
2. Besi tuang (cast iron) 71 7240
Timbunan tanah dipadatkan
3. 17,2 1755
(compacted sand, silt or clay)
Kerikil dipadatkan (rolled gravel,
4. 18,8-22,7 1920-2315
macadam or ballast)
5. Beton aspal (asphalt concrete) 22 2245
6. Beton ringan (low denstity) 12,25-19,6 1250-2000
Beton f'c < 35 MPa 22-25 2320
7.
35 < f'c < 105 MPa 22 + 0,022 f'c 2240 + 2,29 f'c
8. Baja (steel) 78,5 7850
9. Kayu (ringan) 7,8 800
10. Kayu keras (hard wood) 11 1125
(Sumber: Pembebanan Untuk Jembatan SNI 1725:2016, 2016)
Beban mati jembatan merupakan kumpulan berat setiap komponen struktural dan
non struktural. Setiap komponen ini harus dianggap sebagai suatu keadaan aksi
yang tidak terpisahkan pada waktu menerapkan faktor beban normal dan faktor
beban terkurangi.

2.7.2 Beban Hidup


Beban hidup adalah semua beban yang berasal dari berat kendaraan-kendaraan
bergerak/lalu lintas dan/atau pejalan kaki yang dianggap bekerja pada jembatan.
22

Beban lalu lintas adalah seluruh beban hidup, arah vertikal dan horizontal, akibat
aksi kendaraan pada jembatan termasuk hubungannya dengan pengaruh dinamis,
tetapi tidak termasuk akibat tumbukan (Pembebanan Untuk Jembatan SNI
1725:2016, 2016).
Beban lalu lintas terdiri dari beban lajur “D” dan beban truk “T”. Beban lajur “D”
akan menjadi beban penentu dalam perhitungan jembatan yang memiliki bentang
sedang hingga panjang, sedangkan beban truk “T” digunakan untuk bentang
pendek dan lantai kendaraan
1. Beban Lajur “D”
Beban lajur adalah beban yang bekerja pada seluruh lebar jalur kendaraan dan
menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekuivalen dengan satu iring-
iringan kendaraan yang sebenarnya. Jumlah total beban lajur “D” yang bekerja
tergantung pada lebar jalur kendaraan itu sendiri (Pembebanan Untuk Jembatan
SNI 1725:2016, 2016). Beban lajur “D” terdiri atas beban terbagi rata (BTR)
yang digabung dengan beban garis (BGT). Adapun faktor beban yang
digunakan untuk beban lajur “D” sebagai berikut.
Tabel 2.7 Faktor beban untuk beban lajur “D”

Tipe Faktor beban (γTD)


Jembatan
beban Keadaan Batas Layan (γSTD) Keadaan Batas Ultimit (γUTD)
Beton 1,00 1,80
Transien Boks Girder
1,00 2,00
Baja
(Sumber: Pembebanan untuk jembatan SNI 1725:2016, 2016)
Beban terbagi rata (BTR) mempunyai intensitas q kPa dengan besaran q
tergantung pada panjang total yang dibebani L yaitu sebagai berikut.

Jika L ≤ 30 m : q = 9,0 kPa (2.17)

(
Jika L > 30 m : q = 9 , 0 0 ,5+
15
L)kPa (2.18)

Dimana:
q = intensitas beban terbagi rata (BTR) dalam arah memanjang jembatan
(kPa)
23

L = panjang total jembatan yang terbebani (m)

Gambar 2.3 Beban Lajur “D”


Distribusi beban hidup dalam arah melintang digunakan untuk memperoleh
momen dan geser dalam arah longitudinal pada gelagar jembatan. Hal itu
dilakukan dengan mempertimbangkan beban lajur “D” tersebar pada seluruh
lebar balok (tidak termasuk parapet, kerb dan trotoar) dengan intensitas 100%
untuk panjang terbebani yang sesuai.

2. Beban Truk “T”


Beban truk “T” adalah satu kendaraan berat dengan tiga gandar yang
ditempatkan pada beberapa posisi dalam lajur lalu lintas rencana. Tiap gandar
terdiri ats dua bidang kontak pembebanan yang dimaksud sebagai simulasi
pengaruh roda kendaraan berat. Hanya satu truk “T” diterapkan per lajur lalu
lintas rencana (Pembebanan Untuk Jembatan SNI 1725:2016, 2016). Beban
truk dapat digunakan untuk perhitungan struktur lantai. Adapun faktor beban
untuk beban “T” dapat dilihat pada Tabel 2.8 berikut.

Tabel 2.8 Faktor beban untuk beban “T”


24

Tipe Faktor beban (γTT)


Jembatan
beban Keadaan Batas Layan (γSTT) Keadaan Batas Ultimit (γUTT)
Beton 1,00 1,80
Transien Boks Girder
1,00 2,00
Baja

(Sumber: Pembebanan Untuk Jembatan SNI 1725:2016, 2016)


Pembebanan truk “T” terdiri atas kendaraan truk semi-trailer yang mempunyai
susunan dan berat gandar seperti terlihat dalam Gambar 2.4. Berat dari tiap-tiap
gandar disebarkan menjadi dua beban merata sama besar yang merupakan
bidang kontak antara roda dengan permukaan lantai. Jarak antara dua gandar
tersebut bisa diubah-ubah dari 4,0 m hingga 9,0 m untuk mendapatkan
pengaruh terbesar pada arah memanjang jembatan.

Gambar 2.4 Pembebanan truk “T” (500 kN)

2.7.3 Beban Rem


Efek rem dan percepatan pada lalu lintas ditetapkan sebagai gaya yang bekerja
arah memanjang yang bekerja di permukaan jalan. Bekerjanya gaya-gaya arah
memanjang jembatan, akibat gaya rem dan traksi, harus ditinjau untuk kedua
jurusan lalu lintas. Gaya rem harus diambil yang terbesar dari:
a. 25% dari berat gandar truk desain atau,
b. 5% dari berat truk rencana ditambah beban lajur terbagi rata (BTR).
25

Gaya ini harus diasumsikan untuk bekerja secara horizontal pada jarak 1800 mm
diatas permukaan jalan pada masing-masing arah longitudinal dan dipilih yang
paling menentukan.

2.7.4 Beban Angin


Beban angin dianggap bekerja secara merata pada seluruh bangunan atas. Gaya
nominal ultimit dan daya layan jembatan akibat angina tergantung kecepatan
angin rencana sebagai berikut.
TEW = 0,0006 x Cw x Vw2 x Ab (2.19)
Apabila suatu kendaraan sedang berada diatas jembatan, beban garis merata
tambahan arah horizontal harus ditetapkan pada permukaan lantai seperti
diberikan dengan rumus:
TEW = 0,0012 x Cw x Vw2 x Ab (2.20)
Dimana:
Cw = koefisien seret = 1,2
Vw = kecepatan angina rencana (m/detik)
Ab = luas ekuivalen (m2)
Tabel 2.9 Koefisien Seret Cw
Tipe Jembatan Cw
Bangunan atas masif: (1), (2)
b/d = 1.0 2.1 (3)
b/d = 2.0 1.5 (3)
b/d ≥ 6.0 1.25 (3)
Bangunan atas rangka 1.2
Catatan (1)
b = lebar keseluruhan jembatan dihitung dari sisi luar sandaran
d = tinggi bangunan atas, termasuk tinggi bagian sandaran yang masif
Catatan (2)
Untuk harga antara b/d bisa di interpolasi linier.
Catatan (3)
Apabila bangunan atas mempunyai superelevasi, Cw harus dinaikkan sebesar 3% untuk
setiap derajat superelevasinya, dengan kenaikan maksimum 2,5%

Tabel 2.10 Kecepatan angin rencana Vw


26

Keadaan Lokasi
Batas Sampai 5 km dari pantai > 5 km dari pantai
Daya layan 30 m/s 25 m/s
Ultimit 35 m/s 30 m/s

2.7.5 Beban Gempa


Jembatan harus direncanakan agar memiliki kemungkinan kecil untuk runtuh
namun dapat mengalami kerusakan yang signifikan dan gangguan terhadap
pelayanan akibat gempa. Penggantian secara parsial atau lengkap pada struktur
diperlukan untuk beberapa kasus. Kinerja yang lebih tinggi seperti kinerja
operasional dapat ditetapkan oleh pihak berwenang.
Beban gempa diambil sebagai gaya horizontal yang ditentukan berdasarkan
perkalian antara koefisien respons balik (C sm) dengan berat struktur ekuivalen
yang kemudian dimodifikasi dengan faktor modifikasi respons (R d) dengan
formulasi sebagai berikut:
C sm
EQ = x Wt (2.21)
Rd
Keterangan:
EQ = gaya gempa horizontal statis (kN)
Csm = koefisien respons gempa elastis
Rd = faktor modifikasi respons
Wt = berat total struktur terdiri dari beban mati dan beban hidup yang sesuai
(kN)

Koefisien respons elastic Csm diperoleh dari peta percepatan batuan dasar dan
spektra percepatan yang sesuai dengan daerah gempa dan periode ulang gempa
rencana. Koefisien percepatan yang diperoleh berdasarkan peta gempa dikalikan
dengan suatu faktor amplifikasi sesuai dengan keadaan tanah sampai kedalaman
30 m di bawah struktur jembatan.
27

Gambar 2.5 Peta percepatan puncak di batuan dasar (PGA) untuk probabilitas terlampaui 7% dalam 75 tahun
(Sumber: Perencanaan jembatan terhadap beban gempa SNI 2833:2016, 2016)
28
29

Gambar 2.7 Peta respon spektra percepatan 1 detik di batuan dasar untuk probabilitas terlampaui 7% dalam 75 tahun
(Sumber: Perencanaan jembatan terhadap beban gempa SNI 2833:2016, 2016)
30

Klasifikasi situs pada pasal ini ditentukan untuk lapisan setebal 30 m sesuai
dengan yang didasarkan pada korelasi dengan hasil penyelidikan tanah lapangan
dan laboratorium.
Tabel 2.11 Kelas Situs
Kelas Situs (m/s) (kPa)
A. Batuan Keras ≥ 1500 N/A N/A
B. Batuan Keras 750 < ≤ 1500 N/A N/A
C. Tanah Sangat Padat
350 < ≤ 750 > 50 ≥ 100
dan Batuan Lunak
D. Tanah Sedang 175 < ≤ 350 15 ≤ ≤ 50 50 ≤ ≤ 100
E. Tanah Lunak < 175 < 15 < 50
Atau setiap profil lapisan tanah dengan ketebalan lebih dari 3 m
dengan karakteristik sebagai berikut:
1. Indeks plastisitas, PI > 20
2. Kadar air (w) ≥ 40%, dan
3. Kuat geser tak terdrainase < 25 kPa
F. Lokasi yang Setiap profil lapisan tanah yang memiliki salah satu atau lebih
membutuhkan dari karakteristik seperti:
penyelidikan '- Rentan dan berpotensi gagal terhadap beban gempa likuifaksi,
geoteknik dan analisis tanah lempung sangat sensitif, tanah tersementasi lemah
respon dinamik '- Lempung organik tinggi dan/atau gambut (dengan ketebalan >
spesifik 3 m)
'- Plastisitas tinggi (ketebalan H > 7,5 m dengan PI > 75)
'- Lapisan
Catatan: N/A = tidak dapat lempung lunak/medium kaku dengan ketebalan H >
digunakan
(Sumber: Perencanaan jembatan terhadap beban gempa SNI 2833:2016, 2016)

Pada tabel diatas, nilai N merupakan nilai uji Standard Penetration Test (SPT)
dengan lapisan tanah sebagai besaran pembobotnya dan harus dihitung sesuai
dengan Persamaan 2.22 berikut.
m

∑ ti
i=1
N= (2.22)
( )
m
ti
∑ N
i=1

Dimana:
N = nilai uji Standard Penetration Test (SPT)
ti = tebal lapisan tanah ke – i
m = jumlah lapisan tanah yang ada diatas batuan dasar
31

Untuk menentukan respon spektra di permukaan tanah, diperlukan suatu faktor


amplifikasi untuk PGA, periode pendek (T = 0,2 detik) dan periode 1 detik. Faktor
amplifikasi meliputi faktor amplifikasi getaran terkait percepatan pada batuan
dasar (FPGA), faktor amplifikasi periode pendek (F a) dan faktor amplifikasi terkait
percepatan yang mewakili getaran periode 1 detik (Fv).

Tabel 2.12 Faktor amplifikasi untuk PGA dan 0,2 detik (FPGA/Fa)

PGA ≤ 0,1 PGA = 0,2 PGA = 0,3 PGA = 0,4 PGA > 0,5
Kelas Situs
0,25 0,5 0,75 1,0 1,25
Batuan Keras (SA) 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8
Batuan (SB) 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0
Tanah Keras (SC) 1,2 1,2 1,1 1,0 1,0
Tanah Sedang (SD) 1,6 1,4 1,2 1,1 1,0
Tanah Lunak (SE) 2,5 1,7 1,2 0,9 0,9
Tanah Khusus (SF) SS SS SS SS SS
Catatan: Untuk nilai-nilai antara dapat dilakukan interpolasi linier
(Sumber: Perencanaan jembatan terhadap beban gempa SNI 2833:2016, 2016)

Keterangan:
PGA = percepatan puncak batuan dasar sesuai peta percepatan puncak di
batuan dasar (PGA) untuk probabilitas terlampaui 7% dalam 75 tahun
(Gambar 2.5)
Ss = parameter respons spektra percepatan gempa untuk periode pendek ( T =
0,2 detik) dengan probabilitas terlampaui 7% dalam 75 tahun sesuai
dengan Gambar 2.6
SS = lokasi yang menentukan investigasi geoteknik dan analisis respons
dinamik spesifik
Respon spektra adalah nilai yang menggambarkan respon maksimum sistem
berderajat kebebasan tunggal pada berbagai frekuensi alami (periode alami)
teredam akibat suatu goyangan tanah. Untuk kebutuhan praktis maka respon
spektra yang sudah disederhanakan. Adapun gambar bentuk tipikal respon spektra
dapat dilihat pada Gambar 2.8 dibawah ini.
32

Gambar 2.8 Bentuk tipikal respon spektra di permukaan tanah


(Sumber: Perencanaan jembatan terhadap beban gempa SNI 2833:2016, 2016)

Respon spektra di permukaan tanah ditentukan dari 3 (tiga) nilai percepatan


puncak yang mengacu pada peta gempa Indonesia dengan probabilitas
terlampaui 7% dalam 75 tahun (PGA, Ss dan S1) serta nilai faktor amplifikasi
FPGA, Fa, dan Fv. Rumusan respon spektra adalah sebagai berikut.

As = FPGA x PGA (2.23)


SDS = Fa x Ss (2.24)
SD1 = Fv x S1 (2.25)

Koefisien respon gempa elastic:


1. Untuk periode lebih kecil dari T 0, koefisien respons gempa elastik (C sm)
didapatkan dari Persamaan 2.26.
T
C sm=( S DS− A s ) + As (2.26)
T0
2. Untuk periode lebih besar atau sama dengan T 0, dan lebih kecil atau sama
dengan Ts, respon spektra percepatan, Csm adalah sama dengan SDS.
3. Untuk periode lebih besar dari Ts, koefisien respon gempa elastik (Csm)
didapatkan dari Persamaan 2.7 berikut.
SD 1
C sm= (2.27)
T
Keterangan:
33

SDS = nilai spektra permukaan tanah pada periode (T = 0,2 detik)


SD1 = nilai spektra permukaan tanah pada periode 1,0 detik
T0 = 0,2Ts
S D1
T s= (2.28)
S DS
Setiap jembatan harus ditetapkan dalam salah satu dari empat zona gempa
berdasarkan spektra periode 1 detik (SD1). Kategori tersebut menggambarkan
variasi resiko seismik dan digunakan untuk penentuan metode analisis, panjang
tumpuan minimum, detail perencanaan kolom, serta prosedur desain pondasi dan
kepala jembatan.
Tabel 2.13 Zona Gempa
Koefisien Percepatan (SD1) Zona Gempa
SD1 ≤ 0,15 1
0,15 < SD1 ≤ 0,30 2
0,30 < SD1 ≤ 0,50 3
SD1 > 0,5 4
Catatan: SD1 = Fv x S1

(Sumber: Perencanaan jembatan terhadap beban gempa SNI 2833:2016, 2016)


Keterangan:
SD1 = nilai spektra permukaan tanah pada periode 1,0 detik
Fv = nilai faktor amplifikasi untuk periode 1 detik (Fv)
S1 = parameter respons spektra percepatan gempa untuk periode 1,0 detik
mengacu pada Peta Gempa Indonesia dengan probabilita terlampaui 7%
dalam 75 tahun (Gambar 2.7)
34

Gaya gempa rencana pada bangunan bawah dan hubungan antara elemen struktur
ditentukan dengan cara membagi gaya gempa elastis dengan faktor modifikasi
respon (R) sesuai dengan Tabel 2.14 dan 2.15. Sebagai alternatif penggunaan
faktor R pada Tabel 2.15 untuk hubungan struktur, sambungan monolit antara
elemen struktur atau struktur, seperti hubungan kolom ke fondasi telapak apat
direncanakan untuk menerima gaya maksimum akibat plastifikasi kolom atau
kolom majemuk yang berhubungan Apabila digunakan analisis dinamik riwayat
waktu, maka faktor modifikasi respon (R) diambil sebesar satu untuk seluruh jenis
bangunan bawah dan hubungan antar elemen struktur. (Perencanaan jembatan
terhadap beban gempa SNI 2833:2016, 2016).
Tabel 2.14 Faktor modifikasi respon (R) untuk bangunan bawah
Kategori Kepentingan
Bangunan Bawah
Sangat penting Penting Lainnya
Pilar tipe dinding 1,5 1,5 2,0
Tiang/kolom beton bertulang
Tiang Vertikal 1,5 2,0 3,0
Tiang Miring 1,5 1,5 2,0
Kolom tunggal 1,5 2,0 2,0
Tiang baja dan komposit
Tiang vertikal 1,5 3,5 5,0
Tiang miring 1,5 2,0 3,0
Kolom majemuk 1,5 3,5 5,0
Catatan: Pilar tipe dinding dapat direncanakan sebagai kolom tunggal dalam arah sumbu lemah pilar

(Sumber: Perencanaan jembatan terhadap beban gempa SNI 2833:2016, 2016)

Tabel 2.15 Faktor modifikasi respon (R) untuk hubungan antar elemen struktur
Semua kategori
Hubungan elemen struktur
kepentingan
Bangunan atas dengan kepala jembatan 0,8
Sambungan muai (dilatasi) pada bangunan atas 0,8
Kolom, pilar, atau tiang dengan bangunan atas 1,0
Kolom atau pilar dengan fondasi 1,0

(Sumber: Perencanaan jembatan terhadap beban gempa SNI 2833:2016, 2016)


35

Gaya gempa elastis yang bekerja pada struktur jembatan harus dikombinasi
sehingga memiliki 2 tinjauan pembebanan sebagai berikut:
1. 100% gaya gempa pada arah x dikombinasikan dengan 30% gaya gempa pada
arah y.
2. 100% gaya gempa pada arah y dikombinasikan dengan 30% gaya gempa pada
arah x.
Sehingga apabila diaplikasikan dengan memperhitungkan variasi arah maka
kombinasi gaya gempa menjadi sebagai berikut.
1. DL + γEQLL ± EQx ± 0,3EQy
2. DL + γEQLL ± EQy ± 0,3EQx
Keterangan:
DL = beban mati yang bekerja (kN)
γEQ = faktor beban hidup kondisi gempa
γEQ = 0,5 (jembatan sangat penting)
γEQ = 0,3 (jembatan penting)
γEQ = 0 (jembatan lainnya)
LL = beban hidup yang bekerja (kN)
EQx = beban gempa yang bekerja arah x
EQy = beban gempa yang bekerja arah y

2.9 Kombinasi Pembebanan


Faktor beban untuk setiap pembebanan dan kombinasi pembebanan harus diambil
seperti yang ditentukan pada Tabel 2.16. Setiap kombinasi pembebanan bertujuan
untuk memperhitungkan gaya-gaya yang timbul akibat kondisi tertentu,
kombinasi pembebanan beserta penjelasan kondisinya adalah sebagai berikut.
Kuat I = kombinasi pembebanan yang memperhitungkan gaya-gaya yang timbul
pada jembatan dalam keadaan normal tanpa memperhitungkan beban
angin. Pada keadaan batas ini, semua gaya nominal yang terjadi dikalikan
dengan faktor beban yang sesuai.
Kuat II = kombinasi pembebanan yang berkaitan dengan penggunaan jembatan
untuk memikul beban kendaraan khusus
36

Kuat III = kombinasi pembebanan dengan jembatan dikenal beban angina


berkecepatan 90 km/jam hingga 126 km/jam.
Kuat IV = kombinasi pembebanan untuk memperhitungkan kemungkinan adanya
rasio beban mati dengan hidup yang besar.
Kuat V = kombinasi pembebanan berkaitan dengan operasional normal jembatan
dengan memperhitungkan beban angin berkecepatan 90 km/jam hingga
126 km/jam.
Ekstrem I = kombinasi pembebanan gempa Faktor beban hidup ϒEQ yang
memperhitungkan bekerjanya beban hidup pada saat gempa
berlangsung harus ditentukan berdasarkan kepentingan jembatan
Ektrem II = kombinasi pembebanan yang meninjau kombinasi antara beban
hidup terkurangi dengan beban yang timbul akibat tumbukan kapal,
tumbukan kendaraan, banjir atau beban hidrolika lainnya, kecuali
untuk kasus pembebanan kibat tumbukan kendaraan (TC). Kasus
pembebanan akibat banjir tidak boleh dikombinasikan dengan beban
akibat tumbukan kendaraan dan tumbukan kapal
Layan I = kombinasi pembebanan yang berkaitan dengan operasional
jembatan dengan semua beban mempunyai nilai nominal serta
memperhitungkan adanya beban angin berkecepatan 90 km/jam
hingga 126 km/jam. Kombinasi ini juga digunakan untuk mengontrol
lendutan pada gorong-gorong baja, pelat pelapis terowongan, pipa
terrmoplastik serta untuk mengontrol lebar retak struktur beton
bertulang, dan juga untuk analisis tegangan Tarik pada penampang
melintang jembatan beton segmental. Kombinasi pembebanan ini juga
harus digunakan untuk investigasi stabilitas lereng.
Layan II = kombinasi pembebanan yang ditujukan untuk mencegah terjadinya
pelelehan pada struktur baja dan selip pada sambungan akibat beban
kendaraan.
Layan III = kombinasi pembebanan untuk menghitung tegangan tarik pada arah
memanjang jembatan beton pratekan dengan tujuan untuk mengontrol
37

besarnya retak dan tegangan utama tarik pada bagian badan dari
jembatan beton segmental.
Layan IV = kombinasi pembebanan untuk menghitung tegangan tarik pada
kolom beton pratekan dengan tujuan tujuan mengontrol besarnya
retak.
Fatik = Kombinasi beban fatik dan fraktur sehubungan dengan umur fatik
akibat induksi beban yang waktunya tak terbatas.
38

Tabel 2.16 Kombinasi beban dan faktor beban


(Sumber: Perencanaan jembatan terhadap beban gempa SNI 2833:2016, 2016)
39

Anda mungkin juga menyukai