BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanah
2.1.1 Defenisi Tanah
Tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-
mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan
dari bahan-bahan organik yang telah melapuk (berpartikel padat) disertai dengan
zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong diantara partikel- partikel padat
tersebut (Braja M Das, 1988). Tanah terbentuk dari proses pelapukan batuan bumi
melalui proses mekanik maupun kimia kemudian tersebar ke tempat lain dengan
bantuan angin, air maupun gravitasi bumi. Tanah berguna sebagai bahan
bangunan pada berbagai macam pekerjaan teknik sipil, disamping itu tanah
berfungsi juga sebagai pendukung pondasi dari bangunan.
mempunyai ukuran OD 2 inci, ID 1 3/8 inci dan panjang 24 inci dengan tipe split
spoon sample. Nilai SPT atau N - SPT diperoleh dengan cara, sebagai berikut:
Tahap pertama, tabung belah standar dipukul hingga sedalam 15,24 cm (6 inci)
pukulan ini di sebut dengan N1, hasil dari pemukulan ini tidak di perhitungkan
karena dianggap di tanah yang terganggu (disturbed sample) dan kotoran sisa
pengeboran. Kemudian dilanjutkan dengan pemukulan tahap kedua sedalam 30,48
cm (12 inci) kemudian disebut dengan N2. Selanjutnya dilakukan pemukulan pada
tahap ke 3 sedalam 45,72 cm (12 inci) yang disebut dengan N 3. Jumlah pukulan
pada tahap kedua (N2) dan tahap ke tiga (N3) ini di definisikan sebagai nilai (N).
Pengujian yang lebih baik dilakukan dengan menghitung pukulan pada tiap-tiap
penembusan sedalam 7,62 cm (3 inci) dengan cara ini, kedalaman sembarang jenis
tanah di dasar lubang bor dapat ditaksir, dan elevasi dimana gangguan terjadi
dalam usaha menembus lapisan yang keras seperti batu dapat dicatat. Pada kasus-
kasus yang umum, pengujian Standard Penetration Test dilakukan pada tiap-tiap
1,5 meter atau paling sedikit pada tiap-tiap pergantian jenis lapisan tanah di
sepanjang kedalaman lubang bornya. Hasil pengujian pengeboran ini dituangkan
dalam bore log.
γ w (G s+ e)
γ sat = (2.2)
1+e
3. Modulus Young
Nilai modulus young menunjukkan besarnya nilai elastisitas tanah yang
merupakan perbandingan antara tegangan yang terjadi terhadap regangan. Nilai
ini bisa didapatkan dari triaxial test. Umumnya modulus elastisitas (E)
ditentukan dari uji triaksial kondisi undrained, dan nilai E ditentukan dari
pendekatan kemiringan kurva tegangan-regangan yang diambil pada setengah
dari beban ultimit aksial. Nilai Modulus elastisitas (E s) secara empiris dapat
ditentukan dari jenis tanah dan data sondir seperti terlihat pada Tabel 2.2..
Tabel 2.2 Perkiraan Modulus Elastis
Macam Tanah E (kN/m2)
LEMPUNG
Sangat Lunak 300-3000
Lunak 2000-4000
Sedang 4500-5000
Keras 7000-20000
Berpasir 30000-42500
PASIR
Berlanau 5000-20000
Tidak Padat 10000-25000
Padat 50000-100000
PASIR DAN KERIKIL
Padat 80000-200000
Tidak Padat 50000-140000
LANAU 2000-20000
LOESS 15000-60000
CADAS 140000-1400000
E = 2qc (2.3)
Dengan qc dalam kg/cm2, nilai perkiraan modulus elastis diperoleh dari uji SPT.
Mitchell dan Gardner (1975) mengusulkan nilai modulus elastis yang
6
dihubungkan dengan nilai SPT seperti dalam Persamaan (2.4) dan (2.5),
sebagai berikut:
Didasarkan pada nilai pendekatan hubungan antara nilai N dari pengujian SPT
dan tahanan konus (Meyerhof, 1956) nilai q c dapat menggunakan rumus seperti
dalam Persamaan (2.6), sebagai berikut :
qc = 4N (2.6)
4. Poisson Ratio
Nilai poisson ratio ditentukan sebagai rasio kompresi poros terhadap regangan
permuaian lateral. Nilai poisson ratio dapat ditentukan berdasarkan jenis tanah
seperti yang terterlihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Perkiraan Rasio Poisson
Macam Tanah v
Lempung jenuh 0,40-0,50
Lempung tak jenuh 0,10-0,50
Lempung berpasir 0,20-0,50
Lanau 0,30-0,35
Pasir padat 0,20-0,40
Pasir kasar (e=0,4-0,7) 0,15
Pasir halus (e=0,4-0,7) 0,25
Batu 0,10-0,40
Loess 0,10-0,30
Beton 0,15
(Sumber:Bowles, 1977)
5. Kohesi
Kohesi adalah gaya tarik antar partikel tanah. Kohesi menjadi parameter kuat
geser tanah yang menentukan ketahanan tanah terhadap deformasi akibat
tegangan yang bekerja pada tanah dalam hal ini berupa gerakan lateral tanah.
Nilai ini didapat dari pengujian Triaksial dan Direct Shear.
6. Kuat Geser Tanah (τ)
Kuat geser tanah adalah gaya perlawanan yang diakukan oleh butir-butir tanah
7
terhadap desakan atau tarikan (Hardiyatmo, 2006). Kuat geser tanah diukur
menggunakan parameter kohesi (c) dan sudut geser dalam. Dengan dasar
pengertian ini, bila tanah mengalami pembebanan akan ditahan oleh :
a. kohesi tanah yang bergantung pada jenis tanah dan kepadatannya, tetapi
tidak tergantung dari tegangan normal yang terjadi pada bidang geser, dan
b. gesekan antara butir-butir tanah yang besarnya berbanding lurus dengan
tegangan normal pada bidang gesernya.
Coulomb (1776) mendefinisikan τ sebagai:
τ = c + σ tg ϕ (2.7)
dengan,
τ = kuat geser tanah (kN/m2)
c = kohesi tanah (kN/m2)
ϕ = sudut geser dalam (°)
σ = tegangan normal bidang runtuh (kN/m2)
Tabel 2.4 Hubungan kepadatan tanah dengan sudur geser dalam (ϕ)
Jenis Tanah ϕ
Very Loose < 30
Loose 30 - 35
Medium Dense 35 - 40
Dense 40 - 45
Very Dense > 45
(Sumber:Meyerhof, 1965)
2.2 Pondasi
Setiap bangunan seperti gedung, jembatan, jalan raya, terowongan, menara,
bendung dan bangunan lainnya umumnya memiliki pondasi yang dapat menopang
beban bangunan diatasnya (upper structure) dan beban sendiri pondasi. Pondasi
adalah bagian dari suatu sistem rekayasa yang meneruskan beban yang ditopang
oleh pondasi dan beratnya sendiri ke dalam tanah dan batuan yang terletak
dibawahnya (Bowles, 1997). Istilah pondasi digunakan dalam teknik sipil untuk
mendefenisikan suatu konstruksi bangunan yang berfungsi sebagai penopang
bangunan dan meneruskan beban bangunan diatasnya ke lapisan tanah yang cukup
8
beban vertikal dan beban lateral. Pondasi yang digunakan apabila tanah
pondasi pada kedalaman yang normal tidak mampu menahan dan
mendukung bebannya serta tanah kerasnya terletak pada kedalaman yang
sangat dalam. Dimana pondasi tiang pada umumnya berdiameter kecil dan
lebih panjang dibanding dengan pondasi sumuran (Bowles, 1991).
Tiang pancang terdiri dari macam-macam jenis bahan, hal tersebut dikarenakan
kebutuhan dan ketersediaan bahan di lapangan yang berbeda-beda. Setiap bahan
memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Jenis-jenis tiang
pancang tersebut antara lain:
a. Tiang Pancang Kayu
Tiang pancang kayu adalah tiang pancang dengan pemakaian tertua dalam
penggunaan tiang pancang sebagai pondasi. Tiang pancang kayu umumnya
dibuat dari batang pohon dan biasanya diberi bahan pengawet. Pemakaian tiang
pancang kayu dibatasi hanya boleh menahan beban dengan berat 25 sampai 30
ton untuk tiap tiang. Tiang kayu akan awet jika tiang pancang kayu tersebut
dalam keadaan selalu terendam penuh di bawah muka air tanah dan akan lebih
cepat rusak apabila dalam keadaan kering dan basah yang selalu berganti-ganti.
Tiang pancang kayu tidak akan tahan terhadap benda-benda agresif dan
serangan jamur yang bisa menyebabkan pembusukan pada kayu tersebut.
Tiang komposit jenis ini dipilih jika lapisan tanah keras letaknya sangat
dalam, sehingga tidak memungkinkan menggunakan cast-in place concrete
pile. Sedangkan jika menggunakan precast concrete pile ukurannya terlalu
panjang sehingga mengakibatkan pengangkutan menjadi sulit dan biayanya
mahal.
4) Composite dropped – shell and pipe pile
Tiang jenis ini umumnya dipilih jika lapisan tanah dasar letaknya terlalu
dalam bila digunakan cast in – place concrete pile, letak muka air tanah
terendah terlalu dalam kalau menggunakan tiang komposit yang bagian
bawahnya terbuat dari kayu.
5) Franki Composite Pile
Prinsip kerja tiang jenis ini mirip dengan tiang Franki biasa, tetapi
terdapat perbedaan pada tiang ini bagian atasnya digunakan beton
precast biasa atau dengan tiang baja profil H.
4. Bila tanah keras terletak pada kedalam hingga 30 meter di bawah permukaan
tanah maka jenis pondasi yang dipakai adalah pondasi kaison terbuka tiang
baja atau tiang yang dicor di tempat; dan
5. Bila tanah keras terletak pada kedalaman hingga 40 meter di bawah
permukaan tanah maka jenis pondasi yang dipakai adalah tiang baja dan tiang
beton yang dicor di tempat.
Keterangan:
Qp = Kapasitas dukung pada ujung tiang (kN)
Qs = Kapasitas dukung selimut tiang (kN)
qc = Tahanan ujung sondir (kg/cm2)
Ap = Luas penampang tiang (m2)
JHL= Jumlah hambatan lekat (kg/cm)
K = Keliling tiang (m)
Keterangan :
N-SPT = Nilai rata-rata SPT sepanjang tiang
Ap = Luas selimut tiang (m2)
Qs = Daya dukung selimut tiang (kN)
Untuk perhitungan daya dukung pondasi tanah kohesif seperti pada Persamaan
2.12 dan pada Persamaan 2.13 untuk daya dukung selimut.
Qp = 9 x Cu x Ap (2.12)
17
Qs = α × Cu × K × Li (2.13)
Keterangan :
Qp = Daya dukung ujung tiang (kN)
Cu = Kohesi undrained (kN/m2)
Ap = Luas penampang tiang (m2)
Li = Tebal lapisan tanah (m)
K = Keliling (m)
α = Faktor Adhesi, didapat dari grafik McClelland
Gambar 2.3 Faktor adhesi (α) untuk tiang pancang dalam lempung menurut
McClelland, 1974.
Sumber: (Hardiyatmo, 2015)
2.6 Jembatan
19
Jembatan adalah bagian dari jalan yang berfungsi untuk menghubungkan antara
dua jalan yang terpisah karena suatu rintangan seperti sungai, lembah, laut, jalan
raya, rel kereta api dan rintangan lain. Jembatan memiliki fungsi yang vital bagi
kehidupan manusia dalam bertransportasi. Konstruksi bangunan jembatan terdiri
dari bangunan atas (upper structure), bangunan bawah (sub structure) dan pondasi
(foundation). Bangunan atas jembatan berfungsi untuk menerima beban langsung
yang ditimbulkan oleh lalu lintas kendaraan, manusia dan beban lainnya
sedangkan bangunan bawah berfungsi menerima beban-beban yang diterima oleh
bangunan atas kemudian menyalurkannya ke pondasi kemudian pondasi
meneruskan beban yang diterimanya dari struktur bawah ke dalam tanah keras.
Jembatan pada awalnya hanya berupa jembatan simple beam, seiring dengan
perkembangan dalam dunia konstruksi berkembang menjadi jembatan cable
stayed. Untuk itu jembatan dapat diklasifikasikan dalam banyak kriteria dan
karakteristik. Jembatan umumnya diklasifikasikan berdasarkan struktur atasnya
yang dapat dilihat dalam Tabel 2.5 berikut.
Tabel 2.5 Klasifikasi Jembatan
20
Beban lalu lintas adalah seluruh beban hidup, arah vertikal dan horizontal, akibat
aksi kendaraan pada jembatan termasuk hubungannya dengan pengaruh dinamis,
tetapi tidak termasuk akibat tumbukan (Pembebanan Untuk Jembatan SNI
1725:2016, 2016).
Beban lalu lintas terdiri dari beban lajur “D” dan beban truk “T”. Beban lajur “D”
akan menjadi beban penentu dalam perhitungan jembatan yang memiliki bentang
sedang hingga panjang, sedangkan beban truk “T” digunakan untuk bentang
pendek dan lantai kendaraan
1. Beban Lajur “D”
Beban lajur adalah beban yang bekerja pada seluruh lebar jalur kendaraan dan
menimbulkan pengaruh pada jembatan yang ekuivalen dengan satu iring-
iringan kendaraan yang sebenarnya. Jumlah total beban lajur “D” yang bekerja
tergantung pada lebar jalur kendaraan itu sendiri (Pembebanan Untuk Jembatan
SNI 1725:2016, 2016). Beban lajur “D” terdiri atas beban terbagi rata (BTR)
yang digabung dengan beban garis (BGT). Adapun faktor beban yang
digunakan untuk beban lajur “D” sebagai berikut.
Tabel 2.7 Faktor beban untuk beban lajur “D”
(
Jika L > 30 m : q = 9 , 0 0 ,5+
15
L)kPa (2.18)
Dimana:
q = intensitas beban terbagi rata (BTR) dalam arah memanjang jembatan
(kPa)
23
Gaya ini harus diasumsikan untuk bekerja secara horizontal pada jarak 1800 mm
diatas permukaan jalan pada masing-masing arah longitudinal dan dipilih yang
paling menentukan.
Keadaan Lokasi
Batas Sampai 5 km dari pantai > 5 km dari pantai
Daya layan 30 m/s 25 m/s
Ultimit 35 m/s 30 m/s
Koefisien respons elastic Csm diperoleh dari peta percepatan batuan dasar dan
spektra percepatan yang sesuai dengan daerah gempa dan periode ulang gempa
rencana. Koefisien percepatan yang diperoleh berdasarkan peta gempa dikalikan
dengan suatu faktor amplifikasi sesuai dengan keadaan tanah sampai kedalaman
30 m di bawah struktur jembatan.
27
Gambar 2.5 Peta percepatan puncak di batuan dasar (PGA) untuk probabilitas terlampaui 7% dalam 75 tahun
(Sumber: Perencanaan jembatan terhadap beban gempa SNI 2833:2016, 2016)
28
29
Gambar 2.7 Peta respon spektra percepatan 1 detik di batuan dasar untuk probabilitas terlampaui 7% dalam 75 tahun
(Sumber: Perencanaan jembatan terhadap beban gempa SNI 2833:2016, 2016)
30
Klasifikasi situs pada pasal ini ditentukan untuk lapisan setebal 30 m sesuai
dengan yang didasarkan pada korelasi dengan hasil penyelidikan tanah lapangan
dan laboratorium.
Tabel 2.11 Kelas Situs
Kelas Situs (m/s) (kPa)
A. Batuan Keras ≥ 1500 N/A N/A
B. Batuan Keras 750 < ≤ 1500 N/A N/A
C. Tanah Sangat Padat
350 < ≤ 750 > 50 ≥ 100
dan Batuan Lunak
D. Tanah Sedang 175 < ≤ 350 15 ≤ ≤ 50 50 ≤ ≤ 100
E. Tanah Lunak < 175 < 15 < 50
Atau setiap profil lapisan tanah dengan ketebalan lebih dari 3 m
dengan karakteristik sebagai berikut:
1. Indeks plastisitas, PI > 20
2. Kadar air (w) ≥ 40%, dan
3. Kuat geser tak terdrainase < 25 kPa
F. Lokasi yang Setiap profil lapisan tanah yang memiliki salah satu atau lebih
membutuhkan dari karakteristik seperti:
penyelidikan '- Rentan dan berpotensi gagal terhadap beban gempa likuifaksi,
geoteknik dan analisis tanah lempung sangat sensitif, tanah tersementasi lemah
respon dinamik '- Lempung organik tinggi dan/atau gambut (dengan ketebalan >
spesifik 3 m)
'- Plastisitas tinggi (ketebalan H > 7,5 m dengan PI > 75)
'- Lapisan
Catatan: N/A = tidak dapat lempung lunak/medium kaku dengan ketebalan H >
digunakan
(Sumber: Perencanaan jembatan terhadap beban gempa SNI 2833:2016, 2016)
Pada tabel diatas, nilai N merupakan nilai uji Standard Penetration Test (SPT)
dengan lapisan tanah sebagai besaran pembobotnya dan harus dihitung sesuai
dengan Persamaan 2.22 berikut.
m
∑ ti
i=1
N= (2.22)
( )
m
ti
∑ N
i=1
Dimana:
N = nilai uji Standard Penetration Test (SPT)
ti = tebal lapisan tanah ke – i
m = jumlah lapisan tanah yang ada diatas batuan dasar
31
Tabel 2.12 Faktor amplifikasi untuk PGA dan 0,2 detik (FPGA/Fa)
PGA ≤ 0,1 PGA = 0,2 PGA = 0,3 PGA = 0,4 PGA > 0,5
Kelas Situs
0,25 0,5 0,75 1,0 1,25
Batuan Keras (SA) 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8
Batuan (SB) 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0
Tanah Keras (SC) 1,2 1,2 1,1 1,0 1,0
Tanah Sedang (SD) 1,6 1,4 1,2 1,1 1,0
Tanah Lunak (SE) 2,5 1,7 1,2 0,9 0,9
Tanah Khusus (SF) SS SS SS SS SS
Catatan: Untuk nilai-nilai antara dapat dilakukan interpolasi linier
(Sumber: Perencanaan jembatan terhadap beban gempa SNI 2833:2016, 2016)
Keterangan:
PGA = percepatan puncak batuan dasar sesuai peta percepatan puncak di
batuan dasar (PGA) untuk probabilitas terlampaui 7% dalam 75 tahun
(Gambar 2.5)
Ss = parameter respons spektra percepatan gempa untuk periode pendek ( T =
0,2 detik) dengan probabilitas terlampaui 7% dalam 75 tahun sesuai
dengan Gambar 2.6
SS = lokasi yang menentukan investigasi geoteknik dan analisis respons
dinamik spesifik
Respon spektra adalah nilai yang menggambarkan respon maksimum sistem
berderajat kebebasan tunggal pada berbagai frekuensi alami (periode alami)
teredam akibat suatu goyangan tanah. Untuk kebutuhan praktis maka respon
spektra yang sudah disederhanakan. Adapun gambar bentuk tipikal respon spektra
dapat dilihat pada Gambar 2.8 dibawah ini.
32
Gaya gempa rencana pada bangunan bawah dan hubungan antara elemen struktur
ditentukan dengan cara membagi gaya gempa elastis dengan faktor modifikasi
respon (R) sesuai dengan Tabel 2.14 dan 2.15. Sebagai alternatif penggunaan
faktor R pada Tabel 2.15 untuk hubungan struktur, sambungan monolit antara
elemen struktur atau struktur, seperti hubungan kolom ke fondasi telapak apat
direncanakan untuk menerima gaya maksimum akibat plastifikasi kolom atau
kolom majemuk yang berhubungan Apabila digunakan analisis dinamik riwayat
waktu, maka faktor modifikasi respon (R) diambil sebesar satu untuk seluruh jenis
bangunan bawah dan hubungan antar elemen struktur. (Perencanaan jembatan
terhadap beban gempa SNI 2833:2016, 2016).
Tabel 2.14 Faktor modifikasi respon (R) untuk bangunan bawah
Kategori Kepentingan
Bangunan Bawah
Sangat penting Penting Lainnya
Pilar tipe dinding 1,5 1,5 2,0
Tiang/kolom beton bertulang
Tiang Vertikal 1,5 2,0 3,0
Tiang Miring 1,5 1,5 2,0
Kolom tunggal 1,5 2,0 2,0
Tiang baja dan komposit
Tiang vertikal 1,5 3,5 5,0
Tiang miring 1,5 2,0 3,0
Kolom majemuk 1,5 3,5 5,0
Catatan: Pilar tipe dinding dapat direncanakan sebagai kolom tunggal dalam arah sumbu lemah pilar
Tabel 2.15 Faktor modifikasi respon (R) untuk hubungan antar elemen struktur
Semua kategori
Hubungan elemen struktur
kepentingan
Bangunan atas dengan kepala jembatan 0,8
Sambungan muai (dilatasi) pada bangunan atas 0,8
Kolom, pilar, atau tiang dengan bangunan atas 1,0
Kolom atau pilar dengan fondasi 1,0
Gaya gempa elastis yang bekerja pada struktur jembatan harus dikombinasi
sehingga memiliki 2 tinjauan pembebanan sebagai berikut:
1. 100% gaya gempa pada arah x dikombinasikan dengan 30% gaya gempa pada
arah y.
2. 100% gaya gempa pada arah y dikombinasikan dengan 30% gaya gempa pada
arah x.
Sehingga apabila diaplikasikan dengan memperhitungkan variasi arah maka
kombinasi gaya gempa menjadi sebagai berikut.
1. DL + γEQLL ± EQx ± 0,3EQy
2. DL + γEQLL ± EQy ± 0,3EQx
Keterangan:
DL = beban mati yang bekerja (kN)
γEQ = faktor beban hidup kondisi gempa
γEQ = 0,5 (jembatan sangat penting)
γEQ = 0,3 (jembatan penting)
γEQ = 0 (jembatan lainnya)
LL = beban hidup yang bekerja (kN)
EQx = beban gempa yang bekerja arah x
EQy = beban gempa yang bekerja arah y
besarnya retak dan tegangan utama tarik pada bagian badan dari
jembatan beton segmental.
Layan IV = kombinasi pembebanan untuk menghitung tegangan tarik pada
kolom beton pratekan dengan tujuan tujuan mengontrol besarnya
retak.
Fatik = Kombinasi beban fatik dan fraktur sehubungan dengan umur fatik
akibat induksi beban yang waktunya tak terbatas.
38