Anda di halaman 1dari 38

BAB III DASAR TEORI

3.1. Kestabilan Terowongan

Dalam menganalisis kestabilan terowongan rata-rata nilai total displacement


merupakan salah satu parameter yang dapat menjadi dasar untuk mengamati
stabilitas terowongan. Menurut (Xu Zhenxiang, 1984) kriteria stabil dilihat dari
total displacement ≤0,2 mm/hari menunjukan kondisi stabil, 0,2-10 mm/hari
menunjukan kondisi relatif stabil dan >10 mm/hari menunjukan kondisi yang tidak
stabil. Menurut (Hoek and Brown, 1980) parameter lain yang dapat dijadikan
dasar untuk menganalisis kestabilan terowongan adalah FK (faktor kestabilan),
nilai FK ≥1,5 menunjukan kondisi stabil dan dibawah nilai tersebut menunjukan
kondisi tidak stabil

3.2. Klasifikasi Massa Batuan

Klasifikasi massa batuan merupakan suatu metode empirik untuk menentukan


sistem penyanggaan pada tambang bawah tanah. Klasifikasi massa batuan sangat
berguna pada masa studi kelayakan dan desain awal tambang bawah tanah dimana
informasi detail mengenai massa batuan dan tegangan didalamnya serta
karakteristik hidrologinya sangat terbatas (Hoek et al. 1995). Penggunaan
klasifikasi massa batuan dapat menjadi dasar dalam pertimbangan pemilihan sistem
penyanggaan dan metode penggalian pada tambang bawah tanah. Klasifikasi masa
batuan dapat digunakan sebagai check list untuk mendapatkan informasi yang
relevan mengenai kondisi massa batuan secara rinci (Hoek et al. 1995).

Klasifikasi massa batuan pada prinsipnya tidak dapat menggantikan pekerjaan


desain rinci dalam menentukan sistem penyanggaan tambang bawah tanah (Hoek
et al. 1995). Penggunaan klasifikasi massa batuan dalam penentuan sistem
penyanggaan dan kebutuhan penyangga pada tambang bawah tanah harus
digunakan bersamaan dengan metode analitik dan metode observasi untuk
mendapatkan desain sistem penyanggaan yang rasional dan optimal. Sistem

III-1
klasifikasi masa batuan telah banyak dikembangkan oleh para ahli untuk
mendapatkan pendekatan yang lebih teliti tentang keadaan massa batuan.
(Bieniawski, 1989) menyatakan bahwa dari sekian banyak klasifikasi masa batuan
yang dikembangkan ada enam sistem klasifikasi massa batuan yang lazim
digunakan yakni sistem klasifikasi massa batuan yang diajukan oleh (Terzaghi,
1946), (Lauffer, 1958), (Deere dkk, 1967), (Wickham dkk, 1972), (Bieniawski,
1973), dan (Barton dkk, 1974).

(Terzaghi, 1946) memperkenalkan sistem klasifikasi massa batuan praktis pertama


yang diberi nama Rock Load Clasification. Sistem klasifikasi masa batuan ini
dominan digunakan di Amerika Serikat dan dinilai sangat sukses untuk terowongan
dengan sistem penyanggaan menggunakan baja (Bieniawski, 1989). (Lauffer’s,
1958) mengusulkan konsep Stand Up Time dari span aktif pada sebuah tunnel, yang
sangat bersangkutan dalam penentuan tipe dan jumlah penyangga pada sebuah
lubang bukaan (Bieniawski, 1989).

(Deere et al, 1967) memperkenalkan Rock Quality Designation yang merupakan


metode klasifikasi batuan yang praktis dan sederhana dalam mendeskripsikan
kualitas masa batuan berdasarkan persentase batuan utuh pada inti bor (Bieniawski,
1989). (Wickham dkk, 1972, 1974), mengembangkan konsep klasifikasi masa
batuan Rock Structure Rating (RSR) di Amerika Serikat. Rock Structure Rating
(RSR) merupakan klasifikasi masa batuan pertama yang menggunakan pembobotan
relatif untuk parameter klasifikasi yang penting (Bieniawski, 1989). (Bieniawski,
1973) mengajukan klasifikasi geomekanika Rock Mass Rating System dan (Barton
et al, 1974) mengajukan klasifikasi geomekanika Q-System. Klasifikasi masa
batuan Rock Mass Rating (RMR) dan Q-system merupakan klasifikasi masa batuan
yang dikembangkan secara luas dan parameter-parameter yang ada pada klasifikasi
masa batuan ini menyediakan data-data kuantitatif untuk pemilihan sistem
penyanggaan dan perkuatan tunnel modern seperti rockbolt dan shotcrete.

III-2
3.2.1. Klasifikasi Rock Mass Rating (RMR)

Metoda RMR (Rock Mass Rating) dikembangkan (Bieniawski, 1973) di Afrika


Selatan dengan memperhitungkan enam parameter. Dari enam parameter yang
digunakan empat diantaranya mewakili struktur geologi yaitu:

1. Rock Quality Designation (RQD),


2. Spasi diskontinuitas,
3. Kondisi diskontinuitas,
4. Orientasi diskontinuitas,
5. Kuat tekan uniaksial,
6. Kondisi air tanah

3.2.1.1. Rock Quality Design (RQD)

Rock Quality Designation (RQD) didefenisikan sebagai persentase perolehan core


yang lebih besar dari 10 cm dibagi panjang lubang bor (Astawa, 1998) dirumuskan
sebagai berikut:
panjang core 10cm
RQD = * 100%.........................................................(3.1)
total panjang
RQD = panjang core ≥ 10 cm

Untuk menentukan RQD, ISRM merekomendasikan ukuran inti paling kecil


berdiameter NX (54,7 mm) yang dibor dengan menggunakan double tube core
barrels. Hubungan antara indeks RQD dan kualitas teknik dari batuan adalah
sebagai berikut:

Tabel 3.1.
Hubungan Indeks RQD dengan Kualitas Massa Batuan (Deere, 1968 dalam Tibri, 2006)
RQD (%) Kualitas batuan
‹ 25 Sangat jelek
Tabel 2.7. Hubungan indeks RQD dengan kualitas massa batuan (Deere, 1968 dalam Tibri,
25 – 50 Jelek
2006)
50 – 75 Sedang
75 – 90 Baik
– 100 indeks RQD dengan kualitas massa Sangat
Tabel 2.7.90Hubungan batuan baik
(Deere, 1968 dalam Tibri,
2006)

III-3
L = 38 cm

Panjang core > 10cm


𝑅𝑄𝐷 = 𝑥 100%
𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑙𝑢𝑏𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑜𝑟

L = 17 cm 43 + 17 + 20 + 38
𝑅𝑄𝐷 = 𝑥 100%
200
L=0
As no centerling
places RQD = 59% Fair Rock
Longer than 10 cm

L = 20 cm

200 cm
L = 43 cm

L = 0 cm. No
Mechanical Break
Recovery
Caused by Drilling
Prosess

Gambar 3.1.
Prosedur penentuan RQD dari hasil coring (Deere, 1899 dan Tibri, 2006)

Jika inti tidak ada, (Palmstrom, 1982) mengusulkan harga RQD dengan
memperkirakan jumlah kekar-kekar per satuan volume (Cemal Biron, 1983)
dirumuskan sebagai berikut:

RQD = 115 – 3,3 jv..........................................................................................(3.2)

Jv = jumlah total kekar per m3.

Walaupun RQD adalah indeks yang sederhana dan murah, tetapi tidak cukup
melakukan deskripsi yang baik dari massa batuan karena tidak memperhatikan
orientasi kekar, keketatan dan material pengisi.

3.2.1.2. Spasi Diskontinuitas

Bidang diskontinuitas adalah semua jenis bidang-bidang yang mungkin berupa


kekar, sesar, bidang perlapisan dan bidang perlipatan atau bidang-bidang lain yang
tidak menerus dalam massa batuan.

Suatu rekahan atau kekar yang parallel disebut set, dan set-set yang saling
berpotongan disebut joint set system. Kemudian jarak tegak lurus antara dua kekar
yang berurutan sepanjang garis pengukuran (scan line) disebut dengan jarak bidang
kekar. Untuk dapat mempermudah pengertian istilah-istilah tersebut dan cara

III-4
pengukuran jarak diskontinuitas (Gambar 3.2) yang menunjukkan idealisasi
pengukuran. Jarak kekar secara normal dimana jarak masing-masing kekar
ditunjukkan dengan jarak d12, d23, d34 dan seterusnya yang diukur pada scan line
AB.

1 d12 2 3 d34 4 5 d56 6


d23 d45
A B
AB = Scan line
(a)

(b)
Gambar 3.2
Penentuan Jarak Kekar dilapangan (ZT. Bieniawski, 1984)

Sedangkan arah strike/dip yang dijumpai dilapangan tidak semudah yang


ditunjukkan oleh (Gambar 3.2a), sehingga scan line AB tidak mungkin untuk
dibuat tegak lurus dengan bidang-bidang kekar, dimana dilakukan pengukuran dan
pengamatan dengan membuat scan line AB secara sembarang (Gambar 3.2b).
Panjang minimum scan line untuk pengukuran jarak diskontinuitas adalah sekitar
50 kali jarak rata-rata diskontinuitas yang diukur. Sedangkan (ISRM, 1981)
panjang scan line cukup 10 kali saja tergantung kepada tujuan pengukuran. Jarak
diskontinuitas menurut (Attewell, 1983) dan (Deere, 1968) dapat dilihat pada
(Tabel 3.2 dan 3.3). Jarak diskontonuitas yang rapat dapat terdiri dari tiga atau lebih
set yang saling berpotongan membuat batuan menjadi blok-blok kecil, sehingga
memperlemah blok-blok batuan. Kondisi ini menjadi lebih buruk jika kekar
mempunyai kuat geser yang rendah maka blok batuan tersebut dapat jatuh.

III-5
Tabel 3.2.
Klasifikasi Jarak Kekar. (Attewell, 1993 dalam Tibri, 2006)

Deskripsi Struktur bidang diskontinuitas Jarak (mm)

Sangat lebar Perlapisan sangat tebal > 2000

Lebar dan luas Perlapisan tebal 600 – 2000

Lebar sedang Perlapisan sedang 200 – 600

Dekat Perlapisan tipis 60 – 200


Perlapisan sangat tipis 20 – 60
Sangat berlapis 6 – 20
Sangat dekat
Perlapisan tipis (metamorf dan beku) 6 – 20
Berfolias,belahan aliran perlapisan 6 – 20
Perlapisan tipis (sedimen) < 20
Sangat dekat sekali sangat berfoliasi, belahan aliran <6
perlapisan, dll (batuan metamorf dan beku) <6

Tabel 3.3.
Klasifikasi jarak kekar. (Deere, 1968 dalam Tibri, 2006)

Deskripsi Struktur bidang diskontinuitas Jarak (mm)

Sangat lebar Padat > 3000

Lebar Massif 1000 – 3000

Cukup dekat Blooky/terpecah 300 – 1000

Dekat Terpecah 50 – 300

Sangat rapat Hancur dan tersebar < 50

3.2.1.3. Kondisi Bidang Diskontinuitas

Kondisi bidang diskontinuitas dipengaruhi oleh kekasaran (roughnes), regangan,


pelapukan batuan samping dan material pengisi. Kekasaran merupakan komponen
penting dalam kuat geser terutama untuk kekar yang mengalami pergeseran atau
terisi oleh material lain. Kekasaran yang saling mengunci dan saling menempel

III-6
akan mempertinggi kuat geser. Di lapangan penentuan kekasaran dapat dilakukan
dengan meraba permukaan kekar.

Panduan untuk menentukan profil kekasaran dan deskripsinya diberikan oleh


(ISRM, 1981). Panduan ini untuk panjang profil dalam 1 – 10 m dengan skala
vertikal dan horizontal sama. Regangan adalah jarak tegak lurus yang memisahkan
batuan dinding dari kekar yang terbuka. Kekar yang terisi oleh material lain dapat
digolongkan sebagai sepasi jika material pengisinya telah tercuci secara local.
Separasi dapat dikatakan kecil jika kekasaran dinding kekar cenderung menjadi
terkunci dan material pengisi kekar memberikan dukungan terhadap kuat geser.
Pelapukan batuan samping disisi bidang diskontinuitas dinyatakan dalam derajat
pelapukan sebagai berikut:

- Tidak lapuk; tidak ada tanda-tanda pelapukan, batuannya segar dan kristalnya
nampak jelas, waaupun terdapat beberapa pada kekar ada sedikit pelapukan.

- Sedikit terlapukkan; pelapukan terdapat pada kekear terbuka, tetapi pada


batuan utuh terjadi hanya sedikit saja, dan perubahan warna pada kekar dapat
mencapai jarak 10 mm.

- Terlapukkan sedang; perubahan warna mencapai bagian yang lebih luas,


batuan tidak mudah lepas (kecuali pada batuan sedimen dengan penyemenan
jelek)

- Sangat terlapukkan; pelapukan mencapai semua bagian massa batuan dan


mudah pecah, tidak mengkilap, semua material lain kecuali kwarsa sudah
berubah warna, batuan mudah pecah (digali dengan palu geologi).

- Terlapukkan sempurna; massa batuan secara keseluruhan sudah berubah warna


dan mengalami dekomposisi serta dalam keadaan rapuh, hanya terlihat bekas
struktur saja, kenampakan luar sudah seperti tanah.

Material pengisi antara lain kalsit, lempung, lanau, kwarsa dan lain sebagainya. Jika
terisi oleh material pengisi maka harus ditentukan tebal, jenis dan kemenerusannya.
Material pengisi sangat mempengaruhi kekuatan batuan, karena mampu sebagai
perekat dan sebagai pemisah antar blok.

III-7
3.2.1.4. Orientasi Bidang Diskontinuitas

Orientasi bidang diskontinuitas digambarkan oleh jurus dan kemiringan. Kutup


dicatat dengan mengacu pada kutup utara magnet bumi sedangkan kemiringan
adalah sudut yang dibentuk antara bidang horizontal dengan bidang kekar searah
dengan bidang kemiringan.

Orientasi bidang diskontinuitas dalam terowongan dapat dikategorikan dengan


istilah menguntungkan dan tidak menguntungkan. Bidang kekar yang
menguntungkan dalam terowongan, jika jurus kekar relatif tegak lurus terhadap
sumbu aksis terowongan. Sedangkan jika jurus kekar relatif sejajar terhadap arah
sumbu aksis terowongan maka kondisi ini dikatakan tidak menguntungkan.

3.2.1.5. Uniaxial Compressive Strength (UCS)

Pengujian ini menggunakan mesin tekan untuk memecahkan batuan yang berbentuk
silinder, balok, atau prisma dari satu arah dengan luas perconto A dan panjang
perconto l. Pada pengujian ini gaya (kN) dan perpindahan (mm) menurut sumbu
aksial dan lateral direkam hingga batuan pecah. Hasil pengujian UCS dibuat kurva
tegangan regangan (Gambar 3.3) dengan perolehan data sifat mekanik batuan
seperti kuat tekan batuan (σc), modulus elastisitas (E) dan poisson ratio (υ).

Jika data kuat tekan hasil iji UCS tidak diperoleh, maka dapat menggunakan kuat
tekan batuan dengan uji Point Load strength Index. Point Load Index merupakan
salah satu indikator yang menunjukkan kekuatan batuan yang diperoleh dengan
menempatkan suatu sampel batuan pada sebuah titik konsentrasi yang diberikan
beban secara menerus meningkat melalui sepasang plat kerucut sampai terjadi
kerusakan (ASTM D 5731-05). Jika kedua pengujian diatas tidak ada maka dapat
dilakukan pendekatan standar indeks manual sebagai dasar uji dilapangan (Tabel
3.4).

III-8
Kurva Tegangan-Regangan
14

12

10

Tegangan (MPa) 8
axial
lateral
6 volumetrik

0
-3000 -2000 -1000 0 1000 2000 3000 4000 5000
Regangan (mikrostrain)

Gambar 3.3.
Kurva Tegangan – Regangan Hasil Uji UCS

Tabel 3.4.
Manual Indeks Uniaksial Compressive Strength (UCS). (Astawa, 1998)
Indeks point
UCS
Deskripsi Uji lapangan load
(MPa)
(MPa)
Sangat lemah Bisa ditekan dengan palu 0,25 – 1,0 -
Hancur bila dipukul dengan palu/dapat
Lemah 5 – 25 -
digores dengan pisau
Sedang Tidak dapat digores dengan pisau 25 – 50 <1
Dapat hancur dengan memukul lebih
Kuat 50 – 100 2–4
dari satu kali
Dapat hancur dengan memukul berkali-
Sangat kuat 100 - 200 4 – 10
kali
Sangat kuat sekali Sulit pecah dipukul dengan palu > 250 > 10

3.2.1.6. Kondisi Air Tanah

Dalam pembuatan terowongan, sebaiknya diukur kecepatan aliran air tanah dalam
liter per menit sepanjang 10 m penggalian. Tetapi dilapangan dipakai cara yang
relatif mudah yaitu dengan meraba permukaan batuan lalu kondisi air tanahnya
dinyatakan dengan kondisi kering, lembab, basah, menetes dan mengalir.

III-9
3.2.1.7. Prosedur Klasifikasi Sistem Rock Mass Rating (RMR)

Ada enam langkah dalam menggunakan sistem RMR yaitu:

1. Menghitung bobot (rating) total dalam (Tabel 3.5) sesuai dengan kondisi
lapangan sebenarnya, yakni dengan menjumlahkan semua rating dari UCS,
RQD, jarak diskontinuitas, kondisi diskontinuitas, dan kondisi air tanah.

2. Menilai kedudukan sumbu terowongan terhadap jurus/kemiringan bidang


diskontinuitas (Tabel 3.6).

3. Setelah menentukan sumbu terowongan terhadap jurus dan kemiringan bidang-


bidang diskontinuitas, maka ratingnya ditetapkan (Tabel 3.7), langkah ini
disebut juga sebagai penyesuaian rating.

4. Menjumlahkan rating dari langkah pertama dengan rating yang didapatkan dari
langkah ketiga, sehingga diperoleh total rating sesudah penyesuaian. Dari
rating ini diperoleh kelas massa batuan (Tabel 3.8).

5. Setelah kelas massa batuan diperoleh maka dapat diperoleh arti kelas massa
batuan dengan memperoleh nilai Stand-up time dari masaa batuan tersebut
dengan span tertentu serta kohesi dan sudut geser dalamnya (Tabel 3.9).

6. Berdasarkan klasifikasi geo-mekanika ini, Bieniewski memberikan petunjuk


penggalian dan penyangga terowongan (Tabel 3.10). Petunjuk ini hanya
berlaku dibatuan dengan lebar 10 m, berbentuk tapal kuda, tegangan vertikal
lebih kecil dari 25 MPa, serta metode penggalian dengan pemboran dan
peledakan.

Tabel 3.5.
Parameter Klasifikasi dan Pembobotan (ZT. Bieniawski, 1984).

Parameter Selang Nilai

Untuk nilai
Kuat PLI yang kecil di
> 10 4 – 10 2–4 1–2
Tekan (MPa) pakai hasil
1 Batuan UCS
Utuh UCS 100 – 50 – 5- 1-
> 250 25 – 50 <1
(MPa) 200 100 25 5
Pembobotan 15 12 7 4 2 1 0
2 RQD (%) 90 – 100 75 – 90 50 – 75 25 – 50 25

III-10
Pembobotan 20 17 13 8 3
Jarak 0,6 – 2 200 -
>2m 60 – 200 mm < 60 mm
3 Diskontinuitas m 600 mm
Pembobotan 20 15 10 8 5
Permukaan
Agak Agak
sangat
kasar, kasar,
kasar, Slikensided/gouge Gouge lunak >
separasi separasi
Kondisi tidak < 5 mm, atau 5 mm, atau
<1 <1
4 Diskontinuitas menerus, separasi 1 – 5 separasi > 5
mm, mm,
tidak mm, menerus mm, menerus
agak sangat
renggang,
lapuk lapuk
tidak lapuk
Pembobotan 30 25 20 10 0
Aliran /
10 m
panjang Tidak ada < 10 10 – 25 25 – 125 > 125
tunnel
(L/min)
Airtanah

Tekanan
pori
5 0,1 –
dibagi 0 < 0,1 0,2 – 0,5 > 0,5
0,2
tegangan
utama
Keadaan
Kering Lembab Basah Menetes Mengalir
Umum
Pembobotan 15 10 7 4 0

Tabel 3.6.
Efek Jurus/kemiringan Diskontinuitas di Dalam Penerowongan. (ZT. Bieniawski, 1984).

Arah jurus tegak lurus sumbu terowongan Arah jurus


Mengabaikan
sejajar sumbu
Maju Searah Maju Melawan Jurus
terowongan
Kemeringan Kemiringan
Dip
Dip Dip Dip Dip Dip Dip
45o –
45o – 90o 20o – 45o 20 o
– 45o 45o – 90o 20o – 45o 0o – 20o
90o
Sangat
Sangat Tidak
Mengun- tidak
Mengun- Sedang Mengun- Sedang Sedang
tungkan Mengun-
tungkan tungkan
tungkan

Tabel 3.7.
Penyesuaian Pembobotan Orientasi Bidang Diskontinuitas. (ZT. Bieniawski, 1984).
Sangat Tidak
Jurus dan Kemiringan Mengun- Sangat tidak
Mengun- Sedang Mengun-
Orientasi Diskontinuitas Tungkan Menguntungkan
tugkan tungkan
Terowongan 0 -2 -5 -10 -12
Pembobotan Pondasi 0 -2 -7 -15 -25
Lereng 0 -5 -25 -50 -60

III-11
Tabel 3.8.
Kelas Massa Batuan Yang Ditentukan Dari Pembobotan Total. (ZT. Bieniawski, 1984).
Pembobotan 100 – 81 80 – 61 60 – 41 40 – 21 < 20
No. Kelas I II III IV V
Sangat
Diskripsi Baik Sedang Jelek Sangat Jelek
Baik

Tabel 3.9.
Arti Kelas Massa Batuan. (ZT. Bieniawski, 1984).

No. Kelas I II III IV V

20 Tahun 6 Bulan 1 Minggu 10 jam 30 Menit


Stand-up time
untuk span untuk span untuk span untuk span untuk span 1
Rata-rata
15 m 8m 5m 2,5 m m
Kohesi Massa Batuan
> 400 300 – 400 200 – 300 100 – 200 < 100
(Kpa)
Sudut Geser Dalam
> 45 35 – 45 25 – 35 15 – 25 < 15
Massa Batuan (derajat)
(Bieniawski, 1976) memberikan hubungan antara waktu stabil tanpa penyangga
(Stand-up time) denga span untuk berbagai kelas masssa batuan menurut klasifikasi
geomekanikan (Gambar 3.4). Hubungan ini sangat penting sekali diketahui pada
saat penggalian terowongan.

Gambar 3.4.
Hubungan Antara Stand-Up time dengan Span Untuk Berbagai Kelas Massa Batuan.
(ZT. Bieniawski, 1984)

III-12
Tabel 3.10.
Petunjuk Untuk Penggalian dan Penyangga Terowongan Batuan Dengan Klasifikasi Sistem RMR.
(ZT. Bieniawski, 1984)

KELAS PENYANGGAAN
MASSA PENGGALIAN ROCK BOLT (20 mm STEEL
BATUAN SHOTCRETE
Dia, Fully Grouted) SETS
Batuan
Sangat Baik
Full Face, dengan Umumnya tanpa penyanggaan, adakalanya
(Kelas I)
Kemajuan 3 m pengukuran dilakukan untuk memakai “spot bolting”
RMR 81 –
100
Batuan
Full Face, dengan Lokalisasi, bolt pada
Baik
kemajuan 1 – 1,5 m atap sepanjang 3 m
(Kelas II) 50 mm di atap Tidak ada
penyangga komplet 20 adakalanya dengan
RMR 61 –
m dari face wire mesh
80
Bolt Sistematis
Top heading dan
Batuan panjang 4 m dengan 50 – 100 mm
bench, dengan
Sedang spasi di atap dan 30
kemajuan 1,5 – 3 m.
(Kelas III) 1,5 – 2 m di atap dan mm di Tidak ada
Penyanggan dimulai
RMR 41 – di dinding. Pada atap dinding
setelah peledakan dan
60 dibuat dengan wire (sides).
10 m dari face.
mesh.
Top heading dan Bolt sistematis
Bantuan 100 – 150 mm
bench, dengan panjang 4 – 5 m Ribs ringan
jelek di atap dan
kemajuan 1 – 1,5 di dengan spasi – sedang
(Kelas IV) 100 mm di
top heading. Lakukan 1 – 1,5 m di atap dan dengan
RMR 21 – dinding
penyanggaan setiap 10 di dinding dengan spasi 1,5 m
40 (sides)
m penggalian dari face. wire mesh.
Multiple drifts dengan
Bolt sistematis 150 – 200 mm Rib sedang
kemajuan 0,5 – 1,5 m
Batuan panjang 5 – 6 m di atap, 150 – berat
di top heading. Buat
Sangat dengan spasi mm di dengan
penyangga setiap
Jelek 1 – 1,5 m di atap dan dinding spasi 0,75 m
penggalian.
(Kelas V) di dinding dengan (sides), dan dengan steel
Shotcrete d segera
RMR < 20 wire mesh. Buat Bolt 50 mm pada lagging dan
dipasang setelah
di lantai (invert) face forepoling.
peledakan.

3.2.2. Klasifikasi Q-System

Q-system merupakan sistem klasifikasi berbentuk empirik dengan masukan enam


parameter yang dinyatakan dalam persamaan berikut
RQD Jr Jw
Q = x Ja x SRF ............................................................................................. (3.3)
Jn

Keterangan:
RQD = Rock Quality Designation
Jn = Jumlah Kekar
Jr = Kekasaran Permukaan Bidang Diskontinu
Ja = Tingkat Alterasi Bidang Diskontinu

III-13
Jw = Kondisi Hidrologi Bidang Diskontinu
SRF = Faktor Tegangan

Berikut penjelasan mengenai parameter yang digunakan dalam menentukan nilai Q


dari massa batuan berdasarkan (NGI Handbook Using the Q-System, 2013).

3.2.2.1. Rock Quality Designation (RQD)

RQD didefinisikan sebagai prosentase panjang core utuh yang lebih dri 10 cm
terhadap panjang total core run. Diameter core yang di pakai dalam pengukuran
minimal 54,7 mm. Dan harus di bor dengan double-tube core barrel. Perhitungan
RQD mengabaikan mechanical fracture. Yaitu fracture yang di buat secara sengaja
atau tidak selama kegiatan pengeboran atau pengukuran (Hoek, dkk, 1995).

Namun pada pengambilan nilai RQD di lapangan dengan menggunakan persamaan


(Palmstrom, 1982) RQD = 115-3,3 Jv, dimana Jv adalah jumlah joint per satuan
volume massa batuan. Jika S adalah joint spacing dalam satuan joint set, maka Jv
1
dapat di tentukan dengan persamaan Jv =∑𝑆. Hubungan antara Jv dan RQD

(Gambar 3.5)

RQD = 115- 3,3. Jv

Gambar 3.5.
Grafik hubungan Jv Dan RQD (Palmstrom, 1982)

Pada perhitungan nilai Q, parameter RQD diberi bobot berdasarkan nilai RQD-nya
(Tabel 3.11) di bawah ini.

III-14
Tabel 3.11.
Pembobotan Nilai RQD dari Jumlah kekar.
RQD (Rock Quality Designation) RQD
A Sangat buruk (> 27 kekar per m3 ) 0-25
B Buruk (20-27 kekar per m3 ) 25-50
3
C Memadai (13-19 kekar per m ) 50-75
D Baik (8-12 kekar per m3 ) 75-90
3
E Memuaskan (0-7 kekar per m ) 90-100
Catatan: i) Dimana RQD dilaporkan atau diukur dengan <10 (termasuk 0) sebuah nilai dari 10
digunakan untuk mengevaluasi Qii) Interval RQD = 5 cukup teliti, yaitu 100,95,90 dan seterusnya
(Sumber: NGI Handbook Using the Q-System, 2013)

3.2.2.2. Jumlah Kekar (Jn)

Famili kekar didefinisikan sebagai kumpulan jumlah kekar yang jurusnya (strike)
paralel satu sama lain, terjadi secara berulang dan memiliki karakterisasi spasi
pengulangan yang sama. Kekar acak didefinisikan sebagai kekar-kekar yang tidak
memiliki pengulangan dan bukan merupakan pembentuk utama blok-blok pada
massa batuan.

Panjang kekar tidak secara langsung berpengaruh terhadap nilai Q, namun


berpengaruh terhadap kestabilan massa batuan. Kekar yang panjangnya dapat
memotong seluruh penampang lubang bukaan akan lebih berpengaruh terhadap
kestabilan lubang bukaan daripada kekar-kekar yang pendek. Kekar-kekar yang
sangat pendek, yang sering kali dikelompokkan sebagai retakan, hanya berpengaruh
terhadap kestabilan massa batuan lokal. Pada perhitungan nilai Q, parameter jumlah
famili kekar diberi bobot (Tabel 3.12) dibawah ini.

Tabel 3.12.
Pembobotan Jumlah Kekar
Jumlah Famili Kekar Jn
A Masif, tidak ada atau sedikit kekar 0.5-1.0
B Satu bentuk kekar 2
C Satu bentuk kekar ditambah kekar acak 3
D Dua bentuk kekar 4
E Dua bentuk kekar ditambah kekar acak 6
F Tiga bentuk kekar 9
G Tiga bentuk kekar ditambah kekar acak 12
H Empat atau lebih bentuk kekar, acak, kekar dengan berat “kubus gula” dan lain- 15
lain
J Batuan hancur 20
Catatan: i) untuk perpotongan dipakai(3 x Jn)
ii) untuk portal dipakai(2 x Jn)
Sumber: NGI Handbook Using the Q-System, 2013

III-15
Gambar 3.6.
Pola-Pola Kekar Ditunjukan dalam Diagram Blok dan Stereonet

3.2.2.3. Kekasaran Permukaan Bidang Diskontinu (Jr)

Kekasaran permukaan menggambarkan kuat geser bidang diskontinu. Penentuan


kekasaran permukaan dapat dilakukan dengan meraba permukaan bidang
diskontinu dengan ujung jari atau menggunakan alat yang disebut profilometer.
Terdapat dua skala kekerasan yang digunakan yaitu struktur yang memiliki skala
centimeter sampai milimeter, mendeskripsikan permukaan bidang diskontinu
sebagai kasar sampai halus dan struktur yang memiliki skala desimeter sampai
meter, mendeskripsikan permukaan bidang diskontinu sebagai rata sampai
bergelombang sampai kepada terjal.

Gambar 3.7.
Klasifikasi Kekasaran Permukaan

Pada perhitungan nilai Q, parameter kekasaran permukaan bidang diskontinu diberi


bobot (Tabel 3.13) dibawah ini.

III-16
Tabel 3.13.
Pembobotan Nilai Kekasaran Permukaan Bidang Diskontinu
Kekasaran Permukaan Bidang Diskontinu Jr

a) Dinding batuan bersentuhan, dan


b) Sentuhan dinding batuan sebelum menggeser 10 cm
A Kekar tidak menerus 4
B Kasar atau tidak teratur, bergelombang 3
C Halus, bergelombang 2
D Licin, bergelombang 1.5
E Kasar, tidak teratur, rata 1.5
F Halus, rata 1
G Licin, rata 0.5
Catatan: i) Desripsi B ke Ggambaran untuk skala kecil dan menengah sebagaimana ditentukan
c) Tidak ada dinding batuan bersentuhan setelah pergeseran
H Tebal zona mineral yang mengandung lempung cukup untuk menahan sentuhan 1
dinding batuan
Catatan: ii) Tambahan 1 jika bentuk kekar relevan lebih besar dari 3 m
iii) Jr = 0,5 dapat digunakan untuk kekar yang licin dan rata yang mempunyai
perlapisan, asalkan perlapisan diorientasikan untuk kekuatan minimum

Sumber: NGI Handbook Using the Q-System, 2013

3.2.2.4. Tingkat Alterasi Bidang Diskontinu (Ja)

Material pengisi bidang diskontinu mempengaruhi kuat geser. Dua hal yang harus
diperhatikan berkaitan dengan material pengisi adalah ketebalan dan komposisi
material pengisi bidang diskontinu. Penentuan tingkat alterasi berdasarkan
ketebalan material pengisi dibagi kedalam tiga kategori, yaitu:
a. Dinding bidang diskontinu saling kontak
b. Dinding bidang diskontinu terpisah dengan jarak kurang dari 10 cm
c. Dinding bidang diskontinu terpisah dengan jarak lebih dari 10 cm
Pada setiap kategori, tingkat alterasi dievaluasi berdasarkan komposisi dari material
pengisi.

III-17
Gambar 3.8.
Bidang Diskontinu dengan dan Tanpa Kontak

Pada perhitungan nilai Q, parameter tingkat alterasi bidang diskontinu diberi


bobot seperti tertera pada (Tabel 3.14) dibawah ini.

Tabel 3.14.
Pembobotan Nilai Tingkat Alterasi Bidang Diskontinu
Tingkat Alterasi Bidang Diskontinu Φr Ja
approx.
a) Dinding batuan bersentuhan
A Sangat rapat, keras, tidak ada pelunakan, tidak dapat ditembus pengisian yaitu: 0.75
kwarsa dan epidot.
B Dinding kekar tidak berubah, permukaan hanya tercemari. 25-35° 1
C Dinding kekar agak berubah, tidak ada pelunakan, perlapisan 25-30° 2
mineral, partikel pasiran, lempung tanpa batuan hancur dan lain-
lain.
D Perlapisan lempung lanauan atau lempung pasiran, fraksi lempung 20-25° 3
kecil (tidak ada pelunakan).
E Pelunakan atau geseran rendah perlapisan mineral lempung yaitu 8-16° 4
kaolinit dan mika.
Juga klorit, talk, gypsum, grapit dan yang lainnya dan sejumlah
lempung yang mengembang.
b) Sentuhan dinding batuan sebelum menggeser 10 cm

F Partikel pasiran, lempung tanpa batuan hancur, dan lain-lain 25-30° 4


G Benar-benar terkonsolidasi berlebihan, tidak ada pelunakan, 16-24° 6
mineral pengisi (menerus dengan ketebalan < 5 mm).
H Konsolidasi berlebihan sedang – rendah, pelunakan, pengisi 12-16° 8
mineral lempung (menerus dengan ketebalan <5 mm).
J Pengisi lempung yang memuai yaitu: montmorilonit (menerus 6-12° 8-12
dengan ketebalan <5 mm). Nilai Ja tergantung pada persentase
partikel lempung yang memuai dan keberadaan air.
c) tidak bersentuhan dinding batuan ketika menggeser
K Zona – zona lempung atau batuan hancur (lihat G, H, J untuk 16-24° 6, 8, 8
pemerian kondisi lempung) . -12
L Zona – zona lempung lanauan atau lempung pasiran fraksi lempung 12-16° 5
kecil (tidak ada pelunakan)

III-18
M Tebal zona – zona lempung menerus (lihat G, H, J untuk pemerian 6-12° 10,
kondisi lempung). 13,
13-20
Sumber: NGI Handbook Using the Q-System, 2013

3.2.2.5. Kondisi Hidrologi Bidang Diskontinu (Jw)

Keberadaan air pada bidang diskontinu melunakkan material pengisi dan


mengurangi kuat geser, sampai mengikis material pengisi. Tekanan air juga
mengurangi gaya normal pada permukaan bidang diskontinu dan memudahkan blok
batuan untuk lepas. Penentuan Jw berdasarkan kecepatan aliran air di dalam lubang
bukaan atau celah pada bidang diskontinu. Pada perhitungan nilai Q, parameter
kondisi air pada bidang diskontinu diberi bobot seperti tertera pada (Tabel 3.15)
dibawah ini.

Tabel 3.15
Pembobotan Nilai Kondisi Air Pada Bidang Diskontinu
Kondisi Air Pada Bidang Diskontinu Jw
A Lubang bukaan kering atau aliran kecil 1.0
B Aliran air kecil, terjadi pencucian pengisi kekar 0.66
C Aliran dan tekanan air besar batuan kompeten yang kekarnya tidak terisi 0.5
material
D Aliran dan tekanan air besar, kemungkinan mencuci material pengisi kekar 0.33
E Dengan pengecualian pemasukan dan tekanan air sangat tinggi, pada 0.2-0.1
peledakan kerusakan sejalan dengan waktu
F Pengecualian pemasukan dan tekanan air sangat tinggi, terus menerus tanpa 0.1-0.05
kerusakan yang menyolok
Catatan: i) Faktor – factor c sampai f adalah estimasi kasar. Tambahan Jw, jika dipasang alat
pengukur drainase
ii) masalah khusus yang disebabkan deformasi tidak dipertimbangkan

3.2.2.6. Stress Reduction Factor (SRF)

SRF menggambarkan keadaan tegangan dan kekuatan massa batuan sekitar lubang
bukaan. SRF dapat ditentukan dari nisbah kuat tekan uniaxial batuan σc terhadap
tegangan prinsipal mayor σ1, atau nisbah tegangan tangensial σθ terhadap kuat tekan
uniaxial batuan σc. Apabila data-data tersebut tidak tersedia, penentuan besarnya
SRF harus diperkirakan dari pengalaman berdasarkan pengamatan yang dilakukan
di terowongan.

III-19
Gambar 3.9.
Nilai SRF Berkaitan dengan Jumlah Zona Lemah

Pada perhitungan nilai Q, parameter stress reduction factor diberi bobot seperti
tertera pada (Tabel 3.16) dibawah ini.

Tabel 3.16.
Pembobotan Nilai Stress Reduction Factor
Stress Reduction Factor SRF
a) penggalian memotong zona bidang lemah yang dapat menghasilkan daerah runtuhan
apabila terowongan selesai digali
A Banyak bidang lemah yang mengandung lempung dan batuan terlapukkan, 10
batuan disekitarnya sangat lepas (berbagai kedalaman)
B Multi zona geser pada batuan kompeten (bebas lempung) daerah batuan 7.5
lepas (sembarang kedalaman penggalian)
C Terdapat bidang lemah tunggal yang mengandung lempung dan batuan 5
terlapukan (kedalaman penggalian ≤ 50m)
D Lepas, kekar terbuka berbentuk “kubus gula” (pada sembarang kedalaman) 5
E Zona geser tunggal pada batuan kompeten (bebas lempung, kedalaman 2.5
penggalian > 50 m
Catatan: i) kurang nilai – nilai SRF ini dengan 25 – 50% jika zona geseran relevan hanya
berpengaruh tetapi tidak memotong penggalian
b) batuan kompeten,masalah tegangan batuan σc /σ1 σθ /σc SRF
F Tegangan rendah, dekat permukaan, kekar terbuka >200 <0.01 2.5
G Tegangan medium, keadaan tegangan mendukung 200-10 0.01-0.3 1
H Tegangan tinggi, struktur sangat padat. Biasanya 10-5 0.3-0.4 0.5-2
mendukung stabilitas tetapi kurang mendukung 2-5*
untuk stabilitas dinding
J Hancur batuan sedang (batuan massive) 5-3 0.5-0.65 5-50
K Kerusakan pada batuan beberapa menit (batuan 3-2 0.65-1 50-200
massive)
L Hancuran batuan tinggi (batuan massive) <2 >1 200-400
Catatan : ii) untuk tegangan murni anisotropic lapangan yang sangat kuat (jika diukur): apabila
5 ≤ σ1/σ3 ≤ 10, kurangi σc sampai 0.75 σc . apabilaσ1/σ3> 10, kurangiσc dan menjadi 0.5 σc ,
dimanaσc = kuat tekan bebas, σ1 danσ3 adalah tegangan utama, danσθ = kuat tarik (dari teori
elasisitas )
iii) beberapa catatan kasus adalah dimana kedalaman crown dibawah permukaan kurang dari
panjang bentang. Diperkirakan SRF naik dari 2.5 menjadi 5 untuk kasus seperti itu (lihatF)
c) batuan sisipan, aliran plastis dari dua batuan tidak σθ / SRF
kompeten dibawah tingginya tekanan batuan σc

III-20
M Tekanan batuan sisipan sedang 1-5 5-10
N Tekanan batuan sisipan tinggi >5 10-20
d) batuan memuai, aktivitas pemuaian tergantung pada air SRF
O Tekanan batuan memuai sedang 5-10
P Tekanan batuan memuai tinggi 10-15
Sumber: NGI Handbook Using the Q-System, 2013.

Untuk menghitung tekanan penyanggaan yang dibutuhkan untuk beban terowongan


dapat dihitungan dengan Persamaan 3.4 dan 3.5
Tekanan penyangga permanen pada atap lubang bukaan :
1 .0
Proof = Jn½ Q1/3.................................................................................... (3.4)
15 Jr
Tekanan penyangga di dinding lubang bukaan:
1 .0
Pwall = Jn½ Qwall1/3................................................................................... (3.5)
15 Jr
3.2.2.7. Prosedur Klasifikasi Q-System

1. Klasifikasikan kualitas massa batuan melalui peta topografi, core bor anality
atau trial adit. Klasifikasi ditujukan untuk menentukan pemerian nilai RQD,
jumlah pasangan kekar (Jn), kekasaran kekar (Jr), alterasi kekar (Ja), aliran air
tanah air tanah (Jw) dan pembebanan tegangan-regangan.

2. Pilih dimensi optimum penggalian berupa tujuan penggalian dilakukan yang


dinyatakan dengan ESR.

3. Tentukan permanent support untuk digunakan pada lubang bukaan sesuai


dengan harga Q yang disesuaikan.

Hubungan antara indeks Q dan dimensi eqivalen dapat menentukan ukuran


penyangga yang sesuai. (Barton dkk, 1974) menyediakan kategori penyangga
sebanyak 38 buah yang memenuhi syarat untuk penyangga permanen.

(Barton, 1980) memberikan informasi tambahan terhadap panjang rockbolt, span


maksimum dan tekanan penyangga atap untuk melengkapi rekomendasi penyangga
pada publikasi yang diterbitkan tahun 1974. Panjang L dari rockbolt ditentukan dari
lebar penggalian (B) dan dari nilai ESR melalui persamaan :
2+ 0,5 𝐵
L= ..........................................................................................................(3.6)
𝐸𝑆𝑅

III-21
3.3. Distribusi Tegangan

3.3.1. Tinggi Beban Terowongan

(Terzaghi, 1946) memformulasikan metode klasifikasi rasional yang pertama


dengan mengevaluasikan beban yang tepat untuk merancang steel sets. Ini
merupakan pengembangan yang penting karena penyangga dengan steel sets telah
digunakan secara luas untuk penggalian terowongan batuan selama 50 tahun yang
lalu. Klasifikasi ini hanya cocok untuk memperkirakan beban batuan untuk
terowongan yang disangga dengan steel arch, tetapi tidak cocok untuk metode
penerowongan yang modern dengan menggunakan shotcrete dan rock bolt.
Sesudah mempelajari secara rinci, (Cecil, 1970) menyimpulkan bahwa metode
Terzaghi terlalu umum untuk dapat mengevaluasi secara objektif kualitas batuan
dan tidak menyediakan informasi kuantitatif dari sifat sifat massa batuan.
Gambaran umum dari klasifikasi Terzagi (Gambar 3.10) dan dituliskan pada
(Tabel 3.17 serta 3.18). Nilai rock load (Tabel 3.18) digunakan untuk
mendeskripsikan ground conditions jika terowongan terletak di bawah muka air
tanah. Jika terowongan terletak di bawah muka air tanah, rock load untuk kelas 4-
6 dapat dikurangi dengan 50%. Revisi yang penting dari koefisien rock load
klasifikasi Terzaghi diberikan oleh (Rose, 1982) di dalam (Tabel 3.18) yang
memperlihatkan kondisi batuan Terzaghi 4-6 harus dikurangi dengan 50% dari
nilai rock load awal karena muka air tanah efeknya kecil terhadap rock load.

W
c B d
i
H

Hp

Ht
B
a b

Gambar 3.10.
Konsep Beban Batuan Terowongan oleh (Terzaghi , 1946)

III-22
Tinggi beban (ht) dan tekanan batuan terhadap penyangga (P) dapat juga ditentukan
dengan rumus yang diusulkan oleh (Unal, 1983) dengan memakai nilai RMR dari
klasifikasi Geomekanika sebagai berikut.

100 − RMR
Ht = B .............................................................................................(3.7)
100
Keterangan :

Ht = tinggi beban batuan (m)


RMR = Rock Mass Rating (bobot nilai batuan)
B = lebar lubang bukaan atau lebar terowongan

Dari persamaan diatas terlihat bahwa tinggi beban (ht) merupakan fungsi dari lebar
bukaan dan bobot nilai batuan. Tekanan batuan yang diterima penyangga
tergantung pada tinggi beban dan bobot isi batuannya.
Tabel 3.17.
Klasifikasi pembebanan batuan (Terzaghi, 1946)
TINGGI MUATAN
KONDIS BATUAN CATATAN
BATUAN, Hp (m)
Lapisan ringan saja, walaupun
1. Keras dan kompak 0
ada hanya terjadi spalling ringan.
Lapisan ringan terutama untuk
2. Perlapisan keras atau skistosa 0 – 0,50 B
perlindungan dari jatuhan blok.
Masif, diskontinuitas yang Perubahan tak menentu dari
3. 0 – 0,25 B
sedang jumlahnya. beban.
Terbagi-bagi dalam blok
dalam jumlah yang sedang 0,25 B – 0,35 (B +
4. Tidak ada tekanan lateral
dengan rekahan yang cukup Ht)
banyak
Sangat terbagi dalam blok-
0,35 B – 1,10 (B + Sedikit atau tidak ada tekanan
5. blok dengan rekahan yang
Ht) lateral
banyak dan berkembang
Tekanan lateral yang amat besar.
Terpecah keseluruhan tetapi
6. 1,10 (B + Ht) Akibat dari hilangnya kekuatan
masih bersatu secara kimia
yang disebabkan oleh infiltrasi.
Batuan yang berperan dalam Tekanan lateral yang besar,
7. pemampatan pada kondisi (1,10 – 2,10) (B + Ht) penyangga besi baja sirkuler (rib)
kedalaman yang sedang direkomendasikan.
Batuan yang berperan dalam
(2,10 – 4,50 ) (B +
8. pemampatan pada kondisi
Ht)
kedalaman yang besar
Penyangga besi baja sirkuler (rib)
Sampai 90 m tidak diperlukan. Dalam keadaan
Batuan yang mengembang
9. tergantung dari (B + ektrim gunakan perhitungan
(swelling rock)
Ht) tekanan keruntuhan penyanggaan
(yielding support)

III-23
Catatan ; Beban batuan Hp (ft), lebar lubang bukaan (ft), Tinggi Ht (ft) pada
kedalaman tidak lebih dari 1,5(B + Ht)
Tabel 3.18.
Klasifikasi Rock Load Terzaghi yang digunakan a b

TINGGI MUATAN
KONDIS BATUAN RQD CATATAN
BATUAN, Hp (ft)
Lapisan ringan saja,
1. Keras dan kompak 95 – 100 0 walaupun ada hanya
terjadi spalling ringan.
Lapisan ringan terutama
Perlapisan keras
2. 90 – 99 0 – 0,50 B untuk perlindungan dari
atau skistosa
jatuhan blok.
Masif,
Perubahan tak menentu
3. diskontinuitas yang 85 – 95 0 – 0,25 B
dari beban.
sedang jumlahnya.
Terbagi-bagi dalam
blok dalam jumlah
4. yang sedang 75 – 85 0,25 B – 0,20 (B + Ht)
dengan rekahan
yang cukup banyak
Kondisi 4,5 dan 6 di
Sangat terbagi
kurangi 50 % dari nilai
dalam blok-blok
Terzaghi, karena muka air
5. dengan rekahan 30 – 75 (0,20 – 0,60) (B + Ht)
mempunyai akibat kecil
yang banyak dan
terhadap Hp (Brekke,
berkembang
1968 dan Terzaghi, 1946)
Terpecah
keseluruhan tetapi
6. 3 – 30 (0,60 - 1,10) (B + Ht)
masih bersatu
secara kimia
6.a Pasir dan kerikil 0–3 (1,10 - 2,40) (B + Ht)
Batuan yang
Tekanan lateral yang
berperan dalam
Tidak dapat besar, penyangga besi
7. pemampatan pada (1,10 – 2,10) (B + Ht)
diaplikasikan baja sirkular set
kondisi kedalaman
direkomendasikan.
yang sedang
Batuan yang
berperan dalam
Tidak dapat
8. pemampatan pada (2,10 – 4,50 ) (B + Ht)
diaplikasikan
kondisi kedalaman
yang besar
Penyangga besi baja
sirkular set diperlukan.
Batuan yang Lebih besar dari 250 Dalam keadaan ektrim
Tidak dapat
9. mengembang tidak tergantung dari gunakan perhitungan
diaplikasikan
(swelling rock) (B + Ht) tekanan keruntuhan
penyanggaan (yielding
support)
Catatan :
a. Modifikasi oleh (Deere dkk, 1970) dan (Rose, 1982)
b. Nilai B dan Ht dalam satuan feet (ft) pada kedalaman tidak lebih dari 1,5 (B +
Ht)

III-24
3.3.2. Distribusi Tegangan Terowongan Berbentuk Tapal Kuda

Distribusi tegangan yang terjadi pada terowongan tapal kuda adalah tegangan
vertikal, tegangan horizontal, tegangan tangensial atap, dan tegangan tangensial
dinding.

σv= γ.H ............................................................................................................. (3.8)

keterangan :

σ0 = Tegangan mula-mula
γ = density
H = Kedalaman dari permukaan

Persamaan 3.8 merupakan nilai komponen tegangan awal vertikal (σv). Komponen
tegangan awal horizontal (σh) dapat di tentukan dari komponen tegangan awal
vertikal (σv) dengan persamaan :

(σh) = k. (σv) ....................................................................................................(3.9)

Untuk material elastik :


𝜐
k = 1−𝜐.............................................................................................................(3.10)

Keterangan :

𝜐 = poisson ratio

Tegangan Tangensial di atap

σϴ = (3,2 k – 1) σv............................................................................................(3.11)

Tegangan Tangensial di dinding

σϴ= (2,3 – k) σv................................................................................................(3.12)

3.4. Mekanisme Runtuhan di Bawah Tanah

Pada kedalaman dangkal ditanah penutup atau batuan yang buruk, masalah
penggalian umumnya terkait dengan tanah yang mudah runtuh dengan kata lain
teknik penerowongan batuan yang buruk harus digunakan dan didukung dengan
teknik yang memadai yang diberikan tepat di belakang muka terowongan,
sedangkan penggalian pada batuan masif yang tidak mengalami pelapukan dengan

III-25
sedikit sambungan biasanya tidak mengalami masalah stabilitas yang cukup serius
ketika tegangan pada batuan yang mengelilingi penggalian kurang dari seperlima
dari kekuatan tekan batuan. Kondisi Batuan yang umum untuk penggalian yang
tidak di dukung oleh penyangga batuan dapat dibagi atas empat kondisi ; a). Tanah
penutup dan batuan yang sangat lapuk, b). Batuan besar dengan tekanan yang sangat
dalam, c). Batuan besar yang sedikit lapuk dari atas dan dinding samping
terowongan, serta d). Batuan besar yang sedikit memiliki sambungan yang tidak
lapuk (Gambar 3.11).

Tanah penutup dan Batuan besar dengan Batuan besar yang Batuan besar yang
batuan yang sangat tekanan yang sangat sedikit lapuk dari sedikit memiliki
lapuk dalam atas dan dinding sambungan yang
samping terowongan tidak lapuk

Gambar 3.11
Kondisi batuan saat penggalian (Hoek et al, 1995)

Masalah stabilitas terowongan pada batuan besar, umumnya terkait dengan


gravitasi yang jatuh dari atap dan dinding samping. Tegangan batuan pada
kedalaman dangkal umumnya cukup rendah sehingga tidak memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap proses keruntuhan ini, yang dikendalikan oleh geometri
penggalian dan struktur batuan.

3.4.1. Runtuhan yang diakibatkan oleh Struktur Geologi

Runtuhan yang dikontrol secara struktur dapat di analisa dengan proyeksi


stereografi. Dalam plot stereografi, garis vertikal melalui puncak baji diwakili oleh
titik pusat jaring dan kondisi yang disebutkan diatas dipenuhi jika lingkaran besar
yang mewakili bidang sambungan dari gambar yang tertutup yang mengelilingi
pusat jaring (Gambar 3.12). Tiga bidang diwakili oleh lingkaran besar, bertanda
A, B dan C (Gambar 3.13). Garis-garis pemotongan bidang-bidang ini ditandai
oleh titik A, B dan C dan jejak bidang vertikal melalui pusat jaring dan berpotongan

III-26
dengan lingkaran besar. Arah garis perpotongan sesuai dengan jejak bidang A, B
dan C pada atap horizontal terowongan. Garis-garis perpotongan ini dapat
digabungkan untuk memberikan ukuran maksimum dari segitiga yang dapat
diakomodasi dari rentang atap terowongan.

Gambar 3.12
Kondisi runtuhan yang jatuh dari atap (Hoek et al, 1995)

Gambar 3.13
Volume baji yang ditentukan oleh struktur di atap terowongan (Hoek et al, 1995)

3.4.2. Analisa Runtuhan pada Dinding Samping

Pertimbangan terowongan persegi yang berjalan dengan tiga set sambungan yang
terjadi. Sambungan ini diwakili oleh lingkaran besar yang ditandai dengan titik A,
B dan C dalam proyeksi stereografi. Jejak lingkaran besar dalam gambar ini
diperoleh dengan proyeksi ke bidang horizontal melalui titik pusat. Untuk
menemukan bentuk baji di dinding samping, perlu menentukan bentuk
persimpangan yang di proyeksikan ke bidang vertikal.

Angka perpotongan ini diperoleh dengan rotasi dari perpotongan lingkaran besar
pada titik AB, BC dan AC melalui arah 90o terhadap sumbu terowongan. Rotasi ini
dilakukan secara stereografi sebagai berikut :

III-27
A. Mencari titik AB, BC dan AC ke selembar kertas kalkir yang bersih. Tandai titik
tengah dan Utara serta sumbu terowongan.

B. Mencari jaring meridional dengan menggunakan pin tengah sehingga sumbu


terowongan bertepatan dengan sumbu Utara dan Selatan
C. Putar masing-masing dari tiga persimpangan ke bidang vertikal dengan
menghitung arah 90o sepanjang lingkaran kecil yang melewati titik AB, BC dan
AC
D. Tandai perpotongan yang diputar AB’, BC’ dan AC’ dan temukan lingkaran
besar yang melalui pasangan titik perpotongan tersebut
E. Gambar 3.14 menunjukkan proyeksi stereografis dari perpotongan dan
persimpangan mereka di bidang vertikal, sejajar dengan dinding samping
terowongan.

Gambar 3.14
Runtuhan baji di samping dinding terowongan (Hoek et al, 1995)
F. Runtuhan baji sebenarnya ada di dinding samping mengikuti prosedur yang
sama (Gambar 3.12 dan 3.15)

Gambar 3.15
Penentuan tinggi runtuhan baji akibat bergeser sepanjang garis perpotongan A dan B (Hoek et
al, 1995)
G. Perhatikan gambar dibagian bawah (Gambar 3.14 dan 3.16) mewakili jejak
gabungan yang terlihat di dinding samping Utara dari dalam terowongan atau

III-28
di dinding samping Selatan dari luar terowongan, melihat ke arah 340o sangat
penting bahwa pandangan ini harus dipahami sepenuhnya karena kesalahan
dapat mengakibatkan stabilitas yang salah dan penerapan perbaikan yang salah.

Gambar 3.16
Irisan runtuhan baji di samping dinding terowongan (Hoek et al, 1995)

H. Tinggi H dari runtuhan baji (Gambar 3.14) ditemukan dengan mengambil


bagian bagian XX melalui puncak baji dan menemukan kemiringan semu K dan φ
dari bidang A’ dan B’ seperti yang terlihat pada proyeksi vertikal.

3.5. Sistem Penyangga Pada Terowongan

Dengan adanya kegiatan penggalian bawah tanah, maka keadaan tegangan di


sekitar lubang bukaan menjadi terganggu. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan
bahkan keruntuhan baik pada atap maupun dinding lubang bukaan. Masalah akan
menjadi lebih rumit apabila penggalian dilakukan pada batuan yang lunak atau
terkekarkan, karena harus bisa mengantisipasi keruntuhan yang sewaktu-waktu
dapat terjadi. Perkuatan batuan digunakan untuk meningkatkan kestabilan bukaan
bawah tanah. Penyeledikan investigasi digunakan untuk menentukan karakteristik
massa batuan dari lubang bukaan, dan desain dibuat untuk menangani berbagai
kondisi geologi pada terowongan. Kondisi geologi sering berubah seiring dengan
kemajuan terowongan sehingga dibutuhkan dukungan yang fleksibel yang langsung
dapat menyesuaikan dengan kondisi yang dihadapi (Palmstorm & Nilsen, 2000).
Berdasarkan tegangan yang diberikan, sistem penyanggaan dibedakan menjadi dua
yaitu

III-29
1. Penyangga aktif

Yaitu sistem penyangga yang langsung memberikan tegangan awal terhadap massa
batuan pada saat penyangga selesai dipasang. Penyangga jenis ini disebut juga
dengan penguatan batuan. Contohnya : splitset

2. Penyangga pasif

Yaitu sistem penyangga yang tidak langsung memberikan tegangan awal terhadap
massa batuan pada saat pemasangan dan akan bekerja setelah massa batuan
mengalami pergerakan. Contohnya : steelset.

Sistem penyanggaan berdasarkan waktu penguatan dan penyanggaannya dibedakan


menjadi dua yaitu:

1. Development Support

Yaitu sistem penyangga yang dipasang sesaat setelah lubang bukaan digali,
sehingga memberikan jaminan keselamatan pekerja dan kestabilan lubang bukaan.
Contoh penyangga development support : split set dan welded mesh

2. Permanent Support

Yaitu sistem penyangga yang dipasang pada lubang bukaan setelah development
Support dipasang dan untuk jangka waktu yang lama. Contoh : threadbar dan
shotcrete.

Tujuan utama dari penyanggaan adalah memobilisir dan memanfaatkan kekuatan


inheren massa batuan sedemikian rupa sehingga menjadi kekuatan swasangga (self-
suporting). Prosedur dan material yang dipakai untuk hal tersebut lebih tepat
disebut perkuatan (reinforcement). Sedangkan istilah penyanggaan (support) lebih
tepat jika massa batuan benar-benar disangga oleh elemen struktur yang menopang
sebagian atau seluruhnya, berat blok batuan yang dibatasi oleh diskontinuitas atau
zona batuan lepas (Brady & Brown, 1985). Sudah banyak teknik-teknik
penyanggaan atau perkuatan yang digunakan untuk mengatasi deformasi dari
dinding atau atap lubang bukaan, baik dari kayu, baja ataupun beton. Sebuah
filosofi rancangan yang baik diberikan oleh (Hoek, 1995) sebagai berikut: bahwa
tujuan dasar setiap rancangan untuk penggalian di bawah tanah (underground
excavating) harus menggunakan batuan itu sendiri sebagai penyangga utama,

III-30
menghasilkan gangguan sekecil mungkin selama penggalian. Prinsip utama
penyanggaan adalah untuk membantu menambah kekuatan batuan disekitar lubang
bukaan agar dapat menyangga dirinya sendiri.

3.5.1 Baut Batuan (Rockbolt)

Penyanggaan yang pada umumnya digunakan adalah baut batuan (rockbolt).


Pengembangan baut batuan dimulai pada tahun 1920 dan sejak itu menjadi metode
penyanggaan yang dominan dalam konstruksi bawah tanah (Luo, 1999). Kestabilan
penambangan bawah tanah sangat bergantung pada teknik pemasangan baut batuan
dan keahlian para pemasang baut batuan mengaplikasikannya. Pada terowongan
dan penambangan bawah tanah, baut batuan merupakan batang baja yang
dimasukkan ke dalam lubang bor untuk menyangga atap atau dinding penggalian
(Gambar 3.17). Terdapat beberapa alasan penggunaan baut batuan sebagai bahan
yang menguatkan batuan, yaitu dapat digunakan pada bentuk geometri lubang
bukaan yang bervariasi, umumnya mudah untuk digunakan, relatif murah,
pemasangan dapat sepenuhnya dengan mekanisasi, kerapatan spasinya dapat
disesuaikan dengan kondisi batuan lokal dan dapat dikombinasikan dengan sistem
penyanggaan yang lain seperti wiremesh, strap, ataupun beton tembak (shotcrete).

Gambar 3.17.
Baut Batuan (Rockbolt) (Hoek, 1993)

III-31
3.5.2. Friction Anchored Rockbolt (Split set)

Split set merupakan jenis baut batuan dengan pengikatan geser. Mekanisme kerja
split set adalah dengan cara memanfaatkan kekuatan geser yang timbul pada saat
adanya pembebanan maksimum yang melebihi kekuatan baut batuan. Split set
diperkenalkan oleh (Scott, 1976, 1983) dan di produksi serta didistribusikan oleh
Ingersoll-Rand (Hoek et al. 1995). Split set (Gambar 3.18) terdiri dari batang baja
yang berbentuk tabung dengan panjang bervariasi yakni 1.42 m dan 2,4 m dan
diameter 46 mm dengan sebuah face plate.

Gambar 3.18
Friction Anchored Rockbolt (Split Set) (Scott , 1976, 1983)

Perhitungan jumlah dan jarak antar split set dapat dihitung menggunakan
persamaan berikut (Biron dan Arioglu, 1983) :

𝑤 𝐵 𝑥 𝐻𝑡 𝑥 𝑐 𝑥 𝜌 (𝐵 𝑥 𝐻𝑡 𝑥 𝑐 𝑥 𝜌)𝑥 𝐹𝐾
n= = = ...................................................(3.13)
𝑅 𝑅𝑚𝑎𝑥 𝑥 𝐹𝐾 0,785 𝑥 𝑑2 𝑥 𝜎𝑛

𝑛
D= ..........................................................................................................(3.14)
𝐵𝑥𝑐
𝐵
S = .................................................................................................................(3.15)
𝑛
Dimana :

n = Jumlah Rockbolt (buah)


W = Berat batuan harus di sangga (ton)
R = Berat yang ditanggung baut batuan (ton/m2)
Ht = Tinggi runtuh batuan (m)
c = Jarak memanjang pemasangan baut batuan (m)
ρ = Massa jenis batuan (ton/m3)

III-32
Rmax = Kemampuan tarik baut batuan (ton)
FK = Faktor Keamanan
d = Diameter baut batuan
σn = Kekuatan batang baja yang diinginkan/ yield strength (ton/m2)
D = Kerapatan baut batuan (buah/m2)
s = Spasi dalam 1 baris (m)

3.5.3. Beton Tembak (shotcrete)

Shotcrete merupakan campuran dari semen, pasir, dan aggregate halus yang
diaplikasikan dengan menggunakan alat mekanis, yang dibantu dengan udara
bertakanan tinggi. Penggunaan shotcrete awalnya diterapkan dalam perkuatan
terowongan sipil. Seiring perkembangan waktu penggunaan shotcrete juga
diterapkan dalam terowongan tambang bawah tanah. Penggunaan shotcrete pada
tambang bawah tanah penting diaplikasikan pada lubang bukaan permanen seperti
shaft, haulages, dan ruangan chusher (Hoek et al. 1995). Penggunaan shotcrete
pada bukaan permanen bertujuan untuk menambah sistem perkuatan. Selain itu,
shotcrete juga berfungsi sebagai penahan blok-blok batuan yang terlepas dari
batuan induknya yang berpotensi jatuh sehingga mengganggu konsentrasi pekerja.
Shotcrete dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan cara pencampurannya yaitu dry
mix shotcrete (Gambar 3.19) dan wet mix shotcrete (Gambar 3.20).

Gambar 3.19
Dry Mix Shotcrete (Hoek et al. 1995)

III-33
Gambar 3.20
Wet Mix Shotcrete (Hoek et al. 1995)

Dry mix shotcrete merupakan jenis shotcrete dimana pencampuran material agregat
dan semen dilakukan didalam hopper, dan air yang digunakan pada shotcrete jenis
ini di control oleh noozle. Dalam penggunaannya material campuran semen dan
aggregate ditembakkan bersamaan dengan air menggunakan udara bertekanan
tinggi. Wet mix shotcrete merupakan jenis shotcrete dimana pencampuran material
aggregate, air dan semen dilakukan secara bersamaan di dalam mixer. Untuk
menggunakan shotcrete ini prinsipnya sama dengan dry mix shotcrete yaitu dengan
menggunakan udara bertekanan tinggi untuk menyemprotkan shotcrete.

Rabcewicz mengusulkan persamaan untuk menentukan ketebalan shotcrete sebagai


berikut (Biron dan Arioglu, 1983) :
𝑃𝑟𝑚𝑟 𝑥 𝐵
δ = 0,434 x ........................................................................................(3.16)
𝜏

𝜎𝑏
τ = 0,2 x ......................................................................................................(3.17)
𝐹𝐾

Dimana :

δ = Ketebalan Shotcrete (m)


Prmr = Beban runtuh batuan (ton/m2)
B = Lebar bukaan (m)
τ = Tegangan geser uji shotcrete (ton/m2)
σb = Nilai UCS shotcrete (ton/m2)
FK = Faktor keamanan

III-34
3.6. Perlengkapan Pendukung

Sistem penyanggaan dengan baut batuan biasanya diaplikasikan bersama-sama


dengan perlengkapan penunjang agar baut batuan yang dipasang memberikan
kekuatan yang optimal sehingga dapat menjamin keamanan pada lubang bukaan
Perlengkapan penunjang yang biasa digunakan bersamaan dengan penggunaan split
set adalah face plate dan weld mesh.

3.6.1. Faceplate

Faceplate (Gambar 3.21) merupakan perlengkapan penunjang yang biasa


digunakan bersamaan dengan baut batuan (rockbolt). Faceplate berfungsi untuk
mendistribusikan kekuatan rockbolt secara merata.

Gambar 3.20.

Gambar 3.21
Jenis-jenis Face Plate (Schach, 1971)

3.6.2. Wire mesh

Wire mesh berfungsi untuk menyangga agar blok-blok batuan yang berpotensi lepas
dari batuan induknya tidak terjatuh. Wire mesh yang sering digunakan memiliki dua
tipe yakni chainlink mesh dan weld mesh (Gambar 3.22). Penggunaan chainlink
dan weld mesh sangat tergantung pada lokasi dan keadaan lubang bukaan.
Chainlink mesh dan weld mesh harus dilapisi dengan senyawa atau bahan anti
korosi apabila ingin diaplikasikan pada lubang bukaan yang bersifat permanen.
Pemasangan wire mesh sangat disarankan untuk daerah dengan masa batuan yang

III-35
memiliki struktur geologi berupa kekar yang sangat rapat dan daerah dengan
indikasi potensi keruntuhan baji (Hoek et al. 1995).

Gambar 3.22
Weld mesh
Pemilihan jenis wire mesh yang akan digunakan pada lubang bukaan tambang
bawah tanah juga harus memperhatikan lokasi kerja dan permukaan bidang batuan
yang akan disangga. Daerah yang memiliki permukaan yang kasar dan area kerja
yang terbatas sebaiknya menggunakan chainlink mesh sebagai perlengkapan
penunjang untuk pemasangan rock bolt. Daerah yang memiliki area kerja yang luas
dan permukaan yang halus serta kemungkinan pemasangan shotcrete sebaiknya
menggunakan weld mesh (Hoek et al. 1995).

3.7. Program Komputer

3.7.1 Unwedge

Unwedge adalah program analisis stabilitas dan visualisasi 3D untuk penggalian


bawah tanah dibatuan yang mengandung struktur perpotongan diskontinuitas.
Faktor keamanan dihitung untuk runtuhan baji dan persyaratan dukungan
berpotensi tidak stabil dapat dimodelkan menggunakan berbagai jenis pola dan
tempat perbautan dan shotcrete. Penggunaan Unwedge untuk membuat model,
melakukan analisis faktor keamanan, menempatkan penguatan dan
menginterpretasikan hasil.

III-36
Unwedge mudah digunakan, lingkungan grafis untuk memasukkan data dan
visualisasi yang sangat menyederhanakan analisis dan desain proses. Jendela pop-
up memungkinkan untuk mudah masuk dan modifikasi parameter model, dan
mudah untuk menggunakan alat-alat editing menyediakan metode yang nyaman
untuk melakukan studi parametrik. Penafsir data grafis menyediakan kaya set alat,
termasuk animasi 3D, untuk tampilan nyaman wedges sekitar penggalian. Selain
memungkinkan untuk titik sederhana dan klik geometri input/editing, unwedge
memberikan model dukungan untuk tekanan baut, shotcrete dan dukungan,
kemampuan untuk mengoptimalkan orientasi terowongan dan pilihan untuk melihat
kombinasi yang berbeda dari tiga set bersama berdasarkan daftar lebih dari tiga set
sendi (Gambar 3.23 dan 3.24)

Gambar 3.23
Input pada software unwedge

III-37
Gambar 3.24
Output software unwedge

3.7.2. Phase2

Phase2 adalah bagian dari rocscience yang menggunakan analisis 2D elasto-plastik


dengan analisis tegangan elemen hingga untuk penggalian bawah tanah atau
permukaan batuan maupun tanah. Hal ini dapat digunakan untuk berbagai proyek
rekayasa dan termasuk desain penyanggaan, stabilitas lereng elemen hingga,
rembesan air tanah dan analisis probabilistik. Program Phase2 ini dapat menyajikan
hasil output berupa tabel dan grafik berdasarkan hasil analisis input. Analisis desain
terowongan menggunakan Program Phase2 akan memberikan kontribusi besarnya
perpindahan (displacement) di sekitar lubang bukaan (di dinding).

III-38

Anda mungkin juga menyukai