III-1
klasifikasi masa batuan telah banyak dikembangkan oleh para ahli untuk
mendapatkan pendekatan yang lebih teliti tentang keadaan massa batuan.
(Bieniawski, 1989) menyatakan bahwa dari sekian banyak klasifikasi masa batuan
yang dikembangkan ada enam sistem klasifikasi massa batuan yang lazim
digunakan yakni sistem klasifikasi massa batuan yang diajukan oleh (Terzaghi,
1946), (Lauffer, 1958), (Deere dkk, 1967), (Wickham dkk, 1972), (Bieniawski,
1973), dan (Barton dkk, 1974).
III-2
3.2.1. Klasifikasi Rock Mass Rating (RMR)
Tabel 3.1.
Hubungan Indeks RQD dengan Kualitas Massa Batuan (Deere, 1968 dalam Tibri, 2006)
RQD (%) Kualitas batuan
‹ 25 Sangat jelek
Tabel 2.7. Hubungan indeks RQD dengan kualitas massa batuan (Deere, 1968 dalam Tibri,
25 – 50 Jelek
2006)
50 – 75 Sedang
75 – 90 Baik
– 100 indeks RQD dengan kualitas massa Sangat
Tabel 2.7.90Hubungan batuan baik
(Deere, 1968 dalam Tibri,
2006)
III-3
L = 38 cm
L = 17 cm 43 + 17 + 20 + 38
𝑅𝑄𝐷 = 𝑥 100%
200
L=0
As no centerling
places RQD = 59% Fair Rock
Longer than 10 cm
L = 20 cm
200 cm
L = 43 cm
L = 0 cm. No
Mechanical Break
Recovery
Caused by Drilling
Prosess
Gambar 3.1.
Prosedur penentuan RQD dari hasil coring (Deere, 1899 dan Tibri, 2006)
Jika inti tidak ada, (Palmstrom, 1982) mengusulkan harga RQD dengan
memperkirakan jumlah kekar-kekar per satuan volume (Cemal Biron, 1983)
dirumuskan sebagai berikut:
Walaupun RQD adalah indeks yang sederhana dan murah, tetapi tidak cukup
melakukan deskripsi yang baik dari massa batuan karena tidak memperhatikan
orientasi kekar, keketatan dan material pengisi.
Suatu rekahan atau kekar yang parallel disebut set, dan set-set yang saling
berpotongan disebut joint set system. Kemudian jarak tegak lurus antara dua kekar
yang berurutan sepanjang garis pengukuran (scan line) disebut dengan jarak bidang
kekar. Untuk dapat mempermudah pengertian istilah-istilah tersebut dan cara
III-4
pengukuran jarak diskontinuitas (Gambar 3.2) yang menunjukkan idealisasi
pengukuran. Jarak kekar secara normal dimana jarak masing-masing kekar
ditunjukkan dengan jarak d12, d23, d34 dan seterusnya yang diukur pada scan line
AB.
(b)
Gambar 3.2
Penentuan Jarak Kekar dilapangan (ZT. Bieniawski, 1984)
III-5
Tabel 3.2.
Klasifikasi Jarak Kekar. (Attewell, 1993 dalam Tibri, 2006)
Tabel 3.3.
Klasifikasi jarak kekar. (Deere, 1968 dalam Tibri, 2006)
III-6
akan mempertinggi kuat geser. Di lapangan penentuan kekasaran dapat dilakukan
dengan meraba permukaan kekar.
- Tidak lapuk; tidak ada tanda-tanda pelapukan, batuannya segar dan kristalnya
nampak jelas, waaupun terdapat beberapa pada kekar ada sedikit pelapukan.
Material pengisi antara lain kalsit, lempung, lanau, kwarsa dan lain sebagainya. Jika
terisi oleh material pengisi maka harus ditentukan tebal, jenis dan kemenerusannya.
Material pengisi sangat mempengaruhi kekuatan batuan, karena mampu sebagai
perekat dan sebagai pemisah antar blok.
III-7
3.2.1.4. Orientasi Bidang Diskontinuitas
Pengujian ini menggunakan mesin tekan untuk memecahkan batuan yang berbentuk
silinder, balok, atau prisma dari satu arah dengan luas perconto A dan panjang
perconto l. Pada pengujian ini gaya (kN) dan perpindahan (mm) menurut sumbu
aksial dan lateral direkam hingga batuan pecah. Hasil pengujian UCS dibuat kurva
tegangan regangan (Gambar 3.3) dengan perolehan data sifat mekanik batuan
seperti kuat tekan batuan (σc), modulus elastisitas (E) dan poisson ratio (υ).
Jika data kuat tekan hasil iji UCS tidak diperoleh, maka dapat menggunakan kuat
tekan batuan dengan uji Point Load strength Index. Point Load Index merupakan
salah satu indikator yang menunjukkan kekuatan batuan yang diperoleh dengan
menempatkan suatu sampel batuan pada sebuah titik konsentrasi yang diberikan
beban secara menerus meningkat melalui sepasang plat kerucut sampai terjadi
kerusakan (ASTM D 5731-05). Jika kedua pengujian diatas tidak ada maka dapat
dilakukan pendekatan standar indeks manual sebagai dasar uji dilapangan (Tabel
3.4).
III-8
Kurva Tegangan-Regangan
14
12
10
Tegangan (MPa) 8
axial
lateral
6 volumetrik
0
-3000 -2000 -1000 0 1000 2000 3000 4000 5000
Regangan (mikrostrain)
Gambar 3.3.
Kurva Tegangan – Regangan Hasil Uji UCS
Tabel 3.4.
Manual Indeks Uniaksial Compressive Strength (UCS). (Astawa, 1998)
Indeks point
UCS
Deskripsi Uji lapangan load
(MPa)
(MPa)
Sangat lemah Bisa ditekan dengan palu 0,25 – 1,0 -
Hancur bila dipukul dengan palu/dapat
Lemah 5 – 25 -
digores dengan pisau
Sedang Tidak dapat digores dengan pisau 25 – 50 <1
Dapat hancur dengan memukul lebih
Kuat 50 – 100 2–4
dari satu kali
Dapat hancur dengan memukul berkali-
Sangat kuat 100 - 200 4 – 10
kali
Sangat kuat sekali Sulit pecah dipukul dengan palu > 250 > 10
Dalam pembuatan terowongan, sebaiknya diukur kecepatan aliran air tanah dalam
liter per menit sepanjang 10 m penggalian. Tetapi dilapangan dipakai cara yang
relatif mudah yaitu dengan meraba permukaan batuan lalu kondisi air tanahnya
dinyatakan dengan kondisi kering, lembab, basah, menetes dan mengalir.
III-9
3.2.1.7. Prosedur Klasifikasi Sistem Rock Mass Rating (RMR)
1. Menghitung bobot (rating) total dalam (Tabel 3.5) sesuai dengan kondisi
lapangan sebenarnya, yakni dengan menjumlahkan semua rating dari UCS,
RQD, jarak diskontinuitas, kondisi diskontinuitas, dan kondisi air tanah.
4. Menjumlahkan rating dari langkah pertama dengan rating yang didapatkan dari
langkah ketiga, sehingga diperoleh total rating sesudah penyesuaian. Dari
rating ini diperoleh kelas massa batuan (Tabel 3.8).
5. Setelah kelas massa batuan diperoleh maka dapat diperoleh arti kelas massa
batuan dengan memperoleh nilai Stand-up time dari masaa batuan tersebut
dengan span tertentu serta kohesi dan sudut geser dalamnya (Tabel 3.9).
Tabel 3.5.
Parameter Klasifikasi dan Pembobotan (ZT. Bieniawski, 1984).
Untuk nilai
Kuat PLI yang kecil di
> 10 4 – 10 2–4 1–2
Tekan (MPa) pakai hasil
1 Batuan UCS
Utuh UCS 100 – 50 – 5- 1-
> 250 25 – 50 <1
(MPa) 200 100 25 5
Pembobotan 15 12 7 4 2 1 0
2 RQD (%) 90 – 100 75 – 90 50 – 75 25 – 50 25
III-10
Pembobotan 20 17 13 8 3
Jarak 0,6 – 2 200 -
>2m 60 – 200 mm < 60 mm
3 Diskontinuitas m 600 mm
Pembobotan 20 15 10 8 5
Permukaan
Agak Agak
sangat
kasar, kasar,
kasar, Slikensided/gouge Gouge lunak >
separasi separasi
Kondisi tidak < 5 mm, atau 5 mm, atau
<1 <1
4 Diskontinuitas menerus, separasi 1 – 5 separasi > 5
mm, mm,
tidak mm, menerus mm, menerus
agak sangat
renggang,
lapuk lapuk
tidak lapuk
Pembobotan 30 25 20 10 0
Aliran /
10 m
panjang Tidak ada < 10 10 – 25 25 – 125 > 125
tunnel
(L/min)
Airtanah
Tekanan
pori
5 0,1 –
dibagi 0 < 0,1 0,2 – 0,5 > 0,5
0,2
tegangan
utama
Keadaan
Kering Lembab Basah Menetes Mengalir
Umum
Pembobotan 15 10 7 4 0
Tabel 3.6.
Efek Jurus/kemiringan Diskontinuitas di Dalam Penerowongan. (ZT. Bieniawski, 1984).
Tabel 3.7.
Penyesuaian Pembobotan Orientasi Bidang Diskontinuitas. (ZT. Bieniawski, 1984).
Sangat Tidak
Jurus dan Kemiringan Mengun- Sangat tidak
Mengun- Sedang Mengun-
Orientasi Diskontinuitas Tungkan Menguntungkan
tugkan tungkan
Terowongan 0 -2 -5 -10 -12
Pembobotan Pondasi 0 -2 -7 -15 -25
Lereng 0 -5 -25 -50 -60
III-11
Tabel 3.8.
Kelas Massa Batuan Yang Ditentukan Dari Pembobotan Total. (ZT. Bieniawski, 1984).
Pembobotan 100 – 81 80 – 61 60 – 41 40 – 21 < 20
No. Kelas I II III IV V
Sangat
Diskripsi Baik Sedang Jelek Sangat Jelek
Baik
Tabel 3.9.
Arti Kelas Massa Batuan. (ZT. Bieniawski, 1984).
Gambar 3.4.
Hubungan Antara Stand-Up time dengan Span Untuk Berbagai Kelas Massa Batuan.
(ZT. Bieniawski, 1984)
III-12
Tabel 3.10.
Petunjuk Untuk Penggalian dan Penyangga Terowongan Batuan Dengan Klasifikasi Sistem RMR.
(ZT. Bieniawski, 1984)
KELAS PENYANGGAAN
MASSA PENGGALIAN ROCK BOLT (20 mm STEEL
BATUAN SHOTCRETE
Dia, Fully Grouted) SETS
Batuan
Sangat Baik
Full Face, dengan Umumnya tanpa penyanggaan, adakalanya
(Kelas I)
Kemajuan 3 m pengukuran dilakukan untuk memakai “spot bolting”
RMR 81 –
100
Batuan
Full Face, dengan Lokalisasi, bolt pada
Baik
kemajuan 1 – 1,5 m atap sepanjang 3 m
(Kelas II) 50 mm di atap Tidak ada
penyangga komplet 20 adakalanya dengan
RMR 61 –
m dari face wire mesh
80
Bolt Sistematis
Top heading dan
Batuan panjang 4 m dengan 50 – 100 mm
bench, dengan
Sedang spasi di atap dan 30
kemajuan 1,5 – 3 m.
(Kelas III) 1,5 – 2 m di atap dan mm di Tidak ada
Penyanggan dimulai
RMR 41 – di dinding. Pada atap dinding
setelah peledakan dan
60 dibuat dengan wire (sides).
10 m dari face.
mesh.
Top heading dan Bolt sistematis
Bantuan 100 – 150 mm
bench, dengan panjang 4 – 5 m Ribs ringan
jelek di atap dan
kemajuan 1 – 1,5 di dengan spasi – sedang
(Kelas IV) 100 mm di
top heading. Lakukan 1 – 1,5 m di atap dan dengan
RMR 21 – dinding
penyanggaan setiap 10 di dinding dengan spasi 1,5 m
40 (sides)
m penggalian dari face. wire mesh.
Multiple drifts dengan
Bolt sistematis 150 – 200 mm Rib sedang
kemajuan 0,5 – 1,5 m
Batuan panjang 5 – 6 m di atap, 150 – berat
di top heading. Buat
Sangat dengan spasi mm di dengan
penyangga setiap
Jelek 1 – 1,5 m di atap dan dinding spasi 0,75 m
penggalian.
(Kelas V) di dinding dengan (sides), dan dengan steel
Shotcrete d segera
RMR < 20 wire mesh. Buat Bolt 50 mm pada lagging dan
dipasang setelah
di lantai (invert) face forepoling.
peledakan.
Keterangan:
RQD = Rock Quality Designation
Jn = Jumlah Kekar
Jr = Kekasaran Permukaan Bidang Diskontinu
Ja = Tingkat Alterasi Bidang Diskontinu
III-13
Jw = Kondisi Hidrologi Bidang Diskontinu
SRF = Faktor Tegangan
RQD didefinisikan sebagai prosentase panjang core utuh yang lebih dri 10 cm
terhadap panjang total core run. Diameter core yang di pakai dalam pengukuran
minimal 54,7 mm. Dan harus di bor dengan double-tube core barrel. Perhitungan
RQD mengabaikan mechanical fracture. Yaitu fracture yang di buat secara sengaja
atau tidak selama kegiatan pengeboran atau pengukuran (Hoek, dkk, 1995).
(Gambar 3.5)
Gambar 3.5.
Grafik hubungan Jv Dan RQD (Palmstrom, 1982)
Pada perhitungan nilai Q, parameter RQD diberi bobot berdasarkan nilai RQD-nya
(Tabel 3.11) di bawah ini.
III-14
Tabel 3.11.
Pembobotan Nilai RQD dari Jumlah kekar.
RQD (Rock Quality Designation) RQD
A Sangat buruk (> 27 kekar per m3 ) 0-25
B Buruk (20-27 kekar per m3 ) 25-50
3
C Memadai (13-19 kekar per m ) 50-75
D Baik (8-12 kekar per m3 ) 75-90
3
E Memuaskan (0-7 kekar per m ) 90-100
Catatan: i) Dimana RQD dilaporkan atau diukur dengan <10 (termasuk 0) sebuah nilai dari 10
digunakan untuk mengevaluasi Qii) Interval RQD = 5 cukup teliti, yaitu 100,95,90 dan seterusnya
(Sumber: NGI Handbook Using the Q-System, 2013)
Famili kekar didefinisikan sebagai kumpulan jumlah kekar yang jurusnya (strike)
paralel satu sama lain, terjadi secara berulang dan memiliki karakterisasi spasi
pengulangan yang sama. Kekar acak didefinisikan sebagai kekar-kekar yang tidak
memiliki pengulangan dan bukan merupakan pembentuk utama blok-blok pada
massa batuan.
Tabel 3.12.
Pembobotan Jumlah Kekar
Jumlah Famili Kekar Jn
A Masif, tidak ada atau sedikit kekar 0.5-1.0
B Satu bentuk kekar 2
C Satu bentuk kekar ditambah kekar acak 3
D Dua bentuk kekar 4
E Dua bentuk kekar ditambah kekar acak 6
F Tiga bentuk kekar 9
G Tiga bentuk kekar ditambah kekar acak 12
H Empat atau lebih bentuk kekar, acak, kekar dengan berat “kubus gula” dan lain- 15
lain
J Batuan hancur 20
Catatan: i) untuk perpotongan dipakai(3 x Jn)
ii) untuk portal dipakai(2 x Jn)
Sumber: NGI Handbook Using the Q-System, 2013
III-15
Gambar 3.6.
Pola-Pola Kekar Ditunjukan dalam Diagram Blok dan Stereonet
Gambar 3.7.
Klasifikasi Kekasaran Permukaan
III-16
Tabel 3.13.
Pembobotan Nilai Kekasaran Permukaan Bidang Diskontinu
Kekasaran Permukaan Bidang Diskontinu Jr
Material pengisi bidang diskontinu mempengaruhi kuat geser. Dua hal yang harus
diperhatikan berkaitan dengan material pengisi adalah ketebalan dan komposisi
material pengisi bidang diskontinu. Penentuan tingkat alterasi berdasarkan
ketebalan material pengisi dibagi kedalam tiga kategori, yaitu:
a. Dinding bidang diskontinu saling kontak
b. Dinding bidang diskontinu terpisah dengan jarak kurang dari 10 cm
c. Dinding bidang diskontinu terpisah dengan jarak lebih dari 10 cm
Pada setiap kategori, tingkat alterasi dievaluasi berdasarkan komposisi dari material
pengisi.
III-17
Gambar 3.8.
Bidang Diskontinu dengan dan Tanpa Kontak
Tabel 3.14.
Pembobotan Nilai Tingkat Alterasi Bidang Diskontinu
Tingkat Alterasi Bidang Diskontinu Φr Ja
approx.
a) Dinding batuan bersentuhan
A Sangat rapat, keras, tidak ada pelunakan, tidak dapat ditembus pengisian yaitu: 0.75
kwarsa dan epidot.
B Dinding kekar tidak berubah, permukaan hanya tercemari. 25-35° 1
C Dinding kekar agak berubah, tidak ada pelunakan, perlapisan 25-30° 2
mineral, partikel pasiran, lempung tanpa batuan hancur dan lain-
lain.
D Perlapisan lempung lanauan atau lempung pasiran, fraksi lempung 20-25° 3
kecil (tidak ada pelunakan).
E Pelunakan atau geseran rendah perlapisan mineral lempung yaitu 8-16° 4
kaolinit dan mika.
Juga klorit, talk, gypsum, grapit dan yang lainnya dan sejumlah
lempung yang mengembang.
b) Sentuhan dinding batuan sebelum menggeser 10 cm
III-18
M Tebal zona – zona lempung menerus (lihat G, H, J untuk pemerian 6-12° 10,
kondisi lempung). 13,
13-20
Sumber: NGI Handbook Using the Q-System, 2013
Tabel 3.15
Pembobotan Nilai Kondisi Air Pada Bidang Diskontinu
Kondisi Air Pada Bidang Diskontinu Jw
A Lubang bukaan kering atau aliran kecil 1.0
B Aliran air kecil, terjadi pencucian pengisi kekar 0.66
C Aliran dan tekanan air besar batuan kompeten yang kekarnya tidak terisi 0.5
material
D Aliran dan tekanan air besar, kemungkinan mencuci material pengisi kekar 0.33
E Dengan pengecualian pemasukan dan tekanan air sangat tinggi, pada 0.2-0.1
peledakan kerusakan sejalan dengan waktu
F Pengecualian pemasukan dan tekanan air sangat tinggi, terus menerus tanpa 0.1-0.05
kerusakan yang menyolok
Catatan: i) Faktor – factor c sampai f adalah estimasi kasar. Tambahan Jw, jika dipasang alat
pengukur drainase
ii) masalah khusus yang disebabkan deformasi tidak dipertimbangkan
SRF menggambarkan keadaan tegangan dan kekuatan massa batuan sekitar lubang
bukaan. SRF dapat ditentukan dari nisbah kuat tekan uniaxial batuan σc terhadap
tegangan prinsipal mayor σ1, atau nisbah tegangan tangensial σθ terhadap kuat tekan
uniaxial batuan σc. Apabila data-data tersebut tidak tersedia, penentuan besarnya
SRF harus diperkirakan dari pengalaman berdasarkan pengamatan yang dilakukan
di terowongan.
III-19
Gambar 3.9.
Nilai SRF Berkaitan dengan Jumlah Zona Lemah
Pada perhitungan nilai Q, parameter stress reduction factor diberi bobot seperti
tertera pada (Tabel 3.16) dibawah ini.
Tabel 3.16.
Pembobotan Nilai Stress Reduction Factor
Stress Reduction Factor SRF
a) penggalian memotong zona bidang lemah yang dapat menghasilkan daerah runtuhan
apabila terowongan selesai digali
A Banyak bidang lemah yang mengandung lempung dan batuan terlapukkan, 10
batuan disekitarnya sangat lepas (berbagai kedalaman)
B Multi zona geser pada batuan kompeten (bebas lempung) daerah batuan 7.5
lepas (sembarang kedalaman penggalian)
C Terdapat bidang lemah tunggal yang mengandung lempung dan batuan 5
terlapukan (kedalaman penggalian ≤ 50m)
D Lepas, kekar terbuka berbentuk “kubus gula” (pada sembarang kedalaman) 5
E Zona geser tunggal pada batuan kompeten (bebas lempung, kedalaman 2.5
penggalian > 50 m
Catatan: i) kurang nilai – nilai SRF ini dengan 25 – 50% jika zona geseran relevan hanya
berpengaruh tetapi tidak memotong penggalian
b) batuan kompeten,masalah tegangan batuan σc /σ1 σθ /σc SRF
F Tegangan rendah, dekat permukaan, kekar terbuka >200 <0.01 2.5
G Tegangan medium, keadaan tegangan mendukung 200-10 0.01-0.3 1
H Tegangan tinggi, struktur sangat padat. Biasanya 10-5 0.3-0.4 0.5-2
mendukung stabilitas tetapi kurang mendukung 2-5*
untuk stabilitas dinding
J Hancur batuan sedang (batuan massive) 5-3 0.5-0.65 5-50
K Kerusakan pada batuan beberapa menit (batuan 3-2 0.65-1 50-200
massive)
L Hancuran batuan tinggi (batuan massive) <2 >1 200-400
Catatan : ii) untuk tegangan murni anisotropic lapangan yang sangat kuat (jika diukur): apabila
5 ≤ σ1/σ3 ≤ 10, kurangi σc sampai 0.75 σc . apabilaσ1/σ3> 10, kurangiσc dan menjadi 0.5 σc ,
dimanaσc = kuat tekan bebas, σ1 danσ3 adalah tegangan utama, danσθ = kuat tarik (dari teori
elasisitas )
iii) beberapa catatan kasus adalah dimana kedalaman crown dibawah permukaan kurang dari
panjang bentang. Diperkirakan SRF naik dari 2.5 menjadi 5 untuk kasus seperti itu (lihatF)
c) batuan sisipan, aliran plastis dari dua batuan tidak σθ / SRF
kompeten dibawah tingginya tekanan batuan σc
III-20
M Tekanan batuan sisipan sedang 1-5 5-10
N Tekanan batuan sisipan tinggi >5 10-20
d) batuan memuai, aktivitas pemuaian tergantung pada air SRF
O Tekanan batuan memuai sedang 5-10
P Tekanan batuan memuai tinggi 10-15
Sumber: NGI Handbook Using the Q-System, 2013.
1. Klasifikasikan kualitas massa batuan melalui peta topografi, core bor anality
atau trial adit. Klasifikasi ditujukan untuk menentukan pemerian nilai RQD,
jumlah pasangan kekar (Jn), kekasaran kekar (Jr), alterasi kekar (Ja), aliran air
tanah air tanah (Jw) dan pembebanan tegangan-regangan.
III-21
3.3. Distribusi Tegangan
W
c B d
i
H
Hp
Ht
B
a b
Gambar 3.10.
Konsep Beban Batuan Terowongan oleh (Terzaghi , 1946)
III-22
Tinggi beban (ht) dan tekanan batuan terhadap penyangga (P) dapat juga ditentukan
dengan rumus yang diusulkan oleh (Unal, 1983) dengan memakai nilai RMR dari
klasifikasi Geomekanika sebagai berikut.
100 − RMR
Ht = B .............................................................................................(3.7)
100
Keterangan :
Dari persamaan diatas terlihat bahwa tinggi beban (ht) merupakan fungsi dari lebar
bukaan dan bobot nilai batuan. Tekanan batuan yang diterima penyangga
tergantung pada tinggi beban dan bobot isi batuannya.
Tabel 3.17.
Klasifikasi pembebanan batuan (Terzaghi, 1946)
TINGGI MUATAN
KONDIS BATUAN CATATAN
BATUAN, Hp (m)
Lapisan ringan saja, walaupun
1. Keras dan kompak 0
ada hanya terjadi spalling ringan.
Lapisan ringan terutama untuk
2. Perlapisan keras atau skistosa 0 – 0,50 B
perlindungan dari jatuhan blok.
Masif, diskontinuitas yang Perubahan tak menentu dari
3. 0 – 0,25 B
sedang jumlahnya. beban.
Terbagi-bagi dalam blok
dalam jumlah yang sedang 0,25 B – 0,35 (B +
4. Tidak ada tekanan lateral
dengan rekahan yang cukup Ht)
banyak
Sangat terbagi dalam blok-
0,35 B – 1,10 (B + Sedikit atau tidak ada tekanan
5. blok dengan rekahan yang
Ht) lateral
banyak dan berkembang
Tekanan lateral yang amat besar.
Terpecah keseluruhan tetapi
6. 1,10 (B + Ht) Akibat dari hilangnya kekuatan
masih bersatu secara kimia
yang disebabkan oleh infiltrasi.
Batuan yang berperan dalam Tekanan lateral yang besar,
7. pemampatan pada kondisi (1,10 – 2,10) (B + Ht) penyangga besi baja sirkuler (rib)
kedalaman yang sedang direkomendasikan.
Batuan yang berperan dalam
(2,10 – 4,50 ) (B +
8. pemampatan pada kondisi
Ht)
kedalaman yang besar
Penyangga besi baja sirkuler (rib)
Sampai 90 m tidak diperlukan. Dalam keadaan
Batuan yang mengembang
9. tergantung dari (B + ektrim gunakan perhitungan
(swelling rock)
Ht) tekanan keruntuhan penyanggaan
(yielding support)
III-23
Catatan ; Beban batuan Hp (ft), lebar lubang bukaan (ft), Tinggi Ht (ft) pada
kedalaman tidak lebih dari 1,5(B + Ht)
Tabel 3.18.
Klasifikasi Rock Load Terzaghi yang digunakan a b
TINGGI MUATAN
KONDIS BATUAN RQD CATATAN
BATUAN, Hp (ft)
Lapisan ringan saja,
1. Keras dan kompak 95 – 100 0 walaupun ada hanya
terjadi spalling ringan.
Lapisan ringan terutama
Perlapisan keras
2. 90 – 99 0 – 0,50 B untuk perlindungan dari
atau skistosa
jatuhan blok.
Masif,
Perubahan tak menentu
3. diskontinuitas yang 85 – 95 0 – 0,25 B
dari beban.
sedang jumlahnya.
Terbagi-bagi dalam
blok dalam jumlah
4. yang sedang 75 – 85 0,25 B – 0,20 (B + Ht)
dengan rekahan
yang cukup banyak
Kondisi 4,5 dan 6 di
Sangat terbagi
kurangi 50 % dari nilai
dalam blok-blok
Terzaghi, karena muka air
5. dengan rekahan 30 – 75 (0,20 – 0,60) (B + Ht)
mempunyai akibat kecil
yang banyak dan
terhadap Hp (Brekke,
berkembang
1968 dan Terzaghi, 1946)
Terpecah
keseluruhan tetapi
6. 3 – 30 (0,60 - 1,10) (B + Ht)
masih bersatu
secara kimia
6.a Pasir dan kerikil 0–3 (1,10 - 2,40) (B + Ht)
Batuan yang
Tekanan lateral yang
berperan dalam
Tidak dapat besar, penyangga besi
7. pemampatan pada (1,10 – 2,10) (B + Ht)
diaplikasikan baja sirkular set
kondisi kedalaman
direkomendasikan.
yang sedang
Batuan yang
berperan dalam
Tidak dapat
8. pemampatan pada (2,10 – 4,50 ) (B + Ht)
diaplikasikan
kondisi kedalaman
yang besar
Penyangga besi baja
sirkular set diperlukan.
Batuan yang Lebih besar dari 250 Dalam keadaan ektrim
Tidak dapat
9. mengembang tidak tergantung dari gunakan perhitungan
diaplikasikan
(swelling rock) (B + Ht) tekanan keruntuhan
penyanggaan (yielding
support)
Catatan :
a. Modifikasi oleh (Deere dkk, 1970) dan (Rose, 1982)
b. Nilai B dan Ht dalam satuan feet (ft) pada kedalaman tidak lebih dari 1,5 (B +
Ht)
III-24
3.3.2. Distribusi Tegangan Terowongan Berbentuk Tapal Kuda
Distribusi tegangan yang terjadi pada terowongan tapal kuda adalah tegangan
vertikal, tegangan horizontal, tegangan tangensial atap, dan tegangan tangensial
dinding.
keterangan :
σ0 = Tegangan mula-mula
γ = density
H = Kedalaman dari permukaan
Persamaan 3.8 merupakan nilai komponen tegangan awal vertikal (σv). Komponen
tegangan awal horizontal (σh) dapat di tentukan dari komponen tegangan awal
vertikal (σv) dengan persamaan :
Keterangan :
𝜐 = poisson ratio
σϴ = (3,2 k – 1) σv............................................................................................(3.11)
Pada kedalaman dangkal ditanah penutup atau batuan yang buruk, masalah
penggalian umumnya terkait dengan tanah yang mudah runtuh dengan kata lain
teknik penerowongan batuan yang buruk harus digunakan dan didukung dengan
teknik yang memadai yang diberikan tepat di belakang muka terowongan,
sedangkan penggalian pada batuan masif yang tidak mengalami pelapukan dengan
III-25
sedikit sambungan biasanya tidak mengalami masalah stabilitas yang cukup serius
ketika tegangan pada batuan yang mengelilingi penggalian kurang dari seperlima
dari kekuatan tekan batuan. Kondisi Batuan yang umum untuk penggalian yang
tidak di dukung oleh penyangga batuan dapat dibagi atas empat kondisi ; a). Tanah
penutup dan batuan yang sangat lapuk, b). Batuan besar dengan tekanan yang sangat
dalam, c). Batuan besar yang sedikit lapuk dari atas dan dinding samping
terowongan, serta d). Batuan besar yang sedikit memiliki sambungan yang tidak
lapuk (Gambar 3.11).
Tanah penutup dan Batuan besar dengan Batuan besar yang Batuan besar yang
batuan yang sangat tekanan yang sangat sedikit lapuk dari sedikit memiliki
lapuk dalam atas dan dinding sambungan yang
samping terowongan tidak lapuk
Gambar 3.11
Kondisi batuan saat penggalian (Hoek et al, 1995)
III-26
dengan lingkaran besar. Arah garis perpotongan sesuai dengan jejak bidang A, B
dan C pada atap horizontal terowongan. Garis-garis perpotongan ini dapat
digabungkan untuk memberikan ukuran maksimum dari segitiga yang dapat
diakomodasi dari rentang atap terowongan.
Gambar 3.12
Kondisi runtuhan yang jatuh dari atap (Hoek et al, 1995)
Gambar 3.13
Volume baji yang ditentukan oleh struktur di atap terowongan (Hoek et al, 1995)
Pertimbangan terowongan persegi yang berjalan dengan tiga set sambungan yang
terjadi. Sambungan ini diwakili oleh lingkaran besar yang ditandai dengan titik A,
B dan C dalam proyeksi stereografi. Jejak lingkaran besar dalam gambar ini
diperoleh dengan proyeksi ke bidang horizontal melalui titik pusat. Untuk
menemukan bentuk baji di dinding samping, perlu menentukan bentuk
persimpangan yang di proyeksikan ke bidang vertikal.
Angka perpotongan ini diperoleh dengan rotasi dari perpotongan lingkaran besar
pada titik AB, BC dan AC melalui arah 90o terhadap sumbu terowongan. Rotasi ini
dilakukan secara stereografi sebagai berikut :
III-27
A. Mencari titik AB, BC dan AC ke selembar kertas kalkir yang bersih. Tandai titik
tengah dan Utara serta sumbu terowongan.
Gambar 3.14
Runtuhan baji di samping dinding terowongan (Hoek et al, 1995)
F. Runtuhan baji sebenarnya ada di dinding samping mengikuti prosedur yang
sama (Gambar 3.12 dan 3.15)
Gambar 3.15
Penentuan tinggi runtuhan baji akibat bergeser sepanjang garis perpotongan A dan B (Hoek et
al, 1995)
G. Perhatikan gambar dibagian bawah (Gambar 3.14 dan 3.16) mewakili jejak
gabungan yang terlihat di dinding samping Utara dari dalam terowongan atau
III-28
di dinding samping Selatan dari luar terowongan, melihat ke arah 340o sangat
penting bahwa pandangan ini harus dipahami sepenuhnya karena kesalahan
dapat mengakibatkan stabilitas yang salah dan penerapan perbaikan yang salah.
Gambar 3.16
Irisan runtuhan baji di samping dinding terowongan (Hoek et al, 1995)
III-29
1. Penyangga aktif
Yaitu sistem penyangga yang langsung memberikan tegangan awal terhadap massa
batuan pada saat penyangga selesai dipasang. Penyangga jenis ini disebut juga
dengan penguatan batuan. Contohnya : splitset
2. Penyangga pasif
Yaitu sistem penyangga yang tidak langsung memberikan tegangan awal terhadap
massa batuan pada saat pemasangan dan akan bekerja setelah massa batuan
mengalami pergerakan. Contohnya : steelset.
1. Development Support
Yaitu sistem penyangga yang dipasang sesaat setelah lubang bukaan digali,
sehingga memberikan jaminan keselamatan pekerja dan kestabilan lubang bukaan.
Contoh penyangga development support : split set dan welded mesh
2. Permanent Support
Yaitu sistem penyangga yang dipasang pada lubang bukaan setelah development
Support dipasang dan untuk jangka waktu yang lama. Contoh : threadbar dan
shotcrete.
III-30
menghasilkan gangguan sekecil mungkin selama penggalian. Prinsip utama
penyanggaan adalah untuk membantu menambah kekuatan batuan disekitar lubang
bukaan agar dapat menyangga dirinya sendiri.
Gambar 3.17.
Baut Batuan (Rockbolt) (Hoek, 1993)
III-31
3.5.2. Friction Anchored Rockbolt (Split set)
Split set merupakan jenis baut batuan dengan pengikatan geser. Mekanisme kerja
split set adalah dengan cara memanfaatkan kekuatan geser yang timbul pada saat
adanya pembebanan maksimum yang melebihi kekuatan baut batuan. Split set
diperkenalkan oleh (Scott, 1976, 1983) dan di produksi serta didistribusikan oleh
Ingersoll-Rand (Hoek et al. 1995). Split set (Gambar 3.18) terdiri dari batang baja
yang berbentuk tabung dengan panjang bervariasi yakni 1.42 m dan 2,4 m dan
diameter 46 mm dengan sebuah face plate.
Gambar 3.18
Friction Anchored Rockbolt (Split Set) (Scott , 1976, 1983)
Perhitungan jumlah dan jarak antar split set dapat dihitung menggunakan
persamaan berikut (Biron dan Arioglu, 1983) :
𝑤 𝐵 𝑥 𝐻𝑡 𝑥 𝑐 𝑥 𝜌 (𝐵 𝑥 𝐻𝑡 𝑥 𝑐 𝑥 𝜌)𝑥 𝐹𝐾
n= = = ...................................................(3.13)
𝑅 𝑅𝑚𝑎𝑥 𝑥 𝐹𝐾 0,785 𝑥 𝑑2 𝑥 𝜎𝑛
𝑛
D= ..........................................................................................................(3.14)
𝐵𝑥𝑐
𝐵
S = .................................................................................................................(3.15)
𝑛
Dimana :
III-32
Rmax = Kemampuan tarik baut batuan (ton)
FK = Faktor Keamanan
d = Diameter baut batuan
σn = Kekuatan batang baja yang diinginkan/ yield strength (ton/m2)
D = Kerapatan baut batuan (buah/m2)
s = Spasi dalam 1 baris (m)
Shotcrete merupakan campuran dari semen, pasir, dan aggregate halus yang
diaplikasikan dengan menggunakan alat mekanis, yang dibantu dengan udara
bertakanan tinggi. Penggunaan shotcrete awalnya diterapkan dalam perkuatan
terowongan sipil. Seiring perkembangan waktu penggunaan shotcrete juga
diterapkan dalam terowongan tambang bawah tanah. Penggunaan shotcrete pada
tambang bawah tanah penting diaplikasikan pada lubang bukaan permanen seperti
shaft, haulages, dan ruangan chusher (Hoek et al. 1995). Penggunaan shotcrete
pada bukaan permanen bertujuan untuk menambah sistem perkuatan. Selain itu,
shotcrete juga berfungsi sebagai penahan blok-blok batuan yang terlepas dari
batuan induknya yang berpotensi jatuh sehingga mengganggu konsentrasi pekerja.
Shotcrete dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan cara pencampurannya yaitu dry
mix shotcrete (Gambar 3.19) dan wet mix shotcrete (Gambar 3.20).
Gambar 3.19
Dry Mix Shotcrete (Hoek et al. 1995)
III-33
Gambar 3.20
Wet Mix Shotcrete (Hoek et al. 1995)
Dry mix shotcrete merupakan jenis shotcrete dimana pencampuran material agregat
dan semen dilakukan didalam hopper, dan air yang digunakan pada shotcrete jenis
ini di control oleh noozle. Dalam penggunaannya material campuran semen dan
aggregate ditembakkan bersamaan dengan air menggunakan udara bertekanan
tinggi. Wet mix shotcrete merupakan jenis shotcrete dimana pencampuran material
aggregate, air dan semen dilakukan secara bersamaan di dalam mixer. Untuk
menggunakan shotcrete ini prinsipnya sama dengan dry mix shotcrete yaitu dengan
menggunakan udara bertekanan tinggi untuk menyemprotkan shotcrete.
𝜎𝑏
τ = 0,2 x ......................................................................................................(3.17)
𝐹𝐾
Dimana :
III-34
3.6. Perlengkapan Pendukung
3.6.1. Faceplate
Gambar 3.20.
Gambar 3.21
Jenis-jenis Face Plate (Schach, 1971)
Wire mesh berfungsi untuk menyangga agar blok-blok batuan yang berpotensi lepas
dari batuan induknya tidak terjatuh. Wire mesh yang sering digunakan memiliki dua
tipe yakni chainlink mesh dan weld mesh (Gambar 3.22). Penggunaan chainlink
dan weld mesh sangat tergantung pada lokasi dan keadaan lubang bukaan.
Chainlink mesh dan weld mesh harus dilapisi dengan senyawa atau bahan anti
korosi apabila ingin diaplikasikan pada lubang bukaan yang bersifat permanen.
Pemasangan wire mesh sangat disarankan untuk daerah dengan masa batuan yang
III-35
memiliki struktur geologi berupa kekar yang sangat rapat dan daerah dengan
indikasi potensi keruntuhan baji (Hoek et al. 1995).
Gambar 3.22
Weld mesh
Pemilihan jenis wire mesh yang akan digunakan pada lubang bukaan tambang
bawah tanah juga harus memperhatikan lokasi kerja dan permukaan bidang batuan
yang akan disangga. Daerah yang memiliki permukaan yang kasar dan area kerja
yang terbatas sebaiknya menggunakan chainlink mesh sebagai perlengkapan
penunjang untuk pemasangan rock bolt. Daerah yang memiliki area kerja yang luas
dan permukaan yang halus serta kemungkinan pemasangan shotcrete sebaiknya
menggunakan weld mesh (Hoek et al. 1995).
3.7.1 Unwedge
III-36
Unwedge mudah digunakan, lingkungan grafis untuk memasukkan data dan
visualisasi yang sangat menyederhanakan analisis dan desain proses. Jendela pop-
up memungkinkan untuk mudah masuk dan modifikasi parameter model, dan
mudah untuk menggunakan alat-alat editing menyediakan metode yang nyaman
untuk melakukan studi parametrik. Penafsir data grafis menyediakan kaya set alat,
termasuk animasi 3D, untuk tampilan nyaman wedges sekitar penggalian. Selain
memungkinkan untuk titik sederhana dan klik geometri input/editing, unwedge
memberikan model dukungan untuk tekanan baut, shotcrete dan dukungan,
kemampuan untuk mengoptimalkan orientasi terowongan dan pilihan untuk melihat
kombinasi yang berbeda dari tiga set bersama berdasarkan daftar lebih dari tiga set
sendi (Gambar 3.23 dan 3.24)
Gambar 3.23
Input pada software unwedge
III-37
Gambar 3.24
Output software unwedge
3.7.2. Phase2
III-38