Anda di halaman 1dari 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Pembobotan Massa Batuan RMR (Rock Mass Rating)


RMR merupakan salah satu metode yang digunakan untuk melakukan klasifikasi
massa batuan. Metode ini Rock Mass Rating (RMR) dikembangkan oleh
Bieniawski pada tahun 1989. Dalam metode RMR, mengklasifikasikan massa
batuan menggunakan parameter-parameter yang dapat mempengaruhi sifat batuan.
Parameter tersebut selanjutnya dapat dipresentasikan hasilnya ke dalam indeks
penilaian untuk mengetahui kualitas dari massa batuan dan kelas massa batuan
tersebut (Tabel I.6. dan Tabel I.7.). RMR dapat digunakan dan di terapkan pada
lereng yang memiliki kondisi berbeda-beda. Kondisi yang paling umum digunakan
dalam metode ini adalah lereng dengan material penyusun berupa batuan
(Bieniawski, 1989). Beberapa parameter yang digunakan dalam menentukan kelas
massa batuan pada metode RMR ini antara lain
1. Kekuatan Batuan Utuh (Intack Rock Strength)
Kekuatan batuan utuh dapat diketahui melalui pengujian secara langsung di
lapangan maupun uji laboratorium. Pengujian nilai kuat tekan batuan secara
langsung di lapangan dilakukan dengan memukul batuan dengan palu geologi.
Selanjutnya, nilai kuat tekan dilapangan tersebut dikorelasikan dengan nilai kuat
tekan batuan hasil uji laboratorium yaitu uji kuat tekan uniaksial atau uniaxial
compressive strength (UCS). UCS pada pengujianya dilakukan preparasi dengan
mengubah sampel batuan berbentuk tabung atau core (Ulusay, 2015). Namun
karena keterbatasan alat yang digunakan, sampel disesuaikan yaitu dibentuk
menjadi balok dengan ukuran tertentu. Pengujian menggunakan mesin kuat tekan
yang pada mekanismenya memberi tekanan sampel batuan utuh dari satu arah.
Tekanan tersebut akan menghasilkan gaya hingga batuan tersebut mengalami
retakan. Sampel batuan yang mengalami retakan tersebut akan mengeluarkan nilai
hasil uji UCS dengan skala kekuatan batuan megapascal (Mpa). Hasil dari uji kuat
tekan batuan utuh yang dilakukan di laboratorium selanjutnya di korelasikan
dengan hasil uji kuat tekan batuan di lapangan yang menggunakan palu geologi.
Pengujian kuat tekan batuan utuh dengan estimasi di lapangan akan menghasilkan
parameter-parameter yang telah dipublikasikan oleh (Bieniawski, 1989) dapat
dilihat pada tabel I.1.

4
Tabel I.1. Klasifikasi kekuatan batuan (Bieniawski, 1989)

2. Rock Quality Designation (RQD)


Rock Quality Designation (RQD) merupakan ukuran kasar mengenai derajat
keretakan pada massa batuan. Perhitungan nilai RQD memiliki dua metode yang
digunakan yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Perhitungan dengan
metode tidak langsung dilakukan apabila tersedia data bor atau core log.
Perhitungan ini dilakukan dengan menghitung data kekar yang memiliki jarak kekar
lebih dari 10 cm (Deere, 1989). Sedangkan metode langsung digunakan apabila
core logs tidak tersedia. Metode langsung di kembangkan oleh (Priest & Hudson,
1976). Pada PT. ALUS dilakukan perhitungan RQD dengan metode langsung
karena pada PT. ALUS tidak tersedia data core logs. Merujuk pada tabel I.2. RQD
memiliki bobot berdasarkan persentase yang diperoleh dengan rumus sebagai
berikut :

RQD = 100e-0,1 λ(0,1 λ+1)

λ : Jumlah total kekar per meter


e : Bilangan Euler ≈ 2,7182818284

Tabel I.2. Kualitas Massa Batuan Berdasarkan RQD ( Bieniawski, 1989 )

RQD (%) Kualitas Batuan Rating

90-100 Excellent ( Sangat Bagus ) 20

75-90 Good ( Bagus ) 17

50-75 Fair ( Sedang ) 13

25-50 Poor ( Buruk ) 8

<25 Very Poor ( Sangat Buruk ) 3

5
3. Jarak Diskontinuitas
Jarak diskontinuitas merupakan suatu ketidakmenerusan pada suatu massa batuan
yang mempengaruhi kualitas dari batuan tersebut. Dalam hal ini kemenerusan
tersebut berupa kekar, sesar, dan bidang diskontinuitas lainya. Kemenerusan
diskontinuitas mempunyai panjang lebih besar dari bukaan atau lebih panjang dari
3 meter. Bisa juga dikatakan menerus jika kurang dari 3 meter tetapi dipisah oleh
bidang diskontinuitas. Tabel I.3. menunjukkan penentuan bobot berdasarkan jarak
antar kekar yang paling dominan (Bieniawski, 1989).

Tabel I.3. Pembobotan nilai jarak kekar (Bieniawski, 1989)

Deskripsi Jarak ( m ) Peringkat


Sangat Lebar >2 20
Lebar 0.6 – 2 15
Sedang 0.2 – 0.6 10
Rapat 0.06 – 0.2 8
Sangat Rapat < 0.06 5

Batas terbesar dari jarak antar kekar yang dipakai dalam RMR yaitu > 2 m dengan
bobot 20, sedangkan batas terendah < 60 mm dengan bobot 5. Menurut ISMR dalam
(Ulusay, 2015) jarak atau spasi kekar adalah jarak tegak lurus antara bidang kekar
yang berdekatan dalam satu kekar. Pada perhitungan nilai RMR parameter antara
jarak atau spasi kekar ditentukan pada pengamatan lapangan.

4. Kondisi Diskontinuitas
Pengamatan kondisi diskontinuitas dilakukan dengan mengukur dan menghitung
beberapa sub parameter yang ada di dalamnya. Sub parameter tersebut yakni
panjang bidang diskontinuitas (persistence), bukaan bidang diskontinuitas
(aperture), kekasaran dari permukaan bidang diskontinuitas (roughness), jenis
material pengisi bidang diskontinuitas (infilling), dan kondisi pelapukan yang ada
pada setiap bidang diskontinuitas (weathered). Pengamatan tersebut di lakukan
secara langsung pada batuan di lereng yang diukur, kemudian diklasifikasikan
berdasarkan tabel I.4.

6
Tabel I.4. Klasifikasi kondisi diskontinuitas (Bieniawski, 1989)

5. Kondisi Air Tanah


Air tanah sangat berpengaruh terhadap setiap material yang ada di dalam
permukaan bumi baik itu tanah maupun batuan, sehingga pola dan muka air tanah
sangat perlu diperhatikan. Kondisi air tanah dapat dinyatakan secara umum yaitu
kering (dry), lembab (damp), basah (wet), menetes (dripping), dan mengalir
(flowing). Keterangan parameter kondisi air tanah dapat dilihat pada tabel I.5.
Pengamatan kondisi air tanah di lereng pit 2 PT. ALUS dilakukan pada saat cuaca
cerah agar dapat merepresentasikan kondisi air tanah yang ada pada lereng tersebut.

7
Tabel I.5. Kondisi Air Tanah (Bieniawski, 1989)

Kering Terdapat Terdapat


Lembab Basah
Kondisi Umum (completely tetesan air aliran air
(damp) (Wet)
dry) (dripping) (flowing)
Debit air tiap 10 m
Panjang terowongan Tidak ada <10 10 - 25 25 – 125 >125
( liter/menit)
Tekanan air
Pada dikontinuitas/tegangan 0 < 0.1 0.1– 0.2 0.1 – 0.2 >0.5
principal mayor
Rating 15 10 7 4 0

Tabel I.6. Pembobotan Massa Batuan ( Bieniawski, 1989)

8
Tabel I.7. Kelas Massa Batuan (Bieniawski, 1989)

Klasifikasi RMR dapat digunakan untuk mengestimasi banyak rancangan


pembangunan seperti umur berdiri suatu bangunan, periode berdiri jembatan.
Klasifikasi RMR juga dapat digunakan untuk memilih metode penggalian dan
sistem pendukung permanen. Kohesi, sudut geser dalam, modulus deformasi massa
batuan, dan daya dukung pondasi juga dapat diperkirakan untuk menganalisis
stabilitas lereng batuan. Hal ini juga dapat direkomendasikan untuk pemotongan
sudut kemiringan lereng (Waltham,2002 dalam Singh & Goel, 2011).

II.2. Analisis Kinematik Potensi Longsoran


Lereng memiliki suatu potensi bentuk longsoran, untuk dapat mengetahui bentuk
longsoran diperlukan analisis kinematic. Analisis tersebut dilakukan dengan
perhitungan diskontinuitas yang mengabaikan gaya penyebab pergerakan material
(Hudson & Harrison, 1997). Analisis kinematik longsoran dilakukan untuk
mengetahui kemungkinan bentuk longsoran yang terjadi pada suatu lereng (Gambar
II.1.). Metode ini dikenalkan oleh (Hoek & Bray, 1981).

Gambar II.1. Tipe longsoran (Hoek & Bray, 1981)

9
Metode ini digunakan untuk menganalisis prediksi runtuhan yang nantinya setelah
diketahui bentuk longsoranya dilakukan perhitungan dan pemodelan yang sesuai
dengan bentuk longsoran yang terjadi. Analisis potensi longsoran ini dapat
menggunakan stereonet atau bantuan perangkat lunak Dips 7.0. Potensi bentuk
longsoran di bagi menjadi 4 bentuk menurut (Hoek & Bray, 1981) yaitu :
1. Longsoran bidang (planar failure), longsoran ini terjadi ketika terdapat bidang
diskontinuitas yang memiliki arah kemiringan yang sama dengan arah kemiringan
lereng. Longsoran ini akan terbentuk ketika sudut geser dalam lebih besar dari pada
sudut kemiringan diskontinuitas dan sudut diskontinuitas lebih landai dibanding
sudut kemiringan lereng.
2. Longsoran baji (wedge failure), bentuk longsoran baji terjadi ketika terdapatnya
dua bidang diskontinuitas yang berpotongan dengan arah yang sama dengan arah
lereng. Longsoran akan terbentuk ketika sudut titik potong antara dua diskontinuitas
lebih kecil dibanding sudut geser dalam dan sudut kemiringan lereng.
3. Longsoran guling (toppling failure), longsoran guling merupakan longsoran
batuan dengan bentuk runtuhan atau jatuhan dari material yang ada. Longsoran ini
terbentuk ketika terdapatnya bidang diskontinuitas yang berlawanan arah dengan
arah kemiringan lereng.
4. Longsoran busur (circular failure), longsoran terjadi ketika terdapat banyak
sekali bidang lemah atau bidang diskontinuitas, biasanya longsoran ini terjadi pada
material lepas seperti material tanah.
II.3. Faktor Keamanan
Faktor keamanan didefinisikan sebagai rasio gaya mobilisasi maksimum yang
menahan geser dan gaya yang ada yang cenderung menginduksi pergeseran
(Wesseloo dalam Read & Stacey, 2011). Penentuan nilai faktor keamanan
dilakukan dengan perhitungan deterministik dari rasio antara gaya penahan
(resisting force) dan gaya penggerak (driving force) (Giani, 1988). Sketsa mengenai
gaya yang bekerja pada satu potongan dapat di lihat pada gambar II.2.

10
Gambar II.2. Sketsa menunjukan gaya yang bekerja pada satu potongan (Goodman & Bray 1989)

Faktor keamanan digunakan dalam berbagai bidang yaitu teknik sipil pada
rekomendasi konstruksi bangunan seperti pembuatan bendungan, struktur penahan,
lereng jalan dan sebagainya. Pada bidang tambang, faktor keamanan digunakan
dalam menentukan kestabilan lereng galian bahan tambang. Faktor keamanan
tersebut nantinya sebagai dasar pembuatan desain pit yang baik dan
memperhatikan keamanan dan keselamatan. Aplikasi pada lereng tambang batuan
memiliki rekomendasi nilai faktor keamanan >1,2 (Gambar II.3). Nilai tersebut
berarti stabil dan sebagai dasar dalam pengaplikasian desain lereng tambang batuan
(Priest & Brown, 1983 dalam Read & Stacey, 2011).

11
Gambar II.3. Nilai Faktor keamanan yang dapat ditetapkan pada beberapa aplikasi (Priest &
Brown,1983)

II.4. Pemodelan Faktor Keamanan Dengan Perangkat RocTopple


RocTopple adalah perangkat lunak untuk melakukan analisis tipe longsoran guling
dan mendukung desain lereng batuan. Analisis ini didasarkan pada metode
longsoran guling yang populer dari (Goodman & Bray, 1976) (Gambar II.4.).
Metode ini pertama kali diterbitkan dalam sebuah makalah, Toppling of Rock
Slopes. Parameter yang digunakan dalam metode tersebut yaitu kemiringan lereng,
jarak diskontinuitas, sudut kemiringan, sudut geser dalam,kohesi, dan kekuatan
batuan. Pemodelan tersebut akan secara otomatis menghasilkan blok pemodelan
yang menampilkan mode kegagalan potensial dari masing-masing blok (terguling,
meluncur, stabil) serta faktor keamanan secara keseluruhan. Dalam perhitunganya
perangkat ini mampu dengan singkat, padat, dan jelas menghasilkan nilai faktor
keamanan berdasarkan pemodelan longsoran guling yang sudah di tentukan
(Gambar II.5).

12
Gambar II.4. Pemodelan longsoran guling berdasarkan Goodman dan Bray (1976)

Berdasarkan (Read & Stacey, 2011), alur pembuatan desain tambang dapat
menggunakan nilai klasifikasi massa batuan dan analisis bentuk potensi longsoran.
Berdasarkan hal tersebut pemodelan ini menggunakan hasil klasifikasi RMR
(Bieniawski, 1989) serta analisis potensi longsoran (Hoek & Bray, 1981).
Parameter yang diperoleh dari hasil klasifikasi massa batuan RMR meliputi nilai
kohesi, sudut geser dalam, dan rata-rata jarak diskontinuitas. Parameter geometri
lereng di peroleh berdasarkan analisis kinematik potensi bentuk longsoran yang
memerlukan sudut kemiringan diskontinuitas, tinggi lereng, dan sudut kemiringan
lereng serta bentuk dari longsoran itu sendiri.

Gambar II.5. Pemodelan longsoran guling dengan perangkat lunak RocTopple

13

Anda mungkin juga menyukai