Anda di halaman 1dari 64

BAB III

DASAR TEORI

3.1. Klasifikasi Massa Batuan RMR


Sistem klasifikasi RMR dikembangkan pada tahun 1972-1973 dan dipublikasikan
pertama kali oleh Bieniawski pada tahun 1976. Setelah itu, sistem ini mengalami
beberapa kali perubahan yakni pada tahun 1984 dan 1989. Hal ini dilakukan agar
disesuaikan dengan standar dan prosedur internasional (Bieniawski,1989). Sistem
inipun telah dikembangkan atau mengalami modifikasi untuk berbagai
kepentingan. Mohammadi and Hossaini (2017) meringkas beberapa contoh
modifikasi RMR yakni untuk kepentingan tambang (Laubscher, 1977, 1984),
rippability (Weaver, 1975), hard rock mining (Kendorsky, et al., 1975), tambang
batubara (Unal, 1983; Newman and Bieniawski, 1985), fondasi bendungan
(Seraphim and Pereira, 1983), terowongan (Gonzalez de Vallejo, 1983) dan
kestabilan lereng (Romana, 1985).
Berikut ada lima parameter utama yang digunakan dan satu parameter koreksi:
Parameter Faktor Range Bobot
• Kuat tekan uniaksial batuan utuh A1 0 – 15
• Rock Quality Designation (RQD) A2 3 – 20
• Spasi bidang diskontinyu A3 5 – 20
• Kondisi bidang diskontinyu A4 0 – 30
• Kondisi air tanah A5 0 – 15
• Orientasi bidang diskontinu terhadap arah B (-12) – 0
penggalian
Bobot – bobot dari tiap parameter di atas kemudian dijumhlahkan untuk
mendapatkan nilai RMR sebagai berikut :

RMR = A1 + A2 + A3 + A4 + A5 + B ....(3.1)

14
1. Kuat tekan uniaksial batuan utuh
Tujuan uji tekan adalah untuk mengukur kuat tekan uniaksial sebuah contoh batuan
dalam geometri yang beraturan, baik berbentuk silinder, balok atau prisma dalam
satu arah (uniaksial). Hasil uji ini menghasilkan beberapa informasi yaitu kurva
tegangan regangan (Gambar 3.1), kuat tekan uniaksial (UCS), modulus young dan
poisson’s ratio.

Gambar 3.1. Kurva Tegangan Regangan Kuat Tekan Uniaksial


• Persamaan untuk mencari nilai kuat tekan uniaksial (UCS) adalah :
𝐹
𝜎𝑐 = ....(3.2)
𝐴
Keterangan :
σc = Kuat tekan uniaksial (MPa)
F = Gaya (N)
A = Luas permukaan (mm2)
2. Rock Quality Designation (RQD)
Bidang diskontinyu yang terdapat dalam massa batuan berdampak buruk pada sifat
mekanik massa batuan itu sendiri. Oleh karena itu, dibutuhkan kuantifikasi bidang
diskontiyu yang terdapat di dalam massa batuan. RQD pertama kali dikembangkan
oleh Deere (1964) untuk menentukan kualitas massa batuan dari hasil pengeboran
eksplorasi. RQD dihitung dari presentasi bor inti yang diperoelh dengan Panjang

15
minimum 10 cm dan jumlah potongan inti terebut biasanya diukur pada inti bor
sepanjang 2 m. perhitungannya sebagai berikut :
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑜𝑟 𝑖𝑛𝑡𝑖≥10 𝑐𝑚
𝑅𝑄𝐷 = 𝑥 100 % ....(3.3)
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑜𝑟 (𝑐𝑚)

Apabila bor inti tidak tersedia, maka secara tidak langsung nilai RQD dapat
dihitung dengan mengukur jarak dan orientasi bidang diskontinyu yang nampak
pada singkapan batuan. Hutchinson & Diedrichs (1996), menerapkan cara
penghitungan yang sama seperti persamaan di atas dengan tongkat ukur yang
panjangnya 200 cm (Gambar 3.2.). jarak antar kekar yang tidak mencapai 10 cm,
dianggap nol.

Gambar 3.2. Cara Mengukur dan Menghitung RQD Secara Tidak Langsung
(Hutchinson & Diederichs, 1996)
3. Spasi Bidang Diskontinyu
Diskontinyuitas adalah bentuk – bentuk ketidakmenerusan massa batuan seperti
kekar, perlapisan atau foliasi. Spasi bidang diskontinyu adalah jarak tegak lurus
antara 2 kekar dalam satu set kekar (lihat Gambar 3.3). Dengan demikian arah dan
kemiringannya hampir sama. Beberapa massa batuan dapat memiliki spasi kekar
dari yang sangat rapat hingga sangat jarang.

16
Gambar 3.3. Definisi Spasi Bidang Diskontinyu
4. Kondisi Bidang Diskontinyu
a. Kemenerusan
Kemenerusan atau persistensi yaitu panjang rekahan dari suatu set kekar pada
massa batuan. Kemenerusan ditentukan dengan mengamati dan mengukur panjang
kekar massa batuan. Kemenerusan kekar memiliki peluang yang lebih besar dalam
membentuk ukuran blok pada massa batuan (Hutchinson and Diederichs, 1996)
b. Kekasaran
Deskripsi kekasaran merujuk pada rujukan yang diberikan oleh ISRM (1981)
seperti pada Gambar 3.4. Pada deskripsi tersebut, kekasaran dibagi menjadi 3
bagian yaitu tajam (rough), bergelombang (undulating) dan datar (planar). Kondisi
relative atau deskripsi skala kekasaran permukaan bidang kekar dinyatakan sebagai
berikut :
• Sangat kasar (very rough), jika jenjang – jenjang yang terjadi dipermukaan
bidang kekar hamper vertical
• Kasar (rough), jika kekerasan dapat dilihat dengan jelas dan apabila diraba
masih terasa agak abrasive
• Kekasaran rendah (slightly rough), jika kekasaran di permukaan bidang kekar
baru dapat diketahui dengan jelas jika diraba dengan tangan
• Halus (smooth), jika permukaan rekahan menjadi halus dan terasa halus ketika
disentuh

17
• Licin (slickenside), jika permukaan rekahan menjadi licin terlihat seperti poles
atau bergelombang halus.

Gambar 3.4. Profil Kekasaran Muka Bidang Kekar ( ISRM, 1981)


c. Pemisahan
Pemisahan yaitu lebar celah pada permukaan kekar mengendalikan permukaan
bidag kekar yang berhadapan agar saling mengunci (lihat Gambar 3.5.). Rekahan
yang terisi oleh material lain (misalnya lempung) dapat juga digolongkan sebagai
separasi jika material pengisinya telah tercuci secara lokal. Pemisahan
mengendalikan permukaan ketidakmenerusan agar saling mengunci. Pada waktu
tidak mengunci, isian ketdakmenerusan mengendalikan kuat geser
ketidakmenerusan. Jika pemisahan berkurang, kekasaran bidang diskontinyu
cenderung menjadi lebih terkunci dan material isian maupun batuan memperkuat
kuat geser bidang diskontinyu.

18
Gambar 3.5. Kondisi Bukaan Kekar (ISRM, 1981)
d. Material pengisi
Material pengisi yaitu isian celah antarpermukaan bidang kekar yang umunya
terdiri atas pasir, kalsit, lempung, lanau, breksi, kuarsa dan pyrite. Material pengisi
ini akan mempengaruhi kuat geser bidang kekar.
e. Pelapukan
Pelapukan dinding batuan atau pada permukaan diskontinuitas yang terbentuk pada
batuan oleh ISRM (1981) diklasifikasikan sebagai berikut :
• Tidak lapuk atau segar. Tidak terlihat tanda - tanda pelapukan, batuan segar,
kristalnya terang.
• Pelapukan ringan, ketidakmenerusan luntur dan dapat terisi oleh lapisan tipis
hasil dari alterasi material. Lunturan meluas sampai jarak 20 % spasi
diskontinyu.
• Pelapukan sedang. Lunturan meluas pada bidang diskontinyu lebih besar dari
20 % spasi diskontinyu. Ketidakmenerusan dapat terisi oleh hasil alterasi
material.
• Pelapukan kuat. Lunturan meluas melalui batuan dan terdapat bagian material
yang gembur. Tekstur asli batuan tetap terjaga, tapi didapatkan pemisahan
butiran.
5. Kondisi Air Tanah
Air tanah dapat memiliki pengaruh melemahkan pada massa batuan, biasanya
melalui erosi dan pelemahan permukaan kekar dan pengisian material (Hutcinson
and Diederichs, 1996). Dalam istilah sederhananya, keberadaan air tanah akan
mengurangi kekuatan massa batuan.

19
Secara keseluruhan klasifikasi massa batuan RMR dengan 6 parameter beserta
pembobotannya disajikan pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Tabel Klasifikasi RMR (Bieniawski, 1989)
PARAMETER SELANG NILAI
Index
Kekuatan kekuatan Untuk nilai yang kecil
Batuan Point Load dipakai hasil UCS
> 10 Mpa 4 - 10 Mpa 2 - 4 Mpa 1 - 2 Mpa
Utuh
Uniaksial > 250 Mpa 100 - 250 Mpa 50 - 100 Mpa 25 - 50 Mpa 5 - 25 Mpa1 - 5 Mpa < 1 Mpa
Pembobotan 15 12 7 4 2 1 0
RQD 90 - 100 % 75 - 90 % 50 - 75 % 25 - 50 % < 25 %
Pembobotan 20 17 13 8 3
Spasi Rekahan >2m 0,6 - 2 m 0,2 -0,6 m 60 - 200 mm < 60 mm
Pembobotan 20 15 10 8 5
Kondisi Bidang Diskontinyu
Panjang <1m 1- 3 m 3 - 10 m 10 - 20 m > 20 m
Pembobotan 6 3 2 1 0
Pemisah Tidak ada < 0,1 mm 0.1-1 mm 1 - 5 mm > 5 mm
Pembobotan 6 5 4 1 0
Kekasaran sangat kasar kasar agak kasar lembut licin
Pembobotan 6 5 3 1 0
Material Kasar Material Lunak
Material pengisi tidak ada
< 5 mm >5 mm < 5 mm > 5 mm
Pembobotan 6 4 2 2 0
Pelapukan Tidak lapuk Agak lapuk Sedang Kuat Sangat Lapuk
Pembobotan 6 5 3 2 0
Keadaan
Air T anah Kering Lembab Basah Menetes Mengalir
Umum
Pembobotan 15 10 7 4 0
Orientasi Bidang Diskontinyu terhadap Lubang Bukaan
Arah Strike Tegak Lurus Terhadap Arah Tunnel Strike Searah Terhadap Arah Tunel
Searah dengan Dip 45 - 90˚ Searah dengan Dip 20 - 45˚ Dip 45 - 90˚ Dip 20 - 45˚
0 -2 -12 -5
Berlawanan dengan Dip 20 -
Berlawanan dengan Dip 45 - 90˚ Dip 0 - 20˚
45˚
-5 10 -5

Bieniawski (1989) menyediakan panduan untuk pemilihan sistem penyangga yang


berdasarkan kelas massa batuan RMR dan dengan metode penggalian (Tabel 3.2.).
Sistem penyangga yang digunakan pada panduan ini meliputi Rock bolt, Shotcrete,
Wire mesh dan H-Beam (Rib).

20
Tabel 3.2. Panduan Untuk Penggalian dan Sistem Penyangga Terowongan
Dengan Variasi Kelas Massa Batuan

Kelas Massa
Penggalian Rock Bolts Shotcrete Steel Set
Batuan

I - Batuan sangat Full Face Secara umum tidak perlu support kecuali spot
bagus 3 m kemajuan bolting
RMR : 81 - 100
Bolt di atap
Full Face 50 mm di
Panjang 3 m,
II - Batuan bagus 1 - 1,5 m kemajuan, atap di
spasi 2,5 m Tidak Perlu
RMR : 61 - 80 support lengkap 20 m dari daerah
dengan wire
face tertentu
mesh
Ketebalan
Top Heading and Bench Panjang bolt 4 m, shotcrete
III - Batuan
1,5 - 3 m kemajuan pada spasi bolt 1,5 – 2 50-100 mm
sedang Tidak Perlu
top heading, support m dan dipasang di roof dan
RMR : 41 - 60
lengkap 10 m dari face wire mesh. 100 mm di
dinding
Ketebalan
Panjang bolt 4 - Rib ringan
Top Heading and Bench shotcrete
5m, spasi bolt 1- sampai
IV - Batuan jelek 1 – 1,5 m kemajuan pada 100-150 mm
1,5 m dan sedang, Spasi
RMR : 21 - 40 top heading, support di roof dan
dipasang wire 1,5 m di
lengkap 10 m dari face 100 mm di
mesh. daerah tertentu
dinding
Ketebalan
Rib sedang
shotcrete
Panjang bolt 5-6 sampai berat,
Multiple drift 0,5 – 1,5 m 150 – 200
V - Batuan m, spasi bolt 1- spasi 0,75 m
kemajuan pada top mm di roof,
sangat jelek 1,5 m dan dengan steel
heading, shotcrete segera 150 mm di
RMR : < 20 dipasang wire laging dan
setelah peledakan dinding dan
mesh. forepoling jika
50 mm di
perlu
face

3.1.1. Hubungan antara RMR dan Geological Strength Index (GSI)


Dalam Hoek et al (1995), nilai GSI awalnya sama dengan RMR versi 1976,
Persamaan ini berlaku dengan asumsi kondisi air tanah yang kering dan orientasi
kekar bernilai nol (0)dan dinyatakan dalam persamaan :
GSI = RMR ..…(3.4)
Dengan adanya penambahan kondisi air tanah dan orientasi kekar kemudian dibuat
koreksi hubungan antara GSI dan RMR versi 1989 dalam persamaan :
GSI = RMR – 5 ..…(3.5)

21
3.1.2. Faktor Kerusakan (Disturbance Factor)
Mendesain suatu terowongan pada suatu tambang bawah tanah dengan kriteria
Hoek – Brown dengan asumsi massa batuan tidak terganggu (D = 0) adalah terlalu
optimistik (Hoek, 2002). Kerusakan massa batuan dapat disebabkan oleh adanya
kegiatan peledakan dan metode penggalian lain (lihat Tabel 3.3.). Kerusakan ini
harus menjadi pertimbangan dalam mengestimasi kekuatan massa batuan.
Tabel 3.3. Panduan Untuk Memperkirakan Faktor Kerusakan Pada Penggalian
Bawah Tanah

3.1.3. Kekuatan Massa Batuan (Kriteria Keruntuhan Hoek – Brown)


Kriteria Hoek - Brown telah dipublikasikan pada tahun 1980 berdasarkan
pengalaman berbagai proyek di berbagai negara. Kemudian kriteria tersebut
mengalami perubahan versi atau di-update pada tahun 1988 dan 1992 dan dari
penggabungan bentuk awal dan modifikasinya diperoleh persamaan untuk kriteria
keruntuhan Hoek – Brown (Generalized Hoek – Brown) tahun 2002 :

𝜎3′ 𝑎
𝜎1′ = 𝜎3′ + 𝜎𝑐 (𝑚𝑏 + 𝑆) ..…(3.6)
𝜎𝑐

22
Dimana :
𝜎1′ = Tegangan utama mayor (MPa)
𝜎3′ = Tegangan utama minor (MPa)
𝜎𝑐 = UCS batuan utuh (MPa)
mb , s, a = Konstanta Hoek – Brown
konstanta mb adalah nilai konstanta untuk massa batuan , s dan a adalah konstanta
yang bergantung pada karateristik massa batuan. Nilai mi dapat diperoleh dari
konstanta untuk intact rock.

Kriteria keruntuhan Hoek-Brown hanya dapat digunakan pada batuan utuh atau
pada massa batuan Heavily Jointed yang dapat diasumsikan homogen dan isotropik
(Hoek et al, 1995). Dengan kata lain, properties material dari massa batuan tersebut
adalah sama di segala arah.

Salah satu kendala utama yang dihadapi dalam bidang pemodelan numerik untuk
mekanika batuan adalah keterbatasan kemampuan untuk memperoleh data
properties massa batuan (Hoek et al, 1995). Roclab adalah sebuah program
perangkat lunak untuk menentukan parameter kekuatan massa batuan, berdasarkan
kriteria keruntuhan Hoek-Brown. Roclab menyediakan implementasi sederhana
mengenai sifat-sifat massa batuan yang nantinya akan digunakan sebagai data
masukan bagi program analisis numerik seperti Phase2.
Berikut langkah-langkah menggunakan program Roclab :
1. Buka aplikasi Roclab
2. Masukkan data kuat tekan uniaksial (UCS), GSI, nilai konstanta ‘mi’ dan
disturbance faktor (D). Setelah semua data tersebut dimasukkan, maka
parameter massa batuan akan muncul secara otomatis.
3. Menyimpan file tersebut dan Meng-copy data tersebut apabila akan digunakan
pada program Phase2.
3.1.4. Hubungan Karakteristik Massa Batuan Dan Sistem Penyangga
Menurut Hoek et al (1995), sebagai metode tradisional untuk melakukan
penyanggaan pada jenis batuan massive brittle rock, sistem penyangga yang

23
digunakan yaitu mechanically anchored rockbolts dan wire mesh. Tujuannya
adalah untuk menahan beban mati dari pecahan batuan dan mencegah jatuhan
batuan yang dekat dengan lokasi kerja. Selain mechanically anchored rockbolts,
untuk menahan beban yang ringan sekitar 1 ton dapat juga digunakan rockbolt jenis
friction anchored dowels contohnya split set. Bahkan bukan hanya pada kondisi
massive, split set pun dapat digunakan pada kondisi batuan yang tergolong blocky
rock dan heavily jointed rock. Sedangkan untuk beban yang lebih berat diperlukan
reinforcement yang lebih berat yaitu grouted and tension rockbolt, fully grouted
rebar atau swellex bolts. Jenis rockbolt ini pun dapat diterapkan pada kondisi batuan
dengan kualitas buruk (poor qulity rock masses).

3.2. Tegangan
3.2.1. Tegangan Insitu
Tegangan insitu merupakan tegangan alamiah yang bekerja di dalam massa batuan
yang terdiri dari tegangan gravitasi, tegangan tektonik, tegangan sisa dan tegangan
normal. Batuan pada kedalaman tertentu memiliki tegangan (stress) yang timbul
akibat keberadaan lapisan yang berada tepat di atasnya dan yang timbul akibat
peristiwa tektonik (Kramadibrata, 2012). Sebelum dilakukan penggalian, massa
batuan dalam kondisi setimbang. Setelah dilakukan penggalian kesetimbangan
tersebut terganggu dan dapat mengubah distribusi tegangan awal.
Tegangan insitu terdiri dari tegangan insitu vertikal dan tegangan insitu horizontal.
Pendekatan yang dilakukan untuk mengetahui tegangan vertikal adalah dengan
asumsi berat batuan yang dari permukaan dikali dengan kedalaman dari permukaan
sampai ke bukaan (Hoek dan Keiser, 1998) seperti persamaan berikut :
𝜎𝑣 = 𝛾𝑧 ....(3.7)
σv = Tegangan vertikal (ton/m2)
γ = Bobot isi batuan (ton/m3)
z = Kedalaman (m)
Sementara untuk mengestimasi tegangan horizontal jauh lebih sulit dibandingkan
dengan tegangan vertikal. Biasanya, perbandingan tegangan insitu horizontal
terhadap tegangan insitu vertikal diasumsikan dengan k, maka :

24
σh = kσv = kγz ....(3.8)
Keterangan :
σh = Tegangan Horizontal (ton/m2)
γ = Bobot isi batuan (ton/m3)
z = Kedalaman (m)
3.2.2. Tegangan Terinduksi
Dibuatnya sebuah atau beberapa lubang bukaan di bawah tanah akan
mengakibatkan terjadinya perubahan distribusi tegangan (stress distribution) di
sekitar lubang bukaan tersebut yang akan menghasilkan tegangan terinduksi
(Gambar 3.6.). Perubahan tegangan ini akan mempengaruhi deformasi yang terjadi
di sekitar lubang bukaan. Ketika tegangan terinduksi menjadi lebih besar dari
kekuatan massa batuan maka lubang bukaan akan menjadi tidak stabil dan apabila
tidak dikendalikan akhirnya akan terjadi keruntuhan. Szwedzicki (2018)
mengungkapkan bahwa pada kedalaman dangkal, mode keruntuhan disebabkan
oleh gravitasi (tegangan vertical insitu) sedangkan pada kedalaman yang lebih
dalam lebih banyak dipengaruhi oleh tegangan induksi.

Gambar 3.6.
Distrbusi Tegangan Sebelum dan Setelah Penggalian (Kramadibrata, 2012)

Kirsch (1898) membagi tegangan terinduksi menjadi tiga yaitu tegangan radial (σr),
tegangan tangensial (σϴ), dan tegangan geser (τrϴ) yang berada di sekitar lubang
bukaan seperti yang ditampilkan pada Gambar 3.7, dan menemukan persamaannya
sebagai berikut :
𝜎𝑣 +𝜎ℎ 𝑅2 𝜎𝑣 −𝜎ℎ 4𝑅 2 3𝑅 4
𝜎𝑟 = [( ) (1 − 𝑟 2 )] + [( ) (1 − + ) 𝑐𝑜𝑠2𝜃] ....(3.9)
2 2 𝑟2 𝑟4

25
𝜎𝑣 +𝜎ℎ 𝑅2 𝜎𝑣 −𝜎ℎ 3𝑅 4
𝜎𝜃 = [( ) (1 + 𝑟 2 )] − [( ) (1 + ) 𝑐𝑜𝑠2𝜃] ....(3.10)
2 2 𝑟4
𝜎𝑣 −𝜎ℎ 2𝑅 2 3𝑅 4
𝜎𝑟𝜃 = [− ( ) (1 + − ) 𝑠𝑖𝑛2𝜃] ....(3.11)
2 𝑟2 𝑟4

Keterangan :
σr = Tegangan radial
σr = Tegangan tangensial
τrϴ = Tegangan geser
σv = Tegangan vertikal
σh = Tegangan horizontal
ϴ = Sudut yang dibentuk ke titik pengamatan searah putaran jam
R = Jari – jari lubang bukaan
r = Jarak dari pusat lubang bukaan ke titik pengamatan

Gambar 3.7.
Tegangan Radial, Tegangan Tangensial, Dan Tegangan Geser Di Sekitar
Lubang Bukaan (Kirsch, 1898)

Dengan kondisi massa batuan yang kompleks dan bentuk lubang bukaan yang
bervariasi maka metode analitik memiliki kelemahan atau keterbatasan dalam
menghitung tegangan di sekitar lubang bukaan. Oleh karena itu, metode numerik
bisa menjadi solusi bagi permasalahan tersebut.

26
3.3. Sistem Penyangga
Adanya kegiatan penggalian bawah tanah akan berpengaruh pada kondisi tegangan
yang ada di sekitarnya. Pada kondisi ini, massa batuan di sekitar lubang penggalian
akan mengalami induksi tegangan yang selalu lebih besar dari tegangan insitu. Hal
ini menyebabkan tegangan akan terkonsentrasi pada tepi lubang. Peningkatan
tegangan inipun juga akan meningkatkan deformasi yang terjadi guna mencari
kesetimbangan. Apabila belum mencapai kesetimbangan dan massa batuan tidak
mampu menahan beban tegangan tersebut, maka peristiwa ambrukan tidak dapat
terhindarkan.
Saat massa batuan di sekitar lubang bukaan tidak mampu menahan beban tegangan
terinduksi yang melampaui kekuatannya, maka sistem penyangga diperlukan untuk
membantu meningkatkan kekuatan massa batuan tersebut. Pada Gambar 3.8.,
terlihat peran sistem penyangga dalam mengontrol perpindahan yang terjadi di
dinding lubang bukaan. Titik equilibrium menunjukkan bahwa sistem penyangga
dapat menahan perpindahan.
Menurut Hudson (1993), reinforcement adalah perkuatan terhadap massa batuan
yang terjadi dalam massa batuan tersebut contohnya rockbolt sedangkan support
adalah peralatan yang memberikan gaya reaktif terhadap beban tegangan yang
terjadi pada permukaan lubang bukaan, contohnya kayu, wiremesh, shotcrete dan
steelset. Kaiser et al, (1996) meringkas 3 fungsi dari sistem penyangga batuan yaitu
: reinforce yang berarti me mperkuat massa batuan dan mencegah agar kekar tidak
semakin meluas, retain yang berarti menahan kejatuhan blok batuan dan hold yang
berarti mempertahankan posisi blok batuan dari samping agar tidak jatuh.

1. Baut batuan (rockbolt)


Pada terowongan dan penambangan bawah tanah, baut batuan merupakan batang
baja yang dimasukkan ke dalam lubang bor untuk menyangga atap dan dinding
lubang bukaan (Gambar 3.9.).

27
Gambar 3.8. Reaksi Sistem Penyangga Terhadap Perpindahan Dinding Di Sekitar
Lubang Bukaan (Hoek et al, 1995)

Terdapat beberapa kelebihan penggunaan baut batuan yaitu dapat mengikuti bentuk
geometri lubang bukaan, mudah dan cepat dipasang karena menggunakan
mekanisasi, murah dan bisa dikombinasikan dengan jenis penyangga lainnya
seperti shotcrete dan wiremesh.

Gambar 3.9. Rockbolt jenis Split set

28
Pada gambar 3.10., terlihat 4 prinsip dari rockbolt yang berkaitan dengan
mekanisme daya dukung rockbolt. Prinsip pertama adalah suspensi yang berfungsi
menahan beban mati dari blok yang tidak stabil (Chen, 1994). Selanjutnya nailing
yang bertujuan untuk meningkatkan kuat geser dan karena itu prinsip ini sering
digunakan pada dinding bukaan. Prinsip yang ke tiga yaitu beam building yang
paling efisien pada massa batuan yang strukturnya berlapis. Prinsip arch building
adalah prinsip yang ke empat, digunakan pada atap berbentuk arch dengan struktur
massa batuan yang berlapis.

Gambar 3.10. Prinsip - Prinsip Rockbolt


Menurut Hoek et al, 1995, Terdapat beberapa jenis rockbolt yaitu : mechanically
anchored rockbolt dan resin anchored rockbolts. Sedangkan dowel terbagi dalam
3 jenis yaitu : grouted dowel, frictional dowel atau split set dan swellex dowel.
Mechanically anchored rockbolt sangat cocok digunakan pada batuan keras (Hard
rock) tetapi sangat tidak efektif pada batuan jenis closely jointed rock dan batuan
lunak (Soft rock). Resin anchored rockbolts dapat digunakan pada berbagai kondisi
batuan termasuk batuan lunak dan jointed rock karena sifat resin yang dapat
mengikat batuan dan rockbolt.

29
2. Shotcrete
Shotcrete atau beton tembak merupakan salah satu jenis penyangga pasif yang
berguna untuk menahan laju deformasi dan mencegah jatuhnya blok batuan. Beton
tembak dapat dihasilkan melalui campuran kering yang terdiri dari campuran semen
kering dan air ditambahkan pada penyemprot ( Gambar 3.10). Selain itu juga dapat
dihasilkan dari campuran basah, tapi beton tembak campuran kering lebih banyak
digunakan karena peralatan yang digunakan lebih ringan dan ekonomis. Lebih dari
20 tahun terakhir ini, penggunaan shotcrete telah mengalami peningkatan berhasil
digunakan dalam berbagai jenis massa batuan (Brady and Brown, 2005).
Penggunaan Shotcrete juga dapat dikombinasikan dengan micro silica, steel fibre
dan wire mesh.

Gambar 3.11. Shotcrete


3. Wiremesh
Merupakan jaring yang terbuat dari kawat baja yang berguna untuk mencegah dan
menahan jatuhnya blok batuan yang berukuran kecil ( Gambar 3.11). Wiremesh
digunakan jika gaya adhesi antara shotcrete dan permukaan batuan tersebut kecil
yang dapat disebabkan oleh kualitas batuan yang buruk. Ada dua jenis wiremesh
yang biasanya digunakan yaitu chailink mesh dan weldmesh. Menurut Hoek et al,
(1995), yang paling efektif untuk dikombinasikan dengan shotcrete adalah
weldmesh, lebih kaku dan lubang mesh yang lebih besar dibandingkan chain link
mesh

30
4. Steel Set
Steel set merupakan penyangga baja yang dibentuk sesuai dengan bentuk lubang
bukaan dan bersifat jenis penyangga pasif (Gambar 3.12). Pada penambangan
dengan tipe batuan keras (hard rock mining), Steel set dapat digantikan dengan
adanya rockbolt atau shotcrete atau kombinasi keduanya.

Gambar 3.12. Weldmesh

Steel set yang juga sering disebut H – beam atau I – beam biasanya menjadi
penyangga alternatif terakhir pada kondisi massa batuan yang tidak dapat ditangani
oleh jenis – jenis penyangga sebelumnya. Steel set biasanya digunakan pada kondisi
massa batuan yang buruk dengan banyak kekar dan fault (Hoek et al, 1995). Oleh
karena itu, maka penggunaannya pun diterapkan pada tempat-tempat tertentu saja.

3.4. Sifat Fisik dan Mekanik Batuan


3.4.1. Sifat Fisik Batuan Utuh
Sifat fisik batuan yang ditentukan untuk kepentingan penelitian geoteknik adalah
bobot isi asli (natural density), bobot isi kering (dry density), kadar air asli (natural
water content), kadar air jenuh (absorption), derajat kejenuhan, porositas (n) dan
void ratio (e).

31
Gambar 3.13. Steel set
3.4.2. Sifat Mekanik Batuan Utuh
a. Uji Kuat Tekan Uniaksial
Tujuan uji tekan adalah untuk mengatur kuat tekan unaksial sebuah conto batuan
dalam geometri yang beraturan, baik dalam bentuk silinder, balok atau prisma
dalam satu arah (uniaksial). Tujuan utamanya uji ini adalah untuk menentukan
klasifikasi kekuatan dan karakterisasi batuan utuh. Hasil uji ini menghasilkan
beberapa data yaitu: kuat tekan uniaksial, modulus elastisitas dan nisbah poisson.
Pengujian ini sering menggunakan standar dari International Society Rock
Mechanics, ISRM (1981).

• Persamaan untuk mencari nilai modulus young adalah :


∆𝜎
𝐸= …..(3.12)
∆𝜀𝑎
Keterangan :
E = Modulus young (MPa)
∆σ = Beda tegangan (MPa)
∆εa = Beda regangan aksial ( %)

32
• Persamaan untuk mencari nilai poisson’s ratio adalah :
𝜺𝑙
𝑣= …..(3.13)
𝜺𝑎
Keterangan :
V = poisson’s ratio
εl = regangan lateral
εa = regangan aksial

b. Uji Triaksial
Uji triaksial merupakan salah satu uji dalam mekanika batuan bertujuan untuk
menentukan kekuatan batuan di bawah tiga komponen tegangan melalui persamaan
kriteria keruntuhan (Rai, dkk, 2012). Pengujian triaksial menggunakan kriteria
Mohr-Coulomb akan diperoleh beberapa data yaitu kurva intrinsic, kuat geser,
kohesi, tegangan normal dan sudut gesek dalam. Sedangkan dengan menggunakan
kriteria keruntuhan Hoek-Brown dalam Hoek (2007) diperoleh data yaitu kuat
tekan uniaksial dan konstanta nilai mi dengan konstanta s dan a masing-masing
bernilai 1 dan 0,5. Untuk membantu melakukan estimasi kekuatan batuan dan
massa batuan, Marinos dan Hoek (2000) memberikan tabel konstanta mi untuk
berbagai jenis batuan yang dapat dilihat pada Tabel 3.4.

3.5. Metode Numerik (Metode Elemen Hingga)


Metode Elemen Hingga adalah salah satu metode pendekatan numerik yang sangat
sering digunakan dalam memecahkan permasalahan geoteknik. Metode ini awalnya
dikemukakan oleh Courant pada tahun 1943 dengan nama variational method
kemudian pada tahun 1960, barulah Clough yang memperkenalkan istilah Finite
Element Method. Dasar dari metode ini adalah mendefinisikan domain di sekitar
penggalian dan membagi domain menjadi kumpulan discrete atau elemen yang
saling berinteraksi (Brady and Brown, 2005).
Metode ini dapat digunakan untuk menganalisis tegangan dan perpindahan pada
suatu struktur. Disebut elemen hingga karena prosesnya dimulai dengan membagi
struktur menjadi elemen – elemen kecil yang dikenal dengan proses diskretisasi
dengan jumlah yang berhingga.

33
3.5.1. Tahapan Dalam Metode Elemen Hingga

Tahapan dalam analisis menggunakan metode elemen hingga adalah


1. Diskretisasi
Diskretisasi merupakan tahap awal dari metode elemen hingga. Dalam tahap
ini, media yang dianalisis dibagi menjadi sejumlah elemen berhingga dengan
bentuk geometri yang sederhana contohnya bentuk segi tiga (Gambar 3.13).

Tabel 3.4. Variasi nilai konstanta mi untuk jenis-jenis batuan yang berbeda

34
Gambar 3.14. Ilustrasi penampang melintang yang mengalami tegangan awal Pxx,
Pyy dan Pxy;

2. Pemilihan fungsi perpindahan


Elemen segitiga dengan tiga titik simpul diasumsikan mempunyai fungsi
perpindahan sebagai berikut :
u(x,y) = a1 + a2x +a3y ..…(3.14)
v(x,y) = a4 + a5x +a6y ..…(3.15)
Keterangan :
u = perpidahan pada arah horizontal (sumbu x)
v = perpindahan pada arah vertikal (sumbu y)

Dalam bentuk vektor perpindahan, pada elemen dapat dituliskan menjadi :


𝑎1
𝑎2
𝑢 1 𝑥 𝑦 0 0 0 𝑎
[ ]=[ ] 𝑎3 ..…(3.16)
𝑣 0 0 0 1 𝑥 𝑦 4
𝑎5
[𝑎6 ]
atau bisa dituliskan
{𝑢} = [𝑌]{𝑎} ..…(3.17)
Keterangan :
{𝑢} = matriks perpindahan elemen terhadap sumbu x
[𝑌] = matriks antara yang merupakan fungsi koordinat
{𝑎} = matriks koordinat umum (konstanta interpolasi)
Evaluasi persamaan di atas menjadi perpindahan pada setiap titik simpul

35
menghasilkan :
𝑢𝑖 1 𝑥𝑖 𝑦𝑖 0 0 0 𝑎1
𝑣𝑖 0 0 0 1 𝑥𝑖 𝑦𝑖 𝑎2
𝑢𝑗 1 𝑥𝑗 𝑦𝑗 0 0 0 𝑎3
= ..…(3.18)
𝑣𝑗 0 0 0 1 𝑥𝑗 𝑦𝑗 𝑎4
𝑢𝑘 1 𝑥𝑘 𝑦𝑘 0 0 0 𝑎5
[𝑣𝑘 ] [0 0 0 1 𝑥𝑘 𝑦𝑘 ] [𝑎6 ]
Atau
{𝑑} = [𝐴]{𝑎} ..…(3.19)
Sehingga
{𝑎} = [𝐴]𝐼 {𝑑} ..…(3.20)
Hubungan antara perpindahan elemen {𝑢} dan perpindahan titik simpul {𝑑}
adalah
{𝑢} = [𝑌][𝐴]𝐼 {𝑑} ..…(3.21)

3. Pendefinisian hubungan regangan dan perpindahan


Hubungan regangan dan perpindahan dapat dinyatakan sebagai berikut
{𝑒} = [𝐵]{𝑑} ..…(3.22)
Keterangan :
{𝑒} = matriks regangan
{𝑑} = matriks perpindahan

𝑦𝑗𝑘 0 𝑦𝑘𝑖 0 𝑦𝑖𝑗 0


1
[𝐵] = [ 0 𝑦𝑘𝑗 0 𝑥𝑖𝑘 0 𝑥𝑗𝑖 ] ..…(3.23)
2𝐷
𝑥𝑘𝑗 𝑦𝑗𝑘 𝑥𝑖𝑘 𝑦𝑘𝑖 𝑥𝑗𝑖 𝑦𝑖𝑗
𝐷 = luas elemen segitiga
𝐵 = matriks regangan-perpindahan

4. Pendefinisian hubungan tegangan dan regangan


Hubungan tegangan dan regangan dapat dinyatakan sebagai berikut
{𝑠} = [𝐸]{𝑒} ..…(3.24)
Keterangan :
{𝑠} = Matriks tegangan

36
{𝑒} = Matriks regangan
[𝐸] = Matriks elastisitas yang menghubungkan tegangan σ dan regangan ε
matriks [𝐸] untuk asumsi regangan bidang :
−𝑢 𝑢 0
𝐸 𝑢 1−𝑢 0 ]
[𝐸] = (1+𝑢)+ (1−2𝑢)
[ 1−2𝑢
..…(3.25)
0 0 2

Sedangkan untuk asumsi tegangan bidang


1 𝑢 0
𝐸
[𝐸] = (1+𝑢)2
[𝑢 1 0 ]
1−𝑢
..…(3.26)
0 0 2

5. Pembentukan matriks kekakuan dari tiap elemen


Matriks kekakuan dari tiap elemen dapat dinyatakan sebagai berikut :
[𝑘] = 𝑠[𝐵][𝐸][𝐵] ..…(3.27)
Keterangan :
[𝑘] = matriks kekakuan dari tiap elemen
s = luas elemen segitiga
6. Penyusunan matriks kekakuan global
Setelah menghitung matriks kekakuan dari tiap elemen kemudian dihitung
jumlah gaya yang berasal dari tiap elemen segitiga di setiap titik simpul.
Resultan gaya tersebut sama dengan suatu fungsi perpindahan linear dari
seluruh titik simpul di sekelilingnya sesuai dengan persamaan :
{𝐹} = [𝐾]{𝑈} ..…(3.28)
Keterangan :
{𝐹} = Matriks kolom yang terdiri dari komponen gaya yang bekerja di setiap
titik simpul
[𝐾] = Matriks kekakuan global dari model
{𝑈} = Matriks perpindahan dari semua titik simpul

7. Pemasukan kondisi batas perpindahan


Kondisi batas ini dapat berupa :
i. Tegangan atau gaya pada batas dari model
ii. Perpindahan pada batas model

37
8. Pemecahan sistem persamaan
Perpindahan {𝑈} dapat dihitung dengan persamaan linear :
{𝑈} = [𝐾]𝑙 {𝐹} ..…(3.29)
Sistem numerik ini dapat dipecahkan dengan berbagai metode, salah satunya
dengan menggunakan eliminasi gauss.
Dengan diperolehnya {𝑈}, maka perpindahan di setiap titik elemen {𝑑} dapat
diketahui.
3.5.2. Algoritma Penggunaan Phase2
Algoritma penggunaan program Phase2 untuk merancang sistem penyangga suatu
lubang bukaan adalah sebagai berikut :
a. Membuat penampang lubang bukaan. Selain itu penampang dapat juga
diperoleh dari hasil sayatan peta dari Program Surpac dengan bantuan program
Autocad yang kemudian dikonversi ke program Phase2. Cara ini digunakan
apabila belum dilakukan pengukuran tegangan insitu, sehingga tegangan insitu
ditentukan berdasarkan beban gravitasi.
b. Membuat batas model untuk penampang bukaan tersebut.
c. Menginput besar tegangan insitu (tegangan horizontal dan vertikal). Untuk
kondisi tegangan insitu yang belum diketahui, dapat menggunakan pilihan
gravity.
d. Menginput Properties material, yang berisi sifat mekanik material dan
parameter-parameter kriteria keruntuhan.
e. Membuat model menjadi beberapa tahapan sesuai tahapan pemasangan jenis
penyangga dan kombinasinya.
f. Melakukan Discretize and Mesh, membagi massa batuan menjadi elemen-
elemen kecil. Elemen ini dapat berbentuk segi tiga atau segi empat.
g. Melakukan Compute, pada tahap ini program Phase2 akan memproses dan
menganalisis model yang telah dibuat.
h. Hasil perhitungan berupa tegangan, perpindahan ,dll yang terjadi pada model
dapat dilihat dengan meng-klik interprete.

38
3.6. Analisis Probabilitas
Data sifat massa batuan dan parameter untuk mengevaluasi kualitas batuan tersebar
secara umum dan acak, tidak ada cara untuk memprediksi dengan tepat berapa nilai
parameter ini pada lokasi tertentu. Cara terbaik untuk menggambarkan keacakan ini
adalah dengan menggunakan model matematika probabilitas. Penggunaan
probabilitas memberikan penyelesaian yang lebih baik tentang pola distribusi dan
juga ketidakpastian yang terkait dengan sifat massa batuan dan parameter tersebut.

3.6.1. Analisis Data Statistika


Istilah "statistik" mengacu pada fungsi matematika dari sekumpulan data yang
diukur, seperti nilai rata-rata, nilai terbesar , nilai terkecil dan lainnya. Himpunan
prinsip-prinsip operasional yang digunakan mungkin berbeda, ini bergantung pada
metodologi statistik yang. Namun, jenis fungsi statistik yang paling umum
digunakan dalam geologi teknik adalah rata-rata, median, modus, standar deviasi,
range dan kuartil dalam distribusi frekuensi (Hoek, 2007).
• rata-rata / mean
Mean adalah rata-rata aritmatika dari suatu set data dan merupakan pusat dari
probabilitas distribusi sepanjang sumbu x. Mean (𝑥̅ ) dari set data “n” (x = x1, x2 ....
xn) diberikan oleh:
1
𝑥̅ = ∑𝑛𝑖=1 𝑥𝑖 ….(3.30)
𝑛

• Median
Median merupakan nilai tengah dalam set data, dimana data telah diurutkan dari
yang terkecil sampai yang terbesar atau sebaliknya dari yang terbesar sampai yang
terkecil.

• Modus
Merupakan nilai yang paling sering muncul atau nilai yang mempunyai frekuensi
tertinggi. Namun nilai ini jarang digunakan dalam penyelesaian masalah geoteknik.

39
• Standar deviasi (s)
Standar deviasi merupakan salah satu teknik statistik yang dipakai untuk
menjelaskan homogenitas kelompok. Jika standar deviasi bernilai nol, maka
menandakan bahwa semua nilai dalam himpunan tersebut adalah sama. Sedangkan
nilai deviasi yang lebih besar menunjukkan bahwa titik data individu jauh dari nilai
rata-rata.

√∑𝑛
𝑖=1(𝑥𝑖 −𝑥̅ )
2
s= ….(3.31)
𝑛−𝑎

• Koefisien variasi (COV)


COV didefinisikan sebagai standar deviasi dibagi dengan rata-rata (𝑥̅ )). COV tidak
berdimensi dan sangat berguna untuk mengukur ketidakpastian. Nilai COV yang
kecil mewakili tingkat ketidakpastian yang kecil.
𝑆𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 𝑑𝑒𝑣𝑖𝑎𝑠𝑖
COV = ….(3.32)
𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎

3.6.2. Metode Distribusi Probabilitas


Ketidakpastian bersumber dari variabilitas alami, keacakan, dan kurangnya
pengetahuan. Cara terbaik untuk menganalisis ketidakpastian ini secara kuantitatif
adalah dengan menggunakan model distribusi probabilitas (frekuensi) yang
diekspresikan melalui fungsi kerapatan probabilitas/ probability density function
(PDF). Fungsi kerapatan probabilitas menggambarkan kemungkinan relatif bahwa
suatu variabel acak dapat mengambil nilai tertentu. Pemilihan model distribusi
dalam analisis ketidakpastian harus selalu didasarkan pada perhitungan numerik,
hasil pengukuran lapangan, eksperimental dan penilaian logis yang dibuat
berdasarkan observasi. Fungsi kerapatan probabilitas yang paling sering digunakan
dalam evaluasi kualitas massa batuan dan analisis stabilitas adalah:
• Metode Distribusi Normal
Distribusi normal atau Gaussian adalah jenis distribusi probabilitas yang paling
banyak diketahui (Hoek, 2007). Grafiknya dikenal dengan nama kurva normal atau

40
kurva gauss yang berbentuk seperti lonceng (Gambar 3.14 bagian b). Fungsi
kerapatan probabilitas (pdf) dari jenis distribusi ini adalah
̅
1 𝑥−𝑥
exp[− ( )²]
f(x) =
2 𝑠
….(3.34)
𝑠√2𝜋

Gambar 3.15.
Model Chart Metode distribusi Gamma (a), Normal (b) dan Lognormal (c)

• Metode distribusi lognormal


Distribusi lognormal dalam bentuk sederhana adalah fungsi densitas dari sebuah
peubah acak yang logaritmanya mengikuti hukum distribusi normal (Hoek, 2007).
Fungsi kerapatan probabilitas dari metode ini adalah :

1 (log 𝑥−𝑥̅ )²
f(x) = exp [− ] ….(3.35)
𝑠𝑥 √2𝜋 2𝑠 2

• Metode Gamma
Fungsi kerapatan probabilitas (PDF) dari variabel acak gamma sering digunakan
untuk memodelkan beban yang berkelanjutan, misalnya di Gedung.

41
Persamaan PDF dari gamma adalah
𝑎(𝑎𝑥)𝑏−1 𝑒 −𝑎𝑥
f(x) = ….(3.36)
Γ(b)

3.6.3. Metode Monte Carlo


Metode monte carlo merupakan metode yang menggunakan angka - angka acak
dari suatu metode distribusi untuk membangkitkan atau menghasilkan jumlah
sampel yang lebih banyak (Hoek, 2007). Metode ini telah diaplikasikan pada
berbagai permasalahan termasuk angka acak dari parameter - parameter geoteknik
untuk menghitung faktor keamanan. Perhitungan dengan metode ini pun saat ini
dapat dilakukan menggunakan program Microsoft Excel. Hoek ( 2007),
mengungkapkan bahwa oleh karena metode monte carlo membutuhkan jenis
distribusi dari variable yang telah diketahui atau diasumsikan. Apabila jenis
distribusi belum diketahui maka dapat diasumsikan bahwa jenis distribusinya
normal atau normal terpotong. Menurut Bukaci et al ( 2016), berbeda dengan
metode reliabilitas lainnya (FOSM, FORM, PEM), metode Monte carlo dapat
menghitung probabilitas keruntuhan secara langsung tanpa menggunakan indeks
reliabilitas, caranya dengan berdasarkan Faktor Distribusi Kumulatif (CDF).

3.7. Indikator Kestabilan Lubang Bukaan


1. Perpindahan (Displacement)
Perpindahan merupakan salah satu indikator untuk menentukan stabil tidaknya
suatu lubang bukaan (Cording, 1974). Dalam menganalisis perpindahan lubang
bukaan, terdapat kriteria yang mengindikasikan lubang bukaan tersebut aman atau
tidak. Ada beberapa kriteria perpindahan yang digunakan khususnya perpindahan
maksimum yaitu kriteria Cording.
Dalam menentukan perpindahan maksimum yang terjadi pada lubang bukaan,
dibutuhkan data kuat tekan massa batuan (σCm), modulus deformasi (Em), lebar span
dan poisson ratio (𝑣) dengan langkah – langkah sebagai berikut.
• Menghitung regangan vertikal (𝜀v) dan horizontal (𝜀ℎ).
Dalam menghitung regangan vertikal, besar tegangan vertikal insitu diasumsikan
sama dengan kuat tekan massa batuan. Dengan mengetahui nilai modulus

42
deformasi, maka regangan vertikal dapat diperoleh. Selanjutnya regangan
horizontal diperoleh dari perkalian antara regangan vertikal dan poisson ratio.
𝜎v
.𝜀v = 𝐸𝑚 ..…(3.40)
.𝜀ℎ = 𝜀v x 𝑣 ..…(3.41)
• Menghitung perpindahan vertikal (𝛿v) dan perpindahan horizontal (𝛿ℎ).
Perpindahan yang terjadi di sekitar lubang bukaan diperoleh dari perkalian antara
regangan vertikal/horizontal dan lebar span.
.𝛿 = 𝜀 𝑥 𝑙𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑠𝑝𝑎𝑛 ..…(3.42)
• Menentukan perpindahan vertikal dan horizontal maksimum.
Perpindahan vertikal dan horizontal maksimum diperoleh dari perkalian antara
perpindahan vertikal/horizontal dengan perkiraan 5 kali dari besar perpindahan
yang terjadi.
2. Faktor Keamanan (Safety Factor)
Selain perpindahan, indikator kestabilan lain yaitu faktor keamanan. Faktor
keamanan berdasarkan kriteria keruntuhan Mohr - Coulomb dapat dilihat pada
Gambar 3.15. Nilai faktor keamanan dihitung berdasarkan rumusan berikut :
𝜎 +𝜎
𝐴 𝑐.𝑐𝑜𝑠∅+{( 1 3 )}𝑠𝑖𝑛∅
2
𝐹𝐾 = = 𝜎1 −𝜎3 ..…(3.43)
𝐵 ( 2 )

Gambar 3.16. Definisi Faktor Keamanan


Keterangan :
c = Kohesi (MPa)
Φ = Sudut gesek dalam (0)

43
σ1 = Tegangan utama mayor (MPa)

σ3 = Tegangan utama minor (MPa)


Kriteria mengenai stabil atau tidaknya suatu lubang bukaan bawah tanah yang
dilihat dari faktor keamanan mengacu kepada KEPMEN No. 1827 ESDM
K/30/MEM/2018. Penetapan tersebut berdasarkan jenis fasilitas yang berkaitan
dengan lama penggunaanya.
Nilai faktor keamanan untuk jenis fasilitas yang bersifat fixed adalah paling kurang
dua (2) sedangkan yang bersifat nonfixed adalah paling kurang satu koma lima
(1,5).

44
BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1. Pengolahan Data Metode Empirik


Kondisi massa batuan di lokasi penelitian Cross cut 12 ACC dapat ditentukan
dengan melakukan klasifikasi massa batuan. Pada penelitian ini, sistem klasifikasi
yang digunakan yaitu klasifikasi RMR (Rock Mass Rating). Untuk menentukan
nilai RMR, dilakukan pengumpulan data dengan parameter – parameter antara lain:
kekuatan batuan utuh, orientasi kekar, kondisi bidang diskontinyu (kemenerusan,
pemisahan, kekasaran, material pengisi dan tingkat pelapukan), serta kondisi air
tanah.
4.1.1. Kuat Tekan Batuan
Nilai kuat tekan diperoleh dari uji laboratorium dengan prosedur pengujian kuat
tekan batuan mengikuti SNI 2825 : 2008. Sampel yang diuji berbentuk silinder
dengan ukuran diameter 5 cm dan tinggi 10 cm. Hasil pengujian kuat tekan
disajikan pada Tabel 4.1.

Gambar 4.1.
Alat Uji Kuat Tekan Batuan

45
Tabel 4.1. Hasil Uji Kuat Tekan Batuan
Kode Sampel Kuat Tekan Modulus Elastisitas Poisson’s
(MPa) (MPa) Ratio
A-01 53,45 11.322,22 0,23
A-02 55,48 11.622,22 0,22
A-03 56,19 10.175 0,24
Rata - rata 55,04 11.039 0,23
Standar Deviasi 1,42 763, 82 0.01

4.1.2. Rock Quality Designation (RQD)


Nilai RQD diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan dengan menggunakan roll
meter yang diukur setiap 100 cm. Oleh karena lebar lubang bukaan 5 m, maka
pengukuran dibagi menjadi 5 bagian.. Gambar 4.2 menunjukkan pengukuran RQD
sedangkan untuk pembagian dan penghitungannya dapat dilihat pada Gambar 4.3.
Untuk lokasi Cross cut 12 ACC, rata – rata nilai RQD yang diperoleh yaitu 65%.

Gambar 4.2
Pengukuran RQD Di Lokasi Penelitian

4.1.3. Spasi Bidang Diskontinyu


Dari hasil pengukuran dan perhitungan seperti yang dikemukakan sebelumnya,
maka diperoleh spasi bidang diskontinyu berkisar antara 60-200 mm. Hal ini

46
menunjukkan bahwa jarak antar bidang diskontinyu masih tergolong sedang dan
dengan bobot RMR yaitu 8.

1 2 3 4 5

11 14 20 12 10 67 %

12 17 18 13 12 72 %

14 13 16 18 61 %

11 15 19 18 63 %

14 12 17 21 64 %

Gambar 4.3. Penghitungan Rock Quality Designation (RQD)


(67 + 72 + 61 + 63 + 64)%
𝑅𝑄𝐷 = = 65 %
5

4.1.4. Kondisi Bidang Diskontinyu


Kondisi rekahan yang diamati meliputi : kemenerusan, pemisahan, kekasaran,
material pengisi dan pelapukan.

47
• Kemenerusan : pada bidang-bidang diskontinyu umunya berkisar 1 – 5 mm
• Pemisahan : pemisahan rata-rata dari bidang diskontinyu yaitu 0,1 – 1 mm
• Kekasaran : tingkat kekasaran bidang-bidang diskontinyu di setiap lokasi rata-
rata agak kasar
• Material pengisi : material pengisi umumnya berupa lempung dan chlorite
dengan ketebalan > 5mm.
• Pelapukan : batuan pada lokasi penelitian umumnya segar hanya ada beberapa
lokasi yang didominasi oleh batuan lempung dan chlorite.

4.1.5. Kondisi Air Tanah


Kondisi air tanah pada lubang bukaan Cross cut 12 ACC secara umum dalam
kondisi basah. Dalam jangka waktu lama bisa menyebabkan massa batuan menjadi
lapuk.

4.1.6. Pengaruh Arah Umum Kekar Terhadap Penggalian


Arah umum dari bidang diskontinyu perlu diketahui untuk memberikan informasi
mengenai pengaruhnya terhadap kestabilan lubang bukaan. Untuk mengetahui arah
umum, hasil pengukuran kekar dengan kompas geologi selanjutnya dikelompokkan
menjadi beberapa kelurga kekar. Dari beberapa keluarga kekar akan diambil arah
umum yang paling dominan dan nantinya akan dilakukan koreksi terhadap nilai
RMR. Berdasarkan pengukuran, arah umum bidang diskontinyu yang paling
dominan yaitu N 500 E/700. Sedangkan arah penggaliannya yaitu N 150 E/050
sehingga penggalian masih dapat dikategorikan sejajar dengan arah jurus dari
bidang diskontinyu. Selain itu, karena dip bidang diskontinyu berada dalam selang
450 – 900 maka tergolong kondisi sedang. Ini berarti bahwa hal tersebut tidak
menguntungkan bagi kestabilan lubang bukaan dan nilai RMR perlu dikurangi 12.

4.1.7. Pembobotan Klasifikasi Massa Batuan RMR


Bobot parameter-parameter klasifikasi sistem RMR yang telah ditentukan
kemudian dijumlahkan dan hasilnya ditunjukkan pada Tabel 4.2.

48
Tabel 4.2. Pembobotan Nilai RMR
Parameter Besaran/Kondisi Bobot
Uniaksial Compressive Strength (MPa) 50 – 100 7
RQD (%) 65 13
Spasi Bidang Diskontinyu 200 – 600 mm 8
Kemenerusan 1 – 3 m (4)
Pemisahan < 0,1 mm (5)
Kondisi Bidang
Kekasaran Tajam - agak kasar (3)
Diskontinyu
Material Pengisi Keras - > 5 mm (2) 19

Pelapukan Agak lapuk (5)


Air tanah Basah 7
Koreksi Penggalian Sejajar arah kemajuan,
-12
dip 450 - 900

Bobot Total Sedang 42

4.1.8. Rekomendasi Sistem Penyangga dari RMR


Sistem penyangga batuan dapat ditentukan dari hasil pembobotan nilai RMR.
Dengan nilai RMR sebesar 42 maka dapat direkomendasikan sistem penyangga
untuk lokasi Cross cut 12 ACC yaitu rockbolt, shotcrete dan wiremesh. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Sistem Penyangga Batuan
Tipe Penyangga
Metode
Rock Bolt Shotcrete Wiremesh

Diameter 20 mm, Ketebalan shotcrete 50-100 Perlu


Panjang 4 m, spasi mm di atap dan 100 mm di dipasang
RMR
1-1,5 dinding wiremesh

49
4.2. Pengolahan Data Pemodelan Numerik
4.2.1. Pemodelan Numerik
Pemodelan numerik dilakukan dengan program Phase2 yang berbasis metode
elemen hingga. Pemodelan ini dilakukan untuk mengetahui perilaku massa batuan
terhadap pemasangan sistem penyangga yang dapat dianalisis dari tegangan dan
perpindahan yang bekerja di sekitar lubang bukaan Cross cut 12 ACC.
Dalam pemodelan, untuk melakukan simulasi diperlukan parameter – parameter
yang terdiri dari :
1. Geometri pemodelan
2. Diskretisasi
3. Kondisi batas
4. Kondisi pembebanan
5. Karakteristik material
4.2.2. Geometri Pemodelan
Model yang dibuat berupa penampang melintang yang tegak lurus terhadap Cross
cut 12 ACC dari peta lokasi penambangan Blok Cikoneng (Gambar 4.4.). Topografi
permukaan juga dimasukkan ke dalam model sebagai faktor yang mempengaruhi
tegangan insitu di lokasi penelitian. Lokasi lubang bukaan Cross cut 12 ACC berada
pada kedalaman 171 m dari permukaan bumi. Pada pemodelan ini, lubang bukaan
dirancang dengan bentuk tapal kuda (horsehoe) yang memiliki lebar 5 m dan tinggi
5 m. Secara keseluruhan, model dapat dilihat pada Gambar 4.5.
Portal

Cross cut
12 Acc

Blok
Cikoneng

Gambar 4.4. Peta Lokasi Cross cut 12 Acc Blok Cikoneng

50
4.2.3. Diskretisasi
Kemudian model tersebut dibagi menjadi elemen-elemen kecil yang disebut
tahapan diskretisasi. Pada penelitian ini digunakan elemen yang berbentuk segitiga
dengan 3 titik nodal. Pada bagian yang dekat dengan lubang bukaan diskretisasinya
dirapatkan guna mendapatkan hasil yang lebih akurat. Gambar 4.6. memperlihatkan
kondisi model saat didiskretisasi.

4.2.4. Kondisi Batas


Kondisi batas yang digunakan dalam pemodelan ini yakni pada batas kiri dan batas
kanan model dilakukan pembatasan perpindahan arah x dan arah y = 0. Begitu pula
pada batas bawah model dilakukan pembatasan perpindahan arah x dan arah y = 0.
Sedangkan pada batas atas model tidak diberikan pembatasan perpindahan. Hal ini
bertujuan agar beban dari permukaan (gratvitasi) menjadi maksimal. Kondisi batas
pemodelan dapat dilihat pada Gambar 4.6.

Cross Cut
12 ACC

Gambar 4.5. Model Keseluruhan Cross cut 12 ACC

51
Gambar 4.6. Model Yang Didiskretisasi Beserta Kondisi Batas

4.2.5. Pembebanan dan Kondisi Tegangan


Pembebanan yang digunakan dalam pemodelan ini menggunakan tipe gravitasi
(gravity) yang berarti kondisi tegangan insitu akan bergantung pada kedalaman.
Nilai K yaitu perbandingan antara tegangan horizontal dan vertikal sebesar 1.2
(Hakim R.N., 2014).

4.2.6. Karakteristik Material


Karakteristik material yang digunakan dalam pemodelan numerik dinyatakan
dalam beberapa parameter yaitu nilai UCS, modulus elastisitas, poisson’s ratio dan
bobot isi (Tabel 4.4) . Parameter – parameter di atas kemudian di gunakan untuk
menentukan parameter - parameter Mohr - Coulomb dengan bantuan program
Roclab yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.5.

52
Tabel 4.4. Karakteristik Material Untuk Pemodelan Numerik
No Parameter Nilai
1 Bobot isi (MN/m3) 0,0254
2 Kuat tekan Uniaksial (MPa) 55
3 Modulus Young (GPa) 11
4 Poisson’s ratio 0,23

Tabel 4.5. Parameter Mohr - Coulomb Untuk Pemodelan Numerik


No Parameter Nilai
1 Kohesi (MPa) 0,215
2 Sudut Gesek Dalam (0) 44,52

4.2.7. Karakteristik Penyangga


Karakteristik dari beberapa jenis penyangga seperti split set, shotcrete, wire mesh
dan steel set yang akan digunakan pada pemodelan numerik dapat dilihat pada
Tabel 4.6. – 4.9.

4.2.8. Parameter Inputan Untuk Analisis Probabilistik


Pada pemodelan numerik akan dilakukan analisis probabilistic yang bertujuan
untuk menganalisis ketidakpastian parameter inputan terhadap kestabilan lubang
bukaan. Pada penelitian ini, parameter inputan yang digunakan pada analisis
probabilistik adalah modulus elastisitas dan Poisson’s ratio yang dapat dilihat pada
Tabel 4.1.

4.2.9. Jumlah Model Dalam pemodelan Numerik


Untuk menganalisis kestabilan lubang bukaan Cross cut 12 ACC dan rancangan
penyangga maka dilakukan simulasi dengan membuat beberapa model yang dibuat
berbeda kondisi lubang dan jenis penyangganya. Model ini dimulai dari kondisi
lubang bukaan sebelum digali, setelah digali dan kondisi lubang bukaan setelah
dipasang kombinasi penyangga. Pada penelitian ini dibuat enam (6) model dengan
variasi jenis penyangga yang akan disimulasikan yaitu :

53
Tabel 4.6. Karakteristik Split set
Material Type Steel High Strength
Length (m) 4 & 2,4
Diameter (mm) 46
Tensile capasity (kN) 120
Bolt modulus (MPa) 20000
Bond shear stifness (MN/m) 12000
Bond strength (MN/m) 0.2
Tributay area (mm2) 1661,1

Tabel 4.7. Karakteristik Shotcrete


Unit weight (MN/m3) 0,021
Thickness (m) 0,05 & 0,1
Young's Modulus (MPa) 7780
Poisson’s ratio 0,4
UCS (MPa) 35
Tensile Strength (MPa) 4,726

Tabel 4.8. Karakteristik Wire mesh


Young's Modulus Poisson’s Compressive Tensile Yield
(MPa) ratio Strength (MPa)
(MPa)
200000 0,25 460 510

Tabel 4.9. Karakteristik H – Beam


Steel Tensile Strength Young's Modulus Poisson’s
Type ratio
Kg/cm2 MPa Kg/cm2 MPa
Baja 37 3700 370 2.000.000 200.000 0,3
1. Model I yaitu lubang bukaan sebelum digali
2. Model II yaitu lubang bukaan tanpa penyangga
3. Model III yaitu lubang bukaan dengan penyangga split set dengan spasi 1,5 m,
shotcrete tebal 100 mm pada atap dan 100 mm pada dinding dan wire mesh.
4. Model IV yaitu lubang bukaan dengan penyangga split set dengan spasi 1 m
dan shotcrete tebal 100 mm pada atap dan 100 mm pada dinding dan wire mesh.
5. Model V yaitu lubang bukaan dengan penyangga split set dengan spasi 1,5 m
dan shotcrete tebal 100 mm, wire mesh dan H – Beam.

54
6. Model VI yaitu lubang bukaan dengan penyangga split set dan spasi 1,5 m dan
shotcrete tebal 50 mm, wire mesh dan H – Beam (Panjang split set 2,4 m yang
digunakan PT. CSD).

4.2.10. Kriteria Kestabilan Lubang Bukaan


Suatu lubang bukaan dikatakan stabil apabila telah memenuhi kriteria – kriteria
yang sudah ditetapkan. Kriteria yang ditetapkan pada penelitian ini yaitu dilihat dari
perpindahan dan faktor kekuatan yang terjadi pada lubang bukaan.
Adapun kriteria untuk Faktor Kekuatan yaitu sebagai berikut :
• Stabil apabila nilainya lebih besar dari 1 ( FK ≥ 1,5).
• Tidak stabil atau ambruk apabila nilainya lebih kecil dari 1,5 (FK ≤ 1,5).
Sedangkan untuk kriteria perpindahan diambil dari kriteria Cording yang dapat
dilihat pada Tabel 4.10.

Tabel 4.10. Perhitungan Perpindahan Maksimum


PARAMETER εv εh δv δh δv δh δ
(mm) (mm) max max tot
(mm) (mm) (mm)
σcm (MPa) 4,87
Em (MPa) 1.888
2,6 𝑥10−3 0,6𝑥10−3 13 3 65 15 66,7
ѵ 0,23
Span (m) 5
δv max = 5 x δv (Kriteria perpindahan menurut Cording, 1974)

4.3. Hasil Pemodelan Numerik


Pengamatan terhadap kondisi lubang bukaan dilakukan di seluruh permukaan
lubang bukaan. Jumlah titik pengamatan sebanyak 23 titik dengan 5 titik di dinding
kiri, 6 titik di dinding kanan, 8 titik di atap dan 4 titik di lantai. Jumlah titiknya
berbeda – beda dikarenakan penentuan titik ini secara otomatis ditentukan dari
program interprete phase2 (query boundary). Pada penelitian ini, parameter yang

55
diamati adalah perpindahan total (Utot) dan tegangan (σ1 dan σ3). Hasil simulasi
pemodelan secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran B.
4.3.1. Perpindahan
Pada Tabel 4.11, rata – rata perpindahan pada model I merupakan perpindahan yang
paling kecil yaitu sebesar 0,25 mm sebab kondisi massa batuan masih alami belum
dilakukan penggalian. Setelah dilakukan penggalian dan disangga, rata – rata
perpindahan paling kecil terjadi pada model VI yaitu sebesar 0,71, sedangkan untuk
rata – rata perpindahan yang paling besar yaitu pada model IV sebesar 0,86 mm.
Nilai rata – rata perpindahan pada model II tidak jauh berbeda dengan model III
dan IV.
Tabel 4.11. Perpindahan yang terjadi dari model I - Model VI
No Model Model Model Model Model Model
I II III IV V VI
(mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm)
1 0,28 0,54 0,91 0,91 0,84 0,83
2 0,27 0,6 1,13 1,14 1,09 1,07
3 0,26 0,7 1,20 1,22 1,15 1,13
4 0,25 0,78 1,30 1,33 1,21 1,19
5 0,25 0,8 1,29 1,31 1,17 1,15
… … … … … … …
… … … … … … …
19 0,27 0,8 0,48 0,44 0,33 0,34
20 0,28 0,81 0,85 0,82 0,75 0,75
21 0,28 0,86 0,93 0,90 0,85 0,85
22 0,28 0,74 0,75 0,72 0,65 0,65
23 0,28 0,46 0,66 0,65 0,57 0,57
Rata2 0,25 0,84 0,85 0,86 0,72 0,71

4.3.2. Faktor Keamanan


Dibawah ini akan dijabarkan nilai faktor keamanan dari masing masing model.
• Model I
Hasil pemodelan kondisi massa batuan sebelum dilakukan penggalian ditampilkan
pada Gambar 4.6. berupa tegangan utama mayor dan minor. Dari tegangan -
tegangan ini kemudian dihitung factor keamanan yang disajikan pada Tabel 4.12.
Pada Tabel ini, dapat diketahui bahwa nilai faktor keamanan minimum sebesar 8,04
dan nilai maksimum sebesar 9,15. Nilai rata – rata faktor keamanan dan standar

56
deviasi masing masing sebesar 8,32 dan 0,3. Nilai faktor keamanan tersebut besar
karena kondisi massa batuan belum mengalami gangguan penggalian.

a b

σ1 σ3
6
Tegangan
(MPa)

4
2
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Gambar 4.7. Tegangan Mayor Utama σ1 (a) Dan Tegangan Utama Minor σ3 (b)
pada model I
Tabel 4.12. Faktor Keamanan Lubang Bukaan Model I
No σ1 σ3 A B FK
(MPa) (MPa)
1 5,19 4,42 3,52 0,39 9,15
2 5,18 4,40 3,51 0,39 9,00
3 5,17 4,35 3,49 0,41 8,51
4 5,17 4,31 3,48 0,43 8,09
5 5,16 4,31 3,47 0,43 8,17
.. .. .. .. .. ..
.. .. .. .. .. ..
19 5,34 4,48 3,60 0,43 8,36
20 5,30 4,46 3,57 0,42 8,51
21 5,27 4,43 3,55 0,42 8,46
22 5,24 4,40 3,53 0,42 8,41
23 5,21 4,38 3,52 0,42 8,47
Rata - rata 8,32
Sandar Deviasi 0,30

• Model II
Hasil pemodelan kondisi massa batuan setelah dilakukan penggalian dan belum
disangga ditampilkan pada Gambar 4.7. Tabel 4.13 menunjukkan bahwa pada
kondisi ini nilai minimum faktor keamanan sebesar 0,85 dan nilai maksimumnya
sebesar 1,89. Rata – rata dan standar deviasi nilai faktor keamanan masing – masing

57
sebesar 1,13 dan 0,24. Nilai factor keamanan turun drastic disebabkan karena
terjadi peningkatan besar tegangan utama mayor dan penurunan tegangan utama
minor sebagai bentuk residtribusi tegangan akibat penggalian.

a b

20 σ1 σ3
Tegangan
(MPa)

10

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Gambar 4.8. Tegangan Mayor Utama σ1 (a) Dan Tegangan Utama Minor σ3 (b)
pada model II
Tabel 4.13. Faktor Keamanan Lubang Bukaan Model II
No σ1 σ3 A B FK
(MPa) (MPa)
1 11,84 0,93 4,63 5,46 0,85
2 9,36 0,92 3,76 4,22 0,89
3 8,31 1,33 3,53 3,49 1,01
4 7,96 1,26 3,39 3,35 1,01
5 8,3 1,49 3,59 3,41 1,05
.. .. .. .. .. ..
.. .. .. .. .. ..
19 8,37 0,85 3,39 3,76 0,90
20 6,08 1,36 2,76 2,36 1,17
21 5,81 1,35 2,66 2,23 1,19
22 7,04 2,18 3,39 2,43 1,39
23 9,46 2,71 4,42 3,38 1,31
Rata - rata 1,13
Sandar Deviasi 0,24

• Model III
Hasil pemodelan kondisi lubang bukaan ketika disangga dengan split set dengan
spasi 1,5 m, shotcrete tebal 100 mm pada atap dan 100 mm pada dinding dan wire
mesh ditampilkan pada Gambar 4.8. Tabel 4.14 menunjukkan bahwa pada kondisi

58
ini nilai minimum faktor keamanan sebesar 0,86 dan nilai maksimumnya sebesar
1,86. Selanjutnya nilai rata – rata dan standar deviasi faktor keamanan masing –
masing sebesar 1,21 dan 0,21.

a b

20.00
σ1 σ3
Tegangan
(MPa)

10.00

0.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Gambar 4.9. Tegangan Mayor Utama σ1 (a) Dan Tegangan Utama Minor σ3 (b)
Tabel 4.14. Faktor keamanan lubang bukaan Model III
No σ1 σ3 A B FK
(MPa) (MPa)
1 11,30 1,90 4,78 4,70 1,02
2 7,17 1,43 3,17 2,87 1,10
3 5,93 1,03 2,59 2,45 1,06
4 5,38 0,90 2,35 2,24 1,05
5 6,30 1,77 2,98 2,27 1,32
.. .. .. .. .. ..
.. .. .. .. .. ..
19 7,31 3,18 3,83 2,07 1,86
20 7,71 1,91 3,53 2,90 1,22
21 7,41 1,23 3,18 3,09 1,03
22 10,40 2,13 4,55 4,14 1,10
23 11,00 3,37 5,19 3,82 1,36
Rata - rata 1,21
Sandar Deviasi 0,21

• Model IV
Hasil pemodelan kondisi lubang bukaan saat disangga dengan split set dengan spasi
1 m dan shotcrete tebal 100 mm pada atap dan 100 mm pada dinding dan wire mesh
ditampilkan pada Gambar 4.9. Dari Tabel 4.15. dapat diketahui bahwa pada kondisi
ini nilai minimum faktor keamanan sebesar 0,96 dan nilai maksimumnya sebesar

59
1,86. Selanjutnya nilai rata – rata faktor keamanan dan standar deviasi masing –
masing sebesar 1,28 dan 0,23.

a b

σ1 σ3
20.00
Tegangan
(MPa)

10.00

0.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Gambar 4.10. Tegangan Mayor Utama σ1 (a) Dan Tegangan Utama Minor σ3 (b)
pada model IV

Tabel 4.15. Faktor keamanan lubang bukaan Model I V


No σ1 σ3 A B FK
(MPa) (MPa)
1 11,40 1,60 4,71 4,90 0,96
2 7,29 1,41 3,20 2,94 1,09
3 6,01 1,03 2,62 2,49 1,05
4 5,44 1,70 2,66 1,87 1,42
5 5,55 1,76 2,72 1,90 1,43
.. .. .. … ... ..
.. .. .. … ... ..
19 7,34 3,20 3,85 2,07 1,86
20 7,71 1,62 3,42 3,05 1,12
21 7,41 1,24 3,19 3,09 1,03
22 10,50 2,14 4,58 4,18 1,10
23 11,10 3,41 5,24 3,85 1,36
Rata - rata 1,28
Sandar Deviasi 0,21

• Model V
Hasil pemodelan kondisi lubang bukaan saat disangga dengan split set dengan spasi
1,5 m dan shotcrete tebal 100 mm, wire mesh dan H – Beam ditampilkan pada
Gambar 4.10. Tabel 4.16 menunjukkan bahwa pada kondisi ini, nilai minimum
faktor keamanan sebesar 1,35 dan nilai maksimumnya sebesar 2,18. Selanjutnya

60
nilai rata – rata faktor keamanan dan standar deviasi masing – masing sebesar 1,60
dan 0,26.

a b

20.00 σ1 σ3
Tegangan
(MPa)

10.00

0.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Gambar 4.11. Tegangan Mayor Utama σ1 (a) Dan Tegangan Utama Minor σ3 (b)
Tabel 4.16. Faktor keamanan lubang bukaan Model V
No σ1 σ3 A B FK
(MPa) (MPa)
1 10,43 3,81 5,15 3,31 1,55
2 9,16 1,75 3,98 3,71 1,07
3 6,05 1,91 2,94 2,07 1,42
4 5,03 1,66 2,50 1,69 1,48
5 4,85 1,36 2,33 1,75 1,34
.. .. .. .. .. ..
.. .. .. .. .. ..
19 6,52 2,91 3,46 1,81 1,92
20 6,85 3,05 3,62 1,90 1,91
21 7,58 2,70 3,76 2,44 1,54
22 7,18 2,32 3,48 2,43 1,43
23 10,50 3,73 5,14 3,39 1,52
Rata - rata 1,60
Standar Deviasi 0,26

• Model VI
Hasil pemodelan kondisi lubang bukaan saat disangga dengan split set dan spasi 1,5
m dan shotcrete tebal 50 mm, wire mesh dan H – Beam yangdapat dilihat pada
Gambar 4.11. Tabel 4.17. menunjukkan bahwa pada kondisi ini, nilai minimum
faktor keamanan sebesar 1,21 dan nilai maksimumnya sebesar 2,51. Selanjutnya

61
nilai rata – rata faktor keamanan dan standar deviasi masing – masing sebesar 1,55
dan 0,16.

a b

20.00
σ1 σ3
Tegangan
(MPa)

10.00

0.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23

Gambar 4.12. Tegangan Mayor Utama σ1 (a) Dan Tegangan Utama Minor σ3 (b)
Tabel 4.17. Faktor keamanan lubang bukaan Model VI
No σ1 σ3 A B FK
(MPa) (MPa)
1 9,15 3,29 4,51 2,93 1,54
2 6,06 1,41 2,77 2,33 1,19
3 6,04 1,99 2,97 2,03 1,47
4 4,85 1,67 2,44 1,59 1,53
5 5,06 1,59 2,48 1,74 1,43
… .. .. .. .. ..
.. .. .. .. .. ..
19 6,82 2,96 3,58 1,93 1,86
20 7,56 2,72 3,76 2,42 1,55
21 7,16 2,33 3,48 2,42 1,44
22 10,51 3,33 5,01 3,59 1,39
23 10,40 3,41 4,99 3,50 1,43
Rata - rata 1,55
Standar Deviasi 0,16

4.4. Hasil Analisis Probabilitas


Dari penjabaran hasil pemodelan numerik sebelumnya, diketahui bahwa nilai
perpindahan di semua model lebih kecil dari kriteria Cording (< 66,7 mm) yang
berarti bahwa lubang bukaan dalam kondisi aman sehingga tidak perlu dilakukan
analisis probabilitas. Namun, nilai faktor keamanan yang diperoleh dari hasil
pemodelan numerik memiliki nilai yang bervariasi antara tidak stabil (< 1,5) dan

62
stabil (> 1,5). Hal ini menunjukkan ketidakpastian dan untuk itu selanjutnya
dianalisa dengan metode probabilitas dengan data inputan yaitu rata – rata dan
standar deviasi dari nilai faktor keamanan tersebut. Metode Monte carlo digunakan
dalam analisa probabilitas ini. Nilai faktor keamanan diasumsikan berdistribusi
normal. Angka – angka acak yang akan dihasilkan dari metode Monte carlo pada
penelitian ini yaitu sebanyak 500 angka dengan bantuan program Excel. Angka -
angka acak nilai faktor keamanan dari tiap model disimulasikan agar nilai memiliki
nilai rata – rata dan standar deviasi yang mirip atau mendekati nilai rata – rata dan
standar deviasi hasil pemodelan numerik. Untuk lebih lengkap dapat dilihat pada
Lampiran C. Selanjutnya dari angka – angka tersebut dihitung nilai rata – rata dan
standar deviasi untuk menghitung probabilitas keruntuhan dalam fungsi kerapatan
probabilitas (PDF). Untuk detailnya, fungsi kerapatan probabilitas dapat dilihat
pada Lampiran D.
• Model I
Dari hasil simulasi yang disajikan pada Tabel 4.18, diketahui bahwa rata – rata nilai
faktor keamanannya sebesar 8,32 dan standar deviasinya sebesar 0,28. Dari nilai
rata – rata dan standar deviasi ini selanjutnya akan digunakan untuk menentukan
probabilitas keruntuhannya dalam bentuk fungsi kerapatan probabilitas (PDF) yang
dapat dilihat pada Tabel 4.19.
Tabel 4.18. Hasil Simulasi Nilai Faktor Keamanan Pada Model I
No FK
1 8,82
2 8,38
3 7,59
4 8,78
5 8,60
.. ..
.. ..
496 7,73
497 8,40
498 8,57
499 8,24
500 7,70
Rata2 8,32
St.Dev 0,28

63
Tabel 4.19. Fungsi Kerapatan Probabilitas Nilai FK Pada Model I
No FK PDF
1 7,2 0,0001
2 7,25 0,0002
3 7,3 0,0004
4 7,35 0,0005
5 7,4 0,0007
.. .. ..
.. .. ..
63 9,1 0,002
64 9,15 0,001
65 9,2 0,0008
66 9,25 0,0006
67 9,3 0,0004

• Model II
Dari hasil simulasi yang disajikan pada Tabel 4.20, diketahui bahwa rata – rata nilai
faktor keamanannya sebesar 0,14 dan standar deviasinya sebesar 0,24. Dari nilai
rata – rata dan standar deviasi ini selanjutnya akan digunakan untuk menentukan
probabilitas keruntuhannya dalam bentuk fungsi kerapatan probabilitas (PDF) yang
dapat dilihat pada Tabel 4.21.
Tabel 4.20. Hasil Simulasi Nilai Faktor Keamanan Pada Model II
No FK
1 1,015646
2 1,300262
3 1,00868
4 1,258988
5 0,599794
.. ..
.. ..
496 0,98335
497 0,822272
498 0,969303
499 0,893947
500 1,002255
Rt2 1,14
St.Dv 0,24

64
Tabel 4.21. Fungsi Kerapatan Probabilitas Nilai FK Pada Model II
No FK PDF
1 0,2 0,0001
2 0,25 0,000125
3 0,3 0,000259
4 0,35 0,000516
5 0,4 0,000985
.. .. ..
.. .. ..
33 1,8 0,001327
34 1,85 0,000711
35 1,9 0,000364
36 1,95 0,000179
37 2 8,41E-05

• Model III
Dari hasil simulasi yang disajikan pada Tabel 4.22, diketahui bahwa rata – rata
nilai faktor keamanannya sebesar 1,21 dan standar deviasinya sebesar 0,2. Dari
nilai rata – rata dan standar deviasi ini selanjutnya akan digunakan untuk
menentukan probabilitas keruntuhannya dalam bentuk fungsi kerapatan
probabilitas (PDF) yang dapat dilihat pada Tabel 4.23.

Tabel 4.22. Hasil Simulasi Nilai Faktor Keamanan Pada Model III
No FK
1 1,542383
2 1,433285
3 0,909761
4 1,236821
5 1,224143
.. ..
.. ..
496 1,051589
497 1,171125
498 1,323354
499 0,989662
500 1,331
Rt2 1,21
St.Dv 0,2

65
Tabel 4.23. Fungsi Kerapatan Probabilitas Nilai FK Pada Model III
No FK PDF
1 0 5,78E-07
2 0,05 1,65E-06
3 0,1 4,46E-06
4 0,15 1,15E-05
5 0,2 2,84E-05
.. .. ..
.. .. ..
37 1,8 0,000969
38 1,85 0,000495
39 1,9 0,000242
40 1,95 0,000112
41 2 5E-05

• Model IV
Dari hasil simulasi yang disajikan pada Tabel 4.24, diketahui bahwa rata – rata nilai
faktor keamanannya sebesar 1,28 dan standar deviasinya sebesar 0,20. Dari nilai
rata – rata dan standar deviasi ini selanjutnya akan digunakan untuk menentukan
probabilitas keruntuhannya dalam bentuk fungsi kerapatan probabilitas (PDF) yang
dapat dilihat pada Tabel 4.25.
Tabel 4.24. Hasil Simulasi Nilai Faktor Keamanan Pada Model IV
No FK
1 1,015646
2 1,300262
3 1,00868
4 1,258988
5 0,599794
.. ..
.. ..
496 0,98335
497 0,822272
498 0,969303
499 0,893947
500 1,002255
Rt2 1,28
St.Dv 0,20

66
Tabel 4.25. Fungsi Kerapatan Probabilitas Nilai FK Pada Model IV
No FK PDF
1 0,4 0,00
2 0,45 0,00005
3 0,5 0,00013
4 0,55 0,000298
5 0,6 0,000652
.. .. ..
.. .. ..
30 1,85 0,001838
31 1,9 0,000914
32 1,95 0,000429
33 2 0,00019
34 2,05 7,97E-05

• Model V
Dari hasil simulasi yang disajikan pada Tabel 4.26, diketahui bahwa rata – rata nilai
faktor keamanannya sebesar 1,60 dan standar deviasinya sebesar 0,26. Dari nilai
rata – rata dan standar deviasi ini selanjutnya akan digunakan untuk menentukan
probabilitas keruntuhannya dalam bentuk fungsi kerapatan probabilitas (PDF) yang
dapat dilihat pada Tabel 4.27.
Tabel 4.26. Hasil Simulasi Nilai Faktor Keamanan Pada Model V
No FK
1 1,618969
2 1,315167
3 1,697679
4 1,580466
5 1,72022
.. ..
.. ..
496 1,539145
497 2,292404
498 1,435323
499 1,802033
500 1,298434
Rt2 1,60
St.Dv 0,26

67
Tabel 4.27. Fungsi Kerapatan Probabilitas Nilai FK Pada Model V
No FK PDF
1 0,65 0,00
2 0,7 0,00026
3 0,75 0,00048
4 0,8 0,000875
5 0,85 0,00153
.. .. ..
.. .. ..
32 2,2 0,00424
33 2,25 0,002616
34 2,3 0,001555
35 2,35 0,000891
36 2,4 0,000491

• Model VI
Dari hasil simulasi yang disajikan pada Tabel 4.28, diketahui bahwa rata – rata nilai
faktor keamanannya sebesar 1,54 dan standar deviasinya sebesar 0,16. Dari nilai
rata – rata dan standar deviasi ini selanjutnya akan digunakan untuk menentukan
probabilitas keruntuhannya dalam bentuk fungsi kerapatan probabilitas (PDF) yang
dapat dilihat pada Tabel 4.29.
Tabel 4.28. Hasil Simulasi Nilai Faktor Keamanan Pada Model VI
No FK
1 1,490878
2 1,474635
3 1,390204
4 1,463312
5 1,476321
.. ..
.. ..
496 1,62576
497 1,43674
498 1,7268
499 1,56591
500 1,567988
Rt2 1,54
St.Dv 0,16

68
Tabel 4.29. Fungsi Kerapatan Probabilitas Nilai FK Pada Model VI
No FK PDF
1 1 0,00
2 1,05 0,0014
3 1,1 0,0035
4 1,15 0,0079
5 1,2 0,0159
.. .. ..
.. .. ..
18 1,85 0,0135
19 1,9 0,0065
20 1,95 0,0028
21 2 0,0011
22 2,05 0,0004
Dari hasil simulasi ke enam model di atas dapat diketahui bahwa tiap model
memiliki kerapatan yang berbeda – beda. Hal ini dipengaruhi nilai standar deviasi
yang berbeda-beda. Semakin besar nilai standar deviasi maka rentang fungsi
kerapatan probabilitasnya semakin besar, sebaliknya semakin kecil nilai
probabilitas semakin kecil rentang fungsi kerapatan probabilitas.

69
BAB V
PEMBAHASAN

Pembahasan terbagi menjadi dua bagian yaitu :

1. Kondisi Massa Batuan dan Rancangan Sistem Penyangga Berdasarkan Metode


Empirik.
2. Rancangan Sistem Penyangga Berdasarkan Metode Numerik dan Metode
Probabilitas.

5.1. Kondisi Massa Batuan dan Rancangan Sistem Penyangga Berdasarkan


Metode Empirik
Massa batuan di lokasi penelitian yaitu andesit breksi dengan jenis kekar
moderately jointed rock. Hal ini dikarenakan kondisi massa batuan di Cross cut 12
ACC memiliki banyak kekar tapi saling terikat (interlocked) satu sama lain. Selain
itu, apa bila ditinjau dari posisinya terhadap permukaan bumi, Cross cut 12 ACC
berada pada kedalaman 171 m dari permukaan bumi. Menurut Leach, etc (2001),
untuk penambangan emas, lubang bukaan dengan jarak tersebut tergolong dalam
low stress (< 1200 m). Lebih lanjut menurut Hoek et al (1995), lubang bukaan
dengan kondisi massa batuan yang tergolong moderately jointed rock dan kondisi
tegangan insitu yang tergolong low stress, dapat diperkuat dengan menggunakan
rockbolt jenis Split set.

Berdasarkan hasil klasifikasi massa batuan diperoleh bahwa massa batuan di Cross
cut 12 ACC memiliki nilai RMR sebesar 42 yang tergolong batuan dengan kualitas
sedang (fair rock). Dari panduan yang diberikan oleh Bieniawski (1989) pada Tabel
3.2., maka dapat diperoleh sistem penyangga untuk kondisi massa batuan dengan
kualitas sedang ( RMR 41 – 60) yaitu rockbolt dengan panjang 4 m, spasi 1,5 m

70
dan shotcrete dengan tebal 50 – 100 mm untuk atap dan 100 mm untuk dinding
serta perlu dipasang wiremesh.
5.2. Rancangan Sistem Penyangga Berdasarkan Metode Numerik
Kondisi massa batuan dan rancangan sistem penyangga berdasarkan metode ini
akan dapat dijelaskan lebih lanjut dalam pemodelan numerik menggunakan
program Phase2. Pada program ini, kondisi massa batuan dijelaskan secara
kuantitatif dalam total perpindahan dan faktor keamanan (safety faktor) baik
sebelum maupun setelah penggalian lubang bukaan.
5.2.1. Jumlah Model Yang Dianalisis
Berikut akan dibahas hasil pengamatan efektivitas penyangga terhadap kestabilan
lubang bukaan Cross cut 12 ACC yang akan dinilai dari dua parameter yaitu
perpindahan total dan faktor keamanan (safety faktor). Untuk memverifikasi ke-
efektifan sistem penyangga yang sesuai dengan klasifikasi RMR, maka dibuat
pemodelan yang terdiri dari 6 model yaitu :
• Model I yaitu kondisi sebelum dilakukan penggalian
• Model II yaitu kondisi lubang bukaan setelah dilakukan penggalian dan
tanpa penyangga
• Model III yaitu kondisi lubang bukaan setelah disangga dengan Split set
dengan panjang 4 m, spasi 1,5 m dan shotcrete dengan tebal 100 mm untuk
atap dan dinding dan wire mesh.
• Model IV yaitu kondisi lubang bukaan setelah disangga dengan Split set
dengan panjang 4 m, spasi 1 m dan shotcrete dengan tebal 100 mm untuk
atap dan dinding dan wire mesh.
• Model V yaitu kondisi lubang bukaan dengan penyangga split set (panjang
4 m dan spasi 1,5 m) , shotcrete tebal 100 mm, wire mesh dan H – Beam.
• Model VI yaitu lubang bukaan dengan penyangga split set (panjang 2,4 m
dan spasi 1,5 m), shotcrete tebal 50 mm, wire mesh dan H – Beam (Panjang
split set dan tebal shotcrete yang digunakan oleh PT. CSD).
5.2.2. Analisis Perpindahan
Rata – rata perpindahan yang terjadi pada semua model ditampilkan dalam bentuk
grafik pada Gambar 5.1. pada grafik tersebut, diketahui bahwa rata – rata

71
perpindahan paling kecil tarjadi pada kondisi lubang bukaan belum digali (model
I) yaitu sebesar 0,25 mm. Hal ini dikarenakan massa batuan masih alami atau belum
mengalami gangguan. Rata – rata perpindahan menjadi meningkat ketika dilakukan
penggalian dengan tanpa penyangga (model II) yaitu sebesar 0,84 mm. Hal ini
diakrenakan massa batuan sudah mengalami gangguan dan terjadi redistribusi
tegangan yang membuat perpindhan semakin besar di dekat permukaan lubang
bukaan. Perpindahan yang terjadi pada lubang bukaan dengan penyangga berupa
split set dengan spasi 1,5 m, shotcrete tebal 100 mm pada atap dan 100 mm pada
dinding dan wire mesh (model III) tidak jauh berbeda dengan model II yaitu sebesar
0,85 mm. Begitu juga dengan rata – rata perpindahan pada lubang bukaan dengan
penyangga berupa split set dengan spasi 1 m, shotcrete tebal 100 mm pada atap
dan 100 mm pada dinding dan wire mesh (model IV) yaitu sebesar 0,86 mm.

1
0.9
0.8
0.7
Perpindahan

0.6
(mm)

0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
1 2 3 4 5 6
Model

Gambar 5.1. Rata – Rata Perpindahan Yang Terjadi Pada Lubang Bukaan Untuk
Semua Model
Rata – rata perpindahan yang terjadi pada lubang bukaan dengan penyangga berupa
split set dengan spasi 1,5 m, shotcrete tebal 100 mm pada atap dan 100 mm pada
dinding, wire mesh dan H-Beam (model V) lebih rendah dari model IV tapi tidak
signifikan yaitu sebesar 0,72 mm. Pada lubang bukaan dengan penyangga berupa
split set (Panjang 4 m dan spasi 1,5 m), shotcrete tebal 50 mm pada atap dan 50

72
mm pada dinding, wire mesh dan H-Beam (model VI) , rata – rata perpindahan
mengalami peningkatan tetapi tidak jauh berbeda dengan model V yaitu sebesar
0,71 mm. Berdasarkan kriteria Cording (1974), rata – rata perpindahan yang terjadi
di semua model (Model I – model VI) menunjukkan bahwa kondisi lubang bukaan
dalam keadaan aman atau stabil. Hal ini dikarenakan nilai rata -ratanya lebih kecil
dari 66,7 mm.
5.2.3. Analisis Probabilitas Keruntuhan Dari Nilai Faktor Keamanan
Dari grafik yang ditampilkan pada Gambar 5.2. diketahui bahwa nilai faktor
kemananan pada lubang bukaan yang belum dilakukan penggalian (model I) yaitu
lebih besar dari 1,5. Rata – rata nilai faktor keamanan yaitu 8,33. Lubang bukaan
pada kondisi ini dalam keadaan sangat aman karena belum ada gangguan akibat
penggalian.
0.07

0.06

0.05

0.04
PDF

0.03

0.02

0.01

0
7

9
7.1
7.2
7.3
7.4
7.5
7.6
7.7
7.8
7.9

8.1
8.2
8.3
8.4
8.5
8.6
8.7
8.8
8.9

9.1
9.2
9.3

FK

Gambar 5.2. Probabilitas Keruntuhan Pada Model I


Selanjutnya dari grafik yang ditampilkan pada Gambar 5.3. diketahui bahwa rata –
rata nilai faktor kemananan pada lubang bukaan setelah dilakukan penggalian
dengan tanpa penyangga (model II) lebih kecil dari 1,5 yaitu sebesar 1,13.
Probabilitas keruntuhan pada kondisi ini sebesar 93,58 %. Lubang bukaan pada
kondisi ini dalam keadaan sangat tidak aman karena dalam kondisi belum dilakukan
penyanggaan sehingga potensi runtuhnya sangat besar.
Kemudian dari grafik yang ditampilkan pada Gambar 5.4. diketahui bahwa rata –
rata nilai faktor kemananan pada lubang bukaan setelah dilakukan penggalian
dengan penyangga berupa split set (panjang 4 m dan spasi 1,5 m), shotcrete tebal

73
100 mm pada atap dan 100 mm pada dinding dan wire mesh (model III) masih lebih
kecil dari 1,5 yaitu 1,21.
0.09 50 % 93,58%
0.08 %%
0.07
0.06
0.05
PDF

0.04
0.03
0.02
0.01
-

Faktor Keamanan

Gambar 5.3. Probabilitas Keruntuhan Pada Model II


Sekalipun lebih kecil dari 1,5 tapi nilai tersebut menandakan terjadi peningkatan
dibandingkan nilai faktor keamanan dari model sebelumnya. Probabilitas
keruntuhan pada kondisi ini sebesar 91,83 %. Lubang bukaan pada model ini dalam
keadaan tidak aman yang berarti bahwa sistem penyangga pada model III tidak tepat
untuk digunakan pada Cross Cut 12 ACC.
0.12
50 % 91,83 %
0.10

0.08
PDF

0.06

0.04

0.02

-
0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2
Faktor Keamanan

Gambar 5.4. Probabilitas Keruntuhan Pada Model III

74
Selanjutnya dari grafik yang ditampilkan pada Gambar 5.5., diketahui bahwa rata –
rata nilai faktor kemananan pada lubang bukaan setelah dilakukan penggalian
dengan penyangga berupa split set (panjang 4 m dan spasi 1 m), shotcrete tebal
100 mm pada atap dan 100 mm pada dinding dan wire mesh (model IV) masih juga
lebih kecil dari 1,5 yaitu 1,28.
0.10 50 % 84,66 %
0.09
0.08
0.07
0.06
PDF

0.05
0.04
0.03
0.02
0.01
-
0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2
Faktor Keamanan

Gambar 5.5. Probabilitas Keruntuhan Pada Model IV


Nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan nilai rata – rata faktor kemananan pada
model III. Probabilitas keruntuhan pada kondisi ini sedikit lebih kecil dari model
sebelumnya yaitu sebesar 84,66 %. Hal ini berarti semakin rapat split set maka
semakin mengurangi probabilitas keruntuhan. Lubang bukaan pada model ini
dalam keadaan tidak aman yang berarti bahwa sistem penyangga pada model IV
tidak tepat untuk digunakan pada Cross Cut 12 ACC.
Selanjutnya dari grafik yang ditampilkan pada Gambar 5.6. diketahui bahwa rata –
rata nilai faktor kemananan pada lubang bukaan setelah dilakukan penggalian
dengan penyangga berupa split set dengan spasi 1,5 m, shotcrete tebal 100 mm
pada atap dan 100 mm pada dinding, wire mesh dan H-Beam (model V) lebih besar
dari 1,5 yaitu 1,60.
Probabilitas keruntuhan pada kondisi ini berkurang secara signifikan menjadi
sebesar 34,85 %. Lubang bukaan pada model ini dalam keadaan aman yang berarti

75
bahwa sistem penyangga pada model V tepat untuk digunakan pada Cross Cut 12
ACC.
0.09
34,85 % 50 %
0.08
0.07
0.06
0.05
PDF

0.04
0.03
0.02
0.01
-

Faktor Keamanan

Gambar 5.6. Probabilitas Keruntuhan Pada Model V


Selanjutnya dari grafik yang ditampilkan pada Gambar 5.7. diketahui bahwa rata –
rata nilai faktor kemananan pada lubang bukaan setelah dilakukan penggalian
dengan penyangga berupa split set (panjang 2,4 m dan spasi 1,5 m), shotcrete
dengan tebal 50 mm pada atap dan 50 mm pada dinding, wire mesh dan H-Beam
(model VI) sedikit lebih besar dari 1,5 yaitu 1,54.
0.14
38,94 % 50 %
0.12

0.10

0.08
PDF

0.06

0.04

0.02

0.00

Faktor Keamanan

Gambar 5.7. Probabilitas Keruntuhan Pada Model VI

76
Probabilitas keruntuhan pada kondisi ini yaitu sebesar 38,94 %. Lubang bukaan
pada model ini dalam keadaan aman yang berarti bahwa sistem penyangga pada
model V tepat untuk digunakan pada Cross Cut 12 ACC.
Berdasarkan probabilitas keruntuhan dari nilai factor keamanan dari model I sampai
model VI di atas, nilai probabilitas keruntuhan < 50 % terjadi pada model V dan
VI. Selanjutnya Dengan mempertimbangkan probabilitas keruntuhan yang tidak
jauh berbeda dan panjang split set yang sesuai dengan kondisi geometri bukaan,
maka sistem penyangga yang tepat untuk diterapkan pada Cross cut 12 ACC yaitu
split set dengan panjang 2,4 m, shotcrete dengan tebal 100 mm, wire mesh dan H-
Beam (model VI).

77

Anda mungkin juga menyukai