DASAR TEORI
RMR = A1 + A2 + A3 + A4 + A5 + B ....(3.1)
14
1. Kuat tekan uniaksial batuan utuh
Tujuan uji tekan adalah untuk mengukur kuat tekan uniaksial sebuah contoh batuan
dalam geometri yang beraturan, baik berbentuk silinder, balok atau prisma dalam
satu arah (uniaksial). Hasil uji ini menghasilkan beberapa informasi yaitu kurva
tegangan regangan (Gambar 3.1), kuat tekan uniaksial (UCS), modulus young dan
poisson’s ratio.
15
minimum 10 cm dan jumlah potongan inti terebut biasanya diukur pada inti bor
sepanjang 2 m. perhitungannya sebagai berikut :
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑜𝑟 𝑖𝑛𝑡𝑖≥10 𝑐𝑚
𝑅𝑄𝐷 = 𝑥 100 % ....(3.3)
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑏𝑜𝑟 (𝑐𝑚)
Apabila bor inti tidak tersedia, maka secara tidak langsung nilai RQD dapat
dihitung dengan mengukur jarak dan orientasi bidang diskontinyu yang nampak
pada singkapan batuan. Hutchinson & Diedrichs (1996), menerapkan cara
penghitungan yang sama seperti persamaan di atas dengan tongkat ukur yang
panjangnya 200 cm (Gambar 3.2.). jarak antar kekar yang tidak mencapai 10 cm,
dianggap nol.
Gambar 3.2. Cara Mengukur dan Menghitung RQD Secara Tidak Langsung
(Hutchinson & Diederichs, 1996)
3. Spasi Bidang Diskontinyu
Diskontinyuitas adalah bentuk – bentuk ketidakmenerusan massa batuan seperti
kekar, perlapisan atau foliasi. Spasi bidang diskontinyu adalah jarak tegak lurus
antara 2 kekar dalam satu set kekar (lihat Gambar 3.3). Dengan demikian arah dan
kemiringannya hampir sama. Beberapa massa batuan dapat memiliki spasi kekar
dari yang sangat rapat hingga sangat jarang.
16
Gambar 3.3. Definisi Spasi Bidang Diskontinyu
4. Kondisi Bidang Diskontinyu
a. Kemenerusan
Kemenerusan atau persistensi yaitu panjang rekahan dari suatu set kekar pada
massa batuan. Kemenerusan ditentukan dengan mengamati dan mengukur panjang
kekar massa batuan. Kemenerusan kekar memiliki peluang yang lebih besar dalam
membentuk ukuran blok pada massa batuan (Hutchinson and Diederichs, 1996)
b. Kekasaran
Deskripsi kekasaran merujuk pada rujukan yang diberikan oleh ISRM (1981)
seperti pada Gambar 3.4. Pada deskripsi tersebut, kekasaran dibagi menjadi 3
bagian yaitu tajam (rough), bergelombang (undulating) dan datar (planar). Kondisi
relative atau deskripsi skala kekasaran permukaan bidang kekar dinyatakan sebagai
berikut :
• Sangat kasar (very rough), jika jenjang – jenjang yang terjadi dipermukaan
bidang kekar hamper vertical
• Kasar (rough), jika kekerasan dapat dilihat dengan jelas dan apabila diraba
masih terasa agak abrasive
• Kekasaran rendah (slightly rough), jika kekasaran di permukaan bidang kekar
baru dapat diketahui dengan jelas jika diraba dengan tangan
• Halus (smooth), jika permukaan rekahan menjadi halus dan terasa halus ketika
disentuh
17
• Licin (slickenside), jika permukaan rekahan menjadi licin terlihat seperti poles
atau bergelombang halus.
18
Gambar 3.5. Kondisi Bukaan Kekar (ISRM, 1981)
d. Material pengisi
Material pengisi yaitu isian celah antarpermukaan bidang kekar yang umunya
terdiri atas pasir, kalsit, lempung, lanau, breksi, kuarsa dan pyrite. Material pengisi
ini akan mempengaruhi kuat geser bidang kekar.
e. Pelapukan
Pelapukan dinding batuan atau pada permukaan diskontinuitas yang terbentuk pada
batuan oleh ISRM (1981) diklasifikasikan sebagai berikut :
• Tidak lapuk atau segar. Tidak terlihat tanda - tanda pelapukan, batuan segar,
kristalnya terang.
• Pelapukan ringan, ketidakmenerusan luntur dan dapat terisi oleh lapisan tipis
hasil dari alterasi material. Lunturan meluas sampai jarak 20 % spasi
diskontinyu.
• Pelapukan sedang. Lunturan meluas pada bidang diskontinyu lebih besar dari
20 % spasi diskontinyu. Ketidakmenerusan dapat terisi oleh hasil alterasi
material.
• Pelapukan kuat. Lunturan meluas melalui batuan dan terdapat bagian material
yang gembur. Tekstur asli batuan tetap terjaga, tapi didapatkan pemisahan
butiran.
5. Kondisi Air Tanah
Air tanah dapat memiliki pengaruh melemahkan pada massa batuan, biasanya
melalui erosi dan pelemahan permukaan kekar dan pengisian material (Hutcinson
and Diederichs, 1996). Dalam istilah sederhananya, keberadaan air tanah akan
mengurangi kekuatan massa batuan.
19
Secara keseluruhan klasifikasi massa batuan RMR dengan 6 parameter beserta
pembobotannya disajikan pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Tabel Klasifikasi RMR (Bieniawski, 1989)
PARAMETER SELANG NILAI
Index
Kekuatan kekuatan Untuk nilai yang kecil
Batuan Point Load dipakai hasil UCS
> 10 Mpa 4 - 10 Mpa 2 - 4 Mpa 1 - 2 Mpa
Utuh
Uniaksial > 250 Mpa 100 - 250 Mpa 50 - 100 Mpa 25 - 50 Mpa 5 - 25 Mpa1 - 5 Mpa < 1 Mpa
Pembobotan 15 12 7 4 2 1 0
RQD 90 - 100 % 75 - 90 % 50 - 75 % 25 - 50 % < 25 %
Pembobotan 20 17 13 8 3
Spasi Rekahan >2m 0,6 - 2 m 0,2 -0,6 m 60 - 200 mm < 60 mm
Pembobotan 20 15 10 8 5
Kondisi Bidang Diskontinyu
Panjang <1m 1- 3 m 3 - 10 m 10 - 20 m > 20 m
Pembobotan 6 3 2 1 0
Pemisah Tidak ada < 0,1 mm 0.1-1 mm 1 - 5 mm > 5 mm
Pembobotan 6 5 4 1 0
Kekasaran sangat kasar kasar agak kasar lembut licin
Pembobotan 6 5 3 1 0
Material Kasar Material Lunak
Material pengisi tidak ada
< 5 mm >5 mm < 5 mm > 5 mm
Pembobotan 6 4 2 2 0
Pelapukan Tidak lapuk Agak lapuk Sedang Kuat Sangat Lapuk
Pembobotan 6 5 3 2 0
Keadaan
Air T anah Kering Lembab Basah Menetes Mengalir
Umum
Pembobotan 15 10 7 4 0
Orientasi Bidang Diskontinyu terhadap Lubang Bukaan
Arah Strike Tegak Lurus Terhadap Arah Tunnel Strike Searah Terhadap Arah Tunel
Searah dengan Dip 45 - 90˚ Searah dengan Dip 20 - 45˚ Dip 45 - 90˚ Dip 20 - 45˚
0 -2 -12 -5
Berlawanan dengan Dip 20 -
Berlawanan dengan Dip 45 - 90˚ Dip 0 - 20˚
45˚
-5 10 -5
20
Tabel 3.2. Panduan Untuk Penggalian dan Sistem Penyangga Terowongan
Dengan Variasi Kelas Massa Batuan
Kelas Massa
Penggalian Rock Bolts Shotcrete Steel Set
Batuan
I - Batuan sangat Full Face Secara umum tidak perlu support kecuali spot
bagus 3 m kemajuan bolting
RMR : 81 - 100
Bolt di atap
Full Face 50 mm di
Panjang 3 m,
II - Batuan bagus 1 - 1,5 m kemajuan, atap di
spasi 2,5 m Tidak Perlu
RMR : 61 - 80 support lengkap 20 m dari daerah
dengan wire
face tertentu
mesh
Ketebalan
Top Heading and Bench Panjang bolt 4 m, shotcrete
III - Batuan
1,5 - 3 m kemajuan pada spasi bolt 1,5 – 2 50-100 mm
sedang Tidak Perlu
top heading, support m dan dipasang di roof dan
RMR : 41 - 60
lengkap 10 m dari face wire mesh. 100 mm di
dinding
Ketebalan
Panjang bolt 4 - Rib ringan
Top Heading and Bench shotcrete
5m, spasi bolt 1- sampai
IV - Batuan jelek 1 – 1,5 m kemajuan pada 100-150 mm
1,5 m dan sedang, Spasi
RMR : 21 - 40 top heading, support di roof dan
dipasang wire 1,5 m di
lengkap 10 m dari face 100 mm di
mesh. daerah tertentu
dinding
Ketebalan
Rib sedang
shotcrete
Panjang bolt 5-6 sampai berat,
Multiple drift 0,5 – 1,5 m 150 – 200
V - Batuan m, spasi bolt 1- spasi 0,75 m
kemajuan pada top mm di roof,
sangat jelek 1,5 m dan dengan steel
heading, shotcrete segera 150 mm di
RMR : < 20 dipasang wire laging dan
setelah peledakan dinding dan
mesh. forepoling jika
50 mm di
perlu
face
21
3.1.2. Faktor Kerusakan (Disturbance Factor)
Mendesain suatu terowongan pada suatu tambang bawah tanah dengan kriteria
Hoek – Brown dengan asumsi massa batuan tidak terganggu (D = 0) adalah terlalu
optimistik (Hoek, 2002). Kerusakan massa batuan dapat disebabkan oleh adanya
kegiatan peledakan dan metode penggalian lain (lihat Tabel 3.3.). Kerusakan ini
harus menjadi pertimbangan dalam mengestimasi kekuatan massa batuan.
Tabel 3.3. Panduan Untuk Memperkirakan Faktor Kerusakan Pada Penggalian
Bawah Tanah
𝜎3′ 𝑎
𝜎1′ = 𝜎3′ + 𝜎𝑐 (𝑚𝑏 + 𝑆) ..…(3.6)
𝜎𝑐
22
Dimana :
𝜎1′ = Tegangan utama mayor (MPa)
𝜎3′ = Tegangan utama minor (MPa)
𝜎𝑐 = UCS batuan utuh (MPa)
mb , s, a = Konstanta Hoek – Brown
konstanta mb adalah nilai konstanta untuk massa batuan , s dan a adalah konstanta
yang bergantung pada karateristik massa batuan. Nilai mi dapat diperoleh dari
konstanta untuk intact rock.
Kriteria keruntuhan Hoek-Brown hanya dapat digunakan pada batuan utuh atau
pada massa batuan Heavily Jointed yang dapat diasumsikan homogen dan isotropik
(Hoek et al, 1995). Dengan kata lain, properties material dari massa batuan tersebut
adalah sama di segala arah.
Salah satu kendala utama yang dihadapi dalam bidang pemodelan numerik untuk
mekanika batuan adalah keterbatasan kemampuan untuk memperoleh data
properties massa batuan (Hoek et al, 1995). Roclab adalah sebuah program
perangkat lunak untuk menentukan parameter kekuatan massa batuan, berdasarkan
kriteria keruntuhan Hoek-Brown. Roclab menyediakan implementasi sederhana
mengenai sifat-sifat massa batuan yang nantinya akan digunakan sebagai data
masukan bagi program analisis numerik seperti Phase2.
Berikut langkah-langkah menggunakan program Roclab :
1. Buka aplikasi Roclab
2. Masukkan data kuat tekan uniaksial (UCS), GSI, nilai konstanta ‘mi’ dan
disturbance faktor (D). Setelah semua data tersebut dimasukkan, maka
parameter massa batuan akan muncul secara otomatis.
3. Menyimpan file tersebut dan Meng-copy data tersebut apabila akan digunakan
pada program Phase2.
3.1.4. Hubungan Karakteristik Massa Batuan Dan Sistem Penyangga
Menurut Hoek et al (1995), sebagai metode tradisional untuk melakukan
penyanggaan pada jenis batuan massive brittle rock, sistem penyangga yang
23
digunakan yaitu mechanically anchored rockbolts dan wire mesh. Tujuannya
adalah untuk menahan beban mati dari pecahan batuan dan mencegah jatuhan
batuan yang dekat dengan lokasi kerja. Selain mechanically anchored rockbolts,
untuk menahan beban yang ringan sekitar 1 ton dapat juga digunakan rockbolt jenis
friction anchored dowels contohnya split set. Bahkan bukan hanya pada kondisi
massive, split set pun dapat digunakan pada kondisi batuan yang tergolong blocky
rock dan heavily jointed rock. Sedangkan untuk beban yang lebih berat diperlukan
reinforcement yang lebih berat yaitu grouted and tension rockbolt, fully grouted
rebar atau swellex bolts. Jenis rockbolt ini pun dapat diterapkan pada kondisi batuan
dengan kualitas buruk (poor qulity rock masses).
3.2. Tegangan
3.2.1. Tegangan Insitu
Tegangan insitu merupakan tegangan alamiah yang bekerja di dalam massa batuan
yang terdiri dari tegangan gravitasi, tegangan tektonik, tegangan sisa dan tegangan
normal. Batuan pada kedalaman tertentu memiliki tegangan (stress) yang timbul
akibat keberadaan lapisan yang berada tepat di atasnya dan yang timbul akibat
peristiwa tektonik (Kramadibrata, 2012). Sebelum dilakukan penggalian, massa
batuan dalam kondisi setimbang. Setelah dilakukan penggalian kesetimbangan
tersebut terganggu dan dapat mengubah distribusi tegangan awal.
Tegangan insitu terdiri dari tegangan insitu vertikal dan tegangan insitu horizontal.
Pendekatan yang dilakukan untuk mengetahui tegangan vertikal adalah dengan
asumsi berat batuan yang dari permukaan dikali dengan kedalaman dari permukaan
sampai ke bukaan (Hoek dan Keiser, 1998) seperti persamaan berikut :
𝜎𝑣 = 𝛾𝑧 ....(3.7)
σv = Tegangan vertikal (ton/m2)
γ = Bobot isi batuan (ton/m3)
z = Kedalaman (m)
Sementara untuk mengestimasi tegangan horizontal jauh lebih sulit dibandingkan
dengan tegangan vertikal. Biasanya, perbandingan tegangan insitu horizontal
terhadap tegangan insitu vertikal diasumsikan dengan k, maka :
24
σh = kσv = kγz ....(3.8)
Keterangan :
σh = Tegangan Horizontal (ton/m2)
γ = Bobot isi batuan (ton/m3)
z = Kedalaman (m)
3.2.2. Tegangan Terinduksi
Dibuatnya sebuah atau beberapa lubang bukaan di bawah tanah akan
mengakibatkan terjadinya perubahan distribusi tegangan (stress distribution) di
sekitar lubang bukaan tersebut yang akan menghasilkan tegangan terinduksi
(Gambar 3.6.). Perubahan tegangan ini akan mempengaruhi deformasi yang terjadi
di sekitar lubang bukaan. Ketika tegangan terinduksi menjadi lebih besar dari
kekuatan massa batuan maka lubang bukaan akan menjadi tidak stabil dan apabila
tidak dikendalikan akhirnya akan terjadi keruntuhan. Szwedzicki (2018)
mengungkapkan bahwa pada kedalaman dangkal, mode keruntuhan disebabkan
oleh gravitasi (tegangan vertical insitu) sedangkan pada kedalaman yang lebih
dalam lebih banyak dipengaruhi oleh tegangan induksi.
Gambar 3.6.
Distrbusi Tegangan Sebelum dan Setelah Penggalian (Kramadibrata, 2012)
Kirsch (1898) membagi tegangan terinduksi menjadi tiga yaitu tegangan radial (σr),
tegangan tangensial (σϴ), dan tegangan geser (τrϴ) yang berada di sekitar lubang
bukaan seperti yang ditampilkan pada Gambar 3.7, dan menemukan persamaannya
sebagai berikut :
𝜎𝑣 +𝜎ℎ 𝑅2 𝜎𝑣 −𝜎ℎ 4𝑅 2 3𝑅 4
𝜎𝑟 = [( ) (1 − 𝑟 2 )] + [( ) (1 − + ) 𝑐𝑜𝑠2𝜃] ....(3.9)
2 2 𝑟2 𝑟4
25
𝜎𝑣 +𝜎ℎ 𝑅2 𝜎𝑣 −𝜎ℎ 3𝑅 4
𝜎𝜃 = [( ) (1 + 𝑟 2 )] − [( ) (1 + ) 𝑐𝑜𝑠2𝜃] ....(3.10)
2 2 𝑟4
𝜎𝑣 −𝜎ℎ 2𝑅 2 3𝑅 4
𝜎𝑟𝜃 = [− ( ) (1 + − ) 𝑠𝑖𝑛2𝜃] ....(3.11)
2 𝑟2 𝑟4
Keterangan :
σr = Tegangan radial
σr = Tegangan tangensial
τrϴ = Tegangan geser
σv = Tegangan vertikal
σh = Tegangan horizontal
ϴ = Sudut yang dibentuk ke titik pengamatan searah putaran jam
R = Jari – jari lubang bukaan
r = Jarak dari pusat lubang bukaan ke titik pengamatan
Gambar 3.7.
Tegangan Radial, Tegangan Tangensial, Dan Tegangan Geser Di Sekitar
Lubang Bukaan (Kirsch, 1898)
Dengan kondisi massa batuan yang kompleks dan bentuk lubang bukaan yang
bervariasi maka metode analitik memiliki kelemahan atau keterbatasan dalam
menghitung tegangan di sekitar lubang bukaan. Oleh karena itu, metode numerik
bisa menjadi solusi bagi permasalahan tersebut.
26
3.3. Sistem Penyangga
Adanya kegiatan penggalian bawah tanah akan berpengaruh pada kondisi tegangan
yang ada di sekitarnya. Pada kondisi ini, massa batuan di sekitar lubang penggalian
akan mengalami induksi tegangan yang selalu lebih besar dari tegangan insitu. Hal
ini menyebabkan tegangan akan terkonsentrasi pada tepi lubang. Peningkatan
tegangan inipun juga akan meningkatkan deformasi yang terjadi guna mencari
kesetimbangan. Apabila belum mencapai kesetimbangan dan massa batuan tidak
mampu menahan beban tegangan tersebut, maka peristiwa ambrukan tidak dapat
terhindarkan.
Saat massa batuan di sekitar lubang bukaan tidak mampu menahan beban tegangan
terinduksi yang melampaui kekuatannya, maka sistem penyangga diperlukan untuk
membantu meningkatkan kekuatan massa batuan tersebut. Pada Gambar 3.8.,
terlihat peran sistem penyangga dalam mengontrol perpindahan yang terjadi di
dinding lubang bukaan. Titik equilibrium menunjukkan bahwa sistem penyangga
dapat menahan perpindahan.
Menurut Hudson (1993), reinforcement adalah perkuatan terhadap massa batuan
yang terjadi dalam massa batuan tersebut contohnya rockbolt sedangkan support
adalah peralatan yang memberikan gaya reaktif terhadap beban tegangan yang
terjadi pada permukaan lubang bukaan, contohnya kayu, wiremesh, shotcrete dan
steelset. Kaiser et al, (1996) meringkas 3 fungsi dari sistem penyangga batuan yaitu
: reinforce yang berarti me mperkuat massa batuan dan mencegah agar kekar tidak
semakin meluas, retain yang berarti menahan kejatuhan blok batuan dan hold yang
berarti mempertahankan posisi blok batuan dari samping agar tidak jatuh.
27
Gambar 3.8. Reaksi Sistem Penyangga Terhadap Perpindahan Dinding Di Sekitar
Lubang Bukaan (Hoek et al, 1995)
Terdapat beberapa kelebihan penggunaan baut batuan yaitu dapat mengikuti bentuk
geometri lubang bukaan, mudah dan cepat dipasang karena menggunakan
mekanisasi, murah dan bisa dikombinasikan dengan jenis penyangga lainnya
seperti shotcrete dan wiremesh.
28
Pada gambar 3.10., terlihat 4 prinsip dari rockbolt yang berkaitan dengan
mekanisme daya dukung rockbolt. Prinsip pertama adalah suspensi yang berfungsi
menahan beban mati dari blok yang tidak stabil (Chen, 1994). Selanjutnya nailing
yang bertujuan untuk meningkatkan kuat geser dan karena itu prinsip ini sering
digunakan pada dinding bukaan. Prinsip yang ke tiga yaitu beam building yang
paling efisien pada massa batuan yang strukturnya berlapis. Prinsip arch building
adalah prinsip yang ke empat, digunakan pada atap berbentuk arch dengan struktur
massa batuan yang berlapis.
29
2. Shotcrete
Shotcrete atau beton tembak merupakan salah satu jenis penyangga pasif yang
berguna untuk menahan laju deformasi dan mencegah jatuhnya blok batuan. Beton
tembak dapat dihasilkan melalui campuran kering yang terdiri dari campuran semen
kering dan air ditambahkan pada penyemprot ( Gambar 3.10). Selain itu juga dapat
dihasilkan dari campuran basah, tapi beton tembak campuran kering lebih banyak
digunakan karena peralatan yang digunakan lebih ringan dan ekonomis. Lebih dari
20 tahun terakhir ini, penggunaan shotcrete telah mengalami peningkatan berhasil
digunakan dalam berbagai jenis massa batuan (Brady and Brown, 2005).
Penggunaan Shotcrete juga dapat dikombinasikan dengan micro silica, steel fibre
dan wire mesh.
30
4. Steel Set
Steel set merupakan penyangga baja yang dibentuk sesuai dengan bentuk lubang
bukaan dan bersifat jenis penyangga pasif (Gambar 3.12). Pada penambangan
dengan tipe batuan keras (hard rock mining), Steel set dapat digantikan dengan
adanya rockbolt atau shotcrete atau kombinasi keduanya.
Steel set yang juga sering disebut H – beam atau I – beam biasanya menjadi
penyangga alternatif terakhir pada kondisi massa batuan yang tidak dapat ditangani
oleh jenis – jenis penyangga sebelumnya. Steel set biasanya digunakan pada kondisi
massa batuan yang buruk dengan banyak kekar dan fault (Hoek et al, 1995). Oleh
karena itu, maka penggunaannya pun diterapkan pada tempat-tempat tertentu saja.
31
Gambar 3.13. Steel set
3.4.2. Sifat Mekanik Batuan Utuh
a. Uji Kuat Tekan Uniaksial
Tujuan uji tekan adalah untuk mengatur kuat tekan unaksial sebuah conto batuan
dalam geometri yang beraturan, baik dalam bentuk silinder, balok atau prisma
dalam satu arah (uniaksial). Tujuan utamanya uji ini adalah untuk menentukan
klasifikasi kekuatan dan karakterisasi batuan utuh. Hasil uji ini menghasilkan
beberapa data yaitu: kuat tekan uniaksial, modulus elastisitas dan nisbah poisson.
Pengujian ini sering menggunakan standar dari International Society Rock
Mechanics, ISRM (1981).
32
• Persamaan untuk mencari nilai poisson’s ratio adalah :
𝜺𝑙
𝑣= …..(3.13)
𝜺𝑎
Keterangan :
V = poisson’s ratio
εl = regangan lateral
εa = regangan aksial
b. Uji Triaksial
Uji triaksial merupakan salah satu uji dalam mekanika batuan bertujuan untuk
menentukan kekuatan batuan di bawah tiga komponen tegangan melalui persamaan
kriteria keruntuhan (Rai, dkk, 2012). Pengujian triaksial menggunakan kriteria
Mohr-Coulomb akan diperoleh beberapa data yaitu kurva intrinsic, kuat geser,
kohesi, tegangan normal dan sudut gesek dalam. Sedangkan dengan menggunakan
kriteria keruntuhan Hoek-Brown dalam Hoek (2007) diperoleh data yaitu kuat
tekan uniaksial dan konstanta nilai mi dengan konstanta s dan a masing-masing
bernilai 1 dan 0,5. Untuk membantu melakukan estimasi kekuatan batuan dan
massa batuan, Marinos dan Hoek (2000) memberikan tabel konstanta mi untuk
berbagai jenis batuan yang dapat dilihat pada Tabel 3.4.
33
3.5.1. Tahapan Dalam Metode Elemen Hingga
Tabel 3.4. Variasi nilai konstanta mi untuk jenis-jenis batuan yang berbeda
34
Gambar 3.14. Ilustrasi penampang melintang yang mengalami tegangan awal Pxx,
Pyy dan Pxy;
35
menghasilkan :
𝑢𝑖 1 𝑥𝑖 𝑦𝑖 0 0 0 𝑎1
𝑣𝑖 0 0 0 1 𝑥𝑖 𝑦𝑖 𝑎2
𝑢𝑗 1 𝑥𝑗 𝑦𝑗 0 0 0 𝑎3
= ..…(3.18)
𝑣𝑗 0 0 0 1 𝑥𝑗 𝑦𝑗 𝑎4
𝑢𝑘 1 𝑥𝑘 𝑦𝑘 0 0 0 𝑎5
[𝑣𝑘 ] [0 0 0 1 𝑥𝑘 𝑦𝑘 ] [𝑎6 ]
Atau
{𝑑} = [𝐴]{𝑎} ..…(3.19)
Sehingga
{𝑎} = [𝐴]𝐼 {𝑑} ..…(3.20)
Hubungan antara perpindahan elemen {𝑢} dan perpindahan titik simpul {𝑑}
adalah
{𝑢} = [𝑌][𝐴]𝐼 {𝑑} ..…(3.21)
36
{𝑒} = Matriks regangan
[𝐸] = Matriks elastisitas yang menghubungkan tegangan σ dan regangan ε
matriks [𝐸] untuk asumsi regangan bidang :
−𝑢 𝑢 0
𝐸 𝑢 1−𝑢 0 ]
[𝐸] = (1+𝑢)+ (1−2𝑢)
[ 1−2𝑢
..…(3.25)
0 0 2
37
8. Pemecahan sistem persamaan
Perpindahan {𝑈} dapat dihitung dengan persamaan linear :
{𝑈} = [𝐾]𝑙 {𝐹} ..…(3.29)
Sistem numerik ini dapat dipecahkan dengan berbagai metode, salah satunya
dengan menggunakan eliminasi gauss.
Dengan diperolehnya {𝑈}, maka perpindahan di setiap titik elemen {𝑑} dapat
diketahui.
3.5.2. Algoritma Penggunaan Phase2
Algoritma penggunaan program Phase2 untuk merancang sistem penyangga suatu
lubang bukaan adalah sebagai berikut :
a. Membuat penampang lubang bukaan. Selain itu penampang dapat juga
diperoleh dari hasil sayatan peta dari Program Surpac dengan bantuan program
Autocad yang kemudian dikonversi ke program Phase2. Cara ini digunakan
apabila belum dilakukan pengukuran tegangan insitu, sehingga tegangan insitu
ditentukan berdasarkan beban gravitasi.
b. Membuat batas model untuk penampang bukaan tersebut.
c. Menginput besar tegangan insitu (tegangan horizontal dan vertikal). Untuk
kondisi tegangan insitu yang belum diketahui, dapat menggunakan pilihan
gravity.
d. Menginput Properties material, yang berisi sifat mekanik material dan
parameter-parameter kriteria keruntuhan.
e. Membuat model menjadi beberapa tahapan sesuai tahapan pemasangan jenis
penyangga dan kombinasinya.
f. Melakukan Discretize and Mesh, membagi massa batuan menjadi elemen-
elemen kecil. Elemen ini dapat berbentuk segi tiga atau segi empat.
g. Melakukan Compute, pada tahap ini program Phase2 akan memproses dan
menganalisis model yang telah dibuat.
h. Hasil perhitungan berupa tegangan, perpindahan ,dll yang terjadi pada model
dapat dilihat dengan meng-klik interprete.
38
3.6. Analisis Probabilitas
Data sifat massa batuan dan parameter untuk mengevaluasi kualitas batuan tersebar
secara umum dan acak, tidak ada cara untuk memprediksi dengan tepat berapa nilai
parameter ini pada lokasi tertentu. Cara terbaik untuk menggambarkan keacakan ini
adalah dengan menggunakan model matematika probabilitas. Penggunaan
probabilitas memberikan penyelesaian yang lebih baik tentang pola distribusi dan
juga ketidakpastian yang terkait dengan sifat massa batuan dan parameter tersebut.
• Median
Median merupakan nilai tengah dalam set data, dimana data telah diurutkan dari
yang terkecil sampai yang terbesar atau sebaliknya dari yang terbesar sampai yang
terkecil.
• Modus
Merupakan nilai yang paling sering muncul atau nilai yang mempunyai frekuensi
tertinggi. Namun nilai ini jarang digunakan dalam penyelesaian masalah geoteknik.
39
• Standar deviasi (s)
Standar deviasi merupakan salah satu teknik statistik yang dipakai untuk
menjelaskan homogenitas kelompok. Jika standar deviasi bernilai nol, maka
menandakan bahwa semua nilai dalam himpunan tersebut adalah sama. Sedangkan
nilai deviasi yang lebih besar menunjukkan bahwa titik data individu jauh dari nilai
rata-rata.
√∑𝑛
𝑖=1(𝑥𝑖 −𝑥̅ )
2
s= ….(3.31)
𝑛−𝑎
40
kurva gauss yang berbentuk seperti lonceng (Gambar 3.14 bagian b). Fungsi
kerapatan probabilitas (pdf) dari jenis distribusi ini adalah
̅
1 𝑥−𝑥
exp[− ( )²]
f(x) =
2 𝑠
….(3.34)
𝑠√2𝜋
Gambar 3.15.
Model Chart Metode distribusi Gamma (a), Normal (b) dan Lognormal (c)
1 (log 𝑥−𝑥̅ )²
f(x) = exp [− ] ….(3.35)
𝑠𝑥 √2𝜋 2𝑠 2
• Metode Gamma
Fungsi kerapatan probabilitas (PDF) dari variabel acak gamma sering digunakan
untuk memodelkan beban yang berkelanjutan, misalnya di Gedung.
41
Persamaan PDF dari gamma adalah
𝑎(𝑎𝑥)𝑏−1 𝑒 −𝑎𝑥
f(x) = ….(3.36)
Γ(b)
42
deformasi, maka regangan vertikal dapat diperoleh. Selanjutnya regangan
horizontal diperoleh dari perkalian antara regangan vertikal dan poisson ratio.
𝜎v
.𝜀v = 𝐸𝑚 ..…(3.40)
.𝜀ℎ = 𝜀v x 𝑣 ..…(3.41)
• Menghitung perpindahan vertikal (𝛿v) dan perpindahan horizontal (𝛿ℎ).
Perpindahan yang terjadi di sekitar lubang bukaan diperoleh dari perkalian antara
regangan vertikal/horizontal dan lebar span.
.𝛿 = 𝜀 𝑥 𝑙𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑠𝑝𝑎𝑛 ..…(3.42)
• Menentukan perpindahan vertikal dan horizontal maksimum.
Perpindahan vertikal dan horizontal maksimum diperoleh dari perkalian antara
perpindahan vertikal/horizontal dengan perkiraan 5 kali dari besar perpindahan
yang terjadi.
2. Faktor Keamanan (Safety Factor)
Selain perpindahan, indikator kestabilan lain yaitu faktor keamanan. Faktor
keamanan berdasarkan kriteria keruntuhan Mohr - Coulomb dapat dilihat pada
Gambar 3.15. Nilai faktor keamanan dihitung berdasarkan rumusan berikut :
𝜎 +𝜎
𝐴 𝑐.𝑐𝑜𝑠∅+{( 1 3 )}𝑠𝑖𝑛∅
2
𝐹𝐾 = = 𝜎1 −𝜎3 ..…(3.43)
𝐵 ( 2 )
43
σ1 = Tegangan utama mayor (MPa)
44
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Gambar 4.1.
Alat Uji Kuat Tekan Batuan
45
Tabel 4.1. Hasil Uji Kuat Tekan Batuan
Kode Sampel Kuat Tekan Modulus Elastisitas Poisson’s
(MPa) (MPa) Ratio
A-01 53,45 11.322,22 0,23
A-02 55,48 11.622,22 0,22
A-03 56,19 10.175 0,24
Rata - rata 55,04 11.039 0,23
Standar Deviasi 1,42 763, 82 0.01
Gambar 4.2
Pengukuran RQD Di Lokasi Penelitian
46
menunjukkan bahwa jarak antar bidang diskontinyu masih tergolong sedang dan
dengan bobot RMR yaitu 8.
1 2 3 4 5
11 14 20 12 10 67 %
12 17 18 13 12 72 %
14 13 16 18 61 %
11 15 19 18 63 %
14 12 17 21 64 %
47
• Kemenerusan : pada bidang-bidang diskontinyu umunya berkisar 1 – 5 mm
• Pemisahan : pemisahan rata-rata dari bidang diskontinyu yaitu 0,1 – 1 mm
• Kekasaran : tingkat kekasaran bidang-bidang diskontinyu di setiap lokasi rata-
rata agak kasar
• Material pengisi : material pengisi umumnya berupa lempung dan chlorite
dengan ketebalan > 5mm.
• Pelapukan : batuan pada lokasi penelitian umumnya segar hanya ada beberapa
lokasi yang didominasi oleh batuan lempung dan chlorite.
48
Tabel 4.2. Pembobotan Nilai RMR
Parameter Besaran/Kondisi Bobot
Uniaksial Compressive Strength (MPa) 50 – 100 7
RQD (%) 65 13
Spasi Bidang Diskontinyu 200 – 600 mm 8
Kemenerusan 1 – 3 m (4)
Pemisahan < 0,1 mm (5)
Kondisi Bidang
Kekasaran Tajam - agak kasar (3)
Diskontinyu
Material Pengisi Keras - > 5 mm (2) 19
49
4.2. Pengolahan Data Pemodelan Numerik
4.2.1. Pemodelan Numerik
Pemodelan numerik dilakukan dengan program Phase2 yang berbasis metode
elemen hingga. Pemodelan ini dilakukan untuk mengetahui perilaku massa batuan
terhadap pemasangan sistem penyangga yang dapat dianalisis dari tegangan dan
perpindahan yang bekerja di sekitar lubang bukaan Cross cut 12 ACC.
Dalam pemodelan, untuk melakukan simulasi diperlukan parameter – parameter
yang terdiri dari :
1. Geometri pemodelan
2. Diskretisasi
3. Kondisi batas
4. Kondisi pembebanan
5. Karakteristik material
4.2.2. Geometri Pemodelan
Model yang dibuat berupa penampang melintang yang tegak lurus terhadap Cross
cut 12 ACC dari peta lokasi penambangan Blok Cikoneng (Gambar 4.4.). Topografi
permukaan juga dimasukkan ke dalam model sebagai faktor yang mempengaruhi
tegangan insitu di lokasi penelitian. Lokasi lubang bukaan Cross cut 12 ACC berada
pada kedalaman 171 m dari permukaan bumi. Pada pemodelan ini, lubang bukaan
dirancang dengan bentuk tapal kuda (horsehoe) yang memiliki lebar 5 m dan tinggi
5 m. Secara keseluruhan, model dapat dilihat pada Gambar 4.5.
Portal
Cross cut
12 Acc
Blok
Cikoneng
50
4.2.3. Diskretisasi
Kemudian model tersebut dibagi menjadi elemen-elemen kecil yang disebut
tahapan diskretisasi. Pada penelitian ini digunakan elemen yang berbentuk segitiga
dengan 3 titik nodal. Pada bagian yang dekat dengan lubang bukaan diskretisasinya
dirapatkan guna mendapatkan hasil yang lebih akurat. Gambar 4.6. memperlihatkan
kondisi model saat didiskretisasi.
Cross Cut
12 ACC
51
Gambar 4.6. Model Yang Didiskretisasi Beserta Kondisi Batas
52
Tabel 4.4. Karakteristik Material Untuk Pemodelan Numerik
No Parameter Nilai
1 Bobot isi (MN/m3) 0,0254
2 Kuat tekan Uniaksial (MPa) 55
3 Modulus Young (GPa) 11
4 Poisson’s ratio 0,23
53
Tabel 4.6. Karakteristik Split set
Material Type Steel High Strength
Length (m) 4 & 2,4
Diameter (mm) 46
Tensile capasity (kN) 120
Bolt modulus (MPa) 20000
Bond shear stifness (MN/m) 12000
Bond strength (MN/m) 0.2
Tributay area (mm2) 1661,1
54
6. Model VI yaitu lubang bukaan dengan penyangga split set dan spasi 1,5 m dan
shotcrete tebal 50 mm, wire mesh dan H – Beam (Panjang split set 2,4 m yang
digunakan PT. CSD).
55
diamati adalah perpindahan total (Utot) dan tegangan (σ1 dan σ3). Hasil simulasi
pemodelan secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran B.
4.3.1. Perpindahan
Pada Tabel 4.11, rata – rata perpindahan pada model I merupakan perpindahan yang
paling kecil yaitu sebesar 0,25 mm sebab kondisi massa batuan masih alami belum
dilakukan penggalian. Setelah dilakukan penggalian dan disangga, rata – rata
perpindahan paling kecil terjadi pada model VI yaitu sebesar 0,71, sedangkan untuk
rata – rata perpindahan yang paling besar yaitu pada model IV sebesar 0,86 mm.
Nilai rata – rata perpindahan pada model II tidak jauh berbeda dengan model III
dan IV.
Tabel 4.11. Perpindahan yang terjadi dari model I - Model VI
No Model Model Model Model Model Model
I II III IV V VI
(mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm)
1 0,28 0,54 0,91 0,91 0,84 0,83
2 0,27 0,6 1,13 1,14 1,09 1,07
3 0,26 0,7 1,20 1,22 1,15 1,13
4 0,25 0,78 1,30 1,33 1,21 1,19
5 0,25 0,8 1,29 1,31 1,17 1,15
… … … … … … …
… … … … … … …
19 0,27 0,8 0,48 0,44 0,33 0,34
20 0,28 0,81 0,85 0,82 0,75 0,75
21 0,28 0,86 0,93 0,90 0,85 0,85
22 0,28 0,74 0,75 0,72 0,65 0,65
23 0,28 0,46 0,66 0,65 0,57 0,57
Rata2 0,25 0,84 0,85 0,86 0,72 0,71
56
deviasi masing masing sebesar 8,32 dan 0,3. Nilai faktor keamanan tersebut besar
karena kondisi massa batuan belum mengalami gangguan penggalian.
a b
σ1 σ3
6
Tegangan
(MPa)
4
2
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Gambar 4.7. Tegangan Mayor Utama σ1 (a) Dan Tegangan Utama Minor σ3 (b)
pada model I
Tabel 4.12. Faktor Keamanan Lubang Bukaan Model I
No σ1 σ3 A B FK
(MPa) (MPa)
1 5,19 4,42 3,52 0,39 9,15
2 5,18 4,40 3,51 0,39 9,00
3 5,17 4,35 3,49 0,41 8,51
4 5,17 4,31 3,48 0,43 8,09
5 5,16 4,31 3,47 0,43 8,17
.. .. .. .. .. ..
.. .. .. .. .. ..
19 5,34 4,48 3,60 0,43 8,36
20 5,30 4,46 3,57 0,42 8,51
21 5,27 4,43 3,55 0,42 8,46
22 5,24 4,40 3,53 0,42 8,41
23 5,21 4,38 3,52 0,42 8,47
Rata - rata 8,32
Sandar Deviasi 0,30
• Model II
Hasil pemodelan kondisi massa batuan setelah dilakukan penggalian dan belum
disangga ditampilkan pada Gambar 4.7. Tabel 4.13 menunjukkan bahwa pada
kondisi ini nilai minimum faktor keamanan sebesar 0,85 dan nilai maksimumnya
sebesar 1,89. Rata – rata dan standar deviasi nilai faktor keamanan masing – masing
57
sebesar 1,13 dan 0,24. Nilai factor keamanan turun drastic disebabkan karena
terjadi peningkatan besar tegangan utama mayor dan penurunan tegangan utama
minor sebagai bentuk residtribusi tegangan akibat penggalian.
a b
20 σ1 σ3
Tegangan
(MPa)
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Gambar 4.8. Tegangan Mayor Utama σ1 (a) Dan Tegangan Utama Minor σ3 (b)
pada model II
Tabel 4.13. Faktor Keamanan Lubang Bukaan Model II
No σ1 σ3 A B FK
(MPa) (MPa)
1 11,84 0,93 4,63 5,46 0,85
2 9,36 0,92 3,76 4,22 0,89
3 8,31 1,33 3,53 3,49 1,01
4 7,96 1,26 3,39 3,35 1,01
5 8,3 1,49 3,59 3,41 1,05
.. .. .. .. .. ..
.. .. .. .. .. ..
19 8,37 0,85 3,39 3,76 0,90
20 6,08 1,36 2,76 2,36 1,17
21 5,81 1,35 2,66 2,23 1,19
22 7,04 2,18 3,39 2,43 1,39
23 9,46 2,71 4,42 3,38 1,31
Rata - rata 1,13
Sandar Deviasi 0,24
• Model III
Hasil pemodelan kondisi lubang bukaan ketika disangga dengan split set dengan
spasi 1,5 m, shotcrete tebal 100 mm pada atap dan 100 mm pada dinding dan wire
mesh ditampilkan pada Gambar 4.8. Tabel 4.14 menunjukkan bahwa pada kondisi
58
ini nilai minimum faktor keamanan sebesar 0,86 dan nilai maksimumnya sebesar
1,86. Selanjutnya nilai rata – rata dan standar deviasi faktor keamanan masing –
masing sebesar 1,21 dan 0,21.
a b
20.00
σ1 σ3
Tegangan
(MPa)
10.00
0.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Gambar 4.9. Tegangan Mayor Utama σ1 (a) Dan Tegangan Utama Minor σ3 (b)
Tabel 4.14. Faktor keamanan lubang bukaan Model III
No σ1 σ3 A B FK
(MPa) (MPa)
1 11,30 1,90 4,78 4,70 1,02
2 7,17 1,43 3,17 2,87 1,10
3 5,93 1,03 2,59 2,45 1,06
4 5,38 0,90 2,35 2,24 1,05
5 6,30 1,77 2,98 2,27 1,32
.. .. .. .. .. ..
.. .. .. .. .. ..
19 7,31 3,18 3,83 2,07 1,86
20 7,71 1,91 3,53 2,90 1,22
21 7,41 1,23 3,18 3,09 1,03
22 10,40 2,13 4,55 4,14 1,10
23 11,00 3,37 5,19 3,82 1,36
Rata - rata 1,21
Sandar Deviasi 0,21
• Model IV
Hasil pemodelan kondisi lubang bukaan saat disangga dengan split set dengan spasi
1 m dan shotcrete tebal 100 mm pada atap dan 100 mm pada dinding dan wire mesh
ditampilkan pada Gambar 4.9. Dari Tabel 4.15. dapat diketahui bahwa pada kondisi
ini nilai minimum faktor keamanan sebesar 0,96 dan nilai maksimumnya sebesar
59
1,86. Selanjutnya nilai rata – rata faktor keamanan dan standar deviasi masing –
masing sebesar 1,28 dan 0,23.
a b
σ1 σ3
20.00
Tegangan
(MPa)
10.00
0.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Gambar 4.10. Tegangan Mayor Utama σ1 (a) Dan Tegangan Utama Minor σ3 (b)
pada model IV
• Model V
Hasil pemodelan kondisi lubang bukaan saat disangga dengan split set dengan spasi
1,5 m dan shotcrete tebal 100 mm, wire mesh dan H – Beam ditampilkan pada
Gambar 4.10. Tabel 4.16 menunjukkan bahwa pada kondisi ini, nilai minimum
faktor keamanan sebesar 1,35 dan nilai maksimumnya sebesar 2,18. Selanjutnya
60
nilai rata – rata faktor keamanan dan standar deviasi masing – masing sebesar 1,60
dan 0,26.
a b
20.00 σ1 σ3
Tegangan
(MPa)
10.00
0.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Gambar 4.11. Tegangan Mayor Utama σ1 (a) Dan Tegangan Utama Minor σ3 (b)
Tabel 4.16. Faktor keamanan lubang bukaan Model V
No σ1 σ3 A B FK
(MPa) (MPa)
1 10,43 3,81 5,15 3,31 1,55
2 9,16 1,75 3,98 3,71 1,07
3 6,05 1,91 2,94 2,07 1,42
4 5,03 1,66 2,50 1,69 1,48
5 4,85 1,36 2,33 1,75 1,34
.. .. .. .. .. ..
.. .. .. .. .. ..
19 6,52 2,91 3,46 1,81 1,92
20 6,85 3,05 3,62 1,90 1,91
21 7,58 2,70 3,76 2,44 1,54
22 7,18 2,32 3,48 2,43 1,43
23 10,50 3,73 5,14 3,39 1,52
Rata - rata 1,60
Standar Deviasi 0,26
• Model VI
Hasil pemodelan kondisi lubang bukaan saat disangga dengan split set dan spasi 1,5
m dan shotcrete tebal 50 mm, wire mesh dan H – Beam yangdapat dilihat pada
Gambar 4.11. Tabel 4.17. menunjukkan bahwa pada kondisi ini, nilai minimum
faktor keamanan sebesar 1,21 dan nilai maksimumnya sebesar 2,51. Selanjutnya
61
nilai rata – rata faktor keamanan dan standar deviasi masing – masing sebesar 1,55
dan 0,16.
a b
20.00
σ1 σ3
Tegangan
(MPa)
10.00
0.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Gambar 4.12. Tegangan Mayor Utama σ1 (a) Dan Tegangan Utama Minor σ3 (b)
Tabel 4.17. Faktor keamanan lubang bukaan Model VI
No σ1 σ3 A B FK
(MPa) (MPa)
1 9,15 3,29 4,51 2,93 1,54
2 6,06 1,41 2,77 2,33 1,19
3 6,04 1,99 2,97 2,03 1,47
4 4,85 1,67 2,44 1,59 1,53
5 5,06 1,59 2,48 1,74 1,43
… .. .. .. .. ..
.. .. .. .. .. ..
19 6,82 2,96 3,58 1,93 1,86
20 7,56 2,72 3,76 2,42 1,55
21 7,16 2,33 3,48 2,42 1,44
22 10,51 3,33 5,01 3,59 1,39
23 10,40 3,41 4,99 3,50 1,43
Rata - rata 1,55
Standar Deviasi 0,16
62
stabil (> 1,5). Hal ini menunjukkan ketidakpastian dan untuk itu selanjutnya
dianalisa dengan metode probabilitas dengan data inputan yaitu rata – rata dan
standar deviasi dari nilai faktor keamanan tersebut. Metode Monte carlo digunakan
dalam analisa probabilitas ini. Nilai faktor keamanan diasumsikan berdistribusi
normal. Angka – angka acak yang akan dihasilkan dari metode Monte carlo pada
penelitian ini yaitu sebanyak 500 angka dengan bantuan program Excel. Angka -
angka acak nilai faktor keamanan dari tiap model disimulasikan agar nilai memiliki
nilai rata – rata dan standar deviasi yang mirip atau mendekati nilai rata – rata dan
standar deviasi hasil pemodelan numerik. Untuk lebih lengkap dapat dilihat pada
Lampiran C. Selanjutnya dari angka – angka tersebut dihitung nilai rata – rata dan
standar deviasi untuk menghitung probabilitas keruntuhan dalam fungsi kerapatan
probabilitas (PDF). Untuk detailnya, fungsi kerapatan probabilitas dapat dilihat
pada Lampiran D.
• Model I
Dari hasil simulasi yang disajikan pada Tabel 4.18, diketahui bahwa rata – rata nilai
faktor keamanannya sebesar 8,32 dan standar deviasinya sebesar 0,28. Dari nilai
rata – rata dan standar deviasi ini selanjutnya akan digunakan untuk menentukan
probabilitas keruntuhannya dalam bentuk fungsi kerapatan probabilitas (PDF) yang
dapat dilihat pada Tabel 4.19.
Tabel 4.18. Hasil Simulasi Nilai Faktor Keamanan Pada Model I
No FK
1 8,82
2 8,38
3 7,59
4 8,78
5 8,60
.. ..
.. ..
496 7,73
497 8,40
498 8,57
499 8,24
500 7,70
Rata2 8,32
St.Dev 0,28
63
Tabel 4.19. Fungsi Kerapatan Probabilitas Nilai FK Pada Model I
No FK PDF
1 7,2 0,0001
2 7,25 0,0002
3 7,3 0,0004
4 7,35 0,0005
5 7,4 0,0007
.. .. ..
.. .. ..
63 9,1 0,002
64 9,15 0,001
65 9,2 0,0008
66 9,25 0,0006
67 9,3 0,0004
• Model II
Dari hasil simulasi yang disajikan pada Tabel 4.20, diketahui bahwa rata – rata nilai
faktor keamanannya sebesar 0,14 dan standar deviasinya sebesar 0,24. Dari nilai
rata – rata dan standar deviasi ini selanjutnya akan digunakan untuk menentukan
probabilitas keruntuhannya dalam bentuk fungsi kerapatan probabilitas (PDF) yang
dapat dilihat pada Tabel 4.21.
Tabel 4.20. Hasil Simulasi Nilai Faktor Keamanan Pada Model II
No FK
1 1,015646
2 1,300262
3 1,00868
4 1,258988
5 0,599794
.. ..
.. ..
496 0,98335
497 0,822272
498 0,969303
499 0,893947
500 1,002255
Rt2 1,14
St.Dv 0,24
64
Tabel 4.21. Fungsi Kerapatan Probabilitas Nilai FK Pada Model II
No FK PDF
1 0,2 0,0001
2 0,25 0,000125
3 0,3 0,000259
4 0,35 0,000516
5 0,4 0,000985
.. .. ..
.. .. ..
33 1,8 0,001327
34 1,85 0,000711
35 1,9 0,000364
36 1,95 0,000179
37 2 8,41E-05
• Model III
Dari hasil simulasi yang disajikan pada Tabel 4.22, diketahui bahwa rata – rata
nilai faktor keamanannya sebesar 1,21 dan standar deviasinya sebesar 0,2. Dari
nilai rata – rata dan standar deviasi ini selanjutnya akan digunakan untuk
menentukan probabilitas keruntuhannya dalam bentuk fungsi kerapatan
probabilitas (PDF) yang dapat dilihat pada Tabel 4.23.
Tabel 4.22. Hasil Simulasi Nilai Faktor Keamanan Pada Model III
No FK
1 1,542383
2 1,433285
3 0,909761
4 1,236821
5 1,224143
.. ..
.. ..
496 1,051589
497 1,171125
498 1,323354
499 0,989662
500 1,331
Rt2 1,21
St.Dv 0,2
65
Tabel 4.23. Fungsi Kerapatan Probabilitas Nilai FK Pada Model III
No FK PDF
1 0 5,78E-07
2 0,05 1,65E-06
3 0,1 4,46E-06
4 0,15 1,15E-05
5 0,2 2,84E-05
.. .. ..
.. .. ..
37 1,8 0,000969
38 1,85 0,000495
39 1,9 0,000242
40 1,95 0,000112
41 2 5E-05
• Model IV
Dari hasil simulasi yang disajikan pada Tabel 4.24, diketahui bahwa rata – rata nilai
faktor keamanannya sebesar 1,28 dan standar deviasinya sebesar 0,20. Dari nilai
rata – rata dan standar deviasi ini selanjutnya akan digunakan untuk menentukan
probabilitas keruntuhannya dalam bentuk fungsi kerapatan probabilitas (PDF) yang
dapat dilihat pada Tabel 4.25.
Tabel 4.24. Hasil Simulasi Nilai Faktor Keamanan Pada Model IV
No FK
1 1,015646
2 1,300262
3 1,00868
4 1,258988
5 0,599794
.. ..
.. ..
496 0,98335
497 0,822272
498 0,969303
499 0,893947
500 1,002255
Rt2 1,28
St.Dv 0,20
66
Tabel 4.25. Fungsi Kerapatan Probabilitas Nilai FK Pada Model IV
No FK PDF
1 0,4 0,00
2 0,45 0,00005
3 0,5 0,00013
4 0,55 0,000298
5 0,6 0,000652
.. .. ..
.. .. ..
30 1,85 0,001838
31 1,9 0,000914
32 1,95 0,000429
33 2 0,00019
34 2,05 7,97E-05
• Model V
Dari hasil simulasi yang disajikan pada Tabel 4.26, diketahui bahwa rata – rata nilai
faktor keamanannya sebesar 1,60 dan standar deviasinya sebesar 0,26. Dari nilai
rata – rata dan standar deviasi ini selanjutnya akan digunakan untuk menentukan
probabilitas keruntuhannya dalam bentuk fungsi kerapatan probabilitas (PDF) yang
dapat dilihat pada Tabel 4.27.
Tabel 4.26. Hasil Simulasi Nilai Faktor Keamanan Pada Model V
No FK
1 1,618969
2 1,315167
3 1,697679
4 1,580466
5 1,72022
.. ..
.. ..
496 1,539145
497 2,292404
498 1,435323
499 1,802033
500 1,298434
Rt2 1,60
St.Dv 0,26
67
Tabel 4.27. Fungsi Kerapatan Probabilitas Nilai FK Pada Model V
No FK PDF
1 0,65 0,00
2 0,7 0,00026
3 0,75 0,00048
4 0,8 0,000875
5 0,85 0,00153
.. .. ..
.. .. ..
32 2,2 0,00424
33 2,25 0,002616
34 2,3 0,001555
35 2,35 0,000891
36 2,4 0,000491
• Model VI
Dari hasil simulasi yang disajikan pada Tabel 4.28, diketahui bahwa rata – rata nilai
faktor keamanannya sebesar 1,54 dan standar deviasinya sebesar 0,16. Dari nilai
rata – rata dan standar deviasi ini selanjutnya akan digunakan untuk menentukan
probabilitas keruntuhannya dalam bentuk fungsi kerapatan probabilitas (PDF) yang
dapat dilihat pada Tabel 4.29.
Tabel 4.28. Hasil Simulasi Nilai Faktor Keamanan Pada Model VI
No FK
1 1,490878
2 1,474635
3 1,390204
4 1,463312
5 1,476321
.. ..
.. ..
496 1,62576
497 1,43674
498 1,7268
499 1,56591
500 1,567988
Rt2 1,54
St.Dv 0,16
68
Tabel 4.29. Fungsi Kerapatan Probabilitas Nilai FK Pada Model VI
No FK PDF
1 1 0,00
2 1,05 0,0014
3 1,1 0,0035
4 1,15 0,0079
5 1,2 0,0159
.. .. ..
.. .. ..
18 1,85 0,0135
19 1,9 0,0065
20 1,95 0,0028
21 2 0,0011
22 2,05 0,0004
Dari hasil simulasi ke enam model di atas dapat diketahui bahwa tiap model
memiliki kerapatan yang berbeda – beda. Hal ini dipengaruhi nilai standar deviasi
yang berbeda-beda. Semakin besar nilai standar deviasi maka rentang fungsi
kerapatan probabilitasnya semakin besar, sebaliknya semakin kecil nilai
probabilitas semakin kecil rentang fungsi kerapatan probabilitas.
69
BAB V
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil klasifikasi massa batuan diperoleh bahwa massa batuan di Cross
cut 12 ACC memiliki nilai RMR sebesar 42 yang tergolong batuan dengan kualitas
sedang (fair rock). Dari panduan yang diberikan oleh Bieniawski (1989) pada Tabel
3.2., maka dapat diperoleh sistem penyangga untuk kondisi massa batuan dengan
kualitas sedang ( RMR 41 – 60) yaitu rockbolt dengan panjang 4 m, spasi 1,5 m
70
dan shotcrete dengan tebal 50 – 100 mm untuk atap dan 100 mm untuk dinding
serta perlu dipasang wiremesh.
5.2. Rancangan Sistem Penyangga Berdasarkan Metode Numerik
Kondisi massa batuan dan rancangan sistem penyangga berdasarkan metode ini
akan dapat dijelaskan lebih lanjut dalam pemodelan numerik menggunakan
program Phase2. Pada program ini, kondisi massa batuan dijelaskan secara
kuantitatif dalam total perpindahan dan faktor keamanan (safety faktor) baik
sebelum maupun setelah penggalian lubang bukaan.
5.2.1. Jumlah Model Yang Dianalisis
Berikut akan dibahas hasil pengamatan efektivitas penyangga terhadap kestabilan
lubang bukaan Cross cut 12 ACC yang akan dinilai dari dua parameter yaitu
perpindahan total dan faktor keamanan (safety faktor). Untuk memverifikasi ke-
efektifan sistem penyangga yang sesuai dengan klasifikasi RMR, maka dibuat
pemodelan yang terdiri dari 6 model yaitu :
• Model I yaitu kondisi sebelum dilakukan penggalian
• Model II yaitu kondisi lubang bukaan setelah dilakukan penggalian dan
tanpa penyangga
• Model III yaitu kondisi lubang bukaan setelah disangga dengan Split set
dengan panjang 4 m, spasi 1,5 m dan shotcrete dengan tebal 100 mm untuk
atap dan dinding dan wire mesh.
• Model IV yaitu kondisi lubang bukaan setelah disangga dengan Split set
dengan panjang 4 m, spasi 1 m dan shotcrete dengan tebal 100 mm untuk
atap dan dinding dan wire mesh.
• Model V yaitu kondisi lubang bukaan dengan penyangga split set (panjang
4 m dan spasi 1,5 m) , shotcrete tebal 100 mm, wire mesh dan H – Beam.
• Model VI yaitu lubang bukaan dengan penyangga split set (panjang 2,4 m
dan spasi 1,5 m), shotcrete tebal 50 mm, wire mesh dan H – Beam (Panjang
split set dan tebal shotcrete yang digunakan oleh PT. CSD).
5.2.2. Analisis Perpindahan
Rata – rata perpindahan yang terjadi pada semua model ditampilkan dalam bentuk
grafik pada Gambar 5.1. pada grafik tersebut, diketahui bahwa rata – rata
71
perpindahan paling kecil tarjadi pada kondisi lubang bukaan belum digali (model
I) yaitu sebesar 0,25 mm. Hal ini dikarenakan massa batuan masih alami atau belum
mengalami gangguan. Rata – rata perpindahan menjadi meningkat ketika dilakukan
penggalian dengan tanpa penyangga (model II) yaitu sebesar 0,84 mm. Hal ini
diakrenakan massa batuan sudah mengalami gangguan dan terjadi redistribusi
tegangan yang membuat perpindhan semakin besar di dekat permukaan lubang
bukaan. Perpindahan yang terjadi pada lubang bukaan dengan penyangga berupa
split set dengan spasi 1,5 m, shotcrete tebal 100 mm pada atap dan 100 mm pada
dinding dan wire mesh (model III) tidak jauh berbeda dengan model II yaitu sebesar
0,85 mm. Begitu juga dengan rata – rata perpindahan pada lubang bukaan dengan
penyangga berupa split set dengan spasi 1 m, shotcrete tebal 100 mm pada atap
dan 100 mm pada dinding dan wire mesh (model IV) yaitu sebesar 0,86 mm.
1
0.9
0.8
0.7
Perpindahan
0.6
(mm)
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
1 2 3 4 5 6
Model
Gambar 5.1. Rata – Rata Perpindahan Yang Terjadi Pada Lubang Bukaan Untuk
Semua Model
Rata – rata perpindahan yang terjadi pada lubang bukaan dengan penyangga berupa
split set dengan spasi 1,5 m, shotcrete tebal 100 mm pada atap dan 100 mm pada
dinding, wire mesh dan H-Beam (model V) lebih rendah dari model IV tapi tidak
signifikan yaitu sebesar 0,72 mm. Pada lubang bukaan dengan penyangga berupa
split set (Panjang 4 m dan spasi 1,5 m), shotcrete tebal 50 mm pada atap dan 50
72
mm pada dinding, wire mesh dan H-Beam (model VI) , rata – rata perpindahan
mengalami peningkatan tetapi tidak jauh berbeda dengan model V yaitu sebesar
0,71 mm. Berdasarkan kriteria Cording (1974), rata – rata perpindahan yang terjadi
di semua model (Model I – model VI) menunjukkan bahwa kondisi lubang bukaan
dalam keadaan aman atau stabil. Hal ini dikarenakan nilai rata -ratanya lebih kecil
dari 66,7 mm.
5.2.3. Analisis Probabilitas Keruntuhan Dari Nilai Faktor Keamanan
Dari grafik yang ditampilkan pada Gambar 5.2. diketahui bahwa nilai faktor
kemananan pada lubang bukaan yang belum dilakukan penggalian (model I) yaitu
lebih besar dari 1,5. Rata – rata nilai faktor keamanan yaitu 8,33. Lubang bukaan
pada kondisi ini dalam keadaan sangat aman karena belum ada gangguan akibat
penggalian.
0.07
0.06
0.05
0.04
PDF
0.03
0.02
0.01
0
7
9
7.1
7.2
7.3
7.4
7.5
7.6
7.7
7.8
7.9
8.1
8.2
8.3
8.4
8.5
8.6
8.7
8.8
8.9
9.1
9.2
9.3
FK
73
100 mm pada atap dan 100 mm pada dinding dan wire mesh (model III) masih lebih
kecil dari 1,5 yaitu 1,21.
0.09 50 % 93,58%
0.08 %%
0.07
0.06
0.05
PDF
0.04
0.03
0.02
0.01
-
Faktor Keamanan
0.08
PDF
0.06
0.04
0.02
-
0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2
Faktor Keamanan
74
Selanjutnya dari grafik yang ditampilkan pada Gambar 5.5., diketahui bahwa rata –
rata nilai faktor kemananan pada lubang bukaan setelah dilakukan penggalian
dengan penyangga berupa split set (panjang 4 m dan spasi 1 m), shotcrete tebal
100 mm pada atap dan 100 mm pada dinding dan wire mesh (model IV) masih juga
lebih kecil dari 1,5 yaitu 1,28.
0.10 50 % 84,66 %
0.09
0.08
0.07
0.06
PDF
0.05
0.04
0.03
0.02
0.01
-
0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2
Faktor Keamanan
75
bahwa sistem penyangga pada model V tepat untuk digunakan pada Cross Cut 12
ACC.
0.09
34,85 % 50 %
0.08
0.07
0.06
0.05
PDF
0.04
0.03
0.02
0.01
-
Faktor Keamanan
0.10
0.08
PDF
0.06
0.04
0.02
0.00
Faktor Keamanan
76
Probabilitas keruntuhan pada kondisi ini yaitu sebesar 38,94 %. Lubang bukaan
pada model ini dalam keadaan aman yang berarti bahwa sistem penyangga pada
model V tepat untuk digunakan pada Cross Cut 12 ACC.
Berdasarkan probabilitas keruntuhan dari nilai factor keamanan dari model I sampai
model VI di atas, nilai probabilitas keruntuhan < 50 % terjadi pada model V dan
VI. Selanjutnya Dengan mempertimbangkan probabilitas keruntuhan yang tidak
jauh berbeda dan panjang split set yang sesuai dengan kondisi geometri bukaan,
maka sistem penyangga yang tepat untuk diterapkan pada Cross cut 12 ACC yaitu
split set dengan panjang 2,4 m, shotcrete dengan tebal 100 mm, wire mesh dan H-
Beam (model VI).
77