Yahdi AZZUHRY, 2014. Tesis Analisis Stabilitas dan Mekanisme Keruntuhan Lereng Batuan
Sedimen Tambang Terbuka Batubara Kecamatan Muaralawa dan Kecamatan Damai Kabupaten
Kutai Barat Propinsi Kalimantan Timur. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Yahdi AZZUHRY , Ahmad RIFA’I and Wahyu WILOPO. 2015. WSNG III Indonesian Rock
Mechanics Society. Stability Analysis and Slope Failure Mechanisms Of Rock Sediment On
Open Pit Coal Mining In Subdistrict Muaralawa and Subdistrict Damai District West Kutai
East Kalimantan Province. Jakarta: ISMR
Talobre (1948) dalam Rai, dkk. (2010) menjelaskan mekanika batuan adalah teknik dan juga sains yang
tujuannya mempelajari perilaku batuan di tempat asalnya agar dapat mengendalikan pekerjaan yang dibuat
pada batuan tersebut seperti penggalian dibawah tanah dan lain-lainnya. Coates (1981) dalam Rai, dkk. (2010)
Mekanika batuan merupakan ilmu yang mempelajari efek dari gaya terhadap batuan, Budavari (1983) dalam
Rai, dkk. (2010) mekanika perpindahan padatan untuk menentukan distribusi gaya-gaya dalam dan deformasi
akibat gaya luar pada suatu benda padat, Jaeger, dkk. (2007) studi sifat perilaku massa batuan yang dikenakan
perubahan tegasan dan kondisi lainnya, Goodman (1989) mekanika batuan berhubungan dengan sifat batuan
dan metodelogi rekayasa. Hudson dan Harrison (1997) mekanika batuan terapan untuk rekayasa memiliki
aspek sisi seni dan ilmu. Dimana menurut Hoek (2006) secara formal pengembangan ilmu mekanika batuan
dimulai pada tahun 1960an.
Palmstrom (1995) struktur massa batuan yang rumit dengan kekurangannya aplikasinya yang luas
menyebabkan permasalahan dalam rekayasa batuan dan konstruksi. West (2010) sifat fisik batuan menentukan
sifatnya sebagai material konstruksi dan sebagai struktur fondasi, sehingga kelas dan pengukurannya dapat
berupa sifat material yang diukur menggunakan percontoh kecil di laboratorium, dan sebagai sifat massa
batuan yang membutuhkan skala besar massa batuan untuk menentukan keseluruhan sifatnya. Tipikal sifat
massa batuan adalah dikontrol oleh bidang-bidang lemah pada batuan daripada sifat padu materialnya.
Sehingga menurut Goodman (1989) batuan menjadi tidak ideal dalam sejumlah hal, dan batuan jarang benar-
benar kontinyu, karena pori-pori atau celah biasanya hadir, seperti microfissure merupakan retakan planar kecil
terjadi dalam batuan padu dan fissure sebagai retakan yang lebih luas.
Secara ideal massa batuan tersusun oleh sistem blok batuan dan fragmen-fragmen yang terpisahkan oleh
diskontinuitas membentuk material dimana semua elemen saling bergantung sebagai suatu satuan (Matula dan
Holer, 1978 dalam Palmstrom, 1995). Material tersebut dikarakteristiki oleh bentuk dan dimensi blok batuan
dan fragmen-fragmen, oleh pengaturan bersama dalam massa batuan, serta oleh karakter kekar seperti kondisi
bidang kekar dan pengisinya (Palmstrom, 1995). Gambar 2.1 di bawah ini menggambarkan skematika
komponen-komponen yang membangun massa batuan di alam, yaitu terdiri dari material batuan berikut
keberadaan diskontinuitas di dalamnya.
Gambar 2.1 Skematik penyusun massa batuan terdiri dari material batuan beserta diskontinuitas di dalamnya
(Palmstrom, 1995).
Hoek (2006) penerapan analisis mekanika batuan membutuhkan model dan data geologi berdasarkan definisi
tipe-tipe batuan, struktur diskontinuitas dan sifat material. Wyllie dan Mah (2004) pengumpulan data
diskontinuitas melalui investigasi geologi dengan melakukan pengkategorian diskontinuitas, termasuk proses
terbentuknya. Wyllie dan Mah (2004) parameter-parameter yang perlu dicatat dalam investigasi geologi
diskontinuitas seperti tipe batuannya, tipe diskontinuitas, skala, orientasi, spasi, persistence, kekasaran,
kekuatan (wall strength), aperture, pengisi, seepage, jumlah set kekar, bentuk dan ukuran blok, serta tingkat
pelapukan tersaji pada gambar 2.2. Palmstrom (1995) secara umum berkaitan dengan investigasi geologi dari
semua hal yang berkaitan dengan mekanika batuan, rekayasa batuan dan desain adalah kualitas geo-data yang
menjadi dasar perhitungan dan estimasi yang dibuat.
Gambar 2.2 Sketsa parameter-parameter untuk mendeskripsikan massa batuan (Wyllie dan Mah, 2004).
a. Tipe Diskontinuitas
Tipe diskontinuitas mulai dari kekar tarik yang terbatas panjangnya, sampai patahan dengan beberapa meter
ketebalan lempung, gauge, dan panjang dalam kilometer (Wyllie dan Mah, 2004), dan menurut Hoek (2006)
semua massa batuan mengandung diskontinuitas. Berbagai tipe diskontinuitas menurut Bieniawski (1989) dan
Hoek (2006) seperti patahan, bidang perlapisan, foliasi, kekar, belahan dan schistositas. Lebih lanjut Giani
(1992) menggolongkan bidang perlapisan, belahan dan schitositas sebagai contoh kerusakan kemas (fabric
defact), sedangkan lipatan, patahan dan kekar sebagai kerusakan struktural (structural defact).
b. Skala Diskontinuitas
Duncan dan Goodman (1968) dalam Giani (1992) membuat klasifikasi diskontinuitas berdasarkan pada
skalanya. Demikian juga Wyllie dan Mah (2004) serta Hoek (2006) membuat ilustrasi skematik transisi skala
berdasarkan peningkatan ukuran percontoh, mulai dari batuan padu sebagai skala terkecil sampai sebagai
massa batuan yang terkekarkan kuat pada skala terbesar. Hoek (2006) analisis sifat mekanika batuan dilakukan
pada setiap skala memiliki formulasi tertentu yang tepat untuk menganalisa permasalahan diskontinuitas. West
(2010) sifat batuan atau sifat material diukur melalui percontoh kecil di laboratorium, sedangkan sifat massa
batuan ditentukan dari keseluruhan sifat volume yang besar melalui pengukuran di lapangan.
Tabel 2.1 Deskripsi karakteristik diskontinuitas berdasarkan skala observasi (Duncan dan Goodman, 1968
dalam Giani, 1992)
Skala
Nama Skala Spasi Asal/Genesa
Obs.
Retakan Makro dan Percontohan Alterasi dan
s < 0,25 cm
Mikro laboratorium retakan tarikan
Rekahan dari
Kekar (A) Dike Penggalian 5 cm < s <
tarikan dan
(B) eksplorasi 6m
tegasan geser
Duncan dan Goodman (1968) dalam Giani (1992) membuat ilustrasi yang cukup detail dalam
pengklasifikasian berbagai karakteristik diskontinuitas berdasarkan skala observasinya, baik jenis, spasi dan
genesa diskontinuitas (Tabel 2.1). Diskontinuitas terkecil berupa retakan mikro dan makro diamati melalui
percontoh laboratorium. Adapun observasi diskontinuitas berupa bidang perlapisan, kekar, dike, zona
hancuran, zona rekahan dan patahan termasuk patahan utama dilakukan melalui observasi secara in situ di
lapangan
c. Orientasi Diskontinuitas
Mekanisme pada formasi batuan menyebabkan diskontinuitas tidak terbentuk seluruhnya berorientasi acak
(Hudson dan Harrison, 1997). Orientasi merefleksikan siknifikansi variasi set diskontinuitas pada massa
batuan (Bieniawski, 1989). Bidang diskontinuitas memiliki strike dan dip, Giani (1992) menyatakan strike
sebagai azimuth, yang diukur searah jarum jam (Wyllie dan Mah, 2004) antara sudut utara dan irisan bidang
diskontinuitas terhadap bidang referensi horizontal. Sedangkan dip menurut Hudson dan Harrison (1997)
merupakan sudut tercuram diskontinuitas terhadap horizontal.
Gambar 2.3 Contoh proyeksi stereografis bidang (N–S, 408W)) dan kutup dari bidang: a) pandangan
menyamping, b) proyeksi sama luas bawah hemisfer
Giani (1992) analisis orientasi diskontinuitas dapat dilakukan melalui proyeksi sperikal, yaitu metode yang
menggunakan analisis hubungan tiga dimensi antara bidang dan garis pada digram dua dimensi. Kelemahan
proyeksi ini adalah kemudahan bergerak dipermukaan, tetapi tidak mampu diputar. Goodman (1989) dan
Wyllie dan Mah (2004) diskontinuitas bisa juga dianalisis menggunkan metode proyeksi stereografi (gambar
2.3), termasuk analisis kinematikanya (Goodman, 1989 dan Wyllie dan Mah, 2004).
d. Spasi Diskontinuitas
Bieniawski (1989) dan Giani (1992), spasi merupakan jarak antara diskontinuitas terdekat yang diukur secara
tegak lurus. Diskontinuitas memiliki frekuensi kemunculan, frekuensi diskontinuitas menunjukkan jumlah
jarak setiap unit berbanding terbalik terhadap spasi. Wyllie dan Mah (2004) spasi dipetakan dari permukaan
batuan dan core bor, dan spasi sebenarnya dihitung dari spasi semu untuk diskontinuitas yang miring terhadap
permukaan (Gambar 2.4). Pengukuran spasi set kekar memberikan ukuran dan bentuk blok. Hasilnya berupa
model stabilitas dan kekuatan massa batuan (Wyllie dan Mah, 2004).
Gambar 2.4 Hubungan antara spasi semu (S apparent) dan spasi sebenarnya (S) dalam satu set diskontinuitas
(Wyllie dan Mah, 2004)
e. Persistence
Menurut Wyllie dan Mah (2004) persistence merupakan pengukuran panjang diskontinuitas atau luas
diskontinuitas. Parameter ini menetapkan ukuran blok dan panjang potensi permukaan gelincir. Giani (1992)
persistence secara kasar dapat dikuantifikasi melalui observasi panjang diskontinuitas pada permukaan batuan.
Pahl (1981) dalam Wyllie dan Mah (2004) membuat perhitungan panjang diskontinuitas, dengan asumsi
panjang merupakan distribusi.
(1 m) (2.1)
l H'
(1 m)
L1.L2 (2.2)
H'
( L1. cos L2 . sin )
( Nt Nc ) (2.3)
m
( N " 1)
Dengan l merupakan rata panjang persistence, L1 dan L2 ukuran panjang dan lebar daerah yang dipetakan
(gambar 2.5), Nt dan Nc jumlah diskontinuitas pada area pemetaan singkapan, N total diskontinuitas
Gambar 2.5 Pengukuran spasi dan persistence diskontinuitas (Wyllie dan Mah, 2004). Keterangan : c kekar
dalam area, t kekar memotong area, dip
, rata-rata spasi S
f. Kekasaran (Roughness)
Pada analisis orientasi dan persistence, bidang diskontinuitas dianggap sebagai bidang planar, tetapi
permukaannya bisa saja kasar (Hudson dan Harrison, 1997). Giani (1992) parameter kekasaran menunjukkan
indeks tidak rata dan gelombang pada diskontinuitas batuan. Diskontinuitas bergelombang dicirikan oleh skala
indulasi yang besar, sedangkan diskontinuitas tidak rata ditandai oleh skala kekasaran kecil. Selain itu menurut
Wyllie dan Mah (2004) secara umum bentuk permukaan diskontinuitas memiliki permukaan yang kasar, jika
berbentuk indulasi akan memiliki permukaan halus dan jika planar maka bidang permukaannya slickensides.
Giani (1992) profil tingkat kekasaran diskontinuitas dapat diobservasi melalui sepanjang sumbu, yang
diestimasikan sebagai arah potensi pergeseran diskontinuitasnya. Metode pengukurannya dapat dilakukan
melalui berbagai skala, dari skala singkapan yang dilakukan di lapangan, juga melalui skala terkecil di
laboratorium, seperti ilustrasi pada gambar 2.6. Hudson dan Harrison (1997) pengukuran kekasaran dapat pula
dilakukan dengan mereferensi pada chart standard dan formulasi matematik, terpapar pada gambar 2.7. Wyllie
dan Mah (2004) pada tahap investigasi pendahuluan biasanya dilakukan penilaian visual kekasaran, ditetapkan
sebagai Joint Rough Coefficient (JRC) dari Barton (1973). Giani (1992) menyebutkan bahwa nilai kekasaran
permukaan diskontinuitas berguna untuk mengetahui kuat geser, khususnya pada dinding diskontinuitas yang
belum mengalami dislokasi dan belum terisi.
Gambar 2.6 Survey tingkat kekasaran pada skala berbeda dengan referensi untuk keperluan tes kuat geser,
(Giani, 1992) ; dimana i sebagai sudut gelombang, 1) Ukuran shear test laboratorium, 2) Ukuran volume
blok pada in situ test
Wyllie dan Mah (2004) nilai JRC dapat diestimasikan secara visual dengan membandingkan kondisi
permukaan terhadap profil standard berdasarkan kombinasi ketidakteraturan permukaan pada skala beberapa
sentimeter dan gelombangan pada skala beberapa meter (gambar 2.8). Palmstorm (1995) metode JRC dari
Barton (1973) nilainya berkisar dari lima untuk bidang kekar planar sampai dua puluh untuk kekar
bergelombang kasar. Nilai tersebut merupakan perkiraan subyektif dari perbandingan profil kekasaran standar.
Gambar 2.7 Metode alternative untuk estimasi nilai JRC dari pengukuran simpangan dari rata-rata air
(Barton, 1982)
Gambar 2.8 Profil tingkat kekasaran untuk nilai kisaran JRC (Barton dan Choubey, 1977)
g. Kekuatan Dinding (Wall Strength)
Giani (1992) mendefinisikan kekuatan dinding sebagai ekuivalen dengan kuat kompresi pada dinding batuan
berdekatan dari suatu diskontinuitas. Nilainya merupakan komponen penting dari kuat geser dan deformability,
khususnya jika kekar atau diskontinuitas dapat menunjukkan hubungan dari batu ke batu kontak atau batu yang
berkekar tak terisi. Kekuatan dinding bisa lebih rendah daripada kekuatan batuan yang disebabkan oleh
pelapukan atau alterasi. Wyllie dan Mah (2004) kekuatan dinding diskontinuitas mempengaruhi kuat geser
pada permukaan kasar. Deskripsi semi kuantitatif dan kuantitatif kekuatan dinding diperoleh menggunkan palu
geologi, pisau dan Schmidt Hammer (Giani, 1992).
Tabel 2.2 Klasifikasi kekuatan batuan berdasarkan nilai uniaxial compressive strengt/UCS (Wyllie dan Mah,
2004)
UCS
Grade Deskripsi Identifikasi lapangan
(MPa)
Batuan kuat Percontoh hanya berupa chip menggunakan
R6 > 250
sekali palu geologi
Batuan sangat Percontoh membutuhkan banyak pukulan palu
R5 100-250
kuat geologi untuk memecahkannya
Percontoh membutuhkan lebih sekali pukulan
R4 Batuan kuat 50-100
palu geologi untuk memecahkannya
Batuan kuat Percontoh dapat dipecahkan melalui sekali
R3 25-50
menengah pukulan palu geologi
Dapat dikelupas menggunakan pisau secara
R2 Batuan lemah hati-hati, titik lekukan dangkal menggunakan 5,0-25
palu geologi
Batuan sangat Hancur dipukul menggunakan palu geologi dan
R1 1,0-5,0
lemah dapat dikelupas menggunakan pisau
Batuan lemah
R0 Dapat ditusuk menggunakan kuku tangan 0,25-1,0
sekali
Wyllie dan Mah (2004) mengklasifikasikan kekuatan batuan khususnya menjadi tujuh tingkatan (lihat tabel
2.2). Pembagiannya berdasarkan nilai kekuatan uniaxial compressive strength (UCS), mulai dari batuan kuat
sekali untuk nilai UCS lebih besar dari 250 Mpa, sampai batuan sangat lemah dengan nilai UCS berkisar antara
0,25-1,0 Mpa. Adapun metode pengukuran kekuatan kompresi bisa melalui point load test untuk cere bor atau
bongkahan percontoh, dan menggunakan Schmidt Hammer pada permukaan diskontinuitas batuan. Giani
(1992) uji menggunakan Schmidt Hammer dilakukan untuk mengestimasikan joint wall Compressive strength
(JCS), serta berhubungan terhadap densitas batuan yang diujikan.
h. Rongga (Aperature)
Wyllie dan Mah (2004) menjelaskan besarnya rongga diskontinuitas diperoleh dari pengukuran jarak tegak
lurus antara dinding batuan berdekatan dari bidang diskontinuitas yang di dalamnya terisi udara atau air.
Dimana kehadiran rongga pada diskontinuitas akan mempengaruhi nilai kuat massa batuan dan besarnya
hidraulic conductivity air tanah, sehingga berguna untuk memprediksi perilaku massa batuan.
Gambar 2.9 Blok-blok batuan dengan diskontinuitas di dalamnya (Giani, 1992) : a) tertutup, b) terbuka
(rongga), c) terisi
Giani (1992) rongga dibedakan berdasarkan besarnya bukaan diskontinuitas, seperti pada Gambar 2.9. Secara
umum rongga-rongga massa batuan di bawah permukaan adalah kecil, mungkin kurang dari setengah
milimeter. Menurut Wyllie dan Mah (2004) rongga dengan bukaan (> 1 m) sebagai kategori yang besar dan
jika (< 0,1 mm) dikategorikan sangat rapat. Secara lengkap pembangian kategori rongga dilakukan oleh Barton
(1973) lihat tabel 2.3. Giani (1992) asal mula terbentuknya rongga dapat merupakan hasil shear displacement
diskontinuitas dengan kekasaran dan gelombangan cukup besar dari bukaan tarikan, pencucian (outwash),
pelarutan dan dari tarikan diskontinuitas vertikal oleh erosi lembah atau proses glasiasi.
Table 2.3 Deskripsi keadaan rongga pada permukaan diskontinuitas (Barton, 1973)
i. Pengisi (Infilling)
Wyllie dan Mah (2004) mendefinisikan pengisi sebagai material yang memisahkan dinding batuan yang
berdekatan pada suatu diskontinuitas. Giani (1992) pengisi ini biasanya lebih lemah kekuatannya dari batuan
induk. Tipe pengisi bisa berupa pasir, lanau, lempung, breksi, gauge dan mylonit. Adapun untuk mineral
pengisi seperti kalsit, kuarsa dan pirit memiliki kekuatan yang tinggi. Sehingga secara mekanika material
pengisi ini mempengaruhi kuat geser diskontinuitas. Lebih lanjut menurut Wyllie dan Mah (2004) material
pengisi dapat dipergunakan untuk memprediksi perilaku diskontinuitas batuan.
Berdasarkan pola pengisi, akan dijumpai dua tipe utama pengisi pada diskontinuitas, yang sekaligus dapat
dipergunakan untuk memprediksi arah bukaan rekahan dan kecepatannya terbentuk dapat dilihat pada gambar
2.10 (Pluijm dan Marshak, 2004). Pada pekerjaan survey geologi terhadap singkapan batuan menurut Giani
(1992) serta Wyllie dan Mah (2004) berbagai sifat fisik diskontinuitas berikut harus dicatat seperti :
meneralogi, tingkatan dan ukuran partikel, kandungan air dan permeabilitas, perpindahan geser sebelumnya
(offset), kekasaran dinding, lebar, rekahan dan hancuran dinding batuan dan rasio over-cosolidation.
Gambar 2.10 Tipe urat pengisi (Pluijm dan Marshak, 2004) : (a) blocky vein, (b) fibrous vein, (c) dan (d)
arah bukaan diskontinuitas sama dengan sumbu fiber
Sehingga berdasarkan parameter deskripsi tersebut di atas dipergunakan untuk memenuhi berbagai hal berikut
ini (Giani, 1992) :
2) Tipe pengisi : Mineralogi, ukuran partikel, tingkat pelapukan, parameter indeks batuan dan tanah,
potensi pengembangan.
3) Kekuatan pengisi : Indeks manual kekuatan dan kekerasan batuan dan tanah ditentukan oleh penetrasi,
penghancuran, penggoresan material menggunakan tangan, pisau atau palu geologi, kuat geser, rasio
over-consolidation untuk dinding yang bergeser atau yang masih tetap.
4) Seepage : Estimasi kandungan air dan permeabilitas menggunakan uji cepat secara in situ.
j. Seepage
Seepage berhubungan dengan aliran air dan uap bebas pada diskontinuitas atau massa batuan. Umur
diskontinuitas dan asal mula kejadiannya adalah penting untuk menilai transmisivity air (Giani, 1992), karena
mampu menyediakan informasi keadaan bukaan atau celah tempat mengalirnya air melalui struktur sekunder.
Kategori seepage bervariasi dari kering sampai mengalir kontinyu, sehingga observasi menunjukkan posisi
muka air tanah dan tinggi-rendah konduktifitas batuan (Wyllie dan Mah, 2004).
Iklim turut mempengaruhi keterdapatan seepage, dan besarnya infiltrasi air tanah (Wyllie dan Mah, 2004).
Infiltrasi air tanah dinilai berdasarkan faktor-faktor penting yang mempengaruhinya seperti meteorologi,
morfologi dan geologi hidrogeologi (Celico, 1986 dalam Giani, 1992).
k. Jumlah Set Diskontinuitas
Giani (1992) parameter set diskontinuitas mengekspresikan jumlah set-set yang membentuk sistem
diskontinuitas dan saling memotong. Massa batuan memiliki sejumlah set diskontinuitas yang saling
memotong satu sama lain. Hudson dan Harrison (1997) secara konseptual suatu set terdiri dari diskontinuitas
paralel atau sub-paralel. Sehingga geometri massa batuan dikarakteristiki oleh jumlah set diskontinuitas.
Wyllie dan Mah (2004) jumlah set diskontinuitas yang saling berpotongan satu sama lain akan
menginformasikan luasan massa batuan yang terdeformasi tanpa menghancurkan batuan padu. Contohnya
peningkatan jumlah set maka ukuran blok akan berkurang, besarnya kesempatan bongkahan berotasi,
perubahan dan hancuran akibat kerja beban. Jumlah set umumnya fungsi ukuran wilayah yang dipetakan
pemetaannya harus membedakan antara diskontinuitas sistematik sebagai bagian anggota set dan
diskontinuitas acak, dimana orientasinya tidak terprediksikan.
m. Pelapukan (Weathering)
Pelapukan batuan adalah proses yang menyebabkan alterasi batuan, disebabkan oleh air, karbon dioksida dan
oksigen (Giani, 1992), atau proses eksternal menyebabkan hilang dan berubahnya sifat asal mula menjadi
kondisi yang baru. Prosesnya melibatkan agen-agen fisika, kimia, biologi (Bates, 1987), atau melalui proses
mekanika dan dipengaruhi oleh keadaan iklim (Giani, 1992). Wyllie dan Mah (2004) pelapukan berbentuk
desintegrasi dan dekomposisi. Desintegrasi adalah hasil perubahan lingkungan, seperti kelembaban,
pembekuan dan pemanasan. Sedangkan dekomposisi menunjukkan perubahan batuan oleh agen-agen kimia
seperti proses oksidasi pada batuan mengandung besi, hidrasi seperti perubahan feldspar menjadi kaolinit, dan
karbonisasi seperti pelarutan batugamping.
Giani (1992) dampak pelapukan tidak hanya terbatas di permukaan saja tetapi lebih dalam, umumnya pada
kedalaman yang dangkal, tergantung kehadiran saluran yang memungkinkan aliran air dan kontak dengan
atmosfer. Wyllie dan Mah (2004) berkurangnya kekuatan batuan oleh pelapukan akan mengurangi kuat geser
diskontinuitas. Sehingga pelapukan juga akan mengurangi kuat geser massa batuan diakibatkan pengurangan
kekuatan batuan padu. pelapukan menghasilkan pengurangan kompetensi batuan dari sudut pandang
engineering atau mekanika batuan (Giani, 1992).
2.5 Sifat Kekuatan Batuan (Rock Strength Properties)
Dalam menganalisis stabilitas lereng batu, faktor yang paling penting untuk dipertimbangkan adalah geometri
massa batuan di bagian belakang permukaan lereng. Hubungan antara orientasi diskontinuitas dan permukaan
galian akan menentukan apakah bagian dari massa batuan bebas untuk meluncur atau roboh, sedangkan faktor
yang paling penting yang mengatur stabilitas adalah kekuatan geser berpotensi permukaan kegagalan (sliding
surface).
Pemilihan kekuatan geser yang tepat dari lereng tergantung terhadap sebagian besar pada skala relatif antara
permukaan geser dan struktur geologi (Hoek, 2006). Misalnya, dalam lereng tambang terbuka diilustrasikan
pada gambar 2.11 dimensi lereng keseluruhan jauh lebih besar dari panjang diskontinuitas, sehingga setiap
sliding surface akan melewati massa batuan joint dan kekuatan batuan yang tepat untuk digunakan dalam
desain lereng pit adalah massa batuan. Sebaliknya, tinggi bench adalah sama untuk panjang sendi sehingga
kestabilan dapat dikendalikan oleh satu sendi saja, serta kekuatan batuan yang sesuai untuk digunakan dalam
desain benches adalah joint set yang dari dips permukaan. Akhirnya, pada skala kurang dari spasi joint, blok
batuan utuh terjadi serta kekuatan batuan yang sesuai digunakan dalam penilaian pengeboran, dan blasting
metode, misalnya akan terutama yang dari batuan utuh.
Berdasarkan hubungan antara ukuran sampel dan karakteristik kekuatan batuan, Wyllie dan Mah (2004)
menjelaskan metode penentuan kekuatan menjadi tiga kelas batuan sebagai berikut:
a. Diskontinuitas ; Bedding tunggal, joints atau faults. Sifat diskontinuitas yang mempengaruhi kekuatan
geser termasuk bentuk dan kekasaran permukaan, batuan di permukaan yang mungkin fresh atau
weathered (lapuk), dan infillings yang mungkin berkekuatan rendah atau kohesif.
b. Rock mass (massa batuan) ; Faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan geser dari massa batuan
jointed meliputi compressive strength (kuat tekan) dan friction angle (sudut gesekan) dari batuan utuh
(intact rock), dan jarak atau spasi dari diskontinuitas serta kondisi permukaan lereng.
c. Intact rock (batuan utuh) ; Faktor yang harus dipertimbangkan dalam mengukur kekuatan batuan utuh
adalah bahwa kekuatan bisa berkurang seiring umur desain lereng akibat pelapukan (weathering).
Gambar2.11 Diagram ideal menggambarkan transisi skala dari batuan padu sampai massa batuan
terkekarkan kuat melalui peningkatan skala ukuran sampel (Hoek, 2006)
Dalam desain lereng batuan, bahan batuan diasumsikan berdasarkan teori Coulomb dimana kekuatan geser
permukaan sliding dinyatakan dalam hal kohesi (c) dan sudut geser (φ) (Coulomb, 1773 dalam Wyllie dan
Mah, 2004). Untuk planar, diskontinuitas bersih atau tidak ada infilling, kohesi akan menjadi nol dan kekuatan
geser akan ditentukan semata-mata oleh sudut gesekan. Sudut gesekan dari material batuan berkaitan dengan
ukuran dan bentuk butir terpapar pada permukaan fraktur. Batu halus dan batuan dengan kandungan mika
tinggi akan cenderung memiliki sudut gesekan rendah, sementara batu kasar seperti granit, akan memiliki sudut
gesekan tinggi (Barton, 1973). Namun, jika diskontinuitas berisi infilling, sifat kekuatan geser fraktur sering
diubah, dengan kohesi dan sudut geser dari permukaan dipengaruhi oleh ketebalan dan sifat infilling.
Kehadiran infillings sepanjang permukaan diskontinuitas dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap
stabilitas. Sangat penting bahwa infilling diidentifikasi di dalam kegiatan investigasi, dan parameter kekuatan
yang tepat untuk digunakan dalam desain. Pengaruh infilling terhadap kekuatan geser akan tergantung pada
ketebalan dan sifat kekuatan material infilling. Sehubungan dengan ketebalan infilling, jika lebih dari sekitar
25-50% akan ada sedikit atau tidak ada kontak antar batuan, dan sifat kekuatan geser fraktur akan menjadi sifat
infilling (Goodman, 1970).
Prilaku Shear Strength dan displacemen merupakan faktor tambahan untuk dipertimbangkan mengenai
kekuatan geser isian diskontinuitas. Dalam menganalisis stabilitas lereng, perilaku ini akan menunjukkan
apakah ada kemungkinan menjadi pengurangan kekuatan geser dengan perpindahan. Dalam kondisi di mana
ada penurunan yang signifikan dalam kekuatan geser dengan perpindahan, kegagalan lereng dapat terjadi tiba-
tiba setelah gerakan dalam jumlah kecil.
Isian diskontinuitas dapat dibagi menjadi dua kategori umum, tergantung pada apakah telah terjadi
perpindahan sebelumnya diskontinuitas (Barton, 1974). Pertama recently displaced discontinuities,
diskontinuitas ini meliputi faults, shear zones, clay mylonites dan bedding-surface slips. Kedua undisplaced
discontinuities, diskontinuitas pengisi yang tidak mengalami perpindahan sebelumnya termasuk batuan beku
dan metamorf yang telah lapuk di sepanjang diskontinuitas untuk membentuk lapisan lempung. Selain isian
diskontinuitas pengaruh yang paling penting adalah keberedaan air dalam diskontinuitas, dimana
menyebabkan kekuatan geser berkurang akibat pengurangan efektif tegangan geser yang normal yang bekerja
pada permukaan (Wyllie dan Mah, 2004).
a. Discontinuity shear strength (kekuatan geser dari diskontinuitas) dapat diukur di lapangan dan
laboratorium.
b. Rock mass shear strength (kekuatan geser massa batuan) ditentukan oleh metode empiris dengan cara
analisis balik dari lereng yang dipotong dalam kondisi geologi sama, atau melalui perhitungan yang
melibatkan indeks kekuatan batuan.
Berbagai kondisi kekuatan geser yang mungkin ditemui di lereng batu seperti yang diilustrasikan pada Gambar
2.12 jelas menunjukkan pentingnya memeriksa baik karakteristik diskontinuitas dan kekuatan batuan selama
site investigation.
Gambar 2.12. Hubungan Antara Geologi dan Kelas Kekuatan Batuan (Wyllie dan Mah, 2004)
3.3 Klasifikasi Masa Batuan
Hoek (2006) mencatat sejarah skema klasifikasi massa batuan telah dikembangkan lebih dari 100 tahun,
dimulai oleh Ritter (1879) mencoba untuk memformulasikan pendekatan emperis untuk desain terowongan,
khususnya untuk menentukan kebutuhan pendukung (Rai, 2010). Umumnya skema klasifikasi dengan multi-
parameter, dikembangkan atas dasar sejarah rekayasa sipil, dimana semua karakter rekayasa geologi massa
batuan meliputi di dalamnya.
Cukup banyak metode pengklasifikasi kualitas massa batuan yang ada, diantarnya yang terkenal dan sering
digunakan seperti yang dikembangkan oleh Terzaghi (1946), Lauffer (1958), Deere, dkk. (1967), Wickham,
dkk. (1972), Bieniawski (1973), dan Barton, dkk. (1974). Klasifikasi geomekanika Rock Mass Rating (RMR)
yang dikembangkan oleh Bieniawski (1973 dan 1989), dan Q-System yang dikembangkan oleh Barton dkk.
(1974), Geological Strength Index (GSI) oleh Hoek (1994) dan Hoek, dkk. (1995). Klasifikasi geomekanika
secara umum dikembangkan untuk rekayasa terowongan, lereng batuan, fondasi, penilaian stabilitas tanah, dan
masalah pertambangan. Metode klasifikasi massa batuan tersebut memainkan peran penting evaluasi kualitas
massa batuan secara komprehensif. Terutama dalam memprediksi dan memberikan dukungan persyaratan
untuk pekerjaan rekayasa pada massa batuan. Menurut beberapa pihak termasuk Bieniawski (1973), bahwa
klasifikasi massa batuan dibuat untuk memenuhi kepentingan berikut :
Hoek (2006) penerapan sistem klasifikasi pada lokasi yang berbeda, maka berbeda pula variasi parameternya,
dan direkomendasikan menggunakan dua metode klasifikasi sekaligus pada berbagai lokasi pada tahap awal
pekerjaan. Klasifikasi geomekanika metode RMR Bieniawski (1973) selain untuk mengetahui kualitas massa
batuan juga diaplikasikan untuk penuntun perkiraan umur terowongan dan pendukungnya. Q-system oleh
Barton, dkk. (1974) dikembangkan untuk aplikasi konstruksi terowongan modern dan penguatan terowongan.
Metode GSI (Hoek, 1994) selain untuk mengetahui kualitas massa batuan, aplikasinya digunakan untuk
mengestimasi modulus deformasi dan kekuatan massa batuan. Khusus untuk metode GSI dikembangkan untuk
mengakomodasi kekurangan metode RMR, untuk diterapkan pada batuan dengan kualitas buruk dan litologi
khusus tertentu.
3.3.1 Rock Mass Rating (RMR)
Bieniawski (1989) klasifikasi geomekanika Rock Mass Rating (RMR) dikembangkan oleh Beniawski, yang
selanjutnya mengalami modifikasi beberapa kali. Pada tahap awal dimaksudkan untuk aplikasi pekerjaan
terowongan dan pertambangan, namun kini telah dikembangkan untuk desain galian lereng dan fondasi. Pada
aplikasi sistem klasifikasi ini, massa batuan dibagi menjadi sejumlah wilayah struktural dan setiap wilayah
kurang lebih memiliki ciri yang seragam. Batas dari wilayah struktural biasanya serupa dengan ciri struktur
utama seperti patahan, dike, zona shear, dan lain sebagainya. Lebih lanjut Hoek (2006) mengilustrasikan dalam
beberapa kondisi, yaitu karena perubahan siknifikan pada spasi diskontinuitas atau karakter diskontinuitas
untuk tipe batuan yang sama, mungkin mengharuskan pembagian massa batuan ke dalam sejumlah kecil
wilayah struktural pada metode RMR.
Sistem klasifikasi massa batuan dengan RMR dari Bieniawski (1973) menggunakan enam parameter dasar
untuk pengklasifikasian dan evaluasi hasil uji. Keenam parameter tersebut membantu perkiraan lebih lanjut
hasil analisis stabilitas sampai permasalahan khusus geomekanika batuan. Keenam parameter yang digunakan
untuk menentukan nilai RMR meliputi kuat tekan uniaksial (uniaxial compressive stress, UCS), rock quality
designation (RQD), spasi diskontinuitas, keadaan diskontinuitas, keadaan air tanah dan orientasi diskontinuitas
(Bieniawski, 1989).
Tabel 3.1 Indeks kekuatan material batuan utuh - UCS (Bieniawski, 1989)
International Society for Rock Mechanics (ISRM) merekomendasikan ukuran inti pemboran sekurangnya
memiliki diameter 54,7 mm dengan tabung ganda pipa inti, dengan panjang core bor maksimum 1,5 m. Pada
proses pengeboran batuan harus dilakukan secara hati-hati supaya kor bor tidak menjadi patah (Bieniawski,
1989).
RQD
Panjang Potongan Inti Bor 10cm
x 100%
(3.5)
Metode tidak langsung lainnya dengan metode volumetri kekar yang dikemukakan oleh Palmstrom (1982)
dalam Bieniawski (1989). Jika tidak terdapat inti bor, maka nilai RQD bisa diestimasikan dari hubungan antara
jumlah kekar per satuan kubik massa batuan (persamaan 3.6).
Dimana Jv merupakan total jumlah kekar per meter kubik massa batuan.
Gambar 3.10 Prosedur pengukuran dan perhitungan nilai RQD berdasarkan kor bor (Deere, 1989 dalam
Hoek, 2006)
Tabel 3.2 Indeks Rock Designation Quality (RQD) (Bieniawski, 1989)
c. Spasi diskontinuitas
Merupakan jarak antara bidang lemah dengan arah tegak lurus terhadap bidang lemah tersebut. Bentuknya bisa
berupa kekar, zona shear, patahan minor atau permukaan bidang lemah lainnya. Sesuai dengan peringkat yang
dibuat oleh Beniawski (1989) terdapat lima klasifikasi spasi diskontinuitas seperti termuat pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Indeks Spasi Diskontinuitas (Bieniawski, 1989)
Keadaan diskontinu Spasi (m) Bobot
Sangat lebar >2 20
lebar 0,6 - 2 15
Sedang 0,2 - 0,6 10
Rapat 0,06 - 0,2 8
Sangat rapat < 0,06 5
d. Kondisi diskontinuitas
Parameter lain yang berguna untuk mendapatkan peringkat massa batuan (RMR) yaitu paramer kondisi atau
keadaan dari bidang diskontinuitas yang terdapat pada massa batuan tersebut. Meliputi kekasaran permukaan
diskontinuitas, pesistence, kemenerusan, pelapukan batuan dan bidang lemah tersebut, material pengisi, seperti
pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4 Indeks kondisi bidang lemah/diskontinuitas (Bieniawski, 1989)
Bobot
Parameter
6 4 2 1 0
Panjang <1m 1-3m 3-10m 10-20m >20m
Bukaan None <0,1mm 0,1-1mm 1-5mm >5mm
Kasar Sangat kasar Kasar Agak kasar Halus Sangat halus
Pengisi None Keras <5 Karas >5 Lunak <5 Lunak >5
Pelapukan Tidak lapuk Sedikit Menengah Tinggi Kuat sekali
Inflow/10m panjang
None <10 10-25 25-125 > 125
terowongan (liter/menit)
Tekanan air pada
kekar/tegasan utama 0 0-0,1 0,1-0,2 0,2-0,5 >0,5
dominan
Keadaan umum Kering lembab basah menetes mengalir
Bobot 15 10 7 4 0
f. Orientasi diskontinuitas
Nilai srike dan dip merepresentasikan orientasi dan kemiringan dari bidang diskontinuitas, sebagaimana telah
dijelaskan pada sub-bab sebelumnya di atas. Nilai srike dan dip pada pekerjaan rekayasa batuan berhubungan
dengan prediksi stabilitasa massa batuan dan arah penggalian, serta sangat berperan untuk memberikan
penilaian kuantitatif bidang diskontinuitas yang kritis pada penggalian terowongan dan rekayasa lereng pada
batuan. Nilai orientasi bidang diskontinuitas terhadap lereng memiliki variasi penilaian kualitatif dan
kuantitatif yang sedikit berbeda antara satu dengan lainnya (Tabel 3.6).
Penilaian arah
Sangat baik Baik cukup Tidak baik Sangat tidak baik
kekar untuk
Terowongan 0 -2 -5 -10 -12
Fondasi 0 -2 -7 -15 -25
Lereng 0 -2 -25 -50 -60
Uraian keenam parameter diatas digabung dalam Tabel 3.7 dan berdasarkan utaian tersebut nilai RMR yang
diperoleh pada perhitungan parameter-parameter di atas, Bieniawski (1989) membuat klasifikasi massa batuan
menjadi 5 (lima) kelas seperti yang ditunjukkan Tabel 3.8 di bawah.
Parameter Bobot
Nilai RMR 81 - 100 61 - 80 41 - 60 21 – 40 < 20
Nomor Kelas RMR I II III IV V
Nilai GSI 76 - 95 56 - 75 36 - 55 21 - 35 < 20
Kualitas Massa
Sangat baik baik sedang Buruk Sangat buruk
Batuan
Tabel 3.7 Ringkasan Rock Mass Rating System (Bieniawski, 1989)
dimana RMRbasic dievaluasi menurut Bieniawski (1979 dan 1989) dengan menambahkan nilai rating untuk
lima parameter: (i) kekuatan batuan utuh, (ii) RQD, (iii) jarak diskontinuitas, (iv) kondisi diskontinuitas, dan
(v) aliran air melalui diskontinuitas atau rasio tekanan pori. F1, F2, dan F3 merupakan faktor penyesuaian yang
berkaitan dengan orientasi kekar (joint) sehubungan dengan orientasi kemiringan atau lereng, dan F4 adalah
faktor koreksi untuk metode penggalian.
F1 tergantung pada paralelisme antara joint dan Slope face srike. Nilainya antara 0,15 – 1,0. Nilai 0,15
digunakan ketika sudut antara critical joint plane dan slope face lebih dari 30 derajat dan probabilitas
kegagalan sangat rendah bernilai 1.0 ketika keduanya mendekati paralel. Nilai-nilai tersebut cocok dengan
hubungan pada rumus (2.11), dimana A menunjukkan sudut antara strikes of slope face dan joints.
F1 = (1 – Sin A)2
(3.8)
F2 mengacu pada sudut joint dip (Bj) pada longsoran berjenis planar. Nilainya bervariasi antara 1,00 – 0,15.
Nilai 0,15 digunakan ketika kemiringan critical joint adalah kurang dari 20 derajat dan 1,0 untuk joint dengan
dips lebih besar dari 45 derajat. Untuk longsoran berjenis toppling maka F2 tetap 1,00, dan nilai tersebut dapat
dicari dengan hubungan:
F2 = tan2Bj (3.9)
F3 mencerminkan hubungan antara slope dan joints dips. Hubungan tersebut mudah dilihat di longsoran
berjenis planar, dimana F3 mengacu pada probabilitas dari joints “day-lighting” dalam slope face. Kondisi ini
disebut “fair” ketika slope face dan joints sejajar. Jika kemiringan dips 10 derajar lebih dari joint, kondisi
tersebut sangat tidak menguntungkan. Untuk longsoran toppling kondisi yang tidak menguntungkan
tergantung pada penjumlahan dips dari joint dan lereng. Nilai F3 juga bisa diambil dari Bieniawski Adjustment
Rating For Joint Orientation.
F4 merupakan faktor penyesuaian untuk metode penggalian. Ini mencakup lereng alam atau kemiringan lereng
penggalian sebelum dilakukan penggalian, smooth blasting, normal blasting, poor blasting dan penggalian
mekanik. Faktor penyesuaian tersebut telah ditetapkan secara empirik sebagai berikut:
a. Lereng alamiah lebih stabil karena terbentuk akibat proses erosi dalam waktu yang lama dan ada
mekanisme penahan (vegetasi, sedikit air) dengan nilai F4 = +15.
b. Penggunaan teknik peledakan presplitting meningkatkan stabilitas lereng untuk suatuk las setengah,
F4 = +10.
c. Penggunaan teknik peledakan smooth blasting dengan lubang-lubang yang baik, juga meningkatkan
stabilitas lereng, F4 = +8.
d. Teknik peledakan normal. Penggunaan dengan sound method, tidak mengubah stabilitas lereng, F4 =
0.
e. Peledakan yang tidak efisien, sering terlalu banyak bahan peledak, tidak menggunakan peledakan
beruntun (delay) atau lubang ledak tidak sejajar, stabilitas buruk, F4 = - 8.
f. Penggalian lereng dengan peralatan gali, selalu dengan ripper, hanya dapat dilakukan pada batuan
lemah dan atau di batuan terkekarkan, dan sering digabungkan dengan peledakan. Bidang lereng sulit
untuk diakhiri. Metode ini bisa bertambah atau berkurang tingkat kemantapan lereng, dapat diberi
nilai F4 = 0.
Tabel 3.9. Faktor Penyesuaian untuk kekar dan diskripsi dari kelas SMR (Romana, 2003)
Hasil data pengeboran juga dapat menggunakan estimasi GSI untuk penentuan kualitas massa batuannya. Yaitu
melalui ekstrapolasi lubang bor, sehingga diperoleh informasi tiga dimensi massa batuan. Investigasi lubang
bor bersifat multiple dan miring akan membantu interpretasi karakteristik massa batuan pada suatu kedalaman.
Untuk kondisi lain seperti peledakan, penilaian besaran GSI sulit diterapkan pada lapangan yang berhubungan
dengan kerusakan yang diakibatkan oleh ledakan. Karena ada perbedaan kondisi kenampakan permukaan
batuan yang tergali oleh kontrol ledakan dan permukaan yang terusakkan oleh sisa ledakan. Sehingga
permukaan yang belum rusak harus digunakan untuk mengestimasi nilai GSI (Hoek, 2006).
Adapun hubungan kualitas massa batuan menggunakan metode RMR dan GSI adalah sangat erat sekali, karena
seperti yang telah dijelaskan di atas oleh Hoek (2006) bahwa GSI dibuat untuk menyempurnakan dan
perpedoman dari metode RMR dalam estimasi kualitas massa batuan yang rendah pada tahap awal
pengembangannya. Dan parameternya secara umum didasarkan pada RMR.
Hoek, dkk. (1998) membuat ilustrasi hubungan formulatif atau kuantitatif antara sistem GSI dan sistem RMR
dari Bieniawski dalam menentukan kualitas massa batuan. Dimulai dari penggunaan bobot massa batuan RMR
dari Bieniawski (1976), untuk mengestimasikan nilai GSI. Pada kondisi ini massa batuan diasumsikan benar-
benar kering dan diberikan bobot 10 untuk nilai air tanah. Orientasi kekar diasumsikan sangat baik dan
penyesuaian nilai orientasi set kekar menjadi nol. Bobot akhirnya disebut RMR76, dan dapat kemudian
digunakan untuk mengestimasi nilai GSI.
Klasifikasi RMR Bieniawski (1989) dapat digunakan untuk mengestimasikan nilai GSI seperti halnya versi
tahun 1976. Pada keadaan ini nilai 15 diberikan untuk bobot air tanah dan penyesuaian untuk orientasi kekar
juga menjadi nol. Sebagai catatan nilai minimum yang dapat diperoleh dari klasifikasi RMR 1989 adalah 23
dan bahwa, secara umum nilainya sedikit lebih tinggi dari pada klasifikasi 1976. Bobot akhirnya disebut
RMR89, dapat digunakan untuk estimasi nilai GSI :
Untuk nilai RMR89 < 23, klasifikasi Bieniawski (1976) tidak dapat digunakan untuk mengestimasi
nilai GSI, sehingga alternatif lainnya harus menggunakan nilai Q-system dari Barton, et.al. (1974).
Tabel 3.10 Geological Strength Index untuk Jointed Rock Messes (Hoek dan Marinos, 2000)
3.4 Analisis Kesetabilan Lereng
Analisis kesetabilan lereng merupakan tindakan untuk mengetahui kondisi suatu lereng dengan tujuan
memperkirakan bentuk keruntuhan dan menentukan tingkat kerawanan lereng terhadap longsoran serta
rancangan lereng yang memenuhi kriteria keamanan.
Proyeksi stereografik dari elemen garis menjadi pertimbangan yang relevan dengan analisis lereng batuan.
Pembagian tiga elemen garis dasar massa batuan yaitu dip vektor (D̂) menunjuk ke kemiringan bidan lemah,
vektor normal (N̂i) menunjukkan arah tegak lurus terhadap bidang lemah dan garis persimpangan atau line
intersection (Îij) bidang lemah i dan j seperti yang terpapar dalam gambar 3.11a. Garis persimpangan Îij dari
dua bidang i dan j dapat ditemukan sebagai titik perpotongan lingkaran besar setiap bidang, seperti terlihat
pada gambar 3.11b. alternatif, Îij ditentukan sebagai garis tegak lurus terhadap lingkaran besar yang berisi
vektor normal N̂i dan N̂j. Setelah semua elemen garis D̂, N̂, dan Î diplot untuk massa batuan, persyaratan
kinematik terhadap analisa kegagalan lereng mungkin dapat diperiksa dari strike dan dip pada lereng batuan.
a) b)
Gambar 3.11. Proyeksi stereografik dari elemen garis yang relevan untuk analisis lereng batuan (Goodman,
1989)
a. Analisis kinematik pada plane sliding atau plane failure
Pertimbangkan pada plane sliding atau plane failure di bawah gravitasi setiap blok cenderung untuk meluncur
di permukaan apabila bidang tunggal sejajar dengan kemiringan bidang lemah D̂i. Jika lereng dipotong pada
sudut α, D̂ menunjuk ke free space penggalian dan plunge pada suatu sudut kurang dari α maka akan terjadi
keruntuhan Gambar 3.12a dan Gambar 3.12b.
a) b)
c)
1) Jika pemotongan dibuat searah dengan bidang 1 dan 3 atau bidang 1 dan 2 maka akan berpotensi
Wedge failure.
2) Jika dipotong pada sudut α, ditentukan oleh kemiringan lingkaran besar yang melewati Î13 dan
pemotongan pada arah strike maka hanya wedge ditentukan oleh bidang 1 dan 2 yang mampu geser.
3) Selain itu, karena Î12 akan terjun pada sudut yang rendah maka tidak mungkin menyebabkan masalah.
Gambar 3.13 Contoh kinematik tes untuk wedge failure (Goodman, 1989)
a) b)
Gambar 3.14 Kinematik tes untuk toppling failure (Goodman, 1989)
a) (90 – δ) + 𝜙j < α. b) N̂ plot berada di zona berbayang