Anda di halaman 1dari 32

Yahdi Azzuhry – Rock Mechanics

Yahdi AZZUHRY, 2014. Tesis Analisis Stabilitas dan Mekanisme Keruntuhan Lereng Batuan
Sedimen Tambang Terbuka Batubara Kecamatan Muaralawa dan Kecamatan Damai Kabupaten
Kutai Barat Propinsi Kalimantan Timur. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Yahdi AZZUHRY , Ahmad RIFA’I and Wahyu WILOPO. 2015. WSNG III Indonesian Rock
Mechanics Society. Stability Analysis and Slope Failure Mechanisms Of Rock Sediment On
Open Pit Coal Mining In Subdistrict Muaralawa and Subdistrict Damai District West Kutai
East Kalimantan Province. Jakarta: ISMR

2.4 Mekanika Batuan (Rock Mechanics)

Talobre (1948) dalam Rai, dkk. (2010) menjelaskan mekanika batuan adalah teknik dan juga sains yang
tujuannya mempelajari perilaku batuan di tempat asalnya agar dapat mengendalikan pekerjaan yang dibuat
pada batuan tersebut seperti penggalian dibawah tanah dan lain-lainnya. Coates (1981) dalam Rai, dkk. (2010)
Mekanika batuan merupakan ilmu yang mempelajari efek dari gaya terhadap batuan, Budavari (1983) dalam
Rai, dkk. (2010) mekanika perpindahan padatan untuk menentukan distribusi gaya-gaya dalam dan deformasi
akibat gaya luar pada suatu benda padat, Jaeger, dkk. (2007) studi sifat perilaku massa batuan yang dikenakan
perubahan tegasan dan kondisi lainnya, Goodman (1989) mekanika batuan berhubungan dengan sifat batuan
dan metodelogi rekayasa. Hudson dan Harrison (1997) mekanika batuan terapan untuk rekayasa memiliki
aspek sisi seni dan ilmu. Dimana menurut Hoek (2006) secara formal pengembangan ilmu mekanika batuan
dimulai pada tahun 1960an.

2.4.1. Sifat Masa Batuan (Rock Mass Properties)


Bieniawski (1989) batuan selaku material penyusun lahan dalam geoteknik, khususnya dalam mekanika batuan
dianggap sebagai satu kesatuan massa. Oleh karena itu sifatnya dianggap sebagai sifat massa. Sifat massa ini
berfungsi dan bekerja menyangga beban-beban yang terdapat di atasnya dan di dalamnya. Sehingga dalam
desain dan pembuatan konstruksi harus memperhatikan kekuatan dan pola dikontinuitas pada massa batuan.
Hudson dan Harrison (1997) batuan sebagai material digunakan untuk membangun struktur, atau suatu
struktur dibangun di atas atau dalam batuan (massa batuan). Wyllie dan Mah (2004) massa batuan merupakan
material-material batuan yang mengalami proses kerusakan (failure) yang kompleks. West (2010) sifat massa
batuan meliputi semua karakteristik suatu massa batuan yang berhubungan dengan rekayasa konstruksi.
Sehingga menurut Hoek (2006) estimasi kekuatan dan deformasi massa batuan dibutuhkan untuk estimasi
dukungan (support) dan berbagai analisis seperti desain lereng, fondasi dan penggalian bawah permukaan,
West (2010) pekerjaan rekayasa pemotongan jalan dan bendungan.

Palmstrom (1995) struktur massa batuan yang rumit dengan kekurangannya aplikasinya yang luas
menyebabkan permasalahan dalam rekayasa batuan dan konstruksi. West (2010) sifat fisik batuan menentukan
sifatnya sebagai material konstruksi dan sebagai struktur fondasi, sehingga kelas dan pengukurannya dapat
berupa sifat material yang diukur menggunakan percontoh kecil di laboratorium, dan sebagai sifat massa
batuan yang membutuhkan skala besar massa batuan untuk menentukan keseluruhan sifatnya. Tipikal sifat
massa batuan adalah dikontrol oleh bidang-bidang lemah pada batuan daripada sifat padu materialnya.
Sehingga menurut Goodman (1989) batuan menjadi tidak ideal dalam sejumlah hal, dan batuan jarang benar-
benar kontinyu, karena pori-pori atau celah biasanya hadir, seperti microfissure merupakan retakan planar kecil
terjadi dalam batuan padu dan fissure sebagai retakan yang lebih luas.

Secara ideal massa batuan tersusun oleh sistem blok batuan dan fragmen-fragmen yang terpisahkan oleh
diskontinuitas membentuk material dimana semua elemen saling bergantung sebagai suatu satuan (Matula dan
Holer, 1978 dalam Palmstrom, 1995). Material tersebut dikarakteristiki oleh bentuk dan dimensi blok batuan
dan fragmen-fragmen, oleh pengaturan bersama dalam massa batuan, serta oleh karakter kekar seperti kondisi
bidang kekar dan pengisinya (Palmstrom, 1995). Gambar 2.1 di bawah ini menggambarkan skematika
komponen-komponen yang membangun massa batuan di alam, yaitu terdiri dari material batuan berikut
keberadaan diskontinuitas di dalamnya.

Gambar 2.1 Skematik penyusun massa batuan terdiri dari material batuan beserta diskontinuitas di dalamnya
(Palmstrom, 1995).

2.4.2. Karakteristik Geomekanika Diskontinuitas


Diskontinuitas dalam mekanika batuan, merupakan istilah umum yang digunakan sebagai istilah untuk batuan
yang mengalami kerusakan (Giani, 1992). Bates (1987) istilah diskontinuitas secara umum dapat berbentuk
diskontinuitas stratigrafi, seismik dan struktur geologi. Hudson dan Harrison (1997) satu dari banyaknya aspek
fundamental kehadiran diskontinuitas adalah nilai rata-rata dan distribusi spasi antara diskontinuitas, indeks
asosiasi frekuensi diskontinuitas dan Rock Quality Designation (RQD).

Hoek (2006) penerapan analisis mekanika batuan membutuhkan model dan data geologi berdasarkan definisi
tipe-tipe batuan, struktur diskontinuitas dan sifat material. Wyllie dan Mah (2004) pengumpulan data
diskontinuitas melalui investigasi geologi dengan melakukan pengkategorian diskontinuitas, termasuk proses
terbentuknya. Wyllie dan Mah (2004) parameter-parameter yang perlu dicatat dalam investigasi geologi
diskontinuitas seperti tipe batuannya, tipe diskontinuitas, skala, orientasi, spasi, persistence, kekasaran,
kekuatan (wall strength), aperture, pengisi, seepage, jumlah set kekar, bentuk dan ukuran blok, serta tingkat
pelapukan tersaji pada gambar 2.2. Palmstrom (1995) secara umum berkaitan dengan investigasi geologi dari
semua hal yang berkaitan dengan mekanika batuan, rekayasa batuan dan desain adalah kualitas geo-data yang
menjadi dasar perhitungan dan estimasi yang dibuat.
Gambar 2.2 Sketsa parameter-parameter untuk mendeskripsikan massa batuan (Wyllie dan Mah, 2004).

a. Tipe Diskontinuitas
Tipe diskontinuitas mulai dari kekar tarik yang terbatas panjangnya, sampai patahan dengan beberapa meter
ketebalan lempung, gauge, dan panjang dalam kilometer (Wyllie dan Mah, 2004), dan menurut Hoek (2006)
semua massa batuan mengandung diskontinuitas. Berbagai tipe diskontinuitas menurut Bieniawski (1989) dan
Hoek (2006) seperti patahan, bidang perlapisan, foliasi, kekar, belahan dan schistositas. Lebih lanjut Giani
(1992) menggolongkan bidang perlapisan, belahan dan schitositas sebagai contoh kerusakan kemas (fabric
defact), sedangkan lipatan, patahan dan kekar sebagai kerusakan struktural (structural defact).

b. Skala Diskontinuitas
Duncan dan Goodman (1968) dalam Giani (1992) membuat klasifikasi diskontinuitas berdasarkan pada
skalanya. Demikian juga Wyllie dan Mah (2004) serta Hoek (2006) membuat ilustrasi skematik transisi skala
berdasarkan peningkatan ukuran percontoh, mulai dari batuan padu sebagai skala terkecil sampai sebagai
massa batuan yang terkekarkan kuat pada skala terbesar. Hoek (2006) analisis sifat mekanika batuan dilakukan
pada setiap skala memiliki formulasi tertentu yang tepat untuk menganalisa permasalahan diskontinuitas. West
(2010) sifat batuan atau sifat material diukur melalui percontoh kecil di laboratorium, sedangkan sifat massa
batuan ditentukan dari keseluruhan sifat volume yang besar melalui pengukuran di lapangan.
Tabel 2.1 Deskripsi karakteristik diskontinuitas berdasarkan skala observasi (Duncan dan Goodman, 1968
dalam Giani, 1992)
Skala
Nama Skala Spasi Asal/Genesa
Obs.
Retakan Makro dan Percontohan Alterasi dan
s < 0,25 cm
Mikro laboratorium retakan tarikan

Blok batuan in 0,25 cm < s


Belahan Bidang Rekahan tarikan
situ observasi < 5 cm

Rekahan dari
Kekar (A) Dike Penggalian 5 cm < s <
tarikan dan
(B) eksplorasi 6m
tegasan geser

Penggalian 6m<s< Rekahan dari


Zona Hancuran Minor, kompleks 60 m tegasan geser
zona rekahan,
diakibatkan oleh
tegasan shear sesar
utama Cincin Rekahan dari
s > 60 m
pegunungan tegasan geser

Duncan dan Goodman (1968) dalam Giani (1992) membuat ilustrasi yang cukup detail dalam
pengklasifikasian berbagai karakteristik diskontinuitas berdasarkan skala observasinya, baik jenis, spasi dan
genesa diskontinuitas (Tabel 2.1). Diskontinuitas terkecil berupa retakan mikro dan makro diamati melalui
percontoh laboratorium. Adapun observasi diskontinuitas berupa bidang perlapisan, kekar, dike, zona
hancuran, zona rekahan dan patahan termasuk patahan utama dilakukan melalui observasi secara in situ di
lapangan

c. Orientasi Diskontinuitas
Mekanisme pada formasi batuan menyebabkan diskontinuitas tidak terbentuk seluruhnya berorientasi acak
(Hudson dan Harrison, 1997). Orientasi merefleksikan siknifikansi variasi set diskontinuitas pada massa
batuan (Bieniawski, 1989). Bidang diskontinuitas memiliki strike dan dip, Giani (1992) menyatakan strike
sebagai azimuth, yang diukur searah jarum jam (Wyllie dan Mah, 2004) antara sudut utara dan irisan bidang
diskontinuitas terhadap bidang referensi horizontal. Sedangkan dip menurut Hudson dan Harrison (1997)
merupakan sudut tercuram diskontinuitas terhadap horizontal.
Gambar 2.3 Contoh proyeksi stereografis bidang (N–S, 408W)) dan kutup dari bidang: a) pandangan
menyamping, b) proyeksi sama luas bawah hemisfer
Giani (1992) analisis orientasi diskontinuitas dapat dilakukan melalui proyeksi sperikal, yaitu metode yang
menggunakan analisis hubungan tiga dimensi antara bidang dan garis pada digram dua dimensi. Kelemahan
proyeksi ini adalah kemudahan bergerak dipermukaan, tetapi tidak mampu diputar. Goodman (1989) dan
Wyllie dan Mah (2004) diskontinuitas bisa juga dianalisis menggunkan metode proyeksi stereografi (gambar
2.3), termasuk analisis kinematikanya (Goodman, 1989 dan Wyllie dan Mah, 2004).

d. Spasi Diskontinuitas
Bieniawski (1989) dan Giani (1992), spasi merupakan jarak antara diskontinuitas terdekat yang diukur secara
tegak lurus. Diskontinuitas memiliki frekuensi kemunculan, frekuensi diskontinuitas menunjukkan jumlah
jarak setiap unit berbanding terbalik terhadap spasi. Wyllie dan Mah (2004) spasi dipetakan dari permukaan
batuan dan core bor, dan spasi sebenarnya dihitung dari spasi semu untuk diskontinuitas yang miring terhadap
permukaan (Gambar 2.4). Pengukuran spasi set kekar memberikan ukuran dan bentuk blok. Hasilnya berupa
model stabilitas dan kekuatan massa batuan (Wyllie dan Mah, 2004).

Gambar 2.4 Hubungan antara spasi semu (S apparent) dan spasi sebenarnya (S) dalam satu set diskontinuitas
(Wyllie dan Mah, 2004)
e. Persistence
Menurut Wyllie dan Mah (2004) persistence merupakan pengukuran panjang diskontinuitas atau luas
diskontinuitas. Parameter ini menetapkan ukuran blok dan panjang potensi permukaan gelincir. Giani (1992)
persistence secara kasar dapat dikuantifikasi melalui observasi panjang diskontinuitas pada permukaan batuan.
Pahl (1981) dalam Wyllie dan Mah (2004) membuat perhitungan panjang diskontinuitas, dengan asumsi
panjang merupakan distribusi.

(1  m) (2.1)
l  H'
(1  m)
L1.L2 (2.2)
H' 
( L1. cos  L2 . sin  )

( Nt  Nc ) (2.3)
m
( N "  1)

Dengan l merupakan rata panjang persistence, L1 dan L2 ukuran panjang dan lebar daerah yang dipetakan
(gambar 2.5), Nt dan Nc jumlah diskontinuitas pada area pemetaan singkapan, N total diskontinuitas

Gambar 2.5 Pengukuran spasi dan persistence diskontinuitas (Wyllie dan Mah, 2004). Keterangan : c kekar
dalam area, t kekar memotong area, dip
 , rata-rata spasi S

f. Kekasaran (Roughness)
Pada analisis orientasi dan persistence, bidang diskontinuitas dianggap sebagai bidang planar, tetapi
permukaannya bisa saja kasar (Hudson dan Harrison, 1997). Giani (1992) parameter kekasaran menunjukkan
indeks tidak rata dan gelombang pada diskontinuitas batuan. Diskontinuitas bergelombang dicirikan oleh skala
indulasi yang besar, sedangkan diskontinuitas tidak rata ditandai oleh skala kekasaran kecil. Selain itu menurut
Wyllie dan Mah (2004) secara umum bentuk permukaan diskontinuitas memiliki permukaan yang kasar, jika
berbentuk indulasi akan memiliki permukaan halus dan jika planar maka bidang permukaannya slickensides.

Giani (1992) profil tingkat kekasaran diskontinuitas dapat diobservasi melalui sepanjang sumbu, yang
diestimasikan sebagai arah potensi pergeseran diskontinuitasnya. Metode pengukurannya dapat dilakukan
melalui berbagai skala, dari skala singkapan yang dilakukan di lapangan, juga melalui skala terkecil di
laboratorium, seperti ilustrasi pada gambar 2.6. Hudson dan Harrison (1997) pengukuran kekasaran dapat pula
dilakukan dengan mereferensi pada chart standard dan formulasi matematik, terpapar pada gambar 2.7. Wyllie
dan Mah (2004) pada tahap investigasi pendahuluan biasanya dilakukan penilaian visual kekasaran, ditetapkan
sebagai Joint Rough Coefficient (JRC) dari Barton (1973). Giani (1992) menyebutkan bahwa nilai kekasaran
permukaan diskontinuitas berguna untuk mengetahui kuat geser, khususnya pada dinding diskontinuitas yang
belum mengalami dislokasi dan belum terisi.

Gambar 2.6 Survey tingkat kekasaran pada skala berbeda dengan referensi untuk keperluan tes kuat geser,
(Giani, 1992) ; dimana i sebagai sudut gelombang, 1) Ukuran shear test laboratorium, 2) Ukuran volume
blok pada in situ test

Wyllie dan Mah (2004) nilai JRC dapat diestimasikan secara visual dengan membandingkan kondisi
permukaan terhadap profil standard berdasarkan kombinasi ketidakteraturan permukaan pada skala beberapa
sentimeter dan gelombangan pada skala beberapa meter (gambar 2.8). Palmstorm (1995) metode JRC dari
Barton (1973) nilainya berkisar dari lima untuk bidang kekar planar sampai dua puluh untuk kekar
bergelombang kasar. Nilai tersebut merupakan perkiraan subyektif dari perbandingan profil kekasaran standar.
Gambar 2.7 Metode alternative untuk estimasi nilai JRC dari pengukuran simpangan dari rata-rata air
(Barton, 1982)
Gambar 2.8 Profil tingkat kekasaran untuk nilai kisaran JRC (Barton dan Choubey, 1977)
g. Kekuatan Dinding (Wall Strength)
Giani (1992) mendefinisikan kekuatan dinding sebagai ekuivalen dengan kuat kompresi pada dinding batuan
berdekatan dari suatu diskontinuitas. Nilainya merupakan komponen penting dari kuat geser dan deformability,
khususnya jika kekar atau diskontinuitas dapat menunjukkan hubungan dari batu ke batu kontak atau batu yang
berkekar tak terisi. Kekuatan dinding bisa lebih rendah daripada kekuatan batuan yang disebabkan oleh
pelapukan atau alterasi. Wyllie dan Mah (2004) kekuatan dinding diskontinuitas mempengaruhi kuat geser
pada permukaan kasar. Deskripsi semi kuantitatif dan kuantitatif kekuatan dinding diperoleh menggunkan palu
geologi, pisau dan Schmidt Hammer (Giani, 1992).

Tabel 2.2 Klasifikasi kekuatan batuan berdasarkan nilai uniaxial compressive strengt/UCS (Wyllie dan Mah,
2004)

UCS
Grade Deskripsi Identifikasi lapangan
(MPa)
Batuan kuat Percontoh hanya berupa chip menggunakan
R6 > 250
sekali palu geologi
Batuan sangat Percontoh membutuhkan banyak pukulan palu
R5 100-250
kuat geologi untuk memecahkannya
Percontoh membutuhkan lebih sekali pukulan
R4 Batuan kuat 50-100
palu geologi untuk memecahkannya
Batuan kuat Percontoh dapat dipecahkan melalui sekali
R3 25-50
menengah pukulan palu geologi
Dapat dikelupas menggunakan pisau secara
R2 Batuan lemah hati-hati, titik lekukan dangkal menggunakan 5,0-25
palu geologi
Batuan sangat Hancur dipukul menggunakan palu geologi dan
R1 1,0-5,0
lemah dapat dikelupas menggunakan pisau
Batuan lemah
R0 Dapat ditusuk menggunakan kuku tangan 0,25-1,0
sekali

Wyllie dan Mah (2004) mengklasifikasikan kekuatan batuan khususnya menjadi tujuh tingkatan (lihat tabel
2.2). Pembagiannya berdasarkan nilai kekuatan uniaxial compressive strength (UCS), mulai dari batuan kuat
sekali untuk nilai UCS lebih besar dari 250 Mpa, sampai batuan sangat lemah dengan nilai UCS berkisar antara
0,25-1,0 Mpa. Adapun metode pengukuran kekuatan kompresi bisa melalui point load test untuk cere bor atau
bongkahan percontoh, dan menggunakan Schmidt Hammer pada permukaan diskontinuitas batuan. Giani
(1992) uji menggunakan Schmidt Hammer dilakukan untuk mengestimasikan joint wall Compressive strength
(JCS), serta berhubungan terhadap densitas batuan yang diujikan.

h. Rongga (Aperature)
Wyllie dan Mah (2004) menjelaskan besarnya rongga diskontinuitas diperoleh dari pengukuran jarak tegak
lurus antara dinding batuan berdekatan dari bidang diskontinuitas yang di dalamnya terisi udara atau air.
Dimana kehadiran rongga pada diskontinuitas akan mempengaruhi nilai kuat massa batuan dan besarnya
hidraulic conductivity air tanah, sehingga berguna untuk memprediksi perilaku massa batuan.
Gambar 2.9 Blok-blok batuan dengan diskontinuitas di dalamnya (Giani, 1992) : a) tertutup, b) terbuka
(rongga), c) terisi
Giani (1992) rongga dibedakan berdasarkan besarnya bukaan diskontinuitas, seperti pada Gambar 2.9. Secara
umum rongga-rongga massa batuan di bawah permukaan adalah kecil, mungkin kurang dari setengah
milimeter. Menurut Wyllie dan Mah (2004) rongga dengan bukaan (> 1 m) sebagai kategori yang besar dan
jika (< 0,1 mm) dikategorikan sangat rapat. Secara lengkap pembangian kategori rongga dilakukan oleh Barton
(1973) lihat tabel 2.3. Giani (1992) asal mula terbentuknya rongga dapat merupakan hasil shear displacement
diskontinuitas dengan kekasaran dan gelombangan cukup besar dari bukaan tarikan, pencucian (outwash),
pelarutan dan dari tarikan diskontinuitas vertikal oleh erosi lembah atau proses glasiasi.

Table 2.3 Deskripsi keadaan rongga pada permukaan diskontinuitas (Barton, 1973)

Deskripsi Lebar rongga


Sangat rapat < 0,1 mm
Tertutup Rapat 0,1 – 0,25 mm
Sedikit terbuka 0,25 – 0,5 mm
Terbuka 0,5 – 2,5 mm
Celah
Lebar menengah 2,5 – 10 mm
(gap)
Lebar > 10 mm
Sangat lebar 10 – 100 mm
Terbuka Lebar sekali 100 – 1000 mm
Besar >1m

i. Pengisi (Infilling)
Wyllie dan Mah (2004) mendefinisikan pengisi sebagai material yang memisahkan dinding batuan yang
berdekatan pada suatu diskontinuitas. Giani (1992) pengisi ini biasanya lebih lemah kekuatannya dari batuan
induk. Tipe pengisi bisa berupa pasir, lanau, lempung, breksi, gauge dan mylonit. Adapun untuk mineral
pengisi seperti kalsit, kuarsa dan pirit memiliki kekuatan yang tinggi. Sehingga secara mekanika material
pengisi ini mempengaruhi kuat geser diskontinuitas. Lebih lanjut menurut Wyllie dan Mah (2004) material
pengisi dapat dipergunakan untuk memprediksi perilaku diskontinuitas batuan.
Berdasarkan pola pengisi, akan dijumpai dua tipe utama pengisi pada diskontinuitas, yang sekaligus dapat
dipergunakan untuk memprediksi arah bukaan rekahan dan kecepatannya terbentuk dapat dilihat pada gambar
2.10 (Pluijm dan Marshak, 2004). Pada pekerjaan survey geologi terhadap singkapan batuan menurut Giani
(1992) serta Wyllie dan Mah (2004) berbagai sifat fisik diskontinuitas berikut harus dicatat seperti :
meneralogi, tingkatan dan ukuran partikel, kandungan air dan permeabilitas, perpindahan geser sebelumnya
(offset), kekasaran dinding, lebar, rekahan dan hancuran dinding batuan dan rasio over-cosolidation.

Gambar 2.10 Tipe urat pengisi (Pluijm dan Marshak, 2004) : (a) blocky vein, (b) fibrous vein, (c) dan (d)
arah bukaan diskontinuitas sama dengan sumbu fiber
Sehingga berdasarkan parameter deskripsi tersebut di atas dipergunakan untuk memenuhi berbagai hal berikut
ini (Giani, 1992) :

1) Geometri : Lebar, kekasaran dinding, sketsa lapangan

2) Tipe pengisi : Mineralogi, ukuran partikel, tingkat pelapukan, parameter indeks batuan dan tanah,
potensi pengembangan.

3) Kekuatan pengisi : Indeks manual kekuatan dan kekerasan batuan dan tanah ditentukan oleh penetrasi,
penghancuran, penggoresan material menggunakan tangan, pisau atau palu geologi, kuat geser, rasio
over-consolidation untuk dinding yang bergeser atau yang masih tetap.

4) Seepage : Estimasi kandungan air dan permeabilitas menggunakan uji cepat secara in situ.

j. Seepage
Seepage berhubungan dengan aliran air dan uap bebas pada diskontinuitas atau massa batuan. Umur
diskontinuitas dan asal mula kejadiannya adalah penting untuk menilai transmisivity air (Giani, 1992), karena
mampu menyediakan informasi keadaan bukaan atau celah tempat mengalirnya air melalui struktur sekunder.
Kategori seepage bervariasi dari kering sampai mengalir kontinyu, sehingga observasi menunjukkan posisi
muka air tanah dan tinggi-rendah konduktifitas batuan (Wyllie dan Mah, 2004).

Iklim turut mempengaruhi keterdapatan seepage, dan besarnya infiltrasi air tanah (Wyllie dan Mah, 2004).
Infiltrasi air tanah dinilai berdasarkan faktor-faktor penting yang mempengaruhinya seperti meteorologi,
morfologi dan geologi hidrogeologi (Celico, 1986 dalam Giani, 1992).
k. Jumlah Set Diskontinuitas
Giani (1992) parameter set diskontinuitas mengekspresikan jumlah set-set yang membentuk sistem
diskontinuitas dan saling memotong. Massa batuan memiliki sejumlah set diskontinuitas yang saling
memotong satu sama lain. Hudson dan Harrison (1997) secara konseptual suatu set terdiri dari diskontinuitas
paralel atau sub-paralel. Sehingga geometri massa batuan dikarakteristiki oleh jumlah set diskontinuitas.
Wyllie dan Mah (2004) jumlah set diskontinuitas yang saling berpotongan satu sama lain akan
menginformasikan luasan massa batuan yang terdeformasi tanpa menghancurkan batuan padu. Contohnya
peningkatan jumlah set maka ukuran blok akan berkurang, besarnya kesempatan bongkahan berotasi,
perubahan dan hancuran akibat kerja beban. Jumlah set umumnya fungsi ukuran wilayah yang dipetakan
pemetaannya harus membedakan antara diskontinuitas sistematik sebagai bagian anggota set dan
diskontinuitas acak, dimana orientasinya tidak terprediksikan.

l. Bentuk dan Ukuran Blok


Giani (1992) massa batuan terkekarkan dapat menjadi sistem blok-blok yang dipisahkan bidang diskontinuitas
sebagai sistem atau diskontinuitas tunggal. Ukuran blok ditentukan oleh spasi diskoninuitas, jumlah set dan
panjang diskontinuitas. Hudson dan Harrison (1997) menganologikan ukuran blok dan distribusinya sebagai
distribusi in situ ukuran partikel. Ukuran blok mengindikasikan perilaku massa batuan, karena mampu
mengestimasi performa massa batuan pada kondisi tegasan. Adapun jumlah set dan orientasi atau pola kekar
dapat menentukan bentuk blok yang dihasilkan, sehingga dapat berupa kubus, rombohedral, tetrahedron atau
lembaran (Giani, 1992) atau berbentuk blocky, shattered dan kolumnar (Wyllie dan Mah, 2004 ).

m. Pelapukan (Weathering)
Pelapukan batuan adalah proses yang menyebabkan alterasi batuan, disebabkan oleh air, karbon dioksida dan
oksigen (Giani, 1992), atau proses eksternal menyebabkan hilang dan berubahnya sifat asal mula menjadi
kondisi yang baru. Prosesnya melibatkan agen-agen fisika, kimia, biologi (Bates, 1987), atau melalui proses
mekanika dan dipengaruhi oleh keadaan iklim (Giani, 1992). Wyllie dan Mah (2004) pelapukan berbentuk
desintegrasi dan dekomposisi. Desintegrasi adalah hasil perubahan lingkungan, seperti kelembaban,
pembekuan dan pemanasan. Sedangkan dekomposisi menunjukkan perubahan batuan oleh agen-agen kimia
seperti proses oksidasi pada batuan mengandung besi, hidrasi seperti perubahan feldspar menjadi kaolinit, dan
karbonisasi seperti pelarutan batugamping.

Giani (1992) dampak pelapukan tidak hanya terbatas di permukaan saja tetapi lebih dalam, umumnya pada
kedalaman yang dangkal, tergantung kehadiran saluran yang memungkinkan aliran air dan kontak dengan
atmosfer. Wyllie dan Mah (2004) berkurangnya kekuatan batuan oleh pelapukan akan mengurangi kuat geser
diskontinuitas. Sehingga pelapukan juga akan mengurangi kuat geser massa batuan diakibatkan pengurangan
kekuatan batuan padu. pelapukan menghasilkan pengurangan kompetensi batuan dari sudut pandang
engineering atau mekanika batuan (Giani, 1992).
2.5 Sifat Kekuatan Batuan (Rock Strength Properties)

Dalam menganalisis stabilitas lereng batu, faktor yang paling penting untuk dipertimbangkan adalah geometri
massa batuan di bagian belakang permukaan lereng. Hubungan antara orientasi diskontinuitas dan permukaan
galian akan menentukan apakah bagian dari massa batuan bebas untuk meluncur atau roboh, sedangkan faktor
yang paling penting yang mengatur stabilitas adalah kekuatan geser berpotensi permukaan kegagalan (sliding
surface).

2.5.1. Efek Skala dan Kekuatan Batuan


Wyllie dan Mah (2004) menjelaskan sliding surface pada lereng dapat terdiri secara kontinu di semua area
permukaan atau permukaan komplek yang terdiri dari dua diskontinuitas dan fraktur melalui batuan utuh.
Penentuan nilai kekuatan geser adalah bagian penting dari disain lereng karena perubahan sekecil apapun yang
terjadi dalam kekuatan geser dapat mengakibatkan perubahan signifikan dalam kondisi aman terhadap tinggi
atau sudut lereng. Pemilihan nilai-nilai kuat geser yang tepat tidak hanya tergantung pada ketersediaan data,
tetapi juga pada interpretasi secara cermat terhadap data, mengingat perilaku massa batuan yang membentuk
lereng berskala penuh. Sebagai contoh kemungkinan untuk menggunakan hasil yang diperoleh dari uji geser
pada joint dalam merancang sebuah lereng dimana kegagalan yang akan terjadi sepanjang satu joint saja.
Namun, Hasil uji geser tidak dapat digunakan secara langsung dalam merancang sebuah lereng dimana proses
kegagalan yang komplek melibatkan beberapa joint dan beberapa dari batuan utuh.

Pemilihan kekuatan geser yang tepat dari lereng tergantung terhadap sebagian besar pada skala relatif antara
permukaan geser dan struktur geologi (Hoek, 2006). Misalnya, dalam lereng tambang terbuka diilustrasikan
pada gambar 2.11 dimensi lereng keseluruhan jauh lebih besar dari panjang diskontinuitas, sehingga setiap
sliding surface akan melewati massa batuan joint dan kekuatan batuan yang tepat untuk digunakan dalam
desain lereng pit adalah massa batuan. Sebaliknya, tinggi bench adalah sama untuk panjang sendi sehingga
kestabilan dapat dikendalikan oleh satu sendi saja, serta kekuatan batuan yang sesuai untuk digunakan dalam
desain benches adalah joint set yang dari dips permukaan. Akhirnya, pada skala kurang dari spasi joint, blok
batuan utuh terjadi serta kekuatan batuan yang sesuai digunakan dalam penilaian pengeboran, dan blasting
metode, misalnya akan terutama yang dari batuan utuh.

Berdasarkan hubungan antara ukuran sampel dan karakteristik kekuatan batuan, Wyllie dan Mah (2004)
menjelaskan metode penentuan kekuatan menjadi tiga kelas batuan sebagai berikut:

a. Diskontinuitas ; Bedding tunggal, joints atau faults. Sifat diskontinuitas yang mempengaruhi kekuatan
geser termasuk bentuk dan kekasaran permukaan, batuan di permukaan yang mungkin fresh atau
weathered (lapuk), dan infillings yang mungkin berkekuatan rendah atau kohesif.
b. Rock mass (massa batuan) ; Faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan geser dari massa batuan
jointed meliputi compressive strength (kuat tekan) dan friction angle (sudut gesekan) dari batuan utuh
(intact rock), dan jarak atau spasi dari diskontinuitas serta kondisi permukaan lereng.
c. Intact rock (batuan utuh) ; Faktor yang harus dipertimbangkan dalam mengukur kekuatan batuan utuh
adalah bahwa kekuatan bisa berkurang seiring umur desain lereng akibat pelapukan (weathering).
Gambar2.11 Diagram ideal menggambarkan transisi skala dari batuan padu sampai massa batuan
terkekarkan kuat melalui peningkatan skala ukuran sampel (Hoek, 2006)

2.5.2. Kekuatan Geser dari Diskotinuitas


Wyllie dan Mah (2004) pemetaan geologi atau pengeboran inti digunakan untuk mengidentifikasi keruntuhan
geser yang dapat terjadi pada diskontinuitas, maka diperlukan pengujian untuk mengetahui sudut geser dan
kohesi dari sliding surface dalam rangka untuk melakukan analisis stabilitas. Pelaksanaan kigiatan investigasi
juga harus memperoleh informasi mengenai karakteristik sliding surface yang dapat memodifikasi parameter
kekuatan geser. Perlu ditekankan karakteristik diskontinuitas meliputi janjang lereng secara kontinu, kekerasan
permukaan, ketebalan dan kareakteristik dari infilling, serta efek air pada sifat-sifat infilling.

Dalam desain lereng batuan, bahan batuan diasumsikan berdasarkan teori Coulomb dimana kekuatan geser
permukaan sliding dinyatakan dalam hal kohesi (c) dan sudut geser (φ) (Coulomb, 1773 dalam Wyllie dan
Mah, 2004). Untuk planar, diskontinuitas bersih atau tidak ada infilling, kohesi akan menjadi nol dan kekuatan
geser akan ditentukan semata-mata oleh sudut gesekan. Sudut gesekan dari material batuan berkaitan dengan
ukuran dan bentuk butir terpapar pada permukaan fraktur. Batu halus dan batuan dengan kandungan mika
tinggi akan cenderung memiliki sudut gesekan rendah, sementara batu kasar seperti granit, akan memiliki sudut
gesekan tinggi (Barton, 1973). Namun, jika diskontinuitas berisi infilling, sifat kekuatan geser fraktur sering
diubah, dengan kohesi dan sudut geser dari permukaan dipengaruhi oleh ketebalan dan sifat infilling.

Kehadiran infillings sepanjang permukaan diskontinuitas dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap
stabilitas. Sangat penting bahwa infilling diidentifikasi di dalam kegiatan investigasi, dan parameter kekuatan
yang tepat untuk digunakan dalam desain. Pengaruh infilling terhadap kekuatan geser akan tergantung pada
ketebalan dan sifat kekuatan material infilling. Sehubungan dengan ketebalan infilling, jika lebih dari sekitar
25-50% akan ada sedikit atau tidak ada kontak antar batuan, dan sifat kekuatan geser fraktur akan menjadi sifat
infilling (Goodman, 1970).

Prilaku Shear Strength dan displacemen merupakan faktor tambahan untuk dipertimbangkan mengenai
kekuatan geser isian diskontinuitas. Dalam menganalisis stabilitas lereng, perilaku ini akan menunjukkan
apakah ada kemungkinan menjadi pengurangan kekuatan geser dengan perpindahan. Dalam kondisi di mana
ada penurunan yang signifikan dalam kekuatan geser dengan perpindahan, kegagalan lereng dapat terjadi tiba-
tiba setelah gerakan dalam jumlah kecil.

Isian diskontinuitas dapat dibagi menjadi dua kategori umum, tergantung pada apakah telah terjadi
perpindahan sebelumnya diskontinuitas (Barton, 1974). Pertama recently displaced discontinuities,
diskontinuitas ini meliputi faults, shear zones, clay mylonites dan bedding-surface slips. Kedua undisplaced
discontinuities, diskontinuitas pengisi yang tidak mengalami perpindahan sebelumnya termasuk batuan beku
dan metamorf yang telah lapuk di sepanjang diskontinuitas untuk membentuk lapisan lempung. Selain isian
diskontinuitas pengaruh yang paling penting adalah keberedaan air dalam diskontinuitas, dimana
menyebabkan kekuatan geser berkurang akibat pengurangan efektif tegangan geser yang normal yang bekerja
pada permukaan (Wyllie dan Mah, 2004).

2.5.3. Kelas Kekuatan Batuan


Berdasarkan efek skala dan kondisi geologi dapat dilihat bahwa sliding surfaes dapat terbentuk sepanjang
permukaan diskontinuitas, atau melalui massa batuan, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.12.
Pentingnya klasifikasi yang ditunjukkan Wyllie dan Mah (2004) bahwa dalam dasarnya semua analisis
stabilitas lereng perlu menggunakan sifat kekuatan geser baik diskontinuitas atau massa batuan, dan ada
prosedur yang berbeda untuk menentukan sifat kekuatan sebagai berikut :

a. Discontinuity shear strength (kekuatan geser dari diskontinuitas) dapat diukur di lapangan dan
laboratorium.
b. Rock mass shear strength (kekuatan geser massa batuan) ditentukan oleh metode empiris dengan cara
analisis balik dari lereng yang dipotong dalam kondisi geologi sama, atau melalui perhitungan yang
melibatkan indeks kekuatan batuan.

Berbagai kondisi kekuatan geser yang mungkin ditemui di lereng batu seperti yang diilustrasikan pada Gambar
2.12 jelas menunjukkan pentingnya memeriksa baik karakteristik diskontinuitas dan kekuatan batuan selama
site investigation.
Gambar 2.12. Hubungan Antara Geologi dan Kelas Kekuatan Batuan (Wyllie dan Mah, 2004)
3.3 Klasifikasi Masa Batuan
Hoek (2006) mencatat sejarah skema klasifikasi massa batuan telah dikembangkan lebih dari 100 tahun,
dimulai oleh Ritter (1879) mencoba untuk memformulasikan pendekatan emperis untuk desain terowongan,
khususnya untuk menentukan kebutuhan pendukung (Rai, 2010). Umumnya skema klasifikasi dengan multi-
parameter, dikembangkan atas dasar sejarah rekayasa sipil, dimana semua karakter rekayasa geologi massa
batuan meliputi di dalamnya.

Cukup banyak metode pengklasifikasi kualitas massa batuan yang ada, diantarnya yang terkenal dan sering
digunakan seperti yang dikembangkan oleh Terzaghi (1946), Lauffer (1958), Deere, dkk. (1967), Wickham,
dkk. (1972), Bieniawski (1973), dan Barton, dkk. (1974). Klasifikasi geomekanika Rock Mass Rating (RMR)
yang dikembangkan oleh Bieniawski (1973 dan 1989), dan Q-System yang dikembangkan oleh Barton dkk.
(1974), Geological Strength Index (GSI) oleh Hoek (1994) dan Hoek, dkk. (1995). Klasifikasi geomekanika
secara umum dikembangkan untuk rekayasa terowongan, lereng batuan, fondasi, penilaian stabilitas tanah, dan
masalah pertambangan. Metode klasifikasi massa batuan tersebut memainkan peran penting evaluasi kualitas
massa batuan secara komprehensif. Terutama dalam memprediksi dan memberikan dukungan persyaratan
untuk pekerjaan rekayasa pada massa batuan. Menurut beberapa pihak termasuk Bieniawski (1973), bahwa
klasifikasi massa batuan dibuat untuk memenuhi kepentingan berikut :

a. Untuk mengidentifikasi parameter yang paling mempengaruhi perilaku massa batuan.


b. Untuk membagi massa batuan kepada kelompok grup yang berperilaku sama, yaitu kelas massa batuan
dengan kualitas berbeda.
c. Untuk melengkapi suatu dasar pengertian karakteristik masing-masing kelas.
d. Untuk menghubungkan pengalaman atas pengamatan suatu kondisi massa batuan di satu tempat
dengan lainnya.
e. Untuk menghasilkan data kuantitatif untuk desain rekayasa.
f. Untuk melengkapi suatu dasar umum komunikasi.

Hoek (2006) penerapan sistem klasifikasi pada lokasi yang berbeda, maka berbeda pula variasi parameternya,
dan direkomendasikan menggunakan dua metode klasifikasi sekaligus pada berbagai lokasi pada tahap awal
pekerjaan. Klasifikasi geomekanika metode RMR Bieniawski (1973) selain untuk mengetahui kualitas massa
batuan juga diaplikasikan untuk penuntun perkiraan umur terowongan dan pendukungnya. Q-system oleh
Barton, dkk. (1974) dikembangkan untuk aplikasi konstruksi terowongan modern dan penguatan terowongan.
Metode GSI (Hoek, 1994) selain untuk mengetahui kualitas massa batuan, aplikasinya digunakan untuk
mengestimasi modulus deformasi dan kekuatan massa batuan. Khusus untuk metode GSI dikembangkan untuk
mengakomodasi kekurangan metode RMR, untuk diterapkan pada batuan dengan kualitas buruk dan litologi
khusus tertentu.
3.3.1 Rock Mass Rating (RMR)
Bieniawski (1989) klasifikasi geomekanika Rock Mass Rating (RMR) dikembangkan oleh Beniawski, yang
selanjutnya mengalami modifikasi beberapa kali. Pada tahap awal dimaksudkan untuk aplikasi pekerjaan
terowongan dan pertambangan, namun kini telah dikembangkan untuk desain galian lereng dan fondasi. Pada
aplikasi sistem klasifikasi ini, massa batuan dibagi menjadi sejumlah wilayah struktural dan setiap wilayah
kurang lebih memiliki ciri yang seragam. Batas dari wilayah struktural biasanya serupa dengan ciri struktur
utama seperti patahan, dike, zona shear, dan lain sebagainya. Lebih lanjut Hoek (2006) mengilustrasikan dalam
beberapa kondisi, yaitu karena perubahan siknifikan pada spasi diskontinuitas atau karakter diskontinuitas
untuk tipe batuan yang sama, mungkin mengharuskan pembagian massa batuan ke dalam sejumlah kecil
wilayah struktural pada metode RMR.

Sistem klasifikasi massa batuan dengan RMR dari Bieniawski (1973) menggunakan enam parameter dasar
untuk pengklasifikasian dan evaluasi hasil uji. Keenam parameter tersebut membantu perkiraan lebih lanjut
hasil analisis stabilitas sampai permasalahan khusus geomekanika batuan. Keenam parameter yang digunakan
untuk menentukan nilai RMR meliputi kuat tekan uniaksial (uniaxial compressive stress, UCS), rock quality
designation (RQD), spasi diskontinuitas, keadaan diskontinuitas, keadaan air tanah dan orientasi diskontinuitas
(Bieniawski, 1989).

a. Kuat tekan uniaksial (uniaxial compressive strength, UCS)


Kuat tekan uniaksial (UCS) dari material batuan utuh (intact rock material) dapat ditentukan melalui pengujian
secara langsung (in direct tect) di lapangan menggunakan Schmidt Hammer, maupun uji yang dilakukan di
laboratorium. Pada uji langsung persamaan yang dapat digunakan dalam penentuan kuat tekan uniaksial adalah
UCS = 2HR (Sing dkk., 1983), dimana HR merupakan nilai hardness reborn dari Schmidt Hammer. Untuk
penentuan peringkat kuat tekan dari meterial batuan padu dapat menggunakan klasifikasi dari Bieniawski
(1979) seperti yang terdapat pada tabel 3.1.

Tabel 3.1 Indeks kekuatan material batuan utuh - UCS (Bieniawski, 1989)

Kuat Tekan Kuat Beban Titik


Deskripsi Kualitatif Bobot
(Mpa) (Mpa)
Kuat sekali >250 8 15
Sangat kuat 100-250 4-8 12
Kuat 50-100 2-4 7
Menengah 25-50 1-2 4
Lemah 10-25 Lebih baik menggunakan kuat tekan uniaxial 2
Sangat lemah 2-10 Lebih baik menggunakan kuat tekan uniaxial 1
Lemah sekali 1-2 Lebih baik menggunakan kuat tekan uniaxial 0

b. Rock Designation Index Quality (RQD)


Penentuan RQD dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Bieniaski (1989) penentuan mutu batuan
(RQD) secara langsung dikembangkan oleh Deere dkk. (1967) yang mengestimasi secara kuantitatif kualitas
massa batuan melalui inti bor. Indeks RQD digunakan secara luas untuk mengidentifikasi zona kualitas rendah
batuan, dan digunakan sebagai parameter standar pada log inti bor, serta elemen dasar sistem klasifikasi massa
batuan RMR dan Q-system. RQD didefinisikan sebagai persentase potongan batuan yang lebih panjang dari
10 cm terhadap panjang total inti bor tersebut (persamaan 3.5).

International Society for Rock Mechanics (ISRM) merekomendasikan ukuran inti pemboran sekurangnya
memiliki diameter 54,7 mm dengan tabung ganda pipa inti, dengan panjang core bor maksimum 1,5 m. Pada
proses pengeboran batuan harus dilakukan secara hati-hati supaya kor bor tidak menjadi patah (Bieniawski,
1989).

RQD 
 Panjang Potongan Inti Bor  10cm
x 100%
(3.5)

Total Panjang Inti Bor

Metode tidak langsung lainnya dengan metode volumetri kekar yang dikemukakan oleh Palmstrom (1982)
dalam Bieniawski (1989). Jika tidak terdapat inti bor, maka nilai RQD bisa diestimasikan dari hubungan antara
jumlah kekar per satuan kubik massa batuan (persamaan 3.6).

RQD = 115 – 3.3 Jv (3.6)

Dimana Jv merupakan total jumlah kekar per meter kubik massa batuan.

Gambar 3.10 Prosedur pengukuran dan perhitungan nilai RQD berdasarkan kor bor (Deere, 1989 dalam
Hoek, 2006)
Tabel 3.2 Indeks Rock Designation Quality (RQD) (Bieniawski, 1989)

Sifat Kualitatif RQD Bobot


Sangat baik 90-100 20
Baik 75-90 17
Sedang 50-75 13
Buruk 25-50 8
Sangat buruk <25 3

c. Spasi diskontinuitas
Merupakan jarak antara bidang lemah dengan arah tegak lurus terhadap bidang lemah tersebut. Bentuknya bisa
berupa kekar, zona shear, patahan minor atau permukaan bidang lemah lainnya. Sesuai dengan peringkat yang
dibuat oleh Beniawski (1989) terdapat lima klasifikasi spasi diskontinuitas seperti termuat pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3 Indeks Spasi Diskontinuitas (Bieniawski, 1989)
Keadaan diskontinu Spasi (m) Bobot
Sangat lebar >2 20
lebar 0,6 - 2 15
Sedang 0,2 - 0,6 10
Rapat 0,06 - 0,2 8
Sangat rapat < 0,06 5

d. Kondisi diskontinuitas
Parameter lain yang berguna untuk mendapatkan peringkat massa batuan (RMR) yaitu paramer kondisi atau
keadaan dari bidang diskontinuitas yang terdapat pada massa batuan tersebut. Meliputi kekasaran permukaan
diskontinuitas, pesistence, kemenerusan, pelapukan batuan dan bidang lemah tersebut, material pengisi, seperti
pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4 Indeks kondisi bidang lemah/diskontinuitas (Bieniawski, 1989)
Bobot
Parameter
6 4 2 1 0
Panjang <1m 1-3m 3-10m 10-20m >20m
Bukaan None <0,1mm 0,1-1mm 1-5mm >5mm
Kasar Sangat kasar Kasar Agak kasar Halus Sangat halus
Pengisi None Keras <5 Karas >5 Lunak <5 Lunak >5
Pelapukan Tidak lapuk Sedikit Menengah Tinggi Kuat sekali

e. Kondisi air tanah


Secara teoritis kondisi air tanah dapat diketahui dengan mengukur besarnya aliran air tanah (debit). Kondisi
air tanah berhubungan dengan pori dan diskontinuitas serta tekanan yang bekerja di dalamnya. Secara umum
kondisi air tanah yang dijumpai pada permukaan batuan dapat berupa kering, lembab, basah, menetes, dan
mengalir. Kemudian keadaan tersebut diberi peringkat, seperti pada Table 3.5 di bawah.

Tabel 3.5 Kondisi bidang lemah/diskontinuitas (Bieniawski, 1989)

Inflow/10m panjang
None <10 10-25 25-125 > 125
terowongan (liter/menit)
Tekanan air pada
kekar/tegasan utama 0 0-0,1 0,1-0,2 0,2-0,5 >0,5
dominan
Keadaan umum Kering lembab basah menetes mengalir
Bobot 15 10 7 4 0

f. Orientasi diskontinuitas
Nilai srike dan dip merepresentasikan orientasi dan kemiringan dari bidang diskontinuitas, sebagaimana telah
dijelaskan pada sub-bab sebelumnya di atas. Nilai srike dan dip pada pekerjaan rekayasa batuan berhubungan
dengan prediksi stabilitasa massa batuan dan arah penggalian, serta sangat berperan untuk memberikan
penilaian kuantitatif bidang diskontinuitas yang kritis pada penggalian terowongan dan rekayasa lereng pada
batuan. Nilai orientasi bidang diskontinuitas terhadap lereng memiliki variasi penilaian kualitatif dan
kuantitatif yang sedikit berbeda antara satu dengan lainnya (Tabel 3.6).

Tabel 3.6 Kesesuaian bidang lemah atau diskontinuitas (Bieniawski, 1989)

Penilaian arah
Sangat baik Baik cukup Tidak baik Sangat tidak baik
kekar untuk
Terowongan 0 -2 -5 -10 -12
Fondasi 0 -2 -7 -15 -25
Lereng 0 -2 -25 -50 -60

Uraian keenam parameter diatas digabung dalam Tabel 3.7 dan berdasarkan utaian tersebut nilai RMR yang
diperoleh pada perhitungan parameter-parameter di atas, Bieniawski (1989) membuat klasifikasi massa batuan
menjadi 5 (lima) kelas seperti yang ditunjukkan Tabel 3.8 di bawah.

Tabel 3.8 Kualitas massa batuan dari total (Bieniawski, 1989)

Parameter Bobot
Nilai RMR 81 - 100 61 - 80 41 - 60 21 – 40 < 20
Nomor Kelas RMR I II III IV V
Nilai GSI 76 - 95 56 - 75 36 - 55 21 - 35 < 20
Kualitas Massa
Sangat baik baik sedang Buruk Sangat buruk
Batuan
Tabel 3.7 Ringkasan Rock Mass Rating System (Bieniawski, 1989)

A. CLASSIFICATION PARAMETERS AND THEIR RATINGS


Parameter Range of values
For this low range
Point-load
Strength >10 MPa 4-10 MPa 2-4 MPa 1-2 MPa uniaxial compressive
strength index
of test is preferred
1 intact rock 5-
Uniaxial comp. 25 1-5 <1
material >250 MPa 100-250 MPa 50-100 MPa 25-50 MPa
strength MP MPa MPa
a
Rating 15 12 7 4 2 1 0
Drill core quality RQD 90%-100% 75%-90% 50%-75% 25%-50% < 25%
2
Rating 20 17 13 8 3
Spacing of discontinuities >2 m 0.6-2 m 200-600 mm 60-200mm < 60 mm
3
Rating 20 15 10 8 5
Slickenside surfaces
Very rough surfaces Slighty rough Slighty rough Split gauge > 5 mm
or
Not continous surfaces surfaces thick
Condition of discontinuities Gauge < 5mm thick
No sparation Separation < 1mm Separation < 1mm Or
4 (see E) or
Unweathered walll Slighty weathered Highly weathered Separation > 5 mm
Separation 1-5 mm
rock walls walls continuous
continuous
Rating 30 25 20 10 0
Inflow per 10 m
None < 10 10-25 25-125 > 125
Tunnel length (l/m)
Ground
(Joint water press)/
5 water 0 < 0.1 0.1-0.2 0.2-0.5 >0.5
(Mayor principal σ)
General Conditions Completely dry Damp Wet Dripping Flowing
Rating 15 10 7 4 0
B. RATING ADJUSTMENT FOR DISCONTINUITY ORIENTATIONS (See F)
Strike and dip orientations Very favourable Favourable Fair Unfavourable Very unfavourable
Tunnels and mines 0 -2 -5 -10 -12
Rating Foundations 0 -2 -7 -15 -25
Slopes 0 -5 -25 -30
C. ROCK MASS CLASSES DETERMINED FROM TOTAL RATINGS
Rating 100-81 80-61 60-41 40-21 < 21
Class number I II III IV V
Description Very good rock Good rock Fair rock Poor rock Very poor rock
D. MEANING OF ROCK CLASSES
Class number I II III IV V
Average stand-up time 20 yrs for 15 m span I year for 10 span 1 week for 5 m span 10 hrs for 2.5 m span 30 min for 1 m span
Cohession of rock mass (kPa) > 400 300-400 200-300 100-200 < 100
Friction angle of rock mass (deg) > 45 35-45 23-35 15-25 < 15
E. GUIDELINES FOR CLASSIFICATION OF DISCONTINUITY conditions
Discontinuity length (persistence) < 1m 1-3 m 3-10 10-20 > 20 m
Rating 6 4 2 1 0
Separation (aperture) None < 0.1 mm 0.1-1.0 mm 1-5 mm >5
Rating 5 5 4 1 0
Roughness Very rough Rough Slighty rough Smooth Slickensided
Rating 6 5 3 1 0
Infilling (gauge) Hard filling<4mm Hard filling > 5mm Soft filling<5mm Soft filling>5mm
6
Rating 4 2 2 0
Moderately
Weathering Slightly weathered
Unweathered weathered Highly weathered Decomposed
Rating 5
6 3 1 0
F. EFFECT OF DISCONTINUITY STRIKE AND DIP ORIENTATION IN TUNNELLING**
Strike perpendicular to tunnel axis None Strike parallel to tunnel axis
Drive with dip-Dip 45-90° Drive with dip-Dip 20-45° Dip 45-90° Dip 20-45°
Very favourable Favourable Very unfavourable Fair
Drive against dip-Dip 45-90° Drive against dip-Dip 20-45° Dip 0-20 – Irrespective of strike°
Fair Unfavourable Fair
* Some conditions are mutually exclusive. For example, if infilling is present, the roughness of the surface will be overshadowed by the influence of
the gauge. In such causes use A.$ directly.
* Modified after Wickham et al., (1972)
3.3.2 Slope Mass Reting (SMR)
Slope Mass Rating (SMR) disajikan sebagai klasifikasi geomekanika untuk lereng batuan. Romana dkk,
(2003) mengusulkan modifikasi pada konsep penggunanan RMR Bieniawski khususnya untuk kemantapan
lereng. SMR yang didapat dari RMR dengan menambahkan faktor penyesuaian pada orientasi diskontinutas,
kemiringan lereng dan faktor penyesuaian lain, tergantung pada metode penggalian

SMR = RMRbasic + (F1 · F2 · F3) + F4 (3.7)

dimana RMRbasic dievaluasi menurut Bieniawski (1979 dan 1989) dengan menambahkan nilai rating untuk
lima parameter: (i) kekuatan batuan utuh, (ii) RQD, (iii) jarak diskontinuitas, (iv) kondisi diskontinuitas, dan
(v) aliran air melalui diskontinuitas atau rasio tekanan pori. F1, F2, dan F3 merupakan faktor penyesuaian yang
berkaitan dengan orientasi kekar (joint) sehubungan dengan orientasi kemiringan atau lereng, dan F4 adalah
faktor koreksi untuk metode penggalian.

F1 tergantung pada paralelisme antara joint dan Slope face srike. Nilainya antara 0,15 – 1,0. Nilai 0,15
digunakan ketika sudut antara critical joint plane dan slope face lebih dari 30 derajat dan probabilitas
kegagalan sangat rendah bernilai 1.0 ketika keduanya mendekati paralel. Nilai-nilai tersebut cocok dengan
hubungan pada rumus (2.11), dimana A menunjukkan sudut antara strikes of slope face dan joints.

F1 = (1 – Sin A)2
(3.8)

F2 mengacu pada sudut joint dip (Bj) pada longsoran berjenis planar. Nilainya bervariasi antara 1,00 – 0,15.
Nilai 0,15 digunakan ketika kemiringan critical joint adalah kurang dari 20 derajat dan 1,0 untuk joint dengan
dips lebih besar dari 45 derajat. Untuk longsoran berjenis toppling maka F2 tetap 1,00, dan nilai tersebut dapat
dicari dengan hubungan:

F2 = tan2Bj (3.9)

F3 mencerminkan hubungan antara slope dan joints dips. Hubungan tersebut mudah dilihat di longsoran
berjenis planar, dimana F3 mengacu pada probabilitas dari joints “day-lighting” dalam slope face. Kondisi ini
disebut “fair” ketika slope face dan joints sejajar. Jika kemiringan dips 10 derajar lebih dari joint, kondisi
tersebut sangat tidak menguntungkan. Untuk longsoran toppling kondisi yang tidak menguntungkan
tergantung pada penjumlahan dips dari joint dan lereng. Nilai F3 juga bisa diambil dari Bieniawski Adjustment
Rating For Joint Orientation.

F4 merupakan faktor penyesuaian untuk metode penggalian. Ini mencakup lereng alam atau kemiringan lereng
penggalian sebelum dilakukan penggalian, smooth blasting, normal blasting, poor blasting dan penggalian
mekanik. Faktor penyesuaian tersebut telah ditetapkan secara empirik sebagai berikut:

a. Lereng alamiah lebih stabil karena terbentuk akibat proses erosi dalam waktu yang lama dan ada
mekanisme penahan (vegetasi, sedikit air) dengan nilai F4 = +15.
b. Penggunaan teknik peledakan presplitting meningkatkan stabilitas lereng untuk suatuk las setengah,
F4 = +10.
c. Penggunaan teknik peledakan smooth blasting dengan lubang-lubang yang baik, juga meningkatkan
stabilitas lereng, F4 = +8.
d. Teknik peledakan normal. Penggunaan dengan sound method, tidak mengubah stabilitas lereng, F4 =
0.
e. Peledakan yang tidak efisien, sering terlalu banyak bahan peledak, tidak menggunakan peledakan
beruntun (delay) atau lubang ledak tidak sejajar, stabilitas buruk, F4 = - 8.
f. Penggalian lereng dengan peralatan gali, selalu dengan ripper, hanya dapat dilakukan pada batuan
lemah dan atau di batuan terkekarkan, dan sering digabungkan dengan peledakan. Bidang lereng sulit
untuk diakhiri. Metode ini bisa bertambah atau berkurang tingkat kemantapan lereng, dapat diberi
nilai F4 = 0.
Tabel 3.9. Faktor Penyesuaian untuk kekar dan diskripsi dari kelas SMR (Romana, 2003)

αj = Dip Direction αs = Dip Direction


βj = Dip of Joint βs = Dip of Slope
Adjusting Factor For Joints of Joint of Slope
(F₁, F₂, F₃) Very
Very Favourable Favourable Fair Unfavourable
Unfavourable
Plane
|αj - αs| =
Failure > 30° 30° - 20° 20° 10° 10° - 5° < 5°
Toppling |αj - αs - 180°| =
F₁ Value 0,15 0,40 0,70 0,85 1,00
Relationship F₁ = (1 - Sin |αj - αs|)²
|βj| = <20° 20° - 30° 30° - 35° 35° - 45° > 45°
Planar Failure 0,15 0,40 0,70 0,85 1,00
F₂ Value
Toppling 1,00
Relationship F₂ = tg² βj
Planar
βj - βs = >10° 10° - 0° 0° 0° -(-10°) <(-10°)
Failure
Toppling βj + βs = <110° 110° - 120° >120° - -
F₃ Value 0 -6 -25 -50 -60
Relationship F₃ (Bieniawski Adjustment Rating For Joint Orientation)
F₄ = Empirical Values for Method of Excavation
F₄ Adjusting Factor for Excavation
Blasting or
Method Natural Slope Prespliting Smooth Blasting Deficient Blasting
Mechanical
F₄ Value 15 10 8 0 -8
DESCRIPTION OF SMR CLASSES
Kelas I II III IV V
SMR 81-100 61-80 41-60 21-40 0-20
Deskripsi masssa batuan Sangat baik Baik Normal Buruk Sangat buruk
Benar-benar tidak
Stabilitas Benar-benar stabil Stabil Sebagian stabil Tidak stabil
stabil
Planar along some Big planar atau
Planar atau big
Jenis keruntuhan Tidak terjadi Block failure joints atau many soil-like atau
wedge failure
wedge failure circular
3.3.3 Geological Strength Index (GSI)
Hoek dan Marinos (2007) Geological strength Index (GSI) diperkenalkan pada tahun 1994 oleh Evert Hoek
kemudian dikembangkan untuk membantu mengatasi ketidakmampuan klasifikasi geomekanika massa batuan
RMR dari Bieniawski (1974) dalam penentuan kualitas massa batuan yang buruk. Serta pada tahap awal
pengembangan, nilainya langsung diestimasikan berdasarkan sistem RMR. Sistem GSI mampu
mengestimasikan pengurangan kekuatan massa batuan untuk berbagai kondisi geologi melalui observasi di
lapangan. Misalkan mampu untuk diterapkan pada massa batuan berupa blok-blok, massa batuan heterogen
seperti flish (Marinos dkk. 2005) dan juga untuk batuan molash (Hoek, dkk. 2005) dan untuk ophiolit (Hoek,
dkk. 2006), dan Hoek, dkk. (1998) untuk schist. Klasifikasi GSI tidak perlu diterapkan pada kondisi batuan
tanpa diskontinuitas.

Hasil data pengeboran juga dapat menggunakan estimasi GSI untuk penentuan kualitas massa batuannya. Yaitu
melalui ekstrapolasi lubang bor, sehingga diperoleh informasi tiga dimensi massa batuan. Investigasi lubang
bor bersifat multiple dan miring akan membantu interpretasi karakteristik massa batuan pada suatu kedalaman.
Untuk kondisi lain seperti peledakan, penilaian besaran GSI sulit diterapkan pada lapangan yang berhubungan
dengan kerusakan yang diakibatkan oleh ledakan. Karena ada perbedaan kondisi kenampakan permukaan
batuan yang tergali oleh kontrol ledakan dan permukaan yang terusakkan oleh sisa ledakan. Sehingga
permukaan yang belum rusak harus digunakan untuk mengestimasi nilai GSI (Hoek, 2006).

Adapun hubungan kualitas massa batuan menggunakan metode RMR dan GSI adalah sangat erat sekali, karena
seperti yang telah dijelaskan di atas oleh Hoek (2006) bahwa GSI dibuat untuk menyempurnakan dan
perpedoman dari metode RMR dalam estimasi kualitas massa batuan yang rendah pada tahap awal
pengembangannya. Dan parameternya secara umum didasarkan pada RMR.

Hoek, dkk. (1998) membuat ilustrasi hubungan formulatif atau kuantitatif antara sistem GSI dan sistem RMR
dari Bieniawski dalam menentukan kualitas massa batuan. Dimulai dari penggunaan bobot massa batuan RMR
dari Bieniawski (1976), untuk mengestimasikan nilai GSI. Pada kondisi ini massa batuan diasumsikan benar-
benar kering dan diberikan bobot 10 untuk nilai air tanah. Orientasi kekar diasumsikan sangat baik dan
penyesuaian nilai orientasi set kekar menjadi nol. Bobot akhirnya disebut RMR76, dan dapat kemudian
digunakan untuk mengestimasi nilai GSI.

Jika nilai RMR76 > 18


GSI = RMR76 (3.10)
Untuk RMR76 < 18 klasifikasi Bieniawski (1976) tidak dapat digunakan untuk mengestimasikan nilai
GSI, maka kemudian cara lainnya harus menggunakan nilai Q-system dari Barton, dkk. (1974).

Klasifikasi RMR Bieniawski (1989) dapat digunakan untuk mengestimasikan nilai GSI seperti halnya versi
tahun 1976. Pada keadaan ini nilai 15 diberikan untuk bobot air tanah dan penyesuaian untuk orientasi kekar
juga menjadi nol. Sebagai catatan nilai minimum yang dapat diperoleh dari klasifikasi RMR 1989 adalah 23
dan bahwa, secara umum nilainya sedikit lebih tinggi dari pada klasifikasi 1976. Bobot akhirnya disebut
RMR89, dapat digunakan untuk estimasi nilai GSI :

Untuk RMR89 > 23

GSI = RMR89 – 5 (3.11)

Untuk nilai RMR89 < 23, klasifikasi Bieniawski (1976) tidak dapat digunakan untuk mengestimasi
nilai GSI, sehingga alternatif lainnya harus menggunakan nilai Q-system dari Barton, et.al. (1974).

Tabel 3.10 Geological Strength Index untuk Jointed Rock Messes (Hoek dan Marinos, 2000)
3.4 Analisis Kesetabilan Lereng

Analisis kesetabilan lereng merupakan tindakan untuk mengetahui kondisi suatu lereng dengan tujuan
memperkirakan bentuk keruntuhan dan menentukan tingkat kerawanan lereng terhadap longsoran serta
rancangan lereng yang memenuhi kriteria keamanan.

3.4.1 Analisis Kinematik Lereng


Goodman (1989) menjelaskan bahwa analisis kinematik lereng mengacu pada gerakan tubuh tanpa mengacu
kepada kekuatan utama yang menyebabkan mereka untuk bergerak. Banyak pemotongan batuan yang stabil di
lereng curam meskipun ada bidang lemah yang kemiringan curam dengan kekuatan sangat rendah, sehingga
kejadian ini mengakibatkan keruntuhan blok batuan bergerak bebas. Bagian kesepakatan ini dengan
pendekatan untuk membuat desain lereng penggunaan terutama diarahkan pada massa batuan terputus untuk
memastikan bahwa selalu ada blok batuan yang potensi kegagalan. Hanya referensi minimal dengan parameter
kekuatan batuan untuk pertimbangan utama adalah orientasi dari bidang lemah dalam kaitannya dengan
orientasi penggalian.

Proyeksi stereografik dari elemen garis menjadi pertimbangan yang relevan dengan analisis lereng batuan.
Pembagian tiga elemen garis dasar massa batuan yaitu dip vektor (D̂) menunjuk ke kemiringan bidan lemah,
vektor normal (N̂i) menunjukkan arah tegak lurus terhadap bidang lemah dan garis persimpangan atau line
intersection (Îij) bidang lemah i dan j seperti yang terpapar dalam gambar 3.11a. Garis persimpangan Îij dari
dua bidang i dan j dapat ditemukan sebagai titik perpotongan lingkaran besar setiap bidang, seperti terlihat
pada gambar 3.11b. alternatif, Îij ditentukan sebagai garis tegak lurus terhadap lingkaran besar yang berisi
vektor normal N̂i dan N̂j. Setelah semua elemen garis D̂, N̂, dan Î diplot untuk massa batuan, persyaratan
kinematik terhadap analisa kegagalan lereng mungkin dapat diperiksa dari strike dan dip pada lereng batuan.

a) b)
Gambar 3.11. Proyeksi stereografik dari elemen garis yang relevan untuk analisis lereng batuan (Goodman,
1989)
a. Analisis kinematik pada plane sliding atau plane failure
Pertimbangkan pada plane sliding atau plane failure di bawah gravitasi setiap blok cenderung untuk meluncur
di permukaan apabila bidang tunggal sejajar dengan kemiringan bidang lemah D̂i. Jika lereng dipotong pada
sudut α, D̂ menunjuk ke free space penggalian dan plunge pada suatu sudut kurang dari α maka akan terjadi
keruntuhan Gambar 3.12a dan Gambar 3.12b.

a) b)

c)

Gambar 3.12 Kinematik tes untuk plane failure (Goodman, 1989)


Menentukan sudut aman pada lereng curam dibuat sesuai dengan potongan dari strike. Sebagai strike 1 dan
sudut α1 masuk kondisi aman disebabkan dip lingkaran besar yang melewati “Strike 1” dan D̂i (Gambar 3.12c).
Orientasi pemotongan hampir sejajar dengan arah bidang lemah akan stabil bahkan hampir vertical.

b. Analisis kinematik pada wedge sliding atau wedge failure


Wedge failure terjadi sepanjang garis persimpangan dari dua bidang, prosedur analitis yang sama dapat diikuti
sebuah sudut maksimum akan aman untuk lereng yang searah strike tempat dielemen garis D. Gambar 3.13
memberikan contoh analisis kinematik wedge failure untuk massa batuan terdiri dari tiga set joint.

1) Jika pemotongan dibuat searah dengan bidang 1 dan 3 atau bidang 1 dan 2 maka akan berpotensi
Wedge failure.
2) Jika dipotong pada sudut α, ditentukan oleh kemiringan lingkaran besar yang melewati Î13 dan
pemotongan pada arah strike maka hanya wedge ditentukan oleh bidang 1 dan 2 yang mampu geser.
3) Selain itu, karena Î12 akan terjun pada sudut yang rendah maka tidak mungkin menyebabkan masalah.
Gambar 3.13 Contoh kinematik tes untuk wedge failure (Goodman, 1989)

c. Analisis kinematik pada topping failure


Interlayer slip atau toppling failure harus terjadi sebelum deformasi lentur yang besar dapat terjadi. Jika lapisan
memiliki sudut gesekan (𝜙j), kegagalan hanya akan terjadi jika arah kompresi yang diterapkan membentuk
sudut lebih besar dari 𝜙j dengan lapisan normal. Seperti ditunjukkan dalam gambar 3.14, sebuah prasyarat
untuk interlayer slip yang normal akan memiliki kemiringan lebih landai daripada garis pada sudut 𝜙j di atas
bidang lereng. Toppling failure bisa terjadi jika berada dalam ketentuan (90 – δ)+𝜙j < α. Proyeksi stereografik,
keruntuhan dapat terjadi hanya jika vektor normal (N̂) terletak lebih dari 𝜙j derajat di bawah dipotong lereng.
Toppling dapat terjadi hanya jika strike perlapisan batuan hampir sejajar dengan strike lereng, kondisi ini
diproyeksikan dalam bilangan 30°.

a) b)
Gambar 3.14 Kinematik tes untuk toppling failure (Goodman, 1989)
a) (90 – δ) + 𝜙j < α. b) N̂ plot berada di zona berbayang

Anda mungkin juga menyukai