Anda di halaman 1dari 18

Pembobotan Massa Batuan Rock Mass Rating (RMR)

Tabel Cara Pembobotan Klasifikasi Massa


Batuan

Kekuatan Uniaxcial
100 -250 25 - 50 5 - 25
M assa Comp ressive > 250 M p a 50 - 100 M p 1-5Mpa <1Mpa
Mpa a Mpa Mpa
Batuan Strength

Bobot 15 12 7 4 2 1 0
RQD 90 - 100 % 75 - 90 % 50 - 75 % 25 - 50 % < 25 %
Bobot

Jarak Diskontinuitas 0.6 - 2 m 200 - 600 mm 60 - 200 mm < 60 mm


(Spacing)
Bobot 15 10 8 5

Kondisi Diskontinuitas
<1m 1-3m 3 - 10 m 10 - 20 m > 20 m
kemenerusan kekar
(persistence)
Bobot 6 4 2 1 0
Bukaan Kekar Tidak ada < 0.1 mm 0.1 - 1.0 mm 1 - 5 mm > 5mm
Bobot 6 5 4 1 0
Kekasaran Kekar Sangat Kasar Kasar Sedikit Kasar Halus Slickensided
Bobot 6 5 3 1 0
M aterial Pengisi Tidak ada Keras < 5 mm Keras > 5 mm Lunak < 5mm Lunak > 5 mm
Bobot 6 4 2 2 0

Pelap ukan Tidak Lap uk Sedikit Lap Lap uk Sangat Lap Hancur
uk uk
Bobot 6 5 3 1 0

Kondisi Air Tanah Kering Lembab Basah Menetes Mengalir

Bobot 15 10 7 4 0

Tabel Pembobotan Kelas Massa Batuan

Bobot 100 – 81 80 - 61 60 - 41 40 -21 < 21


Kelas I II III IV V
Batuan s Batuan Batuan s
Des krips i Baik Batuan s edang
angat lemah angat
baik lemah

Setelah melihat tabel dan melakukan pembobota dari


perhitungan klasifikasi massa batuan maka dapat disimpulkan Kelas dan Deskripsi
Rating Massa Batuan, Kohesi Massa Batuan dan Sudut Gesek Dalam Massa
Batuan.
2.2 Rock Mass Rating ( RMR )
Bieniawski ( 1976 ) dalam Manik ( 2007 ) mempublikasikan suatu metode
klasifikasi massa batuan yang dikenal dengan Geomechanics Classification atau
Rock Mass Wasting ( RMR ). Metode rating digunakan pada klasifikasi ini. Besaran
rating tersebut didasarkan pada pengalaman Bieniawski dalam mengerjakan proyek
– proyek terowongan dangkal. Metode ini telah dikenal luas dan banyak
diaplikasikan pada keadaan dan lokasi yang berbeda – beda seperti tambang pada
batuan kuat, terowongan, tambang batubara, kestabilan lereng, dan kestabilan
pondasi. Klasifikasi ini juga sudah dimodifikasi beberapa kali sesuai dengan adanya
data baru agar dapat digunakan untuk berbagai kepentingan dan sesuai dengan
standar internasional.

2.2.1 Parameter – parameter Rock Mass Rating ( RMR )


Sistem klasifikasi massa batuan Rock Mass Rating ( RMR )
menggunakan enam parameter berikut ini dimana rating setiap parameter
dijumlahkan untuk memperoleh nilai total dari RMR :
1. Kuat tekan batuan utuh ( Strength of intact rock material )
2. Rock Quality Design ( RQD )
3. Jarak antar diskontinuitas ( Spacing of discontinuities )
4. Kondisi diskontinuitas ( Conditon of discontinuities )
5. Kondisi air tanah ( groundwater condition )
6. Orientasi diskontinuitas ( Orientation of discontinuities )

Berikut dijelaskan mengenai keenam parameter yang digunakan dalam


memperoleh klasifikasi massa batuan Rock Mass Rating ( RMR ) tersebut :
1. Kuat tekan batuan utuh ( Strength of intact rock material )
Kuat tekan batuan utuh dapat diperoleh dari uji kuat tekan uniaksial
(Uniaxial Compressive Strength, UCS ) dan uji point load ( point Load Test,
PLI ). UCS mengguanakn mesin tekan untuk menekan sampel batuan dari
satu arah ( uniaxial ). Sampel batuan yang diuji dalam bentuk silinder ( tabung
) dengan perbandingan antara tinggi dan diameter tertentu. Perbandingan ini
sangat berpengaruh pada nilai UCS yang dihasilkan. Semakin besar
perbandingan panjang terhadap diameter, kuat tekan akan semakin kecil.
Pada perhitungan nilai RMR, parameter kekuatan batuan utuh diberi
bobot berdasarkan nilai UCS atau nilai PLI-nya seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 2.1 Pembobotan kekuatan material batuan utuh (Bieniawski,1989)


Deskripsi Kualitatif UCS ( MPa ) PLI ( MPa ) Rating
Sangat kuat sekali >250 >10 15
( exceptionally strong )
Sangat kuat 100 – 250 4 – 10 12
( very strong )
Kuat ( strong ) 50 – 100 2–4 7
Sedang ( average ) 25 – 50 1–2 4
Lemah ( weak ) 5 – 25 Penggunaan 2
Sangat lemah 1–5 UCS lebih 1
( very weak ) dianjurkan
Sangat lemah sekali <1 0
( extremely weak )

2. Rock Quality Design ( RQD )


Pada tahun 1967 D.U.Deere memperkenalkan Rock Quality Design
( RQD ) sebagai sebuah petunjuk untuk memperkirakan kualitas dari massa
batuan secara kuantitatif. RQD didefinisikan sebagai presentasi dari
perolehan inti bor ( core ) yang secara tidak langsung didasarkan pada jumlah
bidang lemah dan jumlah bagian yang lunak dari massa batuan yang diamati
dari inti bor ( core ). Hanya bagian yang utuh dengan panjang lebih besar dari
100 mm ( 4 inchi ) yang dijumlahkan keudian dibagi panjang total pengeboran
( core run ).

RQD =
∑ of length of core pieces>10 cmlength ×100 %
total length of core run
Dalam menghitung nilai RQD, metode langsung digunakan apabila
core los tersedia. Tata cara untuk menghitung RQD menurut Deere
diilustrasikan pada gambar 1. Call & Nicholas, Inc ( CNI ), konsultan
geoteknik asal Amerika, mengembangkan koreksi perhitungan RQD untuk
panjang total pengeboran yang lebih dari 1,5 m. CNI mengusulkan nilai RQD
diperoleh dari persentase total panjang inti bor utuh yang lebih dari 2 kali
diameter inti ( core ) terhadap panjang total pengeboran ( core run ). Metode
pengukuran RQD menurut CNI diilustrasikan pada gambar 2.1.2.
Panjang total pengeboran ( core run ) = 100 cm
Diameter core = 61.11 cm
jumlah panjang core> 10 cm
RQD = ×100 %
panjang core total
28+11+20+25
RQD = × 100 %
100
RQD = 84 %
Panjang total pengeboran ( core run ) = 100 cm
Diameter core = 61.11 cm
jumlah panjang> 2 x panjang diameter core
RQD = ×100 %
panjang core total
28+20+25
RQD = × 100 %
100
RQD = 73 %
Hubungan antara nilai RQD dan kualitas dari suatu massa batuan
diperkenalkan oleh Barton, 1975 dalam Bell, 1992 seperti Tabel 2. 2
Tabel 2. 2 hubungan RQD dengan kualitas massa batuan
RQD ( % ) Kualitas Batuan
<25 Sangat jelek ( very poor )
25-50 Jelek ( poor )
50-75 Sedang ( fair )
75-90 Baik ( good )
90-100 Sangat baik ( excellent )

Pada perhitnugan nilai RMR, parameter Rock Quality Designation


( RQD diberi bobot berdasarkan nilai RQD-nya seperti tertera pada tabel 2. 3
Tabel 2. 3 Pembobotan RQD
RQD ( % ) Kualitas Batuan Rating
<25 Sangat jelek ( very poor ) 20
25-50 Jelek ( poor ) 15
50-75 Sedang ( fair ) 10
75-90 Baik ( good ) 8
90-100 Sangat Baik ( excellent ) 5

3. Jarak antar diskontinuitas ( Spacing of discontinuities )


Jarak antar diskontinuitas didefinisikan sebagai jarak tegak lurus
antara dua diskontinuitas berurutan sepanjang garis pengukuran yang dibuat
sembarang. Pada perhitungan nilai RMR, parameter jarak antar ( spasi )
diskontinuitas diberi bobot berdasarkan nilai spasi diskontinuitasnya seperti
tertera pada tabel 2. 4
Tabel 2. 4 Pemboran Jarak antar Discontinuitas
Deskripsi Spasi diskontinuitas (m) Rating
Sangat lebar ( very wide ) >2 20
Lebar ( wide ) 0.6-2 15
Sedang ( moderate ) 0.2-0.6 10
Rapat ( close ) 0.006-0.2 8
Sangat rapat ( very close ) <0.006 5

4. Kondisi diskontinuitas ( Condition of discontinuities )


Ada lima karakteristik diskontinuitas yang masuk dalam pengertian
kondisi diskontinuitas, meliputi kemenerusan ( persistence ),
jarak antar permukaan diskontinuitas atau celah ( separation / aperture ),
kekasaran diskontinuitas ( roughness ), material pengisi ( infillinf / gouge ) dan
tingkat kelapukan ( weathering ).
a. Kemenerusan ( persistence / continuity )
Panjang dari suatu diskontinuitas dapat dikuantifikasi secara
kasar dengan mengamati panjang jejak kekar pada suatu bukaan.
Pengukuran ini masih sangat kasar dan belum mencerminkan
kondisi kemenerusan kekar sesungguhnya hanya dapat ditebak.
Jika jejak sebuah diskontinuitas pada suatu bukaan berhenti atau
terpotong oleh solid / massive rock ini menunjukkan adanya
kemenerusan.
b. Jarak antar permukaan diskontinuitas atau celah (
separation / aperture )
Merupakan jarak tegak lurus antar dinding batuan yang
berdekatan pada bidang diskontinu. Celah tersebut dapat berisi
material pengisi ( infilling ) atau tidak.
c. Kekasaran diskontinuitas ( roughness )
Tingkat kekasaran permukaan diskontinuitas dapat dilihat dari
bentuk gelombang permukaannya. Gelombang ini diukur relatif dari
permukaan datar dari diskontinuitas. Semakin besar kekasaran
dapat menambah kuat geser diskontinuitas dan dapat juga
mengubah kemiringan pada bagian tertentu dari diskontinuitas
tersebut. .
d. Material pengisi ( infilling / gouge )
Material pengisi berada pada celah antara dua dinding bidang
diskontinuitas yang berdekatan. Sifat material pengisi biasanya lebih
lemah dari sifat batuan induknya. Beberapa material yang dapat
mengisi celah di antaranya breksi, lempung, silt, mylonite, gouge,
sand, kuarsa dan kalsit.
e. Tingkat Kelapukan ( weathering )
Penentuan tingkat kelapukan diskontinuitas didasarkan pada
perubahan warna pada batuannya dan terdekomposisinya batuan
atau tidak. Semakin besar tingkat perubahan warna dan tingkat
terdekomposisi, batuan semakin lapuk.
Dalam perhitungan RMR, parameter – parameter di atas diberi bobot
masing – masing dan kemudian dijumlahkan sebagai bobot total kondisi
diskontinuitas. Pemerian bobot berdsarkan pada tabel 2.5

Tabel 2. 5 Panduan Pembobotan Kondisi Diskontinous


Parameter Rating
Panjang <1m 1-3 m 3-10 m 10- >20m
diskontinuitas 20m
( Persistence / 6 4 2 1 0
continuity )
Jarak antar - <0.1mm 0.1-1.0mm 1-5mm >5mm
permukaan 6 5 4 1 0
diskontinuitas
Kekasaran Sangat Kasar Sedikit Halus Slicke
diskontinuitas kasar kasar n- side
( roughness ) 6 5 3 1 0
Material Pengisi Tidak ada Keras Lunak
( infilling / gouge ) 6 4 2 2 0
Kelapukan Tidak Sedikit Lapuk Sang hancur
( weathering ) lapuk Lapuk at
lapuk
6 5 3 1 0

5. Kondisi Air Tanah ( Groundwater conditions )


Kondisi air tanah yang ditemukan pada pengukuran diskontinuitas
diidentifikasikan sebagai salah satu kondisi berikut : kering ( completely
dry ), lembab ( damp ), basah ( wet ), terdapat tetesan air (
dripping ), atau terdapat aliran air ( flowing ). Pada perhitungan nilai
RMR, parameter kondisi air tanah ( groundwater conditions ) diberi bobot
berdasarkan tabel 2. 6.

Tabel 2. 6 Pembobotan kondisi air tanah (Bieniawski,1989)


Kondisi Kering Lembab Basah Terdapat Terdapat
Umum ( completely ( damp ) ( wet ) tetesan air aliran air
dry ) ( dripping ) ( flowing )
Debit air tiap Tidak ada <10 10-25 25-125 >125
10 m panjang
terowongan
( ltr / menit )
Tekanan air 0 <0.1 0.1-0.2 0.1-0.2 >0.5
pada
diskontinuitas
/ tegangan
principal
mayor
Rating 15 10 7 4 0

2.1.2 Orientasi diskontinuitas ( Orientation of discontinuities )


Parameter ini merupakan penambahan terhadap kelima parameter
sebelumnya. Bobot yang diberikan untuk parameter ini sangat tergantung
pada hubungan antara orientasi diskontinuitas yang ada dengan metode
penggalian yang dilakukan. Oleh karena itu dalam perhitungan, bobot
parameter ini biasanya diperlakukan terpisah dari lima parameter lainnya.

RMRbasic =  parameter ( a+b+c+d+e )


RMRbasic adalah nilai RMR dengan tidak memasukkan parameter
orientasi diskontinuitas dalam perhitungannya. Untuk keperluan analisis
kemantapan suatu lereng, Bieniawski ( 1989 ) merekomendasikan untuk
memakai sistem Slope Mass Rating ( SMR ) sebagai metode koreksi untuk
parameter orientasi diskontinuitas.

2.1.3 Penggunaan Rock Mass Rating ( RMR )


Setelah nilai bobot masing – masing parameter –parameter diatas
diperoleh, maka jumlah keseluruhan bobot tersebut menjadi nilai total RMR.
nilai RMR ini dapat dipergunakan untuk mengetahui kelas dari massa batuan,
memperkirakan kohesi dan sudut geser dalam untuk tiap kelas massa batuan
seperti terihat pada tabel 2.7. dibwah ini .
Tabel 2.7 Kelas Massa Batuan, Kohesi dan Sudut Geser Dalam Berdasarkan
RMR
Profil massa Deskripsi
batuan
Rating 100-81 80-61 60-41 40-21 20-0
Kelas massa batuan Sangat Baik Sedang Jelek Sangat
baik Jelek
Kohesi >400kPa 300- 200-300 100-200 <100 kPa
400 kPa kPa
kPa
Sudut geser dalam >45° 35°-45° 25°-35° 15°-25° <15°
Kestabilan Sangat Stabil Agak Tidak Sangat
stabil Stabil stabil tidak stabil
Keruntuhan Tidak Sedikit Rekahan, Planar, Bidang
ada blok beberapa baji planar
membaji besar besar atau
seperti
tanah
Support Tidak Kadang Sistematis Koreksi Penggalian
perlu - penting ulang
kadang

2.2 Slope Mass Rating ( SMR )


Romana ( 1985 ) dalam Manik ( 2007 ) mengembangkan suatu sistem
klasifikasi Slope Mass Rating ( SMR ) yang memungkinkan sistem RMR
diaplikasikan untuk menganalisis kemantapan lereng. SMR menyertakan bobot
parameter pengaruh orientasi diskontinuitas terhadap metode penggalian lereng
yang diterapkan. Hubungan antara Slope mass Rating ( SMR ) dengan Rock Mass
Rating ( RMR ) ditunjukkan pada persamaan di bawah ini :
SMR = RMRbasic + ( F1 x F2 x F3 ) + F4
Besar bobot untuk F1, F2 , dan F3 masing – masing dijelaskan pada tabel 2.8
berikut ini
Tabel.2.8 Bobot pengatur diskontinuitas F1,F2 dan F3 ( Romana, 1985 )
Sangat
Kriteria Sangat Tak
menguntungk tak
Kasus faktor menguntu Sedang menguntung
an mengun
koreksi ngkan kan
tungkan
P j-s >30 30-20 20-10 10-5 <5
T j-s-180
P/T F1 0.15 0.4 0.7 0.85 1
P j <20 20-30 30-35 35-45 >45
P F2 0.15 0.4 0.7 0.85 1
T F2 1 1 1 1 1
P j-s >10 10-0 0 0-(-10) <-10
T j+s <100 110-120 >120
P/T F3 0 -6 -25 -50 -60

Keterangan :
j = dip dir. diskontinuitas j = dip diskontinuitas
s = dip dir. lereng s = dip lereng
P = longsoran bidang T = longsoran guling ( toppling )
Besar bobot untuk metode penggalian F4 dijelaskan pada tabel 2.9 dibawah ini :
Tabel 2.9 Pembobotan Metode Penggalian Lereng
Metode Lereng Peledakan Peledakan Peledakan Peledakan
alamiah presplitting smooth mekanis buruk
F4 +15 +10 +8 0 -8
Besar bobot – bobot F1, F2, F3 dan F4 masing – masing menggambarkan :
F1 : Menggambarkan keparalelan antara strike lereng dengan strike diskontinuitas
F2 : Menerangkan hubungan sudut dip diskontinuitas sesuai dengan model
longsoran
F3 : Menggambarkan hubungan sudut dip lereng dengan dip diskontinuitas
F4 : Faktor penyesuaian untuk metode penggalian yang tergantung pada metode
yang digunakan pada waktu membentuk lereng
Untuk memilih jenis perkuatan lereng yang sesuai dalam mencegah terjadinya
keruntuhan pada lereng batuan, digunakan sistem Slope Mass Rating ( SMR ). jenis – jenis
perkuatan yang dapat digunakan untuk usaha stabilisasi lereng batuan dapat dibagi menjadi
sembilan kelas yang berbeda ( Romana, 1985 )

Tabel 2.4 Pembobotan Massa Batuan SMR (Romana 1980)

Tip e Formula Diskontinuitas Sangat baik Baik Biasa Tidak baik Sangat
tidak
Lb= (αj - αs ) baik
Lg= (αj - αs )- Derajat > 30˚ 30 - 20˚ 20 - 10˚ 10 -5˚ < 5˚
F1
180
Lb = Lg Bobot 0,15 0,40 0,70 0,85 1,00
Lb = βj Derajat < 20 ˚ 20 - 30 ˚ 30 - 35 ˚ 35 - 45 ˚ 45 ˚
F2 Lb Bobot 0,15 0,40 0,70 0,85 1,00
Lg Bobot 1 1 1 1 1
Lb= βj – βs Derajat 10 ˚ 10 - 0 ˚ 0˚ 0 - 10 ˚ < -10 ˚
F3 Lg= βj – βs Derajat <110 ˚ 110 - 120 ˚ > 120 ˚ - -
Lb = Lg Bobot 0 -6 -25 -50 -60
Lb = l ongs ora n bi da ng αs = Strike lereng
Keterangan : Lg = l ongs ora n gul i ng βs = Di p l e re n g
αj = Stri ke d i s kon ti n u i ta s βj = Dip diskontinuitas

Tabel 2.10 Rekomendasi jenis perkuatan lereng untuk setiap kelas Slope
Mass Rating ( SMR ) ( Romana, 1985 )
Kelas Nilai SMR Support
Ia 91-100 None
Ib 81-90 None atau scaling
IIa 71-80 ( None.Toe ditch atau fence ), spot bolting
IIb 61-70 Toe ditch atau fence, nets, spot atau
systematic bolting
IIIa 51-60 Toe ditch dan atau nets, spot atau systematic
bolting, spot shotcrete
IIIb 41-50 ( Toe ditch dan atau nets ), systematic bolting.
Anchors, systematic shotcrete toe wall dan
atau dental concrete
Iva 31-40 Anchors, systematic shotcrete, toewall dan
atau concrete, ( reexcavation ) drainage
IVb 21-30 Systematic reinforced shotcrete, toewall dan
atau concrete, reexcavation, deep drainage
Va 11-20 Gravity atau anchored wall atau reexcavation
Referensi (in english)
To apply the geomechanics classification system, a given site should be divided into
a number of geological structural units in such a way that each type of rock mass is
represented by a separate geological structural unit. The following six parameters
(representing causative factors) are determined for each structural unit:

1. Uniaxial compressive strength (UCS) of intact rock material


2. Rock quality designation (RQD)
3. Joint or discontinuity spacing
4. Joint condition
5. Groundwater condition
6. Joint orientation
When mixed quality rock conditions are encountered at the excavated rock face,
such as when “good quality” and “poor quality” are present in one exposed area, it is
essential to identify the “most critical condition” for the assessment of the rock strata.
This means that the geological features that are most significant for stability
purposes will have an overriding influence. For example, a fault or a shear zone in a
high quality rock face will play a dominant role, irrespective of the high rock material
strength in the surrounding strata (Bieniawski, 1993).

Condition of Discontinuities
This parameter includes roughness of discontinuity surfaces, their separation, length
of continuity, weathering of the wall rock or the planes of weakness, and infilling
(gouge) material. Tables 6.4 and 6.5 illustrate the ratings for discontinuities. The joint
set, which is oriented unfavorably with respect to a structure (tunnel or cavern),
should be considered along with spacing of the discontinuities.

Groundwater Condition
For tunnels, the rate of inflow of groundwater in liters per minute per 10 m length of
the tunnel should be determined, or a general condition may be described as
completely dry, damp, wet, dripping, or flowing. If actual water pressure data are
available, these should be stated and expressed in terms of the ratio of the seepage
water pressure to the major principal stress. The ratings according to the water
condition are shown in Table 6.6.
Ratings of the above five parameters (seen in Tables 6.1 to 6.6) are added to obtain
the basic rock mass rating, RMRbasic.

Orientation of Discontinuities
Orientation of discontinuities refers to the strike and dip of discontinuities. The strike
should be recorded with reference to magnetic north. The dip angle is the angle
between the horizontal and discontinuity plane taken in a direction in which the plane
dips. The value of the dip and the strike should be recorded as shown in Table 6.7.
The orientation of tunnel axis or slope face or foundation alignment should also be
recorded. The influence of the strike and dip of discontinuities is considered with
respect to the direction of tunnel drivage, slope face orientation, or foundation
alignment. To decide whether or not the strike and dip are favorable, reference
should be made to Tables 6.8 and 6.9, which provide a quantitative assessment of
critical joint orientation effect regarding tunnels and dam foundations, respectively.
Once the rating for the effect of the critical discontinuity is known, as shown in Table
6.9, the sum of the joint adjustment rating and the RMRbasic can be obtained. This
number is called the “final RMR.”

Keep in mind that the effect of orientation in a rough-dilatant joint is not as important
in tunnels, according to Table 6.10. That is why the orientation of joints is ignored in
the Q-system of the Norwegian Geotechnical Institute (NGI; Chapter 8). The effect of
orientation of joints is more important for rafts. It is most important in rock slopes for
which slope mass rating (SMR) is recommended (Chapter 18). The cut slopes of the
trench before the tunnel should be classified according to SMR and not RMR or Q.
Research is needed to devise a new table to assess joint orientation for shafts not
included in Table 6.8. Research should also be done for the assessment of joint
orientation for foundations of buildings and silos and so forth on the basis of Figure
20.1,
because Table 6.9 is only valid for dam foundations, which are subjected to a high
horizontal hydraulic force.

Anda mungkin juga menyukai