Ramadhan telah usai. Euforia Lebaran dengan agenda mudik nasional juga telah
berakhir. Kaum urban perlahan-lahan kembali menjejali perkotaan. Laju kehidupan
kembali berputar “normal”. Namun, sebuah catatan kiranya penting diberikan tentang
paradoks perekonomian yang terus berulang di tengah oase religiusitas bernama
Ramadhan, yakni inflasi.
Statistik empat tahun terakhir mengkonfirmasi kebenaran pola tersebut. Pada 2011 dan
2012, inflasi menjelang Ramadhan tercatat 0,67% dan 0,62%. Ketika Ramadhan
(Agustus 2011 dan Juli 2012) inflasi melonjak menjadi 0,93% dan 0,70%. Tahun 2013
merupakan pengecualian dimana lonjakan inflasi sangat fantastis dari 1,03% menjadi
3,29% dikarenakan momentum Ramadhan bertemu dengan kenaikan harga BBM yang
diputuskan pemerintah sebulan sebelumnya. Pada 2014, inflasi Ramadhan (Juli 2014)
sebesar 0,93%, jauh lebih tinggi dari inflasi sebulan sebelumnya yang tercatat 0,43%.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kecenderungan pola ini kembali
berulang. Realisasi inflasi Mei 2015, secara bulanan tecatat 0,50%. Sedangkan secara
tahunan mencapai 7,15%. Pada Juni 2015, atau hampir dua minggu Ramadhan
berjalan, inflasi bulanan tercatat sebesar 0,54%, sedangkan secara tahunan sebesar
7,26%. Peningkatan tipis ini juga terjadi sepanjang Juli 2015.
Fakta ini memperlihatkan dua hal. Pertama, inflasi musiman sepanjang Ramadhan
disusul Lebaran hampir tak mungkin dihindari. Bahkan cenderung menjadi keniscayaan.
Kedua, pemerintah pada Ramadhan dan Lebaran tahun ini ternyata mampu menekan
inflasi ke titik yang sangat rendah. Dengan kata lain, pemerintah mampu mengendalikan
sehingga tidak memberatkan masyarakat.
Dalam ilmu ekonomi, secara garis besar dikenal dua jenis inflasi. Yang pertama adalah
cost push inflation, yakni inflasi yang disebabkan oleh kenaikan biaya. Cost push
inflation terjadi terutama sebagai imbas kebijakan pemerintah. Sebagai contoh,
kebijakan pengurangan subsidi energi dengan menaikkan harga BBM. Kenaikan harga
BBM menyebabkan biaya produksi naik. Efek karambol terjadi dimana harga barang dan
jasa turut naik secara merata.
Kedua adalah demand pull inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh peningkatan
permintaan dalam waktu tertentu tanpa disertai peningkatan penawaran yang memadai.
Inflasi jenis ini murni akibat terganggunya keseimbangan pasar. Di saat permintaan
meningkat, penawaran justru stagnan atau bahkan berkurang. Harga-harga kemudian
melonjak.
Inflasi Ramadhan tergolong inflasi jenis kedua. Permintaan barang dan jasa meningkat
sejak menjelang Ramadhan sampai setidaknya sepuluh hari setelah Lebaran. BPS
mencatat peningkatan permintaan secara rata-rata terutama didominasi oleh barang
kebutuhan pokok seperti beras, aneka daging, dan aneka bumbu. Peningkatan
permintaan didorong oleh kecenderungan budaya konsumtif sesaat sebagai bagian dari
semangat perayaan. Hal ini sesuai dengan teori Kotler (1995), bahwa perilaku
pembelian konsumen dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya, sosial, pribadi, dan
psikologis. Semangat perayaan Ramadhan merangkum empat faktor yang disebutkan
Kotler.
Di luar itu, mekanisme ekonomi yang terbangun dalam sistem bernegara dan
bermasyarakat juga memungkinkan terjadinya inflasi Ramadhan. Kewajiban konstitutif
pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) kepada tenaga kerja dan masifnya kiriman uang
dari tenaga kerja di luar negeri menyebabkan jumlah uang yang beredar di masyarakat
meningkat. Semakin banyak uang beredar akibatnya semakin turun nilai riil uang. Harga
yang oleh mekanisme pasar telah naik menjadi makin terasa memberatkan karena nilai
riil uang turun. Catatan BI untuk Ramadhan dan Lebaran tahun lalu perputaran uang
beredar mencapai lebih Rp. 118 triliun atau meningkat sekitar 14% dibanding tahun
2013. Untuk tahun ini, peningkatan uang beredar makin bertambah mengingat
pemerintah memprogramkan pencairan gaji ke-13 PNS/TNI/Polri dan pensiunan
dilaksanakan di awal Ramadhan.
Mengingat karakteristik demand pull inflation, kenaikan harga tidak terjadi jika
peningkatan permintaan disertai dengan peningkatan penawaran atau jumlah barang
beredar. Disinilah peran pemerintah tahun ini lebih terlihat. Pemerintah lebih sistematis
menjaga struktur distribusi. Bila terjadi kemacetan, atau mata rantai distribusi yang
kelewat panjang, pemerintah bisa mengaktifkan semua instrumen untuk bertindak.
Pemerintah sedari awal juga menekankan perlunya peningkatan kualitas infrastruktur,
baik pembangunan baru maupun perbaikan dan pemeliharaan. Hal ini menjamin proses
pengangkutan tanpa gangguan.
Hal inilah yang menjadi kunci inflasi Ramadhan tahun ini dapat lebih dikendalikan. Inflasi
Ramadhan sebagai inflasi musiman memang hampir tak mungkin dihilangkan. Namun,
dengan berhasil dikendalikan maka beban masyarakat terutama yang secara teoritis
menjadi penanggung terberat inflasi, yaitu golongan berpendapatan tetap dan kaum
penganggur yang tidak memiliki pendapatan, setidaknya dapat diringankan.
*)Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di
mana penulis bekerja