Anda di halaman 1dari 30

ANALISIS PERSISTENSI INFLASI

REGIONAL DI PROVINSI JAWA TIMUR

SKRIPSI

Oleh:
Dina Rizkia Suwito
NIM 160810101048

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN


JURUSAN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS JEMBER
2020
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Inflasi merupakan fenomena naiknya tingkat harga yang terjadi secara terus-
menerus, dimana hal ini dapat berpengaruh terhadap individu, pengusaha, maupun
pemerintah (Mishkin, 2008:12). Keberadaan inflasi pada suatu daerah dapat
menimbulkan masalah makroekonomi yang dapat diatasi dengan beberapa
kebijakan regional maupun nasional. Pengertian inflasi juga dapat diartikan
sebagai proses kenaikan harga secara umum dan terus-menerus selama periode
tertentu. Kenaikan harga yang disebabkan inflasi bersifat agregat bukan bersifat
pada salah satu jenis barang saja. Selain itu, inflasi dapat diartikan sebagai kedaan
perekonomian yang ditandai dengan kenaikan harga secara cepat dan ditandai
dengan menurunnya daya beli, serta menurunnya tingkat tabungan dan investasi
karena meningkatnya konsumsi masyarakat. (OJK, 2016).
Inflasi merupakan masalah yang sangat penting dalam konteks makroekonomi
sehingga diperlukan pengendalian inflasi yang berguna untuk menjaga kestabilan
harga. Stabilitas ekonomi suatu negara tercermin dari adanya stabilitas harga,
dalam hal ini memiliki arti tidak terdapat gejolak harga yang dapat merugikan
masyarakat, baik dari segi konsumen maupun produsen yang akan merusak sendi-
sendi perekonomian (Adrian, 2012). Bank Indonesia selaku pemegang otoritas
moneter di Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah. Adapun tujuan ini telah tercantum pada Undang-Undang No 3 Tahun
2004 pasal 7 yang berisi tentang Bank Indonesia dalam menjaga kestabilan nilai
rupiah dan digambarkan melalui adanya stabilitas harga yang dapat diketahui dari
tingkat inflasi sedangkan di luar negeri didasarkan pada nilai rupiah terhadap mata
uang negara lain yang tercemin dalam nilai tukar yang berlaku. Adapun sejak
tahun 2005, Bank Indonesia telah menerapkan kerangka kebijakan moneter
dengan inflasi sebagai sasaran utama yang biasa disebut dengan Inflation
Targetting Framework (ITF). Adanya ITF sebagai pengendali inflasi dapat
memberikan manfaat untuk kesejahteraan masyarakat (Rulyuso dan Ikhsan,2017).
Hal tersebut merupakan bukti bahwa tingkat inflasi yang meningkat secara terus
menerus dapat menyebabkan daya beli masyarakat menurun sehingga
mempengaruhi kesejahteraannya. Seiring dengan berjalannya waktu adanya
sasaran inflasi/target inflasi dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 1.1 Pencapaian Target Inflasi Indonesia
Tahun Target Inflasi
Inflasi Aktual
2013 4,5±1% 8,38%
2014 4,5±1% 8,36%

2015 4±1% 3,35%

2016 4±1% 3,02%

2017 4±1% 3,61%

2018 3,5±1% 3,13%

Sumber: Laporan Tahunan Bank Indonesia 2018, diolah

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwasannya inflasi aktual masih


meleset dari target inflasi yang telah ditetapkan. Namun, terdapat beberapa tahun
yang sesuai dengan target inflasi. Tahun 2015, 2016, dan 2018 menjadi tahun
yang dapat dinilai sesuai dengan target inflasi. Selebihnya inflasi aktual yang
terjadi melebihi target inflasi maupun lebih rendah dari target yang ditetapkan.
Seperti halnya pada tahun 2013 dan 2014 inflasi aktual yang terjadi jauh
melampaui target inflasi. Salah satu faktor penyebabnya adalah melemahnya nilai
dan naiknya Indeks Harga Konsumen (IHK) terutama dari segi harga komoditas
pangan yang menyebabkan laju inflasi meningkat. Hal ini terbukti pada tahun
2019 nilai inflasi didorong oleh kenaikan IHK mengalami kenaikan sebesar 0,41
persen berbeda dengan tahun 2018 sebesar 0,18 persen. Hal ini didasarkan pada
tujuh kelompok pengeluaran dimana inflasi tertinggi jatuh pada kelompok bahan
makanan sebesar 1,50 persen, lalu diikuti dengan kelompok transportasi dan
komunikasi sebesar 0,40 persen, yang ketiga kelompok makanan siap saji,
minuman, rokok, dan tembakau sebesar 0,19 persen, kelompok kesehatan sebesar
0,19 persen, kelompok perumahan air dan gas sebesar 0,04 persen (Medcom,
2019).
Inflasi Nasional merupakan rata-rata tertimbang dari inflasi daerah, termasuk
untuk mengukur dan mencari penyebab adanya inflasi serta mengetahui
implikasinya terhadap pengendalian inflasi daerah dengan fokus daerah di
Provinsi di Jawa Timur. Penelitian yang dilakukan oleh Fatimah (2013)
menunjukkan hasil bahwa Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi yang
memiliki tingkat inflasi tertinggi di Pulau Jawa jika dibandingkan dengan provinsi
lainnya yang berada di Pulau Jawa. Meskipun dirasa terdapat kecenderungan
menurun tetap saja masih menjadi daerah inflasi tertinggi dibandingkan dengan
provinsi lain yang berada di Pulau Jawa. Pada tahun 2013, Jawa Timur mengalami
inflasi sebesar 7,59 persen atau lebih dari inflasi tingkat nasional sebesar 8,38
persen, dari tujuh kota berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) di Jawa
Timur, laju inflasi tertinggi pada tahun 2013 terjadi di kota Kediri 8,05 persen,
diikuti oleh Probolinggo sebesar 7,98 persen, Malang 7,92 persen, Madiun dan
Surabaya masing-masing 7,52 persen, Jember 7,21 persen, dan terendah terjadi di
Sumenep 6,62 persen. Komoditas bahan makanan serta komoditas transportasi
dan komunikasi merupakan penyumbang inflasi terbesar (Kominfo Jatim, 2013).
Apabila dilihat dari komponennya, komponen volatile food (bahan makanan yang
harganya fluktuatif) merupakan komponen yang paling banyak berpengaruh
terhadap inflasi di Jawa Timur. Pengaaruh keterbatasan pasokan dan ekspetasi
inflasi masyarakat menjadi faktor pendorong peningkatan inflasi. Adapun
dibawah ini merupakan tabel Perkembangan tingkat inflasi di Jawa Timur dan
Nasional:
Grafik 1.1 Inflasi Jawa Timur dan Nasional (Tahun Kalender)

Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Timur, 2018

Tabel diatas menjelaskan bahwa tingkat inflasi yang terjadi masih dapat
dikatakan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, sangat penting
untuk mempelajari tentang perilaku inflasi guna mendukung kebijakan yang akan
dicapai. Adanya perilaku inflasi dapat dilihat dari persistensi inflasi. Mengingat
inflasi nasional pada dasarnya merupakan gabungan dari inflasi di seluruh daerah,
maka pengendalian inflasi nasional perlu diperoleh gambaran yang utuh mengenai
perilaku inflasi daerah atau persistensi inflasi daerah. Marques (2005)
mendefinisikan persistensi inflasi sebagai kecepatan tingkat inflasi untuk kembali
ke tingkat ekuilibriumnya setelah timbulnya suatu shock. Derajat tingkat
peristensi yang tinggi menunjukkan lambatnya tingkat inflasi ke tingkat
alamiahnya dan begitupun sebaliknya. Shock disini dapat berupa kebijakan
pemerintah, gangguan distribusi, bencana alam, dan perubahan cuaca yang tidak
menentu. Oleh karena itu, perilaku inflasi sangat penting dipelajari dalam rangka
mendukung kebijakan atas respon dari perubahan tekanan terhadap inflasi agar
pengendalian inflasi lebih efektif.
Inflasi-inflasi daerah dengan inflasi national tidak menunjukkan adanya
konvergensi sehingga pola pergerakannya seringkali berbeda dengan pergerakan
inflasi nasional (Wimanda,2006). Hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan
kebijakan moneter tidak sepenuhnya efektif dalam menekan laju inflasi daerah,
sehingga diperlukan adanya penelitian lebih lanjut mengenai inflasi daerah.
Arimurti (2011) menyatakan bahwa tingginya tingkat inflasi di Jakarta disebabkan
oleh adanya penetapan harga oleh pemerintah (administred price) dan shock pada
volatile food. Penelitian yang dilakukan oleh Affandi (2011) menyatakan bahwa
inflasi tinggi yang dipengaruhi oleh bahan makanan menjadi salah satu penyebab
mengapa inflasi bersifat persisten. Lebih lanjut, terdapat urgensi yang tinggi
mengenai pengendalian inflasi makanan, mengingat dampaknya terhadap
penurunan kesejahteraan masyarakat miskin yang relatif tinggi dibandingkan
dengan inflasi pada komoditi lainnya. Praktikto et al. (2015) menunjukkan bahwa
masyarakat miskin di Indonesia sepanjang periode 2012-2017 telah mengalami
tingkat inflasi yang relatif lebih tinggi yang disebabkan komoditas makanan pada
periode tersebut meningkat relatif lebih tinggi dibandingkan komoditas lainnya.
Bhattacharya et al. (2013) pada perekonomian di India juga melihat bahwa
inflasi pada kelompok makanan juga berdampak terhadap non makanan melalui
pergeseran permintaaan dari barang makanan ke non makanan, dan begitu pula
sebaliknya. Peningkatan permintaan barang non makanan memberikan tekanan
terhadap inflasi pada kelompok barang tersebut. Pada akhirnya ,inflasi agrgeat
akan mendapatkan tekanan yang lebih dalam (Second Round Effect) sehingga
berdampak pada saat melaksanakan pengendalian inflasi akibat adanya
peningkatan inflasi salah satu kelompok barang. Keterbatasan pasokan dan
ekspetasi inflasi masyarakat menjadi faktor pendorong peningkatan inflasi.
Berdasarkan uraian yang didasarkan pada penelitian-penelitian sebelumnya bahwa
memepelajari derajat persistensi inflasi yang kadang kala terjadi sangatlah
diperlukan agar kebijakan moneter dapat segera merespon adanya shock yang
terjadi sehingga dapat mencegah dampak dari adanya persistensi tersebut.
Pengukuran persistensi inflasi difokuskan pada daerah Provinsi Jawa Timur
sehingga diharapkan dapat mengetahui nilai derajat persistensinya untuk kembali
ke titik alamiahnya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah tingkat persistensi inflasi di Jawa Timur?
2. Apa Faktor-faktor penyebab terjadinya persistensi inflasi di Jawa Timur?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tingkat persistensi inflasi di Jawa Timur
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya persistensi
inflasi di Jawa Timur
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Memberikan pemahaman baru mengenai cara menganalisa tingkat
persistensi di Jawa Timur serta mengembangkan penelitian yang lebih
dalam tentang pengendalian inflasi daerah masa mendatang.
2. Bagi Pembaca
Sebagai referensi pengetahuan khususnya dalam bidang ekonomi dan
menambah wawasan serta informasi mengenai pengendalian inflasi
daerah.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Inflasi
Irving Fisher dalam bukunya Sadono Sukirno (2002:25), menjelaskan
bahwa inflasi disebabkan oleh tiga faktor yakni jumlah uang beredar, kecepatan
peredaran uang, dan jumlah barang yang diperdagangkan. Menurutnya inflasi
adalah proses kenaikan harga barang secara umum yang berlaku dalam
perekonomian. Ini tidak berarti bahwa harga-harga berbagai macam barang itu
naik dengan proses yang sama. Namun, terdapat kenaikan harga-harga umum
secara terus menerus selama periode tertentu. Kenaikan yang terjadi hanya satu
kali saja (meskipun dengan presentase yang cukup besar) bukanlah bagian dari
inflasi. Boediono (1999) menjelaskan bahwa inflasi merupakan kecenderungan
dari harga-harga untuk menaik secara menyeluruh terus menerus. Kenaikan harga
salah satu barang belum bisa dikatakan sebagai inflasi. Namun, dapat dikatakan
inflasi apabila terjadi kenaikan harga barang yang dapat meluas sehingga dapat
menyebabkan naiknya sebagian besar dari barang-barang lainnya. Menurut
Hutarabat (2005) masing-masing sumber tekanan inflasi dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Inflasi Permintaan (Demand Pull Inflation)
Inflasi sisi permintaan merupakan inflasi yang dipicu oleh adanya kelebihan
permintaan dalam interkasi anatara permintaan dan penawaran. Bertambahnya
permintaan dapat disebabkan oleh naiknya permintaan domestik, pengeluaran
pemerintah, atau permintaan ekspor.
2. Inflasi Penawaran (Cost Push Inflation)
Inflasi sisi penawaran merupakan inflasi yang disebabkan oleh kenaikan biaya
produksi suatu barang atau jasa. Termasuk dalam kategori tersebut adalah
kenaikan harga komoditas global yang diimpor sehingga meningkatkan biaya
produksi, dan pada gilirannya (apabila ditransmisikan ke harga konsumen) akan
meningkatkan tekanan inflasi. Selain itu, inflasi jenis ini juga berasal dari
kenaikan harga komoditas yang harganya diatur oleh pemerintah (Adminstered
Prices) diantaranya Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Tarif Tenaga Listrik (TTL).
Kenaikan harga BBM atau tenaga listrik tersebut juga akan memicu peningkatan
ongkos produksi atau pengadaan barang jasa lainnya. Sehingga juga berpotensi
meningkatkan tekanan inflasi.Terakhir adalah inflasi yang disebabkan oleh
kejutan (shoks) dari komoditas bahan pangan yang sangat rentan terhadap
gangguan cuaca atau iklim.
Adapun perbedaan mengenai demand pull inflation antara lain: (a) Demand
pull inflation dapat meningkatkan output sedangkan pada cost push inflation
justru menurunkan output dan (b) Pada demand pull inflation kenaikan harga
barang mendahului kenaikan harga bahan-bahan input (material), sedangkan pada
cost push inflation maka kenaikan harga barang input mendahului kenaikan harga
output.
3. Ekspektasi Inflasi
Adapun faktor terkahir yang berpengaruh terhadap inflasi adalah ekspetasi
inflasi yang merupakan tingkat inflasi yang berada di benak masyarakat. Ekspetasi
inflasi tersebut tergantung pada pandangan subyektif dari perilaku ekonomi.
Perilaku pembentukan tersebut tergantung pada pandangan subyektif dari pelaku
ekonomi. Perilaku pembentukan ekspetasi inflasi pada umumnya dapat berbentuk
adaptif backward looking, forward looking maupun gabungan dari keduanya.
Pembentukan ekspetasi inflasi adaptif artinya masyarakat masih menjadikan
peristiwa masa lalu (fakta historis) sebagai acuan. Ekspetasi inflasi yang adaptif
terbentuk oleh realisasi inflasi periode sebelumnya.
2.1.2 Teori Pembentukan Inflasi
Inflasi tidak terbentuk dengan sendirinya,terdapat beberapa hal yang dapat
menyebabkan inflasi. Ada tiga pembentuk inflasi yakni ekspetasi inflasi, inflasi
dari sisi permintaan dan inflasi dari sisi penawaran (Hutarabat,2005). Ekspetasi
inflasi merupakan determinan inflasi yang berperan penting secara subyektif
dalam pembentukan harga dan upah. Jika perusahaan menilai bahwa berdasarkan
pengalaman inflasi masa lalu inflasi akan tetap terjadi atau bertahan, maka
perusahaan akan menaikkan harga, meskipun prospek ekonomi tidak menujukkan
tanda-tanda bakal terjadi penekanan pada permintaan. Jadi dalam hal ini
sebagiandari besaran inflasi pada dasarnya terjadi karena pandangan subyektif
dari pelaku ekonomi mengenai apa yang akan terjadi di depan.
Inflasi permintaan merupakan inflasi yang dipicu oleh adanya interaksi
permintaan dan penawaran domestik pada jangka panjang.Tekanan inflasi dari sisi
permintaan dan penawaran domestik pada jangka panjang. Tekanan inflasi dari
sisi permintaan dipresentasikan dari sisi output gap, yakni selisih antara output
aktual dengan output potensial. Ketika dalam kondisi output aktual berada diatas
output potensialnya (output gap positif), maka kenaikan kondisi output aktual
lebih kecil dari output potensial. Kenaikan output gap berarti mengurangi tekanan
inflasi. Inflasi permintaan bisa dikendalikan melalui BI Rate, Giro Wajib
Minimum (GWM), dan Open Market Operation. Sedangakan Inflasi penawaran
merupakan jenis inflasi yang disebabkan oleh penawaran yang lebih rendah jika
dibandingkan dengan tingkat permintaan. Penawaran yang rendah disebabkan
oleh adanya kenaikan biaya produksi sehingga mengakibatkan produsen harus
mengurangi produksinya sampai jumlah tertentu atau menaikkan harga barang.
2.1.3 Definisi Persistensi Inflasi
Altissimo et al. (2006) menjelasknan bahwa persistensi inflasi merupakan
kecenderungan inflasi untuk konvergen menuju keseimbangan jangka panjang
secara perlahan setelah terjadi suatu shock yang telah membawa inflasi menjauhi
keseimbangan jangka panjangnya. Willis (2003) mengatakan bahwa persistensi
inflasi sebagai waktu yang dibutuhkan oleh inflasi untuk kembali ke base line
setelah adanya shock.
Adanya pendalaman materi mengenai peristensi inflasi berguna untuk
meningkatkan keampuan peramalan inflasi, memperoleh kejelasan efek dinamis
dari exogeneous price shocks, memberikan informasi petunjuk dan memperbaiki
kebijakan moneter, dan untuk menilai apakah rezim kebijakan moneter yang
berbeda akan menghasilkan persistensi yang berbeda (Stock, 2004).
Adapun derajat nilai persistensi yang tinggi menujukkan lambatnya tingkat
inflasi ke tingkat alamiahnya. Sebaliknya derajat persistensi yang rendah
menunjukkan cepatnya tingkat inflasi untuk ke titik alamiahnya, dan shock yang
dimaksud antara lain berupa kebijakan pemerintah, gangguan distribusi, bencana
alam, dan perubahan cuaca. Studi mengenai persistensi inflasi memberikan
gambaran untuk memperbaiki kebijakan moneter dan untuk menilai apakah
kebijakan moneter berbeda akan menghasilkan tingkat persistensi yang berbeda
(Arimurti, 2011).
2.1.4 Pengukuran Persistensi Inflasi
Pengukuran persistensi inflasi dapat dilakukan dengan dua pendekatan,
yakni pendekatan univariat dan multivariat model. Untuk univariat hanya
ditekankan pada data time series, sedangkan pendekatan multivariat mencakup
juga tambah informasi seperti output riil dan tingkat suku bunga sentral (Dossche
dan Everaert, 2005). Beberapa penelitian yang telah dilakukan, pendekatan
univariat dengan menggunakan model autoregressive (AR) time series merupakan
pendekatan yang sering kali digunakan dalam riset empiris. Marques (2004)
menyatakan bahwa model AR merupakan pengukur persistensi inflasi yang cukup
baik, serta berkaitan langsung dengan koefisien mean reversion sebagai pengukur
persistensi inflasi cukup baik, serta berkaitan langsung dengan koefision mean
reversion sebagai alternatif pengukuran tingkat persistensi inflasi. Adapun
formula AR dengan order p dapat dijabarkan sebagai berikut:

Keterangan:
Πt = Tingkat inflasi bulanan pada waktut
µ = Kontanta dan hasil proses estimasi, sebagai kontrol terhadap rata
inflasi
∑𝑗=1 𝑘 αjπt-j = Jumlah koefisien AR
£t = Random Error atau residual dari Regresi Persamaan diatas

Dari hasil estimasi persamaan tersebut, tingkat persistensi inflasi dihitung


dengan menjumlahkan koefisien AR, (p= ∑𝑗= 1 𝑘α). Cara penjumlahan koefisien
tersebut merupakan cara pengukuran scalar persistensi menurut Andrews dan
Chen (1994). Persistensi dikatakan tinggi apabila tingkat inflasi saat ini
dipengaruhi oleh nilai lag-nya, sehingga koefisiennya mendekati 1. Dalam hal ini
inflasi dapat dikatakan mendekati unit root process. Untuk memperoleh hasil
estimasi, disetiap series inflasi perlu ditentukan jumlah lag variabel dependen
yang sesuai. Dalam penentuannya dapat digunakan Akaile Information Criterion
(AIC) ataupun Schwarz Baysian Information Criterion (SBIC).

2.2 Kajian Pustaka


2.2.1 Penyebab Persistensi Inflasi
Komponen penyumbang inflasi terbesar di indonesia terletak pada
Vollative Food. Beberapa yang tergolong dalam Vollative Food yakni harga-harga
barang yang tercermin dari tujuh kelompok pengeluaran, yang terdiri dari (1)
bahan makanan; (2) makanan siap saji, minuman, rokok dan tembakau; (3)
perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar; (4) sandang: (5) kesehatan; (6)
pendidikan, rekreasi dan olahraga serta terakhir; (7) transportasi dan komunikasi.
Affandi (2011) menyatakan bahwa salah satu penyebab derajat inflasi tertinggi
terletak pada persistensi inflasi makanan. Son (2008) di Filipina menyatkan
bahwa inflasi pada kelompok barang makanan memiliki dampak merugikan pada
masyarakat miskin.
2.2.2 Perilaku Pembentukan Harga
Carlton dan Perloff (2005) menyetakan bahwa pembentukan harga dalam
teori ekonomi industri dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, diantaranya
sebagai berikut:
1. Pendekatan permintaan dan penawaran (supply demand approch), yaitu harga
keseimbangan dipengaruhi oleh tingkat permintaan dan penawaran yang ada.
2. Pendektan biaya (cost oriented approach), yaitu harga dibentuk berdasarkan
tingkat keuntungan yang diinginkan produsen (markup pricing dan break even
analysis) atas dasar biaya yang dikeluarkan.
3. Pendekatan pasar (market approach), merumuskan harga untuk produk yang
dipasarkan dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi,
antara lain permintaan, penawaran, biaya, persaingan, dan sosial-budaya.
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa perlu adanya pembentukan harga
yang ditentukan oleh faktor internal persahaan (tujuan, strategi, biaya, manajemen
organisasi, dan produk). Serta faktor eksternal yakni sifat pasar dan permintaan,
persaingan, lingkungan, dan juga faktor lainnya yakni pada margin dan profit.
2.3 Penelitian Terdahulu
Nama
Metode
No Peneliti, Variabel
Judul Penelitian Analisis Hasil Penelitian
Tahun
a. Variabel Autoregressive
Analisis TPID berpengaruh positif
dependen: (AR) time series
Persistensi Inflasi terhadap inflasi, terbukti
Fatimah Inflasi dengan
1 Jawa Timur Suatu setelah adanya TPID,
(2013) b. Variabel menggunakan
Pendeketakan Sisi persistensi inflasi cenderung
independen: data bulanan
Penawaran menurun
TPID 2006-2012
2 Persistensi inflasi Autoregression Tingkat persistensi inflasi di
di Jakarta dan a. Variabel data time series Jakarta masih tinggi dengan
Arimurti Implikasinya Dependen:Inflas kelompok komoditi
(2011) Terhadap i penyumbang persistensiyakni
Kebijakan b. Variabel kelompok makanan tingginya
pengendalian Independen:Kel persistensi inflasi di Jakarta
daerah ompok disebabkan oleh penetapan
Penyusun harga oleh pemerintah dan
Inflasi, shock pada kelompok
PengendalianInfl makanan, tingginya
persistensi Jakarta disebabkan
oleh penetapan harga oleh
asi Daerah pemerintah (administred
price) dan shock pada
vollative food.
Kebijakan moneter secara
a. Variabeldepende efektif dapat mencegah
Rulyusa Inflasi Makanan n: inflasi dampak Spillover inflasi
Pratikto dan dan Implikasinya b. Variabel makanan ke inflasi non
Strucural Vector
3. Mohammad Terhadap independen: makanan. Selain itu, stabilitas
Autoregression
Ikhsan Kebijakan Moneter Harga pangan, nilai tukar dapat memiliki
(2017) di Indonesia daya beli peran mengurangi volatifitas
masyarakat inflasi makanan terutama
pada jangka panjang.
4. Masagus, et AnalisisPesistensi a. Variabel Kuantitaifyang Kondisi pasokan yang terbatas
al(2016) inflasikomoditas dependen: berbasis data dan kuatnya dominasi
pangan strategis di inflasi sekunder penyuplai/distributor dan
Daerah b. Variabel pedagang besar yang
independen: mendorong ekspetasi kenaikan
kelompok harga, umunya pegangan
komoditas
memperoleh kenaikan profit
bahan pangan
margin daripada saat pasokan
(bahan
melimpah.
makanan)
Tergolong tinggi untuk nilai
peristensi inflasinya yakni
Poppy Analisis Persistensi
a. Variabel 0,85, serta waktu yang
5. Erviana Inflasi Di Jawa Autoregressive
dependen: dibutuhkan inflasi ke tingkat
(2016) Tengah
alamiahnya membutuhkan
waktu sekitar 6 bulan.
Hasil yang didapat yakni nilai
persistensi di Aceh relatif lebih
Effect of
rendah dibandingkan daerah-
Commodity
daerah yang nilai inflasinya
Fuad Ridzqi OnInflation
6. Autoregressiv lebih tinggi di Indonesia.
(2019) Persistence:
Adapun terdapat shock dapat
Partial Adjustment
kembali pulih dengan
Appoach
memakan waktu sekita 1,2
bulan
Hasil peneltian menujukkan
Macroeconomic dampak guncangan
Inflation targeting,
Model dengan makroekonomi seperti
Aggregation, and
menggunakan penyimpangan output pada
Peter inflation
metode persistensi yang mengarah
7. Tillman persistence:
Autoregresive pada peristensi ekstrinsik.
(2012) Evidence from
untuk Dengan demikian dapat
Korea CPI
menghitung nilai mempengaruhi nilai tukar
component
inflasinya terhadap nilai dollar karena
goncangan nilai inflasi.
2.4
2.3.1 Persamaan Penelitian Saat Ini dengan Penelitian Sebelumnya
Penelitian ini memiliki persamaan seperti halnya pada Fatimah (2013)
objek penelitian ini adalah daerah Jawa Timur. Dimana hasil dari penelitian
sebelumnya menujukkan persistensi inflasi Jawa Timur masih sangat tinggi.
Untuk Metode analisis penelitian ini memakai Autoregressive untuk menghitung
tingkat persistensi inflasi dan PAM (Partial Adjusment Mode) untuk melihat
faktor yang menyebabkan persistensi inflasi itu terjadi. Terdapat persamaan dalam
penelitian sebelumnya untuk kategori metode analisis yang diapakai Fatimah
(2013), Arimurti (2011), dan Azwar, Achmat Subekan (2017) yang dimana dalam
peneltian tersebut juga memakai metode Autoregressive dalam menguji
penelitiannya. Tujuan penelitian sebelumnya yakni sebagian besar bertujuan untuk
mengukur adanya pengaruh tingkat persistensi inflasi terhadap inflasi.
2.3.2 Perbedaan Penelitian Saat Ini dengan Penelitian Sebelumnya
Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian sebelumnya,
Perbedaannya terletak pada tahun penelitian. Adapun perbedaan disini terletak
pada tahun yang akan diteliti dimana Fatimah (2013) memakai pada tahun 2006-
2012 sedangkan penelitian ini memakai tahun 2013-2018. Perbedaan selanjutnya
yakni terletak pada objek penelitian dimana penelitian ini memakai fokus
penelitian di Provinsi Jawa Timur. Untuk penelitian Arimurti (2011) terletak di
Daerah Jakarta, lalu Poppy Erviana (2016) yang meneliti di Provinsi Jawa
Tengah, Peter Tillman (2012) di Negara Korea, Azwar, Achmat Subekan (2017)
di Provinsi Papua, Ihsan Amruh (2015) provinsi Sumatera. Perbedaan Metode
analisis yang dimana seperti pada penelitian Masagus et al. (2016) memakai
analisis kuantitaif yang berbasis data sekunder. Perbedaan selanjutnya yakni hasil
daripada penelitian itu sendiri. Dimana Ihsan Amruh (2015) mengatakan tingkat
persistensi inflasi di Sumatera nilainya rendah dan untuk Fatimah (2013) yang
mengatakan tingkat persistensi di Jawa Timur yang nilainya Tinggi.
2.4 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual adalah sebuah kerangka pemikiran dalam penelitian
yang digunakan untuk acuan dalam melaksanakan proses penelitian. Kerangka
konseptual menujukkan suatu gambaran tentang fokus penelitian yang akan
dilakukan oleh peneliti menuju tujuan yang akan dicapai dalam peneletian. Fokus
penelitian ini adalah untuk melakukan analisis persistensi inflasi yang terjadi di
Jawa Timur melalui Variabel Independen yakni tujuh pengeluaran kelompok yang
didasarkan pada nilai Indeks Harga Konsumen pada masa periode 2014-2018
dimana hal ini didasarkan teori J.M Keynes dari segi penawaran dan teori
permintaan yang didasarkan pada teori kuantitas (Irving Fisher) yang didasarkan
pada stabilitas nilai tukar dan harga barang jasa yang bertujuan untuk menjaga
stabilitas inflasi perekonomian. Namun ruang lingkup penelitian ini didasarkan
pada segi penawaran. Penelitian ini dimaksudkan untuk menjaga nilai inflasi
nasional yang didapat dari stabilitas harga inflasi daerah yang diakibatkan oleh
adanya shock sehingga dapat menjauh nilai titik keseimbangannya sehingga dapat
mengetahi derajat nilai persistensi inflasinya. Adapun tujuh pengeluaran
kelompok yakni Indeks harga kelompok bahan makanan; indeks harga kelompok
makanan jadi,minuman,rokok dan tembakau; Indeks harga kelompok perumahan;
Indeks harga sandang; Indeks harga kesehatan; Indeks harga kelompok
pendidikan, rekreasi dan olahraga; dan terakhir yakni Indeks harga kelompok
transportasi dan komunikasi. Dalam menentukan bahwa wilayah tersebut terdapat
adanya persistensi inflasi yang tinggi atau sebaliknya tingkat persistensi inflasi
yang rendah kita perlu menganalisisnya dengan perhitungan berdasarkan pada
tingkat inflasi daerah tersebut. Setelah mendapatkan nilai perhitungan persistensi
inflasi maka langkah selanjutnya yakni menghitung faktor yang menyebabkan
persistensi inflasi terletak pada sisi pengeluaran dimana jika terjadi shock butuh
pemulihan dalam jangka waktu yang panjang atau sebaliknya. Variabel-variabel
diatas dapat disimpulkan sebagai variabel penelitian untuk mengetahui bagaimana
cara pengendalian inflasi dapat dilakukan baik dalam jangka panjang maupun
jangka pendek.
Inflasi Nasional

Teori Inflasi J.M


Keynes
Teori Inflasi
Irving Fisher
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
Permintaan Penawaran

Harga Nilai Rupiah Indeks Indeks Indeks Indeks Indeks Indeks Indeks
Barang dan makanan transportasi dan Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan, makanan
Jasa komunikasi Rekreasi, dan jadi,
Olahraga minuman,
rokok dan
tembakau

Stabilitas Inflasi Persistensi Jawa Timur


Perekonomian

Pengendalian Inflasi
2.5 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang dilakukan serta
tinjauan pustaka dan penelitian terdahulu yang telah dipaparkan sebelumnya
hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
H0 : Persistensi Inflasi berpengaruh positif terhadap pengendalian inflasi di
Provinsi Jawa Timur
H1 : Persistensi Inflasi berpengaruh negatif terhadap pengendalian inflasi di
Provinsi Jawa Timur
BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
3.1.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan tipe deskriptif dengan pendekatan metode
analisis kuantitatif, sebagaimana yang dikemukakan oleh Supardi (2005). Penelitian
ini merupakan penelitian yang menekankan pada pengujian teori-teori melalui
pengukuran variable-variabel. Selanjutnya, untuk pengukuran kuantitaif berbasis
sekunder sendiri menggunakan dengan analisis statistik. Sulistyo Basuki (2006)
menjelaskan penelitian deskriptif mempunyai arti mencoba mencari deskripsi yang
tepat dan cukup dari semua aktifitasnya, objek, proses, dan manusia. Setelah
mendapatkan informasi yang dirasa cukup barulah disimpulkan dalam bentuk
penjabaran secara deskriptif.
3.2 Batasan Operasional
Penelitian ini menguji bagaimana persistensi inflasi di Jawa Timur. Dimana
terdapat 2 bagian yakni bagaimana tingkat persistensi di Jawa Timur dan penyebab
adanya persistensi di Jawa Timur.
3.3 Jenis Data
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan data
sekunder dalam bentuk time series. Data time series yang digunakan yakni pada bulan
Januari hingga Desember selama 2014-2018 tahun berturut turut. Adapun variabel
yang digunakan yakni:
1. Inflasi (INF)
Data inflasi yang digunakan yakni data inflasi bulanan yang dimana data inflasi di
ambil dari nilai delapan kota di Provinsi Jawa Timur yang digunakan untuk mengatur
kenaikan biaya hidup yang mencakup barang dan jasa yang banyak dikonsumsi
masyarakat dan dalam hal ini untuk melakukan pengujuian terhadap derajat nilai
persistensi inflasi di Jawa Timur.
2. Kelompok Komoditi Penyusun IHK
Penelitian ini didasarkan pada nilai Indeks Harga Konsumen dimana terdapat 7
kelompok pengeluaran dalam sisi penawaran. Akan tetapi dalam penelitian ini lebih
mengacu pada bahan makanan dan bahan Transportasi dan komunikasi untuk
dijadikan sampel penelitian yang dimana nilai terbesar masih mengacu pada
kelompok bahan makanan dan bahan transportasi.
3.4 Sumber Data
Data sekunder yang diambil dari data inflasi dan juga data indeks harga konsumen
bersumber pada Badan Pusat Statistik (BPS), World Bank dan bersumber dari data
yang mendukung penelitian ini.
3.5 Metode Analisis Data
1. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik
Suatu pengujian yang harus dilaksanakan untuk mengetahui hasil estimasi regresi
linier berganda agar hasilnya dapat dikatakan baik dan efisien. Penelitian ini
memenuhi syarat bebas dari asumsi klasik dimana data tidak mengandung
autokorelasi, untuk itu diperlukan pengujian asumsi klasik yang terdiri dari:
a. Uji Autokorelasi
Model regresi yang baik yakni regresi yang bebas dari autokorelasi. Cara yang
digunakan untuk mendekteksi ada tidaknya autokorelasi dengan model Durbin
Watson (dw-test). Autokorelasi adalah keadaan dimana variabel error-term pada
periode tertentu berkorelasi dengan variabel error-term pada periode yang lain yang
bermakna variabel error-term tidak random. Pelanggaran terhadap asumsi ini
berakibat pada interval keyakinan terhadap hasil estimasi menjadi melebar sehingga
uji signifikasi tidak tepat sasaran. Langkah pendekatannya adalah dengan
membandingkan nilai Durbin Watson Statistic Table dengan Ho tidak ada
autokorelasi bila DW berada di:
0(a) d1 (b) du (c) (4-du) (d) (4-d1) (e) 4
Ho = tidak ada autokorelasi
(a) = daerah menolak Ho = ada autokorelasi positif
(b) = daerah ragu-ragu
(c) = daerah tidak menolak Ho = tidak ada auto korelasi positif atau negatif
(d) = daerah ragu-ragu
(e) = daerah menolak Ho = ada autokorelasi negative
2. Uji Kesesuaian
a. Koefisien Determinan (R2)
Tujuan ini untuk meningkatkan keeratan atau keterikatan anatar variabel dependen
dan variabel independen yang bisa dilihat dari besarnya nilai koefisien determinasi
(adjusted R-Square).Nilai koefisien determinasi adalah nol dan satu. Nilai R2 yang
kecil berarti kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan
keterikatannya dengan variabel dependen amat terbatas sedangkan nilai mendekati
suatu variabel–variabel independen memberikan hampir semua informasi yang
dibutuhkan untuk memprediksi variabel-variabel dependen.
b. Uji t- Statistik (Uji Parsial)
Uji t dilakukan untuk menguji signifikan variabel bebas terhadap variabel terikat
secara individual. Hal ini dilakukan dengan membandingkan t hitung dengan tabel
pada level of siginifikan 5% dengan kriteria pengujian sebagai berikut:
Ho; β=0 artinya tidak pengaruh signifikan variabel indepnden terhadap dependen
H1; β≠0artinya ada pengaruh signifikasi variabel independen terhadap variabel
dependen
Jika t hitung < t tabel maka Ho diterima dan H1 ditolak
Jika t hitung > t tabel maka H1 diterima dan Ho ditolak

3. Teknik Analisis Data


a. Univariate Autoregressive (AR) Time Series Model
Untuk mengetahui tingkat persistensi Jawa Timur dengan menggunakan data
inflasi bulanan month to month. Arques (2004) model AR merupakan pengukur
persistensi inflasi yang baik serta berkaitan langsung dengan koefisien mean
reversion sebagai alternatif pengukuran tingkat persistensi inflasi. Adapun formula
AR dapat dijabarkan dalam berikut ini:
πt=𝜇 + ∑𝑗= 1 𝑘α jπt-j+ £t
Keterangan:
πt = Tingkat inflasi bulanan pada waktu t
µ = Kontanta dan hasil proses estimasi, sebagai kontrol terhadap
ratainflasi
∑𝑗=1 𝑘αjπt-j = Jumlah koefisien AR
£t = Random Error atau residual dari Regresi Persamaan diatas
Tingkat peristensi inflasi dihitung dengan menjumlahkan koefisien AR, dengan
yakni sebagai berikut: ((p=∑𝑗=1𝑘 αj).
b. Partial Adjusment Model untuk mengukur penyebab Persistensi Inflasi
Setelah mengetahui derajat persistensi inflasi di Jawa Timur, selanjutnya adalah
melakukan analisis terhadap penyebab persistensi inflasi di Jawa Timur terutama pada
sisi penawaran. Untuk mengetahui sumber persistensi maka perhitungan
menggunakan Partial Adjustment Model (PAM) dengan persamaan awal:
Yt= γβ0 + γβXt+1 – γYt-1 + νt; dimana νt=ծet
Dalam hal ini model PAM juga termasuk model autoregressive. Maka model awal
persamaan dalam penelitian ini yakni:
INFt= β0 + β1BAMAt + β2MAMINt + β3PERUMt + β4SANt + β5KESt+
β6PENDIKt + β7TRANSt +1- Ծinft-1 + νt
Keterangan:
INF = Tingkat inflasi
BAMA = Indeks harga kelompok bahan makanan
MAMIN = Indeks harga kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan
tembakau
PERUM = Indeks harga kelompok perumahan
SAND = Indeks harga kelompok sandang
KES = Indeks harga kelompok kesehatan
PENDIK = Indeks harga kelompok pendidikan,rekreasi dan olahraga
TRANS = Indeks harga kelompok transportasi dan komunikasi
Β = Koefisien
Νt = Error terms
Kemudian jangka waktu untuk kembali ke nilai alamiahnya setelah adanya shock
dapat diukur dengan menggunakan rumus sebagai berikut: h = p/(1-p)
Dimana:
p = Derajat persistensi inflasi
h = Lamanya waktu
DAFTAR PUSTAKA

Affandi,Y. 2011. Unveiling Stubborn Inflation in Indonesia, Economics and Finance in


Indonesia,59 (1),47-70.
Altissimo, F., Ehrmann, M., dan F. Smets. 2006. Inflation persistance and Price Setting
Behaviour in the Euro Area: A Summary of the Inflation Persistence Network
Evidence, “ National Bank of Belgium WP” No.95.
Arimurti, Trinil dan Trisnanto, Budi. 2011. Persistensi Inflasi Di Jakarta dan Implikasinya
Terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah, Buletin Ekonomi Moneter
dan Perbankan.
Asekunowo, Victor. 2017. The Causes Persistent Inflation in Nigeria, CBNJournal of
Aplied Statistics Volume 7 Nomor 2.
Azwar dan Achmat Subekan. 2017. “ Analisis Persistensi Inflasi di Provinsi Papua Barat”,
Kajian Ekonomi dan Keuangan Volume 1 Nomor 2.
Bhattacharya, R., Rao, N., & Gupta,A.S. 2013. Understanding Food Inflation in India.
ADB South Asia Working Paper Series ,26. Manila: Asian Development Bank.
[ Diakses tanggal 11 maret 2014].
Boediono. 2016. Ekonomi Indonesia, Bandung: PT Mizan Pustaka.
Erviayana, Poppy. 2016. Analisis Persistensi Inflasi Jawa Tengah, Economic Development
Analysis Journal 5 (2) (2016).
Hidayati, Fatimah. 2013. Analisis Persistensi Inflasi Jawa Timur : Suatu Pendekatan Sisi
Penawaran, Jurnal Universitas Brawijaya. Volume 1 Nomor 2.
Hutabarat, Akhis R.. 2005. Determinan Inflasi di Indonesia, Occasional Paper. Bank
Indonesia: Direktorat Ekonomi dan Kebijakan Moneter.
Iskandar, Azwar.2016. Persistensi Inflasi Regional di Sulawesi Selatan, Indonesian
Treasury Review.
Keminfo Jatim.2013. http://kominfo.jatimprov.go.id/read/umum/38123. [Diakses pada
tanggal 02 Januari 2014].
Marques, C. R. 2004. Inflation Persistence: Facts or Artefacts? Economic Bulletin:.
Medcom.2019. https://www.medcom.id/ekonomi/makro/9K5E1Q1K-kenaikan-tiga-harga-
komoditas-tekan-inflasi-jatim.[Diakses pada tanggal 03 Mei 2019].
Mishkin, Frederic S. 2008. The economics of money, banking, and financial markets,
Jakarta: Salemba Empat.
Praktito,R., Ikhsan, M., & Mahi, B.R. 2015. Unequal Impact of Price Changes in
Indonesia. Economics and Finance in Indonesia, 61(3), 180-195.
Pratikto, Rulyusa dan Ikhsan, Muhammad. 2017. Inflasi Makanan dan Implikasinya
Terhadap Kebijakan Moneter di Indonesia, JEPI Volume 17 Nomor 1 Juli 2016,
hlm. 58-74.
Ridhwan, M. Masagus, dkk. 2016. Analisis Persistensi Inflasi Komoditas Pangan Strategis
Di Daerah: Working Paper, Bank Indonesia.
Ridzqi, Fuad dan Suriani. 2019. Effect Of Commodity Prices On Inflation Persistence:
Partial Adjustment Approach, Regional Science Inquiry, Volume XI, (2), Special
Issue,2019, pp. 121-135.
Suatwijaya, Adrian .2012. Pengaruh Faktor-Faktor Ekonomi Terhadap Inflasi di
Indonesia, Jurnal Organisasi dan Manajemen Volume 8 Nomor 2, September
2012, 85-101.
Suriani, Ridzqi, F. Effect Of Commodity Prices On Inflation Persistence: Partial
Adjestment Approach, Volume XI, (2), Special Issue, 2019, pp. 121-135.
Tillman, Peter. 2012. Inflation Targeting,Aggregation, Andinflation persistence: Evidence
from Korea CPI component, Seoul Journal Economics 2012, Volume 25 nomor 3.

Anda mungkin juga menyukai