SKRIPSI
Oleh:
Dina Rizkia Suwito
NIM 160810101048
Tabel diatas menjelaskan bahwa tingkat inflasi yang terjadi masih dapat
dikatakan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, sangat penting
untuk mempelajari tentang perilaku inflasi guna mendukung kebijakan yang akan
dicapai. Adanya perilaku inflasi dapat dilihat dari persistensi inflasi. Mengingat
inflasi nasional pada dasarnya merupakan gabungan dari inflasi di seluruh daerah,
maka pengendalian inflasi nasional perlu diperoleh gambaran yang utuh mengenai
perilaku inflasi daerah atau persistensi inflasi daerah. Marques (2005)
mendefinisikan persistensi inflasi sebagai kecepatan tingkat inflasi untuk kembali
ke tingkat ekuilibriumnya setelah timbulnya suatu shock. Derajat tingkat
peristensi yang tinggi menunjukkan lambatnya tingkat inflasi ke tingkat
alamiahnya dan begitupun sebaliknya. Shock disini dapat berupa kebijakan
pemerintah, gangguan distribusi, bencana alam, dan perubahan cuaca yang tidak
menentu. Oleh karena itu, perilaku inflasi sangat penting dipelajari dalam rangka
mendukung kebijakan atas respon dari perubahan tekanan terhadap inflasi agar
pengendalian inflasi lebih efektif.
Inflasi-inflasi daerah dengan inflasi national tidak menunjukkan adanya
konvergensi sehingga pola pergerakannya seringkali berbeda dengan pergerakan
inflasi nasional (Wimanda,2006). Hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan
kebijakan moneter tidak sepenuhnya efektif dalam menekan laju inflasi daerah,
sehingga diperlukan adanya penelitian lebih lanjut mengenai inflasi daerah.
Arimurti (2011) menyatakan bahwa tingginya tingkat inflasi di Jakarta disebabkan
oleh adanya penetapan harga oleh pemerintah (administred price) dan shock pada
volatile food. Penelitian yang dilakukan oleh Affandi (2011) menyatakan bahwa
inflasi tinggi yang dipengaruhi oleh bahan makanan menjadi salah satu penyebab
mengapa inflasi bersifat persisten. Lebih lanjut, terdapat urgensi yang tinggi
mengenai pengendalian inflasi makanan, mengingat dampaknya terhadap
penurunan kesejahteraan masyarakat miskin yang relatif tinggi dibandingkan
dengan inflasi pada komoditi lainnya. Praktikto et al. (2015) menunjukkan bahwa
masyarakat miskin di Indonesia sepanjang periode 2012-2017 telah mengalami
tingkat inflasi yang relatif lebih tinggi yang disebabkan komoditas makanan pada
periode tersebut meningkat relatif lebih tinggi dibandingkan komoditas lainnya.
Bhattacharya et al. (2013) pada perekonomian di India juga melihat bahwa
inflasi pada kelompok makanan juga berdampak terhadap non makanan melalui
pergeseran permintaaan dari barang makanan ke non makanan, dan begitu pula
sebaliknya. Peningkatan permintaan barang non makanan memberikan tekanan
terhadap inflasi pada kelompok barang tersebut. Pada akhirnya ,inflasi agrgeat
akan mendapatkan tekanan yang lebih dalam (Second Round Effect) sehingga
berdampak pada saat melaksanakan pengendalian inflasi akibat adanya
peningkatan inflasi salah satu kelompok barang. Keterbatasan pasokan dan
ekspetasi inflasi masyarakat menjadi faktor pendorong peningkatan inflasi.
Berdasarkan uraian yang didasarkan pada penelitian-penelitian sebelumnya bahwa
memepelajari derajat persistensi inflasi yang kadang kala terjadi sangatlah
diperlukan agar kebijakan moneter dapat segera merespon adanya shock yang
terjadi sehingga dapat mencegah dampak dari adanya persistensi tersebut.
Pengukuran persistensi inflasi difokuskan pada daerah Provinsi Jawa Timur
sehingga diharapkan dapat mengetahui nilai derajat persistensinya untuk kembali
ke titik alamiahnya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah tingkat persistensi inflasi di Jawa Timur?
2. Apa Faktor-faktor penyebab terjadinya persistensi inflasi di Jawa Timur?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tingkat persistensi inflasi di Jawa Timur
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya persistensi
inflasi di Jawa Timur
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Memberikan pemahaman baru mengenai cara menganalisa tingkat
persistensi di Jawa Timur serta mengembangkan penelitian yang lebih
dalam tentang pengendalian inflasi daerah masa mendatang.
2. Bagi Pembaca
Sebagai referensi pengetahuan khususnya dalam bidang ekonomi dan
menambah wawasan serta informasi mengenai pengendalian inflasi
daerah.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Inflasi
Irving Fisher dalam bukunya Sadono Sukirno (2002:25), menjelaskan
bahwa inflasi disebabkan oleh tiga faktor yakni jumlah uang beredar, kecepatan
peredaran uang, dan jumlah barang yang diperdagangkan. Menurutnya inflasi
adalah proses kenaikan harga barang secara umum yang berlaku dalam
perekonomian. Ini tidak berarti bahwa harga-harga berbagai macam barang itu
naik dengan proses yang sama. Namun, terdapat kenaikan harga-harga umum
secara terus menerus selama periode tertentu. Kenaikan yang terjadi hanya satu
kali saja (meskipun dengan presentase yang cukup besar) bukanlah bagian dari
inflasi. Boediono (1999) menjelaskan bahwa inflasi merupakan kecenderungan
dari harga-harga untuk menaik secara menyeluruh terus menerus. Kenaikan harga
salah satu barang belum bisa dikatakan sebagai inflasi. Namun, dapat dikatakan
inflasi apabila terjadi kenaikan harga barang yang dapat meluas sehingga dapat
menyebabkan naiknya sebagian besar dari barang-barang lainnya. Menurut
Hutarabat (2005) masing-masing sumber tekanan inflasi dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Inflasi Permintaan (Demand Pull Inflation)
Inflasi sisi permintaan merupakan inflasi yang dipicu oleh adanya kelebihan
permintaan dalam interkasi anatara permintaan dan penawaran. Bertambahnya
permintaan dapat disebabkan oleh naiknya permintaan domestik, pengeluaran
pemerintah, atau permintaan ekspor.
2. Inflasi Penawaran (Cost Push Inflation)
Inflasi sisi penawaran merupakan inflasi yang disebabkan oleh kenaikan biaya
produksi suatu barang atau jasa. Termasuk dalam kategori tersebut adalah
kenaikan harga komoditas global yang diimpor sehingga meningkatkan biaya
produksi, dan pada gilirannya (apabila ditransmisikan ke harga konsumen) akan
meningkatkan tekanan inflasi. Selain itu, inflasi jenis ini juga berasal dari
kenaikan harga komoditas yang harganya diatur oleh pemerintah (Adminstered
Prices) diantaranya Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Tarif Tenaga Listrik (TTL).
Kenaikan harga BBM atau tenaga listrik tersebut juga akan memicu peningkatan
ongkos produksi atau pengadaan barang jasa lainnya. Sehingga juga berpotensi
meningkatkan tekanan inflasi.Terakhir adalah inflasi yang disebabkan oleh
kejutan (shoks) dari komoditas bahan pangan yang sangat rentan terhadap
gangguan cuaca atau iklim.
Adapun perbedaan mengenai demand pull inflation antara lain: (a) Demand
pull inflation dapat meningkatkan output sedangkan pada cost push inflation
justru menurunkan output dan (b) Pada demand pull inflation kenaikan harga
barang mendahului kenaikan harga bahan-bahan input (material), sedangkan pada
cost push inflation maka kenaikan harga barang input mendahului kenaikan harga
output.
3. Ekspektasi Inflasi
Adapun faktor terkahir yang berpengaruh terhadap inflasi adalah ekspetasi
inflasi yang merupakan tingkat inflasi yang berada di benak masyarakat. Ekspetasi
inflasi tersebut tergantung pada pandangan subyektif dari perilaku ekonomi.
Perilaku pembentukan tersebut tergantung pada pandangan subyektif dari pelaku
ekonomi. Perilaku pembentukan ekspetasi inflasi pada umumnya dapat berbentuk
adaptif backward looking, forward looking maupun gabungan dari keduanya.
Pembentukan ekspetasi inflasi adaptif artinya masyarakat masih menjadikan
peristiwa masa lalu (fakta historis) sebagai acuan. Ekspetasi inflasi yang adaptif
terbentuk oleh realisasi inflasi periode sebelumnya.
2.1.2 Teori Pembentukan Inflasi
Inflasi tidak terbentuk dengan sendirinya,terdapat beberapa hal yang dapat
menyebabkan inflasi. Ada tiga pembentuk inflasi yakni ekspetasi inflasi, inflasi
dari sisi permintaan dan inflasi dari sisi penawaran (Hutarabat,2005). Ekspetasi
inflasi merupakan determinan inflasi yang berperan penting secara subyektif
dalam pembentukan harga dan upah. Jika perusahaan menilai bahwa berdasarkan
pengalaman inflasi masa lalu inflasi akan tetap terjadi atau bertahan, maka
perusahaan akan menaikkan harga, meskipun prospek ekonomi tidak menujukkan
tanda-tanda bakal terjadi penekanan pada permintaan. Jadi dalam hal ini
sebagiandari besaran inflasi pada dasarnya terjadi karena pandangan subyektif
dari pelaku ekonomi mengenai apa yang akan terjadi di depan.
Inflasi permintaan merupakan inflasi yang dipicu oleh adanya interaksi
permintaan dan penawaran domestik pada jangka panjang.Tekanan inflasi dari sisi
permintaan dan penawaran domestik pada jangka panjang. Tekanan inflasi dari
sisi permintaan dipresentasikan dari sisi output gap, yakni selisih antara output
aktual dengan output potensial. Ketika dalam kondisi output aktual berada diatas
output potensialnya (output gap positif), maka kenaikan kondisi output aktual
lebih kecil dari output potensial. Kenaikan output gap berarti mengurangi tekanan
inflasi. Inflasi permintaan bisa dikendalikan melalui BI Rate, Giro Wajib
Minimum (GWM), dan Open Market Operation. Sedangakan Inflasi penawaran
merupakan jenis inflasi yang disebabkan oleh penawaran yang lebih rendah jika
dibandingkan dengan tingkat permintaan. Penawaran yang rendah disebabkan
oleh adanya kenaikan biaya produksi sehingga mengakibatkan produsen harus
mengurangi produksinya sampai jumlah tertentu atau menaikkan harga barang.
2.1.3 Definisi Persistensi Inflasi
Altissimo et al. (2006) menjelasknan bahwa persistensi inflasi merupakan
kecenderungan inflasi untuk konvergen menuju keseimbangan jangka panjang
secara perlahan setelah terjadi suatu shock yang telah membawa inflasi menjauhi
keseimbangan jangka panjangnya. Willis (2003) mengatakan bahwa persistensi
inflasi sebagai waktu yang dibutuhkan oleh inflasi untuk kembali ke base line
setelah adanya shock.
Adanya pendalaman materi mengenai peristensi inflasi berguna untuk
meningkatkan keampuan peramalan inflasi, memperoleh kejelasan efek dinamis
dari exogeneous price shocks, memberikan informasi petunjuk dan memperbaiki
kebijakan moneter, dan untuk menilai apakah rezim kebijakan moneter yang
berbeda akan menghasilkan persistensi yang berbeda (Stock, 2004).
Adapun derajat nilai persistensi yang tinggi menujukkan lambatnya tingkat
inflasi ke tingkat alamiahnya. Sebaliknya derajat persistensi yang rendah
menunjukkan cepatnya tingkat inflasi untuk ke titik alamiahnya, dan shock yang
dimaksud antara lain berupa kebijakan pemerintah, gangguan distribusi, bencana
alam, dan perubahan cuaca. Studi mengenai persistensi inflasi memberikan
gambaran untuk memperbaiki kebijakan moneter dan untuk menilai apakah
kebijakan moneter berbeda akan menghasilkan tingkat persistensi yang berbeda
(Arimurti, 2011).
2.1.4 Pengukuran Persistensi Inflasi
Pengukuran persistensi inflasi dapat dilakukan dengan dua pendekatan,
yakni pendekatan univariat dan multivariat model. Untuk univariat hanya
ditekankan pada data time series, sedangkan pendekatan multivariat mencakup
juga tambah informasi seperti output riil dan tingkat suku bunga sentral (Dossche
dan Everaert, 2005). Beberapa penelitian yang telah dilakukan, pendekatan
univariat dengan menggunakan model autoregressive (AR) time series merupakan
pendekatan yang sering kali digunakan dalam riset empiris. Marques (2004)
menyatakan bahwa model AR merupakan pengukur persistensi inflasi yang cukup
baik, serta berkaitan langsung dengan koefisien mean reversion sebagai pengukur
persistensi inflasi cukup baik, serta berkaitan langsung dengan koefision mean
reversion sebagai alternatif pengukuran tingkat persistensi inflasi. Adapun
formula AR dengan order p dapat dijabarkan sebagai berikut:
Keterangan:
Πt = Tingkat inflasi bulanan pada waktut
µ = Kontanta dan hasil proses estimasi, sebagai kontrol terhadap rata
inflasi
∑𝑗=1 𝑘 αjπt-j = Jumlah koefisien AR
£t = Random Error atau residual dari Regresi Persamaan diatas
Harga Nilai Rupiah Indeks Indeks Indeks Indeks Indeks Indeks Indeks
Barang dan makanan transportasi dan Perumahan Sandang Kesehatan Pendidikan, makanan
Jasa komunikasi Rekreasi, dan jadi,
Olahraga minuman,
rokok dan
tembakau
Pengendalian Inflasi
2.5 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang dilakukan serta
tinjauan pustaka dan penelitian terdahulu yang telah dipaparkan sebelumnya
hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
H0 : Persistensi Inflasi berpengaruh positif terhadap pengendalian inflasi di
Provinsi Jawa Timur
H1 : Persistensi Inflasi berpengaruh negatif terhadap pengendalian inflasi di
Provinsi Jawa Timur
BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
3.1.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan tipe deskriptif dengan pendekatan metode
analisis kuantitatif, sebagaimana yang dikemukakan oleh Supardi (2005). Penelitian
ini merupakan penelitian yang menekankan pada pengujian teori-teori melalui
pengukuran variable-variabel. Selanjutnya, untuk pengukuran kuantitaif berbasis
sekunder sendiri menggunakan dengan analisis statistik. Sulistyo Basuki (2006)
menjelaskan penelitian deskriptif mempunyai arti mencoba mencari deskripsi yang
tepat dan cukup dari semua aktifitasnya, objek, proses, dan manusia. Setelah
mendapatkan informasi yang dirasa cukup barulah disimpulkan dalam bentuk
penjabaran secara deskriptif.
3.2 Batasan Operasional
Penelitian ini menguji bagaimana persistensi inflasi di Jawa Timur. Dimana
terdapat 2 bagian yakni bagaimana tingkat persistensi di Jawa Timur dan penyebab
adanya persistensi di Jawa Timur.
3.3 Jenis Data
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan data
sekunder dalam bentuk time series. Data time series yang digunakan yakni pada bulan
Januari hingga Desember selama 2014-2018 tahun berturut turut. Adapun variabel
yang digunakan yakni:
1. Inflasi (INF)
Data inflasi yang digunakan yakni data inflasi bulanan yang dimana data inflasi di
ambil dari nilai delapan kota di Provinsi Jawa Timur yang digunakan untuk mengatur
kenaikan biaya hidup yang mencakup barang dan jasa yang banyak dikonsumsi
masyarakat dan dalam hal ini untuk melakukan pengujuian terhadap derajat nilai
persistensi inflasi di Jawa Timur.
2. Kelompok Komoditi Penyusun IHK
Penelitian ini didasarkan pada nilai Indeks Harga Konsumen dimana terdapat 7
kelompok pengeluaran dalam sisi penawaran. Akan tetapi dalam penelitian ini lebih
mengacu pada bahan makanan dan bahan Transportasi dan komunikasi untuk
dijadikan sampel penelitian yang dimana nilai terbesar masih mengacu pada
kelompok bahan makanan dan bahan transportasi.
3.4 Sumber Data
Data sekunder yang diambil dari data inflasi dan juga data indeks harga konsumen
bersumber pada Badan Pusat Statistik (BPS), World Bank dan bersumber dari data
yang mendukung penelitian ini.
3.5 Metode Analisis Data
1. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik
Suatu pengujian yang harus dilaksanakan untuk mengetahui hasil estimasi regresi
linier berganda agar hasilnya dapat dikatakan baik dan efisien. Penelitian ini
memenuhi syarat bebas dari asumsi klasik dimana data tidak mengandung
autokorelasi, untuk itu diperlukan pengujian asumsi klasik yang terdiri dari:
a. Uji Autokorelasi
Model regresi yang baik yakni regresi yang bebas dari autokorelasi. Cara yang
digunakan untuk mendekteksi ada tidaknya autokorelasi dengan model Durbin
Watson (dw-test). Autokorelasi adalah keadaan dimana variabel error-term pada
periode tertentu berkorelasi dengan variabel error-term pada periode yang lain yang
bermakna variabel error-term tidak random. Pelanggaran terhadap asumsi ini
berakibat pada interval keyakinan terhadap hasil estimasi menjadi melebar sehingga
uji signifikasi tidak tepat sasaran. Langkah pendekatannya adalah dengan
membandingkan nilai Durbin Watson Statistic Table dengan Ho tidak ada
autokorelasi bila DW berada di:
0(a) d1 (b) du (c) (4-du) (d) (4-d1) (e) 4
Ho = tidak ada autokorelasi
(a) = daerah menolak Ho = ada autokorelasi positif
(b) = daerah ragu-ragu
(c) = daerah tidak menolak Ho = tidak ada auto korelasi positif atau negatif
(d) = daerah ragu-ragu
(e) = daerah menolak Ho = ada autokorelasi negative
2. Uji Kesesuaian
a. Koefisien Determinan (R2)
Tujuan ini untuk meningkatkan keeratan atau keterikatan anatar variabel dependen
dan variabel independen yang bisa dilihat dari besarnya nilai koefisien determinasi
(adjusted R-Square).Nilai koefisien determinasi adalah nol dan satu. Nilai R2 yang
kecil berarti kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan
keterikatannya dengan variabel dependen amat terbatas sedangkan nilai mendekati
suatu variabel–variabel independen memberikan hampir semua informasi yang
dibutuhkan untuk memprediksi variabel-variabel dependen.
b. Uji t- Statistik (Uji Parsial)
Uji t dilakukan untuk menguji signifikan variabel bebas terhadap variabel terikat
secara individual. Hal ini dilakukan dengan membandingkan t hitung dengan tabel
pada level of siginifikan 5% dengan kriteria pengujian sebagai berikut:
Ho; β=0 artinya tidak pengaruh signifikan variabel indepnden terhadap dependen
H1; β≠0artinya ada pengaruh signifikasi variabel independen terhadap variabel
dependen
Jika t hitung < t tabel maka Ho diterima dan H1 ditolak
Jika t hitung > t tabel maka H1 diterima dan Ho ditolak