Anda di halaman 1dari 21

ANALISIS KINERJA EKONOMI MAKRO PROVINSI JAWA TENGAH

Disusun oleh :

Nama : Rosita Azzahra

NIM : A031211075

Prodi : Akuntansi

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2021
A. PENDAHULUAN
Peningkatan kesejahteraan masyarakat di suatu daerah menjadi
tujuan akhir dari proses pembangunan. Pemerintah pusat maupun daerah
secara berkelanjutan akan selalu memastikan bahwa proses pembangunan
berjalan dengan baik. Dengan demikian kesejahteraan masyarakat yang
merupakan indikator meningkatnya kualitas hidup masyarakat dapat
terwujud. Salah satu cara memastikan proses pembangunan berjalan
dengan baik adalah dengan mengukur capaian kerja perekonomian baik
mikro maupun makro dengan menggunakan indikator-indikatornya. Dalam
pepatah Jawa terkenal istilah alon-alon waton kelakon. Artinya kurang lebih
bergerak perlahan tetapi pasti, atau tidak terburu-buru dalam bertindak.
Namun, kali ini Provinsi Jawa Tengah tampaknya harus menekan pedal gas
lebih dalam untuk memacu Pertumbuhan Domestik Regional Bruto (PDRB).
Tidak tanggung-tanggung, Jateng menargetkan pertumbuhan ekonomi
hingga 7% pada 2023 atau dalam 5 tahun mendatang. Selanjutnya dalam
paper ini akan dibahas lebih lanjut mengenai kinerja ekonomi makro di
provinsi Jawa Tengah.

B. PEMBAHASAN
a. Pengertian

Kinerja berasal dari kata Job Performance atau actual performance


yang berarti prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh
seseorang. Pengertian kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan
kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan
fungsinya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Menurut Suratno, dkk (2006: 9) economic performance adalah kinerja


ekonomi secara makro dari sekumpulan perusahaan dalam suatu industri.
Jadi dengan demikian kinerja ekonomi adalah kinerja perusahaan dalam
bidang ekonomi dan merupakan suatu industri yang sama. Dalam
mengukur capaian kerja ekonomi dapat dilihat melalui indikator dari
berbagai kegiatan pembangunan ekonomi maupun sosial. Indikator makro
pembangunan tersebut terdiri dari stabilitas harga dan inflasi, pertumbuhan
ekonomi dan PDB, pendapatan perkapita dan kemiskinan, kesempatan
kerja dan tingkat pengangguran, serta ketimpangan ekonomi. Mengetahui
capaian kinerja makro suatu perekonomian menjadi penting karena
hasilnya dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain dapat
digunakan oleh pemerintah untuk mengarahkan kebijakannya yang
dibutuhkan sesuai dengan perkembangan makro perekonomian yang
dicapai pada waktu tertentu.

b. Stabilitas Harga dan Inflasi

Inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara
umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Deflasi merupakan
kebalikan dari inflasi, yakni penurunan harga barang secara umum dan
terus menerus. Perhitungan inflasi dilakukan oleh Badan Pusat Statistik
(BPS), link ke metadata SEKI-IHK. Kenaikan harga dari satu atau dua
barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau
mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Berdasarkan the
Classification of Individual Consumption by Purpose (COICOP), IHK
dikelompokkan ke dalam tujuh kelompok pengeluaran, yaitu:

1. Bahan Makanan.
2. Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau.
3. Perumahan.
4. Sandang.
5. Kesehatan.
6. Pendidikan dan Olahraga.
7. Transportasi dan Komunikasi.

Stabilitas harga (price stability) adalah ketika tingkat inflasi rendah dan
tidak berfluktuasi secara ekstrim. Stabilitas tidak berarti inflasi adalah nol
persen. Misalnya, persentasenya bergerak antara 1-2%. Tingkat inflasi
yang stabil rendah memungkinkan keputusan bisnis dan konsumen jangka
panjang yang lebih akurat. Ekspektasi inflasi juga akan cukup stabil dan dari
hari ke hari. Bank Indonesia memberikan tiga alasan pentingnya kestabilan
harga, sebagai berikut:

 Inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat


akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan
akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin bertambah
miskin.
 Inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian bagi pelaku
ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris
menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan
keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi , dan
produk yang akhirnya menurunkan pertumbuhan ekonomi.
 Tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat
inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil
menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada
nilai rupiah.

1. Inflasi Secara Umum

Inflasi Provinsi Jawa Tengah pada triwulan IV 2020 sebesar 1,55%


(yoy), melanjutkan penurunan yang telah berlangsung sejak triwulan I 2020
(3,25%; yoy). Sesuai dengan pola historisnya, secara triwulan Jawa Tengah
mengalami peningkatan tekanan harga dengan mencatatkan inflasi
sebesar 0,81% (qtq). Peningkatan tekanan harga secara triwulan tersebut
relatif masih lebih rendah dibandingkan tren historis 5 tahun terakhir.

Rendahnya inflasi Jawa Tengah sejalan dengan penurunan tekanan


inflasi di tingkat nasional maupun kawasan Jawa yang masing-masing
sebesar 1,69% (yoy) dan 1,73% (yoy) pada triwulan IV 2020. Dibandingkan
provinsi lain di kawasan Jawa, Jawa Tengah mencatat inflasi tahunan
terendah kedua setelah Jawa Timur. Penurunan Inflasi Jawa Tengah
secara keseluruhan tahun 2020 tersebut mencerminkan terbatasnya
permintaan masyarakat Jawa Tengah di tengah penurunan kinerja ekonomi
akibat fenomena pandemi Covid-19.
2. Perkembangan Inflasi Provinsi Jawa Tengah Tahun 2020
Secara keseluruhan tahun 2020, inflasi Jawa Tengah mengalai
penurunan dibandingkan tahun 2019, dari sebesar 2,93% (yoy) menjadi
1,55% (yoy). Penurunan tekanan inflasi pada tahun 2020 terutama
berlangsung pada Kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas dan Bahan Bakar
Lainnya serta Kelompok Pendidikan. Hal ini juga sejalan dengan tendensi
masyarakat yang memilih menahan konsumsi di tengah lesunya kinerja
perekonomian.
c. Pertumbuhan Ekonomi dan PDB

PDB merupakan salah satu indikator dari pertumbuhan ekonomi. PDB


biasanya dihitung atas dasar harga yang berlaku atau atas dasar harga
konstan. PDB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat
pergeseran dan struktur ekonomi, sedangkan PDB atas dasar harga
konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan Ekonomi dari tahun ke
tahun.

Ada beberapa metode penghitungan PDB yang berlaku, yang pertama


yaitu melalui pendekatan produksi, yaitu penjumlahan seluruh produksi
barang dan jasa yang terjadi dalam satu tahun, yang kedua pendekatan
pendapatan yaitu dengan menjumlahkan sewa dari pendapatan faktor
produksi tetap, bunga untuk pemilik modal, upah pekerja dan laba
pengusaha dalam satu periode dan selanjutnya adalah pendekatan
pengeluaran yaitu dengan menjumlahkan konsumsi rumah tangga,
investasi oleh sektor usaha, pengeluaran pemerintah dan hasil
pengurangan dari ekspor dan impor barang.
Pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah mengalami perbaikan pada
triwulan IV 2020.Perekonomian Jawa Tengah pada triwulan IV 2020
tumbuh -3,34% (yoy), lebih baik dari triwulan III 2020 sebesar -3,79% (yoy).
Meningkatnya mobilitas masyarakat mendorong peningkatan aktivitas
ekonomi di Jawa Tengah. Meskipun membaik, kinerja perekonomian Jawa
Tengah tersebut berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional yang
sebesar -2,19% (yoy) dan kawasan Jawa (-2,60%; yoy). Sementara itu,
secara triwulan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Tengah
tumbuh -1,89% (qtq), lebih rendah dibandingkan 4,79% (qtq) pada triwulan
sebelumnya.
Pelonggaran pembatasan sosial selama triwulan IV 2020 yang diiringi
protokol kesehatan yang ketat, menyebabkan aktivitas ekonomi mengalami
peningkatan di seluruh provinsi di Jawa. Pertumbuhan terendah terjadi di
Banten (-3,92%; yoy), sedangkan provinsi lainnya tumbuh lebih baik
dibanding Jawa Tengah yaitu Jawa Timur (-2,64%; yoy), Jawa Barat (-
2,39%; yoy), DKI Jakarta (-2,14%; yoy) dan DI Yogyakarta (-0,68%; yoy).
Dengan perkembangan tersebut, Jawa Tengah menyumbang 8,60%
terhadap perekonomian Nasional atau 14,27% terhadap perekonomian
kawasan Jawa, mengalami sedikit penurunan dibandingkan triwulan
sebelumnya. Berdasarkan kontribusi tersebut, Jawa tengah menjadi
provinsi penyumbang keempat terbesar dalam perekonomian nasional
maupun kawasan Jawa, setelah DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat.
Pelonggaran mobilitas mendorong aktivitas investasi dan ekspor lebih
leluasa dalam memenuhi permintaan. Meskipun begitu, wabah covid-19
masih menimbulkan tingkat ketidakpastian yang tinggi. Hal ini membuat
ekspansi ekonomi masih tertahan, yang tercermin dari masih lemahnya
pertumbuhan kredit perbankan. Pada triwulan IV 2020, kredit yang
disalurkan di Jawa Tengah hanya tumbuh sebesar 1,68% (yoy), lebih
rendah dibanding triwulan sebelumnya yang sebesar 4,28% (yoy), yang
disebabkan perlambatan pada seluruh jenis kredit yaitu modal kerja,
investasi, dan konsumsi.
Grafik Pertumbuhan Ekonomi Jawa Tengah

Grafik Pertumbuhan Ekonomi Jawa Tengah, Jawa, dan Nasional


Tabel Pertumbuhan Ekonomi Provinsi di Kawasan Jawa (%, yoy)

Grafik Pertumbuhan Tahunan Kredit Perbankan dan Pertumbuhan


Ekonomi

d. Pendapatan Per Kapita dan Kemiskinan

Produk Domestik Regional Neto atas dasar biaya faktor itu


sebenarnya merupakan jumlah balas jasa faktor-faktor produksi yang ikut
serta dalam proses produksi di suatu daerah. Produk Domestik Regional
Neto atas dasar biaya faktor, merupakan jumlah dari pendapatan yang
berupa upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan yang timbul atau
merupakan pendapatan yang berasal dari daerah tersebut. Akan tetapi
pendapatan yang dihasilkan tadi, tidak seluruhnya menjadi pendapatan
penduduk daerah itu, sebab ada sebagian pendapatan yang diterima oleh
penduduk daerah lain, misalnya suatu perusahaan yang modalnya dimiliki
oleh orang luar, tetapi perusahaan tadi beroperasi di daerah tersebut, maka
dengan sendirinya keuntungan perusahaan itu sebagian akan menjadi milik
orang luar yaitu milik orang yang mempunyai modal tadi. Sebaliknya kalau
ada penduduk daerah ini yang menambahkan modalnya di luar daerah
maka sebagian keuntungan perusahaan akan mengalir ke dalam daerah
tersebut, dan menjadi pendapatan dari pemilik modal. Kalau Produk
Domestik Regional Neto atas dasar biaya faktor dikurangi dengan
pendapatan yang mengalir ke luar dan ditambah dengan pendapatan yang
mengalir ke dalam, maka hasilnya adalah Produk Regional Neto yaitu
merupakan jumlah pendapatan yang benar-benar diterima oleh seluruh
yang tinggal di daerah yang dimaksud. Produk Regional Neto inilah yang
merupakan Pendapatan Regional. Bila pendapatan regional ini dibagi
dengan jumlah penduduk yang tinggal di daerah itu, maka akan dihasilkan
suatu Pendapatan Per kapita.

Tabel Pendapatan PDRB Jawa Tengah 2010-2020


Data rilis Badan Pusat Statistik terkini menunjukkan tingkat
kemiskinan Jawa Tengah mengalami peningkatan, baik dari jumlah
maupun rasio penduduk miskin. Tingkat kemiskinan Jawa jumlah maupun
rasio penduduk miskin. Tingkat kemiskinan Jawa tengah pada September
2020 terhitung sebesar 4,12 juta jiwa atau meningkat bila di bandingkan
periode yang sama tahun lalu sebanyak 3,68 juta jiwa. Dengan
perkembangan tersebut, rasio penduduk miskin di Jawa Tengah mengalami
peningkatan menjadi sebesar 11,84% dari total penduduk Jawa Tengah,
atau meningkat dibandingkan periode Maret 2019, yaitu 10,58% dari jumlah
penduduk.

Peningkatan persentase jumlah penduduk miskin tersebut terjadi baik


di perkotaan maupun pedesaan. Adapun jumlah penduduk di miskin di
perkotaan mengalami peningkatan dari 1,60 juta jiwa pada September
2019, menjadi sebesar 1,89 juta jiwa pada September 2020. Selanjutnya,
jumlah penduduk miskin yang berada di pedesaan juga mengalami
peningkatan menjadi sebesar 2,23 juta jiwa pada periode September 2020,
meningkat dari 2,08 juta jiwa pada periode yang sama di 2019.
Dampak pandemi COVID-19 yang telah berlangsung sejak triwulan I
2020 tidak hanya terbatas pada kelesuan kegiatan perdagangan dan
pariwisata yang disebabkan Pembatasan Sosial Berskala Besar, namun
juga penurunan permintaan barang dan jasa, baik untuk ekspor maupun
domestik. Dampak lanjutan dari penurunan penghasilan masyarakat baik
dari tingkat nominalnya maupun peningkatan pengangguran akibat
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Grafik Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Jawa Tengah

Tabel Garis Kemiskinan Jawa Tengah

e. Kesempatan Kerja dan Tingkat Pengangguran

Untuk menjalankan kegiatan perekonomian pasti membutuhkan


tenaga kerja. Kebutuhan akan tenaga kerja disebut sebagai kesempatan
kerja. Definisi dari kesempatan kerja merupakan tersedianya lapangan
kerja bagi angkatan kerja yang membutuhkan pekerjaan. Sejalan dengan
pertumbuhan penduduk, jumlah angkatan kerja dan tenaga kerja juga
meningkat, namun tidak dibarengi dengan kesempatan kerja yang sama.
Oleh karena itu, dari sekian banyak angkatan kerja ada penduduk yang
tidak bekerja atau disebut sebagai pengangguran.

Merujuk pada rilis terakhir Badan Pusat Statistik yang memotret


kondisi Agustus 2020, bahwa Jawa Tengah memiliki modal yang besar
dalam hal sumber daya manusia. Jumlah penduduk kerja di Jawa Tengah
pada periode Agustus 2020 meningkat dibandingkan periode yang sama
pada tahun 2019. Indikator ini mencerminkan potensi ketersediaan tenaga
kerja. Pada Agustu 2020 jumlah penduduk usia kerja Jawa Tengah sebesar
27,01 juta orang, atau meningkat 1,5% (yoy) dibandingkan dengan Agustus
2019 yang mencapai 26,61 juta orang. Kondisi ini mencerminkan potensi
tenaga kerja di Jawa Tengah dalam hal kuantitas penduduk usia produktif.
Jumlah penduduk usia produktif yang menjadi angkatan kerja juga
mengalami peningkatan pada triwulan laporan. Jumlah angkatan
meningkat dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya,
yaitu dari 18,26 juta orang menjadi sebanyak 18,75 juta orang atau tumbuh
2,7% (yoy). pertumbuhan angkatan kerja ini lebih rendah dibandingkan
dengan pertumbuhan angkatan kerja pada Februari 2020 yang tumbuh
sebesar 1,0% (yoy). Jumlah angkatan kerja di Provinsi Jawa Tengah
memiliki porsi sebesar 13,56% dari total angkatan kerja di tingkat nasional
yaitu sebanyak 138,22 juta orang.

Pandemi COVID-19 yang mempengaruhi kondisi ketenagakerjaan di


Jawa Tengah. Penduduk yang bekerja pada Agustus 2020 sebanyak 17,54
juta orang atau 93,55% dari total angkatan kerja. Sementara itu, sebesar
6,48% atau 1,21 juta orang angkatan kerja tergolong dalam kategori. Meski
lebih baik daripada nasional yang 9,77%, peningkatan pengembangan
kondisi lapangan kerja yang terbatas di tengah wabah COVID-19. Di sisi
lain, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pada periode laporan
perbaikan dibandingkan dengan tahun lalu. TPAK merupakan persentase
penduduk usia kerja yang aktif secara ekonomi. Pada Agustus 2020
tercatat sebesar 69,43%, atau naik dibandingkan Agustus tahun
sebelumnya yang tercatat sebesar 68,62%. Kondisi TPAK Jawa Tengah ini
lebih tinggi dari tingkat nasional yang tercatat sebesar 67,77%. Struktur
tenaga kerja di lapangan usaha di Jawa Tengah secara umum tidak
mengalami perubahan yang signifikan. Sektor pertanian masih menjadi
penyumbang penyerapan tenaga kerja terbesar di Jawa Tengah. Pada
Agustus 2020, lapangan usaha pertanian menyerap tenaga kerja sebanyak
4,61 juta orang atau 26,72% dari total penduduk yang bekerja di Jawa
Tengah. Angka ini meningkat dibandingkan Agustus 2019 yang
mencatatkan tenaga kerja di sektor ini sebanyak 4,09 juta orang atau
23,71% dari total penduduk bekerja. Peningkatan tenaga kerja di sektor
pertanian yang didukung oleh tenaga kerja sektor industri dan konstruksi
yang menurun akibat COVID-19.

Tabel Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Jenis Kegiatan Utama


(juta orang)

Tabel Jumlah Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas Yang bekerja Menurut


Lapangan Pekerjaan Utama (juta orang)
Kondisi ketenagakerjaan di Jawa Tengah masih lemah juga dari hasil
Survei Konsumen Bank Indonesia. Pada triwulan IV 2020 indeks
ketersediaan lapangan kerja menurun dari 38,84 menjadi 31,27. Indikator
lain juga adanya fenomena penurunan penghasilan di mana indeks
penghasilan saat ini menurun dari 69,67 64,16 pada triwulan laporan.
Namun demikian, hasil kerja sama menunjukkan, pengurangan tenaga
kerja minimal selama triwulan IV 2020. Pelaku usaha khususnya industri
menengah-besar telah berupaya mengoptimalkan kondisi tenaga kerja
yang ada untuk berusaha memenuhi permintaan penjualan yang perlahan
membaik.

Pelonggaran sosial sejak Juni 2020, turut membantu perbaikan


kondisi ketenagakerjaan. Aktivitas perekonomian dan pergerakan
masyarakat yang meningkat diharapkan mampu meningkatkan permintaan
domestik. Ke depan, konsumen pun optimis kondisi ketenagakerjaan akan
membaik di masa yang akan datang. Indeks perkiraan kegiatan meningkat
ke level 117,64; terus meningkat sejak titik terendahnya pada triwulan II
2020. Hal yang sama juga ditunjukkan pada indikator, ketersediaan
lapangan kerja dan penghasilan juga meningkat dengan masing-masing
sebesar 115,50 dan 137,45 pada Desember 2020.

Grafik Indeks Kondisi Ketenagakerjaan dan Penghasilan saat ini


Grafik Indeks Kondisi Ketenagakerjaan, Penghasilan, dan Kegiatan Usaha
6 bulan yang akan datang.

Merujuk pada rilis Badan Pusat Statistik terkini, angka-angka yang


mengalami peningkatan pada Agustus 2020 dibandingkan periode yang
sama tahun 2019. Jumlah angkatan kerja yang tidak bekerja atau gerakan
pada Agustus 2020 tercatat sebanyak 1,21 juta orang, atau meningkat
signifikan 47,56% (yoy ) dibandingkan kondisi Agustus 2019 yang
mencapai 0,82 juta orang. Jumlah yang cukup tinggi karena terbatasnya
lapangan kerja pada masa pandemi COVID-19. Berdasarkan data tersebut,
Provinsi Jawa Tengah memanfaatkan 12,38% dari total angka nasional
yang mencapai 9,77 juta orang. Indikator Tingkat Pengangguran Terbuka
(TPT) Jawa Tengah mengalami peningkatan. TPT Jawa Tengah terpantau
meningkat dari 4,49% pada Agustus 2019 menjadi 6,48% pada Agustus
2020. Angka TPT Jawa Tengah ini masih lebih baik dibandingkan angka
TPT nasional yang sebesar 7,07%. Berdasarkan lokasi tempat tinggal, TPT
pada Agustus 2020 untuk wilayah perkotaan (7,73%) cenderung lebih tinggi
dibandingkan TPT di wilayah perdesaan (5,19%).
f. Ketimpangan Ekonomi

Ketimpangan ekonomi adalah perbedaan pembangunan ekonomi


antar suatu wilayah dengan wilayah lainnya secara vertikal dan horizontal
yang menyebabkan disparitas atau tidak ratanya pembangunan. Secara
tahunan, tingkat-tingkat pengeluaran penduduk di Jawa Tengah pada
September 2020 relatif stabil. Hal ini dari koefisien Gini yang mengukur
pendapatan yang diukur melalui pengukuran yang berkisar antara 0 sampai
1. Jika koefisien pemerataan nilai 0 berarti terjadi di suatu daerah, apabila
layak dihitung sempurna. Pada September 2020, koefisien Gini Jawa
Tengah tercatat sebesar 0,359; atau relatif stabil dibandingkan September
2019 yang sebesar 0,358. Jika dibandingkan dengan nasional, koefisien Gini
Jawa Tengah tersebut masih lebih rendah dibandingkan koefisien Gini
Nasional yang sebesar 0,385. Dengan demikian, tingkat pemerataan
pendapatan di Jawa Tengah relatif lebih baik dibandingkan dengan nasional.
Jika dibandingkan dengan provinsi lain di kawasan Jawa, koefisien Gini Jawa
Tengah masih mencatatkan yang terendah, diikuti oleh Banten dan Jawa
Timur. Sementara itu, tingkat-tingkat tertinggi yang pernah terjadi di Provinsi
DKI Jakarta dan Provinsi DI Yogyakarta. Peningkatan tingkat tercepat yang
berlangsung dalam rentang September 2019 - September 2020 dicatatkan
oleh Provinsi DKI Jakarta.

Ditinjau berdasarkan wilayah, tingkat yang lebih tinggi berada di


kawasan perkotaan Provinsi Jawa Tengah. Pada September 2020,
koefisien Gini perkotaan Jawa Tengah tercatat sebesar 0,386; lebih tinggi
dibandingkan perdesaan yang sebesar 0,318. Fenomena peningkatan
yang tinggi pada kawasan tersebut juga berlangsung di tingkat nasional,
mencerminkan bahwa masyarakat rendah dibandingkan dengan dampak
pelemahan ekonomi dibandingkan dengan masyarakat menengah ke atas.
Hal ini dapat terutama disebabkan oleh rendahnya kapasitas
tabungan/dana darurat serta penurunan penghasilan di tengah penurunan
aktivitas produksi.
Grafik Perkembangan Koefisien Gini Jawa Tengah dan Nasional

Grafik Perbandingan Ketimpangan Jawa Tengah dan Nasional


berdasarkan daerah

Tabel Perbandingan Koefisien Gini Provinsi Peers


C. PENUTUP
Indikator-indikator dari ekonomi makro seperti yang dipaparkan
sebelumnya menunjukkan capaian atau kinerja dari perekonomian di
Provinsi Jawa Tengah. Semua indikator-indikator tersebut tak lepas dari
pengaruh pandemi COVID-19, yang bermula pada triwulan I 2020 yang
menyebabkan perubahan pada inflasi yang menurun, juga menurunnya
pertumbuhan ekonomi, peningkatan tenaga kerja di sektor pertanian yang
didukung oleh tenaga kerja sektor industri dan konstruksi yang menurun,
dan meningkatnya angka kemiskinan dan pengangguran di Jawa Tengah
dan Nasional. Dengan adanya pelonggaran mobilitas pada triwulan IV 2020
mendorong aktivitas investasi dan ekspor lebih leluasa dalam memenuhi
permintaan serta kondisi ketenagakerjaan dapat diperbaiki kembali.

Anda mungkin juga menyukai