Anda di halaman 1dari 35

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Bahan Ajar

2.1.1.1Hakikat Bahan Ajar

Menurut Widodo dan Jasmadi dalam buku (Lestari, 2013) menerangkan

bahwa bahan ajar adalah seperangkat alat pembelajaran yang didalamnya terdapat

materi pembelajaran, metodenya, batasan-batasan materi, dan cara melakukan

penilaian yang dirancang sistematis maupun menarik dengan tujuan mencapai

kompetensi dan subkompetensi pada berbagai tingkat kesukarannya.

Materi pelajaran diharapkan perlu dilakukannya pengembangan tambahan

beragam sumber materi pelajaran yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan

siswa berdasarkan PP No. 19 Tahun 2005. Oleh karena itu, menurut

Permendiknas No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses yang mengharapkan

agar pendidik (guru) mengembangkan RPP, dan didalam RPP terdapat sumber

belajar yang dipakai siswa. Seperti diketahui bahwa bahan ajar bagian dari sumber

belajar yang telah tersusun sistematis. Hal ini sejalan dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 Tentang Standar Nasional Pendidikan, yakni

standar nasional yang digunakan untuk mengembangkan kurikulum dan

penyelenggaraan pendidikan. Sehingga, bahan ajar diharapkan dapat

dikembangkan oleh pendidik agar sesuai dengan kebutuhan siswa.


Pada penelitian dari Association for Educational Communications and

Technology (AECT) dan Bank yang menyampaikan pengertian dari sumber

belajar adalah bagian dari bahan/materi ajar. Sehingga, bahan ajar memiliki

kesamaan dengan materi ajar. Bahan ajar juga termasuk bagian dari perangkat ajar

yang didalamnya berperan untuk menyampaikan materi pelajaran secara tertulis,

audio, visual, audio-visual, dll.. Contoh dari bahan ajar bisa berupa buku,

handout, modul, kaset, disc audio, dsb.

Menurut Depdiknas (2006: 4) menyampaikan bahwa bahan ajar adalah

seperangkat materi yang disusun sistematis sesuai dengan kurikulum yang berlaku

untuk digunakan sebagai sumber belajar siswa. Pada ahli Sungkono, dkk (2003: 1)

menerangkan bahwa bahan ajar adalah seperangkat bahan yang berisikan materi

atau isi dari pembelajaran agar memudahkan dalam mencapai tujuan

pembelajaran. Sedangkan, menurut Ika Lestari (2013: 2) adalah seperangkat

materi pelajaran yang mengacu pada kurikulum dan digunakan untuk tercapainya

standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah ditentukan. Seperti diketahui

bahwa kurikulum di Indonesia selalu mengalami perubahan yang bertujuan

melakukan pembaruan dan inovasi pada pendidikan di Indonesia, serta hal inilah

yang menyebabkan adanya peraturan untuk mengembangkan kurikulum yang

sesuai pada kebutuhan siswa. Sehingga, bahan ajar didalamnya berisikan konsep,

teori, ide, fakta, dll yang menjadi bagian dari sumber belajar siswa untuk

mencapai tuntutan dari kurikulum yang digunakan. Oleh sebab itu, pentingnya

melakukan pengembangan bahan ajar agar sesuai kelayakan dengan kurikulum

yang dianut.

2.1.1.2 Jenis Bahan Ajar


Secara umum, jenis dari bahan ajar diklasifikasikan menjadi dua kelompok,

yakni jenis bahan ajar cetak dan bahan ajar noncetak. Jenis bahan ajar cetak

adalah bahan ajar yang hasil produknya berbentuk lembaran kertas. Contoh bahan

ajar cetak diantaranya: buku, modul, lembar kerja peserta didik (LKPD), dan

handout. Sedangkan, jenis bahan ajar noncetak adalah bahan ajar yang hasilnya

berupa inovasi teknologi tanpa dicetak. Contoh bahan ajar noncetak diantaranya:

bahan ajar diam dan display, audio, video, dan overhead transparencies (OHT)

atau bahan ajar dengan media transparansi.

Bahan ajar dikelompokkan berdasarkan bentuknya dibedakan menjadi tiga

macam bentuk, yaitu:

a. Bahan Cetak (Printed), yakni suatu materi yang dituangkan dalam bahan

ajar cetak dan berfungsi untuk menyampaikan pembelajaran ataupun

diperlukan dalam pembelajaran. Contohnya adalah handout, buku, modul,

LKS, brosur, leaflet, wallchartt, foto atau gambar, dan model atau maket.

b. Bahan Ajar dengan Program Radio, yakni penyajian materi yang

dituangkan dalam bentuk suara radio untuk dimainkan atau didenger oleh

orang/sekelompok orang. Contohnya adalah radio.

c. Bahan Ajar Interaktif, yakni penyajian materi yang dituangkan dalam

bentuk kombinasi lebih dari dua media untuk mengendalikan perintah

melalui kombinasi, seperti audio dibarengi teks, adanya grafik, gambar,

animasi, dan juga video. Contohnya adalah multimedia interaktif.

Menurut Abdul Majib (2013: 174), pengelompokkan jenis bahan ajar

berdasarkan bentuknya dibedakan menjadi empat, yaitu:


a) Bahan Cetak (Printed) dapat berupa produk handout, buku, modul,

lembar kerja siswa, brosur (bahan ajar yang hanya berisi selembaran kertas

dengan informasi yang singkat dan sistematis), dan foto/gambar.

b) Bahan Ajar Dengar (Audio) dapat berupa kaset (merekam dan menyimpan

data dalam bentuk audio), radio, piringan hitam (memutar lagu), dan

compact disk audio (piringan yang berisi rekaman materi audio).

c) Bahan Ajar Pandang Dengar (Audio Visual) dapat berupa video compact

disk (disk berisi rekaman materi dengar dan suara), film.

d) Bahan Ajar Interaktif (Interactive Teaching Material) dapat berupa

compact disk interaktif (disk berisi multimedia dalam penggabungan lebih

dari dua media).

Menurut Koesnandar (2008), jenis bahan ajar dikelompokkan berdasarkan

subjeknya dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) bahan ajar yang dirancang dengan

adanya perencanaan sistematis untuk bertujuan digunakan dalam pembelajaran,

seperti buku, LKS, handout, dan modul; dan (b) bahan ajar yang tidak dirancang

dalam pembelajaran karena tidak adanya perencanaan dalam penggunaannya,

namun dapat digunakan sebagai media untuk belajar bagi siswa, seperti kliping,

film, koran, berita atau iklan. Peneliti tersebut juga mengelompokkan jenis bahan

ajar berdasarkan fungsinya, yaitu bahan presentasi, bahan referensi, dan bahan

belajar mandiri.

Jenis bahan ajar yang dikelompokkan berdasarkan cara kerja menurut Heinich,

dkk dibagi kedalam lima kelompok, yaitu:


1) bahan ajar yang diproyeksikan (gambar suatu benda yang dibuat

mendatar), yakni slide, filmstrips, overhead transparencies (OHT),

proyeksi computer;

2) bahan ajar yang tidak diproyeksikan (gambar tidak dibuat benda secara

mendatar), yakni foto, diagram, display (pameran/pertunjukan untuk

menampilkan), model;

3) bahan ajar audio (penyajian materi dalam bentuk suara), yakni kaset dan

compact disc;

4) bahan ajar video (penyajian materi dalam bentuk video), yakni video dan

film;

5) bahan ajar komputer, seperti media Computer Mediated Instruction

(CMI), Computer based Multimedia atau Hypermedia.

Menurut ahli Ellington dan Race (1997), jenis bahan ajar dikelompokkan

berdasarkan bentuknya, yaitu: 1) bahan ajar cetak dan duplikatnya, 2) bahan ajar

display yang tidak diproyeksikan, bahan ajar display diam yang diproyeksikan,

bahan ajar audio, 3) bahan ajar visual, 4) bahan ajar audio dengan visual diam, 5)

bahan ajar display diam yang diproyeksikan, 6) bahan ajar video, dan 7) bahan

ajar komputer. Menurut Rowntree, jenis bahan ajar dikelompokkan berdasarkan

sifatnya, yaitu:

a) bahan ajar berbasis cetak, seperti buku, pamplet, panduan belajar siswa,

bahan tutorial, peta, diagram, foto, bahan yang berasal dari majalah dan

koran, dst;

b) bahan ajar berbasis teknologi, seperti audiocassette (kaset yang berisi

rekaman suara), siaran radio, slide, filmstrips (film panjang), film, video
cassette (kaset yang berisi video), siaran televisi, video interaktif,

computer based tutorial (CBT) dan multimedia (computer yang

menggabungkan dan menyajikan materi berbagai media);

c) Bahan ajar praktik dan proyek, seperti lembar observasi, lembar

wawancara, alat peraga sains, dst;

d) Bahan ajar untuk interaksi/komunikasi siswa, seperti telepon dan video

conference.

2.1.1.3 Tujuan Bahan Ajar

Bahan ajar perlu dirancang/disusun secara sistematis dan memperhatikan

tuntutan dari komponen kurikulum yang berlaku. Pada pembuatan bahan ajar

disusun dengan beberapa tujuan. Tujuan dari penyusunan bahan ajar yang baik

adalah sebagai berikut:

1) merancang bahan ajar yang sesuai dengan tuntutan kurikulum dan

memperhatikan kebutuhan ataupun kondisi siswa, sehingga bahan ajar

benar-benar dirancang dengan karakteristik dan lingkugan sekitar siswa.

2) memudahkan siswa untuk belajar dari berbagai sumber informasi, yakni

bahan ajar sebagai alternative pembelajaran, disamping buku-buku

pelajaran yang sulit untuk diperoleh.

3) meningkatkan minat literasi siswa dengan menggunakan bahan ajar yang

menyampaikan materi dengan konsep pemahaman dan praktik, serta

menarik minatnya untuk belajar.


4) memudahkan guru untuk melaksanakan pembelajaran yang efektif dengan

adanya persamaan konsepsi (tidak miskonsepsi) bersama siswa dan

mengacu pada bahan ajar yang digunakan.

Tujuan dari penyusunan bahan ajar juga dibagi empat hal pokok, yaitu:

a. membantu siswa untuk menambah wawasan dalam mempelajari suatu

materi yang sedang diajarkan.

b. menyediakan variasi dari jenis pilihan bahan ajar untuk menarik minat

siswa, sehingga mencegah mereka untuk merasakan bosan pada siswa.

c. memudahkan siswa untuk mengikuti pembelajaran dengan cara siswa

dapat memahami materi.

d. Melaksanakan kegiatan pembelajaran yang lebih menarik bagi siswa.

2.1.1.4 Fungsi Bahan Ajar

Fungsi dari bahan ajar dibedakan menjadi dua, bagi pendidik dan peserta

didik/siswa. Adapun, fungsi bahan ajar dipaparkan sebagai berikut:

a. Fungsi bahan ajar bagi pendidik

1) Kegiatan belajar-mengajar berlangsung efektif dan efisien dari segi

waktu.

2) Memposisikan peran pendidik menjadi fasilator.

3) Meningkatkan kualitas selama proses pembelajaran menjadi lebih

interaktif dan efektif.


4) Pedoman pemikiran bagi pendidik untuk melaksanakan proses

pembelajaran, sehingga guru dapat terbantu mengajarkan substansi

kompetensi yang diajarkan.

5) Alat untuk melakukan penilaian pencapaian dan penguasaan dari

proses hingga hasil pembelajaran.

b. Fungsi bahan ajar bagi peserta didik/siswa

1) Peserta didik dapat belajar secara mandiri, tanpa harus ada pendidik

dan teman peserta didik saat pembelajaran daring maupun offline.

2) Peserta didik bisa beradaptasi dengan mudah dan dapat belajar kapan

saja.

3) Peserta didik dapat memahami suatu pembelajaran dan

menyelesaikannya selama proses belajar sesuai kecepatan masing-

masing.

4) Peserta didik bisa belajar dari urutan materi yang dipilih olehnya.

5) Peserta didik mendapatkan pedoman untuk mengarahkannya pada

proses pembelajaran dengan substansi kompetensi yang harus dikuasai.

2.1.2 Pengembangan Bahan Ajar

2.1.2.1 Hakikat Pengembangan Bahan Ajar

Menurut Tomlinson (1998:2) pengembangan bahan ajar adalah suatu cara

yang dilakukan seseorang untuk merancang sumber belajar dengan adanya

pengalaman dan masukan agar dapat meningkatkan kualitas bahan ajar ataupun

individu yang diberikan perlakuan untuk meningkatkan kemampuannya.


Berdasarkan paparan Jolly & Bolitho, Richard serta Depdiknas,

disampaikan bahwa pengembangan bahan ajar adalah kegiatan yang diawali oleh

identifikasi kebutuhan bahan ajar yang diperlukan agar sesuai materi pelajaran,

siswa, sekolah, dan lingkungan sekitar. Selanjutnya melakukan kegiatan

mengembangkan silabus untuk digunakan pada bahan ajar yang dirancang.

Kemudian, melakukan penyusunan dan pengembangan bahan ajar beberapa kali

untuk melakukan uji coba hingga evaluasi untuk mengetahui ketepatan dari

menggunakan produk pengembangan bahan ajar.

2.1.2.2 Tujuan dan Manfaat Pengembangan Bahan Ajar

A. Tujuan Pengembangan Bahan Ajar

Bahan ajar memiliki tujuan untuk mengembangkan bahan ajar, diantaranya yaitu:

1) Menyediakan bahan ajar yang sesuai dengan tuntutan kurikulum dari

diperlukannya pertimbangan kebutuhan siswa.

2) Membantu siswa untuk memperoleh sumber belajar sebagai alternative

dari menunjang pembelajaran.

3) Mempermudah guru untuk melaksanakan pembelajaran.

B. Manfaat Pengembangan Bahan Ajar

1) Bagi Guru

a. Diperolehnya bahan ajar yang sesuai dengan tuntutan kurikulum dan kebutuhan

siswa.
b. Mendapatkan sumber belajar yang menjadi alternative belajar siswa selain buku

teks.

c. Sumber belajar siswa lebih luas karena menggunakan lebih dari dua referensi.

d. Menambah pengetahuan yang dimiliki dan pengalaman dari guru untuk

menyusun bahan ajar yang lebih baik.

e. Membentuk interaksi sosial melalui komunikasi dengan efektif.

2) Peserta Didik

a. Membentuk kemandirian dari peserta didik untuk belajar dan mengurangi

ketergantungan belajar saat ada guru.

b. Memudahkan untuk mempelajari kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa.

c. Menjadikan kegiatan pembelajaran terasa lebih menarik bagi siswa.

2.1.2.3 Asas Pengembangan Bahan Ajar

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, asas diartikan sebagai dasar

atau hukum dasar. Secara umum, asar adalah prinsip dasar yang

menentukan/menjadi acuan bagi seseorang untuk mengambil suatu keputusan.

Sehingga, dapat dikatakan bahwa suatu bahan ajar perlu untuk memperhatikan

asas/landasan/prinsip dasar dalam menciptakan produk tersebut sebagai sumber

belajar bagi siswa. Maka, berikut ini asas dari mengembangkan bahan ajar adalah

sebagai berikut:

a. Asas Filosofis (Asas Falsafi)


Asas ini berkaitan pada prinsip atau keputusan yang sesuai dengan

filsafat negara, sehingga keputusan yang diambil harus sesuai dengan

tujuan pendidikan nasional berdasarkan pancasila.

b. Asas Psikologis

Asas ini mempertimbangkan bahwa motivasi siswa menjadi faktor

terpenting untuk mencapai keberhasilan dari proses pembelajaran.

c. Asas Pendidikan

Asas yang mempertimbangkan pengembangan bahan ajar dengan

teori pendidikan untuk memudahkan pengurutan materi pembelajaran.

d. Asas Kebahasaan

Asas ini mempertimbangkan pada aspek kebahasaan yang baik dan

benar dengan struktur tata bahasa yang tepat.

2.1.2.4 Prinsip Pengembangan Bahan Ajar

Menurut ahli Prastowo (2015:58) berpendapat bahwa prinsip dari penyusunan

bahan ajar, yaitu:

1) Prinsip relevansi (hubungan/keterkaitan), yakni bahan ajar yang

dikembangkan harus saling berkaitan/relevan untuk mencapai SK dan KD.

Contohnya, jika siswa diharapkan harus menguasai kompetensi berupa

menganalisis bagian tubuh tumbuhan, maka materi yang diajarkan pada

bahan ajar juga dapat berisikan tentang ciri-ciri dari beberapa bagian tubuh

tumbuhan.
2) Prinsip konsistensi (tetap/keajegan), yakni bahan ajar yang dikembangkan

harus sama/selaras antara materi dengan KD yang harus dikuasai.

Contohnya, jika siswa diharapkan harus menguasai kompetensi dasarnya

adalah alat perkembangbiakan tumbuhan yang mencakup vegetative dan

generative, maka materi yang diajarkan pada bahan ajar harus pada alat

perkembangbiakan tumbuhan vegetative dan generative.

3) Prinsip kecukupan (tidak kurang dan tidak lebih), yakni bahan ajar yang

dikembangkan harus cukup efektif untuk dapat membuat siswa mencapai

SK dan KD yang diajarkan pada pembelajaran. Contohnya, jika siswa

diharuskan untuk menguasai tentang proses terjadinya fotosintesis, maka

materi pada bahan ajar yang diajarkkan tidak boleh terlalu sedikit untuk

membahas proses fotosintesis atau bahan ajar tidak boleh hanya

menyampaikan pengertian dari fotosintesis . Sebaliknya, materi bahan ajar

tentang proses fotosintesis juga jangan terlalu banyak, seperti

menambahkan proses pembuatan makanan lain yang cukup menyita waktu

dan tenaga untuk mempelajari bahan ajar tersebut.

Sama halnya dengan prinsip pengembangan bahan ajar sebelumnya, pada

Mardia Hayati terdapat tiga prinsip pengembangan dengan tambahan satu prinsip

pengembangan. Maka, menurut Mardia Hayati berpendapat tentang prinsip-

prinsip dari pengembangan bahan ajar, yaitu:

a. Relevansi artinya kesesuaian

Materi pembelajaran pada bahan ajar harus relevan dengan standar

kompetensi dan ketercapaian kompetensi dasar. Jadi, jika kemampuan

yang harus dikuasai siswa berupa mengingat rumus matematika, maka


materi yang diajarkan harus berupa rumus matematika tersebut, bukan

materi lain.

b. Konsistensi artinya keajegan

Pada pemilihan materi pembelajaran dalam bahan ajar harus konsistensi

dengan kompetensi dasar yang perlu dikuasai. Sehingga, materi yang

dianjurkan harus sama dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai.

c. Adequacy artinya kecukupan

Materi pembelajaran pada bahan ajar harus cukup untuk

membantuk siswa menguasai kompetensi dasar yang digunakan. Jadi,

apabila materi nya terlalu sedikit bisa kurang membantu untuk mencapai

standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ditentukan, sedangkan jika

materi nya terlalu banyak dapat menghabiskan waktu terlalu lama yang

menyebabkan keterlambatan pada pencapaian keseluruhan target

kurikulum.

d. Aktivitas

Pada pengembangan bahan ajar harus melibatkan berbagai macam

aktivitas, mulai dari aktivitas fisik dan psikis. Aktivitas fisik tersebut bisa

berupa kegiatan yang dilakukan siswa untuk bekerja mencatat, menulis,

dan melakukan sesuatu yang berkaitan pada materi pelajaran. Sedangkan,

aktivitas psikis dapat berupa adanya hubungan kegiatan fisik dalam

melakukan sesuatu dengan dilanjutkan mengobservasi, bertanya,

menganalisis, mengambil suatu keputusan, dan kegiatan yang lain.

e. Motivasi
Pengembangan bahan ajar harus didukung dengan adanya motivasi

dari guru untuk menunjang pembelajaran siswa sebagai fasilitator,

pemberi apresiasi, dan pemberi nasehat yang baik kepada siswa untuk

mempercepat tujuan pembelajaran dapat tercapai.

f. Individualitas

Pengembangan bahan ajar harus memperhatikan siswa, yakni

adanya perbedaan setiap individu terkait karakter dan perkembangan

kognitifnya. Sehingga, seorang guru harus memahami setiap individu dari

latar belakang hingga kebutuhannya, hingga bisa menyesuaikan pada

materi pelajaran dan tugas belajar siswa.

g. Lingkungan

Pengembangan bahan ajar harus memperhatikan dalam situasi

materi yang dibuat dengan menjadikan lingkungan sebagai sumber belajar,

sehingga bahan ajar yang dikembangkan mengacu pada penelitian dari

hasil observasi di lapangan.

h. Konsentrasi

Pengembangan bahan ajar harus mampu menjadikan siswa lebih

konsentrasi dalam pembelajaran dengan mengembangkan bahan ajar yang

mengaktifkan siswa. Sehingga, dapat mendorong siswa untuk terpusat

perhatiannya pada pembelajaran dalam bahan ajar.

Berdasarkan Hasan, prinsip-prinsip dari pengembangan bahan ajar, yakni ;

a) validitas (tingkat dari ketepatan materi); b) keberartian (tingkat kepentingan

materi terhadap kebutuhan siswa); c) relevansi (tingkat kemampuan siswa untuk

menyesuaikan pada kebutuhan saat ini); d) kemenarikan (tingkat motivasi untuk


memberikan pendalaman materi); dan e) kepuasan (tingkat kepuasan untuk

bermanfaatnya ilmu yang didapatkan bagi kehidupan).

2.1.2.5 Prosedur Pengembangan Bahan Ajar

Pengembangan bahan ajar memerlukan prosedur tertentu untuk dapat

mengembangkan produk tersebut. Maka, berikut ini langkah-langkah dari

prosedur pengembangan bahan ajar adalah sebagai berikut:

1) Langkah pertama: Analisis kurikulum

Pada kurikulum terdapat komponen yang harus dianalisis. Standar

kompetensi (kualifikasi minimal kompetensi), didalamnya terdapat

sejumlah kompetensi dasar yang menjadi acuan untuk membentuk produk

yang harus dicapai. Kompetensi dasar, didalamnya terdapat beberapa

kompetensi yang dimiliki pada setiap muatan pelajaran dan menjadi acuan

untuk menyusun indicator pencapaian kompetensi. Indikator ketercapaian

hasil belajar, rumusan dari kompetensi spesifik yang dapat diketahui

setelah melalui analisis kompetensi dasar dan dilanjutkan pada analisis

indikator, dan bertujuan sebagai dasar dari petimbangan untuk

mengembangkan bahan ajar yang tepat. Materi pokok sebagai bagian

informasi umum dan kompetensi yang ditetapkan. Dan, pengalaman

belajar adalah aktivitas dari hasil perencanaan guru agar siswa mampu

menguasai kompetensi melalui kegiatan pembelajaran tertentu.

2) Langkah kedua: Analisis sumber belajar


Setelah selesainya menganalisis kurikulum, dilanjutkan pada

sumber belajar. Kegiatan menganalisis sumber belajar, mencakup

ketersediaan dari sumber belajar, kesesuaian sumber belajar terhadap

kondisi sekitar siswa, dan kemudahan dalam menggunakan bahan ajar.

3) Langkah ketiga: Pemilihan dan penentuan bahan ajar

Setelah menyelesaikan dalam melakukan analisis sumber belajar,

dilanjurkan pada pemilihan dan penentuan bahan ajar yang tepat dengan

memperhatikan tiga prinsip, yakni : a) prinsip relevansi (adanya

kesesuaian antara bahan ajar dengan SK dan KD, b) prinsip konsistensi

(adanya kesamaan antara KD dengan bahan ajar yang tersedia, c) prinsip

kecukupan (adanya materi yang cukup dengan KD pada bahan ajar).

2.1.3 Model Pembelajaran Phenomenon Based Learning

2.1.3.1 Hakikat Phenomenon Based Learning

Pada pemilihan model pembelajaran untuk meningkatkan substansi hasil

belajar siswa pada kompetensi/kemampuan tertentu selalu mempertimbangkan

beberapa hal, yakni: 1) pertimbangan dari tujuan yang hendak dicapai dalam

pembelajaran, 2) pertimbangan dari bahan atau materi pembelajaran yang hendak

diajarkan, 3) pertimbangan dari sudut kondisi siswa, dan 4) pertimbangan lain

yang bersifat nonteknis.

Model pembelajaran yang baik bagi siswa juga telah diatur pada PP No.

19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan Pasar 19 Ayat

1,menyatakan bahwa proses pembelajaran dari satuan pendidikan dapat


berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang dan

memotivasi siswa untuk aktif dalam berkreativitas secara mandiri sesuai dengan

minat, bakat, dan perkembangan siswa. Sehingga, pihak sekolah harus

meningkatkan kualitas mutu pendidikan, dan guru harus belajar untuk

mempelajari cara belajar siswa, bukan hanya mempelajari bagian dari suatu materi

pembelajaran. Hal ini menjadi acuan untuk menggunakan model pembelajaran

yang berpedoman pada prinsip-prinsip pembelajaran, teori-teori psikologis,

sosiologis, system pembelajaran, atau teori lainnya. Sehingga, pada dasarnya tidak

ada model pembelajaran yang paling baik, tetapi yang ada adalah model

pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan kemampuan/kompetensi tertentu

dari siswa.

Pada dasarnya suatu pembelajaran diharapkan mengalami interaksi

individu dengan lingkungan yang berkaitan pada kejadian/fenomena yang terjadi.

Hal ini sesuai dengan teori kontruktivisme terkait pembelajaran sains yang

mengikutkan siswa pada proses sosial dengan adanya interaksi siswa terhadap

lingkungan siswa dari penjelasan yang disampaikan Dahar. Sehingga,

pembelajaran menjadi lebih efektif karena siswa dapat belajar untuk menemukan

fakta dan konsep pada suatu kejadian/fenomena, dibandingkan belajar teori

berupa hafalan. Pembelajaran dengan menggunakan fenomena didalamnya sesuai

dengan teori kontruktivistik yang didukung juga dari pendapat Ajeyalemi (2003),

terlihat dari belajar kolaboratif siswa dapat belajar suatu kasus atau kejadian yang

terjadi disekitarnya sebagai sumber belajar.

Pembelajaran berbasis Fenomena ini dikenal juga dengan sebutan

Phenomenon based Learning (PhenoBL). Berdasarkan Pujianto dan Maryanto


(2009:2), pembelajaran dengan menggunakan fenomena atau kejadian yang sering

ditemui atau benar-benar terjadi disekitar siswa adalah sumber belajar yang tepat

bagi guru untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis yang berhubungan

pada kompetensi siswa. Pembelajaran dengan fenomena/kejadian nyata disekitar

siswa masih terbilang jarang digunakan sebagai bahan pembelajaran, sehingga

PhenoBL cocok dijadikan sebagai model pembelajaran. Menurut Kaniawati dkk

(2010), model pembelajaran berbasis fenomena adalah strategi yang mampu

menciptakan lingkungan belajar dengan memberikan pengalaman langsung,

sehingga mendorong siswa untuk membangun pengetahuan dan keterampilan.

Phenomenon based learning adalah pembelajaran yang menggunakan fenomena

atau kejadian pada kehidupan siswa sebagai pembelajaran untuk memahami

konsep dan memecahkan masalah. Jannah et al, (2017) berpendapat juga bahwa

pembelajaran melalui phenomenon atau fenomena atau kejadian nyata adalah

pembelajaran yang menjadikan phenomenon sebagai sumber belajar bagi guru

dalam mengajarkan siswa untuk memunculkan motivasi dan keterampilan berpikir

kritis (critical thinking) selama belajar. Sehingga, phenomenon based learning

berguna untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi,

termasuk komunikasi karena memanfaatkan lingkungan luar sekolah untuk

menemukan sumber belajar. Jadi dari banyaknya pendapat sumber dari peneliti

lain, sehingga pada hakikatnya PhenoBL adalah pembelajaran yang didalamnya

merekontruksi dan meningkatkan kompetensi (kemampuan) siswa dari sumber

belajar berupa pengamatan fenomena/kejadian yang sering terjadi di sekitarnya.

2.1.3.2 Karakteristik Model Phenomenon Based Learning


Model Phenomenon based learning atau disebut model pembelajaran berbasis

fenomena memiliki beberapa karakteristik. Menurut beberapa sumber,

karakteristik dari model pembelajaran berbasis fenomena, yakni:

1) Siswa yang menemukan konsep dari fenomena/kejadian yang ditemui dan

kehidupan sehari-hari.

2) Siswa merasakan pembelajaran memberikan pengalaman secara langsung.

3) Adanya interaksi individu dengan lingkungan dan kehiudpann social

4) Berpijak pada teori kontruktivistik melalui aktivitas siswa dengan cara

kolaborasi.

5) Bersandar pada pembelajaran berdasarkan pengalaman (eksperensial)

dengan keterlibatan secara personal/mandiri.

6) Fenomena/kejadian nyata menjadi sumber belajar bagi siswa.

7) Merekontruksi pengetahuannya melalui konsep pemahaman bukan

hapalan, sehingga dapat memecahkan masalah.

8) Memanfaatkan lingkungan dari luar sekolah dan penggunaan teknologi

untuk mengaktifkan siswa dalam pembelajaran.

9) Menjadikan siswa memiliki keterampilan berkomunikasi dan

berkolaborasi pada interaksi social.

10) Materi bersifat konkret melalui aplikasinya pada kehidupan sehari-hari.

11) Fenomena nyata yang terjadi dihubungkan atau berkaitan dengan materi

pembelajaran.

Pembelajaran berbasis fenomena (Phenomenon based Learning) merupakan

pengembangan atau adopsi dari model pembelajaran berbasis masalah (Problem

based Learning). Adapun, karakteristik dari model pembelajaran berbasis


fenomena yang beberapa hal diangkat dari model pembelajaran berbasis masalah

adalah student centered (siswa sebagai pusat pembelajaran), guru sebagai

fasilitator (menyediakan fasilitas), adanya pembelajaran dengan kerja sama

(kolaboratif), dan proses siswa membangun pengetahuan.

2.1.3.3 Kelebihan Model Phenomenon Based Learning

Pada setiap pembelajaran tentunya memiliki kelebihan dari umum sampai

khusus selama menggunakan model tersebut. Adapun, kelebihan dari

pembelajaran berbasis fenomena (phenomenon based learning), yakni:

a) mendapatkan pelajaran lintas mata pelajaran karena adanya keterkaitan

pada fenomena yang dilihat atau dialami siswa saling berhubungan

(misalnya, belajar materi tentang akar pada kunyit dari segi sains,

dikaitkan pada fungsi kunyit sebagai obat herbal, dan dikaitkan harga dari

penjualan kunyit pada segi numerasi.

b) adanya pendekatan pembelajaran holistic, diartikan sebagai pembelajaran

yang berfokus pada konsep pemahaman dan dihubungkan pada topik atau

literasi lain agar siswa dapat terangsang untuk membangun

pengetahuannya sendiri.

c) munculnya pembelajaran berbasis inkuiri karena siswa dilibatkan untuk

mengumpulkan berbagai informasi tentang sesuatu yang sedang dipelajari.

d) pembelajaran dapat dilakukan secara kelompok untuk meningkatkan

kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan berbagai cara ataupun

pembahasan dalam menyelesaikan suatu permasalahan.


2.1.3.4 Sintaks Model Phenomenon Based Learning

Model pembelajaran berbasis fenomena (Phenomenon Based Learning)

menjadi salah satu inovasi pembelajaran yang termasuk pengembangan dari

model pembelajaran berbasis masalah. Sama halnya seperti model yang lain,

terdapat sintaks (langkah-langkah) pembelajaran yang bertujuan untuk

memudahkan guru dalam mempersiapkan perangkat dan rencana pembelajaran.

Berikut ini sintaks dari model pembelajaran berbasis fenomena/kejadian

nyata (Nasrullah dkk, 2019):

a. Orientasi (mengawali) pembelajaran kepada siswa melalui menyajikan

fenomena alam/kejadian nyata.

b. Mengorganisir (mengatur/mengarahkan) siswa untuk belajar terkait

fenomena yang disajikan guru.

c. Membimbing penyelidikan kelompok dengan cara mengarahkan

kelompok ketika ada sesuatu yang tida dimengerti.

d. Menyajikan hasil penyelidikan kelompok melalui presentasi hasil

penyelidikan dari kerja kelompoknya

e. Menganalisis dan mengevaluasi penjelasan fenomena yang diijadikan

sebagai penyelidikan kelompok dengan guru memberikan konfirmasi

penjelasan kepada siswa, koreksi pembelajaran, penguatan, dan

refleksi selama berlangsungnya pembelajaran.


2.1.4 Kecakapan Multiliterasi

Peningkatan kegiatan literasi telah muncul sejak dikeluarkannya

Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 yang menghapus buta aksara bagi

masyarakat dan meningkatkan kemampuan literasi dengan membentuk GLN

(Gerakan Literasi Nasional). Definisi dari literasi pada Buku Saku Gerakan

Literasi Sekolah (SGLS, 2016) menyampaikan bahwa literasi adalah kemampuan

dalam mengakses, memahami dan menggunakan informasi secara cerdas.

Berdasarkan KBBI Daring, kata literasi dapat bermakna kemampuan membaca

dan menulis.

Kemudian, seiring berkembangnya zaman pada pembelajaran literasi

dikembangkan karena diperlukan pada abad 21. Adapun, adanya tuntutan zaman

menjadikan GLN membentuk literasi dasar berikutnya selain literasi baca tulis,

yakni literasi numerasi, sains, digital, finansial, dan budaya serta

kewarganegaraan. Keenam literasi dasar ini telah disepakati oleh Economic

Forum pada tahun 2015 untuk dimiliki dan digunakan oleh setiap individu. Maka,

dapat dikatakan bahwa seseorang yang mampu menguasai enam literasi dasar

tersebut dapat dikatakan memiliki kemampuan multiliterasi.

Menurut pendapat dari Yunus Abidin, “multiliterasi” adalah keterampilan

dalam menyampaikan dan memahami informasi dengan berbagai cara, seperti

melalui teks biasa (konvensional), teks inovasi, symbol, dan beragam

bentuk/model. McQuiggan juga berpendapat bahwa pembelajaran multiliterasi

memiliki kemampuan dalam mengaplikasikan berbagai macam literasi pada satu

media/bahan/produk dalam kehidupan nyata, sehingga dapat digunakan sebagai


model pembangkit, dan model lainnya yang memiliki beragam literasi

didalamnya. Maka, diharapkan pada pembelajaran multiliterasi didalamnya ada

unsur digital yang sesuai dengan pendapat dari Hoechman dan Poyntz bahwa

peran guru harus menggunakan literasi digital yang sesuai dengan anak-anak pada

masa kini. Sehingga, pembelajaran multiliterasi menjadi tuntutan pembelajaran

yang harus dimiliki oleh siswa. Pembelajaran multiliterasi jika dilakukan secara

mendalam, maka dapat meningkatkan pemahaman siswa dari segi pengetahuan

dan keterampilan untuk dapat digunakan dalam pembelajaran. Kondisi ini yang

dinamakan bahwa seseorang telah cakap dalam menyampaikan komunikasi atau

informasi dengan berbagai/beragam cara.

Adapun, menurut Abidin disampaikan bahwa terdapat konsep dan

karakteristik dari pembelajaran multiliterasi sebagai berikut:

a. Pembelajaran multiliterasi menjadikan siswa belajar dengan materi yang

akan dipelajari dengan materi yang sudah diketahui siswa sebelumnya.

b. Pembelajaran multiliterasi mengedepankan pembelajaran yang berfokus

pada siswa untuk aktif bertanya dan membuat kesimpulannya.

c. Pembelajaran multiliterasi mengajarkan siswa untuk belajar dari

kehidupan nyata dengan menghubungkannya pada materi yang sedang

dipelajari.

d. Pembelajaran multiliterasi memberikan siswa untuk belajar dengan

memahami konsep secara luas untuk dipahami dan tersimpan pada memori

jangka panjang.

e. Pembelajaran multiliterasi menggunakan banyak strategi belajar dalam

mengajarkan siswa.
2.1.5 Pembelajaran IPAS di Sekolah Dasar

IPAS (Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial) muncul pada muatan pelajaran

di sekolah dasar sebagai implikasi dari kebijakan kurikulum Merdeka.

Berdasarkan Buku Saku Kurikulum Merdeka yang dibuat oleh Direktorat Sekolah

Dasar menyampaikan beberapa hal terkait dibentuknya kurikulum merdeka dan

adanya perubahan substansi pembelajaran di sekolah dasar. Faktor penunjang dari

dibentuknya kurikulum Merdeka adalah adanya hasil studi kasus terkait anak-anak

di Indonesia yang memiliki minat baca rendah dan tidak mampu memahami

maupun menerapkan materi yang diajarkan saat situasi pembelajaran berlangsung

daring. Hal itulah yang menyebabkan dari Kemendikbudristek mengembangkan

kurikulum merdeka untuk memperbaiki pembelajaran yang krisis. Adapun, dalam

penerapannya telah tertuang dasar-dasar hukum terkait kurikulum Merdeka.

Dalam penerapannya, struktur kurikulum dibagi menjadi tiga fase di sekolah

dasar, yakni fase A untuk kelas I dan kelas II, fase B untuk kelas III dan IV, serta

fase C untuk kelas V dan VI.

Dalam kebijakan tersebut menjadikan terjadinya penyederhanaan muatan

pelajaran antara IPA dan IPS menjadi Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial. Tujuan

dari penggabungan kedua muatan pelajaran tersebut menurut buku saku adalah

menjadikan siswa lebih memahami lingkungan sekitar yang tentunya tidak hanya

mencakup tentang alam, tetapi juga interaksi sosialnya. Selain itu, penggabungan

kedua muatan pelajaran mengacu pada perkembangan anak sekolah dasar yang

melihat segala sesuatu secara utuh atau konkret disekitarnya. Seperti diketahui
bahwa lingkungan siswa tidak hanya ada orang-orang, tetapi juga alam. Jadi,

penggabungan ini bertujuan untuk merangsang anak agar mampu mengelola

lingkungan alam dengan social menjadi satu kesatuan yang utuh.

2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Pada penelitian pengembangan dilakukannya kajian penelitian. Namun, agar

kajian penelitian tersebut kuat, maka diperlukan kajian empiris dari penelitian

sebelumnya. Hal ini berguna untuk memperkuat kajian pengembangan bahan ajar

berbasis phenomenon based learning atau pembelajaran berbasis fenomena.

2.2.1 Hasil Penelitian oleh Widiyanto, Ali Sunarso, Sugianto (2015)

Pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti berjudul

“PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BERBASIS FENOMENA ALAM

UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP DAN

KETERAMPILAN GENERIK SISWA”. Penelitian pada pengembangan bahan

ajar ini dapat meningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan generic siswa.

Hal ini terlihat dari kriteria kevalidan bahan ajar adalah sangat valid dengan skor

3,26 yang berada pada interval 3,25 ≤ Va < 4,00. Maka, hal ini juga mengacu

pada rata-rata dari penilaian validator, yakni pada silabus dengan skor 3,19

(valid), RPP dengan skor 2,97 (valid), dan alat evaluasi/penilaian (sangat valid).

Pada aktivitas guru berada pada kriteria yang sangat baik setelah melakukan

penelitian pengembangan dari memperoleh 83,44 % pada interval 81,26-100.

Setelah penggunaan pada produk pengembangan bahan ajar ditemukan bahwa


hasil belajar pemahaman konsep mengalami peningkatan yang signifikan.

Peningkatan yang signifikan pada hasil belajar pemahaman konsep siswa

dibuktikan melalui hasil uji paired sample t-test dengan thitung = 4,2976 > ttabel

= 2,131, dan KKM melebihi 65, serta hasil belajar klasikal mencapai ketuntasan

dengan terlihat dari hasil Zhitung = 1,218 > Ztabel = 0,82 atau dalam bentuk

persentase 75 %. Hasil pada uji t diperoleh nilai thitung 0,7421 untuk data pada

hasil belajar dari kelas eksperimen dan kelas control. Maka, perbandingan thitung

= 0,7421 > ttabel = 0,032, hal ini menandakan bahwa hasil belajar pada kelas

eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. Sehingga, hasil penelitian

yang dilakukan oleh peneliti adalah keterampilan pada generic siswa meningkat

dan kepraktikan dari bahan ajar yang dikembangkan memberikan 100 % respond

positif bagi siswa.

2.2.2 Hasil Penelitian oleh Tesa Liantika Putri, Azizahwati, Nur Islami (2018)

Pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti berjudul “EFEKTIVITAS

PENERAPAN MODEL PHENOMENON BASED LEARNING (PHENOBL)

UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA SMA PADA MATERI

OPTIK”. Penelitian dengan kuasi eksperimen untuk mengukur keefektifan model

phenomenon based learning dikatakan efektif untuk meningkatkan hasil belajar

siswa. Adapun, instrument pengumpulan data menggunakan tes dari hasil belajar

kognitif atau intelegensia siswa sebelum (pre-test) dan sesudah (post-test)

menerapkan model phenomenon based learning. Pengumpulan data menggunakan

analisis deskriptif dan inferensial. Pada hasil analisis deskriptif didapatkan rata-
rata kelas eksperimen 71,05 % dan kelas kontrol 63,33 % dengan kategori

pembelajaran berada pada kondisi baik dan cukup baik. Hasil dari paired sample t-

test menunjukkan bahwa terdapat peningkatan hasil belajar pada kognitif siswa

berdasarkan perbandingan pre-test dan post-test. Hasil pada independent-sample t-

test dari analisis inferensial kepada kedua kelas didapatkan bahwa terdapat

perbedaan yang signifikan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Sehingga,

hasil dari penelitian adalah model PhenoBL dapat meningkatkan hasil belajar

siswa pada materi optik.

2.2.3 Hasil Penelitian oleh Bella Pratiwi, Jimmi Copriady, Lenny Anwar

(2021)

Pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti berjudul “Implementation of

Phenomenon-based Learning E-Module to Improve Critical Thinking Skills in

Thermochemistry Material”. Penelitian ini berkaitan pada penerapan e-modul

pembelajaran berbasis fenomena dengan tujuan untuk meningkatkan keterampilan

berpikir kritis pada materi termokimia. Metode yang digunakan pada penelitian

tersebut adalah deskriptif kuantitatif melalui eksperimen semu dengan

menggunakan desain nonequivalent control group design. Analisis data pada

keterampilan berpikir kritis menggunakan metode tes skor N-gain, yakni meliputi

rata-rata kelas eksperimen pada skor 0,72 dengan kategori tinggi, dan rata kelas

kontrol pada skor 0,34 dengan kategori sedang. Selanjutnya, dilakukannya analisis

dengan independent sample t-test yang menunjukkan bahwa nilai signifikansi

0,000 < 0,05, diartikan Ha diterima dan Ho ditolak. Hal ini menandakan bahwa e-
modul berbasis fenomena mengalami perbedaan signifikan pada kemampuan

berpikir kritis siswa saat sebelum maupun sesudah menggunakannya.

2.2.4 Hasil Penelitian oleh Naimitil Jannah, Noor Fadiawati, Lisa Tania

(2017)

Pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti berjudul “Pengembangan E-

book Interaktif Berbasis Fenomena Kehidupan Sehari-hari tentang Pemisahan

Cahaya”. Penelitian ini menggunakan metode penelitian pengembangan yang

bertujuan untuk mengetahui karakteristik, kelayakan, dan kesesuaian materi

dengan model yang digunakan setelah menggunakan bahan ajar. Hasil penelitian

didapatkan bahwa telah diperoleh e-book interaktif pada materi pemisahan cahaya

menggunakan basis fenomena kehidupa sehari-hari yang dikatakan valid.

Persentasi dari hasil validasi ini didasarkan oleh penilaian para ahli pada aspek

konstruksi, kesesuaian isi dengan kurikulu yang berlaku, persentase keterbacaan

secara berturut-turut 100 % - 100 % - 96,77 %. Selain itu respond dari guru

dikatakan valid pada aspek kesesuaian isi dengan kurikulum yang berlaku 100 %,

dan respond siswa yang valid terhadap aspek keterbacaan adalah 91,67 %.

2.2.5 Hasil Penelitian oleh Siti Maisarmah (2022)

Pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti berjudul

“PENGEMBANGAN E-MODUL PEMBELAJARAN KIMIA BERBASIS

PHENOMENON BASED LEARNING UNTUK MENGARAHKAN

KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS SISWA”. Penelitian ini menggunakan

metode penelitian pengembangan yang bertujuan untuk mengetahui pengarahan


keterampilan berpikir kritis siswa setelah menggunakan e-modul tersebut. Pada

analisis data dilakukan dalam bentuk deskriptif kuantitatif dan deskriptif

kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan melalui angket uji

kelayakan, uji respond guru dan siswa, serta wawancara tidak terstruktur.

Berdasarkan hasil penelitian ditunjukkan bahwa kelayakan dari e-modul sebesar

75 % dalam kategori layak terhadap aspek materinya, 83,27 % dalam kategori

sangat layak terhadap aspek media, 90 % dalam kategori sangatt baik terhadap

respond guru, dan respond siswa 81 % dalam kategori sangat baik. Maka, dapat

diuraikan bahwa e-modul pembelajaran kimia berbasis phenomenon based

learning layak digunakan sebagai sumber belajar untuk dapat mengarahkan pada

keterampilan berpikir kritis siswa.

2.2.6 Hasil Penelitian oleh Sistriaana, Aunurrahman, Andy Usman

Pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti berjudul

“PENGEMBANGAN MODUL BERBASIS FENOMENA SOSIAL UNTUK

MENINGKATKAN MINAT BELAJAR MATA PELAJARAN PENDIDIKAN

KEWARGANEGARAAN”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan

pengembangan modul berbasis fenomena social dalam meningkatkan minat

belajar, dan implementasi penggunaan modul berbasis fenomena social terhadap

mata pendidikan kewarganegaraan. Adapun, metode penelitian pengembangan

dilakukan dengan pemerolehan data melalui wawancara, observasi, dan tes. Hasil

dari penelitian menguraikan bahwa persentase dari pelaksanaan kegiatan

pembelajaran terbilang tinggi sebesar 83,33 % pada aktivitas siswanya. Hal ini
didukung dari peningkatan minat belajar dilihat dari perubahan sikap siswa

menjadi antusias dan aktif untuk berdiskusi contoh dari fenomena social.

Peningkatan minat juga diperoleh dari hasil evaluasi kuesioner, yakni pada skor

pertama menggunakan buku teks memperoleh rata-rata 2,60 dengan kategori

minat belajar rendah, dan pada skor kedua menggunakan modul berbasis

fenomena social memperoleh rata-rata 4,18 dengan kategori minat belajar tinggi.

Maka, keantusiasan dan keaktifan siswa menjadikan persentasi dari ketuntasan

belajar ditingkatkan yang awalnya pada pre-test 33,33 % ke post-test 86,67 %.

Sehingga, modul berbasis fenomena social dapat meningkatkan minat belajar

siswa pada mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan.

Hasil kajian penelitian yang relevan memiliki persamaan dan perbedaan

antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang akan dilakukan. Persamaannya

ada yang terletak pada penggunaan bahan ajarnya dan phenomenan based learning

atau pembelajaran berbasis fenomen yang dikembangkan. Sedangkan,

perbedaannya ada yang terletak pada subjek maupun objek penelitian.

2.3 Kerangka Berpikir

Berdasarkan kajian teori telah dipaparkan peneliti, maka penting untuk

mengembangkan bahan ajar berbasis phenomenon based learning. Pengembangan

bahan ajar dilakukan untuk mempermudah dalam penyajian materi IPAS pada

siswa kelas IV sekolah dasar. Sehingga, diharapkan dapat memotivasi,

memunculkan minat, dan berpikir kritis siswa pada pembelajaran IPAS. Tujuan
yang paling utama dari penelitian pengembangan bahan ajar berbasis phenomenon

based learning adalah meningkatkan kecakapan multiliterasi.

Phenomenon based learning adalah pembelajaran yang menggunakan

fenomena atau kejadian disekitar peserta didik sebagai cara untuk menemukan

konsep dan pemahaman. Maka, pembelajaran ini mengedepankan pada konsep

pembelajaran yang dimana suatu kejadian yang dialami atau berada disekitar

siswa termasuk sebagai sumber belajar, dan menemukan penyelesaian masalah

disebut sebagai proses belajar.

Pada hasil yang diharapkan dapat tercapai adalah kecakapan multiliterasi.

Kecakapan multiliterasi adalah kemampuan seseorang dalam menggunakan

berbagai cara untuk berkomunikasi atau menyampaikan informasi. Berbagai cara

itu dikenal dengan 6 literasi dasar, yakni literasi baca tulis, literasi numerasi,

literasi sains, literasi digital, literasi finansial, literasi budaya dan kewargaan.

Literasi baca tulis diartikan sebagai kemampuan memahami isi dari suatu

informasi melalui membaca dan menulis. Literasi numerasi diartikan sebagai

kemampuan dalam menyelesaikan berbagai macam masalah melalui angka dan

symbol pada matematika dasar. Literasi sains diartikan sebagai kemampuan dalam

memahami fenomena yang ada disekitar untuk menemukan suatu keputusan.

Literasi digital diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan media digital

dalam mendapatkan informasi dan komunikasi. Literasi finansial diartikan sebagai

kemampuan dalam menggunakan kompetensi dan motivasinya untuk mengatur

keuangan. Literasi budaya dan kewargaan diartikan sebagai kemampuan dalam

memahami dan memiliki sikap sesuai budaya Indonesia, serta sebagai warga
negara. Maka, multiliterasi menjadi tuntutan abad 21 yang harus dimiliki oleh

siswa.

Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan bahan ajar yang didalamnya

terdapat berbagai sumber yang sesuai kompetensi dasar yang harus dikuasai pada

pembelajaran IPAS dengan adanya pengembangan melalui penambahan pada

model phenomenon based learning. Bahan ajar yang menggunakan fenomena

untuk dituangkan dalam penyajian materi sangat relevan digunakan untuk

meningkatkan kecakapan multiliterasi. Seperti diketahui bahwa kemampuan

multiliterasi didapatkan dari kejadian nyata atau berada di sekitar siswa, sehingga

penguasaan terhadap multiliterasi diharapkan nantinya siswa dapat menyampaikan

informasi dengan berbagai cara. Selain itu, penelitian ini menggunakan

pembelajaran IPAS yang didalamnya mempelajari ilmu pengetahuan alam dan

social. Maka, model pembelajaran berbasis fenomena ini tentunya akan banyak

terlibat pada kehidupan alam dan sosialnya, serta adanya keterhubungan dengan

lingkungan mampu meningkatkan penambahan wawasan (kemampuan

multiliterasi) . Sehingga, melalui bahan ajar berbasis phenomenon based learning

siswa dapat lebih memperdalam kecakapan multiliterasinya.

Kerangka berpikir yang telah dipaparkan oleh peneliti dapat diterangkan

melalui kerangka dalam gambar sebagai berikut.


Keterbatasan bahan ajar

Penggunaan Phenomenon Based Pentingnya kecakapan multiliterasi


Learning pada bahan ajar

Bahan ajar berbasis phenomenon based


learning

Siswa/Peserta didik dapat meningkatkan


kemampuan multiliterasi melalui bahan
ajar

Bahan ajar berbasis phenomenon based


learning sebagai bahan ajar yang mudah
dipahami, menumbuhkan motivasi dan
kreativitas bagi siswa

Gambar 2.1
Kerangka Berpikir

Anda mungkin juga menyukai