Anda di halaman 1dari 25

STUDI PENDAHULUAN

PERBANDINGAN HASIL PEMERIKSAAN FAAL PARU


DENGAN SPIROMETRI DAN OSILOMETRI DALAM
MENDIAGNOSIS PENYAKIT PARU PADA PEROKOK DAN
BUKAN PEROKOK DI RS UNS SURAKARTA PERIODE
JANUARI-FEBRUARI 2023

Disusun Oleh:

dr. Eldaa Putik Bunga Melati S602202006

Periode :
1 - 28 Februari 2023

Pembimbing:
dr. Brigitta Devi Anindita H, Sp.P

PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET RS UNS
SURAKARTA
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan stase bangsal luar bagian
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Paru Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret/RS UNS. Sebuah studi pendahuluan dengan judul:

PERBANDINGAN HASIL PEMERIKSAAN FAAL PARU DENGAN SPIROMETRI


DAN OSILOMETRI DALAM MENDIAGNOSIS PENYAKIT PARU PADA
PEROKOK DAN BUKAN PEROKOK DI RS UNS SURAKARTA PERIODE
JANUARI-FEBRUARI 2023

Tanggal: 26 Februari 2023

Oleh:

dr. Eldaa Putik Bunga Melati S602202006

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Presentasi Kasus

dr. Brigitta Devi Anindita H, Sp.P

ii
BAB I
PENDAHULUAN
Spirometri (spirometry) adalah pemeriksaan fungsi paru yang berperan dalam proses
skrining, diagnosis, serta pemantauan hasil pengobatan berbagai penyakit pernapasan.
Organisasi dan konsensus medis dunia seperti National Asthma Education and Prevention
Program, Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD),1 dan American
Thoracic Society (ATS) telah merekomendasi pemeriksaan spirometri untuk menguji fungsi
dan kapasitas paru seorang individu.2 Spirometri bersifat sederhana, tidak invasif dan dapat
dikerjakan di layanan kesehatan primer. Namun, prosedur pemeriksaan melibatkan berbagai
manuver pernapasan yang terkoordinasi yang harus dilakukan oleh pasien, yang merupakan
faktor utama penyebab besarnya nilai variabilitas hasil dan rendahnya validitas hasil
pemeriksaan. Selain tergantung pada kemampuan instruktur, manuver yang baik sangat
dipengaruhi oleh pemahaman pasien, yang terutama menjadi sulit ketika pasien berusia
lanjut, pasien anak, pasien dengan tingkat edukasi rendah atau gangguan kognisi.
Osilometri (impulse oscillometry/1OS) di sisi lain adalah pemeriksaan fungsi paru yang
tidak membutuhkan manuver pernapasan khusus. Pemeriksaan yang dilakukan dengan
pasien bernapas secara normal (pernapasan tidal) selama 20 detik mampu mendeteksi
kelainan saluran napas yang dinyatakan dalam parameter resistensi dan reaktansi. 3
Kesederhanaan prosedur dengan tidak diperlukannya manuver pernapasan paksa
memunculkan kemungkinan hasil pemeriksaan osilometri lebih objektif dalam
menggambarkan fungsi paru individu dibandingkan dengan spirometri. Berbagai penelitian
tengah diadakan untuk menguji korelasi hasil kedua pemeriksaan mulai dari mendeteksi
kelainan saluran napas hingga menilai respons terapi jangka panjang. Penelitian ini ditulis
untuk mengamati hasil pemeriksaan spirometri dan osilometri pada individu, serta menilai
tingkat korelasi kedua hasil pemeriksaan tersebut dalam menggambarkan fungsi dan
kapasitas respirasi.

1
BAB II
DASAR TEORI
2.1. Volume dan Kapasitas Paru
Terdapat empat volume paru yang berbeda, yang jika dijumlahkan sama dengan
volume maksimal paru yang mengembang. Pengertian dari setiap volume tersebut yaitu4:
a. Volume Tidal (Tidal Volume/TV)
Volume udara yang secara normal dihirup (inspirasi) atau dihembuskan (ekspirasi)
pada setiap tarikan napas. Volume ini akan meningkat apabila terdapat aktivitas fisik.
Nilai rata-ratanya adalah 500 ml pada saat istirahat.
b. Volume Cadangan Inspirasi (Inspiratory Reserve Volume/IRV)
Volume udara di atas inspirasi tidal volume yang dapat secara maksimum dihirup
pada setiap tarikan napas. Nilai rata-ratanya adalah sekitar 300 ml.
c. Volume Cadangan Ekspirasi (Expiratory Reserve Volume/ERV)
Jumlah udara maksimal yang dapat dihembuskan melebihi ekspirasi normal. Nilai
rata-ratanya adalah 1000 ml.
d. Volume Residu (Residual Volume/RV)
Volume udara yang tetap berada di dalam paru setelah ekspirasi maksimal. Nilai
normalnya adalah sekitar 1200 ml.
Selama proses respirasi, dua atau lebih daripada volume-volume di atas bergabung
dan menggambarkan berbagai kondisi paru, kombinasinya antara lain4:
a. Kapasitas Paru Total (Total Lung Capacity/TLC)
Jumlah total udara yang berada dalam paru pada akhir inspirasi maksimum. Besarnya
sama dengan jumlah kapasitas vital dengan volume residu.
b. Kapasitas Vital (Vital Capacity/VC)
Volume udara yang dapat dikeluarkan dengan ekspirasi maksimum setelah inspirasi
maksimum, atau jumlah udara maksimum pada seseorang yang berpindah pada satu
tarikan napas. Kapasitas ini mencakup VT, IRV,dan ERV. Nilainya diukur dengan
menyuruh individu melakukan inspirasi maksimum kemudian menghembuskan
sebanyak mungkin udara di dalam parunya ke alat pengukur.
c. Kapasitas Inspirasi (Inspiratory Capacity/IC)
Volume udara yang dapat diinspirasi setelah akhir ekspirasi normal. Besarnya sama
dengan jumlah VT dengan IRV.
d. Kapasitas Residu Fungsional (Functional Residual Capacity/FRC)
Jumlah udara yang masih tetap berada dalam paru setelah ekspirasi normal. Besar

2
FRC sama dengan jumlah dari RV dengan ERV.
e. Kapasitas Vital Paksa (Forced Vital Capacity/FVC)
Kapasitas vital yang diukur per-satuan waktu.
f. Volume Ekspirasi Paksa Detik Pertama (Forced Expiratory Volume 1/FEV1)
Volume udara yang dapat dikeluarkan dengan ekspirasi maksimum paksa pada
detik pertama manuver
2.2. Pemeriksaan Spirometri
Pemeriksaan spirometri bertujuan untuk mengukur volume paru dalam kondisi
statis dan dinamis. Spirometri telah banyak direkomendasikan sebagai pemeriksaan baku
emas untuk mendiagnosis penyakit paru obstruktif, di antaranya oleh National Lung
Health Education Program (NLHEP), National Heart Lung and Blood Institute
(NHLBI), dan World Health Organization (WHO). Alat yang digunakan untuk
pemeriksaan spirometri adalah spirometer. Spirometer bekerja dengan mengkonversi
volume inspirasi dan ekspirasi ke dalam jejak garis tunggal. Data spirometri direkam
menggunakan grafik yang disebut spirogram.
Pemeriksaan spirometri dapat mengukur beberapa parameter yaitu kapasitas vital
(KV), kapasitas vital paksa (KVP), volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1),
perbandingan VEP1 dengan KVP (VEP1/KVP), dan arus puncak ekspirasi (APE).
Parameter tersebut digunakan untuk menilai gangguan obstruksi dan restriksi. Hasil
pengukuran spirometri berupa volume dalam satuan liter, waktu dalam satuan detik, dan
kecepatan aliran udara dalam satuan liter per detik. Hasil pengukuran tersebut untuk
mengukur fungsi paru dan medukung diagnosis penyakit paru. Spirometri tidak dapat
digunakan untuk mengukur volume residu dan kapasitas paru total. 4,5 Volume udara di
dalam paru dipengaruhi kerja mekanis paru dan dinding dada serta aktivitas otot
inspirasi dan ekspirasi. Proses fisiologi dan patologis di saluran napas dapat
mempengaruhi volume pernapasan / volume paru. Selain itu, volume paru seseorang
secara alami bergantung pada tinggi badan dan berat badan atau luas permukaan tubuh,
umur, dan jenis kelamin.
2.2.1. Prosedur Pemeriksaan Spirometri
Berdasarkan pedoman dari European Respiratory dan American Thoracic Society,
langkah-langkah pemeriksaan spirometri adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksa menentukan tipe pemeriksaan yang dibutuhkan yaitu spirometri base-line,
spirometri post-bronkodilator, atau tes reversibilitas. Pemeriksaan baseline bertujuan
mengetahui fungsi paru yang belum tegak diagnosisnya. Pemeriksaan spirometri post-

3
bronkodilator bertujuan untuk diagnosis gangguan obstruksi dan memonitor
tatalaksana PPOK dan asma. Tes reversibilitas digunakan untuk membedakan asma
dan PPOK sebagai penunjang dari pemeriksaan klinis.6,7
b. Pemeriksa mencatat data tinggi badan pasien (diukur tanpa alas kaki), umur, jenis
kelamin dan ras/etnisitas ke dalam spirometer.
c. Pemeriksa menjelaskan ada tiga prosedur pemeriksaan spirometri yaitu KV, KVP, dan
VEP1. Pemeriksa menjelaskan dan mendemonstrasikan manuver KV, KVP dan VEP1
sampai pasien memahami dan dapat mempraktikkan prosedur dengan benar.
d. Pemeriksa menyiapkan pasien dan spirometer untuk mengukur KV. Pengukuran KV
dilakukan dengan cara pemasangan penjepit hidung dan melepas gigi palsu (bila ada),
pasien dalam posisi yang nyaman, dan pasien melakukan minimal tiga manuver KV
yang acceptable. Pemeriksaan KV dapat diulang apabila selisih nilai KV lebih dari
100 mililiter (ml). Pemeriksa memotivasi pasien selama pemeriksaan untuk dapat
mengeluarkan udara hingga maksimal dan memperhatikan kurva manuver yang
acceptable.
e. Pemeriksaan berikutnya dilakukan untuk menilai KVP dan VEP1. Syarat pemeriksaan
tersebut yaitu pasien dalam kondisi nyaman, melakukan minimal tiga manuver KVP
dan VEP1 yang acceptable, dan mengulang manuver apabila selisih nilai KVP dan
VEP1 lebih dari 100 ml. Pemeriksa memotivasi pasien untuk melakukan manuver
dengan benar dan menghembuskan napas semaksimal mungkin untuk mendapat hasil
yang terbaik, dan mengulang pemeriksaan 8 spirometri di lain waktu apabila manuver
sudah lebih dari delapan kali dilakukan dalam satu kali uji faal paru.
f. Pemeriksa menghitung nilai %KV, %KVP, %VEP1, dan VEP1%.
g. Pemeriksa melakukan uji post bronkodilator bila hasil spirometri menunjukkan
gambaran obstruktif. Uji post bronkodilator menggunakan inhalasi kerja pendek untuk
menilai reversibilitas obstruksi saluran napas. Obat uji post bronkodilator yang
digunakan antara lain:6,7
1) Salbutamol inhalasi 100 mikrogram (mcg) 4 puff. Spirometri dilakukan sebelum
dan 20 menit setelah pemberian obat.
2) Ipatropium bromida inhalasi 20 mcg 4 puff menjadi pilihan kedua. Efek
pemberian dinilai setelah 40 menit.
h. Pemeriksa mencatat nilai tertinggi VEP1 post bronkodilator dan nilai tertinggi KVP
untuk menentukan rasio VEP1/KVP.
Pemeriksa memastikan kertas spirometri tersimpan pada catatan rekam medis

4
pasien. Pemeriksa membuat interpretasi dari hasil spirometri dan menjelaskan hasil
spirometri kepada pasien untuk tatalaksana selanjutnya.8
2.2.2. Interpretasi Hasil Spirometri
Hasil pemeriksaan spirometri dapat diterima apabila memenuhi kriteria acceptability
dan repeatability. Acceptability, yaitu:9
a. Pasien mengikuti sesuai instruksi.
b. Pasien melakukan inspirasi penuh.
c. Pasien melakukan manuver ekspirasi maksimal tanpa jeda untuk berhenti atau
mengambil napas kembali.
d. Pasien melakukan manuver VEP1 dengan awal yang cepat.
e. Arus puncak inspirasi memiliki puncak yang tajam.
f. Pasien melakukan ekspirasi hingga ≥6 detik apabila pasien berumur ≥10 tahun dan ≥3
detik apabila berumur <10 tahun.
Kriteria repeatability adalah diperolehnya tiga tes yang acceptable. Alur interpretasi
hasil spirometri ditunjukkan Gambar 1.10

Gambar 1. Alur interpretasi hasil spirometri10


Interpretasi hasil spirometri dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Gangguan restriktif (sindrom pembatasan)
Restriktif (sindrom pembatasan) adalah gangguan pengembangan paru.
Parameter yang dilihat adalah Kapasitas Vital (VC) dan Kapasitas Vital Paksa (FVC).
Biasanya dikatakan restriktif adalah jika Kapasitas Vital Paksa (FVC) < 80% nilai
prediksi. Penyakit paru dengan gangguan restriksi dipengaruhi faktor ekstrinsik dan
intrinsik.11 Faktor ekstrinsik meliputi penurunan pengembangan dinding dada

5
(obesitas, kifoskoliosis, dan luka bakar area dinding dada) dan kelemahan otot
respiratorik (kelainan neuromuskular). Faktor intrinsik disebabkan dari paru 16
sendiri (penyakit paru interstisial). Kurva gangguan restriksi berbentuk normal dengan
ukuran yang lebih kecil dibandingkan faal paru normal. Hal ini disebabkan
ketidakmampuan paru untuk mengembang penuh. Kurva flow volume gangguan
restriksi ditunjukkan pada gambar 2.12

Gambar 2. Kurva flow-volume gangguan restriksi.12


Gangguan restriksi ditandai dengan penurunan nilai KV, VEP1, dan KVP.
Penurunan kedua nilai VEP1 dan KVP menyebabkan rasio VEP1/KVP menjadi
normal atau meningkat. Adapun derajat restriksi ditunjukkan pada tabel dua.
b. Gangguan Obstruktif (sindrom penyumbatan)
Obstruktif adalah setiap keadaan hambatan aliran udara karena adanya sumbatan
atau penyempitan saluran napas. Sindrom penyumbatan ini terjadi apabila kapasitas
ventilasi menurun akibat menyempitnya saluran udara pernafasan. Biasanya ditandai
dengan terjadi penurunan FEV1 yang lebih besar dibandingkan dengan FVC sehingga
rasio FEV1/FVC kurang dari 80%. Obstruksi saluran napas terdiri atas obstruksi
saluran napas atas dan obstruksi saluran napas bawah. Obstruksi saluran napas atas
terdiri dari obstruksi ekstratoraks, obstruksi intratoraks, dan fix obstruction. Kurva
flow-volume pada obstruksi ekstratoraks menunjukkan obstruksi selama fase inspirasi
berupa kurva yang mendatar dan kurva fase ekspirasi berbentuk normal berupa kurva
triangle. Obstruksi selama fase inspirasi terjadi karena saluran napas ekstratoraks
cenderung collaps akibat dari tekanan negatif selama inspirasi. Peningkatan
penyempitan lumen yang terjadi di sekitar lesi menyebabkan penurunan aliran udara
saat inspirasi. Obstruksi ekstratoraks misalnya pada kasus goiter, tumor cervical yang

6
menekan, atau paralisis plika vokalis. Obstruksi intratoraks ditunjukkan dengan kurva
yang mendatar saat fase ekspirasi karena obstruksi sedangkan kurva fase inspirasi
tetap normal. Fixed obstruction misalnya pada stenosis trakea. Kurva flow-volume
obstruksi saluran napas atas ditunjukkan pada gambar 3.13

Gambar 3. Kurva flow-volume obstruksi saluran napas atas. Keterangan: a. .fixed


obstruction, b. obstruksi ekstratoraks, c. obstruksi intratoraks.
Obstruksi saluran napas bawah Obstruksi saluran napas bawah ditemukan
pada penyakit paru obstruksi kronik, bronkitis kronik, bronkiektasis, dan asma. Angka
aliran puncak menurun dengan gambaran khas berbentuk konkavitas ke atas pada
obstruksi saluran napas bawah.14 Kurva flow volume obstruksi saluran napas bawah
ditunjukkan pada gambar 4.15

Gambar 4. Kurva flow-volume obstruksi saluran napas bawah15


c. Gangguan campuran
Gangguan obstruksi dan restriksi (mix) ditandai penurunan nilai rasio
VEP1/KVP dan KPT < 5 persentil dari nilai prediksi. Gangguan obstruksi dan
restriksi dapat terjadi penurunan nilai KV sehingga komponen restriksi pada pasien
dengan obstruksi tidak dapat dinilai dari pengukuran VEP1 dan KV saja. Kurva flow
volume menunjukkan adanya obstruksi dan ukuran lebih kecil dari normal. Kurva
flow volume gangguan obstruksi dan restriksi ditunjukkan pada gambar 5.16

7
Gambar 5. Kurva flow-volume gangguan restriktif dan obstruktif16
Derajat gangguan restriktif maupun obstruktif ditunjukkan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Derajat Gangguan Restriktif dan Obstruktif dalam Pemeriksaan Spirometri
Restriktif Derajat Obstruktif
KVP/nilai prediksi VEP1/VEP1 Prediksi
(%) (%)
>80 Normal >75
60-79 Ringan 60-74
30-59 Sedang 30-59
<30 Berat <30

2.3. Pemeriksaan Osilometri


Pemeriksaan osilmetri dilakukan tanpa manuver khusus selama pasien beranapas
seperti biasa (pernapasan tidal) dan akan memberikan hasil yang menggambarkan sifat
elastis sistem pernapasan dan homogenitas ventilasi. Prinsip manuvernya adalah hantaran
sinyal/gelombang bertekanan eksternal (biasanya dihasilkan oleh sebuah perangkat
loudspeaker) untuk mengukur respons aliran udara dari saluran pernapasan. Tekanan dan
aliran udara yang dihasilkan kemudian tercatat sebagai parameter mekanis osilasi yaitu
resistansi dan reaktansi. King et al. menerbitkan standar teknis untuk osilometri
pernapasan pada tahun 2019, termasuk daftar instruksi minimum dan informasi yang
harus diberikan kepada pasien sebelum pemeriksaan.17
Komponen utama osilometer adalah loudspeaker, yang menghasilkan stimulus
pulsatil melalui adaptor, menghasilkan gelombang-gelombang bertekanan masuk ke
saluran udara bersamaan dengan masuknya aliran udara; dan pneumotachograph,
biasanya melekat pada corong, masker wajah, atau tabung endotrakeal. Data yang

8
dihasilkan dikumpulkan dan dibaca oleh sensor tekanan dan aliran.17
2.3.1. Prosedur Pemeriksaan Osilometri
Sebelum pengukuran, instruksi dan penjelasan tentang prosedur pemeriksaan harus
diberikan:
a. Pasien harus bernapas dengan volume tidal dan frekuensi pernapasan seperti biasanya.
b. Prosedur dilakukan dengan subjek duduk dalam posisi santai tetapi tegak. Posisi
kepala dan leher harus netral atau agak menjulur (sedikit ekstensi).
c. Subjek harus menopang pipinya dengan kuat dan menggunakan klip hidung.
d. Pemeriksa harus melakukan inspeksi secara visual untuk memverifikasi bahwa corong
(mouthpiece) tertutup sempurna dan lidah berada di posisi yang benar, sehingga tidak
ada kebocoran di sekitar mulut.
e. Selama prosedur, subjek pemeriksaan melakukan pernapasan tidal selama 30–45
detik. Nilai impedansi akhir yang tercatat biasanya adalah nilai rata-rata dari semua
pengukuran valid yang diperoleh selama interval pengujian.
f. Biasanya perlu dilakukan tiga pengukuran, meskipun ada pula penelitian yang
menunjukkan bahwa dua pengukuran yang berkelanjutan secara teknis memperoleh
nilai resistansi dan reaktansi rata-rata yang sama dengan tiga atau lebih pengukuran
ulangan, tidak peduli berapa lama pengukuran berlangsung.
g. Setelah pemeriksaan selesai, alat akan menampilkan interpretasi otomatis (machine-
based interpretation). Pemeriksa dapat menyesuaikan interpretasi dengan kondisi
klinis pasien.
Dalam hal acceptability, akurasi pengukuran dapat dipertahankan dengan melakukan
kontrol kualitas, di anaranya dengan meminimalisir artefak seperti gerakan menelan,
penutupan glotis, penyangga pipi yang buruk, gerakan lidah, atau adanya kebocoran
udara. Pemeriksa dapat mengidentifikasi dan mencegah artefak-artefak ini dengan
memantau aliran, volume, dan tekanan selama prosedur, bila perlu mengulangi
pengukuran, hingga mendapatkan tiga rekaman yang akurat. Reproducibility dapat
divalidasi dengan nilai koherensi. Kualitas pengujian yang optimal harusmenunjukkan
nilai yang lebih besar dari 0,8 cm H 2O yang diukur pada 5 Hz atau lebih besar dari 0,9 cm
H2O yang diukur pada 20 Hz.
2.3.2. Parameter
Nilai resistansi dan reaktansi saluran pernapasan dapat ditentukan dengan osilometri
pada frekuensi tertentu.18 Parameter utama adalah: Impedansi (Z) gaya yang harus
dikalahkan untuk memobilisasi gas masuk dan keluar dari saluran udara. Secara matematis

9
dapat ditentukan sebagai rasio tekanan (P) terhadap aliran (V) dalam fungsi frekuensi
osilasi (ω):

Selanjutnya, impedansi dapat dipisahkan menjadi komponennya, resistansi (R) dan


reaktansi (Z):

Berdasakan persamaan:

di mana Kapasitansi (E), komponen reaktansi, menentukan elastisitas paru-paru, dan


ditampilkan sebagai nilai negatif. Inertansi (I), juga bagian dari reaktansi, ditentukan oleh
gaya inertif massa dari pergerakan udara di saluran udara dan merupakan nilai positif.
Variasi impedansi dapat dideteksi tergantung pada area saluran pernapasan mana yang
sedang diukur tekanannya (saluran napas atas, saluran napas distal, paru-paru, atau
dinding dada). Resistensi pernapasan (Rrs) adalah energi yang dibutuhkan untuk
memindahkan gelombang tekanan melalui saluran udara. Peningkatan resistensi dapat
ditemukan pada penyakit yang mempengaruhi saluran udara, misalnya pada asma atau
PPOK. Reaktansi pernapasan (Xrs) adalah energi yang ditentukan oleh dinamika aliran
udara di saluran udara, dipengaruhi oleh elastisitas jaringan dan gaya interstisial. Nilai
reaktansi (Xrs) menjadi lebih negatif pada penyakit di mana elastisitas meningkat, dan
sebaliknya semakin positif (meningkat) pada penyakit di mana elastisitas paru menurun.19
Frekuensi resonansi (Fres) adalah nilai Hertz di mana inertansi dan kapasitansi perifer
paru-paru memiliki nilai yang sama, dan total reaktansi menjadi nol. 19 Nilai referensi
frekuensi resonansi untuk orang dewasa adalah antara 7 dan 12 Hz. Nilai referensi
frekuensi resonansi dapat lebih tinggi pada kasus kelainan paru, baik restriktif maupun
obstruktif.18,19 Area reaktansi (AX) mencakup area di bawah kurva reaktansi dari frekuensi
terendah hingga Fres; peningkatan nilai berkorelasi dengan obstruksi distal. Sinyal dengan
frekuensi 5 Hz dapat mencapai saluran udara distal sehingga R5 sama dengan hambatan
jalan napas total, sedangkan sinyal frekuensi tinggi seperti 20 Hz hanya dapat mencapai
saluran udara sentral sehingga R20 sama dengan hambatan saluran udara proksimal
(Gambar 6).

10
Gambar 6. Sinyal dengan frekuensi yang berbeda pada pemeriksaan osilometri mencapai
daerah yang berbeda pada saluran napas.20
Untuk memperoleh resistensi dari saluran udara distal, diperlukan selisih antara R5
dan R20.20 Peningkatan R5 yang lebih tinggi dari R20 berarti penyakit saluran napas
kecil/perifer, sedangkan peningkatan kedua parameter (R20 dan R5) menunjukkan
penyakit saluran napas proksimal. Sementara itu, reaktansi (Xrs) pada frekuensi rendah
(5Hz) menentukan sifat elastis dan interstisial paru. Penyakit yang mempengaruhi
elastisitas paru (misalnya: penyakit paru interstitial) akan meningkatkan kapasitansi secara
negatif (X5 menjadi lebih negatif).
Parameter osilometri yang diturunkan dari resistansi Rrs(f) dan reaktansi Xrs(f)
diuraikan dalam spektrum grafis:

Gambar 7. Resistensi saluran napas R5Hz, resistensi saluran napas sentral R20Hz, dan

11
index saluran napas kecil selisih R5-R20 diperoleh dari spektrum resistensi Rrs(f).18
2.3.3. Interpretasi Klinis
Ada atau tidaknya kelainan fungsi paru beserta derajatnya diperoleh dari
perbandingan antara resistensi R5Hz dan reaktansi X5Hz dari pernapasan tidal dengan
nilai prediksinya. Fungsi paru dikatakan normal apabila kedua parameter bernilai normal,
tidak boleh dinyatakan dengan salah satu parameter saja. Secara sederhana, interpretasi
gangguan restriktif maupun obstruktif ditampilkan secara langsung oleh mesin beserta
derajatnya (Gambar 8).

Gambar 8. Visualisasi interpretasi otomatis osilometri18


a. Fungsi Paru Normal
Resistensi pernapasan R5Hz dan reaktansi paru-paru X5Hz berada dalam
kisaran normal. Nilai rujukan normal adalah R5Hz < 140% prediksi dan reaktansi
paru sesuai formula (prediksi – X5Hz) < 0.15 kPa.s.L-1. Spektrum Rrs(f)
menunjukkan respons linear yang hampir tidak bergantung pada frekuensi. Pola dari
spektrum reaktansi Xrs(f) adalah normal, yaitu terus menurun menuju frekuensi yang
lebih rendah.
b. Obstruksi sentral
Resistensi pernapasan R5Hz meningkat dibandingkan dengan referensi dan
abnormal, sedangkan X5Hz masih berada di kisaran normal. Spektrum resistansi
Rrs(f) tidak menunjukkan kesesuaian dengan perubahan frekuensi dan berjalan paralel
dengan nilai prediksi dalam garis kisaran abnormal. Reaktansi spektrum Xrs(f) tetap
normal. Obstruksi sentral ditunjukkan oleh R5Hz > 140% prediksi dan reaktansi
sesuai formula (Predicted – X5Hz) < 0.15 kPa.s .L -1.
c. Obstruksi perifer
Baik R5Hz dan X5Hz tidak normal. Spektrum resistansi Rrs(f) memiliki kesesuaian
dengan frekuensi, yaitu, itu terus meningkat seiring dengan menurunnya frekuensi
osilasi. Obstruksi perifer ditunjukkan dengan parameter R5Hz > 140% prediksi dan
reaktansi sesuai formula (Predicted – X5Hz) > 0.15 kPa.s .L -1, Small airways index
Diff R5-R20 > 0.07 kPa.s .L -1.
d. Restriksi
Karena hilangnya elastisitas paru-paru, reaktansi X5Hz menunjukkan tren
negatif, tetapi hanya pada derajat restriksi yang parah. Restriksi derajat ringan dapat

12
saja tidak terdeteksi. Jika dicurigai adanya gangguan restriksi ringan, kapasitas vital
sebaiknya dikonfirmasi dengan spirometri, dan dianjurkan pemeriksaan lanjutan
untuk menilai kapasitas paru total dengan body plethysmography atau dilusi gas.
Restriksi ditunjukkan oleh parameter R5Hz < 140% prediksi dan reaktansi sesuai
formula (Predicted – X5Hz) > 0.15 kPa.s .L -1.
e. Stenosis
Pertimbangkan untuk melakukan kedua pemeriksaan yaitu spirometri dan
osilometri jika dicurigai adanya gangguan ekstratoraks. Osilometri umumnya cukup
peka terhadap adanya gangguan stenosis, walaupun pasien hanya melakukan
pernapasan tidal. Adanya stenosis ditunjukkan dengan R5Hz > 140% prediksi dan
reaktansi sesuai formula (Predicted – X5Hz) < 0.15 kPa.s .L -1.
f. Reversibilitas
Tabel berikut merangkum laju reaksi parameter osilometri yang dapat diamati
untuk
menentukan reversibilitas bronkus post-bronkodilator:
Tabel 2. Parameter Uji Reversibilitas pada Osilometri18
Parameter Reversibilitas Signifikan
Resistensi Respirasi R5Hz -20% hingga -25%
Small airways index Diff R5-R20 -0.04 kPa.s .L -1
Frekuensi Resonansi Fres -20%
Area Reaktansi AX -40%

13
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian
Studi ini adalah sebuah studi pendahuluan yang merupakan penelitian deskriptif
dengan alur retropektif. Data penelitian adalah data sekunder yang diambil dari catatan
hasil pemeriksaan spirometri dan osilometri subjek.
3.2. Tempat dah Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di RS UNS Surakarta dengan data yang tercatat sejak Desemberi
2022-Januari 2023.
3.3. Sampel dan Metode Pengambilan Sampel
Subjek penelitian adalah seluruh pasien yang menjalani pemeriksaan spirometri dan
osilometri di RS UNS pada bulan Desember 2022-Januari 2023, direkrut dengan metode
total sampling.
3.4. Kriteria Inklusi Subyek
Kriteria inklusi adalah sebagai berikut:
a. Memiliki hasil pemeriksaan spirometri dan osilometri sekaligus
b. Hasil pemeriksaan tercatat secara lengkap
3.5. Kriteria Eksklusi Subyek
Terdapat catatan bahwa pasien tidak dapat melakukan manuver atau kerjasama pasien
buruk
3.6. Kriteria Drop Out
Tidak terdapat kriteria drop out dalam studi pendahuluan ini
3.7. Jadwal Penelitian
Tabel 3. Jadwal Penelitian
Desember 2022 Januari 2023 Februari 2023-dst.
Agenda
1 2 3 4 1 2 3 4 5
Pengambilan data primer (pengukuran spirometri dan osilometri)
Pengambilan data sekunder
Pengolahan dan pemaparan data
Penelitian lanjutan

14
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Seluruh subjek penelitian berjumlah 30 pasien, dengan sebaran demografis sebagai berikut:

Tabel 4. Data Deskriptif


Jumlah (n) %
Demografi
Jenis Kelamin Laki-laki 17 56.7%
Perempuan 13 43.3%
Usia <20 tahun 5 16.7%
20-29 tahun 9 30%
30-39 tahun 6 20%
40-49 tahun 4 13.3%
50-59 tahun 3 10%
60-69 tahun 2 6.7%
>70 tahun 1 3.3%
Merokok Tidak merokok 6 20%
Perokok aktif 13 43.3%
Perokok pasif 11 36.7%
Tidak ada data 0 0
Pekerjaan Karyawan tekstil 6 20%
wirausaha 4 13.3%
Buruh bangunan 13 43.3%
Pelajar 2 6.7%
Petani 5 16.7%
Tidak ada data 0 0
Diagnosis Asma 10 33.3%
PPOK 15 50%
Tidak ada data 5 16.7%
Hasil Pemeriksaan
Hasil Spirometri Normal 2 6.7%
Restriksi 9 30%
Obstruksi 16 53.3%
Campuran 3 10%
Hasil Osilometri Normal 2 6.66%
Restriksi 10 33.3%
Obstruksi sentral 10 33.3%
Obstruksi perifer 8 26.7%
Korelasi hasil Sesuai 25 83.3%
spirometri-osilometri
Tidak sesuai 5 25%
Total 30 100%

Pada tabel karakteristik data pasien, variabel umur terbanyak pada sampel
penelitian adalah kelompok usia produktif 20-29 tahun, disusul dengan usia
dewasa muda 30-39 tahun. Proporsi pekerjaan terbanyak adalah buruh bangunan,

15
diikuti oleh pekerja tekstil dan petani. Dari data tersebut variabel perokok aktif
sebesar 43.3% dan perokok pasif sebesar 36.7%. Hal ini dapat dikatakan pasien
penyakit paru obstruktif atau restriktif dalam penelitian ini disebabkan oleh
merokok daripada yang tidak merokok. Dari data tersebut didapatkan 50% pasien
ditemukan terdapat PPOK, sedangkan asma sebesar 33.3%.
Hampir seluruh hasil pemeriksaan spirometri menunjukkan gangguan
obstruktif sebesar 53.3% dibandingkan dengan penyakit paru restriktif ditemukan
sebesar 30%, lalu untuk campuran obstruktif dan restriktif adalah 10%. Hasil
osilometri didominasi dengan hasil obstruktif sentral dan restriktif, masing-
masing sebesar 33.3%. Obstruktif perifer sebesar 26.7%, sedangkan pasien sehat
sebesar 2.67%
Apabila hasil spirometri dibandingkan dengan osilometri, 83.3% subjek
memiliki hasil spirometri yang sesuai atau telah didukung oleh hasil osilometri.
Sebanyak 25% subjek mendapat hasil yang berbeda pada pemeriksaan spirometri
dan osilometri, kedua-duanya berupa hasil osilometri normal saat spirometri
mendeteksi gangguan campuran derajat ringan.

16
BAB V
PEMBAHASAN

Merokok menjadi salah satu faktor risiko terjadinya PPOK baik secara aktif
maupun pasif. Merokok pada wanita sangat jarang terjadi, akan tetapi perempuan
menghabiskan banyak waktunya untuk memasak dengan menggunakan bahan bakar
sehingga risiko terkena PPOK juga akan lebih besar. Namun, perempuan ditemukan
banyak yang menjadi perokok pasif daripada aktif. Dalam penelitian dikemukakan
oleh Salvi et al. (2020), bahwa pasien perokok aktif memiliki tanda klinis BMI yang
secara siginifikan lebih rendah dibandingkan dengan perokok pasif. Selain itu, pasien
perokok aktif memiliki kadar insulin serum jauh lebih rendah yaitu sebesar 37%
dibandingkan dengan perokok pasif atau yang terpapar asap kayu. Hal ini disebabkan
oleh tembakau mengandung racun nikotin yang dapat merusak sekresi insulin
tepatnya pada sel beta pancreas. Berat badan yang lebih rendah pada pasien perokok
aktif memiliki hubungan terhadap kerusakan sekresi insulin yang umumnya tidak
terjadi pada pasien PPOK akibat perokok pasif maupun terpapar asap kayu. Dalam
pemeriksaan laboratorium darah tepi ditemukan jumlah eosinophil 16% lebih tinggi
pada perokok pasif atau bukan perokok dibandingkan perokok aktif. Dalam penelitian
Salvi et al. (2020), laju penurunan FEV1 pasca bronkodilator selama 2 tahun
didapatkan lebih lambat pada pasien PPOK non perokok atau pasif, dibandingkan
dengan PPOK perokok aktif.
Studi korelasi yang menilai kesesuaian hasil spirometri dengan osilometri
masih terbatas di tingkat dunia dan belum tersedia di Indonesia. Studi pendahuluan
ini menemukan bahwa secara deksriptif, kesesuaian hasil spirometri dengan
osilometri hampir mencapai 100%, dengan memperhatikan keterbatasan masing-
masing metode pemeriksaan. Tingkat keberhasilan pemeriksaan spirometri dalam
menilai fungsi paru utamanya ditentukan oleh keberhasilan subjek uji dalam
melakukan manuver. Penelitian oleh Bjorn et.al. di tahun 2020 mengungkakan bahwa

17
keberhasilan pemeriksaan spirometri hanya sekitar 60% dengan mengasumsikan
instruksi pemeriksa sudah jelas, sedangkan pada osilometri 93%. 21 Penelitian ini
merekomendasikan bahwa pada pasien muda terutama anak, osilometri dapat
digunakan sebagai alternatif dari spirometri.
Penyakit paru yang paling sering dijumpai dan diteliti dengan spirometri-
osilometri adalah asma dan PPOK. Resistensi jalan napas meningkat (terutama pada
saluran napas kecil) pada pasien-pasien dengan asma, terutama selama eksaserbasi.
Biasanya, pemeriksaan osilometri menunjukkan peningkatan nilai Rrs5, Fres, nilai
normal pada R20, dan Xrs5 lebih negatif. Pada periode tidak eksaserbasi, semua
parameter dapat menunjukkan nilai normal, baik dengan spirometri maupun
osilometri. Osilometri sendiri dapat digunakan untuk mengevaluasi tingkat kontrol
asma. Kontrol penyakit yang buruk dapat dicurigai ketika parameter Rrs5-Rrs20 dan
AX meningkat.43 Sebuah penelitian di Spanyol menyimpulkan bahwa ada perbedaan
parameter penting dalam kasus asma yang tidak terkontrol, terkontrol sebagian dan
terkontrol.22 Penelitian lain oleh Galat et al. menyimpulkan, hasil spirometri dan
osilometri saling berasosiasi dan menjadi komplemen satu sama lain dalam menilai
derajat kontrol asma.23 Osilometri lebih peka dalam mendeteksi kelainan saluran
napas kecil dan perubahan minimal lain pada saluran napas sebelum gejala muncul
dan sebelum gejala terdeteksi pada pemeriksaan spirometri, sehingga penyesuaian
dosis terapi untuk mencegah terjadinya eksaserbasi dapat dilakukan lebih awal.
Penelitian lain di Cina yang melibatkan 215 subjek penderita PPOK
menemukan bahwa hasil osilometri berkorelasi baik dengan spirometri. Parameter
reaktansi pada osilometri membantu penilaian fungsi paru pada pasien dengan
FEV1<50% dan pasien-pasien yang terlalu lemah atau sesak untuk menjalani
spirometri.24 Penelitian di Polandia oleh Piorunek et al. mengemukakan bahwa derajat
berat obstruksi pada PPOK yang diukur dengan spirometri (FEV1% prediksi)
berhubungan dengan parameter osilometri, terutama parameter resistensi paru.25
Penelitian lain oleh Eddy et al. yang merupakan studi linier mengungkapkan,
frekuensi eksaserbasi PPOK berkaitan dengan peningkatan nilai area reaktansi (AX)

18
pada osilometri.26 Temuan-temuan ini menunjukkan, meskipun peranan spirometri
dan osilometri dalam mendiagnosis gangguan restriktif dan obstruktif telah diketahui
secara luas, penggunaan keduanya dan interaksi hasil interpretasi klinis kedua
pemeriksaan membutuhkan banyak penelitian lebih lanjut.
Keterbatasan dalam studi pendahuluan ini meliputi minimalnya jumlah
subjek, variasi dalam prosedur pemeriksaan dan faktor bias seperti kurangnya
koordinasi pasien saat menjalani spirometri. Apabila dilakukan lebih dari satu
pemeriksaan fungsi paru, perlu diperhatikan interaksi antara pemeriksaan-
pemeriksaan tersebut dalam kaitannya dengan modifikasi hasil pemeriksaan.
Osilometri harus selalu dikerjakan lebih dulu sebelum dilakukan pemeriksaan yang
melibatkan manuver menarik napas dalam, termasuk di antaranya spirometri,
dikarenakan pada pasien asma terdapat ketidakmampuan untuk melakukan dilatasi
maksimal selama penarikan napas dalam dan dapat memicu terjadinya airway
closure, sehingga akan mempengaruhi hasil osilometri.26

19
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan
Spirometri dan osilometri adalah dua prosedur pemeriksaan fungsi paru yang
dinilai baik dalam menilai kondisi paru, masing-masing dengan parameter
penilaian yang berbeda. Spirometri masih merupakan baku emas dalam
mendiagnosis penyakit obstruktif, tetapi memiliki kelemahan yang signifikan
berkaitan dengan prosedur pemeriksaannya yang membutuhkan koordinasi
manuver pernapasan. Osilometri dalam hal ini menjadi pemeriksaan
komplementer yang baik untuk osilometri karena tidak memerlukan manuver
khusus, dan sensitif dalam mendeteksi obstruksi perifer maupun kelainan lain
yang belum bergejala sehingga belum terdeteksi oleh spirometri. Apabila kedua
pemeriksaan dilakukan, dapat dicapai deteksi dini kelainan fungsi paru dan
penilaian respons terapi yang lebih sesuai dengan kondisi pasien. Kelemahan
masing-masing pemeriksaan dapat diatasi oleh pemeriksa dengan cara
memahami keterbatasan-keterbatasan setiap prosedur dan menyesuaikannya
dengan kondisi pasien.
6.2. Saran
Penulis menyarankan untuk dilakukannya penelitian lanjutan dengan:
1. Memastikan prosedur pemeriksaan baik spirometri maupun osilometri
dilakukan secara optimal: osilometri dikerjakan lebih dulu, pasien dalam
posisi optimal (duduk maupun berdiri), pasien melakukan manuver dengan
benar – atau diberi catatan apabila tidak dapat melakukan manuver
2. Pencatatan data penunjang secara lengkap (jenis kelamin, usia, pekerjaan,
diagnosis klinis, kebiasaan merokok, mampu atau tidaknya melakukan
manuver)
3. Analisis statistik korelasi hasil kedua pemeriksaan

20
DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global Strategy for the
Diagnosis, Management and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. (updated 2010) Diakses dari http://www.goldcopd.org/ [PubMed]
2. Standardization of Spirometry 2019 Update. An Official American Thoracic
Society and European Respiratory Society Technical Statement. Diakses dari
https://www.atsjournals.org/action/showCitFormats?
doi=10.1164%2Frccm.201908-1590ST
3. Bickel S, Popler J, Lesnick B, Eid N. Impulse oscillometry: interpretation and
practical applications. Chest. 2014;146(3):841–847. doi: 10.1378/chest.13-1875
[PubMed] [CrossRef] [Google Scholar]
4. Dubois A, Brody A, Lewis DBBJ. Mechanics of lungs and chest in man. J Appl
Physiol - Am J Physiol. 1956;8:587–594. doi: 10.1152/jappl.1956.8.6.587
[PubMed] [CrossRef] [Google Scholar]
5. Levitzky MG. Function and structure of the respiratory system. In: Levitzky MG,
editors. Lange Pulmonary Physiology 7th ed. New Orleans: The McGraw Hill
Company; 2007. p. 54-7.
6. Jardin TD. Ventilation. In: Jardin TD, editor. Cardiopulmonary anatomy and
physiology. 4th ed. Illinois: Delmar Thomson Learning; 2002. p. 144-52
7. Flesch JD, Dine CJ. Lung volume measurement, clinical use, and coding. Chest.
2012;142(2):506-10.
8. Queensland Health. Spirometry (adult) respiratory science. Queensland Health.
2012;1:1-31. 12. John DP. Spirometry. In: Johns DP, Pierce R, editors. The
measurement and interpretation of ventilatilatory function in clinical practice. 2nd
ed. Pocket Guide to Spirometry. 2008. p. 1-15.
9. Borg BM, Hartley MF, Bailey MJ, Thompson BR. Adherence to acceptability and
repeatability criteria for spirometry in complex lung function laboratories. Respir
Care. 2012;57(12):2032-8.
10. Karkhanis VS, Joshi JM. Spirometry in chronic obstructive pulmonary disease
(copd). Journal Association of Physicians India. 2012;60:22-6.
11. Sterner JB, Morris MJ, Sill JM. Inspiratory flow-volume curve evaluation for
detecting upper airway disease. Respiratory Care. 2009;54(4):461-66
12. Harpreet R, Wilde M, Madden B. Pulmonary function tests. Ulster Med J.
2011;80(2):84-90.
13. Quanjer HP, Weiner DJ, Pretto JJ, Brazzele DJ. Measurement of FEF25-75% and
FEF75% does not contribute to clinical decisions making. Eur Respir Journal.
2014;43:151-58.
14. Houghton CM, Woodcock AA, Singh D. A comparison of plethysmography,
spirometry and oscillometry for assessing the pulmonary effects of inhaled
ipratropium bromide in healthy subjects and patients with asthma. Br J Clin
Pharmacol. 2005;59(2):152–9. [PMC free article] [PubMed] [Google Scholar]
15. Borrill ZL, Houghton CM, Woodcock AA, Vestbo J, Singh D. Measuring

21
bronchodilation in COPD clinical trials. Br J Clin Pharmacol. 2005;59(4):379–84.
[PMC free article] [PubMed] [Google Scholar]
16. Gallucci M, Carbonara P, Pacilli AMG, Di Palmo E, Ricci G, Nava S. Use of
symptoms scores, spirometry, and other pulmonary function testing for asthma
monitoring. Front Pediatr. 2019;7(MAR):1–12. doi: 10.3389/fped.2019.00054
[PMC free article] [PubMed] [CrossRef] [Google Scholar]
17. King GG, Bates J, Berger KI, et al. Technical standards for respiratory
oscillometry. Eur Respir J. 2020;55:2. doi: 10.1183/13993003.00753-2019
[PubMed] [CrossRef] [Google Scholar]
18. Watts JC, Farah CS, Seccombe LM, et al. Measurement duration impacts
variability but not impedance measured by the forced oscillation technique in
healthy, asthma and COPD subjects. ERJ Open Res. 2016;2(2):1–7. doi:
10.1183/23120541.00094-2015 [PMC free article] [PubMed] [CrossRef] [Google
Scholar]
19. Jensen A, Atileh H, Suki B, Ingenito EP, Lutchen AKR. Selected Contribution:
airway caliber in healthy and asthmatic subjects: effects of bronchial challenge and
deep inspirations. J Appl Physiol. 2003;94:1242–1252. [PubMed] [Google
Scholar]
20. Porojan-Suppini N, Fira-Mladinescu O, Marc M, Tudorache E, Oancea C. Lung
Function Assessment by Impulse Oscillometry in Adults. Ther Clin Risk Manag.
2020;16:1139-1150.
21. Björn L, Erik M, Per T, Mikael N, Jenny H. Agreement between spirometry and
impulse oscillometry for lung function assessment in 6‐year‐old children born
extremely preterm and at term. Pediatric Pulmonology. 2020;55:2745–2753.
10.1002/ppul.24976 [PMC free article] [PubMed] [CrossRef] [Google Scholar]
22. Palacios MÁD, Marín DH, Valero AG, Hernández NC, Barona CT, de Rojas
DHF. Correlation between impulse oscillometry parameters and asthma control in
an adult population. J Asthma Allergy. 2019;12:195–203. doi:
10.2147/JAA.S193744
23. Galant SP, Komarow HD, Shin HW, Siddiqui S, Lipworth BJ. The case for
impulse oscillometry in the management of asthma in children and adults. Ann
Allergy Asthma Immunol. 2017;118(6):664–671. doi: 10.1016/j.anai.2017.04.009
24. Wei X, Shi Z, Cui Y, et al. Impulse oscillometry system as an alternative
diagnostic method for chronic obstructive pulmonary disease. Med (United
States). 2017;96:46. doi: 10.1097/MD.0000000000008543
25. Piorunek T, Kostrzewska M, Cofta S, et al. Impulse oscillometry in the diagnosis
of airway resistance in chronic obstructive pulmonary disease. Advs Exp Med Biol
Neurosci Respir. 2015;7:47–52.
26. Slats AM, Janssen K, Van Schadewijk A, et al. Bronchial inflammation and
airway responses to deep inspiration in asthma and chronic obstructive pulmonary
disease. Am J Respir Crit Care Med. 2007;176(2):121–128. doi:
10.1164/rccm.200612-1814OC
27. Salvi SS, Brashier BB, Londhe J, Pyasi K, Vincent V, Kajale SS, Tambe S,

22
Mandani K, Nair K, Mak SM, Madas S, Juvekar S, Donelly LE, dan Barnes PJ.
Phenotypic comparison between smoking and non-smoking chronic obstructive
pulmonary disease. Respiratory Research. 2020; 21(50): 2-12.
doi.org/10.1186/s12931-020-1310-9

23

Anda mungkin juga menyukai