Anda di halaman 1dari 95

PENGARUH KOMPOSISI BAHAN PENYALUT DAN

KONDISI SPRAY DRYING TERHADAP KARAKTERISTIK


MIKROKAPSUL OLEORESIN JAHE

Oleh
DESMAWARNI
F34103005

2007
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Persembahan untuk ibunda...
The Greatest mother all over the world..

2
RIWAYAT HIDUP

Desmawarni dilahirkan pada tanggal 3 Desember


1985 di Jambi. Anak ketiga dari tiga bersaudara dari
hasil kolaborasi hebat M.Syar’i (Alm) dan Salimah.
Pada tahun 2003 lulus dari Sekolah Menengah
Umum Negeri 3 Kota Jambi dan melanjutkan
studinya di Institut Pertanian Bogor. Melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), penulis
diterima pada Departemen Teknologi Industri
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.
Selama di bangku kuliah penulis pernah menjadi anggota Dewan Keluarga
Masjid Al-Hurriyah pada tahun 2003-2004. Pada tahun selanjutnya penulis
dipercaya menjabat sebagai Pimpinan Perusahaan Buletin Mind, Himalogin. Pada
tahun 2005-2006 penulis berkesempatan untuk berperan aktif sebagai staff
Departemen Public Relation, Biro Infokom, Himpunan Mahasiswa Teknologi
Industri dan di tahun yang sama penulis kembali dipercaya sebagai Pimpinan
Umum Buletin Mind. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Gambar
Teknik pada tahun 2005-2006 dan asisten praktikum Peralatan Industri pada tahun
2006-2007.
Selain itu penulis juga mendapatkan beberapa beasiswa diantaranya dari
YAAB-ORBIT Pusat pada tahun 2003-2005, PPA pada tahun 2005-2007 dan
Yayasan GOODWILL Internasional pada tahun 2007. Kegiatan praktek lapangan
penulis dilakukan di Perusahaan Gula Redjosarie, Magetan dengan fokus bidang
produksi dan pengawasan mutu gula pasir.
Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Komposisi Bahan
Penyalut dan Kondisi Spray Drying Terhadap Karakteristik Mikrokapsul
Oleoresin Jahe” di bawah bimbingan Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, MSc dan Dr.
Ir. Sri Yuliani, MT.

3
PENGARUH KOMPOSISI BAHAN PENYALUT DAN
KONDISI SPRAY DRYING TERHADAP KARAKTERISTIK
MIKROKAPSUL OLEORESIN JAHE

Oleh:
DESMAWARNI
F34103005

SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mendapatkan Gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007

4
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGARUH KOMPOSISI BAHAN PENYALUT


DAN KONDISI SPRAY DRYING TERHADAP KARAKTERISTIK
MIKROKAPSUL OLEORESIN JAHE

SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh:
DESMAWARNI
F34103005

Dilahirkan pada tanggal 3 Desember 1985


di Jambi
Tanggal lulus: September 2007

Menyetujui,
Bogor, September 2007

Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, MSc Dr. Ir. Sri Yuliani, MT
Pembimbing I Pembimbing II

5
SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul


“Pengaruh Komposisi Bahan Penyalut dan Kondisi Spray Drying Terhadap
Karakteristik Mikrokapsul Oleoresin Jahe” adalah hasil karya saya sendiri,
dengan arahan dosen pembimbing. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
skripsi ini.

Bogor, September 2007

DESMAWARNI
F34103005

6
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim,
Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas
berkah dan rahmatnya yang tidak pernah meninggalkan penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi dengan judul “Pengaruh Komposisi
Bahan Penyalut dan Kondisi Spray Drying terhadap Karakteristik Mikrokapsul
Oleoresin Jahe” ini disusun melalui sebuah penelitian di Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Cimanggu, Bogor.
Ucapan terimakasih penulis tujukan kepada beberapa pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini antara lain adalah sebagai berikut;
1. Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, MSc. selaku dosen pembimbing utama yang
senantiasa memberi saran, kritik, semangat, perhatian dan bimbingannya
kepada penulis selama ini.
2. Dr. Ir. Sri Yuliani, MT. selaku dosen pembimbing penelitian di BB
Litbang Pascapanen yang senantiasa memberi saran, kritik, semangat,
perhatian dan bimbingannya kepada penulis selama ini.
3. Dr. Ir. Endang Warsiki, MT. selaku dosen penguji yang banyak
memberikan saran dan kritik terhadap kesempurnaan penulisan ini.
4. Ayahanda yang telah berada disisi-Nya, Ibunda, ayuk dan abang serta
Rafiku atas perhatian, semangat, dukungan lahir batin, cinta, do’a dan
kasih sayang yang tak pernah ada habisnya buat penulis.
5. Seluruh staf dan para laboran Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Pertanian Bogor (Pak Adom, Pak Tri, Pak Yudi, Bu Pia, Mbak
Meli, Mbak Dewi, Mbak Lina, Dani, Pak Danu) yang telah membantu
penulis selama melakukan penelitian.
6. Teman TINers seperjuangan dan sependeritaan di lab BB Litbang
Pascapanen (Mayang, Amet, Windi, Widia, Diani, Ariza, Niken, Riri,
Syahrian, Dina) atas kesabarannya, kerjasamanya dan motivasinya bagi
penulis yang begitu berarti.
7. Teman sebimbingan Mona dan Ika serta teman setim penelitian Mei dan
Dira atas bantuan dan kebersamaannya selama ini.

7
8. Girls Power yang selalu membuat hidup penulis berwarna selama ini, Um-
um, Mamin, Mangnyang, Yu2, Ndah, Ne2y, Ndi, Anna, Dike, Bunda,
Mee-foe, Er2, D3, D-Viem, Be the best always Girls!
9. Teman dan sekaligus saudara-saudara di Boncu dan Wisma rahayu (Tati,
Ani, Arda, Fitri, Nur, Lita, Inggit, Lintang, Tina dan kawan-kawan).
10. Keluarga besar TIN 40, yang telah mengajarkan banyak hal kepada
penulis. Tempat dimana penulis belajar menuntut ilmu, mengenal teman,
sahabat, saudara, musuh, dan cinta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, karena itu
kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini sangat penulis harapkan. Semoga
skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya.

Bogor, September 2007

Penulis

8
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR.............................................................................. iii
DAFTAR ISI............................................................................................. v
DAFTAR TABEL.................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR................................................................................ viii
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................ ix
I. PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar belakang.............................................................................. 1
B. Tujuan........................................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 4
A. Jahe............................................................................................... 4
B. Oleoresin jahe................................................................................. 5
C. Minyak atsiri jahe........................................................................ 8
D. Mikroenkapsulasi........................................................................... 8
E. Spray drying................................................................................... 11
F. BAHAN PENYALUT.................................................................. 14
III. METODOLOGI................................................................................ 19
A. Bahan dan alat............................................................................... 19
B. Metode penelitian 19
1. Ekstraksi oleoresin................................................................... 19
2. Penelitian pendahuluan............................................................ 20
3. Penelitian utama....................................................................... 21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................... 25
1. Ekstraksi oleoresin......................................................................... 25
2. Penelitian pendahuluan.................................................................. 27
3. Penelitian utama............................................................................. 30
A. Mikrokapsul dengan berbagai komposisi bahan
penyalut.................................................................................. 30
1. Total volatile oil dan oil retention..................................... 31
2. Surface oil......................................................................... 33

9
3. Aktifitas air (aw) mikrokapsul………………………….... 36
4. Kadar air............................................................................. 37
5. Kelarutan dalam air............................................................ 39
B. Pengaruh kondisi pengeringan terhadap komposisi bahan
penyalut terpilih...................................................................... 40
1. Total volatile oil dan oil retention..................................... 41
2. Surface oil.......................................................................... 42
3. Aktifitas air (aw) mikrokapsul…………………………… 45
4. Kadar air............................................................................. 47
5. Kelarutan dalam air............................................................ 48
6. Struktur bentuk dan ukuran dengan SEM.......................... 49
7. Profil komponen dengan GCMS........................................ 52
V. KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 55
LAMPIRAN.............................................................................................. 59

10
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Mutu jahe dari berbagai daerah.......................................... 5

Tabel 2. Jenis bahan penyalut proses mikroenkapsulasi.................. 15

Tabel 3. Komposisi bahan penyalut................................................. 22

Tabel 4. Karakteristik oleoresin jahe……………………………... 25

Tabel 5. Komposisi bahan penyalut (konsentrasi 20%) dan 29


Viskositasnya (cps)............................................................

Tabel 6. Hasil pengujian larutan bahan penyalut pada beberapa 30


kondisi spray drying..........................................................

Tabel 7. Total volatile oil dan oil retention mikrokapsul pada 41


variasi suhu inlet dan laju alir umpan................................

11
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Struktur kimia gingerol, zingerone, dan shagaol.................. 6

Gambar 2. Proses pengeringan pada spray dryer................................... 13

Gambar 3. Diagram alir ekstraksi oleoresin........................................... 20

Gambar 4. Diagram alir proses mikroenkapsulasi penelitian tahap 2.... 24

Gambar 5. Hubungan antara viskositas bahan penyalut dengan 28


konsentrasi penyalut dalam larutan......................................

Gambar 6. Total volatile oil mikrokapsul dengan variasi bahan 31


penyalut.................................................................................

Gambar 7. Oil retention mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut... 33

Gambar 8. Nilai surface oil mikrokapsul dengan variasi komposisi 34


bahan penyalut......................................................................

Gambar 9. Nilai aw mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut……... 37

Gambar 10. Kadar air mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut......... 38

Gambar 11. Nilai kelarutan dalam air dari variasi komposisi penyalut.... 39

Gambar 12. Surface oil mikrokapsul dengan variasi suhu inlet dan laju 42
alir umpan.............................................................................

Gambar 13. Nilai aw mikrokapsul dengan variasi suhu inlet dan laju alir 45
bahan.....................................................................................

Gambar 14. Proses hidrasi, awal collaps, dan full collaps pada produk 46
flavor terenkapsulasi.............................................................

Gambar 15. Kadar air mikrokapsul dengan variasi suhu inlet dan laju 47
alir umpan.............................................................................

Gambar 16. Kelarutan dalam air mikrokapsul dengan dengan variasi 48


suhu inlet dan laju alir bahan................................................

Gambar 17. Morfologi mikrokapsul MSc (suhu 170°C/15ml/menit) 49


dengan menggunakan SEM (20kv, perbesaran 100X (kiri)

12
dan1500X (kanan))...............................................................

Gambar 18. Morfologi mikrokapsul MG dengan menggunakan SEM 50


(20kv, perbesaran 100X (kiri) dan1500X (kanan))..............

Gambar 19. Morfologi mikrokapsul MSc (suhu 190°C dan 15ml/menit) 50


dengan menggunakan SEM (20kv, perbesaran 100X (kiri)
dan1500X (kanan))...............................................................

Gambar 20. Morfologi mikrokapsul MSc (suhu 190°C dan 51


15ml/menit,kiri) dan MG (kanan) dengan menggunakan
SEM (20kv, perbesaran 1500X)...........................................

13
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Analisis oleoresin......................................................... 60

Lampiran 2. Analisis mikrokapsul.................................................... 62

Lampiran 3. Gambar sampel oleoresin dan mikrokapsul................. 65

Lampiran 4. Data kadar air mikrokapsul dengan variasi bahan 66


penyalut.........................................................................

Lampiran 5. Data nilai aw mikrokapsul dengan variasi bahan 67


penyalut.........................................................................

Lampiran 6. Data surface oil produk mikrokapsul dengan variasi 68


bahan penyalut..............................................................

Lampiran 7. Data total volatile oil produk mikrokapsul dengan 69


variasi bahan penyalut..................................................

Lampiran 8. Data oil retention produk mikrokapsul dengan variasi 70


bahan penyalut..............................................................

Lampiran 9. Data nilai kelarutan dalam air mikrokapsul dengan 71


variasi bahan penyalut..................................................

Lampiran 10. Data kadar air mikrokapsul dengan variasi kondisi 72


spray drying..................................................................

Lampiran 11. Data nilai aw mikrokapsul dengan variasi kondisi 74


spray drying..................................................................

Lampiran 12. Data surface oil mikrokapsul dengan variasi kondisi 76


spray drying..................................................................

Lampiran 13. Data total volatile oil mikrokapsul dengan variasi 78


kondisi spray drying.....................................................

Lampiran 14. Data oil retention mikrokapsul dengan variasi 79


kondisi spray drying………………………………………

Lampiran 15. Data analisa keragaman kelarutan dalam air variasi 80


kondisi spray drying.....................................................

Lampiran 16. Data identifikasi GCMS pada minyak atsiri................. 81

14
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Jahe (Zingiber officinale) memiliki ruang lingkup penggunaan yang
cukup luas. Rimpang jahe antara lain digunakan untuk bumbu masak, pemberi
aroma dan rasa pada makanan dan minuman, dan juga dimanfaatkan sebagai
bahan obat tradisional maupun obat-obatan modern. Semakin luas penggunaan
jahe dalam industri akan semakin meningkatkan permintaan akan jahe setiap
tahunnya.
Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor jahe. Ekspor jahe
Indonesia rata-rata meningkat 32.75 % per tahun sedangkan pangsa pasar jahe
Indonesia terhadap pasar dunia 0,8 % (Depprind, 2005). Walaupun volume
ekspor jahe cukup tinggi, tetapi sebagian besar ekspor jahe masih dalam
bentuk bahan mentah (rimpang jahe segar) dan setengah jadi (jahe asinan dan
jahe kering), sedangkan dalam bentuk yang diolah (produk jadi) sangatlah
sedikit.
Salah satu bentuk olahan jahe yang sangat disukai industri pangan dan
obat-obatan di dunia adalah oleoresin. Nilai ekonomis oleoresin diprediksi
mencapai lima kali lebih tinggi dibandingkan nilai jahe segar dengan kekuatan
flavor 28 kali lebih kuat dibandingkan jahe segar (Purseglove, 1981).
Oleoresin memiliki beberapa keunggulan lain diantaranya adalah (1)
dapat menanggulangi masalah kontaminasi mikroba; (2) mengurangi volume
dan berat sehingga mengurangi biaya transportasi; (3) memudahkan
pengolahan sehingga lebih praktis dalam pembuatan bumbu masak dan
produk-produk pangan; (4) menyeragamkan keawetan dan kelezatan; (5)
menghindari pemalsuan yang sering terjadi pada rempah-rempah (dengan
penambahan kayu dan daun); (6) memungkinkan standarisasi kekuatan flavor;
(7) mengandung antioksidan alami; serta (8) memiliki waktu simpan yang
lama pada kondisi yang ideal (Djubaedah, 1986; Sudibyo, 1989).
Dibalik keunggulan-keunggulan tersebut bentuk olahan jahe berupa
oleoresin ini memiliki beberapa kelemahan. Konsistensinya yang lengket dan

15
kental mempersulit penanganan bahan dalam aplikasi di industri sedangkan
penggunaannya di industri hanya dalam konsentrasi yang rendah. Disamping
itu, perubahan kimia dan organoleptik yang bersifat destruktif juga dapat
terjadi pada oleoresin selama penyimpanan. Untuk itu diperlukan suatu cara
agar diperoleh bentuk olahan yang lebih mudah ditangani dan juga dapat
melindungi mutu bahan aktif yang terdapat di dalam oleoresin.
Mikroenkapsulasi dapat menjadi salah satu alternatif penyelesaian masalah-
masalah di atas.
Radwick et al. (2002) mendefinisikan mikroenkapsulasi merupakan
proses penyalutan suatu bahan aktif baik itu padatan, cairan ataupun gas dalam
sebuah bahan polimer penyalut. Mikroenkapsulasi dilakukan untuk
melindungi komponen flavor (oleoresin) dari perubahan destruktif dan dapat
meningkatkan stabilitas komponen flavor, serta mengubahnya menjadi bubuk
free-flowing sehingga dapat menekan kerugian selama penyimpanan dan
pendistribusian. Pada penelitian ini dilakukan mikroenkapsulasi oleoresin jahe
dengan metode spray drying. Bahan penyalut yang akan digunakan adalah
gum arab, maltodekstrin dan natrium kaseinat.
Penelitian enkapsulasi flavor dengan menggunakan gum arab telah
banyak dilakukan. Krishnan et al. (2005) juga telah melakukan penelitian
menggunakan gum arab, maltodekstrin dan pati termodifikasi yang telah
komersil (Hi-cap) sebagai bahan penyalut enkapsulasi oleoresin kapulaga.
Kemudian Sootitanwat et al. (2003) menggunakan kombinasi maltodekstrin
dan gum arab sebagai bahan penyalut d-limonen, begitu pula Thevenet (1988)
menggunakan kombinasi gum arab dan maltodekstrin sebagai penyalut
minyak jeruk.
Hasil penelitian terdahulu ini menunjukkan bahwa kombinasi bahan
penyalut gum arab dan maltodekstrin lebih efektif melindungi bahan aktif
dibandingkan dengan bahan penyalut lainnya. Gum arab memiliki
kemampuan retensi yang tinggi dengan sifat emulsifikasi yang baik sedangkan
maltodekstrin tidak memiliki kemampuan emulsifikasi namun dapat
menurunkan viskositas emulsi dan memiliki ketahanan oksidasi yang tinggi.
Maltodekstrin juga mudah diperoleh dan terjangkau dari segi biaya.

16
Sebaliknya penggunaan gum arab cukup berkendala dikarenakan harganya
yang mahal dan persediaan terbatas (Trubiano et al., 1988). Oleh karena itu
diperlukan adanya bahan penyalut pengganti gum arab atau bahan
pendamping gum arab yang dapat digunakan sebagai campuran bahan
penyalut yang lebih efektif dengan kemampuan emulsifikasi yang lebih baik
daripada penggunaan gum arab murni.
Natrium kaseinat adalah salah satu jenis protein susu yang potensial
sebagai bahan penyalut. Keunggulan bahan ini yaitu sifat emulsifikasinya
yang sangat baik sehingga bahan aktif atau flavor dapat tersaluti dengan lebih
baik di dalam bahan penyalut. Banyak penelitian telah menelaah penggunaan
natrium kaseinat sebagai penyalut. Pada penelitian minyak jeruk, retensi
flavor yang diperoleh tinggi dengan kadar minyak pada permukaan yang
rendah (Kim dan Morr, 1996).
Faktor lain yang menentukan keberhasilan mikroenkapsulasi dengan
metode spray drying adalah kondisi spray drying (suhu inlet dan laju alir
umpan). Ketidaksesuaian kondisi pengeringan dengan kestabilan bahan
penyalut terhadap panas dapat menyebabkan penurunan retensi dan kerusakan
struktur mikrokapsul.

B. TUJUAN
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mempelajari pengaruh komposisi bahan penyalut (tiga jenis bahan
penyalut yakni gum arab, maltodekstrin dan natrium kaseinat dalam
beberapa komposisi) terhadap karakteristik mikrokapsul yang dihasilkan
meliputi nilai total volatile oil, surface oil, oil retention, nilai aw dan
kadar air, struktur mikrokapsul, serta kelarutan mikrokapsul tersebut
dalam air.
2. Mempelajari pengaruh kondisi spray drying (laju alir umpan dan suhu
inlet) terhadap karakteristik mikrokapsul yang dihasilkan.

17
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. JAHE
Jahe merupakan tanaman herba tahunan yang termasuk ke dalam Divisi
Spermatopyhta, Kelas Angiospermae, Subkelas Monocotyledone, Famili
Zingiber, Species Zingiber officinale. Kata Zingiber sendiri berasal dari
bahasa Sanskerta singibera yang berarti berbentuk tanduk karena bentuk
percabangan rimpangnya yang mirip bentuk percabangan tanduk rusa,
sedangkan officinale yang berarti digunakan dalam farmasi atau pengobatan
(Jansen, 1981).
Bagian jahe yang banyak dimanfaatkan adalah rimpangnya. Rimpang
atau rhizoma jahe merupakan batang yang tumbuh dalam tanah dan dipanen
jika batangnya berubah warna dari hijau menjadi kuning dan kering (umur 9-
10 bulan) atau sampai warna agak cokelat (umur 12 bulan). Bentuk rimpang
jahe bercabang-cabang tidak teratur dengan daging berwarna kuning atau
jingga, berserat dan berbau harum. Panjang rimpang mencapai 7-15 cm
dengan lebar 3-6 cm dan tebal 1-2 cm (Koswara, 1995).
Menurut Burkill (1935), jahe dikelompokkan menjadi dua macam
berdasarkan ukuran rimpangnya, yaitu jahe besar dan jahe kecil, sedangkan
berdasarkan warna dikenal dua macam jahe, yaitu jahe merah dan jahe putih.
Di Indonesia jahe dikelompokkan menjadi tiga klon jahe berdasarkan ukuran
dan warna rimpang yaitu jahe putih besar, jahe merah dan jahe putih kecil. Di
Jawa Barat jahe putih besar dikenal dengan nama jahe badak atau jahe gajah,
jahe merah dikenal dengan nama jahe sunti dan jahe putih kecil dikenal
dengan nama jahe emprit.
Jahe emprit berwarna putih sampai kuning, mempunyai rimpang relatif
kecil, rasa lebih pedas, kandungan minyak atsiri yang lebih tinggi
dibandingkan dengan jahe badak dan lebih rendah bila dibandingkan dengan
jahe sunti. Jahe emprit terutama digunakan untuk bumbu dapur dan bahan
baku minyak atsiri serta oleoresin. Kandungan minyak atsiri pada jahe adalah
1.5-3.5% berdasarkan berat kering (dry basis). Jahe kering yang diolah

18
menjadi minyak atsiri dan oleoresin berasal dari jahe yang sudah tua, yang
dipanen pada umur 9 bulan atau lebih (Yuliani et al., 1991). Tabel 1 dibawah
ini akan memperlihatkan mutu jahe dari berbagai daerah dan standar mutu
perdagangan. Dari tabel terlihat jahe merah memiliki kadar minyak atsiri
tertinggi, dan jahe putih besar memiliki kadar atsiri terendah.

Tabel 1. Mutu jahe dari berbagai daerah


Jenis Daerah Kadar Kadar minyak Kadar abu
asal air (%) atsiri (%)
(ml/100gr)
Jahe putih kecil Bengkulu 6.70 2.14 10.5
Jahe putih kecil Sukabumi 12.6 3.05 7.20
Jahe putih kecil Cipanas 10.6 3.22 8.90
Jahe putih kecil Bali 11.8 2.71 7.80
Jahe putih besar Bogor 8.60 1.12 9.70
Jahe putih besar Cianjur 13.9 1.62 6.60
Jahe kuning Jambi 19.4 2.12 -
Jahe kuning Madiun 12.2 1.60 9.00
Jahe merah Bengkulu 6.50 3.92 15.9
Jahe merah Kalimantan 7.80 3.96 7.40
Standar 12.0 1.50 8.00
Perdagangan
Sumber : Koswara (1995)

B. OLEORESIN JAHE
Oleoresin adalah gabungan dari resin dan minyak atsiri. Oleoresin dapat
diperoleh dari ekstraksi bagian tanaman tertentu dengan mempergunakan
pelarut organik misalnya oleoresin dari rempah-rempah. Oleoresin berbentuk
padat atau semi padat dan biasanya konsistensinya lengket. Selain
mengandung resin dan minyak atsiri, oleoresin juga mengandung bahan lain
seperti senyawa aromatik, zat warna, vitamin, dan lainnya yang penting dari
rempah tersebut (Whitteley et al., 1952). Bentuk oleoresin jahe berupa cairan
pekat berwarna coklat tua dan mengandung minyak atsiri 15-35% (Koswara,
1995).
Secara umum, oleoresin jahe tersusun oleh komponen-komponen
gingerol dan zingerone yang merupakan senyawa fenol dan ketofenol, shogaol
(senyawa homolog zingerone), minyak atsiri dan resin. Kandungan oleoresin
jahe segar antara 0,4-3,1%, tergantung umur panen dan tempat tumbuhnya.

19
Semakin tua umur jahe, semakin besar kandungan oleoresinnya. Komposisi
kuantitatif oleoresin jahe tergantung pada suhu dan jenis pelarut, jenis jahe
dan komposisi pelarut yang digunakan (Koswara, 1995).
Menurut Purseglove (1981), komponen utama pemberi pedas adalah
gingerol, yaitu 1-(4’-hydroxy-3’-methoxyphenyl)-5-hydroxyalkan-3-one) yang
merupakan deret homolog alkil keton. Senyawa ini mempunyai rantai cabang
yang berbeda-beda panjangnya. Sesuai dengan jumlah atom C pada rantai
cabangnya, dikenal (3)-, (4)-, (5)-, (6)-, (8)-, dan (10)-gingerol. Gingerol
terdapat pada jahe yang masih segar. Dalam pengolahan dan bila dikeringkan,
gingerol dapat berubah menjadi shogaol yaitu 1-(4-hidroksi-3-metoksi fenil)-
4-dekana-3-one yang merupakan senyawa dengan gugus beta tak jenuh.
Gingerol dapat terdegradasi lebih lanjut menjadi zingerone dan aldehid pada
suhu tinggi.
Struktur kimia gingerol, zingerone, dan shogaol seperti yang terdapat
pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur kimia gingerol, zingerone, dan shagaol


(Darsana, 1995)

20
Oleoresin mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan bentuk
olahan jahe lainnya, karena mempunyai rasa dan aroma seperti aslinya.
Keunggulan oleoresin adalah (1) dapat menanggulangi masalah kontaminasi
mikroba; (2) mengurangi volume dan berat sehingga mengurangi biaya
transportasi; (3) meningkatkan nilai ekonomi jahe; (4) memudahkan
pengolahan sehingga lebih praktis dalam pembuatan bumbu masak dan
produk-produk pangan; (5) menyeragamkan keawetan dan kelezatan; (6)
menghindari pemalsuan yang sering terjadi pada rempah-rempah (dengan
penambahan kayu dan daun); (7) memungkinkan standarisasi kekuatan flavor;
(8) mengandung antioksidan alami; serta (9) memiliki waktu simpan yang
lama pada kondisi yang ideal (Djubaedah, 1986; Sudibyo, 1989).
Menurut Farrel (1985) kelemahan oleoresin adalah (a) flavor-nya
bervariasi tergantung dari flavor rempah aslinya dan jenis pelarut yang
digunakan; (b) wujudnya berupa cairan kental sampai semipadat sehingga
sulit ditangani dan dicampurkan pada makanan tanpa pemanasan; (c)
mengandung tanin kecuali bila diperlakukan secara khusus.
Oleoresin diperoleh dengan cara mengekstrak rempah-rempah dengan
menggunakan pelarut organik tertentu. Bahan rempah-rempah berbentuk
bubuk halus dicampur dengan pelarut dan diekstraksi. Larutan dipisahkan
dengan penyaringan pelarut dan pelarutnya disuling. Oleoresin yang
dihasilkan mengandung aroma dan flavor (Djubaedah, 1986).
Persiapan bahan baku mencakup pengeringan bahan sampai kadar air
tertentu dan penggilingan, yang dimaksudkan untuk mempermudah proses
ekstraksi yang akan dilakukan. Kadar air yang tinggi akan menyebabkan
oleoresin yang terekstrak mengandung komponen larut air seperti pati dan
gula sehingga menyebabkan perubahan aroma dan rasa (Purseglove et al.,
1981).
Menurut Djubaedah (1986), perlakuan terbaik dalam ekstraksi oleoresin
jahe adalah ekstraksi bertahap dengan cara perkolasi pada suhu 40°C, selama
2 jam dengan pelarut etanol. Partikel berukuran 30-40 mesh sudah cukup
sesuai untuk ekstraksi. Derajat kehalusan lebih dari 40 mesh tidak menaikkan

21
daya ekstrak oleoresin dari bahan, karena minyak atsiri dapat menguap selama
penggilingan.

C. MINYAK ATSIRI JAHE


Kandungan minyak atsiri merupakan salah satu kualitas yang sering
diujikan pada oleoresin rempah-rempah, karena sebagian besar rempah-
rempah digunakan terutama karena kandungan minyak volatil yang sangat
menentukan flavornya. Jumlah minyak atsiri yang dalam oleoresin
mempengaruhi kualitas oleoresin. Semakin banyak kandungan minyak atsiri
dalam oleoresin maka kualitas oleoresin semakin baik (Sutianik, 1999).
Menurut Purseglove (1981), minyak atsiri mengandung komponen
volatil diantaranya adalah komponen seskuiterpen dan monoterpen.
Sesquiterpen pada jahe terdiri dari seskuiterpen hidrokarbon dan alkohol.
Seskuiterpen hidrokarbon terdiri dari alpha-zingiberen, beta-zingiberen,
kurkumin, beta-bisabolen, beta-farnesen, beta-seskuiphelandren, dan
seskuitujen. Seskuiterpen alkohol terdiri dari zingiberol (cis-beta-eudesmol-
dan trans-beta-eudesmol), nerediol, cis-beta-seskuiphelandrol, cis-sabinen.
Monoterpen pada jahe antara lain d-champen, 4-3-karen, p-simen, mirsen, d-
beta-phelandren, alphapinen, dan sabinen. Pada golongan teroksidasi
teridentifikasi d-borneol, bornil asetat, 1-8-sineol, sitral, sistronelil asetat,
geraniol dan linalool.

D. MIKROENKAPSULASI
Mikroenkapsulasi adalah proses penyalutan atau pembungkusan suatu
bahan baik itu padatan, cairan ataupun gas dalam sebuah bahan polimer
penyalut (Radwick et al., 2002). Bahan yang disalut tersebut umumnya
disebut sebagai bahan–bahan inti atau bahan aktif. Struktur yang meyelimuti
bahan inti disebut dinding, film pelindung atau penyalut yang berguna
melindungi inti dari kerusakan dan pelepasan inti dari penyalut (Young et al.,
1993).
Menurut Balasa dan Fanger (1971), ukuran mikrokapsul dapat berkisar
dari 0.2-5000μm dan memiliki beragam bentuk. Sedangkan King (1995)
menyatakan bahwa, apabila ukuran partikel >5000μm disebut makrokapsul,

22
ukuran partikel antara 0.2-5000μm disebut mikrokapsul, dan apabila ukuran
partikelnya antara <0.2μm (2000Å) disebut nanokapsul. Struktur dan ukuran
mikrokapsul yang dihasilkan tergantung dari teknik pembuatannya, jenis
bahan inti dan polimer (bahan penyalut) yang digunakan (Jackson dan Lee,
1991).
Mikroenkapsulasi memiliki beberapa bidang aplikasi yang pada
umumnya pada industri makanan. Risch dan Anderson (1995) menyatakan
bahwa mikroenkapsulasi banyak digunakan untuk mempertahankan flavor,
asam, lipid, enzim, mikroorganisme, pemanis buatan, vitamin, mineral, air,
bahan pengembang, warna dan garam. Proses enkapsulasi flavor dapat
diterapkan untuk berbagai flavor alami, seperti minyak atsiri dan oleoresin,
maupun flavor buatan. Salah satu yang terpenting dalam penerapannya ialah
mengubah bahan cair atau pasta menjadi padatan sehingga dihasilkan produk
yang kering dan dapat melindungi bahan tersebut dari penguapan, oksidasi,
dan reaksi kimia (Rosenberg et al., 1988).
Keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh dengan proses
mikroenkapsulasi ini antara lain adalah flavor terlindungi dari perubahan
destruktif (penguapan) dalam masa penyimpanan yang lama, mudah dalam
pengolahan lanjutan, mudah digunakan dalam pencampuran produk, bebas
dari mikroba dan serangga (higienis) dan berkadar air rendah serta dapat
menghasilkan produk dengan kualitas flavor yang distandarisasi (Koswara,
1995). Kerugian proses ini ialah penampakan flavor yang mungkin akan
berbeda dari bahan alaminya dan biaya proses yang relatif mahal (Heath,
1986).
Metode–metode proses enkapsulasi yang sudah dievaluasi dan
dikomersialkan untuk penggunaan pada bahan makanan yaitu dengan metode
spray drying, penyalutan dengan suspensi udara, extrusion, dan spray
cooling/spray chilling (Dziezak, 1988). Proses enkapsulasi dapat pula
dilakukan dengan teknik enkapsulasi lain seperti koaservasi (Soottitantawat et
al., 2005) dan kokristalisasi (Jackson dan Lee, 1991).
Extrusion adalah metode mikroenkapsulasi yang dapat dikategorikan
sebagai metode yang baru dan masih terus dikembangkan. Pada proses

23
ekstrusi, bahan inti didispresikan pada karbohidrat cair yang kemudian bahan
inti akan ditangkap dan dikeraskan oleh bahan penyalut selama kontak terjadi.
Metode ini pertama kali dilakukan oleh Schultz (1956) yang mencoba
mendispersikan minyak kulit jeruk pada dekstrosa cair dengan sedikit
ditambahkan maltodekstrin. Stabilitas bahan yang terenkapsulasi dapat
mencapai 6 bulan lamanya. Kelemahan metode ekstrusi antara lain biaya
operasinya yang mahal dan diperkirakan dua kali lipat dibandingkan dengan
metode spray drying.
Pada metode suspensi udara, partikel padatan yang akan disaluti ada
pada suatu kolom udara panas dan disemprot dengan bahan penyalut dari atas
melalui sebuah nozzel. Proses ini dapat menghasilkan butiran yang seragam
dan sebagian besar proses ini masih bersifat batch (Dziezak, 1988).
Spray cooling/spray chilling adalah dua metode mikroenkapsulasi yang
memang relatif sama dengan metode spray drying. Perbedaan kedua metode
ini dengan metode spray drying terletak pada suhu udara yang digunakan pada
ruangan pengering dan aplikasi penyalutan. Pada metode spray drying
menggunakan udara panas untuk menguapkan solvent dari dispersi penyalut
sedangkan metode spray cooling/spray chilling menggunakan udara dingin
untuk menurunkan suhu yang dipertimbangkan di bawah titik pembekuan dari
lemak cair yang digunakan sebagai penyalut (Bakan dan Anderson, 1978).
Metode spray cooling umumnya menggunakan bahan penyalut berupa
minyak nabati dengan titik leleh berkisar 45-122°C sedangkan pada metode
spray chilling menggunakan bahan penyalut berupa minyak nabati dengan
titik leleh 32-42°C. Aplikasi kedua metode ini umumnya terbatas untuk
enkapsulasi bahan inti yang berbentuk padat seperti vitamin dan mineral
(Risch dan Anderson, 1995).
Koaservasi adalah suatu istilah yang digunakan untuk menerangkan
fenomena pemisahan fase dalam sistem koloid. Pemisahan fase erat kaitannya
dengan pengendapan atau flokulasi zat koloid. Menurut Komari (1994),
terdapat dua jenis metode koaservasi, yaitu koaservasi sederhana dan
koaservasi kompleks. Koaservasi sederhana hanya menggunakan satu jenis
polimer sebagai bahan penyalut, sedangkan koaservasi kompleks

24
menggunakan lebih dari satu jenis polimer. Terbentuknya dinding/koaservat
yang menyelaputi bahan inti pada metode ini disebabkan oleh netralisasi dari
koloid yang mempunyai muatan yang berlawanan pada pH tertentu. Magdasi
dan Vinetsky (1996) menyatakan bahwa koaservasi kompleks telah digunakan
untuk mengkapsulkan beberapa jenis bahan inti seperti minyak makan,
vitamin E, vitamin C, minyak parfum, minyak kedelai, dan minyak atsiri yang
diaplikasikan untuk obat-obatan, kosmetika dan makanan.
Kokristalisasi merupakan metode yang menggunakan sukrosa sebagai
bahan penyalut, hal ini dapat merujuk penelitian mikroenkapsulasi oleoresin
pala (Chandrayani, 2002). Dalam kokristalisasi, enkapsulasi terjadi akibat
kristalisasi spontan dari sukrosa yang menghasilkan bentuk yang
mengelompok dengan jarak ukuran 3-300μm yang diantaranya akan tersalut
bahan inti. Proses enkapsulasi ini lebih mudah namun pemilihan bahan
penyalut terbatas dan produk yang dihasilkan tidak seperti produk enkapsulasi
metode lainnya yang berbentuk kristal kecil dan halus.
Dari berbagai metode diatas, spray drying adalah metode yang paling
umum untuk proses enkapsulasi komponen flavor. Keuntungan penggunaan
metode ini antara lain adalah ketersediaan peralatan yang sederhana, biaya
proses relatif rendah, pilihan yang luas dalam penggunaan bahan penyalut,
kemampuan retensi bahan volatil yang baik, dan stabilitas flavor yang
dihasilkan juga sangat baik (Reineccius, 1988). Keuntungan lain dari metode
spray drying adalah teknologinya sudah banyak dikuasai sehingga mudah
diaplikasikan, mampu memproduksi kapsul dalam jumlah banyak, bahan
penyalut yang cocok untuk spray drying juga layak sebagai bahan makanan,
dan bahan penyalut yang digunakan larut dalam air sehingga dapat
melepaskan bahan inti tanpa adanya bahan penyalut yang mengendap (Thies,
1996).

E. SPRAY DRYING
Pengeringan semprot atau spray drying merupakan metode enkapsulasi
yang paling tua dalam industri pangan dan ditemukan pada tahun 1930
(Dziedzak, 1988). Faktor yang mempengaruhi jumlah minyak yang terkapsul

25
diantaranya adalah bahan penyalut, bahan pengemulsi dan kondisi proses
pengeringan (Thies, 1996).
Mikroenkapsulasi dengan metode spray drying terdiri dari tiga tahap,
yaitu persiapan bahan emulsi, homogenisasi, dan penyemprotan emulsi ke
dalam chamber (atomisasi massa pada tempat pengeringan). Masalah yang
biasanya muncul pada penggunaan spray drying adalah adanya bahan inti
yang melekat pada permukaan dinding kapsul yang dapat teroksidasi dan
menyebabkan perubahan flavor pada produk (Dziezak, 1988).
Secara umum proses yang terjadi di dalam spray dryer meliputi
atomisasi atau penyemprotan bahan melalui penyemprot (atomizer), kontak
antara bahan dengan udara pengering, evaporasi dan pemisahan partikel
kering dan udara (Masters, 1979). Fungsi utama atomizer adalah untuk
menghasilkan droplet yang berukuran kecil, sehingga luas permukaan menjadi
lebih besar yang mengakibatkan proses penguapan akan lebih cepat.
Disamping itu, atomizer bertindak sebagai alat pengatur kecepatan aliran
produk pada proses pengeringan. Atomizer mendistribusikan cairan pada
aliran udara dan menghasilkan droplet dengan ukuran tertentu sesuai dengan
yang diinginkan. Ukuran droplet berkorelasi positif dengan kecepatan aliran
bahan dan mempunyai korelasi negatif dengan kecepatan putaran atomizer
(Heldman et al., 1981). Tahapan pengeringan pada spray dryer disajikan pada
Gambar 2.

26
Gambar 2. Proses pengeringan pada spray dryer
(Heldman et al., 1981)

Evaporasi terjadi karena adanya kontak antara droplet dengan udara


pengering, sehingga terjadi transfer panas dari udara pengering ke droplet dan
air yang terdapat dalam droplet akan menguap. Evaporasi terjadi pada masing-
masing droplet yang bersinggungan dengan udara pengering. Kecepatan
evaporasi dipengaruhi oleh komposisi bahan, terutama kandungan total
padatan, semakin tinggi total padatan bahan, maka proses evaporasi akan
berlangsung lebih cepat (Heldman et al., 1981).
Suhu pengeringan tergantung dari produk yang dikeringkan. Suhu
pengeringan dapat mempengaruhi mikrokapsul. Suhu inlet yang tinggi
digunakan untuk meningkatkan aliran penguapan dari membran
semipermeabel pada permukaan droplet. Rentang suhu inlet yang umumnya
aman digunakan dan menghasilkan retensi yang baik adalah 160-210°C
(Rennecius et al., 1988).
Kondisi pengeringan sangat bergantung pada bahan penyalut yang
digunakan dan bahan intinya. Ketidaksesuaian antara bahan penyalut dan
kondisi pengeringan dapat mengakibatkan kebocoran atau terjadinya efek
“balooning” dan dapat menurunkan retensi (Rennecius et al., 1988). Beberapa
penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa suhu inlet 180°C dan laju alir

27
20ml/menit efektif digunakan pada penelitian mikroenkapsulasi pada minyak
kedelai (soy oil) dengan bahan penyalut natrium kaseinat (Hogan et al., 2001).
Selain itu suhu inlet 178±2°C, dengan laju alir umpan 5ml/menit juga efektif
digunakan pada enkapsulasi oleoresin lada dengan penyalut maltodekstrin dan
gum arab (Shaikh et al., 2006).
Menurut Rulkens dan Thijsen (1972), bahan aktif dapat tetap tertahan di
dalam kapsul karena adanya suatu mekanisme difusivitas selektif walaupun
suhu yang digunakan tinggi selama pengeringan. Dinyatakan bahwa
difusivitas bahan volatil akan menurun secara drastis jika berada dalam
konsentrasi yang rendah seiring dengan menurunnya konsentrasi air di dalam
emulsi. Saat air mencapai titik konsentrasi kritis, lapisan bahan penyalut yang
melingkupi droplet bahan aktif akan bertindak sebagai membran yang bersifat
tidak permeabel terhadap bahan volatil sehingga hanya air yang teruapkan.

F. BAHAN PENYALUT
Bahan penyalut adalah bahan-bahan yang berfungsi sebagai penyalut
bahan inti (bahan aktif) dalam proses enkapsulasi (Masters, 1979). Menurut
Young et al. (1993), bahan penyalut yang digunakan dalam spray drying harus
memiliki kemampuan kelarutan yang tinggi dan kemampuan mengemulsi,
serta harus dapat membentuk lapisan film, dan menghasilkan larutan
berkonsentrasi tinggi dengan viskositas rendah. Selain itu, bahan penyalut
harus mampu antara lain: (1) melindungi bahan aktif dari oksidasi, panas,
cahaya, kelembaban, dan lain-lain; (2) mencegah penguapan dari komponen
volatil; (3) membuat bahan aktif menjadi a free flowing powder untuk
mengurangi penanganan dan pencampuran dalam sistem makanan kering
(King et al., 1976).
Beberapa bahan penyalut yang biasa digunakan dalam proses
mikroenkapsulasi disajikan pada Tabel 2.

28
Tabel 2. Jenis bahan penyalut proses mikroenkapsulasi
Kelas Jenis
Gum Gum arab, agar, natrium alginat, karagenan
Karbohidrat Pati, dekstrin, sukrosa, sirup jagung, CMC
(Carboymethylcellulose), ethyl selulosa, metil
selulosa, nitro selulosa, asetil selulosa, asetat
butilat phitat selulosa.
Lemak Lilin, paraffin, tristearin, asam stearat,
monogliserida, lilin tawon
Bahan anorganik Kalsium fosfat, silikat
Protein Gluten, kasein, gelatin, albumin
Sumber: Jackson dan Lee (1991)

Karbohidrat seperti pati-pati terhidrolisis dan emulsifying starches, serta


dari jenis gum (terutama Gum acacia atau gum arab) paling umum digunakan
sebagai bahan penyalut (Reineccius, 1988). Krishnan et al. (2005), juga telah
melakukan penelitian menggunakan tiga jenis bahan penyalut yakni gum arab,
maltodekstrin dan pati termodifikasi yang telah komersil (Hi-cap) sebagai
bahan penyalut oleoresin kapulaga. Hasilnya menunjukkan gum arab lebih
efektif sebagai bahan penyalut dibandingkan bahan lainnya.
Selain itu, penelitian terhadap penggunaan campuran protein dengan
karbohidrat juga telah dilakukan diantaranya penggunaan gum arab, isolat
protein kedelai dan isolat protein gandum untuk minyak jeruk (Kim et al.,
1996), dan penggunaan campuran isolat protein gandum dan laktosa untuk
lemak susu (Moreau dan Rosenberg, 1996). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa bahan penyalut dari jenis protein maupun kombinasi protein dengan
polisakarida adalah lebih efektif sebagai bahan penyalut.
Menurut Zhao dan Whistler (1994), pati dapat berinteraksi dengan
komponen-komponen lain seperti protein membentuk granula (sphere) dalam
proses spray drying. Granula ini dapat membawa sejumlah komponen bahan
pangan seperti minyak dan flavor untuk mengontrol pelepasannya dari
struktur poros granula.

29
1. Gum Arab
Gum arab (gum Acacia) merupakan gum alami yang paling dikenal.
Gum arab berasal dari getah yang dihasilkan dari berbagai spesies pohon-
pohon Acacia. Dari banyak spesies Acacia yang ditemukan, hanya tiga jenis
yang dimanfaatkan secara komersial yaitu, Acacia senegal, Acacia seyal, dan
Acacia laeta. Secara fisik, gum arab merupakan molekul bercabang banyak
dan kompleks. Bentuk struktur yang demikian menyebabkan gum arab
memiliki kekentalan yang rendah (Fardiaz, 1989).
Komponen penyusun gum arab antara lain adalah gula-gula sederhana
seperti D-galaktosa, L-arabinosa, L-rhamnosa, dan unit asam glukoronat
(Thevenet, 1988). Gum juga tersusun atas protein (2%, wt/wt) yang terikat
kovalen dalam komponen penyusun molekuler (Anderson et al., 1985).
Gum arab mudah larut ketika diaduk dalam air. Gum ini sifatnya unik
jika dibandingkan dengan gum lain dikarenakan kemampuannya yang dapat
membentuk larutan dengan kekentalan yang rendah sehingga dapat
membentuk larutan dengan konsentrasi sampai 50% (Glicksman dan Sand,
1973). Gum lain akan membentuk larutan yang sangat kental pada konsentrasi
rendah (1-5%), sedangkan gum arab baru mencapai kekentalan maksimum
pada konsentrasi 40-50 %. Rendahnya sifat kekentalan ini berhubungan
dengan sifat molekul globular yang bercabang banyak dan kompleks dari gum
arab.
Selain kelarutannya yang tinggi, karakteristik utama gum arab adalah
bersifat pembentuk tekstur, pembentuk film, pengikat dan juga pengemulsi
yang baik dengan adanya komponen protein di dalam gum arab. Gum arab
dapat mempertahankan flavor dari makanan yang dikeringkan dengan metode
spray drying karena gum ini dapat membentuk lapisan yang dapat melindungi
dari proses perubahan dekstruktif. Meski begitu gum arab memiliki kelemahan
yakni harganya yang cukup mahal dan ketersediaannya terbatas serta
ketahanan oksidasinya rendah. Untuk itu biasanya penggunaan gum arab
dicampur dengan dekstrin seperti maltodekstrin (Thevenet, 1988).

30
2. Maltodekstrin
Maltodekstrin (C6H12O5)n H2O didefinisikan sebagai produk hidrolisat
pati (polimer sakarida tidak manis) dengan panjang rantai rata-rata 5-10
unit/molekul glukosa. Maltodekstrin secara teori diproduksi dengan
menggunakan hidrolisis terkontrol melalui enzim (α-amilase) atau asam
(Kennedy et al.,1995).
Maltodekstrin tidak memiliki kemampuan sebenarnya dalam
emulsifikasi (lipofil atau hidrofil). Maltodekstrin tersusun dari unit glukosa,
dan tidak efektif untuk menstabilkan minyak atau flavor dalam larutan
berviskositas. Untuk itu biasanya maltodekstrin dikombinasi dengan bahan
seperti gum arab atau pati termodifikasi lainnya untuk keperluan stabilitas
emulsi (Kenyon dan Anderson, 1988). Menurut Bang dan Reinecius (1985),
maltodekstrin atau pati termodifikasi dengan DE (dekstrosa equivalen) yang
rendah (kurang dari 20) efektif untuk mikroenkapsulasi flavor.
Maltodekstrin adalah senyawa yang non-hygroscopic. Maltodekstrin
dapat larut dalam air dingin dengan sempurna sehingga dapat melepaskan
flavor secara cepat dalam penggunaannya pada aplikasi tertentu. Flavor dan
rasa manis pada maltodekstrin sangat rendah sehingga dapat cepat hilang
dalam penggunaannya. Maltodekstrin juga terjangkau dari segi biaya dan
mudah diperoleh (Kenyon dan Anderson, 1988).

3. Natrium Kaseinat
Natrium kaseinat (Na-Kas) salah satu contoh senyawa protein susu yang
merupakan bahan penyalut yang potensial. Natrium kaseinat dilaporkan
mempunyai stabilitas panas yang cukup baik (~140°C), bersifat tidak (sulit)
larut dalam air dan aman untuk digunakan sebagai produk pangan (Singh,
1995).
Ruis (2007) menyatakan, kemampuan fungsional natrium kaseinat atau
juga dikenal sebagai sodium kaseinat ini mencakup beberapa fungsi seperti
emulsifikasi, water-fat binding, agen pengeras, dan pengental (gelation).
Sebagai penstabil emulsi, natrium kaseinat dapat menurunkan tegangan
permukaan antara dua fase disebabkan adanya karakter ampifilik yang kuat
dari komponen utama kasein yakni αS1- dan β-kasein. Kasein tipe αS1- lebih

31
bersifat hidrofilik sehingga dapat mengikat komponen polar, sedangkan tipe
β-kasein lebih bersifat hidrofobik yang dapat mengikat komponen non-polar
(Swaisgood, 1982).
Banyak penelitian telah menelaah penggunaan natrium kaseinat sebagai
penyalut. Seperti pada penelitian minyak jeruk, retensi flavor yang diperoleh
cukup baik dengan kadar minyak pada permukaan yang rendah (Kim dan
Morr, 1996).

32
III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT PENELITIAN


1. Bahan
Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah jahe putih
kecil dari wilayah Jawa Barat dan tiga jenis bahan penyalut (gum arab,
maltodekstrin, dan natrium kaseinat). Bahan kimia yang digunakan meliputi
etanol sebagai pelarut ekstraksi oleoresin, dan pelarut untuk analisis (heksan,
toluen) dan bahan-bahan lainnya.

2. Alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah spray dryer Lab
Plant Sd 05 (Inggris), disc mill, rotary vacum evaporator (Buchi Rotavapor
R114), homogenizer (Brabender Kinematika, Switzerland), alat kromatografi
gas, SEM (Scanning Electron Microscope JSM-5310LV), alat distilasi
cleavenger, piknometer, timbangan analitik, peralatan gelas (gelas piala,
erlenmeyer, gelas ukur, tabung reaksi), termometer, desikator, hot plate stirer,
dan peralatan lainnya untuk keperluan analisis.

B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN


Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan, yaitu mulai April 2007
hingga Juli 2007 di Laboratorium Kimia Balai Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Pertanian Bogor.

C. TAHAPAN PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahapan. Masing-masing
tahapan dirancang untuk mencapai tujuan khusus yang diinginkan.

1. Ekstraksi oleoresin jahe


Tahap ini bertujuan untuk mengekstraksi oleoresin dari bahan baku
utama (jahe putih kecil). Metode ekstraksi mengadopsi metode ekstraksi
oleoresin Djubaedah (1986) dan Koswara (1995).

33
2. Penentuan komposisi bahan penyalut dan konsentrasi penyalut
Tahap ini bertujuan menentukan komposisi bahan penyalut dan
konsentrasi penyalut yang akan digunakan dalam tahapan penelitian
selanjutnya, yaitu tahap mikroenkapsulasi. Penetapan komposisi dan
konsentrasi penyalut dilakukan secara trial and error dengan beberapa
pertimbangan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan juga dari
pustaka mengenai sifat penyalut dan ketersediaannya. Penyalut yang
digunakan yaitu maltodekstrin, gum arab dan natrium kaseinat.

3. Penentuan kondisi spray drying


Tahap ini bertujuan menentukan kondisi pengeringan yang akan
digunakan pada penelitian pembuatan mikrokapsul. Variasi suhu inlet dan
laju alir umpan dipilih karena variasi kedua perlakuan tersebut
berdasarkan penelitian terdahulu memberikan pengaruh terhadap
karakteristik mikrokapsul yang dihasilkan dan merupakan kondisi operasi
yang mudah dikendalikan. Percobaan dilakukan secara trial and error
dengan mencoba rentang suhu inlet dan laju alir umpan pada kisaran
tertentu.

4. Mikroenkapsulasi dengan variasi komposisi bahan penyalut


Tahap ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh komposisi bahan
penyalut yang telah ditetapkan pada tahapan penelitian kedua terhadap
karakteristik mikrokapsul oleoresin jahe yang dihasilkan. Metode
mikroenkapsulasi oleoresin jahe yang digunakan diadopsi dari beberapa
literatur seperti pada penelitian mikroenkapsulasi oleoresin kapulaga dan
lada hitam (Krishnan et al., 2005; Shaikh et al., 2006). Konsentrasi
penyalut yang digunakan adalah 20% (berdasarkan tahapan penelitian
kedua), dan konsentrasi bahan aktif (oleoresin) yang digunakan 10% (w/w
dari konsentrasi bahan penyalut).

34
5. Pengaruh kondisi pengeringan (spray drying) terhadap mikrokapsul
berkomposisi bahan penyalut terpilih
Tahap ini bertujuan mengetahui pengaruh kondisi pengeringan (spray
drying) terhadap karakteristik mikrokapsul oleoresin jahe yang dihasilkan.
Variasi suhu inlet serta laju alir umpan yang digunakan adalah hasil
tahapan penelitian ketiga.

D. PROSEDUR PENELITIAN
Rincian prosedur adalah sebagai berikut:
1. Ekstraksi oleoresin jahe
Jahe segar yang telah disortasi, diiris 5-10 mm dan kemudian dicuci
bersih. Irisan jahe dikeringkan di oven pada suhu 50-60°C selama ±20 jam
sehingga kadar air jahe mencapai 8-10 %. Jahe kering digiling menjadi serbuk
yang berukuran 30-40 mesh. Selanjutnya serbuk jahe dicampurkan dengan
etanol dalam perbandingan 1:6 dan diaduk selama 2 jam. Campuran jahe dan
pelarut dimaserasi selama 24 jam dan dilanjutkan dengan pemisahan ampas
dan ekstrak. Ekstrak yang diperoleh selanjutnya diuapkan dengan
menggunakan rotary vacum evaporator pada suhu 50–60°C. Penguapan
bertujuan memisahkan oleoresin dengan pelarut etanol. Analisis yang
dilakukan terhadap oleoresin meliputi rendemen oleoresin, bobot jenis, sisa
pelarut, dan kadar minyak atsiri. Diagram alir ekstraksi oleoresin dapat dilihat
pada Gambar 3.

35
Rimpang Jahe

Pengirisan (5-10 mm)

Pengeringan ±20jam (50-60°C)

Penggilingan (30-40 mesh)

Serbuk Jahe Etanol

Pengadukan (± 2jam) dan


Maserasi (24jam)

Pemisahan Padatan dan Penguapan Pelarut

Ampas
Oleoresin

Gambar 3. Diagram alir ekstraksi oleoresin

2. Penentuan komposisi penyalut dan konsentrasi bahan penyalut


Komposisi penyalut ditentukan berdasarkan studi pustaka dan metode
trial and error. Gum arab yang biasanya digunakan pada enkapsulasi flavor
sebagai penyalut tunggal dikurangi proporsi penggunaannya. Maltodekstrin
yang memiliki ketahanan oksidasi yang baik dan dapat menurunkan viskositas
emulsi dikombinasikan dengan gum arab dengan proporsi penggunaan yang
lebih besar. Bahan penyalut ketiga yang dicoba dikombinasikan adalah
natrium kaseinat yang memiliki sifat emusifier yang tinggi. Dari pertimbangan
diatas diperoleh tiga komposisi yang akan digunakan pada tahapan penelitian
berikutnya yaitu (1) komposisi maltodekstrin-gum arab (2:1), (2) komposisi
maltodekstrin-gum arab-natrium kaseinat (2:0,5:0,5), dan (3) komposisi
maltodekstrin-natrium kaseinat (2:1).

36
Konsentrasi bahan penyalut dapat ditentukan dengan mengukur
viskositas suspensi tiap bahan penyalut pada beberapa konsentrasi. Kemudian
masing-masing suspensi dikeringkan dengan alat spray dryer guna
mengetahui kemampuan spray dryer dalam memompa bahan penyalut ke
dalam sistem pengeringan. Hasil pengujian ini dihubungkan dengan viskositas
suspensi bahan penyalut sehingga dapat menjadi acuan kisaran viskositas
larutan yang masih aman untuk dipompakan ke spray dryer dan tidak
mempersulit proses atomisasi. Dari kisaran viskositas suspensi ini, maka
konsentrasi bahan penyalut dapat ditentukan dan disesuaikan dengan
komposisi bahan penyalut.

3. Penentuan kondisi spray drying


Kondisi spray drying ditentukan dengan cara menguji pengeringan
suspensi bahan penyalut tanpa bahan aktif di dalam spray dryer dengan
rentang suhu inlet 150-200°C dan laju alir umpan 15-20 ml/menit. Dari hasil
uji pengeringan ini diamati konsistensi produk yang dihasilkan dan kestabilan
aliran selama di spray dryer (kemudahan atomisasi). Kondisi pengeringan
yang menghasilkan konsistensi produk yang kering (tidak banyak loss) dan
aliran bahan yang stabil akan digunakan pada penelitian tahap berikutnya.

4. Mikroenkapsulasi dengan variasi komposisi bahan penyalut


Mikroenkapsulasi dengan metode spray drying terdiri dari tiga tahap,
yaitu persiapan bahan emulsi, homogenisasi bahan aktif, dan penyemprotan
emulsi ke dalam chamber (atomisasi massa pada tempat pengeringan)
(Dziezak, 1988). Pada tahapan persiapan emulsi, penyalut dilarutkan ke dalam
air dengan komposisi dan konsentrasi bahan penyalut sesuai hasil tahapan
penelitian kedua.
Tahapan berikutnya adalah homogenisasi bahan aktif. Oleoresin 10%
(w/w dari konsentrasi bahan penyalut) diemulsikan ke dalam masing-masing
komposisi bahan penyalut. Bahan penyalut dan bahan aktif (oleoresin)
dicampur hingga menjadi campuran homogen dengan alat homogenizer pada
kecepatan 6000 rpm selama ±30 menit (ukuran droplet emulsi 1-2 μm).
Emulsi tersebut lalu dikeringkan dengan spray dryer pada suhu inlet 170°C

37
dan laju alir umpan 15 ml/menit yang mana kondisi ini dipilih berdasarkan
penelitian tahapan ketiga. Komposisi yang menunjukkan karakteristik
mikrokapsul terbaik akan digunakan pada penelitian tahap selanjutnya.
Analisis yang dilakukan pada mikrokapsul meliputi surface oil (oleoresin
pada permukaan kapsul), total volatile oil (total minyak atsiri pada produk),
oil retention (perbandingan % minyak atsiri sebelum dienkapsulasi dan setelah
dienkapsulasi), kadar air dan nilai aw, struktur mikrokapsul dengan SEM serta
kelarutannya dalam air.

5. Pengaruh kondisi pengeringan (spray drying) terhadap mikrokapsul


berkomposisi bahan penyalut terpilih
Komposisi penyalut terpilih dari tahap 4 yang menunjukkan karakteristik
mikrokapsul terbaik akan digunakan pada pengamatan terhadap pengaruh
kondisi pengeringan spray dryer yang bervariasi, yakni variasi suhu inlet (160,
170, 180, dan 190°C) dan laju alir umpan (15 dan 20 ml/menit). Rentang suhu
inlet dan laju alir umpan yang digunakan sesuai hasil penelitian pendahuluan.
Diagram alir tahapan proses ini dapat dilihat pada Gambar 5.
Analisis yang dilakukan pada mikrokapsul meliputi surface oil (oleoresin
pada permukaan kapsul), total volatile oil (total minyak atsiri pada produk),
oil retention (perbandingan % minyak atsiri sebelum dienkapsulasi dan setelah
dienkapsulasi), kadar air dan nilai aw, struktur mikrokapsul dengan SEM serta
kelarutannya dalam air.

38
Komposisi Bahan Penyalut Terpilih
Tahap 4
(konsentrasi 20% dalam larutan)

Pencampuran
Aquades

Oleoresin (10% dari


Suspensi
konsentrasi bahan penyalut)

Homogenisasi
(30 menit, ± 6000 rpm)

Emulsi

Pengeringan di Spray Dryer


(Suhu Inlet 160, 170, 180 dan 190°C dan laju alir
umpan 15 dan 20 ml/menit)

Bubuk Kapsul

Analisis mikrokapsul

Gambar 4. Diagram alir proses mikroenkapsulasi dengan variasi kondisi


pengeringan.

E. RANCANGAN PERCOBAAN DAN ANALISIS DATA


Penelitian ini menggunakan rancangan percobaan acak lengkap faktorial
dengan satu faktor (komposisi bahan penyalut) pada tahap mikroenkapsulasi
dengan variasi komposisi bahan penyalut dan dua faktor (suhu inlet dan laju
alir umpan) pada tahap mikroenkapsulasi dengan variasi kondisi spray drying
(suhu inlet dan laju alir umpan).
Faktor perlakuan komposisi penyalut terdiri dari tiga taraf. Faktor
perlakuan suhu inlet diragamkan dalam empat taraf, 160, 170, 180, dan 190°C,

39
sedangkan faktor perlakuan laju alir umpan diragamkan dalam dua taraf, 15
dan 20 ml/menit. Data hasil penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel dan
grafik. Pengolahan data menggunakan bantuan software SPSS (2000) dan
Microsoft excel (XP, 2003).
Model untuk satu perlakuan pada tahapan penelitian keempat :
Yij = μ + τi + εij
Yijk = nilai pengamatan ke - j ( j = 1, 2, .., n) untuk taraf ke - i (i = 1,
2, .., a) perlakuan komposisi bahan penyalut
μ = rata-rata umum
τi = efek taraf ke - i untuk perlakuan komposisi bahan penyalut
εij = kekeliruan, berupa efek acak dalam pengamatan ke-j utk taraf
ke-i perlakuan komposisi bahan penyalut

Model untuk dua perlakuan pada tahapan penelitian kelima:


Yijk = μ + τi + βj + (βτ)ij + εijk

Yijk = nilai pengamatan ke - k (k = 1, 2, .., n) untuk taraf ke - i (i = 1,


2, .., a) perlakuan A (suhu inlet) dan taraf ke - j (j = 1, 2)
perlakuan B (laju alir umpan)
μ = rata-rata umum
τi = efek taraf ke - i untuk perlakuan A (suhu inlet)
βj = efek taraf ke - j untuk perlakuan B (laju alir umpan)
(βτ)ij = efek interaksi antara τi dan βj
εijk = kekeliruan, berupa efek acak dalam pengamatan ke - k utk taraf
ke - i perlakuan A (suhu inlet) dan taraf ke - j perlakuan B
(laju alir umpan)

40
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Ekstraksi Oleoresin Jahe


Ekstraksi oleoresin jahe yang dilakukan merujuk pada penelitian
Djubaedah (1986) dan Koswara (1995). Oleoresin jahe yang dihasilkan pada
penelitian ini memiliki karakteristik seperti yang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Karakteristik oleoresin jahe


Parameter Analisis Karakteristik Oleoresin

Hasil Penelitian Pustaka


Penampakan cairan kental coklat cairan kental berwarna
hingga coklat tua coklat gelap a
Aroma khas jahe, sangat bau dan flavor seperti
kuat jahe a
Rendemen 16,06 % 3,5-10 % b
Kadar sisa pelarut 1,74 % 30 ppm atau 0,003% c
Kadar minyak atsiri 27,1% (v/w) atau 18-35% (v/w) a
23,8% (w/w)
Bobot Jenis 1,0486 1,026-1,045 d
a
Sumber : (EOA No.243 dalam Purseglove et al., 1981)
b
(Yuliani et al., 1991)
c
(FDA dalam Pruthi, 1980)
d
(Koswara, 1995)

Oleoresin yang diperoleh memiliki penampakan berupa cairan kental


berwarna coklat tua dan terdiri dari dua lapisan yakni minyak dan resin atau zat
padat. Aroma dari oleoresin ini sangat kuat dan khas jahe. Rendemen yang
diperoleh dapat dikategorikan tinggi yakni 16,06 %. Nilai ini lebih tinggi dari
pada rendemen oleoresin Yuliani et al. (1991) dan juga lebih tinggi dari pada
rendemen oleoresin yang umumnya diekstraksi menggunakan pelarut etanol
yakni berkisar 5-11% terhadap bahan awal kering (Koswara, 1995). Namun
demikian pada penelitian Lestari (2006) dengan menggunakan metode yang
sama, dapat menghasilkan rendemen sebesar 20,1%.
Menurut Pruthi (1980), ada beberapa faktor yang mempengaruhi
rendemen dan mutu oleoresin yaitu meliputi varietas, kondisi dan ukuran

41
serbuk, pemilihan pelarut, kondisi ekstraksi dan proses penguapan pelarut. Jahe
emprit yang digunakan dalam penelitian ini berusia tua (berkisar 8-9 bulan)
sehingga kandungan kadar atsirinya tinggi dan memungkinkan diperoleh
rendemen yang tinggi.
Rendemen yang tinggi juga berkaitan dengan nilai residu atau sisa pelarut
yang tinggi yakni 1,74%. Menurut Anton (2001) pelarut harus dihilangkan
dengan sisa residu ± 0,1 % dan dengan pertimbangan yaitu tidak bersifat
memabukkan dan kandungan maksimal 1% (untuk bahan pangan). Nilai residu
pelarut yang terdapat pada oleoresin ini memang belum memenuhi standar
mutu seperti yang terlihat pada Tabel 4. Hal ini dapat terjadi karena proses
pemisahan pelarut yang dilakukan kurang sempurna.
Pemisahan yang kurang sempurna dikarenakan sulitnya menghilangkan
titik aziotropik pelarut. Campuran aziotropik menurut Arsyad (2001)
merupakan campuran zat cair dan gas tertentu dengan perbandingan tertentu
sehingga selama distilasi titik didihnya tetap. Komposisi fase uapnya sama
dengan fase cair dan menyebabkan komposisi uapnya tidak berubah meski
dalam keadaan mendidih. Campuran ini dapat dipisahkan secara penyulingan
dengan memberi larutan ketiga, adsorpsi atau dengan pengkristalan bertingkat.
Pemakaian suhu pemisahan yang lebih tinggi dari pada titik didih pelarut dapat
memisahkan pelarut yang lebih banyak namun tidak dapat dihindari akan
terjadinya kehilangan atsiri yang lebih besar pula.
Somaatmaja (1981) juga menyarankan bahwa untuk mengurangi
kehilangan minyak atsiri selama pengambilan pelarut, maka ekstraksi oleoresin
dapat dilakukan melalui tiga tahap, yaitu penyulingan minyak atsiri, kemudian
dilanjutkan dengan ekstraksi oleoresin terhadap sisa penyulingan, dan
mencampurkan kembali minyak atsiri dan resin yang sudah terbebas dari
pelarut organik.
Kadar minyak atsiri pada oleoresin yang diperoleh pada penelitian ini
27,1%. Nilai ini berada pada rentang standar EOA. Apabila dibandingkan
dengan kadar atsiri oleoresin komersial di pasaran 25-30% (Koswara,1995),
nilai kadar atsiri oleoresin yang diperoleh juga masih memenuhi standar.
Kehilangan minyak atsiri sebenarnya dapat terjadi sejak saat bahan baku

42
dipersiapkan. Titik kritis kehilangan atsiri pada persiapan bahan baku yakni
saat perajangan, pengeringan jahe, dan proses penggilingan jahe kering.
Bobot jenis oleoresin yang dihasilkan adalah sebesar 1,0486. Nilai ini
lebih tinggi dari pada nilai bobot jenis yang dihasilkan oleh penelitian-
penelitian sebelumnya yaitu berkisar antara 1,026-1,045 (pada Tabel 4). Nilai
bobot jenis suatu oleoresin ditentukan oleh komposisi kimia penyusun oleoresin
tersebut. Semakin tinggi kadar komponen fraksi berat dalam suatu oleoresin
maka bobot jenisnya akan semakin tinggi (Ketaren, 1980).

B. Penentuan Komposisi Bahan Penyalut dan Konsentrasi Bahan Penyalut


Menurut Young et al. (1993), bahan-bahan penyalut yang digunakan
dalam spray drying harus memiliki kelarutan yang tinggi dan memiliki
kemampuan membentuk emulsi. Selain itu, bahan penyalut juga harus dapat
membentuk lapisan film dan menghasilkan larutan dalam konsentrasi yang
tinggi dengan viskositas rendah.
Bahan penyalut yang digunakan pada penelitian ini ada tiga jenis yaitu
gum arab, maltodekstrin, dan natrium kaseinat. Komposisi bahan penyalut
ditentukan berdasarkan sifat dari bahan penyalut dan ketersediaannya. Gum
arab dapat menghasilkan mikrokapsul yang memiliki retensi tinggi namun
ketahanan oksidasi rendah. Oleh karena itu penggunaan gum arab dapat
dikombinasikan dengan maltodekstrin yang memiliki ketahanan oksidasi yang
tinggi. Kendala lain adalah harga gum arab yang mahal dan ketersediaannya
terbatas.
Pada penelitian sebelumnya seperti pada penelitian Thevenet (1988),
proporsi penggunaan gum arab di dalam komposisi penyalut lebih besar dari
pada proporsi maltodekstrin. Oleh karena itu, pada penelitian ini diujikan
komposisi penyalut dengan proporsi penggunaan maltodekstrin yang lebih
besar dari pada proporsi gum arab. Penelitian ini juga mencoba menggunakan
natrium kaseinat yang dikenal memiliki sifat emulsifier sebagai pengganti
peran gum arab yang juga dikenal baik sebagai pengemulsi. Komposisi
penyalut dapat dilihat pada Tabel 4.
Hal lain yang perlu ditentukan adalah konsentrasi bahan penyalut.
Reineccius (2004) menyatakan bahwa penentuan konsentrasi bahan penyalut

43
yang tepat sangat penting untuk memberikan perlindungan bahan aktif secara
efektif. Dijelaskan pula bahwa meningkatnya konsentrasi penyalut dalam
larutan akan meningkatkan retensi bahan aktif (flavor) karena dapat
mempercepat terbentuknya kulit atau pengerasan film yang melingkupi droplet
bahan aktif. Namun demikian ada titik optimum dimana konsentrasi bahan
penyalut akan menurunkan retensi dan menghambat proses pengeringan pada
spray dryer. Pemilihan konsentrasi bahan penyalut sebaiknya disesuaikan
dengan kemampuan operasi spray dryer yang digunakan.
Untuk mendapatkan konsentrasi bahan penyalut yang sesuai, maka pada
tahap awal dilakukan pengujian viskositas larutan tunggal bahan penyalut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa larutan maltodekstrin memiliki viskositas
terendah dibandingkan larutan bahan penyalut lainnya pada konsentrasi yang
sama. Hal ini dapat diamati pada Gambar 5. Pada konsentrasi 10%,
maltodekstrin memiliki viskositas 16,0 cps sedangkan gum arab memiliki
viskositas yang lebih tinggi (38,0 cps). Viskositas tertinggi dimiliki oleh larutan
natrium kaseinat (201,6 cps) pada konsentrasi 10% (w/w).
Hasil tersebut yang turut mendasari pemilihan maltodekstrin sebagai basis
terbesar di dalam larutan komposisi penyalut yang telah ditentukan. Kenyon
dan Anderson (1988) menyatakan bahwa maltodekstrin dapat larut dalam air
dingin dengan sempurna sehingga dapat melepaskan flavor secara cepat dalam
penggunaannya pada aplikasi tertentu.
1000
900 738
800
Viskositas (cps)

700
600 Natrium kaseinat
500 Gum Arab
400 Maltodekstrin
300
201.6 181.6
200
141.2
100 73.2
38 26.4 47.2
0 16
10 20 30 40
Konsentrasi penyalut (%)

Gambar 5. Hubungan antara viskositas bahan penyalut dengan konsentrasi


penyalut dalam larutan

44
Selanjutnya, larutan tunggal bahan penyalut yang telah diukur
viskositasnya dikeringkan dengan spray dryer. Berdasarkan pengujian
kemampuan dan kelancaran pemompaan aliran bahan khususnya dengan
melihat kelancaran dan kemudahan proses atomisasi di spray dryer, dapat
diketahui bahwa larutan maltodekstrin yang berviskositas lebih rendah lebih
mudah dipompakan ke dalam spray dryer dan alirannya lebih stabil
dibandingkan larutan natrium kaseinat dan gum arab. Larutan maltodekstrin
40% (141,2 cps) masih dapat dipompakan meskipun tidak selancar larutan
maltodekstrin yang konsentrasinya lebih rendah.
Viskositas larutan gum arab meningkat tajam dengan peningkatan
konsentrasi. Hal ini menyebabkan pemompaan larutan cenderung menjadi lebih
sulit dengan peningkatan konsentrasi. Larutan gum arab 30% (181,6 cps) sudah
sangat kental dan sulit untuk dipompakan ke dalam spray dryer. Demikian pula
halnya dengan larutan natrium kaseinat 10% (201,6 cps). Viskositas yang
terlalu tinggi pada larutan dapat menyebabkan kerusakan pada nozzle dan
menghambat proses atomisasi sehingga dapat terjadi ketidakstabilan pada aliran
di dalam spray dryer. Oleh sebab itu, berdasarkan hubungan viskositas dengan
kestabilan aliran di dalam spray dryer maka rentang aman viskositas larutan
yang dapat dipompakan adalah kurang dari 141,2 cps (viskositas larutan 40%
maltodekstrin).
Hasil pengujian viskositas larutan tunggal bahan penyalut ini dihubungkan
pula dengan komposisi bahan penyalut yang akan digunakan pada penelitian
tahap selanjutnya (proses mikroenkapsulasi). Adanya natrium kaseinat dalam
larutan akan meningkatkan viskositas yang lebih tajam dibandingkan penyalut
lainnya. Komposisi penyalut maltodekstrin-natrium kasienat (MSc:2:1)
diprediksi memiliki viskositas tertinggi. Oleh sebab itu, konsentrasi bahan
penyalut dicoba 20% (w/w) dijadikan basis pada tahapan penelitian
mikroenkapsulasi. Pada konsentrasi penyalut 20 %, komposisi MSc memiliki
viskositas tertinggi (101,6 cps). Nilai ini masih dalam rentang aman (kurang
dari 141,2 cps) sehingga diduga sesuai dengan kemampuan spray dryer yang
digunakan. Tabel 4 menyajikan komposisi bahan penyalut dan viskositas
suspensi penyalut.

45
Tabel 4. Komposisi bahan penyalut* dan Viskositasnya

Kode Gum Maltodekstrin Natrium Viskositas (cps)


Arab Kaseinat

MG 1 2 0 64,0
MSc 0 2 1 101,6
MGSc 0.5 2 0.5 68,8
Ket: MG = Maltodekstrin-gum arab
MGSc = Maltodekstrin-gum arab-natrium kaseinat
MSc = Maltodekstrin-natrium kaseinat
*Komposisi dinyatakan dalam perbandingan berat

C. Penentuan Kondisi Spray Drying


Penentuan kondisi spray drying yang berupa suhu inlet dan laju alir umpan
merujuk pada beberapa penelitian terdahulu (Hogan et al., 2001; Krishnan et
al., 2005; Rennecius et al., 1988) dan juga berdasarkan pada pengujian spray
dryer terhadap larutan penyalut tanpa bahan aktif (dapat dilihat pada Tabel 6).
Hasil pengujian menunjukkan bahwa pada suhu 160°C dengan laju alir 15
atau 20 ml/menit, produk yang dihasilkan memiliki konsistensi yang kering
walaupun masih ada larutan yang hilang atau tidak teruapkan (loss) dan produk
yang lengket pada bagian dinding chamber. Berbeda dengan hasil dari kondisi
pengeringan pada suhu 170°C laju alir 15 ml/menit yang mana hasilnya lebih
kering dan aliran bahan lebih stabil. Kondisi ini (suhu 170°C laju alir 15
ml/menit) digunakan pada tahapan penelitian mikroenkapsulasi variasi
komposisi bahan penyalut dan suhu 160-190°C dengan laju alir 15 dan 20
ml/menit digunakan pada tahapan mikroenkapsulasi dengan variasi kondisi
pengeringan (spray drying). Hasil tahapan ini disajikan pada Tabel 5.

46
Tabel 5. Hasil pengujian larutan bahan penyalut pada beberapa kondisi spray
drying

Suhu Laju Alir Umpan Laju Alir Keterangan


Inlet 15 ml/menit Umpan
(°C) 20 ml/menit
150 agak basah, lengket agak basah, kisaran suhu keluaran masih
lengket sangat rendah, pengeringan
tidak optimal, (60-70°C)
160 kering, masih ada yang kering, ada kisaran suhu keluaran masih
lengket bagian yang berada pada rentang standar,
lengket (75-85°C)
170 kering, kering, bagian yang melekat
pengeringan sudah didinding tidak banyak, (85-
cukup baik dari segi 100°C)
fisik produk dan
kestabilan aliran (95-
100°C)
180 kering kering bagian yang melekat di
dinding tidak banyak,
(85-105°C)
190 kering kering bagian yang melekat di
dinding tidak banyak,
(90-115°C)
200 kering kering suhu pengeringan yang
tinggi, sudah terdapat
produk yang berubah warna,
suhu keluaran tinggi (110-
125°C)

D. Mikroenkapsulasi Dengan Variasi Komposisi Bahan Penyalut


Pada tahapan penelitian ini akan dipelajari mikroenkapsulasi oleoresin
jahe dengan menggunakan tiga komposisi bahan penyalut dan pengaruhnya
terhadap karakteristik mikrokapsul yang dihasilkan. Komposisi bahan penyalut
yang digunakan sesuai dengan hasil tahapan penelitian kedua, yaitu komposisi
maltodekstrin-gum (MG:2:1), maltodekstrin-gum arab-natrium kaseinat
(MGSc:2:0.5:0.5) dan maltodekstrin-natrium kaseinat (MSc:2:1) dengan
konsentrasi bahan penyalut 20%. Konsentrasi bahan aktif yang diemulsikan
10% (dari konsentrasi bahan penyalut) dan emulsi dikeringkan pada kondisi
spray drying, suhu inlet 170°C dan laju alir umpan 15 ml/menit. Penampakan

47
warna mikrokapsul secara visual bervariasi dari kuning-hingga kuning muda,
dapat dilihat pada Lampiran 3.

1. Total Volatile Oil dan Oil Retention


Total volatile oil atau total kadar minyak atsiri adalah total jumlah dari
minyak atsiri yang terdapat di mikrokapsul (baik di dalam maupun yang
melekat dipermukaan). Total volatile oil yang dihasilkan dari mikrokapsul pada
tahapan penelitian ini bervariasi untuk setiap komposisi bahan penyalut. Total
kadar minyak atsiri tertinggi dihasilkan mikrokapsul MSc (2,19%), sedangkan
mikrokapsul MGSc menghasilkan total kadar minyak atsiri 1,93% dan
mikrokapsul yang menghasilkan kadar atsiri terendah adalah mikrokapsul MG
(1,75%). Hasil total kadar minyak atsiri mikrokapsul jika dibandingkan dengan
total kadar minyak atsiri bahan aktif semula menunjukkan nilai retensi bahan
aktif (oil retention). Pada Gambar 6 terlihat variasi total kadar minyak atsiri
dan oil retention mikrokapsul.

100 2.50

90
80 2.00

Total Volatile oil (%)


Oil Retention (%)

70
60 1.50

50
40 1.00
30
20 0.50
10
0 0.00
1 MG 2 MGSc 3 MSc
Komposisi Penyalut
Oil Retention (%) MG : maltodekstrin-gum arab (2:1)
MGSc: maltodekstrin-gum arab-natrium kaseinat (2:0.5:0.5)
Total Volatile Oil (%) MSc : maltodekstrin-natrium kaseinat (2:1)

Gambar 6. Total volatile oil mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut

48
Dari hasil analisis ragam terhadap total kadar minyak atsiri (pada
Lampiran 9), diketahui adanya pengaruh yang nyata dari variasi komposisi
bahan penyalut pada tingkat kepercayaan 95%. Uji lanjut Duncan
memperlihatkan bahwa total kadar minyak atsiri mikrokapsul berbeda nyata
satu sama lain. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan
kemampuan bahan penyalut dalam melindungi bahan aktif dan
mempertahankannya.
Mikrokapsul MSc memiliki total kadar minyak atsiri yang tertinggi. Ini
berkaitan dengan kemampuan natrium kaseinat sebagai penstabil emulsi
minyak dalam air yang sangat baik. Natrium kaseinat dapat menurunkan
tegangan permukaan antara dua fase disebabkan adanya karakter ampifilic
yang kuat dari komponen utama kasein yakni αS1-Kasein (lebih hidrofilik)
dan β-Kasein (lebih hidrofobik) (Ruis, 2007) sehingga minyak yang
terdispersi di dalam larutan bahan penyalut akan teremulsi dengan lebih baik
dan kehilangan minyak selama proses pengemulsian maupun proses
pengeringan dapat diminimalkan. Hasil penelitian terdahulu juga
menunjukkan bahwa bahan penyalut dari jenis protein maupun kombinasi
protein dengan polisakarida adalah lebih efektif sebagai bahan penyalut. (Kim
dan Morr, 1996; Moreau dan Rosenberg, 1996; Lien et al., 1995).
Menurut Zhao dan Whistler (1994), pati dapat berinteraksi dengan
komponen-komponen lain seperti protein membentuk granula (sphere) dalam
proses spray drying. Granula ini dapat membawa sejumlah komponen bahan
pangan seperti minyak dan flavor dan dapat mengontrol pelepasannya dari
struktur poros granula.
Komposisi bahan penyalut maltodekstrin-gum arab tidak seefektif kedua
komposisi penyalut lainnya dalam mengemulsikan minyak (bahan aktif) di
dalam larutan bahan penyalut. Kemampuan emulsifkasi gum arab yang hanya
memiliki kandungan protein 2% (Anderson et al., 1985) tidak sebaik
kemampuan emulsifikasi protein susu seperti natrium kaseinat. Emulsi minyak
(bahan aktif) dalam larutan yang tidak stabil sangat rentan akan kehilangan
bahan aktif selama proses homogenisasi dan proses pengeringan.

49
Berdasarkan hasil total kadar minyak atsiri, oil retention tertinggi dimiliki
mikrokapsul MSc (92,17%), bahan aktif yang hilang selama proses pada
mikrokapsul MSc hanya 7,83%, sedangkan pada mikrokapsul yang komposisi
maltodekstrin-gum arab-natrium kaseinat (MGSc) kehilangan bahan aktif
mencapai 19%. Kehilangan terbesar dimiliki oleh mikrokapsul berbahan
penyalut maltodekstrim-gum (MG) yang mencapai lebih dari 25%. Kehilangan
bahan aktif dapat terjadi saat pengeringan di spray dryer berlangsung. Sifat
emulsi yang tidak sempurna dapat menyebabkan bahan aktif tidak tersaluti
dengan baik sehingga mudah menguap selama proses pengeringan.

2. Surface Oil Mikrokapsul


Persentase Surface oil pada penelitian ini merupakan parameter yang
menunjukkan besarnya oleoresin yang tidak terkapsulkan atau yang melekat di
permukaan kapsul. Nilai surface oil ini sangat penting diketahui untuk melihat
seberapa efisien dan efektif bahan aktif dapat tersalutkan di dalam kapsul.
Surface oil akan lebih mudah mengalami kerusakan dan teroksidasi sehingga
dapat menurunkan kualitas bahan aktif yang disalut. Gambar 7 menyajikan
hasil analisis surface oil dari mikrokapsul yang memiliki komposisi bahan
penyalut yang berbeda-beda.

0.70

0.60
Surface oil (%)

0.50

0.40

0.30

0.20

0.10

0.00
MG MGSC MSC
Kom posisi Penyalut

MG : maltodekstrin-gum arab (2:1)


MGSc: maltodekstrin-gum arab-natrium kaseinat (2:0.5:0.5)
MSc : maltodekstrin-natrium kaseinat (2:1)

Gambar 7. Surface oil mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut

50
Berdasarkan grafik dapat diamati bahwa mikrokapsul MSc memiliki
persentase surface oil terendah (0,1522%). Sebaliknya mikrokapsul MG
memiliki surface oil tertinggi (0,5463%) dan nilai ini juga lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai surface oil mikrokapsul MGSc (0,2746%). Semakin
tinggi nilai surface oil semakin rentan akan kerusakan dan akan dapat
menurunkan kualitas bahan aktif yang disalutkan.
Dari hasil analisis ragam terhadap nilai surface oil diketahui bahwa
komposisi bahan penyalut memberikan pengaruh yang nyata pada tingkat
kepercayaan 95%. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 6. Uji
lanjut Duncan menunjukkan adanya perbedaan nyata antara surface oil
mikrokapsul MSc dengan MGSc dan MG.
Beberapa hal yang mempengaruhi jumlah minyak yang terkapsul
diantaranya adalah kemampuan bahan penyalut, bahan pengemulsi dan kondisi
pengeringan (Thies, 1996). Komposisi bahan penyalut maltodekstrin-natrium
kaseinat (MSC:2:1) menghasilkan produk yang memiliki nilai surface oil
terendah. Sama halnya dengan penyebab tingginya total volatile oil, rendahnya
nilai surface oil ini juga dapat disebabkan karena kemampuan natrium kaseinat
sebagai emulsifier dan penstabil emulsi yang sangat baik.
Menurut Vega dan Ross (2006), natrium kaseinat menunjukkan
kemampuan surface active yang superior atau sangat baik. Sifat emusi natrium
kaseinat (seperti yang telah dikemukakan di parameter sebelumnya)
berhubungan erat dengan adanya gugus αS1-Kasein yang lebih bersifat
hidrofilik yang dapat berikatan dengan air yang polar. Sebaliknya gugus β-
Kasein yang bersifat hidrofobik akan mengikat bagian yang non-polar.
Pada penelitian ini terlihat emulsi oleoresin di dalam suspensi bahan
penyalut maltodekstrin-natrium kaseinat lebih stabil dibandingkan dengan
emulsi oleoresin di dalam komposisi lainnya. Saat oleoresin dihomogenkan ke
dalam larutan bahan penyalut maltodekstrin-natrium kaseinat, oleoresin dapat
teremulsikan dengan sempurna lebih cepat dari pada komposisi lainnya.
Kemampuan bahan penyalut mengemulsi bahan aktif dengan lebih baik akan
lebih efektif dalam menjaga dan mempertahankan bahan aktif sehingga minyak
dan resin yang melekat dipermukaan dapat diminimalkan.

51
Beberapa literatur juga menunjukkan kemampuan natrium kaseinat
sebagai bahan penyalut sekaligus emulsifier. Pada penelitian minyak jeruk,
retensi flavor yang diperoleh cukup baik dengan kadar minyak pada permukaan
yang rendah (Kim dan Morr, 1996). Sementara itu Lien et al. (1995) juga
melaporkan penggunaan natrium kaseinat bersama dengan gelatin dan
maltodekstrin sebagai bahan penyalut menghasilkan efisiensi mikroenkapsulasi
yang tinggi.
Komposisi maltodekstrin dan gum arab tidak efektif mempertahankan
minyak dan resin di dalam kapsul dengan tingginya persentase Surface oil yang
diperoleh (0,5463%). Banyak penelitian sebelumnya menyatakan keefektifan
gum arab sebagai bahan penyalut dalam mempertahankan minyak di dalam
kapsul (Krishnan et al., 2005; Shaikh et al., 2006). Hal ini disebabkan adanya
2% protein penyusun gum arab yang memiliki kemampuan emulsifikasi
(Anderson et al., 1985). Namun demikian kemampuan emulsifier yang dimiliki
gum arab tidak sebaik natrium kaseinat. Saat oleoresin didispersikan ke dalam
larutan bahan penyalut maltodekstrin-gum arab, emulsi tidak dapat terbentuk
sempurna dengan cepat dan cenderung tidak stabil. Hal ini mengakibatkan
bahan penyalut tidak dapat mempertahankan kestabilan minyak dan resin di
dalam kapsul dan pelepasan bahan aktif lebih mudah terjadi.

3. Aktivitas air (aw) mikrokapsul


Nilai aw menunjukkan derajat keberadaan air pada produk saat kelembaban
relatif equilibrium/jenuh. Pada produk pertanian dan pangan, nilai aw menjadi
salah satu parameter kestabilan produk terhadap kerusakan akibat mikroba
selama proses penyimpanan. Menurut Labuza et al (1970), stabilitas produk
akan optimal pada rentang aw 0,2-0,3.
Pada mikrokapsul, nilai aw juga mempengaruhi pelepasan flavor. Menurut
Whorton dan Reinecius (1995), nilai aw yang tinggi akan menyebabkan
molekul-molekul air yang berada di sekitar produk flavor terenkapsulasi
berpenetrasi ke dalam partikel-partikel matriks. Produk flavor terenkapsulasi
mengalami hidrasi dan pelepasan flavor atau bahan aktif akan lebih mudah
terjadi.

52
Nilai aw mikrokapsul yang dihasilkan dari tiap-tiap jenis komposisi
penyalut menunjukkan data yang bervariasi. Variasi nilai aw disajikan pada
Gambar 8. Nilai aw tertinggi adalah mikrokapsul MGSc (0,377). Mikrokapsul
MG nilai aw-nya relatif lebih rendah (0,361) sedangkan mikrokapsul MSc
memiliki nilai aw terendah (0,313).
0.45
0.40
0.35
0.30
N ilai aw

0.25
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00
MG MGSc MSc
Komposisi Penyalut
MG : maltodekstrin-gum arab (2:1)
MGSc: maltodekstrin-gum arab-natrium kaseinat (2:0.5:0.5)
MSc : maltodekstrin-natrium kaseinat (2:1)

Gambar 8. Nilai aw mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut

Analisis ragam menunjukkan bahwa komposisi bahan penyalut


berpengaruh nyata terhadap nilai aw pada tingkat kepercayaan 95%. Uji lanjut
Duncan juga memperlihatkan bahwa aw mikrokapsul MSc:2:1 berbeda nyata
dengan kedua komposisi bahan penyalut lainnya. Disisi lain, dari uji lanjut
diketahui pula bahwa tidak adanya perbedaan nyata antara nilai aw mikrokapsul
MGSc dan MG.
Nilai aw yang rendah dari mikrokapsul berbahan penyalut maltodekstrin-
natrium kaseinat akan lebih stabil menjaga bahan aktif di dalam kapsul selama
penyimpanan dibandingkan dengan produk berbahan penyalut MG dan MGSc.
Ini sesuai dengan yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa tingginya nilai
aw dapat memacu terjadinya “reenkapsulasi” atau pelepasan flavor yang tidak
diinginkan selama penyimpanan.

53
4. Kadar Air Mikrokapsul
Kadar air menjadi salah satu parameter utama yang menentukan kualitas
produk kering seperti pada mikrokapsul yang berbentuk kering. Kadar air yang
rendah dapat mencegah tumbuhnya bakteri atau jamur yang dapat
menyebabkan kerusakan produk. Hasil pengukuran kadar air pada ketiga
komposisi bahan penyalut dapat dilihat pada Gambar 9.
3.00

2.50
Kadar air (% )

2.00

1.50

1.00

0.50

0.00
MG MGSc MSc
Komposisi Penyalut
MG : maltodekstrin-gum arab (2:1)
MGSc: maltodekstrin-gum arab-natrium kaseinat (2:0.5:0.5)
MSc : maltodekstrin-natrium kaseinat (2:1)

Gambar 9. Kadar air mikrokapsul dengan variasi bahan penyalut

Dari gambar 9 dapat dilihat bahwa mikrokapsul MSc memiliki kadar air
terendah. Kadar air tertinggi dimiliki oleh mikrokapsul MGSc (2,55 %) dan
diikuti mikrokapsul MG (2,30%). Berdasarkan uji ragam yang dilakukan,
komposisi bahan penyalut memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air
mikrokapsul pada tingkat kepercayaan 95%. Uji lanjut Duncan menunjukkan
kadar air mikrokapsul MSc berbeda nyata dengan kadar air mikrokapsul MGSc
dan mikrokapsul MG. Sebaliknya kadar air mikrokapsul MGSc tidak berbeda
nyata dengan mikrokapsul MG.
Kadar air yang rendah pada mikrokapsul MSc berhubungan dengan
tingkat viskositas larutan bahan penyalut MSc yang lebih tinggi dari pada
viskositas dua komposisi bahan penyalut lainnya. Dengan viskositas larutan
yang tinggi, aliran bahan saat pengeringan di dalam spray dryer (kondisi laju
alir dan suhu inlet spray dryer yang konstan) akan menjadi lebih lambat dan

54
kontak bahan dengan udara pengering akan lebih lama sehingga air yang
diuapkan akan lebih banyak.
Viskositas larutan mikrokapsul komposisi maltodekstrin-gum arab (MG)
dan larutan mikrokapsul dengan komposisi maltodekstrin-gum arab-natrium
kaseinat (MGSc) relatif sama besarnya namun lebih rendah daripada viskositas
larutan bahan penyalut maltodekstrin-natrium kaseinat (MSc:2:1). Kontak
bahan dengan udara kering di spray dryer berjalan lebih singkat pada
komposisi penyalut yang viskositasnya rendah, sehingga pengeringan tidak
seoptimal pada MSc. Uji lanjut menunjukkan tidak adanya perbedaan yang
nyata antara kadar air mikrokapsul MG dan MGSc.

5. Kelarutan Dalam Air


Flavor yang dienkapsulasi sangat efektif digunakan dalam makanan
olahan, proses pengisian, pencampuran kering, permen, makanan formula,
bumbu-bumbuan, makanan penutup (desert), produk-produk susu dan lain-lain
(Koswara, 1995). Penggunaannya pada beberapa aplikasi tersebut
membutuhkan suatu kemampuan melepas bahan aktif yang baik, sehingga
mikrokapsul yang dihasilkan sebaiknya memiliki kelarutan dalam pelarut yang
baik. Dalam hal ini pelarut yang banyak digunakan dalam apliksi industri
adalah air.
Hasil penelitian terhadap nilai kelarutan dalam air mikrokapsul disajikan
pada Gambar 10. Uji ragam menunjukkan adanya pengaruh yang nyata yang
diberikan oleh ketiga komposisi bahan penyalut terhadap nilai kelarutan dalam
air pada tingkat kepercayaan 95%. Uji lanjut menunjukkan bahwa ketiga
komposisi penyalut berbeda nyata terhadap nilai kelarutan dalam air. Hasil uji
ragam dan uji lanjut disajikan pada Lampiran 11.

55
97

95

Kelarutan Dalam Air (% )


93

91

89

87

85
MG MGSC MSc

MG : maltodekstrin-gum arab (2:1)


MGSc: maltodekstrin-gum arab-natrium kaseinat (2:0.5:0.5)
MSc : maltodekstrin-natrium kaseinat (2:1)
Gambar 10. Nilai kelarutan dalam air dari variasi komposisi penyalut

Nilai kelarutan tertinggi adalah mikrokapsul MG (95,80%), sedangkan


mikrokapsul MGSc memiliki nilai kelarutan dalam air sebesar 94,77%.
Kelarutan dalam air terendah dihasilkan oleh mikrokapsul MSc (94,16%).
Maltodekstrin dapat larut dalam air dingin dengan sempurna sehingga
dapat melepaskan flavor secara cepat dalam penggunaannya pada aplikasi
tertentu (Kenyon et al., 1988). BeMiller dan Whistler (1996), menerangkan
bahwa gum arab juga memiliki kelarutan yang tinggi di dalam air sehingga
kombinasi keduanya dapat menghasilkan produk mikrokapsul yang nilai
kelarutan dalam airnya tinggi.
Sebaliknya Singh (1995) mengatakan bahwa natrium kaseinat tidak
memiliki nilai kelarutan yang tinggi seperti dua bahan penyalut lainnya. Namun
dengan mengkombinasikan natrium kaseinat dengan maltodekstrin yang dapat
larut sempurna dalam air maka nilai kelarutan produk dalam air akan menjadi
lebih tinggi. Dapat dilihat bahwa tingkat kelarutan mikrokapsul yang berbahan
penyalut kombinasi natrium kaseinat dengan maltodekstrin bernilai tinggi
mencapai lebih dari 90%. Mikrokapsul yang tingkat kelarutannya tidak tinggi
biasanya dapat diaplikasikan pada produk yang menggunakan pemanasan yang
tinggi dalam prosesnya seperti produk baking atau produk yang dalam
prosesnya membutuhkan pengadukan yang kontinyu.

56
Berdasarkan penelitian tahap ini, komposisi bahan penyalut yang efektif
dalam melindungi bahan aktif (oleoresin jahe) adalah kombinasi protein
(natrium kaseinat) dan polisakarida (maltodekstrin) dengan perbandingan 2:1
(MSc). Mikrokapsul yang dihasilkan memiliki nilai surface oil terendah dan
total kadar minyak atsiri serta oil retention tertinggi dibandingkan dengan
mikrokapsul dengan komposisi lainnya yakni MG dan MGSc. Nilai aw dan
kadar air yang diamati juga menunjukkan hasil yang paling baik. Hasil ini juga
menunjukkan kemampuan natrium kaseinat sebagai bahan penyalut cukup
efektif dan mampu menggantikan peran gum arab sebagai bahan penyalut pada
proses enkapsulasi dengan mengkombinasikannya bersama maltodekstrin.

E. Pengaruh Kondisi Pengeringan Terhadap Mikrokapsul Komposisi Bahan


Penyalut Terpilih (Maltodekstrin-Natrium Kaseinat:2:1)

Thies 1996 menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi


jumlah minyak yang terkapsul adalah kondisi pengeringan. Ketidaksesuaian
antara kondisi pengeringan dengan stabilitas bahan penyalut dapat
menyebabkan kerusakan struktur fisik mikrokapsul dan mempengaruhi kualitas
bahan aktif. Oleh karena itu, pada penelitian tahap kedua ini, perlakuan yang
akan diujikan pada komposisi MSc (maltodekstrin-natrium kaseinat) adalah
variasi kondisi pengeringan mencakup laju alir umpan dan suhu inlet. Variasi
suhu inlet dan laju alir umpan ditentukan berdasarkan penelitian-penelitian
sebelumnya dan penelitian pendahuluan yang hasil uji awalnya dapat dilihat
pada Tabel 6. Rentang suhu inlet 160-190°C dan laju alir umpan 15 dan 20
ml/menit dipilih karena pada kondisi tersebut kondisi fisik produk dan kondisi
operasi pengeringan cukup baik dan stabil. Penampakan warna mikrokapsul
secara visual yakni kuning hingga kuning muda (Lampiran 3).

57
1. Total Volatile Oil Dan Oil Retention
Dari Tabel 6 dapat diamati bahwa nilai total volatile oil mikrokapsul
2.19% untuk semua taraf perlakuan suhu inlet dan laju alir umpan. Oil retention
juga menunjukkan nilai yang sama yaitu 92.1%. Suhu inlet dan laju alir umpan
tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai total volatile oil dan oil
retention mikrokapsul. Reineccius et al. (1988) menyatakan penurunan nilai
total volatile oil dan oil retention dapat terjadi karena kondisi pengeringan yang
tidak sesuai dengan stabilitas ketahanan bahan penyalut terhadap panas. Suhu
pengeringan yang tinggi dan kontak bahan dengan udara kering yang lebih
lama (laju alir umpan rendah) dapat menguapkan fraksi-fraksi minyak yang
ringan pada proses pengeringan. Lebih lanjut kondisi pengeringan yang cukup
ekstrim memungkinkan terjadinya keretakan pada permukaan kapsul akibat
tekanan uap air di bahan yang terlalu besar dan akhirnya dapat memacu
kebocoran bahan aktif. Namun pada parameter ini dapat diamati tidak adanya
pengaruh nyata dari perlakuan suhu inlet dan laju alir umpan terhadap nilai
total volatile oil dan oil retention. Hal ini dapat disebabkan stabilitas panas
natrium kaseinat relatif baik (Singh, 1995).
Tabel 6. Total volatile oil dan oil retention mikrokapsul pada variasi
suhu inlet dan laju alir umpan

Suhu inlet (°C)/ Total volatile oil (%) Oil retention (%)
laju alir umpan
(ml/menit)
160/15 2,19 92,1
160/20 2,19 92,1
170/15 2,19 92,1
170/20 2,19 92,1
180/15 2,19 92,1
180/20 2,19 92,1
190/15 2,19 92,1
190/20 2,19 92,1

58
2. Surface Oil
Surface oil atau oleoresin yang berada dipermukaan kapsul menjadi
parameter penting untuk melihat efektifitas pertahanan bahan aktif di dalam
kapsul. Surface oil sangat rentan kerusakan dan mudah teroksidasi. Oleh
karena itu semakin rendah nilai surface oil maka mutu produk akan semakin
baik. Nilai surface oil yang diperoleh dari mikrokapsul dengan perlakuan suhu
inlet dan laju alir dapat dilihat pada Gambar 11.
0.2
0.19 0.1865
0.18 0.1833
0.1714 0.1718
S u r fa c e o i l (% )

0.17 0.1685

0.16 0.1593
0.155 0.1573 Laju alir 15
0.15
Laju alir 20
0.14
0.13
0.12
0.11
0.1
160 170 180 190
Suhu inlet (Celcius)
Gambar 11. Surface oil mikrokapsul dengan variasi suhu inlet dan laju
alir umpan

Berdasarkan uji keragaman diketahui bahwa perlakuan suhu inlet dan laju
alir bahan memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai surface oil.
Sebaliknya tidak ditemukan adanya pengaruh yang nyata dari interaksi kedua
perlakuan tersebut terhadap nilai surface oil. Secara lengkap disajikan pada
Lampiran 14.
Dari data penelitian yang disajikan pada Gambar 11 dapat diketahui bahwa
peningkatan laju alir bahan akan menyebabkan kecenderungan nilai surface oil
meningkat dan menunjukkan pula adanya perbedaan yang nyata antara taraf
laju alir 15 dan 20 ml/menit. Pada suhu inlet 160°C, taraf laju alir 15 ml/menit
surface oil-nya sebesar 0,1833%, dan pada taraf laju alir bahan 20 ml/menit
surface oil mengalami peningkatan menjadi 0,1865% dan nilai ini merupakan
nilai surface oil tertinggi dari semua perlakuan. Sementara itu pada kondisi

59
suhu inlet 170°C taraf laju alir 15 ml/menit surface oil-nya sebesar 0,1550%
dan meningkat lebih tajam menjadi 0,1714% pada taraf laju alir 20 ml/menit.
Peningkatan surface oil juga terlihat pada kondisi suhu 180°C dan suhu 190°C
taraf 15 ke taraf 20 ml/ menit.
Disisi lain dengan peningkatan suhu inlet, nilai surface oil cenderung
mengalami penurunan pada taraf laju alir yang sama. Pada laju alir 15
ml/menit, taraf suhu inlet 160°C nilai surface oil yang diperoleh sebesar 0,1833
dan mengalami penurunan yang cukup tajam pada taraf suhu inlet 170°C yaitu
0,1550. Kemudian pada taraf 180°C surface oil meningkat kembali namun
tidak terlalu tajam yaitu sebesar 0,1593 dan pada taraf 190°C sebesar 0,1573.
Demikian halnya pada perlakuan laju alir 20 ml/menit, peningkatan suhu inlet
akan menurunkan nilai surface oil meskipun pada taraf 170°C-190°C
penurunannya tidak begitu besar. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan yang nyata antara suhu inlet 170, 180, dan 190 °C terhadap nilai
surface oil. Sebaliknya ada perbedaan yang nyata antara taraf suhu 160°C
dengan taraf suhu inlet 170, 180, dan 190°C.
Komposisi bahan penyalut maltodekstrin-natrium kaseinat seperti yang
telah diketahui dari penelitian tahap sebelumnya, menunjukkan efektifitas
pertahanan bahan aktif yang baik dengan nilai surface oil yang rendah.
Besarnya nilai surface oil juga dapat dipengaruhi oleh kondisi pengeringan.
Rulkens dan Thijsen (1972) menerangkan mekanisme tertahannya bahan
aktif di dalam kapsul melalui suatu mekanisme difusivitas selektif. Dinyatakan
bahwa difusivitas bahan volatil akan menurun secara drastis jika dalam
konsentrasi yang rendah seiring menurunnya konsentrasi air di dalam emulsi.
Saat air mencapai titik konsentrasi kritis, lapisan bahan penyalut yang
melingkupi droplet bahan aktif akan bertindak sebagai membran yang bersifat
tidak permeabel terhadap bahan volatil sehingga hanya air yang teruapkan.
Dihubungkan pada teori diatas, semakin cepat air mencapai kondisi konsentrasi
kritis maka pembentukan kulit dari lapisan penyalut yang melingkupi droplet
bahan aktif akan lebih cepat terbentuk dan flavor yang lepas sewaktu
pengeringan akan dapat diminimalkan. Suhu inlet yang tinggi akan
mempercepat tercapainya kondisi air kritis dan terbentuknya kulit yang

60
melingkupi droplet bahan aktif. Disisi lain laju alir umpan yang tinggi yang
berarti kontak bahan dengan udara kering lebih singkat mengakibatkan kondisi
air kritis sulit tercapai dengan cepat yang mengakibatkan pembentukan kulit
lebih lambat dan tidak sempurna dalam melingkupi droplet bahan aktif
sehingga memungkinkan difusi bahan aktif yang volatil selama proses
pengeringan. Akibatnya minyak dan resin tidak tertahan di dalam penyalut
namun masih mungkin lengket pada permukaan kapsul.
Nilai surface oil tertinggi dihasilkan oleh kombinasi perlakuan suhu inlet
160°C dan laju alir 20 ml/menit. Sedangkan pada produk yang dikeringkan
pada suhu inlet 170°C dan laju alir 15 ml/menit nilai surface oilnya paling
rendah. Hal ini menunjukkan pada kombinasi perlakuan tersebut pembentukan
kulit yang cukup baik dapat mengontrol pelepasan bahan aktif di dalam kapsul
selama proses pengeringan terjadi.
Faktor lain yang dapat menyebabkan pelepasan flavor adalah
ketidaksesuaian kondisi pengeringan dengan stabilitas panas bahan penyalut.
Ketidaksesuaian antara bahan penyalut dan kondisi pengeringan dapat
mengakibatkan kebocoran atau terjadinya efek “balooning” dan dapat
menurunkan retensi (Reineccius, 1988). Hal ini yang dapat menyebabkan
peningkatan surface oil pada produk yang dikeringkan pada suhu 180 dan suhu
190°C taraf laju alir bahan 15 ml/menit. Dari kombinasi interaksi suhu
pengeringan yang tinggi dan laju umpan yang rendah, laju pengeringan akan
lebih tinggi dan dapat menyebabkan kerusakan fisik bahan penyalut. Namun
peningkatan nilai surface oil memang tidak tajam, hal ini mengingat stabilitas
panas natrium kaseinat cukup baik.

3. Aktifitas air (aw) Mikrokapsul


Nilai aw dari mikrokapsul yang dihasilkan berkisar antara 0,276-0,436.
Pada Gambar 12 terlihat pengaruh dari perlakuan suhu inlet dan laju alir umpan
terhadap nilai kadar air dimana peningkatan suhu inlet akan menyebabkan
penurunan nilai aw dan peningkatan laju alir umpan akan menyebabkan
peningkatan nilai aw.

61
0.50
0.45
0.40
0.35
0.30

Nilai aw
Laju Alir 15
0.25
Laju Alir 20
0.20
0.15
0.10
0.05
0.00
160 170 180 190
Suhu Inlet (Celcius)

Gambar 12. Nilai aw mikrokapsul dengan variasi suhu inlet dan laju alir
bahan

Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa perlakuan suhu inlet, laju alir
bahan dan interaksi kedua perlakuan memberikan pengaruh yang nyata
terhadap nilai aw pada tingkat kepercayaan 95%. Uji lanjut Duncan
menunjukkan perlakuan suhu inlet untuk setiap taraf berbeda nyata, dapat
dilihat pada Lampiran 13. Demikian halnya dengan perlakuan laju alir dimana
taraf 15 dan 20 ml/menit menghasilkan nilai aw yang berbeda nyata.
Nilai rata-rata aw yang tertinggi dihasilkan dari kombinasi perlakuan suhu
inlet 160°C dan laju alir bahan 20 ml/menit (0,432). Sebaliknya nilai aw
terendah dihasilkan dari kombinasi perlakuan suhu inlet 190°C dan laju alir
bahan 15 ml/menit (0,276). Nilai aw produk ini akan sangat berhubungan
dengan kemampuan penyalut mempertahankan bahan aktif tetap di dalam
kapsul atau menjadi suatu indikasi pelepasan bahan aktif yang lebih dikenal
dengan istilah “reenkapsulasi” seperti yang dikemukakan oleh Whorton dan
Reineccius (1995). Mereka menyatakan bahwa nilai aw yang tinggi menjadi
indikator adanya pelepasan bahan aktif yang jumlahnya lebih besar dari pada
nilai aw yang relatif lebih rendah. Mekanismenya dapat terlihat pada Gambar
13.

62
Gambar 13. Proses hidrasi, awal collaps, dan full collaps pada produk
flavor terenkapsulasi (Whorton dan Reineccius, 1995)

Nilai aw yang tinggi akan menyebabkan molekul-molekul air yang berada


di sekitar produk flavor terenkapsulasi berpenetrasi ke dalam partikel-partikel
matriks. Produk flavor terenkapsulasi mengalami hidrasi. Permukaan dinding
matriks menjadi “stress” dan membentuk kerak. Kondisi seperti ini disebut
sebagai awal dari collaps yang menyebabkan stabilitas dan retensi flavor
terenkapsulasi menurun serta flavor terlepas dari dinding matriks. Partikel-
partikel produk flavor terenkapsulasi saling berdekatan dan teraglomerasi
membentuk fully collaps. Kondisi ini yang dinyatakan sebagai kondisi yang
efektif untuk terjadinya proses “reenkapsulasi” flavor.

4. Kadar Air
Berdasarkan hasil penelitian terhadap komposisi penyalut terpilih
diperoleh kadar air mikrokapsul yang dihasilkan berkisar antara 1,30% hingga
3,30%. Kadar air mikrokapsul dapat terlihat pada Gambar 14.

63
3.50

3.00

2.50

Kadar Air (%)


2.00 Laju Alir 15
1.50 Laju Alir 20

1.00

0.50

0.00
160 170 180 190
Suhu Inlet (Celcius)

Gambar 14. Kadar air mikrokapsul dengan variasi suhu inlet dan laju alir
umpan

Hasil analisis keragaman seperti yang disajikan pada Lampiran 12


menunjukkan bahwa perlakuan suhu inlet memberikan pengaruh yang nyata
terhadap kadar air mikrokapsul pada tingkat kepercayaan 95%. Demikian pula
dengan perlakuan laju alir umpan dan interaksi kedua perlakuan tersebut juga
memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air mikrokapsul.
Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan suhu inlet taraf 180 dan
190°C berbeda nyata dengan taraf suhu inlet 170°C dan juga berbeda nyata
terhadap suhu 160°C terhadap nilai kadar air mikrokapsul. Laju alir 15 dan 20
ml/menit juga berbeda nyata terhadap nilai kadar air.
Kadar air tertinggi diperoleh dari kombinasi perlakuan suhu inlet 160°C
dan laju alir bahan 20 ml/menit (3,27%), sedangkan kadar air terendah
dihasilkan dari kombinasi perlakuan suhu inlet 190°C dan laju alir bahan 15
ml/menit (1,40%). Pada Gambar 14 dapat diamati penurunan kadar air akibat
adanya peningkatan suhu inlet dan peningkatan kadar air akibat adanya
peningkatan laju alir umpan.
Semakin tinggi suhu inlet maka semakin rendah kadar air produk yang
dihasilkan. Hal ini disebabkan karena suhu pengeringan yang tinggi akan
menguapkan air dalam jumlah yang lebih besar. Sebaliknya semakin tinggi laju
aliran bahan, maka jumlah air yang diuapkan akan lebih kecil. Hal ini karena
aliran bahan yang berjalan lebih cepat akan menyebabkan kontak bahan

64
dengan udara kering akan berlangsung lebih singkat sementara jumlah total air
dalam larutan sama jumlahnya. Akibatnya jumlah air yang diuapkan akan lebih
kecil daripada jika laju alir umpan yang digunakan lebih rendah.

5. Kelarutan Dalam Air


Hasil kelarutan dalam air dari perlakuan variasi suhu inlet dan laju alir
tidak begitu besar perbedaannya. Dapat dilihat pada Tabel 7. Nilai kelarutan
dalam air mikrokapsul berkisar antara 94,04-94,80%. Uji ragam pada tingkat
kepercayaan 95% menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang nyata yang
diberikan oleh variasi suhu inlet dan laju alir terhadap tingkat kelarutan dalam
air. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 15.
Tabel 7. Kelarutan dalam air mikrokapsul dengan dengan variasi suhu
inlet dan laju alir bahan

Suhu inlet (°C)/ laju alir Nilai kelarutan dalam air (%)
umpan (ml/menit)
160/15 94.04
160/20 94.25
170/15 94.34
170/20 94.19
180/15 94.80
180/20 94.48
190/15 94.66
190/20 94.32

Nilai kelarutan dalam air sangat ditentukan oleh kemampuan kelarutan


bahan penyalut dalam air. Kelarutan bahan penyalut dalam air yang tinggi dapat
mempermudah pelepasan flavor atau bahan aktif pada aplikasinya. Pada
penelitian ini bahan penyalut yang digunakan berkomposisi sama yakni
maltodekstrin-natrium kaseinat (2:1) sehingga kemampuan kelarutan dalam air
yang dimiliki mikrokapsul cenderung sama. Pengaruh suhu inlet dan laju alir
umpan tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap kelarutan bahan
penyalut dalam air.

65
6. Struktur Mikrokapsul
Morfologi mikrokapsul mempengaruhi sifat mikrokapsul lainnya seperti
laju pelepasan flavor, surface oil, retensi dan lain-lain. Pada studi ini digunakan
teknik Scanning Electron Microscopy (SEM) untuk mengetahui struktur
mikrokapsul. Mikrokapsul yang diamati adalah mikrokapsul dengan komposisi
penyalut maltodekstrin-natrium kaseinat (MSc:2:1: suhu inlet 170/15ml/menit)
dan mikrokapsul maltodekstrin-natrium kaseinat (MSc:2:1: suhu inlet
190/15ml/menit). Selain itu juga diamati mikrokapsul berkomposisi
maltodekstrin-gum arab (MG:2:1) yang memiliki oil retention terendah pada
penelitian tahap 1. Gambar 15, Gambar 16, dan Gambar 17 menyajikan foto
hasil SEM.

Gambar 15. Morfologi mikrokapsul MSc (suhu 170°C/15ml/menit) dengan


menggunakan SEM (20kv, perbesaran 100X (kiri) dan1500X
(kanan))

66
Gambar 16. Morfologi mikrokapsul MSc (suhu 190°C dan 15ml/menit) dengan
menggunakan SEM (20kv, perbesaran 100X (kiri) dan1500X
(kanan))

Ukuran mikrokapsul berkisar antara 2 sampai 38.6 μm. Dapat diamati


pada Gambar 15 dan Gambar 16, mikrokapsul MSc hasil pengeringan suhu
inlet 170°C dengan laju alir 15ml/menit dan mikrokapsul MSc hasil
pengeringan suhu inlet 190°C dengan laju alir 15ml/menit memiliki bentuk
yang relatif sama seperti bola. Dari gambar tampak pula bahwa pada
mikrokapsul dengan suhu inlet 190°C dengan laju alir 15ml/menit telah
terdapat keretakan pada mikrokapsul. Keretakan ini dapat terjadi karena suhu
pengeringan yang tinggi. Keretakan mikrokapsul dapat memacu tingkat
pelepasan bahan aktif sehingga nilai surface oil meningkat dan dapat
mempengaruhi stabilitas retensi. Meskipun demikian, dari hasil uji lanjut
Duncan kenaikan surface oil tidak terlalu siginifikan sehingga tidak tampak
nilai surface oil yang berbeda nyata dengan mikrokapsul MSc yang dihasilkan
pada kondisi pengeringan suhu inlet 170°C dan laju alir 15ml/menit.
Gambar 17 memperlihatkan struktur mikrokapsul MG yang bentuknya
juga relatif sama seperti bola. Pada mikrokapsul MG telah terlihat adanya
mikrokapsul yang berkerut dan pecah. Kerutan dapat menjadi awal adanya
keretakan dan pecahnya mikrokapsul akibat suhu yang tinggi. Dengan

67
morfologi yang demikian akan memacu pelepasan flavor yang lebih besar
(indikasi nilai surface oil tinggi dan oil retention rendah).

Gambar 17. Morfologi mikrokapsul MG dengan menggunakan SEM (20kv,


perbesaran 100X (kiri) dan1500X (tengah dan kanan))

7. Profil Komponen Minyak Atsiri Jahe Dengan GCMS (Gas


Chromatography Mass Spectometric)
Salah satu tujuan utama enkapsulasi adalah melindungi bahan aktif dari
kerusakan-kerusakan. Pada studi ini dilakukan pengidentifikasian komponen
pada fraksi minyak atsiri atau komponen volatil sebelum dienkapsulasi dan
setelah dienkapsulasi dengan menggunakan Kromatografi Gas-Spektometri
Massa atau GCMS.
Komponen utama minyak atsiri jahe umumnya adalah (-)-α-zingiberen
(20-30%), β-bisabolene (sekitar 12%), farnesen (sekitar 10%) dan zingiberol
serta β-sesquiphelandren. Kemungkinan senyawa lain yang dapat mumcul
seperti senyawa sitral, monoterpen hidrokarbon seperti d-limonen, mycrene,
sabinen, dan lain-lain. Komponen yang teridentifikasi tergantung jenis jahe
sebagai bahan baku. Minyak jahe sensitif terhadap panas terutama pada suhu di
atas 90°C sehingga memungkinkan terjadinya perubahan komponen. Perubahan
komponen juga dapat terjadi selama distilasi dan penyimpanan karena cahaya
dan oksigen (Purseglove, 1981). Salzer (1975) menyatakan bahwa (-)-α-
zingiberen dan β-sesquiphelandren dapat menurun persentasenya dengan

68
adanya perubahan kondisi di atas, sebaliknya ar-curcumen akan terbentuk lebih
banyak.
Dari hasil GCMS diketahui bahwa komponen atsiri pada oleoresin
sebelum dienkapsulasi didominasi oleh komponen utama alpha-zingiberen
(50,73%). Komponen lain yang cukup dominan adalah beta-seskuiphellandren
(19.06%), farnesen (14.51%), beta-bisabolen dan beta-eudesemol/zingiberol
(0.77%). Terdapat pula sejumlah kecil monoterpen seperti borneol, sitral,
geraniol, linalool dan lain-lain.
Pada komponen volatil dari hasil enkapsulasi mikrokapsul berbahan
penyalut MSc dengan kondisi spray drying suhu inlet 170°C dan laju alir
umpan 15ml/menit juga dapat diketahui bahwa alpha-zingiberen merupakan
komponen utama dengan persentase area terbesar (52.58%) dari keseluruhan
komponen yang teridentifikasi. Komponen lain yang cukup besar jumlahnya
adalah beta-seskuiphellandren (19.48%), farnesen (14.89%), dan beta-bisabolen
serta beta-eudesemol/zingiberol (1.03%). Dari hasil identifikasi diketahui pula
bahwa pada atsiri hasil enkapsulasi sudah terdapat kehilangan sejumlah kecil
fraksi-fraksi ringan seperti L-linalool, borneol dan sejumlah sitral.
Pada indentifikasi komponen volatil dari hasil enkapsulasi mikrokapsul
MSc kombinasi suhu inlet 190°C dan laju alir umpan 15ml/menit diketahui
alpha-zingiberen juga mendominasi susunan komponen volatil keseluruhan
dengan perolehan 46.59%. Komponen lain yang teridentifikasi dengan jumlah
yang besar adalah beta-sesquiphellandren (18.88%), farnesen (17.31%), dan
beta-eudesemol/zingiberol (0.7%). Kehilangan komponen volatil juga tampak
terjadi dan banyak pula terbentuknya golongan senyawa yang teroksidasi.
Tabel 9 menjabarkan perbandingan beberapa komponen di dalam minyak atsiri
jahe dari oleoresin dengan minyak atsiri jahe dari hasil enkapsulasi.

69
Tabel 8. Profil komponen yang teridentifikasi pada minyak atsiri jahe hasil
enkapsulasi dan sebelum dienkapsulasi (oleoresin)

Komponen Oleoresin Enkapsulasi suhu Enkapsulasi suhu


inlet 170°C inlet 190°C
laju alir 15 ml/menit laju alir 15 ml/menit
Alpha-Zingiberen + + +
Beta- + + +
Sesquiphellandren
Farnesen + + +
Beta-Bisabolen + + +
Beta-Eudesemol + + +
Farnesol + + +
Nerolidol + + +
L-Linalool + + +
Borneol + + +
Geraniol + + +
Sitral + + +
Geranil asetat - + +
Citronellol + + +
Citronellil asetat - + +
Bornil asetat + + +
Terpineol + + +
Ar-Curcumene - + +
Caryophyllene + + +
Caryophyllene- - + +
oxide
Keterangan: + : teridentifikasi

70
F. APLIKASI PRODUK
Flavor yang dienkapsulasi sangat efektif digunakan dalam makanan
olahan, proses pengisian, pencampuran kering, permen, makanan formula,
bumbu-bumbuan, makanan penutup (desert), minuman, produk-produk susu
dan lain-lain (Koswara, 1995). Enkapsulasi dapat dikategorikan sebagai usaha
peningkatan nilai tambah flavor khususnya oleoresin sehingga penggunaannya
diindustri akan lebih diminati. Shelf life yang relatif lebih lama dengan
pengaplikasian yang lebih mudah semakin meningkatkan nilai tambah dari
mikrokapsul. Diprediksi nilai ekonomis mikrokapsul 13 kali lebih tinggi
dibandingkan nilai ekonomis oleoresin pada kuantitas bahan aktif yang sama.
Hasil analisis ekonomi sederhana dapat dilihat pada Lampiran 17.

71
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Komposisi bahan penyalut memberikan pengaruh yang nyata pada
semua variabel respon karakteristik mikrokapsul oleoresin jahe pada tingkat
kepercayaan 95%. Komposisi bahan penyalut yang menghasilkan surface oil
terendah (0,1522%) dan total volatile oil (2,19%) serta oil retention (92,2%)
tertinggi adalah komposisi penyalut maltodekstrin-natrium kaseinat (MSc)
dengan perbandingan 2:1. Mikrokapsul MSc juga memiliki nilai kadar air
(0,154) dan aw terendah (0,313) yang diduga lebih stabil dalam menjaga
produk dari kerusakan selama penyimpanan. Selain itu komposisi ini
menghasilkan mikrokapsul yang memiliki kelarutan dalam air (94,16%) yang
terendah dibandingkan mikrokapsul komposisi lainnya.
Dengan hasil ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahan penyalut
protein (natrium kaseinat) yang dikombinasikan dengan polisakarida efektif
untuk melindungi oleoresin jahe. Komposisi penyalut ini dapat menjadi
alternatif penyalut yang dapat mengurangi dan menggantikan peran gum arab
sebagai bahan penyalut yang dalam prakteknya cukup berkendala saat ini.
Suhu inlet dan laju alir umpan pada spray drying serta interaksi
keduanya memberikan pengaruh yang nyata pada kadar air dan nilai aw
mikrokapsul. Peningkatan suhu inlet menyebabkan penurunan kadar air dan aw
sebaliknya peningkatan laju alir umpan menyebabkan peningkatan kadar air.
Suhu inlet dan laju alir umpan juga memberikan pengaruh yang nyata
terhadap surface oil mikrokapsul. Uji lanjut menunjukkan perbedaan nyata
hanya terjadi antara suhu 160°C dengan suhu 170-190°C sedangkan suhu 170,
180 dan 190°C tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap nilai surface oil.
Peningkatan suhu inlet menyebabkan penurunan surface oil dan sebaliknya
peningkatan laju alir umpan menyebabkan peningkatan surface oil
mikrokapsul. Pada suhu 180 dan suhu 190°C pada taraf laju alir yang sama
yaitu 15 ml/menit terdapat peningkatan surface oil kembali meski hanya
dalam jumlah yang kecil.

72
Disisi lain, suhu inlet dan laju alir umpan tidak memberikan pengaruh
yang nyata terhadap total volatile oil dan oil retention. Demikian pula halnya
dengan nilai kelarutan dalam air mikrokapsul. Suhu inlet dan laju alir umpan
tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kelarutan dalam air.
Kondisi pengeringan yang menghasilkan surface oil terendah untuk
komposisi bahan penyalut MSc (2:1) pada mikroenkapsulasi oleoresin jahe
adalah pada kondisi suhu inlet 170°C dan laju alir umpan 15 ml/menit. Pada
kondisi ini dicapai nilai surface oil 0,1550% dan total volatile oil 2,19% serta
oil retention sebesar 92,1%. Kondisi ini juga menghasilkan nilai aw (0,319)
dan kadar air mikrokapsul yang rendah (1,85%) dan diduga lebih stabil untuk
mengendalikan pelepasan bahan aktif yang disalut dan kerusakan-kerusakan
pada mikrokapsul selama penyimpanan.

B. SARAN
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap kombinasi komposisi
penyalut maltodekstrin dan natrium kaseinat dengan memperbesar
proporsi penggunaan maltodekstrin.
2. Perlu adanya penelitian mengenai shelf life mikrokapsul agar dapat
diketahui stabilitas bahan aktif.

73
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, D. M. W., J. F. Howlett dan C.G. A. Mc Nab. 1985. The amino acid
compositions of the protein aceous component of gum arabic. Food Audit.
Contam. 2: 159-164.

Bakan, J. A, dan J. L. Anderson, 1978. Microencapsulation. Di dalam L.


Lachman, H.A.Lieberman dan J.L. Kanig (Eds). The Theory and Practise
of Industrial Pharmacy, 2nd edition. Philadelphia, PA: Lea dan Febiger.
384.

Balasa, L. L., dan Fanger, G.O. 1971. Microencapsulation in food industry. CRC
Critical Reviews in Food Technology. 2 : 245-265.

Bang, E.W. dan Reinecius G.A. 1985. Prediction of flavor retention during spray
drying: An empirical approach, J. of Food Sci. 55 (6) : 1683-1685.

Bhandari, B.R, dan T.Howes.1999. Implications of glass transition for the drying
and stability of dried foods. J. Food Eng. 40 : 71-79.

Burkill, I.H. 1935. A Dictionary of The Economics. Product of Malay Peninsula.


The Crown Agents for the colonies, London.

Chandriyani, Ernita. 2002. Mikroenkapsulasi Oleoresin Biji Pala dengan


Menggunakan Sukrosa Sebagai Bahan Penyalut. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, IPB, Bogor.

Darsana, L., Wijaya, H., dan Zakaria, F. 1995. Aktifitas Proliferasi Limfosit dari
Ekstrak Jahe (Zingiber Officinale Rosc.) Segar dan bertunas Pada
Limpfosit Mencit. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor
IPB, Bogor.

Djubaedah. E. 1986. Ekstraksi oleoresin dari jahe (Zingiber officinale, Roscoe).


Media Teknologi Pangan. 2(2) : 10-19.

Dziezak, J.D. 1988. Microencapsulation and encapsulated ingredients. Food


Technology. 28(4):138.

Fardiaz, D. 1989. Hidrokoloid. Lab Kimia dan Biokimia Pangan, PAU Pangan
dan Gizi, IPB, Bogor.

_________. 1989. Gas Khromatografi. Lab Kimia dan Biokimia Pangan, PAU
Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.

74
Farrel, K.T. 1985. Spice, Condiments and Seasoning. The AVI Book Published by
Nostrand Reinhold Co., NewYork.

Glicksman, M., dan R. E. Sand. 1973. Gum arabic. Di dalam BeMiller, J. N dan
Whistler, R.L (eds). Industrial Gums Polysaccharides and Their
Derivates. Academic Press, New York.

Heath, H.B. 1986. Flavor Chemistry and Technology. AVI Van Wostrand
Reinhold Company.Inc, Westport, Connecticut.

Heldman, R.Dennis dan R.P. Singh. 1981. Food Process. Engineering. AVI
Publ.Co.Inc., Wesport, Coneccticut.

Hogan, S. A., B. F. McNamee, E. D. O’Riordan, dan M. O’Sullivan. 2001.


Microencapsulating properties of sodium caseinate. J. Agric. Food Chem.
49 : 1934-1938.

Jackson, L.S, dan Lee, K. 1991. Microencapsulation and the food industry.
Lebensm-Wiss-Technol. 24 : 289-297.

Jansen, J. 1981. Report of ginger. Journal of The Association of Officinal


Agriculture Chemist 20 (3): 3. The Association of official Agricultural
Chemist, Menasha, Wisconsin.

Khrisnan, S., A.C. Kshirsagar, dan R. S. Singhal. 2005. The use of gum arabic dan
modified starch in the microencapsulation of food flavoring agent.
Carbohydrate Polymer. 62:309-315.

Kennedy, J. F., C. J. Knil dan D.W. Taylor. 1995. Maltodextrins. Di dalam M. W.


Keasley dan S.Z. Dziedzic. (Eds). Handbook of Hydrolisis Product and
Their Derivates. Blackie Academic and Professional, London.

Kenyon, M.M dan R.J. Anderson. 1988. Maltodextrin dan low-dextrose-


equivalence corn syrup solids. Di dalam Risch S. J dan G. A. Reineccius
(Eds). Flavour Encapsulation. American Chemical Society, Washington,
D.C. 7-10.

Ketaren, S. 1988. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Balai Pustaka, Jakarta.

Kim, Y.D dan C.V. Morr. 1996. Microencapsulation properties of gum arabics
and several food proteins : spray dried orange oil emulsion particles. J.
Agric. Food Chem. 44(5) : 1314-1320.

Komari. 1994. Mikroenkapsulasi minyak ikan untuk fortifikasi asam lemak


omega-3 dalam makanan. Majalah Gizi Indonesia 19 (1-2): 90-100.

Koswara, S. 1995. Jahe dan Hasil Olahannya. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

75
Labuza. 1970. Water contents and stability of low and intermediate moisture
foods. Food Tech. 24:53

Lien, C.C., Lis, S.J., dan Hwang, L. S. 1995. Microencapsulation of squid oil with
hydrofilic macromolecules for oxidative and thermal stabilization. J. of
Food Sci. 60(1) : 36-39.

Lestari, Wina. 2006. Pengaruh Nisbah Rimpang dengan Pelarut dan Lama
Ekstraksi Terhadap Mutu Oleoresin Jahe Merah. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, IPB, Bogor.

Masters, K. 1979. Spray Drying Handbook. John Wilegard Sons, New York.

Magdasi, S dan Y. Vinetsky.1996. Microencapsulation of oil in water emultions


by proteins. Di dalam Simon, B.(ed). Microencapsulation Methode and
Industrial Application. Marcel Dekker Inc., New York.

Nuraini. 2001. Mikroenkapsulasi Beta-karoten dari Buah dan Tepung Labu


Kuning. Pasca Sarjana, UGM, Yogyakarta.

Pruthi, J. S. 1980. Spices and Condiments, Chemistry, Microbiology, Technology.


Academic Press, New York.

Purseglove, J.W, E. G. Brown, C. L. Green dan S. R. J. Robbins. 1981. Spices.


Vol 2. Longman Inc, New York.

Reineccius,G.A. 1988. Spray drying of food flavours. Di dalam G. A. Reineccius


dan S. J. Risch (Eds). Flavour Encapsulation, 55-66. American Chmeical
Society. Washington, D.C.

Reineccius, G.A. 2004. The spray drying of food flavors. Drying Technology. 22
(6) :1289-1324, Minesota.

Risch,S.J., dan G. A. Reineccius.1995. Encapsulations and controlled release of


food ingredients. ACS Symposium Series, Vol.590. American Chemical
Society, Washington, D.C.

Rosenberg,M., Kopelman, J dan Talman, Y. 1990. Factors affecting retention in


spray drying microencapsulation of volatile materials. Israel Institut of
Technology, Haifa, Israel.

Ruis, H.G.M. 2007. Structure rheology relations in sodium caseinate in containing


systems. Tesis. Wengenigen University, Netherland.

Rulkens, W.H dan Thijsen H.A. 1972. The retention of organic volatiles in drying
aqueous carbohydrate solutions. Food Technology. (7): 186-191.

76
Singh, H. 1995. Heat induced changes in casein, including interactions with whey
proteins. Heat Induced Changes in Milk. P. F. Fox. Brussels, International
Dairy Federation: 86-104.

Shaikh, J., R. Bosale, dan R. Singhal. 2006. Microencapsulation of black pepper


oleoresin. Journal Food Chemistry. 94 : 105-110.

Soomaatmadja, D. 1981. Prospek Pengembangan Oleoresin di Indonesia.


Komunikasi No. 21. Balai Besar Industri Hasil Pertanian, Bogor.

Soottitantawat, A.,F. Bigeard, H.Yoshi, T.Furuta, M. Ohkawara dan P. Linko.


2005. Microencapsulation of l-menthol by spray drying and its release
characteristics. Innovative Food Sci. and Emerging Tech. 6: 163-170

Schultz, I.H. 1956. Incorporation of natural fruit flavors into fruit juice powders.
Food Tech. 10: 57.

Sudibyo, A. 1989. Prospek Pengembangan Industri Minyak Atsiri dan Rempah.


Bul. Ekon. Bapindo XIV. (05) : 48-53.

Sutianik, 1999. Pengaruh Suhu Pengeringan dan Ukuran Bahan Terhadap


Rendemen dan Mutu Oleoresin Jahe (Zingiber officinale, Roscoe). Skripsi.
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Swaigood, H. E. 1982. Chemistry of Milk Protein. Di dalam P. F. Fox (Eds.).


Developments in Dairy Chemistry-4. Proteins. London: Applied Science
Publishers. 1-59.

Thevenet, F. 1988. Acacia gums stabilizers for flavor encapsulation. Di dalam


American Chemical Society. 37: 44.

Thies, C. 1996. A survey of microencapsulation process. Di dalam S. Benita


(Ed.). Microencapsulation methods and industrial applications. New York:
Marcel Dekker, 1-19.

Vega, C dan Ross.Y. H. 2006. Invited Review: Spray-dried dairy and dairy-like
emulsions compositional considerations. J. Dairy Sci. 89:383-401

Whiteley, M.A., and A. J. E. Welch., Owen, L. N. 1952. Thorpe’s Dictionary of


Applied Chemistry. Volume V. 4 th Edition Longmans., Green and Co.,
London.

Whorton, C dan G.A. Reineccius. 1995. Evaluation of the mechanism associated


with the release of encapsulated flavor materials from maltodextrin
matrices. Di dalam Risch, S.J. dan G.A. Reineccius (Eds). Encapsulation
and Controlled Release of Food Ingredients. ACS, Washington.

77
Young. S. L., Sarda. X., Rosenberg. M. 1993. Microencapsulating properties of
whey protein with carbohidrat. J. Dairy Sci. 76:2678-2885.

Yuliani, S. Hernani dan Anggraeni.1991. Aspek Pasca Panen Jahe. Edisi Khusus
Litro. VII (I): 30-37.

Zhao, J dan Whistler, R.L. 1994. Spherical aggregates of starch granules as flavor
carrier. Food Tech. 48 (7): 104-105.

78
79
Lampiran 1. Analisis Oleoresin
1. Rendemen Oleoresin
Rendemen oleoresin ditentukan berdasarkan perbandingan berat oloresin
yang diperoleh (A) terhadap bahan yang diekstraksi (B). Rendemen
dinyatakan dalam persen.
A
Rendemen oleoresin = × 100%
B

2. Bobot Jenis (SNI 06-2388-1998 dalam Koswara, 1995)


Prinsip :
Bobot jenis adalah perbandingan bobot dari suatu volume contoh pada
suhu 25°C dengan bobot air pada suhu dan volume yang sama. Cara ini biasa
digunakan untuk semua minyak dan lemak yang dicairkan.
Prosedur:
Piknometer dibersihkan dan dikeringkan, kemudian diisi dengan air
destilata. Air destilata ini diisikan ke dalam piknometer sampai meluap dan
tidak terbentuk gelembung udara, kemudian piknometer ditutup. Setelah itu,
piknometer direndam dalam bak air bersuhu 25 ± 0.2°C dan dibiarkan pada
suhu konstan selama 30 menit. Piknometer diangkat dari bak air dan
dikeringkan dengan kertas penghisap, kemudian ditimbang dengan isinya.
Bobot air (a) adalah selisih bobot piknometer dengan isinya dikurangi bobot
piknometer kosong. Contoh oleoresin kemudian diperlakukan sama dengan air
destilata yang mana bobot oleoresin (b) adalah selisih bobot piknometer
dengan oleoresin dikurangi bobot piknometer kosong.
b
Bobot Jenis= × 100%
a

3. Kadar Minyak Atsiri (Metode Hidrodestilasi Clevenger dalam Rennecius et


al., 1988)
Prinsip:
Analisis ini pada dasarnya merupakan penyulingan minyak atsiri dari
oleoresin.

80
Prosedur:
Sampel sebanyak 2-3 gram ditimbang (W) dan dimasukkan ke dalam
labu 1 liter, lalu ditambahkan 500 ml air dan dihubungkan dengan alat
penyuling minyak atsiri dan didistilasi selama 6 jam. Volume minyak atsiri
yang tertampung dicatat (Vo). Bobot minyak (Wo) dihitung dengan cara
mengalikannya dengan bobot jenis minyak atsiri. Kadar minyak atsiri basis
bobot ditentukan sebagai berikut:
Wo
Kadar minyak atsiri = × 100%
W
Keterangan: Wo = Bobot minyak yang diperoleh (gram)
W = Berat contoh oleoresin (gram)

4. Kadar sisa pelarut (Ketaren, 1988)


Prinsip:
Sisa pelarut dalam oleoresin dihitung berdasarkan volume pelarut yang
diuapkan dari setiap satuan berat bahan (oleoresin) yang diuapkan.
Prosedur:
Oleoresin 2-3 gram (a) ditimbang di dalam labu, dimasukkan ke labu
rotary vacum evaporator. Alat ini dioperasikan pada suhu 50°C, tekanan
dibawah 1 atmosfer selama 1 jam. Setelah itu bobot labu ditimbang sehingga
diperoleh bobot pelarut (b) yang terdapat dilabu.
Perhitungan:
b
Sisa pelarut = × 100%
a

81
Lampiran 2. Analisis Mikrokapsul

1. Penentuan oleoresin yang tidak terkapsul atau Surface Oil (Kombinasi


Bhandari et al., 1999 dengan Ketaren, 1986)
Sampel sebanyak 10 gram ditimbang (Ws) kemudian dimasukkan ke
dalam gelas erlenmeyer 250 ml. Sampel kemudian dicuci (selama 1 menit
dilarutkan) dengan menggunakan heksan sebanyak 20 ml. Hasil pencucian
disaring dengan kertas saring dan hasil saringan ditampung dalam labu
penguapan yang telah diketahui bobot tetapnya (Wlb1). Selanjutnya dilakukan
pencucian hingga tiga ulangan dengan membilas bagian sampel yang ada pada
kertas saring dengan heksan sebanyak 10 ml tiap pencucian.
Filtrat yang diperoleh diuapkan dengan rotary vaccum evaporator
hingga semua pelarut menguap. Bobot labu akhir ditimbang (Wlb2). Minyak
yang terdapat pada labu dihitung sebagai surface oil atau kadar oleoresin tak
terkapsul.

Wlb2 − Wlb1
Kadar Oleoresin Tak Terkapsul = × 100%
Ws

2. Penentuan Total Volatile Oil (Metode Hidrodestilasi Clevenger dalam


Rennecius et al. , 1988)
Sampel 15 gram (a) dicampurkan dengan air destilata 500 ml dalam
sebuah labu 1 liter. Kemudian ditambahkan batu didih. Sampel didistilasi
selama 3 jam. Bobot minyak (b) diperoleh dari hasil perkalian volume minyak
yang terukur dari distilasi dengan bobot jenis minyak atsiri.

b
Total volatile oil (%) = × 100%
a

3. Kadar Air Toluen (Metode AOAC)


Sampel (10gram) mikrokapsul ditambahkan dengan toluene (100ml) ke
dalam sebuah labu. Kemudian labu dididihkan di hot plate. Distilasi dilakukan
selama 2-3 jam. Hasil distilasi didinginkan sebelum dilakukan pembacaan.

82
Nilai kadar air dinyatakan sebagai perbandingan antara volume air yang
terukur hasil distilasi dengan bobot sampel awal dan dikalikan 100%.

4. Kelarutan Dalam Air (Nuraini, 2001)


Sampel (a gram) dilarutkan dalam air bersuhu 40°C dengan konsentrasi
5%. Diaduk secara kontinyu selama 20 menit. Larutan tersebut kemudian
disaring dengan kertas saring yang telah diketahui bobot tetapnya. Kertas
saring dan bagian sampel yang tidak tersaring dioven selama satu jam pada
suhu 105°C. Bobot sampel yang tidak tersaring (b gram) diperoleh dari
selisih bobot kertas saring akhir dengan bobot kertas saring awal.

( a − b)
Kelarutan dalam Air = × 100%
a

5. Analisis dengan Kromatografi Gas-Spektometri Massa (Fardiaz, 2000)


Prinsip:
Dasar pemisahan secara kromatografi gas adalah penyebaran cuplikan
contoh diantara dua fase. Salah satu fase yaitu fase diam, mempunyai
permukaan yang relatif luas. Fase yang lain adalah fase yang bergerak berupa
gas. Pemisahan komponen dalam suatu senyawa dengan menggunakan
kromatografi gas didasarkan pada perbedaan laju gerak komponen yang
dipisahkan tersebut.
Kromatografi gas merupakan metode yang umum digunakan untuk
pemisahan, deteksi, dan perhitungan dari kuantitatif dari komponen-
komponen dalam suatu campuran yang kompleks. Penggunaan kromatografi
gas untuk mengidentifikasi minyak atsiri dalam suatu bahan tumbuhan dapat
dipadukan dengan sistem analitik lain, yaitu gabungan antara kromatografi gas
dan spektometri massa yang dihubungkan dengan suatu interfase.

83
Spesifikasi Alat Kromatografi Gas :
Instrument : Agilent Technologies 6890 Gas Chromatograph with
Auto sampler dan 5973 Mass Selective Detector and
Chem Station data system
Ionisasi mode : Electron Impact
Electron energy : 70 ev
Kolom : HP Ultra 2.Capilary coulumn, Panjang (m) 17 X 0.2
(mm)I.D X 0.33 (μm) Ketebalan film
Oven temperature : Awal 65°C (ditahan 1 menit), meningkat 5°C/menit
sampai 170°C ditahan 1 menit, meningkat 3°C/menit
sampai 215°C ditahan 1 menit, meningkat 40°C sampai
240°C ditahan selama 20 menit.
Injection Port temperature : 250°C,
Ion source temperature : 230°C
Interface temperature : 280°C
Quadrupole temperature : 140°C
Carier gas : Helium
Column mode : Constant flow
Flow column : 0.6 μl/menit
Injection volume : 1,0μl
Split : 100:1

6. Analisis dengan SEM (Scanning Electron Microscope JSM-5310LV, Jepang)


Prinsip kerja:
Pancaran cahaya elektrón dengan fokus yang sangat tajam disapukan
pada objek sehingga menghasilkan elektrón skunder, elektronnya terpental
kembali lalu menyebar dan karakteristik sinar x. Sinyal-sinyal ini dideteksi
terus menerus selama pancaran cahaya elektrón bergerak menyapu permukaan
objek. Sinyal elektrón skunder menghasilkan gambar permukaan morfologi,
elektrón yang terpental kembali menghasilkan distribusi komposisi dan
karakteristik sinar x menghasilkan distribusi elemen terdapat pada objek.

84
Preparasi sampel dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, cara basah dan
kering.
Preparasi cara basah terdiri dari beberapa tahap yakni cleaning,
prefixation, postfixation, dehidrasi dan t-butanol freeze drying. Pada tahapan
cleaning, sampel di awetkan dalam alkohol dan dicuci dengan garam fisiologis
(± 2jam) pada T=4°C, dan diagitasi dalam ultrasonication selama ± 5menit.
Tahapan selanjutnya, sampel yang telah bersih dimasukkan ke dalam 2.5%
glutaraldehyde sol beberapa jam pada Kemudian pada tahapan postfixation
sampel direndam dalam 2% tannic acid s/d 6jam (T=4°C), dicuci dengan
buffer selama 15 menit (T=4°C, 4 × ). Lalu dicuci kembali dengan 1% OsO4sol
(2-4 jam, T=4°C) dan terakhir dicuci dengan air destilata selama 15menit.
Pada tahapan dehidrasi, sampel dicuci dengan alkohol 5% (5menit, 4°C, 4 × ),
75% (20menit, 4°C), 85% (20menit, 4°C), 94% (20menit, suhu ruang), dan
absolut (10menit, suhu ruang, 2 × ) secara berurutan. Tahap akhir, sampel
direndam di dalam t-butanol selama 10menit pada suhu ruang (2 × ) dan
kemudian di freeze di suhu -3°C atau -20°C sampai t-butanol hilang (±2jam).
Sebaliknya, preparasi secara kering lebih mudah yaitu hanya dengan
menjatuhkan sampel serbuk di atas preparat yang telah ditempel di sebuah
tubs logam setipis mungkin.
Sampel yang telah di siapkan dicoating dengan lapisan gold selama ±
30 menit. Sampel yang telah dicoating siap diamati dengan SEM voltase
akselerasi sebesar 20 kv.

85
Lampiran 3. Gambar sampel oleoresin dan mikrokapsul

Oleoresin Jahe

• Mikrokapsul MG (2:1) Mikrokapsul MGSc Mikrokapsul MSc (2:1)


(2:0.5:0.5)

• Mikrokapsul MSC Variasi Suhu Inlet dan Laju alir umpan


160/15 160/20 170/15 170/20

180/15 180/20 190/15 190/2

86
Lampiran 6a. Hasil analisis keragaman kadar air mikrokapsul dengan
variasi bahan penyalut

ANOVA
Source of
Variation SS df MS F Hit P-value F crit
Komposisi
Penyalut 1,6602 2 0,8301 16,6798 0,003542 5,1432
Eror 0,2986 6 0,0498
Total 1,9588 8
Komposisi bahan penyalut memberikan pengaruh nyata terhadap nilai kadar air
produk mikrokapsul (FHit >Fcrit)

Lampiran 6b. Uji lanjut Duncan terhadap nilai kadar air (Alpha = 5%)

Komposisi Kelompok
Penyalut 1 2

Duncan(a,b) MSc (A)1,54


MG (B)2,30
MGSc (B)2,55
Berada pada subset yang sama berarti tidak berbeda nyata.

Lampiran 7a. Hasil analisis keragaman aw mikrokapsul dengan variasi


bahan penyalut

ANOVA
Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Komposisi
Penyalut 0,006561 2 0,00328 26,12655 0,001093 5,143253
Eror 0,000753 6 0,000126
Total 0,007314 8
Komposisi penyalut memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai aw
mikrokapsul (FHit >F crit).

Lampiran 7b. Uji lanjut Duncan terhadap nilai aw (Alpha = 5%)

Subset
Komposisi Penyalut 1 2
Duncan(a,b) MSc 0,314 (A)
MG 0,361 (B)
MGSC 0,377 (B)
Berada pada subset yang sama berarti tidak berbeda nyata.
Lampiran 8a. Hasil analisis keragaman surface oil mikrokapsul dengan
variasi bahan penyalut

ANOVA
Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Komposisi 2,64E-
Penyalut 0,244206 2 0,122103 97,7474 05 5,143253
Eror 0,007495 6 0,001249
Total 0,251701 8
Komposisi penyalut memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai surface oil
mikrokapsul (FHit >F crit).

Lampiran 8b. Uji lanjut Duncan terhadap surface oil (alpha=5%)

Komposisi_Penyalut Subset
1 2 3
Duncan(a,b) MSC 0,1522
MGSC 0,2746
MG 0,5463
Berada pada subset yang sama berarti tidak berbeda nyata.

Lampiran 9a. Hasil analisis keragaman total volatile oil mikrokapsul


dengan variasi bahan penyalut

ANOVA
Source of
Variation SS df MS Fhit P-value F crit
Komposisi
Penyalut 0,293283 2 0,146641 20,17354 0,00217 5,143253
Eror 0,043614 6 0,007269
Total 0,336897 8
Komposisi penyalut memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai total volatile
oil mikrokapsul (FHit >F crit).

Lampiran 9b. Uji Lanjut Duncan terhadap total volatile oil (alpha :5%)

Komposisi Penyalut Subset


1 2 3
Duncan(a,b) MSC 1,75
MGSC 1,93
MG 2,19

2
Lampiran 10a. Hasil analisis keragaman oil retention mikrokapsul dengan
variasi bahan penyalut

ANOVA
Source of
Variation SS df MS FHit P-value F crit
Komposisi
Penyalut 518,2381 2 259,119 20,15494 0,002175 5,143253
Eror 77,13813 6 12,85636
Total 595,3762 8
Komposisi penyalut memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai oil retention
mikrokapsul (FHit >F crit).

Lampiran 10b. Uji lanjut Duncan terhadap oil retention (alpha :5%)

Komposisi_Penyalut Subset
1 2 3
MSC 73,7
Duncan(a,b)
MGSC 81,0
MG 92,2
Berada pada subset yang sama berarti tidak berbeda nyata.

Lampiran 11a. Hasil analisis keragaman kelarutan dalam air mikrokapsul


dengan variasi bahan penyalut

ANOVA
Source of
Variation SS df MS FHit P-value F crit
Komposisi
Penyalut 4,266422 2 2,133211 28,9358 0,000829 5,143253
Eror 0,442333 6 0,073722
Total 4,708756 8
Komposisi penyalut memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kelarutan
dalam air (FHit >F crit).

Lampiran 11b. Uji lanjut Duncan terhadap kelarutan dalam air

Komposisi
Subset
Penyalut
1 2 3
MSc 94,16
Duncan(a,b)
MGSc 94,77
MG 95,83
Berada pada subset yang sama berarti tidak berbeda nyata.

3
Lampiran 12a. Hasil analisis keragaman kadar air mikrokapsul variasi
kondisi spray drying

ANOVA
Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Suhu Inlet 3,532969 3 1,177656 77,70103 2,94E-06 4,066181
Laju alir 2,520156 1 2,520156 166,2784 1,24E-06 5,317655
Interaksi 0,292969 3 0,097656 6,443299 0,015804 4,066181
Eror 0,12125 8 0,015156
Total 6,467344 15
Perlakuan suhu inlet, laju alir dan interaksinya memberikan pengaruh yang nyata
terhadap nilai kadar air mikrokapsul (FHit >F crit).

Lampiran 12b. Uji lanjut Duncan kadar air


Alpha =0,05
Suhu_inlet Subset
1 2 3
Duncan(a,b) 190 1,875
180 2,075
170 2,325
160 3,113

Lampiran 13a. Hasil analisis keragaman aw mikrokapsul variasi kondisi


spray drying

ANOVA
Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Suhu Inlet 0,024283 3 0,008094 520,1111 1,66E-09 4,066181
Laju alir 0,017096 1 0,017096 1098,51 7,49E-10 5,317655
Interaksi 0,002069 3 0,00069 44,31995 2,49E-05 4,066181
Eror 0,000125 8 1,56E-05
Total 0,043572 15
Perlakuan suhu inlet, laju alir dan interaksinya memberikan pengaruh yang nyata
terhadap nilai aw mikrokapsul (FHit >F crit).

Lampiran 13b. Uji lanjut Duncan aw (alpha =5%)

Suhu Inlet Subset


1 2 3 4
Duncan(a,b) 190 0,314
180 0,334
170 0,354
160
0,418
Berada pada subset yang sama berarti tidak berbeda nyata.

4
Lampiran 14a. Hasil analisis keragaman surface oil variasi kondisi spray
drying

ANOVA
Source of
Variation SS df MS F P-value F crit
Suhu Inlet 0,001344 3 0,000448 14,9047 0,001224 4,066181
Laju Alir 0,000467 1 0,000467 15,51773 0,0043 5,317655
Interaksi 9,16E-05 3 3,05E-05 1,015258 0,43516 4,066181
Eror 0,000241 8 3,01E-05
Total 0,002143 15
Perlakuan suhu inlet, laju alir memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai
Surface Oil mikrokapsul (FHit >F crit).

Lampiran 14b. Uji lanjut Duncan Surface_Oil ( Alpha =5%)

Suhu_Inlet Subset
1 2
Duncan(a,b) 190 0,1629
180 0,1632
170 0,1656
160 0,1849
Berada pada subset yang sama berarti tidak berbeda nyata.

Lampiran 15. Hasil analisa keragaman kelarutan dalam air variasi kondisi
spray drying

ANOVA
Source of
Variation SS df MS FHit P-value F crit
Suhu Inlet 0,58535 3 0,195117 1,61973 0,260027 4,066181
Laju Alir 0,093025 1 0,093025 0,772232 0,405148 5,317655
Interaksi 0,192925 3 0,064308 0,533845 0,671867 4,066181
Eror 0,9637 8 0,120462

Total 1,835 15
Perlakuan suhu inlet dan laju alir tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
nilai kelarutan dalam air (Fhit<Fcrit).

5
Lampiran 16a. Hasil GCMS minyak atsiri oleoresin jahe

Alpha -zingiberene

Beta -sesquiphelandreden

farnesene
Komponen % area
Alpha-zingiberene 50.73
Farnesene 14.51
Beta-Sesquiphelandrene 19.06
Beta-eudesemol 0.77

Lampiran 16b. Hasil GCMS minyak atsiri flavor terenkapsulasi


(MSc:170:15)

Alpha -zingiberene

Beta -sesquiphelandreden

farnesene

Komponen % area
Alpha-zingiberene 52.58
Farnesene 14.89
Beta-Sesquiphelandrene 19.48
Beta-eudesemol 1.03

6
Lampiran 16c. Hasil GCMS minyak atsiri flavor terenkapsulasi
(MSc:190:15)

Alpha -zingiberene

Beta -sesquiphelandren

Komponen % area
Alpha-zingiberene 46.59
Farnesene 17.31
farnesene
Beta-Sesquiphelandrene 18.88
Beta-eudesemol 0.70

7
Lampiran 17. Analisis nilai ekonomis oleoresin dan mikrokapsul
1. Harga jahe emprit di pasaran bervariasi tergantung kualitas.
Asumsi harga jahe standar ekspor = Rp.7000-10.000,-/kg
(Depperind, 2005)

Jahe : 10 kg Konversi 60-75% hilang Jahe kering 2.5 kg


Harga jahe : (kadar air 5-10%)
( 10 × 10 .000 = Rp. 100.000,-)

Oleoresin 250 gram*

(*rendemen pada produk ekspor = 10 %, harga Rp. 500.000/250 gram,


dengan kadar atsiri 35%, www.essentialoil.com )
Harga jual 250 gram oleoresin ≈ Rp. 500.000,-
Dari hasil perbandingan kasar harga keduanya maka dapat disimpulkan;
• Nilai ekonomis oleoresin diprediksi mencapai 5 kali lebih
tinggi dibandingkan nilai jahe segar.
2. Asumsi :
I. Oleoresin 10 gram (kadar atsiri : 35%) : Rp. 20.000,
II. Dienkapsulasi dengan bahan penyalut Maltodekstrin-Natrium kaseinat
(MSC (2:1))
III. Rendemen mikrokapsul 85%, emulsi 1,5 liter (20% penyalut)
menghasilkan 255 gram mikrokapsul.
Biaya variabel produksi :
• Bahan aktif 30 gram oleoresin≈ Total volatile oil (35%)
Rp. 60.000, -
( Rp. 5.714/ gram volatile oil)
• Maltodekstrin (200 gram) Rp. 15.000, -
• Na-Kas (100 gram) Rp. 25.000, -
Rp.100.000,-

8
Biaya pengolahan dan operasi:
Spray drying, Homogenizer Rp 250.000,00-/operasi,
Operator Rp 40.000,00-/hari ________+
Jumlah total biaya produksi Rp. 390.000,00-

Mark up harga 60 %, sehingga harga jual 255 gram mikrokapsul:


(60 / 100 × Rp.390.000,−) + Rp.390.000,− = Rp.624.000,−
Oil retention 92.1 %, sehingga total volatile oil adalah 3,22%.
Total volatile oil dari 255 gram mikrokapsul = 8.211 gram oil
Jadi, harga jual : Rp. 75.995.6,-/gram volatile oil

Jadi, nilai ekonomis mikrokapsul dibandingkan dengan oleoresin adalah :


Rp.75.995.6,−
= 13.2, atau
Rp.5.714
13 kali lebih tinggi dibandingkan dengan oleoresin jahe.

Anda mungkin juga menyukai