Skripsi
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Mengetahui,
Prof. Dr. Ir. Kesuma Sayuti, MS Dr. Ir. Feri Arlius, M.Sc
NIP. 196104281986032001 NIP. 196712251993021001
䇅 ⺁ 䇅 Ϧ˴ ⺁ 䇅 䇅
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis ucapkan kepada Allah
SWT atas segala rahmat, karunia, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Perbedaan Penambahan
Angkak Beras terhadap Karakteristik Mi Kering dari Tepung Terigu dan
Tepung Tapioka”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi
untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas Teknologi
Pertaninan Universitas Andalas Padang.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Ir. Alfi Asben, M.Si
selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Neswati, S.TP, M.Si selaku Dosen
Pembimbing II yang telah memberikan arahan, saran, bantuan dan bimbingan
dalam penulisan skripsi ini. Penghargaan, penghormatan dan ucapan terimakasih
yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada orang tua dan keluarga besar
penulis yang telah memberikan dukungan materil dan moril, motivasi serta doa
kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada para dosen
Program Studi Teknologi Hasil Pertanian dan karyawan yang telah memberi
bantuan serta kepada teman-teman seperjuangan yang telah membantu penulis
menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan. Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi
penulis sendiri, pembaca dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya
bidang teknologi hasil pertanian.
P.H.S
7
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR TABEL...................................................................................... v
ABSTRAK.................................................................................................. ix
I. PENDAHULUAN............................................................................. 1
1.1 Latar belakang.............................................................................. 1
1.2 Tujuan Penelitian.......................................................................... 4
1.3 Manfaat Penelitian........................................................................ 4
1.4 Hipotesis....................................................................................... 5
iii
3.5.9 Uji Warna........................................................................... 23
3.5.10 Uji Intensitas Pigmen....................................................... 24
3.5.11 Uji pH............................................................................... 24
3.5.12 Uji Lovastatin................................................................... 24
3.5.13 Angka Lempeng Total...................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 52
LAMPIRAN................................................................................................ 57
iv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
v
Bubuk Angkak...................................................................................... 48
21. Kandungan Lovastatin Mi Kering dengan Penambahan Bubuk
Angkak.................................................................................................. 50
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Angkak..................................................................................................... 10
2. Radar Uji Hedonik Mi Kering Mentah.................................................... 44
3. Radar Uji Hedonik Mi Kering Siap Konsumsi........................................ 49
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
viii
Pengaruh Perbedaan Penambahan Angkak Beras terhadap
Karakteristik Mi Kering dari Tepung Terigu dan Tepung
Tapioka
ABSTRAK
ix
The Effect of Differences in Red Mold Rice (Angkak) Addition on
Characteristics of Dried Noodles from Wheat Flour and Tapioca
Flour
ABSTRACT
x
I. PENDAHULUAN
Pangan merupakan salah satu kebutuhan yang sangat mendasar yang harus
dipenuhi dalam kehidupan. Mi adalah produk pangan yang berasal dari Cina, yang
terbuat dari tepung, bentuknya menyerupai tali, dan telah lama dikenal oleh
masyarakat luas. Mi juga merupakan produk pangan yang paling sering
dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat baik sebagai sarapan atau sebagai
cemilan dan cukup digemari oleh setiap kalangan masyarakat. Produk mi
umumnya digunakan sebagai sumber energi karena kandungan karbohidratnya
yang cukup tinggi. Selain itu, cara penyajian mi sangatlah mudah. Mi juga dapat
digunakan sebagai variasi dalam lauk pauk serta sebagai pengganti nasi (Nasution,
2005).
Menurut BSN (1996), mi kering adalah produk makanan kering yang
dibuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain dan bahan
tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mi. Mi kering merupakan
jenis mi yang memiliki kadar air sekitar 8-10% (Astawan, 2008). Dikarenakan mi
dalam kondisi kering dan sedikit kadar air, maka daya simpannya akan lebih
panjang dan penanganannya relatif lebih murah.
Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan mi adalah tepung terigu.
Tepung terigu diperoleh dari hasil peggilingan biji gandum dan memiliki
kemampuan membentuk gluten saat dibasahi air sehingga membuatnya bersifat
elastis (Astawan, 2008). Penggunaan terigu untuk industri pengolahan mi relatif
besar. Oleh karena itu digunakan tepung tapioka untuk mensubstitusi penggunaan
terigu dalam pembuatan mi kering (Astawan, 2008).
Di pasaran, mi yang dihasilkan oleh industri-industri pada umumnya
berwarna kekuningan. Warna menjadi salah satu parameter yang sangat
menentukan kesukaan konsumen terhadap suatu produk. Suatu bahan yang dinilai
bergizi, enak, dan bertekstur baik tidak akan dimakan apabila memiliki warna
yang tidak sedap dipandang atau memberi kesan yang menyimpang dari warna
yang seharusnya (Winarno, 1991).
2
sehingga bisa dijadikan sebagai zat pengawet alami pada makanan dan minuman
(Sumaryati dan Sudiyono, 2015). Metabolit sekunder lainnya yang dihasilkan
adalah monakolin K atau lovastatin, yaitu senyawa yang bisa menghambat enzim
HMG-CoA reduktase yang berperan dalam biodegradasi kolesterol (Kawuri,
2013).
Medium pertumbuhan Monascus purpureus bisa menggunakan substrat
padat maupun cair. Dalam pembuatan angkak beras digunakan beras putih pera
yaitu Beras IR 42. Santoso (1985) cit Kasim, Suharna, dan Nurhidayat (2006)
melaporkan bahwa beras pera dengan intensitas amilosa tinggi (25-39%) dan
amilopektin yang rendah merupakan substrat yang baik untuk pembuatan angkak
dan kandungan lovastatinnya. Kandungan protein pada beras sekitar 6-10%.
Selain itu, beras juga mengandung senyawa yang dapat mempengaruhi produksi
pigmen seperti kandungan vitamin B1, fosfat, kalium, asam amino, dan garam
zinc (Linn, 1973 cit Kasim, Suharna, dan Nurhidayat, 2006). Kadar lovastatin
yang dihasilkan dari substrat beras kultivar Bah Butong yaitu 0,23-0,27%, beras
kultivar BP 1804 IF yaitu 0,20-0,21%, dan beras putih IR 42 yaitu mencapai
0,92%. Selain kadar lovastatin yang tinggi, beras putih IR 42 juga menghasilkan
intensitas pigmen yang tinggi sehingga beras putih pera lebih baik digunakan
sebagai substrat untuk pembuatan angkak (Kasim, Suharna, dan Nurhidayat,
2006).
Angkak dapat digunakan untuk beberapa kelompok pangan, yaitu untuk
mewarnai produk pangan hewani, minuman, pangan laut (sea food), dan nata de
coco. Angkak juga mengandung antioksidan sehingga bisa digunakan untuk
pemutih atau pelindung kulit dan pewarna lipstick (Timotius, 2004). Jumlah atau
dosis yang digunakan untuk pewarna pangan hewani berkisar 2000-4000 ppm,
untuk minuman ringan berkisar 0,002-0,005% (2-5 ppm), dan untuk minuman
anggur merah berkisar 0,2-1 % (200-1000 ppm). Sedangkan untuk pembuatan
nata de coco, M. purpureus ditambahkan setelah terbentuk nata, sehingga nata
dapat dengan mudah terwarnai (Sheu, Wang dan Shyu., 2000).
Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan penambahan angkak pada
makanan yaitu selai kolang-kaling markisa dengan konsentrasi 0-4% (Rahmawati,
2018), sosis daging dengan konsentrasi 0-2% (Atma, 2015), tempe kacang buncis
putih 0-3% (Irdawati dan Fifendy, 2012). Namun konsentrasi angkak yang
4
1.4 Hipotesis
2.1 Mi Kering
Mi adalah produk pangan yang terbuat dari tepung terigu dengan atau tanpa
penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan,
berbentuk khas mi. Menurut Astawan (2008), mi kering merupakan mi segar yang
telah dikukus dan dikeringkan hingga kadar air berkisar 8-10%. Sedangkan
menurut BSN (1996), mi kering adalah produk makanan kering yang dibuat dari
tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan
makanan yang diizinkan, berbentuk khas mi.
Kandungan gizi mi sangat bervariasi tergantung pada jenis, jumlah, dan
kualitas bahan penyusunnya serta cara pembuatan dan penyimpanannya.
Komposisi gizi mi kering per 100 gram bahan dapat dilihat pada Tabel 1.
dan minyak sayur (Astawan, 2008). Menurut Astawan (2008) dan Bogasari (2003)
cit. Nanda (2015) mi kering dapat dibuat sesuai dengan tahapan-tahapan sebagai
berikut:
1. Pengadukan
Tepung terigu, tepung tapioka, larutan pengembang, telur dan bahan
tambahan lainnya dicampur dan diaduk. Untuk menghasilkan adonan yang
baik, ditambahkan air 28-38%. Pengadukan bertujuan untuk mencampurkan
air dengan bahan lain agar terbentuk adonan yang seragam,
mengembangkan sebagian gluten, dan membentuk warna. Adonan yang
baik dicirikan dengan struktur kompak, penampakan mengkilat, warna
kekuningan yang merata, elastis, tidak lengket, dan tidak mudah terberai,
lunak, serta lembut.
2. Penekanan dan rolling
Adonan dimasukkan ke dalam mesin roll press sehingga adonan menjadi
lempengan-lempengan. Tujuan dari proses ini yaitu menghaluskan serat-
serat gluten dan membuat adonan menjadi lembaran. Pembentukan
lembaran terdiri dari tiga tahapan dengan tiga macam ketebalan. Pada tahap
1 ketebalan dibuat 7 mm, pada tahap 2 ketebalan dikurangi hingga 4 mm,
dan pada tahap 3 lembaran ditipiskan hingga ketebalan 2 mm. Lembaran
yang baik menghasilkan mi yang elastis, kenyal dan halus.
3. Pencetakan
Lembaran yang tipis dimasukkan ke mesin pencetak (slitter) yang
mengubah lembaran mi menjadi untaian mi. Untaian mi yang dihasilkan
panjangnya sekitar 35 cm dengan ketebalan 2 mm.
4. Pengukusan
Pengukusan dilakukan menggunakan dandang besar yang berisi air
mendidih. Pengukusan dilakukan selama 15 menit pada suhu 100°C agar
terjadi geletanisasi pati. Hal ini mengakibatkan mi dapat menyerap air lebih
banyak saat perebusan sehingga cepat masak.
5. Pemotongan
Setelah dikukus, mi didinginkan sementara untuk menghilangkan sisa uap
air yang masih menempel pada permukaan mi. Mi selanjutnya dipotong agar
bisa dimasukkan ke dalam cetakan yang berbentuk bulat ataupun persegi.
8
6. Pengeringan
Mi dikeringkan dengan oven pada suhu 100°C selama 1 jam hingga kadar
airnya mencapai 8-10%. Mi yang sudah kering akan menjadi produk kering
dan renyah, mudah dipatahkan serta terbentuk lapisan protein.
7. Pendinginan
Pendinginan dilakukan untuk membuang sisa-sisa uap panas dari produk
dan membuat tekstur mi menjadi keras. Selain itu pendinginan dilakukan
sebagai persiapan untuk pengemasan, menghindari pemasakan lebih lanjut
yang dapat menyebabkan perubahan warna produk, menghindari kondensasi
saat dikemas dan menghindari kemungkinan untuk ditumbuhi jamur.
8. Pengemasan
Setelah dingin, mi dikemas dan disimpan ditempat yang sejuk dan kering.
Tujuan pengemasan yaitu untuk melindungi produk dan memperpanjang
umur simpannya.
Menurut Astawan (2008), Mudjajanto dan Yulianti (2004) cit. Nanda (2015),
berdasarkan kandungan gluten (protein), tepung terigu terbagi menjadi tiga jenis
yaitu sebagai berikut:
1. Tepung Terigu Protein Tinggi (Hard flour)
Terigu jenis ini dihasilkan dari penggilingan gandum jenis hard atau keras.
Terigu tersebut memiliki sifat gluten yang kuat, kandungan protein 12-13%,
sifat elastisitasnya baik, dan tidak mudah putus. Biasanya digunakan dalam
pembuatan roti dan mi berkualitas tinggi. Contoh yang beredar di pasaran
adalah terigu cap Cakra Kembar.
2. Tepung Terigu Protein Sedang (Medium Hard flour)
Terigu protein sedang merupakan terigu campuran dari jenis soft dan hard.
Terigu ini mempunyai sifat gluten sedang, kadar protein 9,5-11%. Biasanya
digunakan dalam pembuatan mi, roti, macam-macam kue serta biskuit.
Contoh yang beredar di pasaran adalah terigu cap Segitiga Biru.
3. Tepung terigu Protein Rendah (Soft flour)
Terigu protein rendah berasal dari penggilingan gandum jenis soft atau
lunak. Terigu ini mempunyai sifat gluten yang lemah, kandungan protein 7-
8,5%, sifat elastisitasnya kurang dan mudah putus. Biasanya digunakan
untuk pembuatan cake, cookies, biskuit dan kue kering. Contoh terigu yang
beredar dipasaran yaitu terigu cap Kunci Biru.
10
2.3 Angkak
Angkak atau Red Mold Rice (RMR) merupakan beras yang difermentasi
dengan menggunakan kapang Monascus purpureus. Secara tradisional angkak ini
digunakan sebagai tambahan makanan yaitu pewarna alami makanan. Produk ini
dipasarkan dan dikemas dalam botol dan telah dipasteurisasi dalam bentuk agregat
dan lembab, bentuk kering (beras merah) atau dalam bentuk tepung (Hsieh, Pao,
dan Li, 2008). Selain dapat dijadikan pewarna alami untuk makanan dan minuman,
pigmen angkak juga digunakan sebagai pengawet makanan karena terdapat
kandungan anti mikroba (Wong and Kochler, 1981). Angkak juga dapat
digunakan untuk menaikkan jumlah trombosit bagi penderita demam berdarah
(DBD) (Setiawan, 2015). Adapun gambar angkak beras dapat dilihat pada
Gambar 1.
(dimerumic acid) yang akan menghambat NADPH dan besi penyebab peroksidasi
lemak.
Pemanfaatan angkak sebagai pewarna alami berkembang sangat pesat di
Asia dan Eropa. Serbuk angkak menghasilkan pewarna-pewarna alami yang
memiliki struktur molekul dan sifat kimia yang mirip serta bersifat larut dalam air
dan etanol. Suatu senyawa yang memiliki sifat larut dalam air umumnya kurang
stabil bila dibandingkan dengan larut etanol. Stabilitas pewarna dapat dipengaruhi
oleh suhu dan cahaya, dan gejala ketidakstabilannya dapat berupa perubahan
warna, aroma/bau, dan adanya penggumpalan (Indrawati, Tisnadjaja, dan
Ismawatie, 2010). Kelarutan pigmen angkak akan meningkat seiring dengan
peningkatan suhu air hingga 100°C dan intensitas warna angkak akan mengalami
penururan bila dipanaskan dalam air matang selama 1 jam atau di atas suhu 100°C
(Asben dan Permata, 2017).
Menurut Tedjautama dan Zubaidah (2014) hasil uji kestabilan pigmen
angkak terhadap suhu menunjukkan terjadi penurunan intensitas pigmen merah
angkak setelah diinkubasi pada suhu tertentu selama 1 jam. Intensitas pigmen
angkak akan mengalami penurunan pada suhu 121°C dan 180°C selama 1 jam.
Menurut Zubaidah (2015), intensitas pigmen merah angkak setelah 1 jam
pemanasan yaitu pada suhu 100°C sebesar 3,2, suhu 121°C sebesar 3, dan suhu
180°C sebesar 2,7. Pada suhu lebih dari 150°C selama 1 jam terjadi penurunan
yang nyata terhadap pigmen merah, sehingga pemasakan angkak sebaiknya tidak
melebihi suhu 150°C selama 1 jam (Jenie, Mitrajanty dan Fardiaz, 1997).
Sedangkan untuk kestabilan pigmen angkak terhadap pH, pada kondisi alkali dan
netral lebih stabil serta akan mengalami penurunan dan warnanya memudar pada
pH asam. Pigmen angkak tersusun dari beberapa gugus kromofor dan ikatan
rangkap yang apabila mendapat perlakuan panas yang berlebih dan adanya ion H+
pada kondisi asam, maka akan mengalami kerusakan seperti terlepasnya gugus
fungsional yang menyusun gugus kromofor (Tedjautama dan Zubaidah, 2014).
Jumlah atau dosis angkak yang digunakan untuk pewarna pangan hewani
berkisar 2-4% (2000-4000 ppm), untuk minuman ringan berkisar 0,002-0,005%
(2-5 ppm), dan untuk minuman anggur merah berkisar 0,2-1 % (200-1000 ppm)
(Sheu, Wang dan Shyu., 2000). Pada umumnya zat pewarna yang ditambahkan
pada makanan ataupun minuman tidak lebih dari 5% dan biasanya digunakan
14
sesuai kebutuhan. Pada penelitian penambahan angkak sebanyak 0%, 0,5%, 1%,
1,5%, dan 2% terhadap sosis daging sapi mempengaruhi penampakan, warna dan
tekstur sosis (Atma, 2015). Selain itu, angkak juga ditambahkan pada produk selai
kolang-kaling markisa dengan konsentrasi 0-4% (Rahmawati, 2018) dan tempe
kacang buncis putih 0-3 % (Irdawati dan Fifendy, 2012).
Model matematis dari Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang digunakan adalah :
Yij = µ + Pi + Eij
Keterangan:
Yij = Hasil pengamatan perlakuan ke-i (A, B, C, D, E, F) yang terletak pada
ulangan ke-j (1, 2, 3)
µ = Nilai rata-rata umum
Pi = Pengaruh penambahan konsentrasi angkak pada mi kering pada taraf ke-i
(A, B, C, D, E, F)
Eij = Pengaruh sisa pada satuan percobaan yang mendapat perlakuan ke-i yang
terletak pada ulangan ke-j
i = Banyak perlakuan
j = Banyak ulangan pada perlakuan ke-i
3.4.4 Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan pada penelitian ini ada dua yaitu sebagai
berikut:
1. Angkak
Pengamatan yang dilakukan terhadap angkak diantaranya rendemen angkak,
kadar air, nilai pH, intensitas pigmen, aktivitas antioksidan dan kandungan
lovastatin.
2. Mi Kering
Pengamatan yang dilakukan terhadap produk mi kering diantaranya uji
hedonik (warna, aroma, tekstur), kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar
lemak, kadar karbohidrat, uji warna, aktivitas antioksidan, kandungan
lovastatin untuk produk mi kering terbaik berdasarkan uji hedonik dan
angka lempeng total. Pengamatan juga dilakukan terhadap mi kering yang
sudah masak (siap konsumsi) yaitu uji hedonik (warna, aroma, rasa, tekstur).
Keterangan:
V1 = volume HCl 0,01 N untuk titrasi sampel
V2 = volume HCl 0,01 N untuk titrasi blanko
ke dalam kertas saring pembungkus dan ekstrak dengan heksana selama 5-6 jam
pada suhu kurang dari 80°C. Suling larutan heksana tersebut dan keringkan
ekstrak lemak pada suhu 100-105°C. Dinginkan dan timbang. Kadar lemak dapat
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
(W2-W1)
Kadar lemak (%) = x 100%
W
Keterangan:
W = bobot sampel (g)
W1 = bobot labu lemak sebelum ekstraksi (g)
W2 = bobot labu lemak setelah ekstraksi (g)
hijau, positif = merah) dan b* (negatif = biru, positif = kuning). Pengukuran uji
warna dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Warna = 100 – [(100 - L*)2+ a*2 + b*2]1/2
Keterangan:
L* = Lightness (Kecerahan) berkisar antara 0 (hitam) sampai 100 (putih)
a* = Hue (Warna kromatik) berkisar antara +100 (merah) sampai -80 (hijau)
b* = Chroma (Intensitas warna) berkisar antara +70 (biru) sampai -70 (kuning)
asetonitril, 0,1 ml asam asetat 0,1% (pengganti asam fosfat) dan water injection
hingga mencapai tanda tera. Sedangkan persiapan sampel pada penelitian yang
dilakukan yaitu 2 g sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam testube. Lalu
ditambahkan 10 ml asetonitril dan 0,5 ml asam asetat 0,1%. Agar warna produk
terekstrak dengan optimal khusus untuk sampel/produk kering, maka digunakan
kombinasi water injection dengan asetonitril sebagai pelarut dengan perbanding
3:7 yaitu 3 ml water injection dan 7 ml asetonitril. Fase gerak yang digunakan
pada pengujian ini yaitu asetonitril dan asam asetat.
Analisis yang dilakukan terhadap bubuk angkak yaitu kadar air, aktivitas
antioksidan, intensitas pigmen, derajat keasaman (pH), rendemen, dan lovastatin.
Hasil analisis bubuk angkak dapat dilihat pada Tabel 5.
bahan tersebut. Semakin tinggi kadar air bubuk angkak maka umur simpan akan
semakin pendek. Selain itu kadar air yang tinggi akan memudahkan
mikroorganisme yang tidak diharapkan tumbuh pada bubuk angkak. Oleh karena
itu kadar air yang rendah dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang
tidak diharapkan sehingga umur simpan bubuk angkak lama.
Hasil analisis derajat keasaman (pH) bubuk angkak yaitu 4,67. Menurut
Asben dan Kasim (2015), kondisi optimal untuk proses pembentukan pigmen
pada fermentasi angkak substrat beras yaitu pH 5-6 pada suhu ruang dan
kelembaban 56%. Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh pH bubuk angkak
mengalami penurunan. Menurut Rahmawati (2018), pada saat nutrisi kapang telah
berkurang dan habis digunakan untuk pertumbuhan, kapang akan memasuki fase
stasioner dimana pH media cenderung menurun dan konsentrasi CO2 meningkat.
Hal ini disebabkan nutrisi yang digunakan untuk pertumbuhan berkurang.
Hasil analisis aktivitas antioksidan bubuk angkak pada konsentrasi 100
ppm yaitu 26,92%. Menurut Wanti (2008), warna merah yang dihasilkan
Monascus purpureus merupakan pigmen alami yang mengandung antosianin yang
berperan sebagai antioksidan. Oleh karena itu kemampuan aktivitas antioksidan
pada angkak dipengaruhi oleh pigmen yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar
pigmen maka aktivitas antioksidan angkak akan semakin tinggi.
Hasil analisis intensitas pigmen bubuk angkak dengan menggunakan
spektrofotometer pada 3 panjang gelombang yaitu pada λ 400 nm (pigmen kuning)
sebesar 1,98, pada λ 470 nm (pigmen oranye) sebesar 2,10 dan pada λ 500 nm
(pigmen merah) sebesar 2,77. Warna yang dapat ditimbulkan oleh pigmen angkak
ada tiga yaitu kuning, oranye, dan merah. Dua pigmen utama angkak yaitu
monaskorubrin (merah) dan monaskoflavin (kuning) (Ma et al., 2000). Pada beras
putih pera intensitas pigmen kuning berkisar antara 1,12-2,33 dan intensitas
pigmen merah berkisar antara 0,40-2,50 (Kasim, Astuti, dan Nurhidayat, 2005).
Dengan demikian dapat dilihat bahwa intensitas pigmen yang dihasilkan bubuk
angkak lebih tinggi. Secara keseluruhan dari pengukuran intensitas pigmen bubuk
angkak terlihat lebih dominan pigmen merah dimana intensitas pigmennya lebih
tinggi dibandingkan pigmen lain untuk pengujian yang sama.
Menurut Timotius (2004), beras merupakan substrat terbaik untuk
pertumbuhan Monascus purpureus sehingga menghasilkan pigmen angkak. Selain
28
beras, ada beberapa jenis umbi dan bahan lain yang memiliki kandungan pati
cukup tinggi dapat digunakan sebagai substrat (Asben dan Kasim, 2015).
Intensitas pigmen merah angkak yang dihasilkan tergantung nutrisi dan kondisi
lingkungan. Semakin banyak kandungan pati pada bahan, nutrisi akan semakin
terpenuhi sehingga fermentasi akan semakin lama. Fermentasi yang mendapatkan
kandungan pigmen dengan akumulasi tertinggi yaitu fermentasi selama 3 minggu
(Asben dan Kasim, 2015).
Hasil analisis kandungan lovastatin bubuk angkak yaitu 484,92 ppm.
Kandungan lovastatin bubuk angkak yang didapatkan lebih tinggi dari penelitian
sebelumnya, dimana pada penelitian sebelumnya dengan waktu fermentasi selama
14 hari didapatkan kandungan lovastatin bubuk angkak sebesar 26,31 ppm
(Rahmawati, 2018), 95,8 ppm (Wahyuni, 2019) dan 441,6 ppm (Fitri, 2019).
Angkak mengandung lovastatin dengan jumlah yang berbeda-beda untuk setiap
produksinya. Hal ini tergantung oleh banyaknya jumlah sel Monascus purpureus
yang aktif selama fermentasi berlangsung (Tedjautama dan Zubaidah, 2014).
Selain itu ketersediaan nutrisi pada substrat dan keadaan lingkungan selama
fermentasi juga mempengaruhi metabolit yang dihasilkan Monascus purpureus
(Kasim, Suharna dan Nurhidayat, 2006). Kadar lovastatin berhubungan erat
dengan intensitas pigmen yang dihasilkan. Semakin pekat warna pigmen yang
dihasilkan, maka semakin banyak lovastatin yang diproduksi Kadar monakolin
paling tinggi dihasilkan pada fermentasi selama 14 hari. Pembentukan monakolin
terjadi pada fase stasioner pertumbuhan (Kasim, Suharna dan Nurhidayat, 2006).
Tabel 6. Nilai Rata-rata Kadar Air Mi Kering dengan Penambahan Bubuk Angkak
Kadar Air (%)
Perlakuan
(Rata-rata ± Standar Deviasi)
B (Penambahan Bubuk Angkak 1%) 9,59 ± 0,25
A (Tanpa Penambahan Angkak) 9,52 ± 0,17
C (Penambahan Bubuk Angkak 2%) 9,51 ± 0,27
D (Penambahan Bubuk Angkak 3%) 9,48 ± 0,07
E (Penambahan Bubuk Angkak 4%) 9,31 ± 0,30
F (Penambahan Bubuk Angkak 5%) 9,11 ± 0,09
KK : 2,25 %
mikroba. Semakin sedikit kandungan kadar air dalam bahan tersebut dapat
memperpanjang umur simpannya dibandingkan bahan yang memiliki kadar air
tinggi. Selain itu, menurut SNI (1996) kadar air mi kering yaitu 8-10%. Dengan
demikian dapat dilihat bahwa mi kering dengan penambahan bubuk angkak juga
memenuhi syarat mutu mi kering.
warna (°Hue) mi kering dengan penambahan bubuk angkak dapat dilihat pada
Tabel 11.
Tabel 11. Nilai Rata-rata Warna (°Hue) Mi Kering dengan Penambahan Bubuk
Angkak
Warna (°Hue)
Kisaran
Perlakuan L* a* b* (Rata-rata ± Standar
Warna
deviasi)
A (Tanpa 65,44 2,96 29,98 54,15 ± 6,15 a Yellow
Penambahan red
Angkak)
B (Penambahan 45,56 22,29 20,51 37,70 ± 2,64 b Red
Bubuk Angkak 1%)
C (Penambahan 38,67 24,45 17,32 31,74 ± 1,97 c Red
Bubuk Angkak 2%)
D (Penambahan 33,79 24,68 15,93 27,57 ± 0,53 c d Red
Bubuk Angkak 3%)
E (Penambahan 32,74 23,81 14,85 27,13 ± 1,78 c d Red
Bubuk Angkak 4%)
F (Penambahan 29,90 23,25 13,55 24,91 ± 0,71 d Red
Bubuk Angkak 5%)
KK : 8,75 %
Keterangan: Angka-angka pada lajur yang sama diikuti oleh huruf kecil yang tidak sama, berbeda
nyata menurut DNMRT pada taraf 5%
Masing-masing nilai L*, a*, dan b* memiliki kisaran nilai dari 0 sampai
±100. Notasi L* (kecerahan/lightness) menyatakan cahaya pantul yang
menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu dan hitam (0= hitam hingga 100=
putih). Notasi a* menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai
+a* (positif) yaitu merah dan –a* (negatif) yaitu hijau. Notasi b* menyatakan
warna kromatik biru-kuning dengan nilai +b* (positif) yaitu kuning dan -a*
(negatif) yaitu biru. °Hue menunjukkan proporsi warna yang terkandung pada
bahan. °Hue dikelompokkan sebagai berikut:
°Hue 18-54 : Red °Hue 198-234 : Blue Green
°Hue 54-90 : Yellow Red °Hue 234-270 : Blue
°Hue 90-126 : Yellow °Hue 270-306 : Blue Purple
°Hue 126-162 : Yellow Green °Hue 306-342 : Purple
°Hue 162-198 : Green °Hue 342-18 : Red Purple
Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi bubuk
angkak yang ditambahkan, maka semakin rendah nilai warna (°Hue) produk yang
dihasilkan sehingga warna produk akan semakin gelap. Pada perlakuan tanpa
penambahan bubuk angkak diperoleh nilai °Hue sebesar 54,15 yang menunjukkan
warna Yellow Red (°Hue 54-90), sedangkan nilai °Hue semua produk dengan
penambahan angkak yaitu sebesar 24,91-37,70 yang menunjukkan warna Red
(°Hue 18-54). Warna merah pada mi kering berasal dari pigmen alami angkak
yang merupakan hasil metabolit sekunder dari fermentasi Monascus purpureus
yang menggunakan beras sebagai substratnya (Timotius, 2004).
Tabel 13. Nilai Rata-rata Angka Lempeng Total Mi Kering dengan Penambahan
Bubuk Angkak
Perlakuan Angka Lempeng Total (cfu/g)
A (Tanpa Penambahan Angkak) 1,2 x 105
C (Penambahan Bubuk Angkak 2%) 2,5 x 104
B (Penambahan Bubuk Angkak 1%) 1,4 x 104
D (Penambahan Bubuk Angkak 3%) 6,9 x 103
E (Penambahan Bubuk Angkak 4%) 4,8 x 103
F (Penambahan Bubuk Angkak 5%) 4,0 x 103
SNI (1996), mikroba perusak yang mungkin tumbuh pada produk olahan terigu
adalah bakteri genus Bacillus dan beberapa jenis kapang. Bakteri yang tumbuh
pada makanan dapat menyebabkan berbagai perubahan penampakan, komposisi
kimia maupun cita rasa (Fardiaz, 1993). Menurut Akhigbemidu, Musa, dan
Kuforiji (2015), bakteri yang terisolasi pada produk mi yaitu Bacillus,
Staphylococcus, Pseudomonas, Aeromonas, dan Streptococcus lebih banyak
dibanding jamur yang terisolasi yaitu Aspergillus, Mucor, Penicillum,
Rhodotorula dan Candida.
Angkak mengandung monascidin yang merupakan senyawa yang bersifat
sebagai antibiotik atau antimikrobial yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri gram positif diantaranya Pseudomonas, Bacillus, dan Streptococcus
(Yulinery dan Nurhidayat, 2012). Dikarenakan sifatnya yang antibakteri, angkak
juga biasa digunakan untuk mengawetkan daging (Wong dan Kochler, 1981).
Pertumbuhan bakteri perusak yaitu Bacillus cereus mempunyai kadar hambat
minimum pada konsentrasi 4% angkak dan Bacillus stearothermopillus
mempunyai kadar hambat minimum pada konsentrasi 20% angkak (Sumaryati
dan Sudiyono, 2015). Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa semakin banyak
angkak yang ditambahkan, angka lempeng total mi kering semakin menurun.
Penambahan angkak dalam pembuatan mi kering memberikan pengaruh yang
nyata terhadap jumlah mikroba yang dapat tumbuh pada mi kering yang
dihasilkan. Selain itu, menurut SNI (1996) angka lempeng total mi kering yaitu
maksimal 1,0 x 106 cfu/g. Dengan demikian dapat dilihat bahwa mi kering dengan
penambahan bubuk angkak juga memenuhi syarat mutu mi kering.
konsumsi) dan tekstur dengan bantuan panelis sebanyak 20 orang. Skala yang
digunakan yaitu 1= sangat tidak suka, 2= tidak suka, 3= biasa, 4= suka, dan 5=
sangat suka.
Tabel 14. Nilai Rata-rata Uji Hedonik terhadap Warna Mi Kering dengan
Penambahan Bubuk Angkak
Warna
Perlakuan
(Rata-rata ± Standar deviasi)
E (Penambahan Bubuk Angkak 4%) 4,20 ± 0,77 a
F (Penambahan Bubuk Angkak 5%) 4,00 ± 0,80 a
D (Penambahan Bubuk Angkak 3%) 3,95 ± 0,51 a
C (Penambahan Bubuk Angkak 2%) 3,45 ± 0,83 b
A (Tanpa Penambahan Angkak) 3,15 ± 0,88 b
B (Penambahan Bubuk Angkak 1%) 2,95 ± 0,76 b
KK : 21,13 %
Keterangan : 1= sangat tidak suka, 2= tidak suka, 3= biasa, 4= suka, 5= sangat suka. Angka-angka
pada lajur yang sama diikuti oleh huruf kecil yang tidak sama, berbeda nyata
menurut DNMRT pada taraf 5%
Warna merupakan karakter visual yang dapat dinilai dengan mata sehingga
jika dalam penyajiannya kurang menarik, maka akan mengurangi ketertarikan
konsumen (Usu, Anshurullah dan Asyik, 2016). Menurut Irdawati dan Fifendy
(2012), penampilan makanan terutama warna merah dan kuning sangat
berpengaruh untuk menggugah selera. Warna mi kering yang dihasilkan pada
penelitian ini adalah kuning, oranye hingga merah pekat. Kombinasi pigmen
warna kuning bercampur dengan warna oranye dan merah memperlihatkan warna
akhir yang mengarah kepada warna merah tua yang lebih nyata pada angkak
(Asben dan Kasim, 2015). Dengan demikian semakin tinggi konsentrasi bubuk
angkak yang ditambahkan, maka warna merah yang dihasilkan produk akan
semakin pekat.
b. Aroma
Aroma merupakan penentu kualitas produk terhadap diterima produk atau
tidak. Bau makanan menentukan kelezatan makanan tersebut dan bau
berhubungan erat dengan indera penciuman. Timbulnya aroma disebabkan oleh
zat yang bersifat volatil (menguap), sedikit larut dalam air dan lemak (Usu,
Anshurullah dan Asyik, 2016). Berdasarkan hasil penelitian, tingkat kesukaan
terhadap aroma mi kering dengan penambahan bubuk angkak dapat dilihat pada
Tabel 15.
Tabel 15. Nilai Rata-rata Uji Hedonik terhadap Aroma Mi Kering dengan
Penambahan Bubuk Angkak
Aroma
Perlakuan
(Rata-rata ± Standar deviasi)
D (Penambahan Bubuk Angkak 3%) 3,55 ± 0,65
E (Penambahan Bubuk Angkak 4%) 3,50 ± 0,83
F (Penambahan Bubuk Angkak 5%) 3,50 ± 0,76
C (Penambahan Bubuk Angkak 2%) 3,25 ± 0,72
B (Penambahan Bubuk Angkak 1%) 3,25 ± 0,72
A (Tanpa Penambahan Angkak) 3,25 ± 0,44
KK : 20,37 %
Ket : 1= sangat tidak suka, 2= tidak suka, 3= biasa, 4= suka, 5= sangat suka
Hasil rata-rata uji hedonik aroma mi kering yang diperoleh dari penelitian ini
berkisar pada skala 3,25-3,55 yang berarti tingkat kesukaan dan penerimaan
panelis berada pada skala suka. Tingkat kesukaan aroma tertinggi terdapat pada
perlakuan D (penambahan bubuk angkak 3%) yaitu 3,55, sedangkan tingkat
kesukaan aroma terendah terdapat pada perlakuan A ( tanpa penambahan angkak)
yaitu 3,25.
Menurut Winarno (1991), aroma merupakan suatu zat atau komponen
yang memiliki beberapa fungsi dalam makanan, diantaranya dapat bersifat
memperbaiki, membuat lebih bernilai atau dapat diterima. Pembentukan aroma
bisa terjadi akibat perubahan dari bahan lainnya. Menurut Usu, Anshurullah dan
Asyik (2016), lemak dapat mempengaruhi aroma suatu makanan apabila
mengalami perubahan atau penguraian. Kerusakan lemak dapat menimbulkan
penyimpangan aroma. Angkak memiliki sifat untuk meningkatkan cita rasa
makanan karena mengandung ikatan oligeptida yang dihasilkan selama fermentasi
(Indrawati, tisnadjaja, dan Ismawatie, 2010).
c. Tekstur
Tekstur merupakan sensasi makanan yang dapat diamati dengan mulut
(digigit, dikunyah, dan ditelan) ataupun perabaan dengan jari (Kartika, 2010).
Menurut Yasni (2018), penginderaan tekstur berasal dari sentuhan yang dapat
ditangkap oleh seluruh permukaan kulit. Berdasarkan hasil penelitian, tingkat
kesukaan terhadap tekstur mi kering dengan penambahan bubuk angkak dapat
dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Nilai Rata-rata Uji Hedonik terhadap Tekstur Mi Kering dengan
Penambahan Bubuk Angkak
Tekstur
Perlakuan
(Rata-rata ± Standar deviasi)
D (Penambahan Bubuk Angkak 3%) 4,00 ± 0,65
A (Tanpa Penambahan Angkak) 4,00 ± 0,56
F (Penambahan Bubuk Angkak 5%) 3,90 ± 0,72
B (Penambahan Bubuk Angkak 1%) 3,85 ± 0,67
E (Penambahan Bubuk Angkak 4%) 3,75 ± 1,07
C (Penambahan Bubuk Angkak 2%) 3,75 ± 0,86
KK : 19,91 %
Ket : 1= sangat tidak suka, 2= tidak suka, 3= biasa, 4= suka, 5= sangat suka
43
Tabel 17. Nilai Rata-rata Uji Hedonik terhadap Warna Mi Kering dengan
Penambahan Bubuk Angkak
Warna
Perlakuan
(Rata-rata ± Standar deviasi)
F (Penambahan Bubuk Angkak 5%) 4,25 ± 0,79 a
E (Penambahan Bubuk Angkak 4%) 4,20 ± 0,77 a
D (Penambahan Bubuk Angkak 3%) 3,90 ± 0,79 a b
C (Penambahan Bubuk Angkak 2%) 3,55 ± 0,69 b
A (Tanpa Penambahan Angkak) 3,40 ± 0,88 b
B (Penambahan Bubuk Angkak 1%) 2,75 ± 0,85 c
KK : 21,67 %
Keterangan : 1= sangat tidak suka, 2= tidak suka, 3= biasa, 4= suka, 5= sangat suka. Angka-angka
pada lajur yang sama diikuti oleh huruf kecil yang tidak sama, berbeda nyata
menurut DNMRT pada taraf 5%
uji hedonik warna mi kering yang diperoleh dari penelitian ini berkisar pada skala
2,75-4,25 yang berarti tingkat kesukaan dan penerimaan panelis berada pada skala
biasa sampai suka. Tingkat kesukaan warna tertinggi terdapat pada perlakuan F
(penambahan bubuk angkak 5%) yaitu 4,25, sedangkan tingkat kesukaan warna
terendah terdapat pada perlakuan B (penambahan bubuk angkak 1%) yaitu 2,75.
Pada Tabel 16 dapat dilihat bahwa semakin banyak bubuk angkak yang
ditambahkan maka warna merah akan semakin pekat.
Warna adalah sifat indera yang paling mudah terdeteksi oleh konsumen
dibandingkan sifat indera lain seperti tekstur dan flavor (Winarno, 1991). Pada
saat perebusan mi kering, air rebusan mengalami perubahan warna menjadi
kemerahan. Angkak memiliki sifat yang larut dalam air dan etanol sehingga
kelarutannya cukup tinggi, pigmen angkak tahan terhadap suhu tinggi (tidak lebih
dari 150°C) sehingga lebih stabil dalam pengolahnnya dan tidak karsinogenik
(Tedjautama dan Zubaidah, 2014). Proses perebusan yang dipengaruhi oleh suhu
akan mengakibatkan zat warna mengalami dekomposisi dan berubah strukturnya
sehingga dapat terjadi pemucatan (Atma, 2015). Menurut Sudarsono (1990),
pemanasan pada suhu 100°C selama 1 jam tidak mengakibatkan kerusakan yang
nyata terhadap pigmen angkak dan hanya mengalami kerusakan sebesar 1,2%.
b. Aroma
Aroma dapat didefenisikan sebagai suatu yang dapat diamati dengan indera
pembau. Produk yang memiliki aroma kurang menarik bisa mengurangi penilaian
juga minat dari konsumen untuk mengkonsumsinya (Usu, Anshurullah dan Asyik,
2016). Aroma dari suatu makanan merupakan salah satu faktor penentu kelezatan
makanan tersebut (Winarno, 1991). Berdasarkan hasil penelitian, tingkat kesukaan
terhadap aroma mi kering dengan penambahan bubuk angkak dapat dilihat pada
Tabel 18.
46
Tabel 18. Nilai Rata-rata Uji Hedonik terhadap Aroma Mi Kering dengan
Penambahan Bubuk Angkak
Aroma
Perlakuan
(Rata-rata ± Standar deviasi)
F (Penambahan Bubuk Angkak 5%) 3,65 ± 0,59
D (Penambahan Bubuk Angkak 3%) 3,60 ± 0,50
E (Penambahan Bubuk Angkak 4%) 3,55 ± 0,61
C (Penambahan Bubuk Angkak 2%) 3,45 ± 0,61
A (Tanpa Penambahan Angkak) 3,45 ± 0,51
B (Penambahan Bubuk Angkak 1%) 3,40 ± 0,60
KK : 16,21 %
Ket : 1= sangat tidak suka, 2= tidak suka, 3= biasa, 4= suka, 5= sangat suka
c. Rasa
Rasa merupakan sensasi yang terbentuk dari hasil perpaduan pembentuk yang
komposisinya pada suatu produk makanan yang ditangkap oleh indera pengecap
yaitu lidah (Hariadi, 2017). Berdasarkan hasil penelitian, tingkat kesukaan
47
terhadap rasa mi kering dengan penambahan bubuk angkak dapat dilihat pada
Tabel 19.
Tabel 19. Nilai Rata-rata Uji Hedonik terhadap Rasa Mi Kering dengan
Penambahan Bubuk Angkak
Rasa
Perlakuan
(Rata-rata ± Standar deviasi)
D (Penambahan Bubuk Angkak 3%) 3,50 ± 0,61
E (Penambahan Bubuk Angkak 4%) 3,45 ± 0,51
F (Penambahan Bubuk Angkak 5%) 3,40 ± 0,68
C (Penambahan Bubuk Angkak 2%) 3,35 ± 0,59
B (Penambahan Bubuk Angkak 1%) 3,35 ± 0,49
A (Tanpa Penambahan Angkak) 3,35 ± 0,67
KK : 17,50 %
Ket : 1= sangat tidak suka, 2= tidak suka, 3= biasa, 4= suka, 5= sangat suka
d. Tekstur
Pada saat dilakukan pengujian inderawi, respon yang kemungkinan akan
timbul diantaranya seperti sifat keras atau lembut bahan saat digigit, pemecahan
48
dalam fargmen-fragmen, hubungan antar serat-serat yang ada, dan sensasi lain
seperti rasa berminyak, berair, rasa mengandung cairan dan lain-lain. Selain itu,
pengamatan dengan jari akan menimbulkan kesan apakah suatu bahan mudah
pecah ataupun remuk (Usu, Anshurullah dan Asyik, 2016). Berdasarkan hasil
penelitian, tingkat kesukaan terhadap tekstur mi kering dengan penambahan
bubuk angkak dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Nilai Rata-rata Uji Hedonik terhadap Tekstur Mi Kering dengan
Penambahan Bubuk Angkak
Tekstur
Perlakuan
(Rata-rata ± Standar deviasi)
A (Tanpa Penambahan Angkak) 3,95 ± 0,69
F (Penambahan Bubuk Angkak 5%) 3,85 ± 0,59
B (Penambahan Bubuk Angkak 1%) 3,80 ± 0,62
E (Penambahan Bubuk Angkak 4%) 3,65 ± 0,59
D (Penambahan Bubuk Angkak 3%) 3,65 ± 0,81
C (Penambahan Bubuk Angkak 2%) 3,65 ± 0,59
KK : 16,91 %
Ket : 1= sangat tidak suka, 2= tidak suka, 3= biasa, 4= suka, 5= sangat suka
makanan karena dapat mempengaruhi penampakan, tekstur dan cita rasa pada
makanan. Dari penelitian ini, bubuk angkak mengandung kadar air sebesar 9,09%
sehingga dengan penambahan 1-5% tidak berpengaruh nyata terhadap tekstur mi
kering yang dihasilkan.
Dari hasil uji hedonik mi kering siap konsumsi (sudah dimasak) dapat
dilihat bahwa nilai warna tertinggi yaitu 4,25 (suka) dan nilai aroma tertinggi
yaitu 3,65 (suka) didapatkan pada produk F (penambahan bubuk angkak 5%),
nilai rasa tertinggi yaitu 3,50 (suka) didapatkan pada produk D (penambahan
bubuk angkak 3%), dan nilai tekstur tertinggi yaitu 3,95 (suka) didapatkan pada
produk A (tanpa penambahan angkak). Adapun radar uji hedonik terhadap warna,
aroma, rasa dan tekstur mi kering siap konsumsi secara keseluruhan dapat dilihat
pada Gambar 3.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Penambahan angkak beras berpengaruh nyata terhadap kadar abu, kadar
protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, warna, aktivitas antioksidan,
angka lempeng total dan uji hedonik warna, tetapi tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap kadar air dan uji hedonik aroma, rasa dan
tekstur mi kering yang dihasilkan.
2. Mi Kering dengan penambahan bubuk angkak beras sebanyak 3%
merupakan produk terbaik berdasarkan uji hedonik karena memberikan
perbedaan warna yang jelas pada Mi Kering. Selain itu dapat
meminimalkan penggunaaan bubuk angkak dengan rata-rata nilai hedonik
mi kering mentah yaitu warna 3,95 (suka), aroma 3,55 (suka) dan tekstur
4,00 (suka). Sedangkan rata-rata nilai hedonik mi kering siap konsumsi
yaitu warna 3,90 (suka), aroma 3,60 (suka), rasa 3,50 (suka) dan tekstur
3,65 (suka). Karakteristik kimia yang dihasilkan pada mi kering dengan
penambahan bubuk angkak 3% yaitu kadar air 9,48%, kadar abu 2,42%,
kadar lemak 0,48%, kadar protein 8,45%, kadar karbohidrat by difference
79,16%, nilai aktivitas antioksidan 14,73%, 0Hue 33,79, lovastatin 2,52
ppm dan angka lempeng total 6,9 x 103 cfu/g.
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan untuk meminimalkan kerusakan
pada kadar lovastatin akibat pengolahan maka penulis menyarankan untuk
melakukan uji lanjut mengenai pengoptimalan waktu pengukusan dan
pengovenan mi kering. Selain itu disarankan agar melakukan penelitian terhadap
karakteristik mi kering yang lebih spesifik seperti kekerasan, daya serap air, daya
putus, volume pengembangan, elastisitas, dan kekenyalan.
DAFTAR PUSTAKA
Akhigbemidu, W., Musa, A., dan Kuforiji, O. 2015. Assessment of The Microbial
Qualities of Noodles and The Accompanying Seasonings. Nigerian Food
Journal 33: 48-53.
Andarwulan, N., Kusnandar, F., dan Herawati. 2011. Analisis Pangan. Jakarta.
Dian Rakyat. 328 hal.
Asben, A. dan Kasim, A. 2015. Studi Lama Fermentasi dan Tingkat Kadar Air
dalam Produksi Pigmen Angkak pada Substrat Ampas Sagu-Tepung Beras
Menggunakan Monascus purpureus. Di dalam: Prosiding Seminar
Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI; Madura: 2-3 September
2015. Madura: Program Studi TIP-UTM: 185-191.
Dewi, M.S. 2010. Kajian Aktivitas Antioksidan dan Kadar Antikolesterol pada
Angkak dengan Variasi Varietas Beras Unggulan (IR 64) dan Beras Lokal
(Rojo Lele dan Merah Putih). [Skripsi]. Surakarta: Fakultas Pertanian.
Universitas Sebelas Maret. 36 hal.
Hartanti, S., Rohmah, dan Tamtarini. 2003. Kombinasi Penambahan CMC dan
Dekstrin pada Pengolahan Bubur Buah Mangga. Himpunan Makalah
Seminar Nasional Teknologi Pangan PATPI.
53
Hayati, M. 2019. Pengaruh Perbandingan Tepung Sukun dan Bubuk Kedelai pada
Pembuatan Cookies Bebas Gluten Bebas Kasein dengan Penambahan
Serbuk Brokoli. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas
Andalas. 62 hal.
Hsieh,Y.H., Pao, S., dan Li, J. 2008. Traditional Chinese Fermented Foods. In
R.Farnworth (Ed.), Handbook of Functional Fermented Foods pp: 433-
463. Boca Raton: CRC Press.
Huang, Y.C., Chang, Y.H., dan Shao, Y.Y. 2005 Effect of Genotype and
Treatment on The Antioxidant Activity of Sweet Potato in Taiwan.
Journal of Food Chemistry 98: 529-538.
Indrawati, T., Tisnadjaja, D., dan Ismawatie. 2010. Pengaruh Suhu dan Cahaya
terhadap Stabilitas Angkak Hasil Fermentasi Monascus purpureus 3090
pada Beras. Jurnal Farmasi Indonesia (5): 85-89.
Jenie, B.S.L, Mitrajanty, K.D, dan Fardiaz, S. 1997. Produksi Konsentrat dan
Bubuk Pigmen Angkak dari Monascus purpureus serta Stabilitasnya
Selama Penyimpanan. Bul. Teknologi dan Industri Pangan 8(2): 39-46.
Kasim, E., Astuti, S., dan Nurhidayat, N. 2005. Karakterisasi Pigmen dan Kadar
Lovastatin Beberapa Isolat Monascus purpureus. Jurnal Biodiversitas 6(4):
245-247.
Kasim, E., Suharna, N., dan Nurhidayat, N. 2006. Kandungan Pigmen dan
Lovastatin pada Angkak Beras Merah Kultivar Bah Butong dan BP 1804
IF 9 yang Difermentasi dengan Monascus purpureus Jmba. Jurnal
Biodiversitas 7(1): 7-9.
Kawuri, R. 2013. Red Mold Rice (Angkak) Sebagai Makanan Terfermentasi dari
Cina : Suatu Kajian Pustaka. Jurnal Biologi 17(1): 24-28.
Kusnandar, F. 2010. Kimia Pangan Komponen Makro. Jakarta. PT. Dian Rakyat.
264 hal.
Ma, J., Li, Y., Ye, Q., Li, J., Hua, Y., Ju, D., Zhang, D., Cooper R., dan Chang,
M. 2000. Constituents of Red Yeast Rice, a Traditional Chinese Food and
Medicine. Jurnal of Agricultur Food Chemistry 48: 5220-5225.
Naja, I.S., Sutardjo, D.S., dan Suradi, K. 2016. Pengaruuh Tingkat Persentase
Angkak terhadap Sifat Fisik dan Organoleptik Sosis Sapi. Fakultas
Peternakan. Universitas Padjajaran.
Nasution, E.Z. 2005. Pembuatan Mie Kering dari Tepung Terigu dengan Tepung
Rumput Laut yang Difortifikasi dengan Kacang Kedelai. Jurnal Sains
Kimia 9(2): 87-91.
Pattanagul, P., Renu, P., Phianmongkhol A., dan Tharata, S. 2007. Mevinolin,
Citrinin and Pigments of Adlay Angkak Fermented by Monascus sp.
Elsivier, 126 p 20-23.
Permana, R.D., Marzuki S., dan Tisnadjaja, D. 2004. Analisis Kualitas Produk
Fermentasi Beras (Red Fermentation Rice) dengan Monascus purpureus
3090. Jurnal Biodiversitas 5(1): 7-12.
Rahayu, E.S., Indarti, R.T., Utami, E., Haryani dan Cahyanto, M.N. 1993. Bahan
Pangan Hasil Fermentasi. PAU Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada.
Yogyakarta.
Setyaningsih, D., Apriyantono, A., dan Sari, M.P. 2010. Analisis Sensori untuk
Industri Pangan dan Agro. Bogor. IPB Press. 180 hal.
55
Sheu, F., Wang, C.L., dan Shyu, Y.T. 2000. Fermentation of Monascus purpureus
on bacterial cellulose-nata and the color stability of Monascus-nata
complex. Journal of Food Science 65(2): 342-345.
Sudarmadji, S., B, Haryono, dan Suhardi. 1984. Analis Bahan Makanan dan
Pertanian. Yogyakarta. Liberty. 160 hal.
Timotius, K.H. 2004. Produksi Pigmen Angkak Oleh Monascus. Jurnal Teknologi
dan Industri Pangan 15(1): 79-86.
Usu, L., Ansharullah, dan Asyik, N. 2016. Pembuatan Mie Substitusi Tepung
Terigu dengan Tepung Jagung Putih dan sifat Organoleptik. Jurnal Sains
dan Teknologi Pangan 1(2): 136-143.
Wahyuni, D., Setiyono, dan Supadmo. 2012. Pengaruh Penambahan Angkak dan
Kombinasi Filler Tepung Terigu dan Tepung Ketela Rambat terhadap
Kualitas Sosis Sapi. Buletin Peternakan 36(3): 181-192.
Winarno, F.G. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wiyoto, H., Andriani, M.A.M, dan Parnanto, N.H.R. 2011. Kajian Aktivitas
Antioksidan dan Kadar Antikolesterol pada Angkak dengan Variasi Jenis
Substrat (Beras, Jagung, dan Gaplek). Jurnal Biofarmasi 9(2): 38-44.
56
Wong, H.C., Y.C. Lim, dan P.E. Kochler. 1981. Regulation of Growth and
Pigmentation of Monascus purpureus by Carbon and Nitrogen
Consentration. Mycologia 73: 649-654.
Yenrina, R., Yuliana, dan Rasymida, D. 2011. Metode Analisis Bahan Pangan.
Padang. Universitas Andalas. 120 hal.
Yolanda, S.R., dewi, D.P, dan Wijanarka, A. 2018. Kadar Serat Pangan,
Proksimat, dan Energi pada Mie Kering Substitusi Tepung Ubi Jalar Ungu
Ipomoea batatas L. Poir. Ilmu Gizi Indonesia 2(1): 01-06.
Zubaidah, E dan Sari, D.P. 2015. Pengaruh Penambahan Kacang Hijau pada
Media Beras IR 36 terhadap Pigmen dan Lovastatin Angkak. Jurnal Pangan
dan Agroindustri 3(3): 962-971.
LAMPIRAN
58
Monascus purpureus
Isolat Monascus
purpureus segar
59
purpureus
Substrat beras yang sudah direndam
selama 30 menit)
Substrat didinginkan
selama 14 hari
Angkak dihaluskan
rendemen, kadar
lovastatin, dan
60
Angkak
Dicampur sesuai15-25
Diaduk selama dengan perlakuan
menit (kalis)
0%, 1%,
2%, 3%,
Dimasukkan
Dipotong atauke cetakan
dicetak sesuai
seperti dengan
bentuk mie
bentuk yang diinginkan (bulat, persegi, dll)
(sheeting)
1. Kadar Air
SK db JK KT F Hitung F Tabel 5%
Perlakuan 5 0,480 0,096 2,133ns 3,11
Sisa 12 0,542 0,045
Total 17 1,022
KK = 2,25 %
2. Kadar Abu
SK db JK KT F Hitung F Tabel 5%
Perlakuan 5 1,3209 0,262 7,4690* 3,11
Sisa 12 0,4209 0,035
Total 17 1,7307
KK = 7,49 %
3. Kadar Protein
SK db JK KT F Hitung F Tabel 5%
Perlakuan 5 2,060 0,412 4,791* 4,39
Sisa 6 0,518 0,086
Total 11 2,578
KK = 3,40 %
4. Kadar Lemak
SK db JK KT F Hitung F Tabel 5%
Perlakuan 5 0,1376 0,028 8,6134* 3,11
Sisa 12 0,0383 0,003
Total 17 0,1760
KK = 12,30 %
63
5. Kadar Karbohidrat
SK db JK KT F Hitung F Tabel 5%
Perlakuan 5 6,2446 1,2489 12,07* 3,11
Sisa 12 1,2418 0,104
Total 17 7,4864
KK = 0,41 %
6. Uji Warna
SK db JK KT F Hitung F Tabel 5%
Perlakuan 5 1779,582 355,916 40,588* 3,11
Sisa 12 105,224 8,769
Total 17 1884,806
KK = 8,75 %
(a)
(b)
(c)
Bubuk Angkak
68
Oven
Ampia
Tepung Tapioka
Tepung Terigu
Produk Mi Kering
Adonan Mi Kering yang telah ditipiskan
69