Oleh
6 cm
Fakultas : Pertanian
Tanggal Persetujuan :
Menyetujui
Ketua Jurusan Dosen Pembimbing
Teknologi Hasil Pertanian
Mengetahui
Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Lampung
6 cm
SANWANCANA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa , karena berkat
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan Praktik Umum (PU) yang
Laujaya, Kabupaten Tulang Bawang Barat”. Laporan Praktik Umum ini adalah
laporan hasil pengamatan, praktik langsung, wawancara, dan studi literatur yang
Penulis menyadari bahwa laporan ini dapat selesai karena bimbingan, bantuan,
dan dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan kali ini penulis ingin
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., selaku Dekan Fakultas
2. Bapak Dr. Erdi Suroso, S.T.P., M.T.A., selaku Ketua Jurusan Teknologi
3. Ibu Ir. Novita Herdiana, S.Pi., M. Si., selaku Panitia Praktik Umum Jurusan
4. Ibu Dyah Koesoemawardani, S.Pi., M.P., selaku Dosen Pembimbing
5. Bapak Dr. Ir. Samsu Udayana Nurdin, M.Si., selaku Dosen Pembimbing
6. Orang tua, saudara serta keluarga yang telah memberikan dukungan dan
8. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan ilmu dan wawasan kepada
9. Octavia Sopha Anggraini dan Nisrina Lutfiah Zahiroh selaku rekan dalam
11. Abang Jerry Kenezi atas semangat, dukungan, dan telah membantu dalam
membuat laporan.
v
12. Teman – teman Jurusan Teknologi Hasil Pertanian angkatan 2018 yang telah
13. Kakak-kakak Angkatan 2017 yang telah memberikan saran dan pengalaman
Penulis berharap semoga Allah SWT membalas kebaikan yang telah diberikan
dan semoga laporan Praktik Umum ini dapat bermanfaat bagi penulis dan
pembaca.
DAFTAR ISI
COVER............................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ ii
SANWACANA ............................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................. vi
DAFTAR TABEL........................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... ix
I. PENDAHULUAN
4.1 Kesimpulan....................................................................................... 53
4.2 Saran................................................................................................. 53
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 54
LAMPIRAN.................................................................................................... 5
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 3. Suhu Pengeringan dan Kadar Air Tapioka di PT. Bumi Saktiperdana
Laujaya............................................................................................. 34
DAFTAR GAMBAR
I. PENDAHULUAN
Singkong merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang berjenis umbi-
Menurut data Badan Pusat Statistika (2018) angka produksi singkong di Lampung
angka 19.341.233 ton. Singkong memiliki potensi produksi tinggi dan prospek
selain menjadi bahan pangan singkong juga dapat diolah menjadi tepung tapioka.
Salah satu industri yang memproduksi tepung tapioka di provinsi Lampung yaitu
PT. Bumi Saktiperdana Laujaya. Perusahaan tapioka ini berada di Desa Terang
tapioka pada industri ini telah menggunakan teknologi yang modern yang seluruh
Penggunaan mesin secara modern merupakan salah satu cara agar bisa
salah satu cara yang dapat ditempuh yaitu tetap memepertahanka kualitas dengan
menjaga agar produk yang dihasilkan memenuhi standar kualitas perusahaan dan
satndar yang ditetapkan badan lokal dan internasional yang mengelola standarisasi
mutu dan tentunya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh konsumen. Kegiatan
produk sampai tingkat kerusakan nol. Oleh sebab itu, perusahaan dalam
meningkatkan mutu tapioka serta menjamin keamanan tapioka tersebut agar dapat
penhujian produk akhir. Tujuan dari penerapan HACCP dalam suatu industri
bersifat sebagai sistem pengendalian mutu sejak bahan baku dipersiapkan sampai
produk akhir produksi diproduksi masal dan didistribusikan. Oleh karena itu,
adanya bahaya pada suatu produk pangan. Selain itu, HACCP juga dapat
3
berfungsi sebagai promosi perdagangan di era global yang memiliki daya saing
jaminan mutu yang rist atau tanpa resiko namun dirancang untuk meminimumkan
Saktiperdana Laujaya.
Praktik umum ini dilaksanaan mulai tanggal 03 Agustus 2021 sampai dengan
a. Magang/ Praktik
4
b. Pengumpulan data
c. Studi pustaka
lokasi budidaya dengan literatur yang ada di lokasi praktik dan materi yang
telah diberikan pada saat kuliah maupun referensi dari buku atau literatur
yang ada.
d. Konsultasi
produksi tapioka mulai dari penerimaan bahan baku sampai pada perlakuan
produk akhir.
e. Diskusi
yang didirikan pada tahun 1992 oleh bapak Slamet yang sekarang sudah masuk
pada generasi kedua yakni dipimpin oleh anaknya yaitu bapak Chandra serta
masih beroperasi sampai saat ini. PT. Bumi Saktiperdana Laujaya ini oleh
masyarakat sekitar lebih dikenal sebagai pabrik klanting karena awal didirikannya
masih melakukan proses produksi dengan alat manual atau tradisional, kemudian
mengalami perkembangan secara bertahap dimana pada tahun 2009 hingga 2010
yang merupakan kombinasi yaitu peralatan dari China dan Eropa. Tahun 2020
proses produksi dilakukan secara modern yang mana hampir sebagian besar
PT. Bumi Saktiperdana Laujaya memiliki total luas lahan sebesar ± 185.400 m 2.
Penggunaan lahan di perusahaan ini terbagi menjadi tiga yaitu berupa lahan
terbuka, lahan tertutup bangunan dan lahan cadangan. Lahan terbuka memiliki
luas sebesar ±100.470 m2 yang digunakan untuk pengelolaan kolam IPAL, kolam
6
biogas, area parkir, area tampungan sampah, area bongkar muat bahan baku serta
jalan area seluruh pabrik. Kolam biogas di PT. Bumi Saktiperdana Laujaya
pertama kali dibuat tahun 2013, kemudian tahun 2020 dilakukan pembuatan
kolam biogas ke 2. Lahan tertutup bangunan memiliki luas sebesar ± 3.945 m2 dan
digunakan untuk bangunan produksi, bangunan kantor, messs dan post satpam,
Perusahaan ini merupakan salah satu dari begitu banyak perusahaan produsen
utama yang dihasilkan oleh PT. Bumi Saktiperdana Laujaya adalah tepung
tapioka. Hasil samping dari proses produksi tapioka pada pabrik ini berupa
onggok basah dan onggok kering, sera, meniran, serta elot yang biasanya akan
dijual maupun dimanfaatkan untuk keperluan pabrik itu sendiri. Perusahaan ini
konsumen dan mitra bisnisnya melalui pelayanan optimal yang didukung dengan
yang baik. Gambaran sekilas bangunan pabrik dapat dilihat pada Gambar berikut
PT. Bumi Saktiperdana Laujaya berlokasi di Jalan Raya Setia Bumi, Tiyuh
sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Way Kanan, terakhir sebelah Barat
jumlah penduduknya mencapai 268.119 jiwa dengan luas wilayah 1.201,00 km²
Selatan. Hal ini menjadikan Kabupaten Tulang Bawang Barat cukup strategis
Barat berbatasan dengan Mesuji Timur, Way Serdang, dan Kabupaten Ogan
Komering Ilir (Sumatera Selatan), sebelah Selatan dengan Abung Surakarta dan
kemudian sebelah barat dengan Negara Batin, Pakuan Ratu, dan Negeri Batin
(Way Kanan, sedangkan sebelah Timur berbatasan dengan Banjar Agung, Banjar
Margo, dan Menggala (Tulang Bawang). Secara umum lokasi PT. Bumi Sakti
Visi dari PT. Bumi Saktiperdana Laujaya adalah menjadi perusahaan tepung
pegawai120 orang tenaga kerja PT. Bumi Sakti Perdana Laujaya terdiri atas
karyawan tetap dan tidak tetap. Karyawan tetap adalah karyawan yang bekerja
tidak berdasarkan jumlah bahan baku yang diproses sehingga jam kerjanya mulai
dari jam 08.00-17.00 WIB dari senin hingga minggu (setiap hari). Karyawan tidak
tetap adalah karyawan yang bekerja berdasarkan jumlah bahan baku yang diproses
Struktur organisasi perusahaan di PT. Bumi Sakti Perdana Laujaya dipimpin oleh
membawahi staff atau pekerja seperti bagian PPC (Production, Planing, and
Controling) membawahi staff raw material, Quality Control (QC), admin, dan
logistic. Sedangkan bagian produksi akan membawahi staff wet process dan dry
procces. Serta bagian support akan membawahi bagian power, house, biogas
10
listrik, mekanik, kendaraan atau alat besar, dan umum. Struktur organisasi di PT.
3.1.1 Singkong
Bahan baku yang digunakan pada pabrik tapioka PT Bumi Saktiperdana Laujaya
yaitu berasal dari pasokan beberapa petani di sekitaran pabrik yang dijual melalui
agen dari beberapa daerah seperti Unit 7, HTI, Rajawali, Terang Bumi Agung dan
lain-lain. Bahan baku utama yang berupa singkong utuh yang digunakan tidak
dilakukan secara pemesanan namun disuplai sendiri oleh supplier atau sering
disebut dengan agen, sehingga banyaknya bahan baku tergantung pada hasil panen
dari petani. Kondisi singkong yang disuplai petani terkadang masih banyak
mengandung tanah, bonggol serta kotoran lainnya yang terbawa. Singkong yang
yang diterima yaitu umur singkong minimal 7 bulan dan maksimal 12 bulan serta
kandungan pati yang tinggi. Singkong yang disuplai harus memiliki kondisi fisik
yang baik yaitu tidak terdapat tanah, tidak ada bonggol dan bahan pengotor
lainnya. Bahan baku yang diterima akan dilakukan pengecekan kadar pati dengan
Pengendalian mutu yang dapat dilakukan yaitu setiap bahan baku sebaiknya
dilakukan penyortiran dari kotoran untuk menjaga kualitas dari bahan baku
daging putih, diameter minimal 3 cm serta bersih dari kotoran lain yang terbawa.
Selain itu dilakukan juga pengukuran kadar pati menggunakan alat ukur kadar
pati. Apabila bahan baku tidak memenuhi kriteria yang diinginkan pabrik maka
memiliki kadar pati yang rendah. Usia singkong yang berumur tua cenderung
memiliki kadar pati yang tinggi dan kadar air rendah dibanding singkong yang
berumur muda (<7 bulan). Pemilihan ini dimaksudkan agar diperoleh rendemen
pati yang tinggi dengan kualitas tapioka yang baik. Konsep pengawasan mutu
Pada pabrik tapioka ini penyimpanan bahan baku diletakkan bersentuhan dengan
tanah dan terpapar matahari secara langsung. Hal tersebut dilakukan karena
penyimpanan bahan baku hanya bersifat sementara, karena bahan baku yang
dengan tanah dan terpapar matahari secara langsung dapat mempercepat proses
Penyimpanan bahan baku yang dapat dilakukan untuk waktu yang lebih lama
yaitu dengan meletakan singkong pada tempat yang tidak bersentuhan langsung
14
dengan tanah, tidak diletakkan pada tempat yang lembab dan terhindar dari
3.1.2 Air
Air pada proses produksi tapioka digunakan sebagai bahan penunjang. Air yang
digunakan pada proses produksi yaitu air bersih dengan persyaratan tidak
memiliki rasa, bau dan warna. Pada industri tapioka ini air yang digunakan
bersumber dari 3 titik sumur bor yang dimiliki oleh perusahaan dengan kedalaman
ekstraksi dan proses pemurnian. Air yang digunakan pada proses produksi harus
memenuhi baku mutu air minum yang diatur dalam Peraturan Menteri
mempengaruhi tapioka yang dihasilkan. Jumlah air yang digunakan untuk seluruh
proses produksi di pabrik untuk bahan baku sebanyak 18 ton/jam adalah 120
m3/jam. Hasil pengujian air yang digunakan untuk produksi pada PT Bumi
±18 ton per jam. Singkong yang diperoleh dari petani singkong disekitar pabrik
sehingga jumlah singkong yang diproduksi setiap harinya bergantung pada hasil
panen dari petani tersebut. Ketika musim panen raya maka akan terjadi
alat produksi. Namun, singkong yang diproduksi tetap menggunakan sistem first
in-first out yaitu singkong atau bahan baku yang datang lebih awal akan diproses
lebih dulu.
Pabrik tapioka ini menggunakan 2 sistem untuk memproduksi tapioka yaitu full
mengurangi kadar air yaitu full automatic dilakukan dengan alat centrifuge untuk
memisahkan antara air dan sagu basahnya sedangkan semi automatic dilakukan
dengan proses pengendapan pada bak pengendapan. Proses produksi tapioka dapat
Singkong
Pencacahan
Pengovenan
Pengayakan
Tepung
Tapioka
Bahan baku yang disuplai oleh petani kemudian diletakkan pada areal produksi.
Bahan baku yang diterima kemudian dilakukan pengecekan secara visual untuk
17
melihat kotoran (bonggol, tanah, dan sampah lainnya) yang terbawa, dilakukan
dengan usia minimal 7 bulan. Bahan baku singkong yang masih terlalu muda akan
persyaratan dari pabrik. Bahan baku yang baik untuk pembuatan tapioka adalah
ubi kayu yang dipanen antara 7-12 bulan setelah tanam, jika ubi kayu panen
terlalu muda maka kandungan zat patinya sangat rendah karena hasil fotosintesis
yang ditransfer dari daun ke akar belum sampai pada batas maksimum, begitu
juga sebaliknya bila singkong yang dipanen terlalu tua zat pati yang terkandung
tidak mengalami kenaikan zat patinya. Alat pengukuran zat pati di adobsi dari
udara dengan berat umbi di dalam air. Pengukuran kadar pati ini dilakukan
jarum lurus horizontal). Pemberat utama lalu digeser kembali ke posisi nol.
Setelah itu wadah berisi singkong dicepupkan pada wadah bawah berisi air.
Kemudian diamkan beberap saat sampai air dalam drum tenang dan pemberat
utama menunjukkan angka nol dan pemberat rintan ringan digeser hingga posisi
jarum seimbang. Besarnya angka dapat dilihat pada pemberat ringan (bagian atas)
Singkong yang berasal dari tumpukan tempat pengumpulan bahan baku dibawa ke
dalam hopper kemudian akan melewati konveyor berjalan yang selanjutnya akan
konveyor dilakukan sortasi secara manual oleh tenaga kerja untuk menghilangkan
kotoran yang masih terbawa seperti bonggol, akar, serta memotong bonggol
sanitisi dan penyortiran sehingga bahan pengotor lain tetap terikut dalam proses.
penghancuran.
3.2.2 Pengupasan
tahap awal dengan alat root peeler. Pengupasan dilakukan untuk membuang kulit
19
luar (kulit ari) singkong agar terbebas dari kotoran yang menempel pada kulit
singkong. Penambahan air dengan cara penyemprotan dilakukan pada proses ini
Kulit dan kotoran akan terbuang melalui celah dinding silinder pada root peeler.
Pada proses pengupasan ini terdapat 2 unit mesin root peeler, keduanya memiliki
prinsip yang sama yaitu membersihkan kotoran yang menempel pada singkong.
Pada root peeler pertama terdapat stone catcher yang digunakan untuk
menangkap batu-batu yang terbawa ke dalam proses. Pada proses ini limbah padat
yang dihasilkan yaitu tanah, kulit serta kotoran lainnya. Setelah pengupasan
singkong selanjutnya masuk ke alat pencucian. Singkong yang telah dicuci akan
melewati bucket elevator untuk membawa singkong pada root peeler ke-2.
3.2.3 Pencucian
yang terbawa air pada proses pencucian akan dialirkan ke kolam limbah.
Pencucian yang dilakukan untuk membersihkan singkong dari kotoran yang masih
melekat berupa tanah, getah, dan benda asing lainnya. Air yang digunakan pada
proses pencucian di stage 1 yaitu air yang berasal dari buangan dari proses
pemurnian pada HCH (Hidro Cyclone Hygienic). Penggunaan air limbah pada
memanfaatkan kembali air limbah yang terbuang. Limbah yang dihasilkan pada
tahap ini yaitu limbah cair berupa air cucian. Sedangkan pencucian pada stage 2
menggunakan air bersih yang bertujuan untuk membilas singkong yang berasal
dari stage 1.
3.2.4 Pencacahan
singkong dilakukan oleh double screw yang terus berjalan menuju LMS yang
terdapat screw untuk membantu singkong menuju proses selanjutnya. Pada proses
ini perlu diperhatikan sanitasi alat untuk menghindari kontaminan pada singkong
21
dan membersihkan kotoran yang dapat menghambat kerja alat sehingga tidak
secara berkala dan pembersihan kotoran singkong yang menempel diatas LMS.
Hasil dari chopper kemudian dibawa oleh double screw menuju proses
3.2.5 Pemarutan
pemarutan adalah untuk membuat cacahan singkong menjadi lebih halus seperti
bubur agar luas permukaan kontak dengan air semakin lebar sehingga ekstraksi
dapat berjalan dengan optimal. Mesin rasper terdiri dari silinder berputar dengan
pisau-pisau gergaji yang memiliki saringan dari bahan baja, pipa air dan bak
gergaji dengan gerakan maju dan mundur dengan bantuan air. Pisau-pisau gergaji
yang terdapat pada alat rasper semakin lama akan mengalami penumpulan
sehingga perlu dilakukan penggantian mata pisau secara berkala. Penambahan air
pada proses ini juga dapat membantu mempertahankan ketajaman dan keawetan
22
mata pisau tersebut. Selain itu penambahan air dilakukan agar mempermudah
Hasil dari proses pemarutan ini kemudian disaring sebelum dipompa menuju
yang terdapat pada milk singkong tersebut agar tidak menganggu proses
3.2.6 Ekstraksi
yang masih terkandung pada milk singkong dengan prinsip gaya sentrifugal (berat
jenis) yaitu pasir akan mengalir kebawah untuk dibuang sedangkan milk singkong
yang dihasilkan akan menuju proses selanjutnya yaitu ekstraktor. Milk singkong
dihasilkan. Sifat pati singkong yang mudah larut air menyebabkan penambahan
23
air sebagai pelarut sesuai untuk digunakan pada proses ekstraksi ini. Milk
singkong yang berasal dari desanding pertama akan masuk ke ekstraktor 1.1 dan
1.2 yang akan menghasilkan air sagu dengan kekentalan yang tinggi. Selanjutnya
ampas akan dialirkan ke bak penampungan ampas I, sedangkan air sagu akan
dialirkan ke crude tank I. Ampas yang dihasilkan akan diproses lagi pada
yang dihasilkan pada tahap ini akan ditampung pada bak ampas II sedangkan air
sagu akan di tampung pada crude tank II. Ampas yang dihasilkan pada ekstraksi
ampas yang berasal dari ekstaktor 4 berupa onggok basah yang akan dikurangi
kadar airnya untuk dijual. Selama proses ekstraksi pembilasan air dalam
ekstraktor dibantu dengan menggunakan air sagu dari crude tank II, III, dan IV
dengan tujuan agar proses ekstraksi optimal serta menekan loses pati pada proses
ini. Air sagu yang hasil dari proses ekstraksi semuanya akan dialirkan pada
pemurnian.
Pengendalian mutu yang dapat dilakukan pada proses ekstraksi adalah kualitas air
bersih yang ditambahkan karena kualitas air akan mempengaruhi pati yang
dihasilkan. Air yang ditambahkan yaitu berupa air bersih dan air sagu hasil
yang dilakukan setiap 7 detik sedangkan air bersih ditambahkan selama proses
berjalan untuk membantu proses ekstraksi agar tidak terjadi penyumbatan pada
mesin ekstraktor. Jumlah air perlu diperhatikan agar air sagu yang dihasilkan tidak
mengandung banyak air sehingga terlalu encer. Sanitasi alat juga perlu
diperhatikan pada proses ekstraksi yang merupakan proses vital untuk produksi
karena terdapat sisa-sisa ampas yang akan membuat penyumbatan pada alat
3.2.7 Pemurnian
Proses pemurnian ini dilakukan dengan mesin cyclone berjumlah 10 unit yang
terbagi atas HCH (Hydro Cyclone Hygienic) dan HCC (Hidro Cyclone). HCH
terdiri 4 unit dan HCC terdiri dari 6 unit. Pada proses ini terjadi pemisahan air
sagu dari getah, fiber/serat, kotoran dan komponen non pati. Perbedaan keduanya
terletak pada ukuran partikel yang tersaring berbeda. Pada HCC memiliki ukuran
yang lebih kecil dibandingkan pada proses HCH. Pada unit HCH terdiri dari unit
25
konsentrat dan recovery, air sagu yang masuk kemudian akan membentuk pusaran
akibat gaya sentrifugal kemudian terjadi pemisahan berdasarkan berat jenis yang
akan dialirkan ke over flow dan under flow. Hasil dari overflow berupa elot dan air
limbah. Limbah padat yang disebut dengan elot ditampung pada bak penampung
Kemudian sagu atau pati yang berasal dari under flow dialirkan menuju HCC unit
I. Pada tahap di HCC unit I suspensi pati akan dialirkan melalui pipa underflow
menuju HCC unit II. Pada HCC unit II aliran overflow berupa getah (waste) akan
dialirkan menuju fine fiber untuk diekstrak ulang sedangkan yang dialirkan
melalui underflow adalah sagu yang akan menuju ke HCC unit III dan seterusnya
hingga unit VI. Pada unit VI suspensi pati ditambah air untuk mengencerkan milk
yaitu 20-22˚be yang kemudian akan dialirkan menuju bak pengendapan maupun
centrifuge.
Pengendalian mutu yang dilakukan yaitu pengukuran massa jenis suspensi pati
yang dihasilkan dari unit ke 6 HCC dengan satuan baume yaitu rentang yang
diinginkan antara 20-22obe. Konsentrasi milk singkong kurang dari rentang ini
menandakan bahwa kerja alat kurang optimal yang menyebabkan kadar pati
kurang dari batas yang diinginkan. Pada proses ini juga diperhatikan jumlah air
yang digunakan agar tidak dihasilkan air yang berlebih maupun kurang sehingga
konsentrasi milk singkong dapat terpenuhi. Pengamatan lain yang dilakukan yaitu
melihat loses pada waste I (air dari proses HCH) dan waste II (air dari proses
HCH). Batas toleran loses yaitu 1-2% yang diketahui dengan sampling 10 ml
3.2.8 Pengendapan
Proses pengendapan berfungsi untuk memisahkan antara air dan pati yang
bak dan pemisahan dengan alat centrifuge. Air sagu yang telah melewati proses
27
pemurnian pada alat HCC kemudian akan dialirkan menuju bak pengendapan
ataupun alat centrifuge. Pada bak sedimentasi atau pengendapan semakin ujung
bak kualitas sagu yang dihasilkan semakin rendah karena terdapat elot yang
semakin banyak. Hal ini menyebabkan kualitas sagu semakin rendah. Pemanenan
sagu yang dihasilkan dilakukan secara manual dengan skop oleh tenaga kerja
dengan mekanisme mencampurkan sagu pada sisi bak pertama dengan bak yang
ujung agar kualitas sagu seragam. Sagu yang telah diskop kemudian diletakkan ke
bongkahan sagu melewati alat crusher untuk memperkecil ukuran sagu. Pati yang
dihasilkan pada proses pengendapan di bak berupa sagu basah dengan kadar air
40-45%.
Pengendalian mutu yang dapat dilakukan pada proses pengendapan pada bak ini
adalah sanitasi pekerja yang melakukan penyekopan serta kebersihan alat yang
dan kaki terlebih dahulu untuk mengurangi kontaminan yang mungkin menempel
pada permukaan kulit. Kebersihaan alat juga perlu diperhatikan untuk mencegah
kontaminasi berupa kontaminan fisik. Hal ini dikarenakan permukaan kulit dan
28
kontaminasi silang. Alat yang digunakan sebaiknya terbuat dari bahan tembaga
atau stainless steel karena bahan-bahan tersebut tidak mudah berkarat dan tidak
sebaiknya digunakan agar kaki tidak langsung bersentuhan dengan kaki pekerja.
3.2.9 Sentrifugasi
Proses sentrifugasi dilakukan untuk memisahkan antara air dan sagu yang
dihasilkan dari proses pemurnian. Sentrifugasi memiliki fungsi yang sama dengan
proses pengendapan. Prinsip alat centrifuge yaitu pemisahaan fraksi sagu dengan
air dengan gaya sentrifugal sehingga fraksi dengan berat jenis yang lebih besar
akan mengendap ke bawah sedangkan berat jenis yang kecil akan berada di atas.
Sebelum masuk pada alat centrifuge air sagu yang dihasilkan oleh HCC
ditampung pada tangki yang terletak diatasnya kemudian ditunggu tangki sampai
Mesin centrifuge terdiri dari saringan yang berputar dengan kecepatan putar
±1000 rpm. Selain itu juga kadar air sagu basah yang diinginkan diatur dengan
dry spinning dengan kecepatan putar ±1050 rpm. Pada pemisahan air dan sagu ini
dihasilkan sagu basah dengan kadar air 33-37%. Pengendalian mutu yang perlu
semakin lama akan semakin menumpuk sehingga dapat terjadi bloking yang
3.2.10 Pengovenan
Saktiperdana Laujaya. Sagu basah yang dihasilkan dari bak pengendapan dan alat
langsung dibawa dengan konveyor menuju oven. Sagu yang telah berukuran kecil
selanjutnya akan dibawa oleh konveyor dan masuk ke dalam LMS. Selanjutnya
suhu panas dari tungku yang diperoleh dari pembakaran biogas dengan panas
blower dorong yang akan menghasilkan uap panas berkisar 190-280 oC. Panas
masuk akan berkontak langsung dengan sagu basah tersebut di dalam alat
discmill. Perbedaan suhu bergantung pada jenis sagu kering yang akan dibuat
sesuai dengan pesanan konsumen. Hawa panas yang dihasilkan berasal dari
tunggu yang dibantu dengan blower untuk mentransfer panas. Setelah proses
30
pengayakan.
Pengendalian mutu yang dapat dilakukan pada proses pengovenan adalah suhu
pengeringan yang tepat. Suhu pengeringan yang terlalu tinggi atau melebihi
standar yang diinginkan akan menyebabkan browning atau pencoklatan dan kadar
air nya kecil. Kecepatan pemasukan sagu basah penting diperhatikan, karena akan
mempengaruhi kadar air yang dihasilkan. Ketika sagu basah terlambat sampai ke
oven maka suhu pengeringan akan semakin meningkat yang menyebabkan sagu
terlalu kering. Hal ini akan menyebabkan tidak memenuhi standart sagu yang
diinginkan.
3.2.11 Pengayakan
pendinginan dibantu dengan blower hisap yang akan membawa sagu menuju
pengering dengan gaya sentrifugal, yaitu udara kering akan dibuang melalui
pengayakan. Sagu dari cyclone akan jatuh pada alat rotary valve untuk
ayakan stabil. Pengayakan dilakukan sebanyak 2 kali dengan ukuran mesh yang
Proses pengayakan juga menghasilkan hasil samping yang disebut sera. Sera yaitu
sagu yang tidak lolos ayakan yang dapat disebabkan oleh kotoran yang mengikat
pati. Penyebab lain yaitu adanya pasir yang terbawa, karena saat proses
yaitu ukuran kecil seberat 25 kg, ukuran besar seberat 50 kg, dan ukuran jumbo
alamat produksi, kode BPOM, logo halal serta kode produksi. Penggudangan
dilakukan di ruang yang kering yang disusun secara rapih yaitu berdasarkan merk
dagang, tanggal produksi dan alamat tujuan. Penyimpanan sagu dalam gudang
dilakukan paling lama 1 bulan, apabila telah melewati waktu tersebut akan telah
terjadi perubahan warna dan peningkatan kadar air karena sifat tapioka yang
konsumen. Lima macam tapioka yang diproduksi diberi kode “SL” dan “SP”
untuk sagu basah yang berasal dari pengendapan di bak serta “FB”, “FL”, dan
“FP” untuk sagu basah yang berasal dari sentrifugasi. Tapioka yang dihasilkan
33
akan dianalisis di laboratorium meliputi kadar air, warna, hasil kukusan tapioka,
dan pH. Analisis sampel tersebut dilakukan setiap 15 menit secara berkala. Pada
tepung yaitu kualitas I (KW I), kualitas I afkir (KW I afkir) serta kualitas II (KW
II). Kualitas I yaitu tapioka dengan mutu paling baik yang biasanya menggunakan
sagu basah pada sisi bak pertama hingga batas yang ditentukan, KW I afkir
diperoleh dari sagu basah KW I namun sagu kering yang dihasilkan mengalami
II dihasilkan dari sagu basah pada ujung bak dengan kata lain kualitas sagu basah
yang digunakan bukan kualitas baik yang biasanya akan menghasilkan warna
memasarkan tapioka dengan kualitas I(KW I). Apabila terdapat sagu KW I Afkir
dan KW II disebabkan karena kesalahan proses produksi yang dapat terjadi seperti
Kadar air merupakan sifat fisik dari bahan yang menunjukkan banyaknya iar yang
terkandung dalam bahan. Kadar air juga salah satu karakteristik yang sangat
penting pada bahan pangan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur,
dan cita rasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan
kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut, kadar air yang tinggi
sehingga dapat terjadi perubahan pada bahan pangan. Kadar air pada PT. Bumi
34
Saktiperdana Laujaya ini dilakukan dengan alat Moisture Analyzer yaitu alat
untuk menentukan kandungan air dalam suatu sampel atau berat massa dari suatu
Berdasarkan SNI 01-3451-1994 tentang Syarat Mutu Tepung Tapioka kadar air
maksimal yaitu 15% dan kadar air pada pabrik tapioka ini telah memenuhi standar
yang ditetapkan yaitu pada rentang 11,0 hingga 13,0 baik tepung tapioka mutu I,
Kadar air pada tapioka dipengaruhi oleh suhu pengeringan, semakin tinggi suhu
maka kadar air yang dihasilkan akan semakin rendah. Proses pengeringan dengan
35
suhu yang tinggi maka kadar air tapioka yang dihasilkan semakin menurun.
Semakin tinggi suhu udara pengeringan, maka semakin besar panas yang dibawa
udara sehingga semakin banyak jumlah air yang diuapkan dari permukaan bahan
yang dikeringkan. Kerusakan tapioka terjadi jika kadar air berada diatas 15%.
timbulnya bau tengik. Namun, suhu pemanas yang semakin tinggi akan
dihasilkan lebih sederhana, yaitu terdapat rantai lurus yang pendek sehingga
sangat mudah larut dalam air (Yuliasih dkk., 2007). Semakin rendah kandungan
padatan terlarut semakin besar, akibatnya kelengketan semakin tinggi (Rosa, 2004
3.3.2 Warna
Secara visual, warna memegang peran penting dalam penentuan suatu mutu
produk yang dihasilkan. Warna tepung tapioka yang dihasilkan adalah berwarna
putih. Hal ini menandakan bahwa kualitas tepung tapioka tersebut memenuhi
standar mutu tapioka. Warna tapioka yang dihasilkan pada pabrik ini yaitu putih,
menggunakan alat sederhana yaitu dengan bantuan cahaya lampu yang diletakkan
yang jelas sehingga standar dapat terpenuhi. Kelemahan pengukuran warna secara
dapat berbeda setiap waktunya sehingga dapat menyebabkan bias pada hasil
visual terhadap warna kukusan tapioka. Hasil kukusan tergantung pada jenis sagu
yang diuji. Sagu yang berasal dari cetrifuge memiliki warna kukusan yang putih
bening sedangkan sagu yang berasal dari bak pengendapan memiliki warna yang
bening keabu-abuan.
Rendahnya derajat putih pada tapioka disebabkan oleh warna coklat dan hitam
yang disebabkan oleh jamur. Warna menjadi pertimbangan bagi konsumen dalam
derajat putih berkaitan dengan berkurangnya reaksi maillard yang terjadi di dalam
berpengaruh terhadap warna tepung tersebut. hal ini disebabkan karena semakin
3.3.3 pH
tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu latutan. Pengukuran pH
asam atau basa, rendahnya nilai pH yang dihasilkan kemungkinan terjadi pada
saat rangkaian proses pengolahan pati singkong tersebut banyak tahapan proses
yang membuat pati singkong yang dihasilkan memiliki pH yag rendah. Tapioka
tersebut menandakan bahwa tapioka yang dihasilkan sudah memenuhi mutu yang
Pati singkong
b. Karakteristik fisik
c. Petunjuk penggunaan
Tapioka dapat digunakan sebagai bahan baku untuk membuat produk lain seperti
kerupuk, siomay, bakso, makaroni, dan sebagainya. Tepung tapioka juga biasa
Tepung tapioka disimpan dalam gudang yang kering sehingga tepung tidak
lembab dan tidak menggumpal sehingga tidak ditumbuhi jamur yang dapat
membuat warna tepung berubah. Masa kadaluarsa pada tapioka yang di produksi
oleh PT Bumi Sakti Perdana Laujaya bertahan selama 1 tahun, hal tersebut karena
kandungan air pada tapioka sangat rendah berkisar 11,0-13,0% sehingga dapat
seluruh proses sejak diterimanya bahan baku sampai penyimpanan produk jadi.
sistem untuk menilai suatu bahaya spesifik dan menetapkan sistem pengendalian
dalam pengawasan dan pengendalian mutu produk pangan, yaitu (1) keamanan
produk atau proses dalam kaitannya dengan kontaminasi produk atau fasilitas
sanitasi; (3) kecurangan ekonomi yaitu tindakan ilegal atau penyelewengan yang
menerapkan prinsip HACCP dengan baik sehingga produk yang diedarkan aman
digunakan yaitu singkong serta bahan penunjang berupa air sumur bor. Bahan-
menimbulkan bahaya seperti bahaya fisik, kimia maupun biologi. Bahaya fisik
berupa kotoran yang terbawa oleh singkong seperti tanah, kerikil, bonggol
40
singkong, benda asing lainnya serta singkong yang mutunya jelek dan busuk.
Bahaya kimia yang timbul adalah kandungan asam sianida (HCN) pada singkong.
Singkong yang jelek dapat menimbulkan keracunan yang disebabkan oleh racun
asam sianida yang ada pada singkong. Kandungan asam sianida yng tinggi dapat
yang aman dikonsumsi dan tidak berbahaya yaitu kurang dari 50 mg HCN/kg
bahan segar. Kadar bersifat beracun sedang yaitu 50-100 mg HCN/kg bahan
segar, dan bersifat sangar berbahaya pada kadar lebih dari 100 mg HCN/kg bahan
segar (Putra, 2009). Bahaya biologi yang timbul tidak terlalu bahaya sebab
Bahan penunjang dalam hal ini adalah air merupakan sumber lain dari
kontaminasi. Air juga dapat mengandung bahaya baik fisik, biologi, maupun
kimia. Timbulnya bahaya pada air yang digunakan dapat berasal dari sanitasi
lingkungan serta sumber air tersebut. Hal ini apabila dibiarkan akan mengurangi
mutu produk yang dihasilkan. Sumber air dapat menentukan kandungan yang
terdapat ada air tersebut dalam hal ini perusahaan telah melakukan analisis
terhadap air yang digunakan untuk produksi yang dapat dilihat pada Tabel 2. Air
yang digunakan untuk proses produksi sebaiknya memenuhi baku mutu air
minum, yang utama yaitu tidak berbau, berasa dan berwarna yang diatur dalam
mutu lainnya yaitu pengendalian sistem sanitasi yang baik pada alat-alat yang
2 Air Sumur Fisik Berbau, warna tidak jernih, Kontaminasi dengan lingjungan Memilih titik sumber penggalian
Bor lumpur/pasir sekitar sumur yang tepat
Kimia Terdapat cemaran logam Terikutnya tanah/pasir dari sumur Pengendalian proses Water
(Pb dan Fe) bor treatment dan sanitas
Biologi Lumut dan bakteri Coliform Pembuatan bak mengalir untuk
pengendapan pasir
Pengecekan secara berkala mutu air
yang digunakan
43
Selain analisis bahaya pada bahan baku diperlukan analisis bahaya pada tahapan
proses produksi dari singkong sampai produk tapioka. Tahap produksi berupa
menimbulkan bahaya secara fisik, kimia maupun biologi yang perlu dikendalikan.
Pada tahap proses produksi dapat terjadi kontaminasi salah satunya dari air yang
pencucian, pemarutan, ekstraksi serta pada tahap pemurnian. Hal ini air dapat
membawa kontaminan berupa bakteri yang tercemar pada air tersebut seperti
bakteri Escherichia coli dan Coliform. Air juga dapat membawa kontaminan dari
kandungan mineralnya yang dapat mengalami reaksi dengan bahan sehingga dapat
dilakukan adalah dengan melakukan analisis sumber air untuk produksi secara
berkala agar dapat diketahui apabila terjadi gangguan akibat kualitas air yang
tidak baik. Sanitasi pekerja juga menjadi salah satu hal penting yang perlu
diperhatikan. Penggunaan pakaian yang higenis dan melakukan cuci tangan dan
Staphylococcus aureus adalah bakteri berbentuk kokus dan bersifat gram positif,
tersebar luas dialam dan ada yang hidup sebagai flora normal pada manusia yang
44
terdapat di aksila, daerah inguinal dan perineal, dan lubang hidung bagian
anterior.
Bahaya fisik yang dapat timbul yaitu kotoran-kotoran yang terbawa pada proses
tanaman singkong, singkong yang busuk dan berjamur, singkong yang sudah
mengeras menjadi kayu, kerikil dan lain sebagainya. Tanah dapat menjadi sumber
kontaminasi biologi pada proses produksi ini, karena dalam tanah banyak
panjang yang tersangkut pada jaring yang diletakkan pada bak LMS sebelum
dilakukan pemarutan. Kerikil atau batu-batu kecil yang ikut saat proses produksi
akan tertangkap pada stone catcher sehingga tidak menyebabkan bahaya untuk
proses selanjutnya.
Kontaminasi lain dapat berasal dari kebersian alat. Kebersihan atau sanitasi alat
perlu diperhatikan, apabila tidak dilakukan pengendalian yang baik maka akan
langsung dengan bahan atau produk. Pada pipa yang mengalir pada proses
ektraksi, pemurnian, dan sentrifugasi menjadi hal yang sangat penting, karena
apabila kebersihan pipa tidak di jaga akan terjadi bloking atau penumpukan sisa-
sisa tapioka yang telah terjadi fermentasi sehingga akan mengendap pada pipa
tersebut. Bloking pada pipa tersebut akan menyebabkan tepung yang melewati
menggunakan bahan yang tidak mudah berkarat seperti tembaga atau stainless
steal. Karat yang terbentuk dapat mengkontaminasi bahan atau produk yang
melalui proses pada alat tersebut. Ketajaman parutan juga perlu diperhatikan agar
proses produksi berjalan lancar. Pada pabrik ini penggantian gergaji parutan
Hal lain yang dapat menimbulkan bahaya saat proses produksi tapioka adalah
tersebut atau kotoran lain yang masih tertinggal. Lokasi bak pengendapan yang
berdekatan dengan bak elot (limbah padat dari HCH) memungkinkan kontaminasi
pada sagu yang sedang diendapkan. Namun, pada pabrik ini dilakukan
pencegahan dengan memberikan sekat berupa waring diantara kedua bak tersebut.
pengendapan yang terlalu lama akan menyebabkan aroma tepung lebih asam yang
harus rendah dengan minimal 2% agar warna putih dan umur simpannya akan
lebih tahan lama. Selain itu kadar pati akan mengakibatkan proses pengolahannya
akan lebih sukar karena banyak mengandung lendir yang dapat menghalangi
5 Ekstraksi Fisik: pasir, serabut kasar Air yang digunakan kurang Menggunakan air bersih untuk proses
yang masih terbawa bersih dan pemarutan singkong Terdapat Desanding untuk menyaring pasir
kurang maksimal sebelum dilakukan ekstraksi
Kimia: Terdapat cemaran Melakukan pembersihan pada busket ekstraktor
logam (Pb dan Fe)
11 Pengemasan Fisik: serpihan benang Proses pengemasan dan Pengemasan dilakukan dengan baik dan hati-hati
sisa jahitan dan benda penjahitan karung yang kurang Melakukan penjahitan karung dengan segera
asing lainnya baik
12 Penggudangan Kutu, penggumpalan Penggudangan yang kurang tepat Pemberian batas antara produk tapioka dengan
tepung, warna tepung lantai dengan palate dari kayu atau tembaga
berubah sehingga tidak terjadi kelembapan dan menjaga
mutu produk
Kebersihan pekerja dan lingkungan sekitar
penggudangan diutamakan, dengan selalu
menjaga kebersihan selama proses produksi
berlangsung
Pengangkutan tapioka dilakukan dengan forklift
50
51
CCP atau titik kendali kritis didefinisikan sebagai suatu titik, langkah atau
prosedur yaitu pengendalian dapat diterapkan dan bahaya keamanan pangan dapat
dicegah, dihilangkan atau diturunkan sampai ke batas yang dapat diterima. Pada
setiap bahaya yang telah diidentifikasi dalam proses sebelumnya, maka dapat
ditentukan satu atau beberapa CCP yaitu suatu bahaya dapat dikendalikan.
berdasarkan analisis pada proses produksi tapioka. Dilihat dari tingkat dan jenis
bahaya yang timbul pada proses produksi ada beberapa proses yang perlu
Pencucian Ya Ya Ya CCP
Pemurnian Ya Ya Ya CCP
Setelah dilakukan analisis bahaya dan ditentukan titik kendali kritis ada beberapa
tahapan proses yang dianggap sebagai titik kritis yaitu pada tahap pengupasan,
koreksi apabila terjadi penyimpangan dari batas kritis suatu CCP. Hal tersebut
a. Pengupasan
Pengupasan dilakukan dengan alat root peeler yang dibantu dengan penyemprotan
air. Air yang digunakan adalah air bersih yang sesuai dengan Peraturan Menteri
pengupasan dilakukan dengan maksimal. Singkong dipastikan bersih dari kulit ari
serta kotoran lain seperti tanah yang menempel. Menurut Koswara (2009)
pahit. Singkong yang terasa pahit mengandung kadar HCN lebih dari 50 mg/kg
bahan basah. Untuk mengurangi hal tersebut dapat dilakukan dengan pemisahan
kulit singkong. Kulit singkong memiliki kandungan HCN yang sangat tinggi yaitu
sebesar 18,0 – 309,4 ppm untuk per 100 gram kulit singkong (Richana, 2012).
b. Pencucian
Pencucian dilakukan pada bak pencucian yang terdiri dari 2 unit bak yang
pencucian. Pencucian dilakukan dengan air buangan dari proses HCH pada bak
pertama dan selanjutnya pada bak ke-2 dibilas dengan air bersih. Pencucian
sebaiknya dilakukan dengan air bersih agar tidak terjadi kontaminasi pada bahan
berupa batu dan tanah yang akan mengganggu jalannya produksi. Apabila kotoran
54
tersebut ikut hinga proses-proses selanjutnya maka akan terjadi kontaminasi pada
c. Pemurnian
Pemurnian dilakukan pada unit HCH dan HCC. Pemurnian dilakukan untuk
memisahkan antara pati dengan partikel lain seperti ampas yang lolos dari proses
ekstraksi, getah, dan partikel-partikel lain. Pada proses ini penting sekali
diperhatikan karena akan menentukan rendemen atau persentase pati yang akan
diperoleh pada produk akhir. Kontrol pada tahap ini dilakukan dengan melakukan
pengaturan jumlah nozzle pada unit HCC. Jumlah nozzle akan menentukan
tekanan yang diberikan, semakin sedikit jumlah nozzle maka tekanan pada HCC
semakin tinggi sehingga diperoleh persentase pati yang tinggi yaitu berkisar 20-22
o
be. Konsentrasi tersebut penting dipertahankan untuk mencapai rendemen
tapioka yang diinginkan. Kontrol konsentrai pati juga terus dilakukan, apabila
4.1 Kesimpulan
2. Tahapan proses yang merupakan CCP (Critical Control Point) pada produksi
4.2 Saran
bekerja.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2012. Total Impor Ubi Kayu Indonesia Tahun 2012. BPS.
Jakarta.
Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan. 1996. Pedoman Umum HACCP (Hazard
Analysis Critical Control Point). Ditjen POM. Departemen Kesehatan.
Jakarta.
Ishaq, S, Habib A.R, Saima M, Siddique A, dan Syed Z.A.S. 2009. The Studies
On The Physico-Chemical and Organoleptic Characteristics of Apricot
(Prunus armeniaca L.) Produced in Rawalakot, Azad Jammu and Kashmir
During Storage. Pakistan Journal of Nutrition. 8(6): 856-860.
Rosa, A.S.D. (2004). Pengaruh Variasi Proses Heat Mouisture Treatment (HMT)
terhadap Karakteristik Pati Aren dan Sohunnya. Skripsi. Fakultas
Teknologi Pertanian. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
57
Sasaki dan Matsuki. 1998. Effect Wheat Starch Structure On Swelling Power.
Jurnal cereal chemistry. 75(4). American.
Suryani dan Wesniati. 2000. Studi Pembuatan Tepung Kara Benguk. Prosiding
Seminar Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi dalam Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Petani dan Pelestarian Lingkungan. Yogyakarta
Winarno, F.G dan Surono. 2004. HACCP dan Penerapannya Dalam Industri
Pangan. M-Brio Press. Bogor.
Yuliasih, I., Irawadi, T.T., Sailah, I., Pranamuda, H., Setyowati K. dan Sunarti,
T.C. 2007. Pengaruh proses fraksinasi pati sagu terhadap karakteristik
fraksi amilosanya. Jurnal Teknologi Industri Pertanian 17(1): 29-36.
LAMPIRAN
59