Anda di halaman 1dari 11

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2022/23.1 (2022.2)

Nama Mahasiswa : NABILA ARIE PUTRI

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 044017731

Tanggal Lahir : 19 JANUARI 2003

Kode/Nama Mata Kuliah : ADBI4336/HUKUM KETENAGAKERJAAN

Kode/Nama Program Studi : 311/Ilmu Hukum

Kode/Nama UPBJJ : 18/ PALEMBANG

Hari/Tanggal UAS THE : JUMAT/ 30 DESEMBER 2022

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN


RISET, DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS TERBUKA
BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

Surat Pernyataan
Mahasiswa Kejujuran
Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : NABILA ARIE PUTRI


NIM : 044017731
Kode/Nama Mata Kuliah : ADBI4336/HUKUM KETENAGAKERJAAN
Fakultas : FHISIP
Program Studi : ILMU HUKUM
UPBJJ-UT : 18/ PALEMBANG

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi
THE pada laman https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam
pengerjaan soal ujian UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya
sebagai pekerjaan saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai
dengan aturan akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan
tidak melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui
media apapun, serta tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan
akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat
pelanggaran atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi
akademik yang ditetapkan oleh Universitas Terbuka.
Palembang, 30 Desember 2022

Yang Membuat Pernyataan

NABILA ARIE PUTRI


BUKU JAWABAN UJIAN UNIVERSITAS TERBUKA

1. Pertanyaan:
a. Uraikanlah oleh saudara mengenai jenis perjanjian kerja apa saja yang berlaku dalam hubungan
industrial? Dan berikan pandangan saudara mengenai sikap yang dilakukan oleh pekerja tersebut!
Jawab :
1. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tetap (PKWTT)
Jenis kontrak kerja yang satu ini ditujukan bagi karyawan tetap. Mengapa begitu? Karena waktu tidak tetap
yang dimaksud ialah tidak adanya batasan waktu kerja sama yang dijalin antara perusahaan dengan karyawan.
Biasanya karyawan yang mendapatkan PKWTT terlebih dahulu menyelesaikan waktu
percobaan (probation) paling sedikit 3 bulan.
2. Perjanjian Kerja Waktu Tetap (PKWT)
Melalui kontrak kerja PKWT tentu sudah sangat jelas disebutkan bahwa hubungan pekerjaan hanya bersifat
sementara dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Biasanya perjanjian ini dapat memiliki kekuatan hukum
dengan adanya bukti tertulis dengan dibubuhi materai.
3. Perjanjian Kerja Paruh Waktu
Kita sering mendengarnya dengan sebutan part time, namun ada kontrak kerja samanya gak sih? Tentu ada!
Jenis kontrak kerja ini dibuat hanya bagi pekerjaan yang memiliki durasi kurang dari 8 jam setiap harinya.
4.Perjanjian Pemborongan Pekerjaan
Kamu tahu outsourcing, kan? Nah, pekerjaan itu biasanya menggunakan kontrak kerja yang satu ini. Perjanjian
ini biasanya dibuat saat pihak perusahaan bekerja sama dengan penyedia jasa tenaga kerja. Kontrak jenis ini
biasanya digunakan untuk jumlah pekerjaan dalam skala besar seperti pabrik. Lebih enaknya lagi, pihak
perusahaan harus membuat perjanjian kerja PKWTT dan PKWT sehingga menguatkan hukum dari kontrak
kerja ini.

b. Uraikan mengenai syarat-syarat perjanjian kerja yang harus dipenuhi oleh pekerja dengan pemberi
kerja dalam hubungan industrial di atas?
Jawab :
Pada dasarnya untuk menyatakan suatu perjanjian kerja dianggap sah atau tidak maka wajib untuk
memperhatikan ketentuan dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang
menyatakan bahwa :
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
1. Kesepakatan para pihak yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu pokok persoalan tertentu
4. Suatu sebab yang tidak terlarang
Sejalan dengan itu, Pasal 52 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga menegaskan bahwa:
Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
1. Kesepakatan kedua belah pihak
2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan
perundang undangan yang berlaku.

c. Bagaimana bila dalam suatu perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/buruh? Dalam
hal penyelesaian perselisihan tersebut serikat pekerja mana yang dapat mewakilkan dan berunding
dengan perusahaan?
Jawab :
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) merupakan salah satu sarana yang strategis dalam pelaksanaan hubungan
industrial di perusahaan. Apabila dilihat dari cara pembuatannya, berbeda dengan Peraturan Perusahaan,
perundingan PKB dilakukan secara musyawarah antara Serikat Pekerja/Buruh dengan Pengusaha. Oleh karena
itu, kedua belah pihak akan mengetahui secara jelas hak dan kewajiban masing-masing dengan cara menumbuh
kembangkan rasa saling pengertian, saling menghargai dan saling mempercayai.
Serikat pekerja/serikat buruh yang dapat berunding dengan perusahaan adalah:
1. SP/SB yang memiliki anggota lebih dari 50% dari jumlah seluruh buruh yang ada di perusahaan.
2. Apabila tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50% maka SP/SB tersebut dapat mewakili
pekerja/buruh dalam perundingan PKB setelah mendapat dukungan dari pekerja/buruh lain di luar
anggota SB hingga memenuhi syarat lebih dari 50%, melalui sebuah pemungutan suara (pasal 18
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2014 Tentang Tata Cara
Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja
Bersama (Permenaker 28/2014).
3. Bila dalam perusahaan memiliki lebih dari 1 SP/SB, maka yang dapat berunding, adalah maksimal 3
(tiga) SP/SB atau gabungan SP/SB yang jumlah anggotanya minimal 10% dari seluruh buruh yang ada
di perusahaan. 3 SP/SB yang dimaksud ditentukan sesuai peringkat berdasarkan jumlah anggota yang
terbanyak (Permenaker 28/2014).
Adapun aturan ini sebagaimana kita ketahui merupakan aturan yang menyelaraskan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 115/PUU-VII/2009 tanggal 10 November 2009. Dimana kala itu Serikat Pekerja (SP) BCA
Bersatu mengajukan permohonan peninjauan pasal 120 UU 13/2003 kepada Mahkamah Konstitusi karena
dinilai melanggar hak buruh untuk berunding. Pasal a quo yang telah dicabut menyebutkan dalam hal di satu
perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) SP/SB maka yang berhak berunding adalah SP/SB yang jumlah
anggotanya lebih dari 50% dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut.

2. Pertanyaan:
a. Analisa oleh saudara mengenai langkah dan upaya yang dapat dilakukan oleh pekerja, serikat pekerja
atau pengusaha apabila terjadi perselisihan hubungan industrial?
Jawab :
Menurut Analisa saya mengenai langkah dan upaya yang dapat dilakukan oleh pekerja, serikat pekerja atau
pengusaha apabila terjadi perselisihan hubungan industrial adalah Terdapat berbagai tahap-tahap perundingan
PKB yang disusun oleh berbagai pihak, biasanya disusun berdasarkan pengalaman tim perunding ketika
melakukan perundingan. Berikut tahapan yang telah disusun berdasarkan berbagai pengalaman tersebut serta
ketentuan dalam Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Permenaker 28/2014:
1. Tahap persiapan
Yang perlu diperhatikan dalam tahap persiapan adalah:
1. Kesiapan fisik dan mental
2. Mempersiapkan data dan informasi, seperti:
a. Hasil konsultasi dengan perangkat organisasi SP/SB dan pihak lain yang relevan
b. Menggali aspirasi anggota dengan cara wawancara atau angket
c. Mencari dan mempelajari PKB dari perusahaan lain yang sejenis
d. Mencari dan mempelajari data produksi, data investasi, data penjualan, dsb.
3. Membuat draft PKB versi SP/SB dan siap dipertukarkan dengan versi pengusaha
4. SP/SB mengajukan permintaan berunding dengan pengusaha.
5. Pengusaha dapat meminta verifikasi keanggotaan SP/SB
6. Mempersiapkan tim perunding. Pihak pengusaha dan pihak SP/SB menunjuk tim perunding dengan
ketentuan masing-masing paling banyak 9 (sembilan) orang dengan kuasa penuh.
7. Menyepakati tata tertib/aturan perundingan yang sekurang-kurangnya memuat:
a. Tujuan pembuatan tata tertib
b. Susunan tim perunding
c. Lamanya masa perundingan
d. Materi perundingan
e. Tempat perundingan
f. Tata cara perundingan
g. Cara penyelesaian apabila terjadi kebuntuan perundingan
h. Sahnya perundingan, dan
i. Biaya perundingan.
2. Tahap perundingan
Yang perlu diperhatikan dalam tahap perundingan sebagai berikut:
1. Mempertukarkan draft PKB masing-masing pihak.
2. Menginventarisasi hal-hal yang sudah mempunyai titik temu dan hal-hal yang belum disepakati yang
harus dirundingkan.
3. Dimulai dari topik yang sederhana hingga yang sulit disepakati. Pada topik yang sulit, coba lewatkan
terlebih dahulu dan kembali lagi ke topik tersebut setelah topik lainnya sudah disepakati.
4. Menjaga suasana keterbukaan dan kekeluargaan, bila suasana memanas perundingan dapat
diistirahatkan, setelah dingin perundingan dapat dilanjutkan.
3. Tahap penyusunan
Yang perlu diperhatikan dalam tahap penyusunan sebagai berikut:
1. Item-item yang disepakati disusun menjadi konsep Perjanjian Kerja Bersama
2. Membentuk tim kecil yang yang anggotanya terdiri dari wakil kedua belah pihak untuk menyusun
redaksional
3. Perlu diperhatikan kalimat yang sederhana dan mudah dipahami. Hindari kalimat yang memiliki banyak
makna dan tidak dapat diimplementasikan.
4. Jika diperlukan dapat dibuat penjelasan pasal-pasal.
5. Hasil tim kecil dibahas dalam rapat pleno tim perundingan.
6. PKB yang telah disepakati ditandatangani oleh direksi atau pimpinan perusahaan, ketua dan sekretaris
SP/SB yang terlibat dalam perundingan. Dalam hal PKB ditandatangani oleh wakil direksi atau wakil
pimpinan perusahaan, harus melampirkan surat kuasa khusus dari direksi atau pimpinan perusahaan.
4. Tahap pendaftaran
1. Pengusaha wajib mendaftarkan PKB kepada instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang ketenagakerjaan, dengan ketentuan:
a. Untuk perusahaan yang terdapat hanya dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota kepada dinas
ketenagakerjaan kabupaten/kota
b. Untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi
kepada dinas ketenagakerjaan provinsi, dan
c. Untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1 (satu) provinsi kepada Direktur Jenderal
Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian
Ketenagakerjaan RI
2. Pengajuan pendaftaran PKB harus melampirkan naskah PKB yang telah ditandatangani diatas materai
cukup.
3. Pengajuan pendaftaran PKB dibuat dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Permenaker 28/2014
4. Dinas/Kementerian Ketenagakerjaan harus meneliti kelengkapan persyaratan formal dan wajib
menerbitkan surat keputusan pendaftaran PKB dalam waktu paling lama 4 (empat) hari kerja sejak
diterimanya permohonan pendaftaran.
5. Bila persyaratan tidak terpenuhi dan/atau terdapat materi PKB yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, Dinas/Kementerian mengembalikan pendaftaran kepada para pihak agar
dipenuhi/diperbaiki. Dalam hal kedua belah pihak tetap bersepakat/tidak mengganti PKB tersebut maka
Dinas/Kementerian harus memberi catatan mengenai pasal-pasal yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan (pasal 31 ayat (5), (6), dan (7) Permenaker 28/2014).
Ketentuan yang demikian tentu membingungkan oleh karena aturan ketenagakerjaan khususnya pasal 124 ayat
(2) dan (3) UU 13/2003 mewajibkan PKB tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan PKB yang demikian batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan
perundang- undangan. Dapat kami jelaskan, dalam hal ini yang berlaku adalah Undang-undang mengingat
Peraturan Menteri Tenaga Kerja adalah peraturan yang berada di bawah Undang-undang, menurut hierarki/tata
urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
5. Tahap sosialisasi
Pada tahap ini sebagaimana diatur dalam pasal 126 Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, sebagai berikut:
1. Pengusaha dan SP/SB wajib wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam PKB.
2. Pengusaha dan SP/SB wajib wajib memberitahukan isi PKB atau perubahannya kepada seluruh
pekerja/buruh.
3. Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah PKB kepada setiap pekerja/buruh atas biaya
perusahaan.

b. Berikan penilaian saudara mengenai kedudukan masing-masing pihak dalam perselisihan hubungan
industrial?
Jawab :
Menurut penilaian saya mengenai kedudukan masing-masing pihak dalam perselisihan hubungan industrial,
yaitu :
• Pemerintah
Dalam pengertian hubungan industrial, pemerintah adalah entitas yang memiliki fungsi sebagai pihak yang
membuat kebijakan, memberikan pelayanan, serta mengawasi jalannya sebuah usaha.
Selain itu, pemerintah juga berhak menindak jika ada pihak yang melanggar aturan yang sudah dimuat di
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
• Karyawan dan Serikat Pekerja
Untuk menciptakan hubungan yang harmonis, karyawan memiliki fungsi untuk menyelesaikan pekerjaannya
di perusahaan sesuai dengan kewajiban mereka masing-masing.
Karyawan juga memiliki fungsi untuk menjaga ketertiban di perusahaan dan menghindari terjadinya konflik.
Karyawan juga dapat menyampaikan pendapatnya secara demokratis serta mengembangkan keahlian mereka
guna meningkatkan performa perusahaan.
• Perusahaan atau Pengusaha
Sementara itu, sebuah perusahaan memiliki fungsi untuk menjalin hubungan yang baik dengan karyawan,
mengembangkan usaha mereka, memberikan kesempatan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, serta memberi
kesejahteraan untuk karyawan mereka.
Perusahaan juga sebisa mungkin harus menciptakan hubungan industrial yang harmonis dengan karyawan.
Perusahaan harus memastikan hak-hak karyawan terpenuhi sehingga konflik perselisihan hingga berujung ke
pengadilan hubungan industrial bisa dihindari.

3. Pertanyaan:
a. Uraikan oleh saudara mengenai dasar penyelenggaraan peralihan pelaksanaan pekerjaan
(outsourcing) kepada prusahaan lain berdasarkan perjanjian pekerjaan borongan dalam penyediaan
tenaga kerja/buruh?
Jawab :
Pada UU No. 11 Tahun 2020 jo PP No. 35 Tahun 2021, Alih Daya tidak lagi dibedakan antara Pemborongan
Pekerjaan (job supply) atau Penyediaan Jasa Pekerja (labour supply). Alih Daya tidak lagi dibatasi hanya untuk
pekerjaan penunjang (non core business process) sehingga tidak ada lagi pembatasan jenis pekerjaan yang
dapat dialihdayakan. Jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan, tergantung pada kebutuhan sektor.
Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja yang dipekerjakan, didasarkan pada PKWT atau
PKWTT. Perlindungan Pekerja/Buruh, Upah, kesehjateraan, syarat kerja, dan perselisihan diatur dalam
Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama
Berdasarkan PP No. 35 Tahun 2021 Pasal 18
Dalam PKWT harus mensyaratkan pengalihan pelindungan hak bagi Pekerja/Buruh apabila terjadi pergantian
Perusahaan Alih Daya dan sepanjang obyek pekerjaan tetap ada. Pesyaratan tersebut merupakan jaminan atas
kelangsungan bekerja bagi Pekerja/Buruh. Jika Pekerja/ Buruh tidak memperoleh jaminan atas kelangsungan
bekerja, maka Perusahaan Alih Daya bertanggung jawab atas pemenuhan hak Pekerja/Buruh.
Berdasarkan PP No. 35 Tahun 2021 Pasal 19

b. Uraikan mengenai kualifikasi suatu badan usaha yang dapat menjadi penyedia outsourcing?
Jawab :
Berdasarkan pasal 66 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bahwa perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum (business entities) dan memiliki izin dari
instansi yang bertanggung-jawab di bidang ketenagakerjaan. Ketentuan tersebut dipertegas kembali
dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.Kep-101/Men/VI/2004 tentang Tata Cara
Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh, khususnya dalam pasal 2 dan pasal 3, bahwa untuk dapat
menjadi perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh wajib memiliki izin operasional dari instansi yang
bertanggung-jawab di bidang ketenagakerjaan (c.q. Dinas Ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota) sesuai domisil
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang bersangkutan. Izin dimaksud berlaku di seluruh Indonesia untuk
jangka waktu 5 (lima) tahun, dan (selanjutnya) dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.
Dengan demikian suatu perusahaan yang beroperasi di bidang penyedia jasa pekerja/buruh, selain harus
memiliki tanda daftar perusahaan (TDP) dari “Dinas Perdagangan“ (sesuai pasal 5 dan 22 jo. pasal 11 dan pasal
12 UU No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan), juga harus memiliki izin operasional sebagai
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dari Dinas Ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota sesuai lokasinya.
Jadi bukan “sertifikat penyedia jasa tenaga kerja dari Depnaker” sebagaimana disebutkan dalam surat
(pertanyaan) Saudara. Demikian juga, “izin dari Kadin” sebagaimana yang Saudara sebutkan dalam surat
dimaksud, menurut hemat kami hanya sebagai bukti keanggotaan perusahaan Saudara dalam organisasi
“Kamar Dagang dan Industri”, dan bukan sebagai persyaratan untuk beroperasi di bidang penyedia jasa
pekerja/buruh.
Untuk mendapatkan izin operasional dimaksud, perusahaan penyedia jasa pekerja/buuh menyampaikan
permohonan kepada Dinas Ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan persyaratan-persyaratan sebagai
berikut :
a. Copy pengesahan (Akta Pendirian dan Pengesahaannya) sebagai badan hukum berbentuk PT atau
Koperasi dari Kementerian Hukum dan HAM atau Kementerian Koperasi (sesuai bentuk entitynya);
b. Copy Anggaran Dasar (articles of association) yang memastikan kegiatan usahanya sebagai penyedia jasa
pekerja/buruh;
c. Copy SIUP sesuai dengan TDP (sebagai badan usaha yang melakukan kegiatan usaha bisnis); dan
d. Copy – bukti - Wajib Lapor Ketenagakarjaan di Perusahaan (berdasarkan UU No. 7 Tahun 1981).
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2. Undang-Undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;
3. Undang-Undang No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan;
4. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep-101/Men/VI/2004 tentang Tata Cara Perizinan
Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh;

c. Berdasarkan uraian soal di atas, bagaimana kedudukan penggunaan jasa outsourcing dari
perusahaan A kepada Perusahaan B termasuk dalam pekerjaan yang dapat dikerjakan dalam lingkup
outsourcing?
Jawab :
Paska Omnibus Law UU No. 11/2020 jo PP 35/2021, alih daya tidak lagi dibedakan antara Pemborongan
Pekerjaan (job supply) atau Penyediaan Jasa Pekerja (labour supply). Alih Daya tidak lagi dibatasi hanya untuk
pekerjaan penunjang (non core business) sehingga tidak ada lagi pembatasan jenis pekerjaan yang dapat
dialihdayakan. Jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan tergantung pada kebutuhan sektor.
Aturan ini berbeda dengan UU No. 13 Tahun 2003 jo Permenaker No. 19/2012 jo Permenaker No. 11/2019
yang memberi batasan pada perjanjian jasa penyedia pekerjaan, jenis pekerjaan dibatasi hanya untuk pekerjaan
penunjang (non core business), yakni terbatas pada: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha
penyediaan makanan bagi pekerja (catering), usaha tenaga pengamanan (security/satuan pengamanan), usaha
jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja.
Perluasan sistem kerja outsourcing ini mendapatkan banyak penolakan dari serikat buruh, mengingat sebelum
omnibus law, sistem kerja ini pada prakteknya diberlakukan bagi berbagai jenis pekerjaan (baik pekerjaan
utama maupun penunjang) karena lemahnya pengawasan ketenagakerjaan. Dan saat ini perluasan tersebut
dilegalkan dengan omnibus law.
BAGAIMANA HUBUNGAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN OUTSOURCING DENGAN PEKERJA
OUTSOURCING?
Hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerja outsourcing dapat didasarkan pada Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Ketentuan ini berbeda
dengan UU 13/2003 yang menyebut perjanjian kerja hanya menggunakan PKWT. Meski kemudian mengenai
hal ini telah dicabut oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012
kemudian diterbitkan Permenaker No. 19/2012 jo Permenaker No. 11/2019 yang dimaksudkan untuk merevisi
aturan outsourcing sesuai putusan Mahkamah Konstitusi.
BAGAIMANA HUBUNGAN KERJA ANTARA PERUSAHAAN PEMBERI KERJA DENGAN PEKERJA
OUTSOURCING?
Meski sehari-hari pekerja outsourcing bekerja di lokasi kerja perusahaan pemberi kerja namun pekerja
outsourcing tidak memiliki perjanjian kerja langsung dengan perusahaan pemberi kerja. Perlindungan pekerja,
upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta bila dikemudian hari terjadi perselisihan yang timbul, menjadi
tanggung jawab perusahaan outsourcing.

4. Pertanyaan:
a. Analisa dan uraikan mengenai indikator kesalahan berat yang menjadi alasan PHK secara sepihak
sebagaimana ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan?
Jawab :
Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur tentang pemutusan
hubunga kerja (PHK) akibat adanya alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat. Pasal ini dalam
perkembangannya kemudian telah dinyatakan tidak mengikat oleh Mahkamah Konstitusi.
Saya tidak menemukan definisi yang pasti tentang “kesalahan berat” yang dimaksud. Sekalipun demikian,
secara denotatif Pasal 158 ayat (1) pada huruf a sampai j telah memerinci jenis-jenis kesalahan berat yang dapat
mengakibatkan PHK dan apa yang harus dilakukan oleh pengusaha manakala terjadi kesalahan itu dilakukan
oleh pekerja/buruh. Contohnya adalah apabila pekerja/buruh melakukan penipuan, pencurian, atau
pengggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan; atau buruh memberikan keterangan palsu atau yang
dipalsukan sehingga merugikan perusahaan; atau mabuk, meminum minuman keras; atau melakukan perbuatan
asusila atau perjudian di lingkungan kerja; atau menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi
teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja; dan seterusnya. Kesalahan berat itu harus didukung dengan
bukti, yakni pekerja/buruh tertangkap tangan, atau ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan, atau
bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan
dan didukung oleh sekurang-kurangnya dua alat saksi.
Walaupun perusahaan boleh melakukan PHK, Pasal 155 jo Pasal 151 dari undang-undang yang sama melarang
PHK tanpa penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. PHK tanpa penetapan
adalah batal demi hukum. Namun, ayat (3) dari Pasal 155 memungkinkan pengecualian bahwa sebelum ada
penetapan pelaku usaha boleh menjatuhkan skorsing dengan tetap membayar upah beserta hak-hak lainnya
yang biasa diterima pekerja/buruh tersebut.
Pasal 155 jo Pasal 151 ini bertolak belakang dengan Pasal 158 karena pasal yang disebutkan terakhir
ini membuka kesempatan PHK oleh pengusaha apabila pekerja/buruh melakukan kesalahan berat. Keberadaan
Pasal 158 ini selanjutnya memicu dilakukannya uji materiil Undang-Undang Ketenagakerjaan terhadap UUD
1945. Mahkamah Konstitusi pada tanggal 28 Oktober 2004 telah mengeluarkan putusan dengan Nomor
12/PUU-I/2003 yang dalam salah satu pertimbangannya menyatakan bahwa kesalahan berat yang diatur dalam
Pasal 158 adalah perbuatan pidana yang telah diatur dalam KUHP. Ketentuan pasal ini dinilai telah melanggar
asas praduga tak bersalah, mengingat pasal ini telah memberikan dasar bagi pengusaha untuk melakukan PHK
secara sepihak sebelum ada putusan pengadilan.
Jadi, dengan adanya putusan MK ini, PHK atas kesalahan berat baru dapat dilakukan oleh pengusaha setelah
pelaku terbukti dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Sebagai tindak lanjut atas Putusan MK RI No.
012/PUU-I/2003 tersebut, pada tanggal 7 Januari 2005, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Menakertrans) juga sudah mengeluarkan Surat Edaran No. SE.13/MEN/SJ-HKI/I/2005 yang pada intinya
meminta pengusaha baru melakukan PHK kepada pekerja karena alasan kesalahan berat setelah adanya putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa pekerja benar telah melakukan kesalahan
berat.
Oleh sebab itu, dengan dicabutnya Pasal 158 Undang-Undang Ketenagakerjaan, berarti rincian kesalahan berat
oleh pekerja/buruh dalam rangka suatu hubungan kerja, menjadi pengaturan di luar Undang-Undang
Ketenagakerjaan. Kesalahan berat itu sepenuhnya berada dalam ranah hukum pidana. Kesalahan berat adalah
perbuatan tindak pidana yang terbukti dilakukan dan dihukum oleh pengadilan berdasarkan putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap. Sepanjang putusan itu belum ada, PHK belum dapat dijatuhkan, kecuali berformat
skorsing.

b. Setelah diadakan judicial review maka status pasal 158 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Analisa
oleh saudara mengenai pertimbangan Mahkamah Konstitusi mengenai pencabutan Pasal 158 UU
Ketenagakerjaan apakah tidak bertentangan dengan pertimbangan Pasal 159 UU Ketenagakerjaan?
Jawab :
Sebagian Undang-Undang Ketenagakerjaan Dinyatakan Tidak Berlaku. Mahkamah Konstitusi menyatakan
sebagian pasal-pasal Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD
dan oleh karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dua pasal diantaranya adalah mengenai PHK.
Dalam pertimbangan hukumnya, pleno hakim konstitusi sepakat dengan pemohon dan menyatakan pasal 158
UUK bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) UUD45. Di mata MK, pasal 158 memberi kewenangan pada
pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan buruh telah melakukan kesalahan berat tanpa due process of
law melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsial. Berdasarkan pasal 158 buruh memang bisa
terkena PHK hanya karena keputusan pengusaha melalui bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut
hukum acara yang berlaku.
Aturan ini dinilai majelis hakim berbeda dengan ketentuan pasal 160 UUK. Berdasatkan pasal ini buruh yang
ditahan pihak berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas permintaan pengusaha,
diperlakukan sesuai asas praduga tidak bersalah. Si buruh masih memperoleh hak-haknya hingga enam bulan
berikutnya. Bila tindak pidana tidak terbukti, buruh wajib dipekerjakan kembali.
Pasal 159 yang mengatur tentang PHK buruh karena kesalahan berat dinilai majelis tidak adil. Beban
pembuktian berdasarkan pasal ini dibebankan kepada buruh, padahal buruh berada pada posisi lemah secara
ekonomi. (Buruh) seharusnya memperoleh perlindungan hukum yang lebih dibanding pengusaha, papar majelis
dalam petitumnya.
Putusan sebagian pasal Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) itu dibacakan majelis hakim konstitusi dalam
sidang di Jakarta (28/10). Pasal-pasal yang dinyatakan tidak berlaku adalah pasal 158 dan 159 yang mengatur
soal pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pasal 160 ayat (1) dinyatakan tidak mengikat sepanjang mengenai anak kalimat “bukan atas pengaduan
pengusaha”. Demikian pula pasal 170 dan 171 sepanjang mengenai anak kalimat “kecuali pasal 158 ayat (1)”.
Pasal 186 juga dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi sepanjang mengenai anak kalimat “pasal 137 dan
pasal 138 ayat (1)”.
Sidang pembacaan putusan itu sendiri diwarnai aksi demo seratusan buruh yang datang dalam dua gelombang.
Meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian UUK, kalangan buruh
tetap tidak puas. Mereka meminta agar seluruh UUK dicabut.
Dalam pertimbangan hukumnya, pleno hakim konstitusi sepakat dengan pemohon dan menyatakan pasal 158
UUK bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) UUD45. Di mata MK, pasal 158 memberi kewenangan pada
pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan buruh telah melakukan kesalahan berat tanpa due process of
law melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsial. Berdasarkan pasal 158 buruh memang bisa
terkena PHK hanya karena keputusan pengusaha melalui bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut
hukum acara yang berlaku.
Aturan ini dinilai majelis hakim berbeda dengan ketentuan pasal 160 UUK. Berdasatkan pasal ini buruh yang
ditahan pihak berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas permintaan pengusaha,
diperlakukan sesuai asas praduga tidak bersalah. Si buruh masih memperoleh hak-haknya hingga enam bulan
berikutnya. Bila tindak pidana tidak terbukti, buruh wajib dipekerjakan kembali.
Pasal 159 yang mengatur tentang PHK buruh karena kesalahan berat dinilai majelis tidak adil. Beban
pembuktian berdasarkan pasal ini dibebankan kepada buruh, padahal buruh berada pada posisi lemah secara
ekonomi. (Buruh) seharusnya memperoleh perlindungan hukum yang lebih dibanding pengusaha, papar majelis
dalam petitumnya.

c. Bagaimana bentuk perlindungan kepada pekerja yang masih di PHK dikarenakan melakukan
kesalahan berat setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pencabutan Pasal 158?
Jawab :
Ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan ini dinilai oleh pihak pekerja dan serikat pekerja telah bertentangan
dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, serta melanggar azas praduga tidak bersalah/ preassumption of innocence.
Berdasarkan alas hukum tersebut maka dilakukan permohonan hak uji materi UU Ketenagakerjaan. Atas
permohonan pekerja dan serikat pekerja, Mahkamah Konsitusi (MK) menjatuhkan putusan No.012/PUU-
I/2003, tertanggal 28 Oktober 2004, yang amar putusannya pada pokoknya menyatakan ketentuan Pasal 158
UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat.[2]
Pasca putusan MK, muncul banyak penafsiran dalam hal terjadi perselisihan hubungan industrial mengenai
pemutusan hubungan kerja karena pekerja melakukan perbuatan yang dikualifikasikan dalam ketentuan Pasal
158 UU Ketenagakerjaan.
Menyikapi hal tersebut Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada 7 Januari 2005 menerbitkan Surat
Edaran Nomor: SE.13/MEN/SJ-HK/I/2005.[3] Isi pokok dari surat edaran menteri itu adalah penyelesaian
perkara pemutusan hubungan kerja karena pekerja melakukan kesalahan berat harus memperhatikan dua hal.
Yakni, PHK dapat dilakukan setelah ada putusan pidana yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau apabila
pekerja ditahan dan tidak dapat melaksanakan pekerjaan maka berlaku ketentuan Pasal 160 UU
Ketenagakerjaan. Selain itu, surat edaran menteri juga menyatakan, dalam hal terdapat “alasan mendesak” yang
berakibat hubungan kerja tidak dapat dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh upaya penyelesaian
melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Belum tuntas perbedaan penafsiran mengenai “kesalahan berat” Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
memunculkan istilah “alasan mendesak” tanpa memberikan pengertian yang jelas. Berdasarkan penelusuran
pustaka, “alasan mendesak” ternyata ditemukan pada buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal
1603 o, yang isinya sebagian besar sama dengan ketentuan Pasal 158 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
1. Menyatakan gugatan tidak dapat diterima apabila gugatan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan
berat belum memiliki putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap.
2. Mengabulkan gugatan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat apabila kesalahan berat diatur
dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dan pengusaha dapat
membuktikanya dalam persidangan.
Dalam hal ini pengadilan akan memberikan hukuman kepada pengusaha untuk membayarkan kompensasi
sebesar 1 x ketentuan Pasal 156 ayat (2), (3) & (4) UU Ketenagakerjaan. Namun sebagian pengadilan ada yang
memutuskan tanpa memberikan hak pesangon dan penghargaan masa kerja.
3. Mengabulkan gugatan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat meskipun dianggap tidak terbukti.
Pada beberapa kasus hakim justru mendasarkan alasan pemutusan hubungan kerja karena efisiensi
sebagaimana diatur dalam Pasal 164 ayat 3 UU Ketenagakerjaan, dan apabila pengusaha dinilai telah
kehilangan kepercayaan dan hubungan kerja menjadi disharmonis maka pengusaha akan dihukum untuk
membayarkan pesangon sebesar 2 x ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.
Mendasarkan pada praktik penerapan pemutusan hubungan kerja di atas, diketahui bahwa pemutusan hubungan
kerja karena kesalahan berat dapat diselesaikan melalui proses hukum acara penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI. Melihat kenyataan tersebut
kedepan diharapkan mediator tidak lagi menolak untuk melakukan mediasi dan hakim diharapkan bersedia
memeriksa dan mengadili gugatan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat.
Berdasarkan fakta yang terjadi dalam penerapan pemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat maka sudah
saatnya untuk menyamakan persepsi bahwa melakukan proses pidana terhadap pekerja yang melakukan
kesalahan berat harus ditafsirkan sebagai hak pengusaha, sehingga mediator dan hakim tidak lagi mewajibkan
kesalahan berat harus diproses secara pidana terlebih dahulu.
Kewajiban Membayar Upah
Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dengan tegas menyatakan bahwa upah tidak dibayar apabila
pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. Artinya, jika antara pengusaha dan pekerja terjadi kesepakatan
mengenai PHK secara musyawarah dan mufakat, maka sejak PHK dilakukan perusahaan tidak lagi diwajibkan
membayar upah pekerja.

Lain halnya jika antara pengusaha dan pekerja tidak tercapai kesepakatan mengenai PHK dan perselisihan PHK
didaftarkan melalui PHI. Pengusaha masih diwajibkan untuk membayar upah kepada pekerja yang disebut
dengan “upah proses”.

Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 155 UU Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa:

1. Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi
hukum.
2. Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik
pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
3. Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja
dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.

Namun Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 37/PUU-IX/2011 (“Putusan MK


37/2011”) menyatakan bahwa frasa “belum ditetapkan” dalam pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai
“belum berkekuatan hukum tetap”.

Adapun SEMA 3/2015 menguraikan bahwa pasca Putusan MK 37/2011 terkait dengan upah proses, maka isi
amar putusan adalah “MENGHUKUM PENGUSAHA MEMBAYAR UPAH PROSES SELAMA 6 BULAN”.
Kelebihan waktu dalam proses PHI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bukan lagi menjadi tanggung jawab para pihak.

Anda mungkin juga menyukai