Anda di halaman 1dari 19

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah


Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh 25) merupakan pembayaran pajak yang
pelunasannya dilakukan dengan cara mengangsur selama tahun berjalan. Penetapan besarnya
angsuran PPh 25 dihitung berdasarkan data SPT Tahunan pada tahun sebelumnya. Ini artinya
penghasilan tahun sekarang sama dengan penghasilan di masa lalu dan akan ada selisih atau
perbedaan dengan kondisi sebenarnya pada tahun pajak terakhir. Dalam self assesment
system, Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar
dan melaporkan sendiri PPh 25 yang terutang dengan jujur sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya. Namun dalam praktiknya, self assesment system masih disalahgunakan dan
belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Contohnya saat Wajib Pajak mengalami
penurunan peredaran usaha dalam tahun berjalan, otomatis akan menimbulkan PPh 25 yang
lebih bayar dan Wajib Pajak akan diperiksa oleh Aparat Pajak. Bila Aparat Pajak/Fiskus telah
melakukan pemeriksaan, kecenderungan Wajib Pajak takut jangan - jangan pajak yang akan
ditanggung akan melambung tinggi. Sehingga Wajib Pajak berusaha untuk mensiasati
penghasilannya agar pajak yang akan dibayar tidak tinggi (Tarjo dan Indrawati, 2006).
Untuk mengatasi masalah tersebut, butuh pihak yang dapat menyelesaikan
permasalahan tersebut agar tidak melanggar peraturan perundang – undangan perpajakan.
Salah satu pihak yang dapat mengamankan penerimaan negara selain Kantor Pelayanan Pajak
yaitu seorang Konsultan Pajak (Budileksmana, 2015). Konsultan Pajak adalah orang yang
memberikan jasa konsultasi perpajakan kepada Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak
dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Selain memberikan jasa konsultasi, Konsultan Pajak memberikan jasa tax
compliance audit, yaitu mengadakan pemeriksaan dan meneliti apakah Wajib Pajak telah
melakukan hak dan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
perpajakan, baik memenuhi ketentuan formalnya maupun ketentuan materialnya. Dalam jasa
tax compliance audit ini, Konsultan Pajak juga memberikan saran-saran perbaikan dan
penyempurnaan kepada Wajib Pajak dalam hal pelaksanaan perpajakannya serta membantu
Wajib Pajak dalam membuat perhitungan pajaknya yang harus dibayar dan sekaligus
memberikan pengarahan dalam pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) sebagai laporan
tahunannya yang harus sesuai dengan ketentuan perundang - undangan perpajakan.
Ketika timbul adanya permintaan dari Wajib Pajak untuk membantu mensiasati
pembayaran pajaknya, tentunya seorang Konsultan Pajak berada dalam dua kepentingan yang
1
berbeda. Inside Tax (2013) dalam Kusuma, dkk (2016) menjelaskan bahwa ada dua
kepentingan Konsultan Pajak yang berbeda yaitu kepentingan negara dalam meningkatkan
jumlah penerimaan negara serta kepentingan klien dalam meminimalkan beban pajak.
Sehingga, dalam Kode Etik Ikatan Konsultan Pajak Indonesia, Konsultan Pajak harus
menerapkan asas ketidak – berpihakan atau independensi di mana Konsultan Pajak tidak
boleh berpihak pada salah satu pihak saja, baik kepada pihak Aparat Pajak ataupun Wajib
Pajak. Namun dalam prakteknya masih banyak Konsultan Pajak yang belum bisa menerapkan
asas ketidak - berpihakan, salah satunya seperti kasus keterlibatan Konsultan Pajak bersama
Dhana Widyatmika dalam proses penyelesaian pajak kurang bayar PT.Mutiara Virgo tahun
2003 dan 2004.
Seperti halnya dalam penetapan PPh 25 yang awalnya lebih bayar dibuat menjadi
kurang bayar. Hal tersebut menimbulkan dilema etika bagi profesi Konsultan Pajak
khususnya terhadap pengambilan keputusan. Fenomena bias yang terjadi dalam pengambilan
keputusan dapat disebabkan karena efek anchoring - adjustment, yang secara psikologis
dapat mempengaruhi perilaku seseorang, khususnya Konsultan Pajak. Pompian (2012)
menjelaskan bahwa anchoring and adjustment bias terjadi ketika seseorang dituntut untuk
mengestimasi sesuatu yang belum diketahui sebelumnya. Ini artinya, Konsultan Pajak
mencoba mengasumsikan penghasilan tahun ini sama dengan tahun lalu, tetapi tidak bisa
dipungkiri apabila dalam tahun berjalan terdapat kondisi penurunan omzet, maka hal itu akan
mempengaruhi penetapan PPh 25. Andini (2013) menjelaskan bahwa ketika membuat
estimasi (asumsi) yang belum diketahui sebelumnya harus berhati – hati, karena dapat
dipengaruhi oleh nilai anchornya. Maka dari itu ketika menghitung dan menetapkan PPh 25,
Konsultan Pajak harus berhati – hati supaya apa yang dihitung tetap berdasarkan pedoman
perpajakan.
Diduga Wajib Pajak lebih suka membuat pajak yang awalnya lebih bayar menjadi
kurang bayar. Dalam kondisi lebih bayar terjadi proses pemeriksaan yang dilakukan oleh
Aparat Pajak, sehingga mereka melakukan proses adjustment terhadap SPT mereka dengan
cara berkonsultasi dengan Konsultan Pajak. Maka dalam penelitian ini peneliti ingin
mengidentifikasi apakah benar seorang Konsultan Pajak mengalami anchoring – adjustment
saat pemberian saran dalam penyusunan SPT Tahunan mengenai PPh 25/29 ? Beberapa
penelitian mengenai anchoring – adjustment telah dilakukan oleh beberapa peneliti, seperti
penelitian yang telah dilakukan oleh Saraswati (2015) dan Wahyuni dan Hartono (2011).
Namun, dalam penelitian di bidang pajak, anchoring – adjustment masih belum banyak
dijumpai.
2
Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi adanya anchoring – adjustment terhadap pemberian saran Konsultan Pajak
dalam Penyusunan SPT Tahunan mengenai PPh 25/29. Kemungkinan besar saat memberi
saran dalam penyusunan SPT Tahunan PPh 25/29, Konsultan Pajak tidak menyadari bahwa
mereka mencerminkan perilaku anchoring – adjustment. Penelitian ini memberikan manfaat
untuk memberikan gambaran (deskripsi) tentang perilaku anchoring – adjustment seorang
Konsultan Pajak saat memberikan saran dalam penyusunan SPT Tahunan mengenai PPh
25/29.

TINJAUAN PUSTAKA

Anchoring - Adjustment
Banyak studi menunjukkan bahwa terlepas dari bagaimana memilih jangkar awal,
seseorang cenderung kurang menyesuaikan jangkar mereka dan akibatnya menghasilkan
perkiraan akhir yang bias. Pompian (2012) menjelaskan bahwa anchoring and adjustment
bias terjadi ketika seseorang dituntut untuk mengestimasi sesuatu yang belum diketahui
sebelumnya. Secara otomatis orang tersebut akan menetapkan sebuah default number atau
anchor (penjangkaran) sebagai dasar inisiasi estimasinya dan akan menyesuaikan hasil
estimasinya berada sedikit di atas atau di bawah nilai anchor tersebut. Bazerman (1994)
menggunakan model belief-adjustment merupakan salah satu bentuk bias heuristik di mana
model belief-adjustment didasarkan pada asumsi bahwa individu memproses informasi secara
berurutan dan memiliki keterbatasan kapasitas memori. Individu cenderung akan mengubah
keyakinan awalnya (initial anchor) dan melakukan penyesuaian (adjustment) atas
keputusannya berdasarkan informasi yang tersedia secara berurutan.
Penelitian Hogarth and Einhorn (1992) pada Suartana dan Kartana (2008),
menggunakan Teori Model Penyesuaian Keyakinan dimana menggunakan pendekatan
anchoring – adjustment yang menggambarkan adanya penyesuaian keyakinan individu
karena adanya bukti baru ketika melakukan evaluasi bukti secara berurutan. Hogart and
Einhorn (1992) pada Suartana dan Kartana (2008) menjelaskan bahwa pendekatan anchoring
– adjustment adalah seseorang melakukan penilaian dengan memulai dari suatu nilai awal
dan menyesuaikan untuk menghasilkan keputusan akhir. Perolehan nilai awal ini dari
kejadian atau pengalaman yang sebelumnya. Dalam Model Penyesuaian Keyakinan,
memprediksi adalah cara orang memperbaiki keyakinannya sekarang yang dipengaruhi oleh
beberapa faktor bukti.

3
Tversky dan Kahneman (1974) menggambarkan anchoring and adjustment heuristik,
merupakan hasil dari ketidakmampuan untuk mengabaikan informasi tertentu ketika
membuat sebuah keputusan. Anchoring tidak hanya terjadi ketika titik awal diberikan kepada
subjek, tetapi juga ketika subjek mendasarkan estimasinya pada beberapa hasil perhitungan
yang tidak lengkap. Seorang individu menggunakan informasi sebagai "jangkar" ketika
membentuk pendapat awal, dan kemudian menyesuaikannya ketika mengevaluasi bukti
selanjutnya untuk mencapai keputusan akhir. Karena penyesuaian umumnya cukup, maka
keputusan akhir lebih condong ke pendapat awal. Pengambil keputusan menggunakan
tindakan anchoring - adjustment heuristik seolah-olah memfokuskan pada nilai awal (atau
anchor) dalam pengaturan keputusan dan menyesuaikan (memperbaiki) tanggapan mereka
dari nilai.
Nilai awal tersebut, mungkin didasarkan pada perumusan problem, atau mungkin
berasal dari perhitungan (Tversky dan Kahneman, 1974). Adanya nilai awal pada diri
pembuat keputusan akan menimbulkan kecenderungan bias pada penilaian probabilitas dan
penaksiran nilai, sebagai contoh adalah bukan suatu hal kebetulan jika seorang penjual
menawarkan harga yang tinggi kepada seorang pembeli pada negosiasi awal. Penjual tersebut
berusaha memasang anchor yang tinggi di pikiran pembeli, sehingga ketika penjual
menawarkan harga yang rendah, pembeli akan menilai bahwa harga yang lebih rendah
tersebut adalah wujud nilai yang bagus. Di sisi lain, anchoring adalah penggunaan situasi
tertentu, biasanya situasi sekarang, sebagai titik acuan untuk membuat penilaian.
Kudryavtsev dan Cohen (2010) menjelaskan bahwa anchoring memiliki implikasi
penting bagi pengambilan keputusan di berbagai bidang kehidupan nyata. Penelitian tersebut
tidak hanya mendokumentasikan bahwa pengambilan keputusan dapat dipengaruhi oleh
beberapa jangkar yang sewenang - wenang, tetapi menemukan bahwa besarnya pengaruh
anchoring sangat jelas, yaitu orang kurang mengetahui tentang target. Artinya, jika seseorang
mencoba untuk meramalkan hasil masa depan, sedangkan ia kurang memiliki informasi yang
mendasar, maka ia akan mudah terpengaruh oleh jangkar.
Anchoring and adjustment dapat menyebabkan timbulnya nilai awal yang akan
digunakan untuk peramalan di masa depan, mengingatkan orang – orang yang membuat
keputusan dalam peristiwa masa lalu, mempengaruhi perilaku dalam mengevaluasi kinerja
perusahaan (Wahyuni dan Hartono, 2011). Selain itu, anchoring and adjustment juga
membuat seseorang berani mengambil resiko, perilaku anchoring and adjustment memiliki
hubungan yang sangat kecil terhadap pengambilan keputusan berdasarkan citra perusahaan
(Saraswati, 2015) dan ketika melakukan estimasi terhadap sesuatu yang tidak diketahui
4
dengan jelas harus berhati – hati, karena dalam membuat estimasi dapat dipengaruhi oleh
nilai anchornya (Andini, 2013). Dalam temuan Epley dan Gilovich (2001) dalam Bazerman
(2009) menunjukkan bahwa ketika seseorang mengembangkan jangkar sendiri, ia akan
memulai menjangkar terlebih dahulu dan kurang menyesuaikan jauh dari itu.

Konsultan Pajak
Salinan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 111/PMK.03/2014
tentang Konsultan Pajak Pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa Konsultan Pajak adalah orang
yang memberikan jasa konsultasi perpajakan kepada Wajib Pajak dalam rangka kewajiban
perpajakannya melaksanakan hak dan memenuhi sesuai dengan peraturan perundang –
undangan perpajakan. Adapun hak Konsultan Pajak yang tercantum dalam Salinan Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 111/PMK.03/2014 tentang Konsultan Pajak
Pasal 23 yaitu Konsultan Pajak wajib :
a. Memberikan jasa konsultasi kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi
kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan perundang – undangan perpajakan;
b. Mematuhi kode etik Konsultan Pajak dan berpedoman pada stándar profesi Konsultan
Pajak yang diterbitkan oleh Asosiasi Konsultan Pajak;
c. Mengikuti kegiatan pengembangan profesional berkelanjutan yang diselenggarakan atau
diakui oleh Asosiasi Konsultan Pajak dan memenuhi satuan kredit pengembangan
profesional berkelanjutan;
d. Menyampaikan laporan tahunan Konsultan Pajak; dan
e. Memberitahukan secara tertulis setiap perubahan pada nama dan alamat rumah dan kantor
dengan melampirkan bukti perubahan dimaksud.
Doyle et al (2012) dalam Adriana (2012) menjelaskan bahwa Konsultan Pajak sering
dihadapkan dengan isu – isu yang membutuhkan sebuah pengambilan keputusan. Isu tersebut
muncul sebagai akibat dari adanya masalah dual agency pada hubungan yang terjadi antara
Konsultan Pajak dengan klien; di satu sisi Konsultan Pajak perlu membina hubungan yang
baik dengan klien, namun di sisi lain Konsultan Pajak memiliki kewajiban untuk mematuhi
peraturan perpajakan (Blanthorne, Burton, dan Fisher, 2005). Sebagai salah satu penyedia
jasa konsultasi, Konsultan Pajak harus mengandalkan pemahamannya terhadap peraturan dan
ketentuan pajak terkait dengan pemberian rekomendasi dan pengevaluasian informasi klien
(O’Donnell et al., 2005). Tujuannya untuk merekomendasikan kepatuhan yang
meminimalkan kewajiban pajak dalam batas yang diperbolehkan oleh aturan pajak. Saat
situasi klien sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh aturan perpajakan, maka pemberian
5
rekomendasi akan tampak jelas, dan pengambilan keputusan yang diambil relatif mudah.
Namun, pada saat kesesuaian antara fakta klien dengan aturan pajak menjadi tidak jelas dan
pengambilan keputusan menjadi semakin rumit, maka pada situasi ini, pemahaman dan
pengetahuan mengenai keputusan tersebut memainkan peranan penting dalam proses
pengambilan keputusan tersebut. Pada saat kerumitan meningkat, profesional perlu semakin
bergantung pada pengalaman memberi rekomendasi kepatuhan pajak dengan kondisi yang
mirip dengan kondisi tersebut.
Budileksmana (2015) menjelaskan bahwa peranan Konsultan Pajak bagi Wajib Pajak
yang berkaitan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan dari Wajib Pajak adalah
memberikan jasa tax compliance audit (memberikan saran – saran perbaikan), membantu
Wajib Pajak membuat perhitungan pajak yang harus dibayar dan memberi arahan dalam
pengisian SPT (Surat Pemberitahuan) serta memberikan konsultasi dalam masalah
perpajakan yang dihadapi oleh Wajib Pajak. Walaupun Konsultan Pajak merupakan jembatan
antara Wajib Pajak dengan Aparat Pajak, Konsultan Pajak harus menjunjung tinggi Kode
Etik Ikatan Konsultan Pajak. Konsultan Pajak tetap menjaga kerahasiaan data klien (Wajib
Pajak) dan Konsultan Pajak harus memegang asas ketidak-berpihakan yang mana Konsultan
Pajak tidak boleh berpihak pada Wajib Pajak ataupun Aparat Pajak. Jika hal itu dilanggar,
maka Konsultan Pajak dapat dikenakan sanksi yang dapat menyebabkan pencabutan ijin
praktek oleh Dirjen Pajak.

METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif yang
berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek
yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) di mana peneliti adalah sebagai
instrumen kunci, tenik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis
data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari
pada generalisasi (Sugiyono, 2012).

Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian dilakukan pada bulan Maret 2017 dan selesai pada bulan Mei 2017. Lokasi
penelitian berada di Semarang tepatnya di beberapa Kantor Konsultan Pajak yang sudah
terdaftar dalam IKPI (Ikatan Konsutan Pajak Indonesia). Alasan memilih Kantor Konsultan
Pajak yang berada di Semarang, karena Semarang merupakan Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah
6
dan mempunyai banyak perusahaan ataupun instansi. Alasan lain terkait memilih penelitian
di Semarang yaitu karena di Semarang terdapat sekitar kurang lebih 150 Konsultan Pajak
yang sudah berijin dan bersertifikat.

Informan Penelitian
Sanafiah Faisal (1990) dalam Sugiyono (2012) mengutip pendapat Spradley bahwa
sampel sebagai sumber data atau sebagai informan sebaiknya memenuhi kriteria sebagai
berikut :
1. Mereka yang menguasai atau memahami sesuatu melalui proses enkulturasi, sehingga
sesuatu itu bukan sekedar diketahui, tetapi juga dihayati.
2. Mereka yang tergolong masih sedang berkecimpung atau terlibat pada kegiatan yang
tengah diteliti.
3. Mereka yang mempunyai waktu yang memadai untuk dimintai informasi.
4. Mereka yang tidak cenderung menyampaikan informasi hasil “kemasannya” sendiri.
5. Mereka yang pada mulanya tergolong “cukup asing” dengan peneliti sehingga lebih
menggairahkan untuk dijadikan semacam guru atau narasumber.
Adapun beberapa informan Konsultan Pajak Semarang sebagai berikut :
1. Kantor Konsultan Pajak BD
2. Kantor Konsultan Pajak JS
3. Kantor Konsultan Pajak SY
4. Kantor Konsultan Pajak JN
5. Kantor Konsultan Pajak WK
6. Kantor Konsultan Pajak HU
7. Kantor Konsultan Pajak PL
8. Kantor Konsultan Pajak ST
9. Kantor Konsultan Pajak JH
10. Kantor Konsultan Pajak FH

Jenis dan Sumber Data


Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Umar (2003)
menjelaskan bahwa data primer adalah data yang diperoleh langsung di lapangan oleh
peneliti sebagai obyek penulisan. Jenis data yang diperoleh adalah hasil wawancara dengan
Konsultan Pajak di Semarang terkait anchoring – adjustment.

7
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara. Wawancara
adalah pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga
dapat dikontruksikan makna dalam suatu topik tertentu (Esterberg, 2002). Adapun langkah –
langkah wawancara yang dilakukan dalam pengumpulan data antara lain yaitu :
1. Melakukan wawancara dengan beberapa Konsultan Pajak yang sudah dihubungi
melalui telepon jauh – jauh hari.
2. Mempersiapkan pertanyaan – pertanyaan dalam bentuk print - out yang akan
digunakan sebagai bahan pertanyaan wawancara.
3. Mengawali alur wawancara dengan memperkenalkan diri terlebih dahulu,
menjelaskan maksud penelitia dan memberikan surat penelitian dari Fakultas kepada
Konsultan Pajak yang bersangkutan.
4. Melangsungkan alur wawancara, di mana setiap informan/responden diberikan
pertanyaan yang sama terkait anchoring – adjustment terhadap pengambilan
keputusan seorang Konsultan Pajak dalam penyusunan SPT Tahunan.
5. Setiap jawaban dari responden direkam dengan menggunakan handphone dan
mencatat dalam catatan kecil.
6. Mengakhiri wawancara dengan salam penutup dan ucapan terima kasih.

Teknik Analisis Data


Hasil dari wawancara kemudian akan dianalisis datanya dengan cara mereduksi data
di mana merangkum, memilih jawaban – jawaban pokok , memfokuskan pada jawaban yang
penting sehingga mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya dan
mencarinya bila diperlukan terkait dengan anchoring – adjustment terhadap pemberian saran
seorang Konsultan Pajak dalam penyusunan SPT Tahunan.
Langkah selanjutnya, peneliti akan menyajikan data yang sudah direduce dan akan
menjelaskan secara detail anchoring – adjustment terhadap pemberian saran seorang
Konsultan Pajak dalam penyusunan SPT Tahunan itu terjadi. Data – data yang sudah
dijelaskan secara detail, selanjutnya peneliti akan melakukan analisis data yang menghasilkan
suatu kesimpulan.

Validitas dan Reliabilitas Data


Uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif salah satunya dapat dilakukan dengan
uji kredibilitas. Uji kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian kualitatif
8
dapat dilakukan dengan triangulasi. Wiersma (1986) dalam Sugiyono (2012) menyatakan
bahwa “Triangulation is qualitative cross-validation. It assesses the sufficiency of the data
according to the convergence of mutiple data sources or multiple data collection
procedures”. Dalam hal ini triangulasi diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai
sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Adapun tiga jenis triangulasi yaitu :
1. Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek
data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber.
2. Triangulasi teknik dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama
dengan teknik yang berbeda.
3. Triangulasi waktu di mana pengecekan keabsahan data dilakukan dengan waktu atau
situasi yang berbeda.
Triangulasi yang dipilih oleh peneliti adalah triangulasi sumber (Konsultan Pajak),
karena melakukan wawancara dengan berbagai sumber, sehingga pengecekan keabsahan data
dilakukan dengan cara membandingkan jawaban dari sumber yang berbeda – beda. Data
tersebut absah jika Konsultan Pajak mencerimkan perilaku anchoring – adjsutment, apabila
Konsultan Pajak tidak mencerminkan perilaku anchoring – adjustment maka data tersebut
tidak absah.
.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Data
Hasil wawancara dan data yang diperoleh selama penelitian yang dilakukan pada
bulan Maret dan Mei 2017 di sepuluh Kantor Konsultan Pajak di Semarang adalah sebagai
berikut :
Tabel 1
Daftar Kantor Konsultan Pajak Semarang
No. Nama KKP Tahun Berdiri Jumlah Jumlah WP
Karyawan Yang ditangani
1. KKP BD Tahun 1990 masih KAP, 40 orang 300 Wajib Pajak
2010 resmi menjadi KKP
2. KKP JS Tahun 2005 4 orang 60 Wajib Pajak
3. KKP SY Tahun 1992 65 orang 500 Wajib Pajak
4. KKP PL Tahun 2007 6 orang 150 Wajib Pajak
5. KKP WK Tahun 2002 7 orang 21 WP Badan

9
dan 27 WP OP
6. KKP HU Januari 2007 8 orang 40 WP Badan
dan 30 WP OP
7. KKP JH Tahun 1984 13 orang 400 – 500 Wajib
Pajak
8. KKP ST Tahun 2000 Ditangani 20 Wajib Pajak
sendiri
9. KKP JN Tahun 2004 10 orang 120 Wajib Pajak
10. KKP FH Tahun 2007 3 orang Sekitar 100 WP
Sumber : Wawancara

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah Wajib Pajak yang datang
berkonsultasi ke Kantor Konsultan Pajak paling banyak mencapai 400 – 500 Wajib Pajak
yang ditangani oleh KKP JH bersama 13 orang karyawannya dan paling sedikit mencapai 20
Wajib Pajak yang ditangani sendiri oleh KKP ST. Dengan banyaknya Wajib Pajak yang
datang berkonsultasi ke Konsultan Pajak, dapat diketahui bahwa Konsultan Pajak mempunyai
peran yang penting bagi Wajib Pajak dalam hal perpajakan. Ada beberapa hal yang perlu
diketahui khususnya terkait alasan Wajib Pajak membuat pajaknya yang semula lebih bayar
menjadi kurang bayar.
“Pada umumnya Wajib Pajak takut diperiksa, walaupun mereka sudah betul,
malas saja menghadapi Aparat Pajak karena buang waktu, buang tenaga.
Wajib Pajak datang berkonsultasi karena mereka kurang memahami
peraturan perpajakan, mereka tidak tahu cara menghitungnya dan tidak
punya waktu untuk ke Kantor Pajak” (KKP JS)
Alasan Wajib Pajak yang datang ke Konsultan Pajak untuk berkonsultasi dan
membuat pajaknya yang awalnya lebih bayar menjadi kurang bayar disebabkan karena
beberapa hal, diantaranya adalah takut diperiksa oleh Aparat Pajak. Bagi Wajib Pajak
pemeriksaan merupakan hal yang paling rumit dan cukup membuang waktu dan tenaga.
Walaupun Wajib Pajak sudah menghitung secara benar, sering kali Aparat Pajak melakukan
pemeriksaan jika diketahui pajak tersebut lebih bayar. Selain takut diperiksa oleh Aparat
Pajak, Wajib Pajak yang datang ke Konsultan sebagian besar tidak memahami aturan
perpajakan dan tidak percaya diri terkait dengan keyakinan perhitungan pajak yang sudah
mereka hitung, apalagi aturan perpajakan sering mengalami perubahan dalam beberapa tahun
kemarin.
10
“Takut diperiksa karena males ribet, ada pandangan yang berbeda antara WP
dan aparat pajak” (KKP FH)
Tidak hanya sebatas takut diperiksa oleh Aparat Pajak dan tidak memahami aturan
perpajakan saja, melainkan adanya pandangan yang berbeda antara Wajib Pajak dengan
Aparat Pajak yang memungkinkan adanya perdebatan ataupun perselisihan, sehingga hal
itulah yang akhirnya membuat Wajib Pajak datang berkonsultasi kepada Konsultan Pajak.
“Saya menyarankan begitu kepada Wajib Pajak, yang awalnya lebih bayar
dibuat menjadi kurang bayar. Karena kalau lebih bayar kan diperiksa dan
pemeriksaan pajak itu kan risikonya bermacam – macam” (KKP SY)
Konsultan Pajak sendiri juga menyarankan kepada Wajib Pajak untuk membuat pajak
yang awalnya lebih bayar menjadi kurang bayar agar terhindar dari pemeriksaan. Selain
pemeriksaan pajak yang lebih bayar cukup banyak menguras waktu dan tenaga, dapat
diketahui bahwa pemeriksaan pajak oleh Aparat Pajak menimbulkan risiko yang bermacam –
macam bagi Wajib Pajak.
PPh 25 merupakan pajak yang dibayar dengan cara diangsur tiap bulan. Namun
dalam praktiknya, sering berasumsi bahwa penghasilan tahun ini sama dengan penghasilan
tahun lalu. Padahal, kondisi tiap tahunnya tidak dapat dipastikan akan sama dengan tahun
sebelumnya.
“Untuk 25 basicnya cuma cicilan saja. Cicilan hanya mengurangi. Aturannya
seperdua belas dari tahun lalu , cuma nanti kendalanya setelah seperduabelas
omset menurun gimana. Apa orang pajak mau tahu ? Kalau PPh 25 harus
berdasar SPT tahun lalu. Karena di SPT itu kan ada, di induk ada
seperduabelas dari PPh terutang dikurangi kredit pajak.. Untuk klien – klien
tertentu kita selalu tawarkan dulu. Jadi kalau memang mereka tidak siap tuk
diperiksa, kita akan buat kurang bayar” (KKP FH)
Penetapan PPh 25 basicnya hanya cicilan yang diangsur tiap bulannya. Perhitungan
PPh 25 didapatkan dari perhitungan yang sudah ditetapkan dalam peraturan perpajakan di
mana seperduabelas dari PPh terutang tahun lalu dikurangi dengan kredit pajak. Namun yang
menjadi kendala adalah naik turunnya omset klien (Wajib Pajak) yang tidak menentu tiap
tahunnya sehingga berpengaruh terhadap angsuran PPh 25, dan hal ini menimbulkan
penyesuaian – penyesuaian terhadap perkiraan – perkiraan yang dibuat oleh Konsultan Pajak.
Konsultan pajak KKP FH menawarkan terlebih dahulu kepada klien – klien tertentu sebelum
membuat pajak kliennya yang awalnya lebih bayar menjadi kurang bayar karena menyangkut
kesiapan dari masing – masing klien. Walaupun klien tidak siap diperiksa oleh Aparat Pajak,
11
maka Konsultan Pajak KKP FH akan bersedia membuat pajak tersebut menjadi kurang
bayar. Ini berarti Konsultan Pajak akan melakukan proses pengujian dan penyesuaian sampai
klien akhirnya puas dengan perkiraan Konsultan Pajak.
“Karena kondisi penghasilan seorang Wajib Pajak itu tahun ini baik tahun
lalu jelek atau sebaliknya, jadi PPh 25 ngga bisa dijadikan sebagai patokan.
PPh 25 nya sudah ditentukan seperduabelas kali SPT yang terakhir.
Penetapan PPh 25 harus berdasar laporan keuangan Wajib Pajak. Kalau
bilang trendnya itu tinggal omsetnya dia lebih tinggi atau lebih rendah” (KKP
JH)
PPh 25 menurut Konsultan Pajak KKP JH tidak dapat dijadikan sebagai patokan.
Sesuai dengan peraturan perundang – undangan, bahwa PPh 25 ditentukan dari seperduabelas
dikalikan dengan SPT terutang yang terakhir (tahun lalu). Perhitungan – perhitungan yang
tercantum dalam SPT harus sesuai dengan laporan keuangan dari Wajib Pajak,
bagaimanapun omsetnya tetap akan berpengaruh terhadap cicilan PPh 25.
KKP JN menambahkan sebagai berikut :
“Jadi sebetulnya kalau angsuran PPh 25 untuk ada patokan saya ngga setuju
ya. Karena pajak itu sendiri dihasilkan dari perkalian tarif sama laba kena
pajaknya kan. Acuan dasar saya adalah data untuk tahun yang bersangkutan”
Bagi Konsultan Pajak KKP JN, angsuran PPh 25 tidak ada patokan yang digunakan
untuk menghitung angsuran – angsuran PPh 25 tahun berikutnya. Memang kebijakan dari
pemerintah sudah menetapkan bahwa PPh 25 itu sendiri dihasilkan dari perkalian tarif
dengan laba kena pajak yang dimiliki oleh Wajib Pajak. Sehingga dalam penetapan PPh 25
perlu mengacu kepada data – data klien untuk tahun yang bersangkutan, supaya hasil
perhitungan lebih akurat dan masuk akal serta tidak merugikan banyak pihak.
Pernyataan – pernyataan yang diungkapkan oleh beberapa Konsultan Pajak yang
dijadikan sebagai informan, dalam penetapan PPh 25 memperhatikan peraturan perpajakan
yaitu Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP – 537/PJ./2000 Pasal 2 dan Pasal 3 tentang
Perhitungan Besarnya Angsuran Pajak Dalam Tahun Berjalan Dalam Hal – Hal Tertentu dan
Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 25, di mana
besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 didapat dari jumlah penghasilan neto tahun lalu
dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut serta Pajak Penghasilan
yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sesuai ketentuan Pasal 21,
Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24 Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2000, dibagi 12 (dua belas)
atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
12
Berbeda dengan pendapat yang diungkapkan oleh Konsultan Pajak KKP HU yang
menyatakan sebagai berikut :
“Kalau tahun ini naik, setorannya juga harus naik. Omset boleh turun, tapi
kalau bisa setelahnya setoran kemarin sebulan satu juta, kalau bisa sekarang
di atas sedikit”
Konsultan Pajak KKP HU menjelaskan bahwa penetapan angsuran PPh 25 melihat
dari naik turunnya omset yang dimiliki oleh Wajib Pajak. Apabila omset tahun ini naik,
otomatis setoran PPh 25 juga naik. Apabila omset tahun ini turun, maka setoran PPh 25 akan
turun juga. Namun Konsultan Pajak KKP HU menyarankan kepada Wajib Pajak yang
bersangkutan apabila omset yang didapat turun, sebaiknya melakukan penambahan setoran
(tambah setor) angsuran PPh 25. Untuk hal ini Konsultan Pajak KKP HU tidak menyebutkan
alasan mengapa harus melakukan tambah setor.
Selain menanyakan tentang penetapan PPh 25, juga menanyakan terkait penyesuaian
terhadap PPh 25/29, sehingga dapat diketahui dari beberapa Konsultan Pajak sebagai berikut:
“Saya akan melakukan adjustment atas koreksi fiskalnya saja. Saya tidak
akan merubah laporan keuangan dari perusahaan tersebut, kalau laporan
berubah semuanya berubah. Biasanya yang jadi kendala saat nentukan
kurang bayar berapa. Karena realnya lebih bayar, waktu kita harus buat
kurang bayar, akan muncul kurang bayar berapa. Biasanya kita ajukan ke
klien” (KKP FH)
Menurut Konsultan Pajak KKP FH, PPh 25 yang awalnya lebih bayar dapat dibuat
menjadi kurang bayar apabila melakukan penyesuaian melalui koreksi fiskal, dengan
mengeluarkan biaya yang tidak boleh dimasukkan dalam biaya pajak. Saat menentukan PPh
yang kurang bayar sering mengalami kendala, karena harus merubah pajak yang lebih bayar.
Di saat merubah pajak yang lebih bayar menjadi kurang bayar tentunya juga tidak hanya
memperhatikan biaya – biaya yang tidak boleh dimasukkan tetapi juga data – data laporan
keuangan dari klien apakah masuk akal atau tidak.
“Saat penyesuaian terhadap PPh 25, otomatis tidak hanya PPh 25 sebagai
kredit pajak itu. Kita juga menghitung untuk PPh 22 untuk badan khususnya,
PPh 22, PPh 23 itu kan dihitung sebagai kredit pajak untuk perhitungan PPh
pasal 29 Tahunan.”(KKP PL)
Tidak hanya melakukan penyesuaian terhadap PPh 25 sebagai kredit pajak saja,
Konsultan Pajak KKP PL menyatakan pendapatnya bahwa PPh 25/29 harus memperhatikan
PPh yang dapat dijadikan sebagai kredit pajak yang sebagaimana tercantum dalam UU
13
Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan seperti PPh 21, PPh 22, PPh 23 dan PPh
24. PPh – PPh tersebut nantinya akan digunakan sebagai pengurang PPh 25.
“Kalau ada informasi baru, data – data baru kemudian PPhnya yang kurang
bayar kan itu nanti dilunasi pada saat PPh 29, selesai”(KKP JS)
Penyesuaian yang dilakukan oleh Konsultan Pajak KKP JS terhadap PPh 25 yaitu
apabila ditemukan informasi – informasi dan data – data baru dari Wajib Pajak akan
dilakukan pelunasan pada saat PPh 29 atau PPh kurang bayar. Informasi atau data yang
bersangkutan adalah laporan keuangan Wajib Pajak yang tentunya akan mempengaruhi PPh
25.
“Penyesuaiannya melihat dari laporan keuangan perusahaan. Informasi
kalau menyinggung perpajakan ya ditangani, tidak boleh diabaikan. Nah itu
dibetulkan kemudian kita audit fiskal lagi, pajaknya berapa, namanya
pembetulan SPT. Kecuali tidak mempengaruhi jumlah pajak terutang, saya
abaikan” (KKP ST)
Penyesuaian yang dilakukan adalah melihat dari laporan keuangan perusahaan atau
Wajib Pajak. Konsultan Pajak KKP ST menjelaskan bahwa informasi – informasi yang tidak
ada kaitannya dengan pajak dan bersinggungan dengan peraturan perpajakan, secara jelas
akan dilakukan audit fiskal atau lebih tepatnya koreksi fiskal. Dengan koreksi fiskal otomatis
akan merubah semua isi laporan keuangan perusahaan sehingga pajak terutang yang harus
dibayar Wajib Pajak menjadi kurang bayar.
“Jadi Konsultan Pajak bukan memutuskan, mereka lebih membina dalam
arti memberi kesadaran untuk membayar pajak sesuai dengan peraturan
yang berlaku” (KKP JH)
Kewajiban Konsultan Pajak adalah memberikan jasa konsultasi kepada Wajib Pajak
dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan
perundang – undangan perpajakan. Terkait dengan pembuatan keputusan, pada dasarnya
adalah Wajib Pajak itu sendiri, seperti yang diungkapkan oleh Konsultan Pajak KKP JH
bahwa Konsultan Pajak membina Wajib Pajak agar membayar Pajak sesuai dengan aturan
perpajakan.
“Lebih ke sosialisasi dan saran juga. Kita ngasih sesuai aturan pajak” (KKP
WK)
Selain membina Wajib Pajak, Konsultan Pajak hanya memberi sosialisasi dan saran
kepada Wajib Pajak. Menurut Konsultan Pajak KKP WK, saran dan sosialisasi yang
diberikan kepada Wajib Pajak harus sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.
14
“Secara standart kami sebetulnya membantu klien dalam menyusun laporan
fiskal ya, SPT dan sebagainya” (KKP BD)
Tidak hanya membina, memberi saran, memberi sosialisasi kepada Wajib Pajak saja
tetapi Konsultan Pajak membantu klien dalam menyusun laporan fiskal. Maksud dari
pernyataan yang diungkapkan oleh Konsultan Pajak KKP BD adalah melakukan perhitungan
koreksi fiskal terhadap laporan keuangan Wajib Pajak, perhitungan terhadap SPT dan lain
sebagainya, tetapi keputusan sendiri yang membuat adalah Wajib Pajak.
“Yang membuat keputusan terkait penyusunan SPT Tahunan bukan
Konsultan, tetapi Wajib Pajak sendiri. Konsultan menghitungkan sesuai
aturan. Yang memutuskan ya tidaknya mau bayar atau tidak kan Wajib Pajak
bukan Konsultan” (KKP JS)
Sama halnya yang diungkapkan oleh Konsultan Pajak KKP JS menjelaskan bahwa
keputusan terkait penyusunan SPT Tahunan bukan dilakukan oleh Konsultan Pajak.
Konsultan Pajak sebatas membantu menghitungkan saja, namun untuk kegiatan membayar
atau tidak tergantung dari Wajib Pajak itu sendiri. Hal ini sekali lagi menjelaskan bahwa
Konsultan Pajak memberikan jasa Konsultasi kepada Wajib Pajak, tidak berwenang membuat
keputusan.

Pembahasan
Menghitung pajak memerlukan pemahaman khusus mengenai aturan perhitungan
perpajakan yang ada saat ini. Hal ini dirasakan oleh hampir setiap orang ataupun Wajib Pajak
yang mengalami kesulitan dalam menghitung pajak yang sebagaimana harus mereka setor
dan lapor. Untuk mengatasi hal ini tentunya mereka akan mencari dan datang ke pihak –
pihak yang mahir dalam persoalan perpajakan, salah satunya yaitu Konsultan Pajak yang
merupakan jembatan antara Kantor Pelayanan Pajak dan Wajib Pajak. Alasan mereka
berkonsultasi dengan Konsultan Pajak sebelum membayarkan pajak ke KPP daerah masing –
masing adalah rata – rata dari mereka tidak mempunyai pemahaman peraturan perhitungan
perpajakan, ingin meyakinkan kembali apakah perhitungan mereka sudah benar atau belum,
adanya persepsi yang berbeda antara KPP dengan klien, dan beberapa takut diperiksa oleh
aparat pajak.
Untuk menghindari dari pemeriksaan oleh Aparat Pajak, salah satu cara yang
dilakukan oleh Wajib Pajak adalah membuat pajak yang lebih bayar menjadi kurang bayar.
Dalam hal ini, tentu saja Konsultan Pajak dan Wajib Pajak mengalami permasalahan dual
agency, di satu sisi Konsultan Pajak harus membina relasi atau komunikasi yang baik dengan
15
klien, di sisi lain Konsultan Pajak harus patuh terhadap peraturan perpajakan dan kode etik
yang berlaku. Hal ini sependapat dengan Blanthorne, Burton, dan Fisher (2005) yang
menyatakan bahwa isu ini muncul sebagai akibat dari adanya masalah dual agency pada
hubungan antara konsultan pajak dengan klien; di satu sisi konsultan pajak perlu membina
hubungan baik dengan klien, namun disisi lain konsultan pajak memiliki kewajiban untuk
mematuhi peraturan pajak.
Menurut hasil wawancara yang dilakukan dengan beberapa Konsultan Pajak di
Semarang, rata – rata pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh Aparat Pajak memakan banyak
waktu, menghabiskan tenaga, prosesnya lama, rumit dan banyak risiko yang beragam.
Sehingga banyak dari Konsultan Pajak menyarankan kepada Wajib Pajak (klien) untuk
membuat kurang bayar supaya bebas dari pemeriksaan dan tidak membuang – buang waktu
dan tenaga untuk mengerjakan hal lain. Pengurangan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25
diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP – 537/PJ./2000 Pasal 7 tentang
Perhitungan Besarnya Angsuran Pajak dalam Tahun Berjalan Dalam Hal – Hal tertentu.
Berdasarkan Keputusan Dirjen Pajak, sesudah empat bulan atau lebih berjalannya suatu tahun
pajak, Wajib Pajak dapat menunujukkan bahwa PPh yang akan terutang untuk tahun pajak
tersebut kurang dari 75% dari PPh yang terutang yang menjadi dasar permohonan besarnya
PPh Pasal 25, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan besarnya PPh Pasal
25.
Terkait dengan perilaku anchoring – adjustment, Konsultan Pajak di Semarang saat
memberikan saran dalam menyusun PPh 25/29 bagi Wajib Pajak (klien) yang bersangkutan,
sebagian besar mencerminkan perilaku anchoring – adjustment. Hal ini dapat dilihat dari
sebagian besar jawaban wawancara dengan Konsultan Pajak di mana saat menyusun dan
menetapkan PPh 25/29, mereka lebih memfokuskan pada keyakinan awalnya menggunakan
perhitungan PPh 25/29 yang sesuai dengan Peraturan Perundang – Undangan Perpajakan
bahkan mereka mempunyai patokan (anchor) nilai di masa lalu untuk menetapkan PPh 25
melalui laporan keuangan atau omset yang diperoleh oleh kliennya. Apabila omset yang
diperoleh tinggi, maka angsuran pajak yang dibayar tingggi. Namun apabila omset yang
diperoleh rendah, angsuran pajak yang dibayar juga akan rendah.
Peraturan Perundang – Undangan Perpajakan yang dimaksud adalah Keputusan
Dirjen Pajak Nomor KEP – 537/PJ./2000 Pasal 2 dan Pasal 3 tentang Perhitungan Besarnya
Angsuran Pajak Dalam Tahun Berjalan Dalam Hal – Hal Tertentu dan Undang – Undang
Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 25, di mana besarnya Pajak
Penghasilan Pasal 25 adalah Pajak Penghasilan yang dihitung dengan dasar jumlah
16
penghasilan neto tahun lalu dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut
serta Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sesuai ketentuan Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24 Undang – Undang Nomor 17 Tahun
2000, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
Perilaku anchoring – adjustment juga terjadi ketika Konsultan Pajak diminta
menghitung PPh 25 saat adanya Wajib Pajak baru. Karena laba di masa lalu atau tahun
sebelumnya belum diketahui, secara tidak langsung Konsultan Pajak akan menetapkan
(mengestimasi) nilai awal terlebih dahulu guna mendapatkan PPh 25 tahun yang
bersangkutan. Pada situasi ini Konsultan Pajak akan menyesuaikan hasil estimasinya berada
sedikit di atas atau di bawah nilai awal yang sudah diestimasi tersebut. Hasil tersebut sesuai
dengan Pompian (2012) yang menjelaskan bahwa anchoring and adjustment bias terjadi
ketika seseorang dituntut untuk mengestimasi sesuatu yang belum diketahui sebelumnya.
Secara otomatis orang tersebut akan menetapkan sebuah default number atau anchor
(penjangkaran) sebagai dasar inisiasi estimasinya dan akan menyesuaikan hasil estimasinya
berada sedikit di atas atau di bawah nilai anchor tersebut.
Penyesuaian (adjustment) terkait PPh 25/29 yang dilakukan oleh beberapa Konsultan
Pajak adalah memilah biaya – biaya yang boleh dibebankan sebagai biaya dan biaya – biaya
yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya, atau disebut dengan Koreksi Fiskal. Hal ini tidak
boleh diabaikan ketika menyusun SPT Tahunan PPh 25/29 karena akan mempengaruhi pajak
yang akan dibayarkan ke KPP setempat. Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan dalam Pasal 4 (3) menyebutkan bahwa biaya – biaya yang tidak boleh
dibebankan sebagai biaya atau dikecualikan dari objek pajak seperti sumbangan, harta
hibahan, warisan, imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa dalam bentuk natura
(kenikmatan) dari Wajib Pajak atau Pemerintah, pembayaran dari perusahaan asuransi kepada
orang pribadi, dividen yang diperoleh dari Perseroan Terbatas, iuran dana pensiun, beasiswa,
bantuan dan santunan yang dibayarkan BPJS kepada Wajib Pajak tertentu. Penyesuaian juga
dilakukan dengan mengurangkan PPh 25 dengan beberapa PPh lainnya yaitu seperti PPh 21,
PPh 22, dan PPh 23. Dengan demikian jumlah pajak terutang berdasarkan perhitungan akhir
menjadi lebih besar dari jumlah semua angsuran dan potongan/pungutan pajak selama tahun
berjalan. Sehingga hal ini menyebabkan terjadinya kekurangan penyetoran pajak (PPh 29).
Konsultan Pajak memberikan arahan kepada klien (Wajib Pajak) yang bersangkutan
terkait PPh 25 yang akan dibayarkan. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Wahyuni dan
Hartono (2011) menyebutkan bahwa anchoring and adjustment dapat menyebabkan
timbulnya nilai awal yang akan digunakan untuk peramalan di masa depan, mengingatkan
17
orang – orang yang membuat keputusan dalam peristiwa masa lalu, mempengaruhi perilaku
dalam mengevaluasi kinerja perusahaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Konsultan Pajak sekedar memberi saran,
rekomendasi dan memberikan pemahaman terkait angsuran PPh 25/29 yang sesuai dengan
peraturan dan ketentuan pajak, sehingga yang memutuskan untuk mengambil keputusan
adalah Wajib Pajak itu sendiri. Hasil tersebut sesuai dengan teori O’Donnell et al. (2005)
yang menyatakan bahwa profesional pajak dalam mengevaluasi informasi klien dan
memberikan rekomendasi pelaporan pajak mengandalkan pemahamannya terhadap peraturan
dan ketentuan pajak. Hasil tersebut juga sesuai dengan Salinan Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 111/PMK.03/2014 Tentang Konsultan Pajak Pasal 23 (a) bahwa
Konsultan Pajak wajib memberikan jasa konsultasi kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan
hak dan memenuhi kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan perundang – undangan
perpajakan.

PENUTUP
Kesimpulan
Ketika melakukan penyusunan SPT Tahunan milik Wajib Pajak, rata – rata
Konsultan Pajak berperilaku anchoring – adjustment, di mana perilaku anchore muncul
dengan cara melihat laporan keuangan tahun sebelumnya (labanya naik atau turun) kemudian
dikalikan tarif yang kemudian dibagi seperduabelas untuk memperoleh angsuran PPh 25 dan
penyesuaian yang dilakukan saat sebelum pelaporan SPT Tahunan yaitu memilah biaya yang
boleh dikenakan pajak dan biaya yang tidak boleh dikenakan pajak, atau lebih tepatnya
disebut sebagai koreksi fiskal sehingga menyebabkan PPh 25/29. Konsultan Pajak hanya
membantu menghitungkan, memberi saran atau rekomendasi kepada klien terkait PPh 25/29.
Untuk pembuat keputusan membayar atau tidaknya ada di tangan Wajib Pajak.

Implikasi
1. Anchoring – adjustment mempengaruhi Konsultan Pajak untuk melakukan
pengurangan pajak (Tax Deduction), apabila dalam tahun berjalan omset yang
diperoleh berubah maka PPh 25 juga berubah.
2. Konsultan Pajak ketika memberikan saran terkait SPT Tahunan PPh 25/29 kepada
Wajib Pajak, disarankan saat menghitung dan menyesuaikan SPT Tahunan PPh 25/29
tetap berdasarkan peraturan perpajakan dan harus tahu kondisi Wajib Pajak terkebih
dahulu.
18
Keterbatasan dan Saran
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah hanya mendeskripsikan tentang perilaku
anchoring – adjustment terhadap pemberian saran Konsultan Pajak dalam penyusunan SPT
Tahunan dan tidak menjelaskan kriteria Konsultan Pajak bagaimana berperilaku anchoring –
adjustment. Saran untuk penelitian mendatang adalah dapat dilakukan penelitian terkait
bagaimana kriteria Konsultan Pajak yang melakukan dan tidak melakukan anchoring –
adjustment serta mengidentifikasi cara – cara untuk melakukan anchoring – adjustment.

19

Anda mungkin juga menyukai