Linda Puspita
Akademi Kebidanan Medica Bakti Nusantara Pringsewu
Emaail: lindapuspita085@gmail.com
ABSTRAK
Infeksi menular seksual (IMS) ditularrkan melalui koitus, anal dan oral dan digolongkan pada 5 kategori
penyakit dewasa yang memiliki dammpak besar pada kesehatan seksual. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui analisis faktor yang berhhubungan dengan kejadian IMS pada Wanita Pekerja Seksual. Jenis
penelitian ini adalah penelitian kuantiitatif menggunakan Desain Analitik dengan pendekatan cross sectional.
Populasi dalam penelitian ini adalah WPS di klinik VCT mobile Puskesmas Sukaraja Kota Bandar Lampung
sebanyak 83 sampel dengan menggunakan teknik simpel random sampling. Analisis data yang digunakan
analisis univariat, bivariat chi square dan multivariate (regresi logistic). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ada hubungan yang bermakna antara umur (p=0,012; or=3.6), status pernikahan (p=0,035; OR=3.1),
penggunaan kondom (p=0.001; OR=5.5). Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa pengggunaan
kondom merupakan variabel yang paling dominnan berhubungan dengan IMS pada WPS di klinik VCT mobile
Puskesmas Sukaraja dengan p value (p=0,002 dann OR=7.7). Petugas kesehatan disarankan dapat
meninggkatan intensitas VCT Mobile, meningkatkan penyuluhaan kesehatan pencegahan IMS, meningkatkan
sosialisasi kondom, dan menyediakan tempat dan waktu untuk penyuluhan kesehatan bagi WPS.
ABSTRACT
Sexually transmitted infections (STIs) are transmitted through coitus, anal and oral and are classified into 5
categories of adult diseases that have a major impact on sexual health. This study aims to determine the factor
analysis associated with the incidence of STIs in women sex workers. The type of this research is quantitative
research using Analytic Design with cross sectional approach. Population in this research is WPS at VCT
mobile clinic of Puskesmas Sukaraja Bandar Lampung City as many as 83 samples by using simple random
sampling technique. Data analysis ussed univariate analysis, bivariate chi square and multivariate (logistic
regression). The results showed that there was a significant relationship between age (p = 0.012; or = 3.6),
marital status (p = 0,035, OR = 3.1), condom use (p = 0.001; OR = 5.5). The result of multiivariate analysis
showed that condom use was the mosst dominant variable related with STI in WPS at VCT mobile clinic of
Puskesmas Sukaraja with p value (p = 0,002 and OR = 7.7). Healthcare workers are advised to increase the
intensity of VCT Mobile, improve heaalth education prevention of STIs, improve condom soocialization, and
provide premises and time for health edducation for WPS.
How to Cite: Puspita, Linda. (2017). Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infekssi Menular
Seksual pada Wanita Pekerja Seksual. Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan. 2 (1), 31 – 44.
Aisyah: Jurnal Ilmu Kesehatan 2 (1) 2017, – 32
Linda Puspita
selain lokalisasi Pantai Harapan di Bandar utama Penyakit Radang Panggul (PRP)
Lampung karena letaknya yang strategis, yang apabila tidak diobati dapat
jaraknya dekat dengan tempat wisata apalagi menyebabkan infertilitas pada wanita
disana banyak sekali dijumpai wanita hingga 85 % (WHO, 2013). Wanita lebih
pekerja seksual. Puskesmas Sukaraja mudah tertular IMS dari pasangannya
melakukan klinik VCT mobile pada minggu dibandingkan sebaliknya karena bentuk
ke tiga setiap sebulan sekali. Data dari klinik alat kelamin dan luas permukaannya yang
VCT mobile Puskesmas Sukaraja Pada bulan terpapar oleh air mani pasangannya.
Maret tahun 2016 pasien yang datang ke Disamping itu, keluhan IMS pada wanita
Klinik IMS sebanyak 75 orang, sering tidak jelas dan tidak mudah terlihat
Pasien yang terkena infeksi menular oleh petugas pemeriksa harus disertai
seksual dan gejalanya sebanyak 49 orang pemeriksaan alat kelamin dan pemeriksaan
(6.5%), kasus servisitis ada 19 orang, laboratorium. (Kepmenkes, 2008).
bakteri vaginalis ada 9 orang, duh tubuh Beberapa faktor yang mempengaruhi
vagina sebanyak 16 orang, Sifilis ada 4 peningkatan kejadian IMS antara lain dari
orang, HIV/AIDS 1 orang. faktor internal meliputi umur, pendidikan,
IMS memiliki konsikuensi yang cukup pengetahuan tentang IMS, status
serius diluar dampak langsung yang pernikahan, pekerjaan sebagai pekerja seks
diakibatkan oleh infeksi tersebut. Menurut komersil, individu yang beresiko tinggi
WHO dan Departemen Kesehatan, remaja adalah individu yang sering berganti
adalah kelompok penduduk yang berumur pasangan seksual dan tidak melakukan
10-19 tahun atau 10-24 tahun dan belum hubungan seksual dengan kondom
menikah. Sebagian remaja sudah (Najmah, 2016).
mengalami pematangan organ reproduksi Berdasarkan penelitian (Jasan, Saiful, 2003)
dan bisa berfungsi atau bereproduksi, memperlihatkan bahwa usia berhubungan
namun secara sosial, mental dan emosi erat dengan keaktifan prilaku seksual
mereka belum dewasa. Mereka akan seseorang. Usia yang lebih muda akan
mengalami banyak masalah apabila mudah mendapat pelanggan dalam
pendidikan dan pengasuhan seksualitas dan melakukan seks komersial ini akan beresiko
reproduksinya terabaikan. Banyak di tertular IMS dan HIV pada kelompok muda
antara mereka sudah seksual aktif bahkan dibandingkan pada usia tua. Pendidikan juga
berganti-ganti pasangan seks. Akibatnya berpengaruh terhadap kejadian IMS, itu lama
banyak terjadi IMS, kehamilan dini, bekerja sebagai WPS merupakan faktor
kehamilan yang tidak diinginkan dan usaha penting, karena makin lama masa kerja
aborsi tidak aman di antara mereka seorang WPS, makin besar kemungkinan ia
(Sarwono Prawirohardjo, 2006). telah melayani pelanggan yang mengidap
Penularan IMS dari ibu ke anak dapat IMS. Begitu pula dengan jumlah pelanggan
menyebabkan lahir mati, kematian neonatal Makin besar jumlah pelanggan, makin besar
berat lahir rendah, premature, sepsis, kemungkinan tertular IMS. Sebaliknya jika
pneomoni, konjuntivitis neonatal, dan cacat WPS telah terinfeksi IMS, maka makin
bawaaan. Selain itu sifilis pada kehamilan banyak pelanggan yang mungkin tertular
menyebabkan kematian janin dan bayi yang darinya Dilain pihak, sedikitnya jumlah
baru lahir sekitar 305.000 setiap tahun, pelanggan dapat memperlemah kekuatan
Infeksi HPV yang menyebabkan kasus negosiasi WPS untuk pemakaian kondom,
kanker serviks sebanyak 530.000 dan karena mereka takut untuk kehilangan
kematian yang disebakan oleh kanker serviks pelanggan.
sebanyak 275.000 setiap tahunnya. Gonore Besaran masalah IMS dan masih banyak
dan klamidia adalah penyebab kejadian IMS yang berulang maka program
mengalami IMS dibanding umur yang yang relatif muda dianggap rentan
tidak beresiko. terhadap IMS terutama di negara
Hasil penelitian umur beresiko banyak yang berkembang dimana populasi golongan
IMS hal ini dikarenakan umur beresiko remaja dan dewasa muda yang aktif
biasanya banyak pelanggan dan berganti- seksual relatif besar terkena IMS.
ganti pasangan jadi mepunyai resiko yang Usia muda berperilaku rentan untuk tertular
besar untuk mengalami IMS dan pada usia IMS dikarenakan mereka pada umumnya
muda negosiasi penggunaan kondomnya memiliki jumlah pasangan seksual yang
masih lemah jadi resiko tertular IMS besar. lebih banyak dan memiliki jumlah frekuensi
Hasil penelitian sejalan dengan teori Andri, berganti-ganti pasangan dibandingkan yang
(2009) yaitu usia turut mempengaruhi lebih tua dalam penelitiannnya terhadap
WPS di Jakarta, Surabaya dn Manado
seseorang dalam mempercepat suatu obyek
menemukan hubungan umur dengan
yang memungkinkan seseorang memperoleh
pengalaman serta pengetahuan yang luas, kejadian IMS (Widyastuti, 2006).
oleh karenanya umur WPS ini merupakan Menurut komisi penanggulangan AIDS
salah satu faktor yang memungkinkan 2007 menyatakan bahwa pada perempuan
seseorang mendapatkan stimulasi yang umur kurang dari 29 tahun tergolong
menginformasikan sesuatu untuk beresiko tinggi untuk terinfeksi penyakit
memperoleh pengalaman yang baru. menular seksual. Pada perempuan remaja
Umur merupakan faktor sosial yang juga mudah terkena IMS disebabkan sel-sel
mempengaruhi status kesehatan seseorang organ reproduksi belum matang.
dan berdasarkan golongan umur maka dapat Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilihat ada perbedaan penyakit. Umur adalah dilakukan Thas Machmudah dilokalisasi
variabel yang selalu diperhatikan didalam Sunan Kuning Semarang ketidakpatuhan
penelitian epidemologi angka kesakitan, pengginaan kondom banyak dilakukan pada
kematian pada umumnya menunjukkan WPS usia remaja. WPS dengan usia muda
hubungan dengan umur dalam mempelajari masih lemah tingkat negosiasi dengan
masalah kesehatan untuk merupakan salah pelanggannya sehingga
satu variabel yang penting karena ada menyebabkan rendahnya tingkat
kaitannnya dengan kebiasaan hidup penggunaan kondom, pelanggan banyak
seseorang, misalnya dalam hal perilaku mencari WPS usia muda sehingga usia
hubungan seksual akan berbeda antara umur muda banyak yang terinfeksi IMS.
yang dewasa dengan remaja (Mubaraq, Di tempat penelitian masih banyak ditemui
2009).
anak anak yang masih dibawah umur
Menurut Kemenkes (2013), populasi usia menjadi wanita pekerja seksual, baik yang
15-49 termasuk ke dalam data estimasi dan melakukan maupun yang memperkerjakan
proyeksi prevalensi HIV dari modul AEM sangat bertentangan dengan undang-undang
(Asean Epidemic Model) yang dirancang perlindungan Anak ”rencana aksi nasional
untuk dapat menjelaskan dinamika epidemi penghapusan eksploitasi sek komersial anak”
HIV di negara Asia atau lokasi geografis terutama pada butir c yang berbunyi
tertentu, hal ini menunjukkan bahwa pada ”kegiatan eksploitasi seksual komersil anak
rentang usia tersebut rentan terhadap adalah merupakan kejahatan berat terhadap
kejadian HIV (dalam hal ini IMS). kemanusiaan yang harus diberantas hinggga
Demikian pula hasil beberapa survey keakar-akarnya.
sebelumnya menunjukkan bahwa umur
Pada hasil penelitian ada umur yang
yang lebih muda cenderung lebih berisiko
beresiko (< 24 tahun) yang tidak
tertular IMS dan HIV (STBP, 2007). Umur
mengalami IMS ada 15 (27.8%), hal ini
disebabkan ada WPS yang berusia yang < IMS, semakin rendah pendidikan
dari 24 tahun mempunyai pengetahuan responden maka kemungkinan terjadinya
pencegahan IMS dengan baik, misalnya IMS semakin besar dan demikian pula
selalu menjaga kebersihan alat kelamin sebaliknya karena semakin tinggi
setelah berhubungan seksual, selalu pendidikan maka semakin luas wawasan
menggunakan kondom saat berhubungan dan informasi yang diperoleh berkaitan
jadi bisa terhindar dari IMS. dengan penyakit menular seksual.
Pada hasil penelitian juga menunjukkan Perubahan perilaku mencegah penyakit
bahwa umur yang tidak beresiko dari 29 menular seksual dapat diinterprestasi
orang ada 12 (41.4%) yang mengalami melalui pendidikannya, Wanita pekerja
IMS. Hal ini bisa dikarenakan umur yang seksual dengan pendidikannya rendah
tidak beresiko biasanya pelanggannya lebih berpeluang untuk terjadi penyakit
sedikit, jadi penggunaan kondom secara menular seksual dibandingkan dengan
konsisten sering diabaikan karena mereka masyarakat yang berpendidikan tinggi.
membutuhkan uang. Pendidikan merupakan unsur penting
Diharapkan petugas kesehatan memberikan seseorang untuk dapat mengetahui
pembekalan pada usia remaja terkait berbagai hal yang ada dilingkungannya,
perkembangan kesehatan reproduksi remaja oleh karena dengan pendidikan seseorang
dari perubahan perkembangan fisik, mempunyai potensi dan kemungkinan
kejiwaan dan kematangan seksual remaja lebih luas untuk dapat menerima dan
dan dampak dari hubungan seksual pada usia mengakses berbagai informasi khususnya
dini dan mengajarkan tentang negosiasi tentang penting dan tidaknya pencegahan
penggunaan kondom pada pelanggan. infeksi menular seksual.
Hubungan Pendidikan dengan Kejadian Pendidikan berhubungan dengan
kemampuan seseorang untuk menerima
IMS
dan merespon informasi. Dimana tingkat
Pendidikan dalam penelitian ini adalah pendidikan SMA/sederajat lebih mudah
pendidikan formal tertinggi yang pernah dalam menyerap informasi yang diterima
dimiliki pada WPS, pendidikan terbagi dua yang sifatnya mendidik. Hal ini berarti
yaitu pendidikan rendah kurang dari SMA, semakin tingginya tingkat pendidikan
dan pendidikan tinggi yaitu SMA dan maka semakin baik pula dalam
perguruan tinggi. Berdasarkan penelitian kemampuan menyerap pesan kesehatan
diperoleh bahwa pendidikan rendah ada (Anggraini, 2005).
sebanyak 61 orang (73.5%) dan pendidikan
yang tinggi 22 orang (26.5%). Artinya status Secara konseptual Kroeger berpendapat
pendidikan yang paling banyak yaitu bahwa pendidikan merupakan kebutuhan
pendidikan rendah. Hasil penelitian dasar manuasia. Dalam bidang kesehatan
menunjukkan ada hubungan pendidikan faktor pendidikan diklasifikasikan sebagai
dengan Kejadian IMS di Klinik IMS VCT faktor predisposisi individu untuk atau
Mobile Puskesmas Sukaraja Kota Bandar memanfaatkan fasilitas kesehatan
Lampung Tahun 2016 diperoleh p-value dikarenakan adanya perbedaan dalam hal
sebesar 0,040 (< 0.05). Nilai OR = 3.193 pengetahuan tentang keehatan, nilai, dan
(1.16-8.74) menunjukkan bahwa WPS yang sikap individu tersebut (Pane, 2008).
berpendidikan rendah mempunyai peluang Artinya sejalan dengan peningkatan
3.19 kali mengalami IMS dibanding pendidikan maka akan bertambah wawasan
pendidikan yang tinggi. dan informasi yang diperoleh individu
sehingga akan berdampak pula pada
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa peningkatan pengetahuan yang dapat pula
pendidikan yang rendah mempunyai resiko merubah perilaku individu.
Penelitian ini juga sejalan dengan Ade Hubungan status pernikahan dengan
veriantil satriani (2015), dengan judul IMS
faktor resiko IMS pada wanita usia subur Status pernikahan adalah status menikah
dilayanan klinik IMS Palembang ilir tahun yang sah pada saat penelitian dilakukan
2015, hasil penelitiannya ada hubungan dibagi 2 yaitu status tidak menikah atau
antara pendidikan dengan kejadian IMS, cerai dan status yang sudah menikah.
semakin rendah pendidikan maka peluang Berdasarkan penelitian diperoleh bahwa
kejadian IMS (OR=2.85 kali) dengan hasil wanita pekerja seksual yang mempunyai
p value 0.003. status menikah dan cerai ada sebanyak 59
Pada hasil penelitian ada WPS yang orang (71.1%) dan yang menikah ada
berpendidikan rendah tapi tidak IMS ada sebanyak 24 orang (28.9%). Hal ini sesuai
20 orang (31.7%), hal ini bisa disebabkan dengan teori IMS yang tinggi terjadi bagi
karena walaupun WPS pendidikannya orang yang belum menikah dan bercerai
rendah tapi sudah menegrti tentang IMS yang terpisah dari keluarganya bila
dan mau melaksanakan tindakan dibandingkan dengan orang yang sudah
pencegahannya karena pendidikan menikah karena pemenuhan kebutuhan
kesehatan tidak hanya diperoleh dari seksualnya terpenuhi (Setyawulan, 2007).
bangku sekolahan ada juga WPS Hasil uji statistik menunjukkan ada
mengetahuinya dari petugas kesehatan,
hubungan status pernikahan dengan
media sosial, media elektronika. Ada juga
Kejadian IMS di Klinik IMS VCT Mobile
WPS mempunyai pengalaman sakit IMS
Puskesmas Sukaraja Kota Bandar
jadi dijadikan pengalan bagi WPS agar
Lampung Tahun 2016 diperoleh p-value
tidak terulang lagi.
sebesar 0,035 (< 0.05). Nilai OR = 3.189
Pada hasil penelitian ada WPS yang (1.1-8.5) menunjukkan bahwa WPS yang
pendidikan tinggi tapi mengalami IMS ada tidak menikah/cerai mempunyai peluang
15 orang (41.7%), walaupun seorang WPS 3.18 kali mengalami IMS dibanding yang
mempunyai pendidikan yang tinggi, menikah.
pengetahuan yang tinggi tentang Berdasarkan penelitian bahwa status
pencegahan dan penularan IMS tetapi tidak pernikahan banyak yang tidak menikah
mau melaksanakannya. Masih ada dan cerai, dibandingkan yang masih terikat
pengaruh teman dan lingkungan untuk
pernikahan yang sah. WPS yang tidak
mencegah IMS itu dengan cara tradisional.
menikah dan cerai bebas bekerja sebagai
Pada wawancara mendalam masih ada
WPS tanpa ikatan atau batasan dari suami.
WPS yang beranggapan penyakit IMS
dapat dicegah dengan meminum obat Sejalan dengan penelitian Aprilianingrum
antibiotik setelah berhubungan seksual. (2006) yang menunjukkan bahwa
menunjukkan bahwa status bahwa yang
Diharapkan Dinas kesehatan dan petugas
tidak menikah beresiko 2.63 kali untuk
Puskesmas bisa memberikan pendidikan
terkena IMS dibandingkan yang menikah.
kesehatan tentang IMS dan HIV dengan
Didukung oleh penelitian Boyer at all
menggunakan berbagai media, pendidikan
(2008) yang menunjukkan bahwa status
kesehatan yang bersifat individual melalui
cerai dan tidak menikah berhubungan
konseling, atau kelompok melalui
dengan resiko seksual OR 3.24, IK 95%
penyuluhan. Langkah ini merupakan salah
(1.63-6.43).
satu untuk memperkecil kesenjangan ilmu
kesehatan yang didapat dari pendidikan di Menurut teori (Setyawulan, 2007) status
bangku sekolah. tidak menikah memberikan peluang yang
lebih besar beresiko untuk terkena IMS
dibandingkan responden yang sudah
menikah, hal ini dapat dilihat dari rumah tangga sehingga menyebabkan istri
mayoritas pada responden yang menikah rentan terhadap IMS.
sebanyak memiliki pekerjaan yang tidak Menurut (Setyawulan, 2007)
berpeluang untuk terinfeksi IMS. Hal ini ketidakpuasan seksual lebih mudah terjadi
sejalan dengan teori bahwa status menikah pada pernikahan dengan usia pertengahan
pada responden dapat mempengaruhi (middle marriage). Kehidupan seksual
perilaku sekual yang aman karena terasa lebih gersang sehingga mudah
negosiasi yang lebih terbuka pada mencapai kebosanan dan Aktivitas seksual
pasangan tetap dalam penggunaan kondom terasa monoton karena kurang bervariasi
sebelum melakukan hubungan seksual. sehingga bisa menyebabkan seseorang
Dari hasil penelitian ini, peneliti berasumsi suka bergonta ganti pasangan.
bahwa penderita IMS lebih banyak pada
Hubungan penggunaan kondom dengan
seseorang yang tidak menikah sesuai dengan
hasil penelitian yang didapat yakni sebanyak IMS
41 orang (69.5%). Setelah dikaji lebih dalam Kondom yang terbuat dari lateks, ketika
dengan penderita, IMS terjadi karena pada digunakan dengan konsistens dan benar
seseorang yang tidak menikah baik laki-laki dapat menurunkan resiko penularan IMS,
maupun perempuan kebutuhan akan seksual termasuk penularan penyakit melalui sekresi
lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang genital. Penggunaan kondom dapat
yang sudah menikah, sehingga perilaku seks menurunkan resiko infeksi HPV pada genital
yang tidak aman dengan pasangan yang dan HPV yang berhubungan dengan Kanker
beresiko menularkan IMS dapat menjadi serviks. Kondom dapat melindungi dari
sumber terinfeksinya IMS pada diri beberapa penyakit infeksi menular seksual
seseorang yang tidak menikah, yang secara langsung dimana penularan infeksi
mengemukakan bahwa insiden IMS lebih menular seksual terjadi. Hal ini dikarenakan
tinggi pada orang yang belum menikah, kondom memblok tranmisi IMS melalui
bercerai atau orang yang terpisah dari pencegahan kontak diantara kondom yang
keluarganya bila dibandingkan dengan orang digunakan pada penis dengan kulit dari
yang sudah menikah karena patner seks, mukosa, dan sekresi genital.
pemenuhan kebutuhan seksualnya Kondom dapat mencegah penularan IMS.
terpenuhi. (Kepmenkes, 2009).
Pada hasil penelitian ada WPS yang tidak Berdasarkan penelitian diperoleh wanita
menikah/cerai tidak menderita IMS ada 18 pekerja seksual yang berhubungan tidak
orang (30.5%) hal ini bisa dikarenakan selalu menggunakan kondom sebanyak 49
WPS yang tidak menikah/cerai melakukan orang (59.0%) dan yang menggunakan
negosiasi yang lebih terbuka pada kondom sebanyak 34 orang (41.0%). Hasil
pelanggan dalam menggunakan kondom uji statistik menunjukkan ada hubungan
sebelum melakukan hubungan seksual dan penggunaan kondom dengan Kejadian IMS
WPS takut hamil karna tidak ada ikatan di Klinik VCT Mobile Puskesmas Sukaraja
pernikahan yang sah. Kota Bandar Lampung Tahun 2016
Pada hasil penelitian status menikah yang diperoleh p-value sebesar 0,001 (< 0.05).
IMS ada 10 orang IMS yang terjadi pada Nilai OR = 5.580 (2.1-14.6) menunjukkan
perempuan yang sudah menikah disebabkan bahwa WPS yang tidak menggunakan
karena WPS ada yang tidak melakukan kondom mempunyai peluang 5.58 kali
pencegahan IMS. Bisa juga tertular dari
mengalami IMS dibanding yang
suaminya yang suka bergonta ganti pasangan
menggunakan kondom.
akibat terjadinya kejenuhan dalam Berdasarkan penelitian masih banyak
wanita pekerja seksual yang tidak
menggunakan kondom dalam berhubungan kondom kurang, akan tetapi dapat juga
seks, WPS sudah berusaha menawarkan terjadi pada seseorang dengan tindakan
kondom tapi masih ada pelanggan yang pemakaian kondom baik yang IMS
merasa tidak nyaman menggunakan sebanyak 13 orang (38.2%) Hal ini dapat
kondom. terjadi karena cara pemakaian kondom
Pemakaian kondom yang tidak tepat yang tidak benar, kondom rusak atau/
pemasangannya dan kondom tersebut bocor, penggunaan kondom secara
robek ketika dibuka dari bungkusa berulang dan menggunakan kondom yang
(Depkes, 2011). Sebenarnya apabila WPS melewati masa kadaluarsa.
dilokalisasi tersebut menggunaan kondom Menurut beberapa informasi dari hasil
dengan baik dan konsisten akan mencegah wawancara pada WPS mengatakan bahwa
transmisi dan berjangkitnya penyakit- rata-rata WPS ingin menggunakan kondom
penyakit yang ditularkn lewat hubungan jika berhubungan dengan pelanggan,
seksual, seperti gonorrhea, sifilis, HIV, dan alasannya takut tertular penyakit IMS dan
hepatitis. HIV, takut hamil, dan ingin sehat. Dari hasil
Penelitian Hutapean (2010) prevalensi WPS wawancara ditemukan WPS yang hamil 2
yang tidak menawarkan kondom 45.9% dan orang, yang lainnya menggunakan KB
lebih dari separuhnya (67, 2%) adalah wanita suntik, tetapi penggunaan konsistensi
pekerja seksual tidak langsung, yang tidak kondom sebagian besar masih di dominasi
oleh pelanggan. Beberapa informan
konsisten menggunakan kondom sebesar
mengatakan jika dengan orang terdekat atau
50.2% dan 66.6%. Pada uji multivariate
pacar mereka tidak menggunakan kondom
diperoleh hubungan sangat erat antara
karena sudah saling kenal dan percaya.
intensitas menawarkan kondom dengan
perilaku menggunakan kondom setelah Berdasarkan wawancara dengan pelanggan
dikontrol dengan ketersediaan kondom didapatkan bahwa ada yang tidak mau
sebagai cofounder (P = 0.000: OR = 11.3- menggunakan kondom. Antara lain karena
825). (Fachlevi, 2012). kondom membuat seks menjadi kurang
Pada hasil penelitian WPS yang tidak spontan dan mengurangi sensasi seks
menggunakan kondom beresiko IMS terutama pada pria dan terlebih lagi pada
sebanyak 38 orang (77.6%) dapat lebih pasangan yang sudah menikah, jika
rentan terinfeksi IMS. Berdasarkan kajian menggunakan kondom mengurangi
wawancara mendalam, didapatkan bahwa kenikmatan berhubungan. Pengetahuan
sebagian besar dari kelompok beresiko yang kurang tentang tindakan pemakaian
kondom yang baik juga sering menjadi
tidak konsistens menggunakan kondom.
alasan penderita untuk tidak memakai
Jika dengan orang terdekat atau pacar,
kondom, sehinggga menjadikan kelompok
WPS tidak menggunakan kondom.
resti tersebut dapat lebih mudah tertular
Kelemahan kondom antara lain karena
atau menularkan IMS.
kondom membuat seks menjadi kurang
spontan dan mengurangi sensasi seks. Berdasarkan wawancara dengan
mucikari/mami sosialisasi penggunaan
Pada hasil penelitian ada WPS tidak selalu
kondom sudah dilakukan dengan mb mb
menggunakan kondom tetapi tidak IMS ada
WPS, karena jika mb WPS terkena sakit
11 orang (22.4%). Hal ini bisa terjadi karena
IMS dan HIV mami juga yang repot dan
pelanggan yang berhubungan dengan WPS
rugi, tetapi mami kembalikan lagi
tidak menderita IMS dan HIV.
keputusan pengunaan kondom dengan
Pada hasil penelitian ini juga menunjukan WPS dan pelanggan.
bahwa, IMS tidak hanya terjadi pada
seseorang dengan tindakan pemakaian
Faktor ekonomi menjadi alasan yang sering dengan nilai p value = 0.002 dan OR =
digunakan oleh wanita pekerja seksual 7.786.
dengan alasan itulah pada akhirnya pekerja Untuk menurunkan angka kejadian IMS
seksual mau menerima tawaran para dan mengurangi kejadian IMS yang
pelanggan mereka untuk tidak berulang pada WPS, saran yang dapat
menggunakan kondom pada saat diberikan diantaranya kepada pihak
berhubungan seksual. Kondisi itulah tanpa petugas klinik IMS diharapkan dapat
mereka sadari akan menjadi fenomena bola meningkatkan lagi jadwal penyuluhan
pingpong dimana para WPS akan mudah kesehatan secara rutin minimal sebulan
tertular oleh berbagai macam penyakit sekali dan membuat materi pesan dibrosur
kelamin yang dibawa oleh pelanggan
tentang IMS dan kondom yang
mereka, dan sebaliknya para WPS bisa
komunikatif dan mudah dimengerti oleh
menularkan IMS yang didapatkan dari
WPS dengan pendidikan rendah.
pelanggan mereka.
Kerja sama yang baik sangat diperlukan
Peran petugas lebih meningkatkan
antara pihak puskesmas, dinas kesehatan
penyuluhan tentang wajib kondom,
kota dan pembuat kebijakan agar
membuat spanduk daerah wajib kondom,
memasang pengumuman dilokalisasi
membagi-bagikan kondom dengan gratis
daerah wajib kondom.
setiap bulan kunjungan, mengajarkan
negosiasi kondom yang tepat dengan Menambahkan jadwal kunjungan ke klinik
pelanggan. VCT mobile yang awalnya hanya 1 kali
dalam sebulan menjadi 2 kali dalam
KESIMPULAN DAN SARAN sebulan dan menambahkan jumlah petugas
Beberapa kesimpulan yang dapat diambil kesehatan saat pemeriksaan klinik VCT
berdasarkan penelitian yang telah mobile agar WPS dapat dilayani secara
dilaksanakana diantaranya adalah jumlah maksimal. Terutama tenaga medis untuk
wanita pekerja seksual yang berumur konselor penyakit IMS dan HIV.
beresiko sebanyak 54 orang (65.1%), Meningkatkan pemberian penyuluhan
pendidikan yang rendah sebanyak 61 orang kesehatan mengenai penggunaan kondom
(73.5%), pengetahuan yang kurang baik 47 yang baik dan benar serta memberikan
orang (56,6%), Jumlah pelanggan lebih kondom secara gratis pada tempat yang
dari 6 orang ada 61 orang (73.5), status diindikasikan banyak transaksi seksualnya
pernikahan tidak menikah/cerai sebanyak seperti panti pijat, salon, pub, karouke, bar
59 orang (71,1%), tidak memakai kondom dan lain sebagainya sehingga akses
ada 49 orang (59%), pendidikan kesehatan kondom nambah mudah dijangkau.
tidak di beri penkes sebanyak 59
orang(71.1%).
Infeksi menular seksual berhubungan
dengan umur (p value = 0.012 dan OR =
3.683), pendidikan (p value = 0.040 dan
OR = 3.193), status pernikahan (p value =
0.035 dan OR = 3.189), dan penggunaan
kondom (p value = 0.001 dan OR = 5.580).
Penggunaan kondom merupakan variabel
yang paling berpengaruh (dominan)
terhadap kejadian Infeksi Menular Seksual
enyebab-kegagalan-menggunakan-
kondom, diakses tgl 5 Mei 2016.
Surveilans Terpadu Biologi Perilaku STBP.
(2007) Dikalangan Kelompok Beresiko
di Indonesia, Kepmenkes RI.
Susanto, Clevere dan Ari, Made. (2013).
Penyakit kulit dan kelamin.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Umitra. (2016). Panduan penulisan Tesis
Program Pascasarjana, Provinsi
Lampung
WHO. (2013). Factsheet of Sexually
Transmitted Infections (STI’s).
http://www.who.int/reproductivehealth
/publications/rtis/rhr13_02/en/ (Akses
1 April 2016).
Widyastuti, Y, dkk. (2009). Kesehatan
reproduksi, Yokyakarta: Fitramaya
Widoyono. (2011). Penyakit tropis,
epidemologi, penularan dan
pencegahan, dan pemberantasannya
edisi ke 2, Penerbit Erlangga.
Widodo, Edy. (2009). Praktik
Pekerja Seks (WPS) Dalam
Pencegahan Penyakit Infeksi Menular
Seksual (IMS) Dan HIV&AIDS Di
Lokalisasi Koplak, Kabupaten
Grobogan. Jurnal Promosi Kesehatan
Indonesia. Vol. 4/No. 2 Agustus 2009.
Universitas Diponegoro.
William G. Wong. (2010). STD Among
female sex worker in Hongkong the
role of migration status. Diakses tgl 5
Februari 2016.