Hukum penarikan tunai yang seperti itu boleh dengan syarat penarikan
uang via ATM itu terjadi secara yadan biyadin, yaitu penerimaan uang
lokal itu terjadi di majelis akad, yaitu terjadi di ATM tersebut, tanpa ada
penundaan (ta`khīr, delay).
َّ ض ْةُ ِبلف
ض ْة َّْ لذ َهبْ َوالف َّ ب ِب َّ : صلى هللا عليه وسلم- اّلل
ُْ الذ َه َّْ ول ُْ ال َر ُسَْ َال ق
َْ َالصامتْ قَّ ْاد َْة بن
َ َعنْ عُب
ْس َواءْ يَ ادا بيَدْ فَإ َذا اختَ لَ َفت
َ اء ب
ْلا ِبثلْ َس َو ا
ْ ح ِبلملحْ مث
ُْ لشعيْ َوالتَّم ُْر ِبلْتَّمرْ َوالمل َّ يُ ِب َّ ب َو
ْ الشع ُُْ ب ِبل
َْوال ُر
ْف شئ تُمْ إ َذا َكا َْن يَ ادا بيَد ُْ ََهذهْ األَصن
َْ اف فَبيعُوا َكي
Bolehnya ṣaraf tersebut sama saja, baik secara kontan (yadan biyadin) dengan
membawa mata uang secara konkret di majelis akad, seperti yang terjadi di
Money Changer, maupun secara kontan dengan menukarkan uang yang statusnya
dalam tanggungan (al-ṣharaf mā fī al-ẓimmah), maksudnya menukarkan uang
yang menjadi piutang (al-dayn), di dalam majelis akad, seperti yang terjadi ketika
seorang melakukan penarikan tunai di ATM dengan mendapat mata uang lokal
yang berbeda dengan mata uang yang tersimpan sebagai saldo dalam rekening
bank. Alasannya adalah karena al-dhimmah al-ḥaḍirah ka al-‘ayn al-ḥadirah,
artinya piutang yang menjadi tanggungan di majelis akad, hukumnya sama
dengan uang yang hadir di majelis akad. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Niẓām Al-
Iqtiṣādi fī al-Islām, hlm. 259).
Dalil bolehnya menukarkan uang yang statusnya piutang (al-dayn), yaitu dalam hal ini
uang yang menjadi saldo dalam rekening bank, adalah hadits Ibnu Umar RA sebagai
berikut :
َّ يع ِب
لد َراه ْم َّ لا] َوآ ُخ ُْذ
ُْ َوأَب،الد َراه َم َّ ْيع اْلب َْل ِب
ْ لد ََننيْ [أي ُم َؤ َّج ُْ ت أَب
ُْ ُكن:ال
َْ َهللاُ َعن ْهُ ق
ْ َعنْ ابنْ ُع َم َْر َرض َْي
س أَنْ َْت ُخ َذ َها بسعرْ يَوم َهاَْ َْل ََب: ال
َْ ك فَ َق ْ صلَّى
َْ هللاُ َعلَيهْ َو َسلَّ َْم َعنْ َذل َ ْت َر ُسو َْل هللا
ُْ سأَل
َ َ ف،ي َّ َوآ ُخ ُْذ
َ الد ََنن
َْما َْل تَ ف ََتقَا َوبَي نَ ُك َما َشيء
Dari Ibnu Umar RA, dia berkata,”Dulu saya menjual unta dengan dinar [secara
mu`ajjal, yaitu dibayar tempo, tak kontan] namun saya mengambil [piutangnya]
dengan dirham. Dulu saya juga menjual unta dengan dirham [secara tempo, tak
kontan] namun saya mengambil [piutangnya] dengan dinar. Lalu saya bertanya kepada
Rasulullah SAW mengenai jual beli itu, maka Rasulullah SAW bersabda,”Tidak apa-apa
kamu mengambil harga unta dengan harga pada hari itu [hari jatuh tempo], selama
kalian berdua [penjual dan pembeli] tidak berpisah, sementara di antara kalian berdua
masih ada sesuatu [sisa pembayaran utang].” (HR Ahmad, no. 6239; Abu Dâwud, no.
3354; An-Nasâ`i, no 4582; Tirmidzi, no 1242; dan Ibnu Mâjah, no. 2262).
Dalam hadits tersebut terkandung hukum bolehnya seseorang yang
mempunyai piutang pada pihak lain yang menjadi hak orang itu, untuk
menukarkan piutang tersebut dengan mata uang lainnya, asalkan memenuhi
syaratnya, yaitu menggunakan kurs pada hari penukaran mata uang
tersebut.
Maka dari itu dibolehkan secara syariah, seseorang yang mempunyai piutang
pada orang lain dalam mata uang dinar, misal 1 dinar, untuk menukarkan
mata uang dinar itu dengan mata uang dirham, dengan kurs pada hari
penukaran mata uang, misalkan pada hari itu 1 dinar kursnya adalah 12
dirham.
Inilah dalil bolehnya menarik tunai uang tabungan dalam rupiah via ATM di
luar negeri (misal Turki) dan keluar dalam mata uang lokal, yaitu Lira Turki.
Kedua, hukum jual beli dengan kartu debit (kartu ATM) untuk berbelanja
dalam mata uang lokal. Gambaran faktanya misalnya kita belanja di sebuah
mall di Turki, snack khas Turki bernama Baklava seberat 1 kilogram dengan
harga 54 Turkish Lira (sekitar Rp 300.000). Kemudian kita membayar Baklava
tersebut ke kasir mall di Turki dengan menyerahkan kartu debit kita di BSI
(Bank Syariah Indonesia) yang menyimpan tabungan kita dalam mata uang
rupiah.
Hukum jual beli tersebut tidak boleh, karena pada muamalah tersebut
terjadi dua akad dalam satu akad secara mengikat (mulzim), yaitu : satu,
akad ṣaraf, yaitu penukaran uang rupiah ke uang lokal (Turkish Lira). Kedua,
akad jual beli, yaitu membeli barang dengan mata uang lokal, dengan
pembayaran secara utang melalui kartu debit (ATM).
Padahal sudah terdapat dalil melarang menggabungkan dua akad secara
mengikat seperti ini, sesuai hadits Ibnu Mas’ud RA :
Solusinya adalah, Anda pergi dulu ke ATM, lakukan tarik tunai uang Anda
dalam mata uang lokal, yaitu Turkish Lira, lalu belilah dengan Turkish Lira itu
Baklava yang Anda inginkan.
Ketiga, adapun hukum menukarkan mata uang rupiah dengan mata uang
lokal di Money Changer, hukumnya boleh dengan syarat penukaran uang
di Money Changer dilakukan secara yadan biyadin, yaitu penerimaan
uang lokal itu terjadi di majelis akad (Money Changer) tanpa ada
penundaan (ta`khīr, delay).
Wallāhu a’lam.