ISSN
Jurnal Internasional Bisnis dan Ekonomi Islam
IJIBEC 2599-3216
E-ISSN
Vol 6 No 2 2022 Tersedia di http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/IJIBEC
2615-420X
Muhammad Syariful Anam,1* Rifda Nabila,2 Arna Asna Annisa,3 Rina Rosia4
1,2,3
Jurusan Ekonomi Islam, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, UIN Salatiga
*syarifulanam2700@gmail.com
Abstrak
Info Artikel
Penelitian empiris bertujuan untuk menganalisis transmisi kebijakan moneter
konvensional dan syariah terhadap inflasi (IHK) dan pertumbuhan ekonomi (PDB)
Sejarah Artikel:
dengan menggunakan instrumen SBI, PUAB, SBIS, dan PUAS dari tahun 2002
Diterima : 29 Juli 2022
hingga 2020. Penelitian ini menggunakan pendekatan VAR/ VECM untuk program
Diterima : 28 Oktober 2022
Diterbitkan : 1 Desember 2022 E Views. Berdasarkan analisis diperoleh beberapa temuan yaitu pertama, dalam
jangka pendek dan jangka panjang, IHK dipengaruhi oleh semua variabel di jalur
konvensional dan syariah, kecuali PUAS yang tidak berpengaruh dalam jangka
pendek. Sementara itu, PDB juga dipengaruhi oleh semua variabel di jalur
konvensional dan jalur syariah, kecuali variabel SBIS dan PUAB yang tidak
berpengaruh dalam jangka panjang. Kedua, dalam analisis IRF, variabel SBI, PUAB,
dan SBIS direspon negatif oleh IHK, sedangkan PUAS direspon positif. Variabel
PUAB, SBIS, dan PUAS, direspon positif terhadap PDB, sedangkan PDB direspon
negatif. Ketiga, dari hasil analisis FEVD, variabel jalur konvensional memiliki
kontribusi yang lebih signifikan dalam mempengaruhi inflasi (IHK) dibandingkan
variabel jalur syariah. Sementara itu, variabel saluran syariah memberikan kontribusi
yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi (PDB) dibandingkan variabel
saluran konvensional. Hasil penelitian ini memberikan wawasan baru yang berharga
tentang penerapan kebijakan moneter ganda terhadap inflasi dan pertumbuhan
ekonomi.
Kata kunci:
DOI 10.28918/ijibec.v6i2.5970
110
Machine Translated by Google
Jurnal Internasional Bisnis dan Ekonomi Islam (IJIBEC), 6(2) Desember 2022, 110-124 111
1. Perkenalan
Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter Indonesia memiliki peran vital dalam pengaturan kebijakan
moneter dan pencapaian pertumbuhan kegiatan ekonomi yang diharapkan. Aktivitas ekonomi yang
teratur meliputi stabilitas ekonomi makro yang terlihat dari stabilitas harga (inflasi rendah), pertumbuhan
ekonomi yang baik, dan kesempatan kerja yang memadai (Warjiyo & Solikin, 2003).
Ekonomi yang stabil dapat dilihat dari harga barang yang stabil. Jika harga barang stabil, pelaku
ekonomi dapat dengan mudah membuat berbagai perencanaan, baik merencanakan produksi, membeli
bahan baku produksi, membayar upah tenaga kerja, dsb. . Inflasi yang berlangsung cukup lama dapat
menimbulkan kekacauan ekonomi, dimana semua barang dan jasa akan berkurang.
Jika melihat dampak inflasi maka perlu dilakukan pengendalian inflasi bagi perekonomian suatu
negara. Untuk itu, bank sentral di beberapa negara mulai menerapkan Inflation Targeting Framework
(ITF) pada tahun 1990, dimulai dari Selandia Baru, diikuti oleh Kanada, Inggris, Swedia, dan Australia
(Bernanke & Mishkin, 1997). Selain mengarahkan ekspektasi publik terkait rendahnya tingkat inflasi
yang terkendali, ITF bertujuan untuk meningkatkan kredibilitas bank sentral sebagai aktor kebijakan
moneter (Mendonça & Souza, 2012).
Sedangkan di Indonesia, BI mulai mengadopsi penargetan inflasi pada tahun 1999 dan mulai
menentukan dan mengumumkan target inflasi pertamanya pada awal tahun 2000. Namun, BI secara
resmi menginformasikan tentang pelaksanaan ITF pada 1 Juli 2005 (Kenward, 2013; Setiawan &
Karsinah, 2016). Target inflasi adalah jumlah yang harus direalisasikan oleh bank sentral. Sedangkan
penargetan inflasi diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Selain menjaga stabilitas harga (inflasi rendah), kegiatan ekonomi yang diharapkan dari kebijakan
moneter adalah pertumbuhan ekonomi yang baik. Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi
setiap tahunnya, sebagaimana tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Setelah satu tahun, target tersebut akan dikoreksi apakah pertumbuhan ekonomi sudah sesuai harapan
atau belum mampu mencapai target yang ditetapkan. Dalam praktiknya, pemerintah dapat mengubah
angka target di tengah periode berjalan jika target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan di awal
periode dianggap sulit dicapai pada periode berjalan karena kondisi perekonomian.
Produk Domestik Bruto (PDB) adalah proksi pertumbuhan ekonomi karena PDB dapat menghitung
dua hal secara bersamaan: total pendapatan dan pengeluaran ekonomi. Oleh karena itu, meskipun PDB
bukanlah ukuran kesejahteraan yang sempurna dan mutlak, namun merupakan indikator pertumbuhan
ekonomi yang baik (Atika, 2018).
Bank sentral menggunakan kebijakan moneter untuk mengendalikan inflasi dan mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi yang diproksikan melalui PDB. Untuk mencapai tujuan tersebut, bank sentral
akan mentransmisikan kebijakan moneter melalui lima jalur: jalur kredit, suku bunga, nilai tukar, harga
aset, dan ekspektasi inflasi. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter (MPTM) mencerminkan
bagaimana kebijakan moneter dapat mempengaruhi berbagai kegiatan ekonomi dan keuangan untuk
mencapai target kebijakan akhir (Warjiyo, 2004). Karena melibatkan interaksi antara bank sentral, sektor
keuangan, pelaku ekonomi, pemerintah, dan otoritas lain baik di dalam maupun di luar negeri, proses
MPTM relatif rumit (Warjiyo & Juhro, 2020).
Karena prosesnya kompleks, MPTM sering dikenal sebagai 'kotak hitam' dalam teori ekonomi
(Bernanke & Gertler, 1995). Proses MPTM hingga berdampak pada target akhir (inflasi dan pertumbuhan
ekonomi) dapat terjadi dalam jangka waktu yang bervariasi dan cukup lama (Friedman & Schwartz,
1963). Pengaruh tersebut dapat terjadi selama 6-8 triwulan (Warjiyo & Juhro, 2020).
Kompleksitas transmisi kebijakan moneter semakin diperumit dengan diberlakukannya undang-
undang perbankan baru pada tahun 1998, di mana Indonesia secara resmi mengadopsi sistem
perbankan ganda, yaitu konvensional dan syariah (Sugianto et al., 2015). Sejak berdirinya
Machine Translated by Google
112 Jurnal Internasional Bisnis dan Ekonomi Islam (IJIBEC), 6(2) Desember 2022, 110-124
Bank Muamalat sebagai bank syariah pertama pada tahun 1992, Indonesia memiliki dua sistem perbankan: bunga
dan bagi hasil. Sistem bagi hasil didasarkan pada prinsip perhitungan yang lebih fleksibel dalam hal pengembalian
bagi hasil. Peningkatan volume uang beredar akan sesuai dengan peningkatan tingkat output di bawah sistem ini
(Rusydiana, 2009).
Kajian ini berfokus pada transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga karena jalur suku bunga
menekankan pada harga di pasar keuangan untuk berbagai kegiatan ekonomi di sektor riil. Dalam pengertian ini,
kebijakan moneter akan mempengaruhi suku bunga keuangan yang dapat mempengaruhi inflasi dan pertumbuhan
ekonomi (Warjiyo, 2004).
Sejak menerapkan sistem perbankan ganda, Indonesia telah menggunakan sistem moneter ganda; sistem
berbasis suku bunga yang dipraktikkan dalam moneter konvensional dan prinsip bagi hasil dalam moneter Islam.
Oleh karena itu, Islam memperkenalkan sistem moneter syariah berdasarkan prinsip syariah Islam untuk mengatasi
sistem suku bunga yang melekat pada riba. Sebagaimana diatur dalam PBI No. 10/36/PBI/2008 bahwa BI dapat
menggunakan prinsip syariah dalam pelaksanaan kebijakan moneter. Prinsip syariah ini berperan dalam
pembangunan ekonomi suatu negara (Kebede, 2021).
Untuk mencapai sasaran kebijakan akhir, instrumen pengendalian moneter dalam kebijakan moneter syariah
tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan instrumen yang digunakan dalam kebijakan moneter konvensional.
Dalam ekonomi moneter Islam, terdapat satu saluran transmisi yang disebut pass-through policy rate dengan
menggunakan prinsip bagi hasil, margin, atau fee (Acharya, 2012). Jalur ini merupakan modifikasi dari jalur suku
bunga dalam sistem moneter konvensional. Beberapa instrumen yang digunakan dalam jalur ini adalah Sertifikat
Bank Indonesia Syariah (SBIS) dan Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS). SBIS adalah surat berharga yang
mengadopsi dari Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dimana suku bunga SBI diubah menggunakan tingkat imbal hasil
SBIS berdasarkan akad ju'alah. Sedangkan PUAS diadopsi dari Pasar Uang Antar Bank (PUAB), dimana suku
bunga PUAB diganti dengan menggunakan perangkat IMA Certificate.
Instrumen tersebut (suku bunga SBI, suku bunga PUAB, yield SBIS, dan yield PUAS) merupakan instrumen
pasar uang jangka pendek. Ini sering digunakan dalam pengendalian moneter untuk mencapai target akhir: inflasi
dan output aktual (pertumbuhan ekonomi) yang diproksikan dengan PDB. SBI digunakan sebagai policy rate Bank
Indonesia untuk transmisi kebijakan moneter. Sedangkan sebelum menggunakan SBIS, Indonesia menerapkan
Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) dengan dasar akad wadi'ah. Seperti halnya SBI, SWBI merupakan
penempatan dana Bank Indonesia jangka pendek, dengan tambahan bonus yang dibayarkan pada saat jatuh
tempo berdasarkan imbal hasil PUAS. Kedua instrumen tersebut diterbitkan untuk menyerap kelebihan likuiditas
dari pasar (Wahyudi & Sani, 2014).
Namun karena SWBI memiliki beberapa kelemahan, maka SWBI diubah menjadi SBIS dengan menggunakan
akad jual mulai April 2008. Melalui kedua instrumen tersebut (SBI dan SBIS), Bank Indonesia dapat mempengaruhi
kecenderungan pembiayaan dan pendanaan perbankan melalui pasar uang antar bank, baik di pasar uang
konvensional (PUAB) serta pasar uang syariah (PUAS) dan, pada akhirnya biaya dana dan harga aset keuangan
(Azizi, 2018).
Acharya (2014) menunjukkan bahwa dalam sistem keuangan ganda, peningkatan SBI cenderung meningkatkan
inflasi dan menurunkan pertumbuhan ekonomi, sedangkan peningkatan SBIS memiliki pengaruh yang tidak signifikan.
Bawono dkk. (2021) menunjukkan bahwa pasar uang antar bank syariah tidak berpengaruh signifikan terhadap
inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Beberapa penelitian telah dilakukan mengenai transmisi kebijakan moneter yang mempengaruhi
perekonomian. Penelitian (Acharya, 2012) menemukan bahwa SBI dan SBIS merugikan inflasi dalam mencapai
target inflasi akhir, sedangkan penelitian (Magdalena & Pratomo, 2014; Pratama, 2013) menunjukkan dampak
positif. Penelitian oleh (Setiawan & Karsinah, 2016) menemukan bahwa PUAB
Machine Translated by Google
Jurnal Internasional Bisnis dan Ekonomi Islam (IJIBEC), 6(2) Desember 2022, 110-124 113
dan PUAS merugikan inflasi, sedangkan (Magdalena & Pratomo 2014) mendapatkan hasil sebaliknya.
Sedangkan dalam mencapai tujuan akhir pertumbuhan ekonomi, penelitian oleh (Wibowo & Mubarok (2017)
menemukan bahwa SBI dan SBIS merugikan pertumbuhan ekonomi, sedangkan (Pratama, 2013; Zelina
2018) mendapatkan hasil yang berlawanan. Penelitian (Acharya, 2012; Imaduddin , 2019) menunjukkan
bahwa PUAB dan PUAS berhubungan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan (Maharani,
2017; Setiawan & Karsinah, 2016) menemukan bahwa PUAB dan PUAS berdampak positif terhadap
pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, masih terdapat kesenjangan hasil penelitian. Oleh karena itu,
penelitian ini akan mengkaji topik transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga. Namun yang
membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah variabel target akhir yang digunakan.
Pada sebagian besar penelitian sebelumnya, indeks produksi industri digunakan sebagai proksi pertumbuhan
ekonomi, sedangkan penelitian ini menggunakan PDB. Selain itu, sepengetahuan penulis belum ada
penelitian sebelumnya yang menganalisis transmisi kebijakan moneter ganda terhadap inflasi dan
pertumbuhan ekonomi yang diproksikan dengan PDB.
2. Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif untuk menganalisis transmisi kebijakan moneter
konvensional dan syariah terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Populasi penelitian ini adalah data
yang dipublikasikan di Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia dan Badan Pusat Statistik. Sedangkan
sampel yang terlibat dalam penelitian ini antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Pasar Uang Antar Bank
(PUAB), Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), dan Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) dari tahun
2002 sampai dengan tahun 2020.
Alat analisis yang digunakan adalah Vector Autoregression (VAR)/Vector Error Correction Model
(VECM) untuk mengetahui hubungan antar variabel dalam model. Untuk menggunakan model VAR, data
harus stasioner pada level tersebut. Sedangkan jika levelnya tidak stasioner, maka dapat direduksi menjadi
perbedaan pertama. Dengan demikian, pemodelan VAR dapat dilakukan dengan data first difference atau
dengan model VECM jika terdapat kointegrasi. Model matematika pada persamaan ini adalah sebagai
berikut: CPIyt = C + a1iÿCPIyt-
k + a1iÿSBIyt-k + a1iÿPUAByt-k + et PDByt = C + a1iÿPDByt-
k + a1iÿSBIyt -k + a1iÿPUAByt-k + et dan CPIyt = C +
Langkah-langkah pengujian penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, uji kointegrasi digunakan
untuk mengetahui keseimbangan jangka panjang antara variabel-variabel yang diamati. Penentuan
kointegrasi diamati melalui skor statistik jejak. Kedua, menganalisis uji VECM untuk melihat signifikansi
jangka pendek dan jangka panjang. Ketiga, dilakukan analisis Impulse Response Function (IRF) untuk
mengetahui arah hubungan dan seberapa besar pengaruh satu variabel endogen terhadap variabel
endogen lainnya dalam model yang dibentuk, serta untuk melihat bagaimana respon variabel terhadap
guncangan. Keempat, analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) digunakan untuk mengetahui
seberapa besar pengaruh variabel tertentu terhadap variabel endogen dan untuk mengetahui seberapa
kuat pengaruh antar variabel satu sama lain dalam jangka panjang.
Machine Translated by Google
114 Jurnal Internasional Bisnis dan Ekonomi Islam (IJIBEC), 6(2) Desember 2022, 110-124
Model CPI menunjukkan bahwa baik saluran konvensional maupun saluran Islam berpengaruh signifikan
terhadap koefisien jangka panjang. Jika jalur konvensional yaitu SBI memiliki nilai koefisien -0,114 yang berarti jika
terjadi kenaikan suku bunga SBI sebesar 1% maka akan menurunkan inflasi sebesar 0,114%. Sedangkan koefisien
PUAB sebesar 0,133 yang berarti jika suku bunga PUAB naik 1% maka akan meningkatkan inflasi sebesar 0,133%
Sedangkan pada jalur syariah nilai koefisien SBIS sebesar 0,798. Jika perubahan imbal hasil meningkat
sebesar 1%, maka inflasi akan meningkat sebesar 0,798%. Sedangkan koefisien PUAS sebesar -0,777. Artinya jika
return PUAS meningkat sebesar 1% maka inflasi akan menurun sebesar 0,777%.
Persamaan IHK jangka panjang dapat ditulis sebagai berikut: LnCPI
= -4.844 – 0.114SBI + 0.133PUAB LnCPI =
-5.657 + 0.798SBIS – 0.777PUAS
Variabel yang terkointegrasi menyesuaikan ke arah ekuilibrium. Koefisien penyesuaian ini selanjutnya disebut
sebagai Error Correction Term (ECT) untuk melihat keseimbangan jangka pendek persamaan kointegrasi 1 pada
kedua saluran akan mengoreksi penyesuaian jangka panjang. Untuk saluran konvensional, kecepatan ekuilibrium
jangka panjang CPI adalah 90,1%.
Sedangkan pada jalur syariah, kecepatan ekuilibrium jangka panjang direalisasikan oleh IHK dan SBIS masing-masing
sebesar -4,1% dan -42,8%. Hasil estimasi dapat dilihat pada Tabel 1.
Jurnal Internasional Bisnis dan Ekonomi Islam (IJIBEC), 6(2) Desember 2022, 110-124 115
C -5.657
Koefisien Penyesuaian -0,041
-0,428 0,267
CointEq1
[-2.168] [-2.600] [1.337]
Sumber: Data sekunder diolah, 2022.
Hasil estimasi jangka pendek disajikan pada Tabel 2. Pada jalur konvensional model IHK menunjukkan empat
variabel berpengaruh signifikan yaitu variabel SBI periode lalu, SBI dua periode lalu, PUAB periode lalu , dan PUAB
dalam dua periode terakhir. Artinya, jika suku bunga SBI periode 1 dan 2 sebelumnya meningkat sebesar 1%, maka
akan mempengaruhi inflasi masing-masing sebesar 0,115% dan 0,081%. Kemudian, perubahan suku bunga PUAB
periode pertama dan kedua sebesar 1% yang lalu akan mempengaruhi inflasi masing-masing sebesar 0,126% dan
0,077%.
Sedangkan IHK hanya dipengaruhi oleh SBIS pada periode yang lalu dengan nilai koefisien -0,040. Artinya,
jika tingkat imbal hasil SBIS periode sebelumnya meningkat sebesar 1%, maka perubahan inflasi saat ini akan
menurun sebesar 0,040%. Secara total, hasil estimasi jangka pendek model IHK disajikan pada Tabel 2.
116 Jurnal Internasional Bisnis dan Ekonomi Islam (IJIBEC), 6(2) Desember 2022, 110-124
suku bunga masing-masing sebesar -82,3% dan -71,4%. Sedangkan PDB dan PUAS masing-masing sebesar 3,1%
dan -29,2% di jalur syariah. Hasil estimasi dapat dilihat pada Tabel 3.
Pada jalur moneter syariah model GDP menunjukkan bahwa dalam jangka pendek hanya variabel SBIS 4
periode sebelumnya dan PUAS 1 periode sebelumnya yang berpengaruh signifikan. Apabila perubahan imbal hasil
SBIS empat periode sebelumnya meningkat sebesar 1%, maka akan menyebabkan perubahan PDB menurun sebesar
0,044%. Juga, jika hasil PUAS telah berubah sebesar 1% pada periode sebelumnya, PDB akan turun sebesar 0,072%.
Secara total, hasil estimasi jangka pendek model GDP disajikan pada Tabel 4.
Jurnal Internasional Bisnis dan Ekonomi Islam (IJIBEC), 6(2) Desember 2022, 110-124 117
[2.754]
Variabel Syariah Jangka Pendek
VECM
D(SBIS(-4))
D(LnPDB)
D(TIDAK ADA(-1)) -0.044 [-2.027] -0.072
[-2.342]
Sumber: Data sekunder diolah, 2022.
Analisis Impulse Response Function (IRF)
Gambar 1 merupakan hasil Impulse Response Function (IRF) untuk model inflasi (IHK) yang menunjukkan
bahwa semua variabel pada jalur konvensional (kecuali IHK) yaitu SBI dan PUAB berdampak pada
mengurangi inflasi dan juga bersifat permanen. Variabel IHK merupakan variabel yang memiliki pengaruh
jangka panjang terhadap respon IHK itu sendiri, guncangan terjadi selama 30 periode, periode selanjutnya
mulai stabil dan secara permanen berpengaruh positif terhadap peningkatan IHK itu sendiri. Sedangkan
shock effect variabel konvensional (SBI dan PUAB) terhadap inflasi mulai mereda dan stabil pada periode
33 sampai dengan 43.
Sebaliknya pada saluran syariah, guncangan IHK berlangsung selama 5 periode, dan pada periode
berikutnya IHK akan direspon positif oleh IHK itu sendiri secara permanen. IHK mulai merespon negatif
shock variabel SBIS pada periode 2-4, dan respon IHK terhadap shock SBIS mulai stabil pada periode ke-5.
IHK mulai merespon positif variabel PUAS pada periode 2 sampai 10, dan pada periode 11 mulai stabil dan
menjadi permanen.
.08 .16
.06
.12
.04
.08
.02
.00
.04
-.02
.00
-.04
-.06 -.04
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
118 Jurnal Internasional Bisnis dan Ekonomi Islam (IJIBEC), 6(2) Desember 2022, 110-124
.125
.12
.100
.08
.075
.04 .050
.025
.00
.000
-.04
-.025
-.08 -.050
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
Selanjutnya pada jalur syariah, penyumbang perubahan IHK yang paling signifikan adalah dirinya sendiri
sebesar 100% di awal periode, menurun di akhir periode.
Sedangkan kontribusi SBIS dan PUAS justru meningkat hingga akhir periode.
Selain dirinya, penyumbang perubahan IHK terbesar berikutnya adalah SBIS sebesar 8,7% pada periode akhir dan
PUAS sebesar 7,7% pada periode akhir.
Jurnal Internasional Bisnis dan Ekonomi Islam (IJIBEC), 6(2) Desember 2022, 110-124 119
disajikan pada Tabel 6. Pada jalur konvensional, kontribusi perubahan PDB yang paling signifikan adalah PDB itu
sendiri sebesar 100% pada periode awal, menurun pada periode kedua hingga terakhir. Penyumbang perubahan
PDB terbesar berikutnya adalah PUAB sebesar 14,5% pada periode akhir dan SBI sebesar 7,8% pada periode akhir.
Sedangkan pada jalur syariah, kontribusi perubahan PDB yang paling signifikan adalah PDB itu sendiri
sebesar 100% pada awal periode, periode selanjutnya menurun hingga akhir periode. Penurunan kontribusi PDB
diikuti dengan peningkatan kontribusi variabel syariah yaitu SBIS dan PUAS. PUAS merupakan variabel yang
memiliki kontribusi kedua yang mempengaruhi perubahan PDB, yaitu sebesar 25,5% pada periode terakhir.
Kemudian, kontribusi SBIS sebesar 2,9% di akhir periode.
Diskusi
Berdasarkan hasil kajian tersebut dilakukan pembahasan sebagai berikut: pertama, Hasil analisis menunjukkan
bahwa inflasi jangka pendek (IHK) dipengaruhi oleh SBI pada lag pertama dan kedua, dimana untuk setiap kenaikan
1% pada Suku bunga SBI, inflasi pada periode tersebut menurun sebesar 0,115% dan 0,081%. Sedangkan dalam
jangka panjang, SBI juga berpengaruh signifikan terhadap inflasi (IHK). Temuan ini sesuai dengan teori yang ada
bahwa kenaikan suku bunga dapat menurunkan inflasi. Kenaikan suku bunga SBI dapat mendorong pelaku ekonomi
dan masyarakat untuk berinvestasi pada surat berharga untuk tujuan spekulatif daripada untuk konsumsi sehingga
tingkat inflasi akan menurun.
Berdasarkan analisis IRF, tingkat suku bunga SBI berdampak permanen terhadap penurunan tingkat inflasi.
Hasil ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh (Acharya, 2012) dan (Zulfa & Suseno, 2018). Guncangan suku
bunga SBI mampu meredam inflasi, sehingga memperkuat premis ekonomi konvensional bahwa suku bunga SBI
merupakan instrumen moneter utama yang dapat digunakan untuk mengendalikan inflasi.
Sementara itu, analisis FEVD menunjukkan kontribusi suku bunga SBI pada
Machine Translated by Google
120 Jurnal Internasional Bisnis dan Ekonomi Islam (IJIBEC), 6(2) Desember 2022, 110-124
menahan inflasi (CPI) adalah 0-4%. Kontribusi suku bunga SBI masih minim, dan kondisi ini dapat dimaklumi
karena kontribusi yang mempengaruhi IHK tidak hanya dipengaruhi oleh fenomena ekonomi seperti inflasi
inti tetapi juga inflasi non inti yang cenderung sangat fluktuatif sehingga non-inti inflasi inti memiliki kontribusi
yang lebih tinggi terhadap perubahan IHK.
Kedua, suku bunga PUAB jangka pendek berpengaruh terhadap kenaikan inflasi (IHK). Demikian
juga dalam jangka panjang, suku bunga PUAB berpengaruh signifikan terhadap inflasi. Hasil ini dapat
dipahami bahwa ketika bank sentral menaikkan suku bunga SBI maka akan diikuti dengan kenaikan suku
bunga pasar uang antar bank yang akan berdampak pada tingkat inflasi.
Analisis IRF menunjukkan bahwa shock yang terjadi pada interbank rate direspon negatif oleh inflasi
(CPI). Hasil ini mendukung penelitian dari (Setiawan & Karsinah, 2016), (Saputro & Sukmana, 2018), dan
(Zulfa & Suseno, 2018). Ketika suku bunga PUAB meningkat, bank akan merespon dengan menaikkan suku
bunga simpanan dan kredit yang kemudian akan berdampak pada penurunan jumlah uang beredar sehingga
menurunkan konsumsi masyarakat dan menurunkan inflasi.
Kemudian, hasil analisis FEVD menunjukkan bahwa kontribusi suku bunga PUAB dalam mempengaruhi
inflasi (IHK) sebesar 86,6%. Kontribusi suku bunga PUAB hingga akhir periode cenderung meningkat,
bahkan menjadi variabel yang paling besar kontribusinya dalam mempengaruhi laju inflasi. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi suku bunga pasar uang antar bank, maka kontribusinya dalam
mempengaruhi inflasi akan semakin besar.
Ketiga, mengacu pada hasil VECM, variabel SBIS berpengaruh signifikan terhadap inflasi dalam
jangka pendek. Kemudian, dalam jangka panjang, imbal hasil SBIS juga berpengaruh signifikan terhadap
inflasi. Hal ini mengindikasikan bahwa jika rate of return meningkat maka perbankan syariah akan
mendapatkan keuntungan yang lebih signifikan dari pembiayaannya, sehingga berdampak pada sektor konsumsi.
Sementara itu, hasil analisis IRF menunjukkan bahwa yield SBIS berdampak negatif terhadap inflasi
(CPI). Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan (Ascarya, 2012) dan (Sudarsono, 2017). Jika
terjadi peningkatan imbal hasil SBIS, bank syariah akan merespon dengan menyalurkan dana dalam bentuk
SBIS. Hal ini dilakukan bank syariah karena SBIS dinilai lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan
penyaluran dalam bentuk pembiayaan. Jika bank syariah lebih banyak menyalurkan dananya ke passive
income di SBIS, maka pembiayaan akan cenderung menurun, dan pembiayaan di sektor bisnis akan rendah,
sehingga berdampak rendah pula pada tingkat inflasi.
Hasil FEVD menjelaskan bahwa kontribusi imbal hasil SBIS dalam mempengaruhi inflasi (IHK) hingga
akhir periode adalah sebesar 8,7%. Kontribusi tersebut masih tergolong rendah karena saat ini inflasi masih
banyak dipengaruhi oleh faktor lain di luar sektor keuangan.
Keempat, dalam jangka pendek pengaruh imbal hasil PUAS terhadap inflasi (IHK) tidak signifikan.
Sementara itu, dalam jangka panjang, imbal hasil PUAS berdampak signifikan terhadap inflasi.
Dalam jangka panjang, PUAS berpengaruh negatif terhadap inflasi, artinya jika terjadi peningkatan yield
PUAS maka akan menurunkan inflasi.
Lebih lanjut, berdasarkan analisis IRF, IHK merespons shock imbal hasil PUAS secara positif. Dalam
hal ini, bank syariah mulai mengutamakan transaksi di pasar uang untuk mendorong sektor konsumsi. Hasil
ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh (Magdalena & Pratomo, 2014) dan (Hadi et al., 2020). Meski
pada periode awal PUAS mengalami shock yang berdampak fluktuatif terhadap inflasi, namun akhirnya
mengalami keseimbangan hingga akhir periode. Terjadi ketika PUAS mengalami shock maka akan
meningkatkan inflasi.
Sedangkan dari hasil analisis FEVD, shock yang terjadi pada yield PUAS memberikan kontribusi
terhadap inflasi (CPI) sebesar 7,7%. Ketika ketidakseimbangan dalam PUAS dihasilkan dari peningkatan,
Machine Translated by Google
Jurnal Internasional Bisnis dan Ekonomi Islam (IJIBEC), 6(2) Desember 2022, 110-124 121
pembiayaan yang disalurkan kepada masyarakat juga akan meningkat. Pasalnya, dana yang tersedia di pasar uang
akan dibeli dengan sertifikat IMA oleh bank syariah untuk kemudian disalurkan sebagai pembiayaan sehingga akan
mendorong sektor konsumsi.
Kelima, dalam jangka pendek suku bunga SBI berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (PDB).
Di sisi lain, SBI juga memiliki dampak signifikan terhadap PDB dalam jangka panjang.
Dalam hal ini, kenaikan suku bunga SBI akan mempengaruhi perubahan PDB.
Berdasarkan analisis IRF, kenaikan suku bunga SBI berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Hasil ini sesuai dengan temuan penelitian sebelumnya yang dilakukan (Julaihah & Insukindro, 2004), (Acharya, 2012),
dan (Wibowo & Mubarok, 2017).
Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan suku bunga SBI akan mempengaruhi suku bunga keuangan
pasar, seperti suku bunga pinjaman. Kenaikan suku bunga pinjaman akan mengurangi investasi, dan tingkat
pertumbuhan juga akan menurun. Sementara itu, dari analisis FEVD, diketahui bahwa guncangan pada variabel suku
bunga SBI memberikan kontribusi terhadap PDB yang cukup baik, meskipun masih relatif kecil, sebesar 7,8% pada
periode akhir.
Keenam, dalam jangka pendek variabel suku bunga PUAB berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi (PDB). Sedangkan dalam jangka panjang suku bunga PUAB tidak berpengaruh signifikan terhadap PDB.
Suku bunga PUAB dapat dipahami sebagai instrumen jangka pendek yang digunakan untuk memenuhi likuiditas
perbankan. Oleh karena itu, perubahan suku bunga PUAB hanya akan mempengaruhi perilaku perbankan dalam
jangka pendek, sedangkan untuk mempengaruhi perekonomian di sektor riil transmisinya harus dalam bentuk kredit.
Selanjutnya hasil analisis IRF menunjukkan bahwa shock yang terjadi pada variabel interbank rate menunjukkan
reaksi positif dari GDP. Temuan ini menegaskan hasil studi yang telah dilakukan (Maharani, 2017). Hasil ini
menunjukkan bahwa kenaikan suku bunga PUAB oleh otoritas moneter dapat meningkatkan kinerja perekonomian.
Selain itu, dari analisis FEVD diketahui bahwa variabel suku bunga PUAB memiliki kontribusi yang lebih besar
dibandingkan suku bunga SBI dalam mempengaruhi PDB sebesar 14,5%.
Ketujuh, dari hasil estimasi jangka pendek diketahui bahwa yield SBIS berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi (PDB). Sedangkan dalam jangka panjang, imbal hasil SBIS tidak berpengaruh signifikan
terhadap PDB. Pengaruh SBIS terhadap PDB tidak signifikan karena dalam menghitung PDB lebih terkait langsung
dengan investasi di sektor riil daripada investasi di sektor keuangan.
Berdasarkan analisis IRF, PDB merespons imbal hasil PUAS secara positif. Hasil penelitian ini mengkonfirmasi
temuan sebelumnya (Acharya, 2012) dan (Bawono et al., 2021). Secara singkat dapat dikatakan bahwa peningkatan
imbal hasil SBIS yang dilakukan oleh otoritas moneter cukup efektif dalam meningkatkan kinerja perekonomian dalam
hal ini pertumbuhan ekonomi (PDB).
Kemudian, hasil analisis FEVD menunjukkan bahwa kontribusi SBIS terhadap PDB sebesar 2,9%. Terlihat
bahwa kondisi tersebut berdampak cukup besar terhadap perubahan perilaku perbankan dimana tinggi rendahnya
imbal hasil SBIS digunakan baik untuk pendanaan maupun investasi pada instrumen SBIS.
Kedelapan, berdasarkan analisis VECM, dalam jangka pendek PUAS berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi (PDB). Dalam jangka panjang, PUAS juga terbukti berpengaruh signifikan terhadap PDB. Hasil
ini dapat dipahami bahwa peningkatan imbal hasil PUAS akan mempengaruhi tingkat bagi hasil pada perbankan
syariah sehingga akan menarik minat masyarakat untuk melakukan pinjaman produktif pada bank syariah yang pada
akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Selanjutnya hasil yang diperoleh dari analisis IRF menunjukkan bahwa GDP merespon shock pada variabel
PUAS secara positif. Hasil penelitian ini mengkonfirmasi hasil penelitian (Acharya, 2010) (Setiawan & Karsinah, 2016)
dan (Bawono et al., 2021). Itu menunjukkan
Machine Translated by Google
122 Jurnal Internasional Bisnis dan Ekonomi Islam (IJIBEC), 6(2) Desember 2022, 110-124
bahwa peningkatan imbal hasil PUAS yang dilakukan oleh otoritas moneter efektif dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi.
Selanjutnya berdasarkan uji FEVD terlihat bahwa variabel PUAS memiliki kontribusi yang lebih tinggi
dibandingkan variabel SBIS terhadap perubahan PDB yaitu sebesar 25,5%. Secara keseluruhan, variabel saluran
syariah memiliki peran yang signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
4. Kesimpulan
Studi ini menganalisis pengaruh transmisi kebijakan moneter konvensional dan syariah dengan menggunakan
instrumen SBI, PUAB, SBIS, dan PUAS terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi (PDB). Dengan menggunakan
alat analisis VAR/VECM, dalam jangka pendek dan jangka panjang semua variabel pada jalur konvensional dan
jalur syariah mempengaruhi inflasi (IHK), kecuali PUAS yang tidak berpengaruh dalam jangka pendek. Sementara
itu, pertumbuhan ekonomi (PDB) dalam jangka pendek dan panjang dipengaruhi oleh semua variabel pada jalur
konvensional dan jalur syariah, kecuali variabel SBIS dan PUAB yang tidak berpengaruh dalam jangka panjang.
Berdasarkan analisis IRF, guncangan yang terjadi pada SBI, PUAB, dan SBIS direspon negatif oleh inflasi (IHK),
sedangkan PUAS direspon positif. Kemudian, pertumbuhan ekonomi (PDB) direspon positif terhadap shock yang
terjadi pada variabel PUAB, SBIS, dan PUAS, sedangkan SBI direspon negatif.
Selanjutnya dari hasil analisis FEVD, variabel jalur konvensional memiliki kontribusi yang lebih tinggi terhadap
perubahan inflasi (IHK) dibandingkan variabel jalur syariah. Sedangkan variabel saluran syariah memiliki kontribusi
yang lebih tinggi terhadap perubahan pertumbuhan ekonomi (PDB) dibandingkan dengan variabel saluran
konvensional.
Berdasarkan hasil tersebut, kami menyarankan agar pembuat kebijakan mengevaluasi kebijakan terkait
transmisi kebijakan moneter syariah yang tidak mengacu pada suku bunga konvensional khususnya instrumen
SBIS. Dengan demikian, diharapkan mampu mengendalikan inflasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang
maksimal. Sementara itu, penelitian ini dibatasi pada transmisi kebijakan moneter ganda pada jalur suku bunga
dengan instrumen SBI, PUAB, SBIS, dan PUAS. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya yang menganalisis jalur
suku bunga diharapkan mempertimbangkan variabel ekonomi lainnya seperti suku bunga kredit, total pinjaman
bank konvensional, hasil pembiayaan, dan total pembiayaan bank syariah. Harapannya adalah untuk lebih
memperjelas alur transmisi kebijakan moneter; baik konvensional maupun syariah dapat memberikan informasi
yang lebih komprehensif mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter berganda.
References
Ascarya. (2010). Peran Perbankan Syariah dalam Transmisi Kebijakan Moneter Ganda di Indonesia. Iqtisodia:
Jurnal Ekonomi Islam Republika.
Ascarya. (2012). Alur Transmisi dan Efektifitas Kebijakan Moneter Ganda di Indonesia.
Buletin Ekonomi Dan 283–315.Moneterhttps://doi.org/10.21098/bemp.v14i3.360
Perbankan, 14(3),
Ascarya. (2014). Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Dalam Sistem Keuangan Ganda di Indonesia: Saluran
Bunga-Laba. Jurnal Internasional Ekonomi, Manajemen dan Akuntansi, 22(1), 1–32.
Atika, A. (2018). Pengaruh Pembiayaan dan Tingkat Bagi Hasil terhadap Tingkat
Machine Translated by Google
Jurnal Internasional Bisnis dan Ekonomi Islam (IJIBEC), 6(2) Desember 2022, 110-124 123
Kesejahteraan di Indonesia dilihat dari Pertumbuhan PDB. Riset Akuntansi Dan Keuangan
Indonesia, 3(1), 49–57. https://doi.org/10.23917/reaksi.v3i1.5568
Azizi, B. (2018). Dampak Instrumen Moneter Ganda terhadap Kinerja dan Stabilitas Jakarta Islamic
Index. Jurnal Ekonomi dan Keuangan Moneter Islam, 3(2), 315– 348. https://doi.org/10.21098/
jimf.v3i2.894
Bawono, A., Laksana, KU, Nabila, R., & Himmati, R. (2021). Efektivitas Transmisi Kebijakan
Moneter Syariah Terhadap Inflasi dan Kinerja Ekonomi. Syirkah: 6(3), Jurnal dan 336–360.
Ekonomi
https://doi.org/10.22515/shirkah.v6i3.432
dari Bisnis,
Bernanke, BS, & Gertler, M. (1995). Inside the Black Box: Saluran Kredit Transmisi Kebijakan
Moneter. Jurnal Perspektif Ekonomi, 9(4), 27–48. https://doi.org/10.1257/jep.9.4.27 Bernanke,
BS, & Mishkin, FS (1997). Penargetan
Inflasi: Kerangka Baru untuk Kebijakan Moneter?
Jurnal Ekonomi 97–116. https://doi.org/10.1257/jep.11.2.97
Perspektif, 11(2),
Friedman, M., &
Schwartz, AJ (1963). Sejarah Moneter
Amerika Serikat, 1867-1960.
Pers Universitas Pricenton.
Hadi, Z., Afifi, M., & Chaidir, T. (2020). Analisis Transmisi Kebijakan Moneter Melalui Instrumen
Konvensional dan Syariah terhadap Inflasi di Indonesia Periode 2014.6- 2019.12. Jurnal
Lentera, 19(1), 109–129.
Imaduddin, M. (2019). Analisis Efektivitas Transmisi Moneter Ganda Melalui Jalur Kredit dan
Pembiayaan terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Periode 2011-2018. Journal of
Islamic Economics and Philanthropy, 2(3), 413–437.
Julaihah, U., & Insukindro, I. (2004). Analisis Dampak Kebijakan Moneter terhadap Variabel
Makroekonomi di Indonesia Tahun 1983.1—2003.2. Buletin Ekonomi Moneter Dan
Perbankan, 7(2), 323–342. https://doi.org/10.21098/bemp.v7i2.110
Kebede, D. A. (2021). Interest Free Banking in Ethiopia: Customer Awareness, Satisfaction and
Its Role on Economic Development. International Journal of Islamic Business and Economics
(IJIBEC), 5(1), 48–58. https://doi.org/10.28918/ijibec.v5i1.2566 Kenward, L. R.
(2013). Inflation targeting in Indonesia, 1999-2012: An ex-post review. 305–327.
Buletin Bahasa Indonesia https:// Ekonomis Studi, 49(3),
doi.org/10.1080/00074918.2013.850630
Magdalena, I., & Pratomo, W. A. (2014). Analisis Efektivitas Transmisi Kebijakan Moneter Ganda
di Indonesia. Jurnal Ekonomi Dan Keuangan, 2(11), 657–671.
Maharani, A. D. (2017). Analisis Pengaruh Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Konvensional
dan Syariah terhadap Indeks Produksi Industri (IPI) di Indonesia. UIN Syarif Hidayatullah.
Mendonça, HF De, & Souza, GJDG e. (2012). Apakah penargetan inflasi merupakan obat yang
baik untuk mengendalikan inflasi? Jurnal Ekonomi Pembangunan, 98(2), 178–191. https://
doi.org/10.1016/j.jdeveco.2011.06.011
Pratama, YC (2013). Efektivitas Transmisi Kebijakan Moneter Konvensional dan Syariah. Tazkia
Islamic Finance and Business Review, 8(1), 79–96.
Rusydiana, A. S. (2009). Mekanisme Transmisi Syariah pada Sistem Moneter Ganda di Indonesia.
Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan, 11(4), 345–367. https://doi.org/10.21098/
bemp.v11i4.345 Saputro, B., & Sukmana, R.
(2018). Analisis Transmisi Kebijakan Moneter Ganda terhadap
Inflasi di Indonesia. Jurnal Ekonomi Syariah Teori Dan Terapan, 5(4), 322–335.
Machine Translated by Google
124 Jurnal Internasional Bisnis dan Ekonomi Islam (IJIBEC), 6(2) Desember 2022, 110-124
Setiawan, R. Y., & Karsinah. (2016). Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter dalam Mempengaruhi
Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia. Economics Development Analysis Journal,
5(4), https://doi.org/10.15294/edaj.v5i4.22183 Sudarsono, H. (2017). 460–474.
Analisis efektifitas transmisi kebijakan moneter
konvensional dan syariah dalam mempengaruhi tingkat inflasi. Jurnal Ekonomi Dan Keuangan Islam,
3(2), 53–64. https://doi.org/10.20885/jeki.vol3.iss2.art1
Sugianto, Harmain, H., & Harahap, N. (2015). Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia
Melalui Sistem Moneter Syariah. Human Falah: Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Islam, 2(1), 50–74.
Wahyudi, I., & Sani, G. A. (2014). Interdependence between Islamic capital market and money market:
Evidence from Indonesia. Borsa Istanbul Review, 14(1), 32–47. https://doi.org/10.1016/
j.bir.2013.11.001 Warjiyo, P. (2004).
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia. Jakarta: Pusat
Pendidikan dan Kajian Bank Sentral (PPSK) BI.
Warjiyo, P., & Juhro, S. M. (2020). Kebijakan Bank Sentral: Teori dan Praktik. Depok: Rajawali
Pers.
Warjiyo, P., & Solikin. (2003). Kebijakan Moneter di Indonesia. Jakarta: Pusat Pendidikan dan Studi
Kebanksentralan (PPSK) BI.
Wibowo, M. G., & Mubarok, A. (2017). Analisis Efektivitas Transmisi Moneter Ganda terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Jurnal Ekonomi Dan Pembangunan, 25(2), 127–139. https://
doi.org/10.14203/jep.25.2.2017.127-139
Zaelina, F. (2018). Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter Syariah. Indonesian Economics, 19–30.
Jurnal Interdisiplin https://doi.org/ Syariah 1(1),
10.31538/iijse.v1i1.69
Zulfa, F., & Suseno, DA (2018). Analisis Transmisi Moneter Melalui Jalur Suku Bunga dalam
Mempengaruhi Inflasi: Pendekatan VECM. Konferensi Internasional dan Ekonomi Ekonomi,
Bisnis 168–179.
https://doi.org/10.18502/kss.v3i10.3127 Pendidikan 2018,