Anda di halaman 1dari 21

CRITICAL JOURNAL REVIEW

Analysis of Conventional and Islamic Monetary Policy Transmission on


Inflation and Economic Growth
(Analisis Transmisi Kebijakan Moneter Konvensional dan Syariah pada
Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi)

Disusun Oleh :

Nama : Azka Wardatul Hayyah (0502212084)


Kelas : AKS IV D

Dosen Pengampu : Wahyu Syarvina, M.A

Mata Kuliah : Ekonomi Makro Islam

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt atas limpahan rahmat dan karunia-
Nya kepada penulis, sehingga saya mendapat kemudahan dan kelancaran dalam menyelesaikan
tugas Riview Jurnal mata kuliah Ekonomi Makro Islam yang di ampuh oleh dosen kita Wahyu
Syarvina, M.A.
Tidak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada ibu dosen pengajar mata kuliah
Ekonomi Makro Islam atas bimbingan dan arahan dalam penulisan tugas ini. Semoga Riview saya
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat menjadi panduan bagi semua orang yang
membutuhkan. Adapun nantinya banyak kekeliruan ataupun kesalahan dalam Riview Jurnal ini,
saya mohon kritik dan saran agar Riview Jurnal ini menjadi yang benar-benar berguna bagi para
pembaca.

Medan, 08 Mei 2023

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Review jurnal adalah salah satu strategi untuk mempermudah seseorang memahami isi dan
inti dari sebuah penelitian. Dengan melakukan Review jurnal , pelakunya tentu telah
membacanya dan memahami apa yang dipaparkan dalam Jurnal yang dikritik. Dengan demikian,
si pengkritik tidak akan dapat mengkritik sebuah jurnal tanpa membacanya terlebih dahulu.
Riview Jurnal yang diuraikan di sini yaitu “Analysis of Conventional and Islamic Monetary
Policy Transmission on Inflation and Economic Growth”.
Dari Jurnal ini akan dijelaskan dan diriview secara garis besarnya saja sehingga dapat
diketahui apa sebenarnya isi Jurnal itu dan apa kelebihan serta kekurangannya. Riview di sini
seperti yang sudah diutarakan di atas bahwa hanya terbatas pada gambaran secara umum isi
jurnal. Satu hal yang kiranya sedikit menarik dalam riview jurnal ini adalah memberi penilaian
terhadap jurnal yang riview. Memang secara mudah, kalau yang namanya riview tentu akan ada
diutarakan apa kelebihan dan apa kekurangan. Jurnal akan diberi komentar mengenai apa
kelebihannya dibandingkan dengan jurnal lain serta apa pula kekurangannya.

B. Rumusan Review Jurnal


1. Gambaran isi umum Jurnal
2. Riview terhadap kelebihan dan kekurangan Jurnal
3. Kesimpulan dan Saran

C. Tujuan Review Jurnal


1. Memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen pengampu pada mata Ekonomi Makro Islam.
2. Menambah dan meningkatkan pengetahuan mahasiswa mengenai penerapan kebijakan
moneter ganda terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Identitas Jurnal
Judul : Analysis of Conventional and Islamic Monetary Policy Transmission on
Inflation and Economic Growth
Link Jurnal : https://ejournal.uingusdur.ac.id/index.php/IJIBEC/article/view/5970
Penulis : Muhammad Syariful Anam, Rifda Nabila,
Arna Asna Annisa, Rina Rosia
E-ISSN : 2615-420X
Penerbit : International Journal of Islamic Business and Economics
Tahun Terbit : 2022

B. Ringkasan Isi Jurnal


1. Latar Belakang
Ekonomi yang stabil dapat dilihat dari harga barang yang stabil. Jika harga barang stabil,
pelaku ekonomi dapat dengan mudah membuat berbagai perencanaan, baik merencanakan
produksi, membeli bahan baku produksi, membayar upah tenaga kerja, dsb. . Inflasi yang
berlangsung cukup lama dapat menimbulkan kekacauan ekonomi, dimana semua barang dan jasa
akan berkurang. Jika melihat dampak inflasi maka perlu dilakukan pengendalian inflasi bagi
perekonomian suatu negara. Untuk itu, bank sentral di beberapa negara mulai menerapkan
Inflation Targeting Framework (ITF) pada tahun 1990, dimulai dari Selandia Baru, diikuti oleh
Kanada, Inggris, Swedia, dan Australia. Selain mengarahkan ekspektasi publik terkait rendahnya
tingkat inflasi yang terkendali, ITF bertujuan untuk meningkatkan kredibilitas bank sentral
sebagai aktor kebijakan moneter.
Sedangkan di Indonesia, BI mulai mengadopsi penargetan inflasi pada tahun 1999 dan mulai
menentukan dan mengumumkan target inflasi pertamanya pada awal tahun 2000. Namun, BI
secara resmi menginformasikan tentang pelaksanaan ITF pada 1 Juli 2005. Target inflasi adalah
jumlah yang harus direalisasikan oleh bank sentral. Sedangkan penargetan inflasi diatur melalui
Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Selain menjaga stabilitas harga (inflasi rendah), kegiatan
ekonomi yang diharapkan dari kebijakan moneter adalah pertumbuhan ekonomi yang baik.
Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya, sebagaimana tertuang
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Setelah satu tahun, target tersebut
akan dikoreksi apakah pertumbuhan ekonomi sudah sesuai harapan atau belum mampu mencapai
target yang ditetapkan. Dalam praktiknya, pemerintah dapat mengubah angka target di tengah
periode berjalan jika target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan di awal periode dianggap sulit
dicapai pada periode berjalan karena kondisi perekonomian. Bank sentral menggunakan
kebijakan moneter untuk mengendalikan inflasi dan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang
diproksikan melalui PDB. Untuk mencapai tujuan tersebut, bank sentral akan mentransmisikan
kebijakan moneter melalui lima jalur: jalur kredit, suku bunga, nilai tukar, harga aset, dan
ekspektasi inflasi.
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter (MPTM) mencerminkan bagaimana kebijakan
moneter dapat mempengaruhi berbagai kegiatan ekonomi dan keuangan untuk mencapai target
kebijakan akhir. Karena melibatkan interaksi antara bank sentral, sektor keuangan, pelaku
ekonomi, pemerintah, dan otoritas lain baik di dalam maupun di luar negeri, proses MPTM relatif
rumit. Karena prosesnya kompleks, MPTM sering dikenal sebagai 'kotak hitam' dalam teori
ekonomi. Proses MPTM hingga berdampak pada target akhir (inflasi dan pertumbuhan ekonomi)
dapat terjadi dalam jangka waktu yang bervariasi dan cukup lama. Pengaruh tersebut dapat terjadi
selama 6-8 triwula. Kompleksitas transmisi kebijakan moneter semakin diperumit dengan
diberlakukannya undangundang perbankan baru pada tahun 1998, di mana Indonesia secara
resmi mengadopsi sistem perbankan ganda, yaitu konvensional dan syariah.
Sejak berdirinya Bank Muamalat sebagai bank syariah pertama pada tahun 1992, Indonesia
memiliki dua sistem perbankan: bunga dan bagi hasil. Sistem bagi hasil didasarkan pada prinsip
perhitungan yang lebih fleksibel dalam hal pengembalian bagi hasil. Sejak menerapkan sistem
perbankan ganda, Indonesia telah menggunakan sistem moneter ganda; sistem berbasis suku
bunga yang dipraktikkan dalam moneter konvensional dan prinsip bagi hasil dalam moneter
Islam. Oleh karena itu, Islam memperkenalkan sistem moneter syariah berdasarkan prinsip
syariah Islam untuk mengatasi sistem suku bunga yang melekat pada riba. Sebagaimana diatur
dalam PBI No. 10/36/PBI/2008 bahwa BI dapat menggunakan prinsip syariah dalam pelaksanaan
kebijakan moneter.
Prinsip syariah ini berperan dalam pembangunan ekonomi suatu Negara. Untuk mencapai
sasaran kebijakan akhir, instrumen pengendalian moneter dalam kebijakan moneter syariah tidak
memiliki perbedaan yang signifikan dengan instrumen yang digunakan dalam kebijakan moneter
konvensional. Dalam ekonomi moneter Islam, terdapat satu saluran transmisi yang disebut pass-
through policy rate dengan menggunakan prinsip bagi hasil, margin, atau fee. Jalur ini merupakan
modifikasi dari jalur suku bunga dalam sistem moneter konvensional. Beberapa instrumen yang
digunakan dalam jalur ini adalah Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) dan Pasar Uang Antar
Bank Syariah (PUAS).
SBIS adalah surat berharga yang mengadopsi dari Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dimana
suku bunga SBI diubah menggunakan tingkat imbal hasil SBIS berdasarkan akad ju'alah.
Sedangkan PUAS diadopsi dari Pasar Uang Antar Bank (PUAB), dimana suku bunga PUAB
diganti dengan menggunakan perangkat IMA Certificate. Instrumen tersebut (suku bunga SBI,
suku bunga PUAB, yield SBIS, dan yield PUAS) merupakan instrumen pasar uang jangka
pendek. Ini sering digunakan dalam pengendalian moneter untuk mencapai target akhir: inflasi
dan output aktual (pertumbuhan ekonomi) yang diproksikan dengan PDB. SBI digunakan
sebagai policy rate Bank Indonesia untuk transmisi kebijakan moneter. Sedangkan sebelum
menggunakan SBIS, Indonesia menerapkan Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) dengan
dasar akad wadi'ah.
Seperti halnya SBI, SWBI merupakan penempatan dana Bank Indonesia jangka pendek,
dengan tambahan bonus yang dibayarkan pada saat jatuh tempo berdasarkan imbal hasil PUAS.
Kedua instrumen tersebut diterbitkan untuk menyerap kelebihan likuiditas dari pasar. Namun
karena SWBI memiliki beberapa kelemahan, maka SWBI diubah menjadi SBIS dengan
menggunakan akad jual mulai April 2008. Melalui kedua instrumen tersebut (SBI dan SBIS),
Bank Indonesia dapat mempengaruhi kecenderungan pembiayaan dan pendanaan perbankan
melalui pasar uang antar bank, baik di pasar uang konvensional (PUAB) serta pasar uang syariah
(PUAS) dan, pada akhirnya biaya dana dan harga aset keuangan.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, masih terdapat kesenjangan hasil penelitian. Oleh
karena itu, penelitian ini akan mengkaji topik transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku
bunga. Namun yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah variabel
target akhir yang digunakan. Pada sebagian besar penelitian sebelumnya, indeks produksi
industri digunakan sebagai proksi pertumbuhan ekonomi, sedangkan penelitian ini menggunakan
PDB. Selain itu, sepengetahuan penulis belum ada penelitian sebelumnya yang menganalisis
transmisi kebijakan moneter ganda terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang diproksikan
dengan PDB.
2. Tujuan Penelitian
Dengan latar belakang temuan yang relevan dari penelitian sebelumnya, penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis transmisi kebijakan moneter konvensional dan syariah terhadap
inflasi (IHK) dan pertumbuhan ekonomi (PDB) dengan menggunakan instrumen SBI, PUAB,
SBIS, dan PUAS dari tahun 2002 hingga 2020.
3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif untuk menganalisis transmisi kebijakan
moneter konvensional dan syariah terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Populasi
penelitian ini adalah data yang dipublikasikan di Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia dan
Badan Pusat Statistik. Sedangkan sampel yang terlibat dalam penelitian ini antara lain Sertifikat
Bank Indonesia (SBI), Pasar Uang Antar Bank (PUAB), Sertifikat Bank Indonesia Syariah
(SBIS), dan Pasar Uang Antar Bank Syariah (PUAS) dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2020.
Alat analisis yang digunakan adalah Vector Autoregression (VAR)/Vector Error Correction
Model (VECM) untuk mengetahui hubungan antar variabel dalam model. Untuk menggunakan
model VAR, data harus stasioner pada level tersebut. Sedangkan jika levelnya tidak stasioner,
maka dapat direduksi menjadi perbedaan pertama. Dengan demikian, pemodelan VAR dapat
dilakukan dengan data first difference atau dengan model VECM jika terdapat kointegrasi. Model
matematika pada persamaan ini adalah sebagai berikut:
CPIyt = C + a1iÿCPIytk + a1iÿSBIyt-k + a1iÿPUAByt-k + et PDByt = C + a1iÿPDBytk +
a1iÿSBIyt -k + a1iÿPUAByt-k + et dan CPIyt = C + a1iÿCPIyt -k + a1iÿSBISyt-k + a1iÿPUASyt-
k + et PDByt = C + a1iÿPDByt-k + a1iÿSBISyt-k + a1iÿPUASyt-k + et
Langkah-langkah pengujian penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, uji kointegrasi
digunakan untuk mengetahui keseimbangan jangka panjang antara variabel-variabel yang
diamati. Penentuan kointegrasi diamati melalui skor statistik jejak. Kedua, menganalisis uji
VECM untuk melihat signifikansi jangka pendek dan jangka panjang. Ketiga, dilakukan analisis
Impulse Response Function (IRF) untuk mengetahui arah hubungan dan seberapa besar pengaruh
satu variabel endogen terhadap variabel endogen lainnya dalam model yang dibentuk, serta untuk
melihat bagaimana respon variabel terhadap guncangan. Keempat, analisis Forecast Error
Variance Decomposition (FEVD) digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel
tertentu terhadap variabel endogen dan untuk mengetahui seberapa kuat pengaruh antar variabel
satu sama lain dalam jangka panjang.
4. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitiannya adalah transmisi kebijakan moneter konvensional dan syariah dan
objek penelitiannya adalah inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
5. Hasil Penelitian
Uji Kointegrasi
Uji kointegrasi mengikuti tahapan Uji Kointegrasi Johansen. Ada persamaan kointegrasi jika
nilai statistik jejak lebih tinggi dari nilai kritis. Berdasarkan hasil uji kointegrasi, baik model CPI
maupun model PDB terkointegrasi atau memiliki hubungan jangka panjang. Maka metode yang
tepat untuk menganalisis pengaruh jangka pendek dan jangka panjang dari kedua model tersebut
(CPI dan GDP) adalah dengan menggunakan metode VECM.
Uji Vector Error Correction Model (VECM) Model VECM pada penelitian ini menggunakan
taraf signifikansi 0,05 dengan nilai kritis t 1,99. Variabel dapat menjadi signifikan jika nilai
statistik > kritis. Hasil estimasi VECM pada model CPI disajikan pada Tabel 1 (untuk jangka
panjang) dan Tabel 2 (untuk jangka pendek). Hubungan jangka pendek pada saluran
konvensional terbukti memiliki lag optimum sebesar 7, sedangkan saluran syariah adalah 1.
Model CPI menunjukkan bahwa baik saluran konvensional maupun saluran Islam
berpengaruh signifikan terhadap koefisien jangka panjang. Jika jalur konvensional yaitu SBI
memiliki nilai koefisien -0,114 yang berarti jika terjadi kenaikan suku bunga SBI sebesar 1%
maka akan menurunkan inflasi sebesar 0,114%. Sedangkan koefisien PUAB sebesar 0,133 yang
berarti jika suku bunga PUAB naik 1% maka akan meningkatkan inflasi sebesar 0,133%.
Sedangkan pada jalur syariah nilai koefisien SBIS sebesar 0,798. Jika perubahan imbal hasil
meningkat sebesar 1%, maka inflasi akan meningkat sebesar 0,798%. Sedangkan koefisien
PUAS sebesar -0,777. Artinya jika return PUAS meningkat sebesar 1% maka inflasi akan
menurun sebesar 0,777%.
Persamaan IHK jangka panjang dapat ditulis sebagai berikut: LnCPI = -4.844 – 0.114SBI +
0.133PUAB LnCPI = -5.657 + 0.798SBIS – 0.777PUAS
Variabel yang terkointegrasi menyesuaikan ke arah ekuilibrium. Koefisien penyesuaian ini
selanjutnya disebut sebagai Error Correction Term (ECT) untuk melihat keseimbangan jangka
pendek persamaan kointegrasi 1 pada kedua saluran akan mengoreksi penyesuaian jangka
panjang. Untuk saluran konvensional, kecepatan ekuilibrium jangka panjang CPI adalah 90,1%.
Sedangkan pada jalur syariah, kecepatan ekuilibrium jangka panjang direalisasikan oleh IHK dan
SBIS masing-masing sebesar -4,1% dan -42,8%. Hasil estimasi dapat dilihat pada Tabel 1.

Hasil estimasi jangka pendek disajikan pada Tabel 2. Pada jalur konvensional model IHK
menunjukkan empat variabel berpengaruh signifikan yaitu variabel SBI periode lalu, SBI dua
periode lalu, PUAB periode lalu , dan PUAB dalam dua periode terakhir. Artinya, jika suku
bunga SBI periode 1 dan 2 sebelumnya meningkat sebesar 1%, maka akan mempengaruhi inflasi
masing-masing sebesar 0,115% dan 0,081%. Kemudian, perubahan suku bunga PUAB periode
pertama dan kedua sebesar 1% yang lalu akan mempengaruhi inflasi masing-masing sebesar
0,126% dan 0,077%.
Sedangkan IHK hanya dipengaruhi oleh SBIS pada periode yang lalu dengan nilai koefisien
-0,040. Artinya, jika tingkat imbal hasil SBIS periode sebelumnya meningkat sebesar 1%, maka
perubahan inflasi saat ini akan menurun sebesar 0,040%. Secara total, hasil estimasi jangka
pendek model IHK disajikan pada Tabel 2.
Secara konvensional, dalam jangka panjang variabel yang berpengaruh signifikan terhadap
PDB adalah variabel SBI dengan nilai koefisien sebesar 0,318. Jika suku bunga SBI naik 1%,
PDB akan naik 0,318%. Sedangkan pada jalur syariah, hanya variabel PUAS yang berpengaruh
signifikan dalam jangka panjang terhadap PDB, dengan koefisien sebesar 1,913. Artinya jika
terjadi perubahan 1% pada yield PUAS maka akan meningkatkan PDB sebesar 1,913%. Untuk
model persamaan jangka panjang, PDB ditunjukkan dalam persamaan berikut:
LnPDB = -17,209 + 0,318SBI + 0,149PUAB LnPDB = -18.623 – 0.929SBIS + 1.913PUAS.
Berdasarkan koefisien penyesuaian, percepatan keseimbangan jangka panjang pada jalur
konvensional dilakukan oleh suku bunga SBI dan pasar uang antar bank. suku bunga masing-
masing sebesar -82,3% dan -71,4%. Sedangkan PDB dan PUAS masing-masing sebesar 3,1%
dan -29,2% di jalur syariah. Hasil estimasi dapat dilihat pada Tabel 3.
Selanjutnya hasil estimasi jangka pendek disajikan pada Tabel 4. Pada jalur konvensional,
pada model GDP terdapat tiga variabel yang berpengaruh signifikan yaitu SBI empat periode
sebelumnya, SBI lima periode sebelumnya, dan PUAB pada empat periode sebelumnya.
Perubahan suku bunga SBI dalam empat periode terakhir sebesar 1% akan menyebabkan
perubahan PDB saat ini turun sebesar 0,114%. Selanjutnya, perubahan suku bunga SBI lima
periode sebelumnya sebesar 1% akan menyebabkan perubahan PDB saat ini meningkat sebesar
0,111%. Kemudian, perubahan suku bunga pasar uang antar bank pada periode yang lalu sebesar
1% akan meningkatkan PDB saat ini sebesar 0,088%. Pada jalur moneter syariah model GDP
menunjukkan bahwa dalam jangka pendek hanya variabel SBIS 4 periode sebelumnya dan PUAS
1 periode sebelumnya yang berpengaruh signifikan. Apabila perubahan imbal hasil SBIS empat
periode sebelumnya meningkat sebesar 1%, maka akan menyebabkan perubahan PDB menurun
sebesar 0,044%. Juga, jika hasil PUAS telah berubah sebesar 1% pada periode sebelumnya, PDB
akan turun sebesar 0,072%. Secara total, hasil estimasi jangka pendek model GDP disajikan pada
Tabel 4.

Analisis Impulse Response Function (IRF)


Gambar 1 merupakan hasil Impulse Response Function (IRF) untuk model inflasi (IHK)
yang menunjukkan bahwa semua variabel pada jalur konvensional (kecuali IHK) yaitu SBI dan
PUAB berdampak pada mengurangi inflasi dan juga bersifat permanen. Variabel IHK merupakan
variabel yang memiliki pengaruh jangka panjang terhadap respon IHK itu sendiri, guncangan
terjadi selama 30 periode, periode selanjutnya mulai stabil dan secara permanen berpengaruh
positif terhadap peningkatan IHK itu sendiri. Sedangkan shock effect variabel konvensional (SBI
dan PUAB) terhadap inflasi mulai mereda dan stabil pada periode 33 sampai dengan 43.
Sebaliknya pada saluran syariah, guncangan IHK berlangsung selama 5 periode, dan pada
periode berikutnya IHK akan direspon positif oleh IHK itu sendiri secara permanen. IHK mulai
merespon negatif shock variabel SBIS pada periode 2-4, dan respon IHK terhadap shock SBIS
mulai stabil pada periode ke-5. IHK mulai merespon positif variabel PUAS pada periode 2
sampai 10, dan pada periode 11 mulai stabil dan menjadi permanen.

Pada model GDP (lihat Gambar 2), jalur konvensional menunjukkan bahwa GDP merespon
shock pada variabel GDP dan PUAB secara positif. Guncangan PDB mulai stabil setelah periode
ke-23, dan PUAB stabil pada periode ke-32. Sementara itu, fluktuasi variabel SBI berlangsung
hingga 30 periode, dan seterusnya, dan PDB secara konsisten bereaksi negatif terhadap SBI.
Analisis IRF pada model PDB, variabel syariah (SBIS dan PUAS) berdampak positif dalam
hal peningkatan PDB dan juga bersifat permanen. Pengaruh guncangan variabel syariah terhadap
PDB mulai mereda dan stabil pada periode 18 hingga 24.
Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)
Tabel 5 merupakan hasil analisis FEVD pada model CPI baik kanal konvensional maupun
syariah. Pada jalur konvensional, kontribusi yang paling signifikan terhadap perubahan IHK
sendiri sebesar 100% pada periode pertama kemudian menurun hingga akhir periode.
Penyumbang perubahan IHK yang paling signifikan selain dirinya adalah PUAB sebesar 86,6%
di akhir periode. Sedangkan kontribusi SBI hanya berkisar 0-4%.
Selanjutnya pada jalur syariah, penyumbang perubahan IHK yang paling signifikan adalah dirinya
sendiri sebesar 100% di awal periode, menurun di akhir periode. Sedangkan kontribusi SBIS dan PUAS
justru meningkat hingga akhir periode. Selain dirinya, penyumbang perubahan IHK terbesar berikutnya
adalah SBIS sebesar 8,7% pada periode akhir dan PUAS sebesar 7,7% pada periode akhir.
Hasil analisis FEVD pada model GDP saluran konvensional dan syariah disajikan pada Tabel 6. Pada
jalur konvensional, kontribusi perubahan PDB yang paling signifikan adalah PDB itu sendiri sebesar 100%
pada periode awal, menurun pada periode kedua hingga terakhir. Penyumbang perubahan PDB terbesar
berikutnya adalah PUAB sebesar 14,5% pada periode akhir dan SBI sebesar 7,8% pada periode akhir.
Sedangkan pada jalur syariah, kontribusi perubahan PDB yang paling signifikan adalah PDB itu
sendiri sebesar 100% pada awal periode, periode selanjutnya menurun hingga akhir periode. Penurunan
kontribusi PDB diikuti dengan peningkatan kontribusi variabel syariah yaitu SBIS dan PUAS. PUAS
merupakan variabel yang memiliki kontribusi kedua yang mempengaruhi perubahan PDB, yaitu sebesar
25,5% pada periode terakhir. Kemudian, kontribusi SBIS sebesar 2,9% di akhir periode.

Berdasarkan hasil kajian tersebut dilakukan pembahasan sebagai berikut: pertama, Hasil
analisis menunjukkan bahwa inflasi jangka pendek (IHK) dipengaruhi oleh SBI pada lag pertama
dan kedua, dimana untuk setiap kenaikan 1% pada Suku bunga SBI, inflasi pada periode tersebut
menurun sebesar 0,115% dan 0,081%. Sedangkan dalam jangka panjang, SBI juga berpengaruh
signifikan terhadap inflasi (IHK). Temuan ini sesuai dengan teori yang ada bahwa kenaikan suku
bunga dapat menurunkan inflasi. Kenaikan suku bunga SBI dapat mendorong pelaku ekonomi
dan masyarakat untuk berinvestasi pada surat berharga untuk tujuan spekulatif daripada untuk
konsumsi sehingga tingkat inflasi akan menurun.
Berdasarkan analisis IRF, tingkat suku bunga SBI berdampak permanen terhadap penurunan
tingkat inflasi. Hasil ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh (Acharya, 2012) dan (Zulfa
& Suseno, 2018). Guncangan suku bunga SBI mampu meredam inflasi, sehingga memperkuat
premis ekonomi konvensional bahwa suku bunga SBI merupakan instrumen moneter utama yang
dapat digunakan untuk mengendalikan inflasi.
Sementara itu, analisis FEVD menunjukkan kontribusi suku bunga SBI pada menahan inflasi
(CPI) adalah 0-4%. Kontribusi suku bunga SBI masih minim, dan kondisi ini dapat dimaklumi
karena kontribusi yang mempengaruhi IHK tidak hanya dipengaruhi oleh fenomena ekonomi
seperti inflasi inti tetapi juga inflasi non inti yang cenderung sangat fluktuatif sehingga non-inti
inflasi inti memiliki kontribusi yang lebih tinggi terhadap perubahan IHK. Kedua, suku bunga
PUAB jangka pendek berpengaruh terhadap kenaikan inflasi (IHK). Demikian juga dalam jangka
panjang, suku bunga PUAB berpengaruh signifikan terhadap inflasi. Hasil ini dapat dipahami
bahwa ketika bank sentral menaikkan suku bunga SBI maka akan diikuti dengan kenaikan suku
bunga pasar uang antar bank yang akan berdampak pada tingkat inflasi.
Analisis IRF menunjukkan bahwa shock yang terjadi pada interbank rate direspon negatif
oleh inflasi (CPI). Hasil ini mendukung penelitian dari. Ketika suku bunga PUAB meningkat,
bank akan merespon dengan menaikkan suku bunga simpanan dan kredit yang kemudian akan
berdampak pada penurunan jumlah uang beredar sehingga menurunkan konsumsi masyarakat
dan menurunkan inflasi.
Kemudian, hasil analisis FEVD menunjukkan bahwa kontribusi suku bunga PUAB dalam
mempengaruhi inflasi (IHK) sebesar 86,6%. Kontribusi suku bunga PUAB hingga akhir periode
cenderung meningkat, bahkan menjadi variabel yang paling besar kontribusinya dalam
mempengaruhi laju inflasi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi suku bunga pasar uang
antar bank, maka kontribusinya dalam mempengaruhi inflasi akan semakin besar.
Ketiga, mengacu pada hasil VECM, variabel SBIS berpengaruh signifikan terhadap inflasi
dalam jangka pendek. Kemudian, dalam jangka panjang, imbal hasil SBIS juga berpengaruh
signifikan terhadap inflasi. Hal ini mengindikasikan bahwa jika rate of return meningkat maka
perbankan syariah akan mendapatkan keuntungan yang lebih signifikan dari pembiayaannya,
sehingga berdampak pada sektor konsumsi.
Sementara itu, hasil analisis IRF menunjukkan bahwa yield SBIS berdampak negatif
terhadap inflasi (CPI). Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan (Ascarya, 2012)
dan (Sudarsono, 2017). Jika terjadi peningkatan imbal hasil SBIS, bank syariah akan merespon
dengan menyalurkan dana dalam bentuk SBIS. Hal ini dilakukan bank syariah karena SBIS
dinilai lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan penyaluran dalam bentuk pembiayaan.
Jika bank syariah lebih banyak menyalurkan dananya ke passive income di SBIS, maka
pembiayaan akan cenderung menurun, dan pembiayaan di sektor bisnis akan rendah, sehingga
berdampak rendah pula pada tingkat inflasi.
Hasil FEVD menjelaskan bahwa kontribusi imbal hasil SBIS dalam mempengaruhi inflasi
(IHK) hingga akhir periode adalah sebesar 8,7%. Kontribusi tersebut masih tergolong rendah
karena saat ini inflasi masih banyak dipengaruhi oleh faktor lain di luar sektor keuangan.
Keempat, dalam jangka pendek pengaruh imbal hasil PUAS terhadap inflasi (IHK) tidak
signifikan. Sementara itu, dalam jangka panjang, imbal hasil PUAS berdampak signifikan
terhadap inflasi. Dalam jangka panjang, PUAS berpengaruh negatif terhadap inflasi, artinya jika
terjadi peningkatan yield PUAS maka akan menurunkan inflasi.
Lebih lanjut, berdasarkan analisis IRF, IHK merespons shock imbal hasil PUAS secara
positif. Dalam hal ini, bank syariah mulai mengutamakan transaksi di pasar uang untuk
mendorong sektor konsumsi. Hasil ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh (Magdalena
& Pratomo, 2014) dan (Hadi et al., 2020). Meski pada periode awal PUAS mengalami shock
yang berdampak fluktuatif terhadap inflasi, namun akhirnya mengalami keseimbangan hingga
akhir periode. Terjadi ketika PUAS mengalami shock maka akan meningkatkan inflasi.
Sedangkan dari hasil analisis FEVD, shock yang terjadi pada yield PUAS memberikan
kontribusi terhadap inflasi (CPI) sebesar 7,7%. Ketika ketidakseimbangan dalam PUAS
dihasilkan dari peningkatan, pembiayaan yang disalurkan kepada masyarakat juga akan
meningkat. Pasalnya, dana yang tersedia di pasar uang akan dibeli dengan sertifikat IMA oleh
bank syariah untuk kemudian disalurkan sebagai pembiayaan sehingga akan mendorong sektor
konsumsi. Kelima, dalam jangka pendek suku bunga SBI berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi (PDB). Di sisi lain, SBI juga memiliki dampak signifikan terhadap PDB
dalam jangka panjang. Dalam hal ini, kenaikan suku bunga SBI akan mempengaruhi perubahan
PDB.
Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan suku bunga SBI akan mempengaruhi suku bunga
keuangan. Ketujuh, dari hasil estimasi jangka pendek diketahui bahwa yield SBIS berpengaruh
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (PDB). Di sisi lain, SBI juga memiliki dampak
signifikan terhadap PDB dalam jangka panjang. pasar, seperti suku bunga pinjaman. Kenaikan
suku bunga pinjaman akan mengurangi investasi, dan tingkat pertumbuhan juga akan menurun.
Sementara itu, dari analisis FEVD, diketahui bahwa guncangan pada variabel suku bunga SBI
memberikan kontribusi terhadap PDB yang cukup baik, meskipun masih relatif kecil, sebesar
7,8% pada periode akhir.
Keenam, dalam jangka pendek variabel suku bunga PUAB berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi (PDB). Sedangkan dalam jangka panjang suku bunga PUAB tidak
berpengaruh signifikan terhadap PDB. Suku bunga PUAB dapat dipahami sebagai instrumen
jangka pendek yang digunakan untuk memenuhi likuiditas perbankan. Oleh karena itu,
perubahan suku bunga PUAB hanya akan mempengaruhi perilaku perbankan dalam jangka
pendek, sedangkan untuk mempengaruhi perekonomian di sektor riil transmisinya harus dalam
bentuk kredit. Ketujuh, dari hasil estimasi jangka pendek diketahui bahwa yield SBIS
berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (PDB). Sedangkan dalam jangka
panjang, imbal hasil SBIS tidak berpengaruh signifikan terhadap PDB. Pengaruh SBIS terhadap
PDB tidak signifikan karena dalam menghitung PDB lebih terkait langsung dengan investasi di
sektor riil daripada investasi di sektor keuangan.
Berdasarkan analisis IRF, PDB merespons imbal hasil PUAS secara positif. Hasil penelitian
ini mengkonfirmasi temuan sebelumnya (Acharya, 2012) dan (Bawono et al., 2021). Secara
singkat dapat dikatakan bahwa peningkatan imbal hasil SBIS yang dilakukan oleh otoritas
moneter cukup efektif dalam meningkatkan kinerja perekonomian dalam hal ini pertumbuhan
ekonomi (PDB). Kemudian, hasil analisis FEVD menunjukkan bahwa kontribusi SBIS terhadap
PDB sebesar 2,9%. Terlihat bahwa kondisi tersebut berdampak cukup besar terhadap perubahan
perilaku perbankan dimana tinggi rendahnya imbal hasil SBIS digunakan baik untuk pendanaan
maupun investasi pada instrumen SBIS.
Kedelapan, berdasarkan analisis VECM, dalam jangka pendek PUAS berpengaruh
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (PDB). Dalam jangka panjang, PUAS juga terbukti
berpengaruh signifikan terhadap PDB. Hasil ini dapat dipahami bahwa peningkatan imbal hasil
PUAS akan mempengaruhi tingkat bagi hasil pada perbankan syariah sehingga akan menarik
minat masyarakat untuk melakukan pinjaman produktif pada bank syariah yang pada akhirnya
akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Selanjutnya hasil yang diperoleh dari analisis IRF menunjukkan bahwa GDP merespon
shock pada variabel PUAS secara positif. Itu menunjukkan bahwa peningkatan imbal hasil PUAS
yang dilakukan oleh otoritas moneter efektif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Selanjutnya berdasarkan uji FEVD terlihat bahwa variabel PUAS memiliki kontribusi yang lebih
tinggi dibandingkan variabel SBIS terhadap perubahan PDB yaitu sebesar 25,5%. Secara
keseluruhan, variabel saluran syariah memiliki peran yang signifikan dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi.

C. Kelebihan dan Kekurangan Isi Jurnal


1. Keunggulan
 Jurnal ini adalah jurnal internasional yang terakreditasi scopus dan sinta 2.
 Tulisan sesuai dengan kaidah penulisan karya ilmiah yang baku serta kelengkapan unsur isi
sudah sesuai dengan panduan jurnal sehingga isi jurnal semakin mudah dipahami isi dan
tujuan dari jurnal tersebut.

 Tema kajian yang baru pada jurnal ini memberikan sumbangan pemikiran atau memberikan
wawasan baru yang berharga tentang penerapan kebijakan moneter ganda terhadap inflasi
dan pertumbuhan ekonomi.
 Dari jurnal ini kita menjadi tahu bahwa , variabel saluran syariah memberikan kontribusi
yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi (PDB) dibandingkan variabel saluran
konvensional.
 Isi dari jurnal yang menggunakan bahasa Inggris sehingga jurnal ini dapat memberikan
manfaat kepada pembaca lebih luas lagi.
 Diberikannya latar belakang yang jelas dan fakta yang benar adanya berdasarkan data
statistik, serta pembahasan yang jelas lengkap sehingga pembaca langsung memahami apa
tujuan dari jurnal ini dan makna dari hasil pembahasan.
 Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pendekatan kuantitatif untuk
menganalisis transmisi kebijakan moneter konvensional dan syariah terhadap inflasi dan
pertumbuhan ekonomi. Populasi penelitian ini adalah data yang dipublikasikan di Statistik
Ekonomi dan Keuangan Indonesia dan Badan Pusat Statistik. Sedangkan sampel yang
terlibat dalam penelitian ini antara lain Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Pasar Uang Antar
Bank (PUAB), Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), dan Pasar Uang Antar Bank
Syariah (PUAS) dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2020, dimana dengan menggunakan
metode ini pastinya data-data yang disajikan sangat akurat.
 Penulis menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan tidak bertele-tele sehingga pembaca
mudah memahami hasil dari penelitian.
 Menggunakan banyak referensi sehingga kesimpulan dari pembahasan yang peneliti lakukan
menggunakan data jelas dan kredibel tanpa dipengaruhi oleh pendapat pribadi penulis, oleh
sebab itu pembaca tidak bingung mengenai fakta pada hasil pembahasan.
 Keterikatan antar materi pembahasan saling berkaitan karena dengan menjelaskan diawal
mengenai latar belakang permasalahan hingga bagaimana hukum yang berlaku sehingga
pembaca dapat mengerti apa tujuan dari penulisan jurnal.
 Pembaca menjadi lebih mengetahui apa inti dari pembahasan jurnal setelah diberikan
kesimpulan pembahasan pada akhir Bab serta peneliti selanjutnya juga dapat mengetahui
patokan pengembangan mengenai judul jurnal tersebut.
2. Kekurangan
 Di dalam isi jurnal, ada beberapa kata yang sukar atau sulit dipahami oleh pembaca.
 Penulis kurang detail dalam menjelaskan bagaimana penggunaan alat analisis Vector
Autoregression (VAR)/Vector Error Correction Model (VECM).

D. Diskusi dan Rekomendasi


1. Setelah pembaca pahami, penelitian ini membahas tentang hasil analisis yang menunjukkan
bahwa inflasi jangka pendek (IHK) dipengaruhi oleh SBI pada lag pertama dan kedua,
dimana untuk setiap kenaikan 1% pada Suku bunga SBI, inflasi pada periode tersebut
menurun sebesar 0,115% dan 0,081%. Sedangkan dalam jangka panjang, SBI juga
berpengaruh signifikan terhadap inflasi (IHK). suku bunga PUAB jangka pendek juga
berpengaruh terhadap kenaikan inflasi (IHK). Demikian juga dalam jangka panjang, suku
bunga PUAB berpengaruh signifikan terhadap inflasi. Variabel SBIS berpengaruh signifikan
terhadap inflasi dalam jangka pendek. Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan suku bunga
SBI akan mempengaruhi suku bunga keuangan.
2. Rekomendasi utama dari kajian ini adalah perlu adanya kebijakan-kebijakan moneter yang
sangat mendukung dalam menyelesaikan permasalahan inflasi serta pertumbuhan ekonomi.
3. Sebaiknya penulis menggunakan kata-kata yang mudah dipahami oleh pembaca.
4. Penulis berikutnya diharapkan lebih detail dalam menjelaskan bagaimana penggunaan alat
analisis Vector Autoregression (VAR)/Vector Error Correction Model (VECM).

E. Kesimpulan
Studi ini menganalisis pengaruh transmisi kebijakan moneter konvensional dan syariah
dengan menggunakan instrumen SBI, PUAB, SBIS, dan PUAS terhadap inflasi dan pertumbuhan
ekonomi (PDB). Dengan menggunakan alat analisis VAR/VECM, dalam jangka pendek dan
jangka panjang semua variabel pada jalur konvensional dan jalur syariah mempengaruhi inflasi
(IHK), kecuali PUAS yang tidak berpengaruh dalam jangka pendek. Sementara itu, pertumbuhan
ekonomi (PDB) dalam jangka pendek dan panjang dipengaruhi oleh semua variabel pada jalur
konvensional dan jalur syariah, kecuali variabel SBIS dan PUAB yang tidak berpengaruh dalam
jangka panjang.
Berdasarkan analisis IRF, guncangan yang terjadi pada SBI, PUAB, dan SBIS direspon
negatif oleh inflasi (IHK), sedangkan PUAS direspon positif. Kemudian, pertumbuhan ekonomi
(PDB) direspon positif terhadap shock yang terjadi pada variabel PUAB, SBIS, dan PUAS,
sedangkan SBI direspon negatif. Selanjutnya dari hasil analisis FEVD, variabel jalur
konvensional memiliki kontribusi yang lebih tinggi terhadap perubahan inflasi (IHK)
dibandingkan variabel jalur syariah. Sedangkan variabel saluran syariah memiliki kontribusi
yang lebih tinggi terhadap perubahan pertumbuhan ekonomi (PDB) dibandingkan dengan
variabel saluran konvensional.
Berdasarkan hasil tersebut, kami menyarankan agar pembuat kebijakan mengevaluasi
kebijakan terkait transmisi kebijakan moneter syariah yang tidak mengacu pada suku bunga
konvensional khususnya instrumen SBIS. Dengan demikian, diharapkan mampu mengendalikan
inflasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang maksimal. Sementara itu, penelitian ini
dibatasi pada transmisi kebijakan moneter ganda pada jalur suku bunga dengan instrumen SBI,
PUAB, SBIS, dan PUAS.
Oleh karena itu, penelitian selanjutnya yang menganalisis jalur suku bunga diharapkan
mempertimbangkan variabel ekonomi lainnya seperti suku bunga kredit, total pinjaman bank
konvensional, hasil pembiayaan, dan total pembiayaan bank syariah. Harapannya adalah untuk
lebih memperjelas alur transmisi kebijakan moneter; baik konvensional maupun syariah dapat
memberikan informasi yang lebih komprehensif mengenai mekanisme transmisi kebijakan
moneter berganda.

Anda mungkin juga menyukai