Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Teori Fraktur


1. Definisi fraktur
Fraktur atau patah tulang adalah suatu keadaan terputusnya kontinuitas
tulang dan atau tulang rawan di sekitarnya baik bersifat total maupun
sebagian yang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik tulang itu
sendiri. Terjadinya suatu fraktur lengkap atau tidak lengkap ditentukan
oleh kekuatan, sudut dan tenaga, keadaan tulang, serta jaringan lunak di
sekitar tulang (Noor, 2016).
Fraktur adalah kondisi terputusnya kontinuitas antara jaringan tulang
disebabkan adanya penggunaan secara berlebihan atau ekslusif berlebihan
atau tekanan langsung yang berlebihan pada tulang, penderita trauma
mencakup semua fisiologis mulai dari yang muda anak hingga lansia
(Ahmadi et al., 2016). Fraktur juga terjadi lantaran kegiatan sehari-hari,
namun pada tulang tersebut terjadi kondisi patologis keganasan. Pada
anak- anak sangat jarang terjadi fraktur dikarenakan pada tulangnya masih
elastis, sedangkan lansia rentan terjadi fraktur karena metastase penyakit
dan proses penuaan.

2. Etiologi fraktur
Fraktur dapat disebabkan oleh peristiwa trauma dan patologis.
Peristiwa trauma dibagi menjadi trauma langsung dan trauma tidak
langsung. Trauma langsung dapat menyebabkan patah tulang langsung
pada titik terjadinya trauma. Trauma tidak langsung menyebabkan patah
tulang jauh dari tempat terjadinya trauma. Keadaan patologis bisa terjadi
akibat kelelahan atau stress fraktur pada aktivitas berlebih dan kelemahan
tulang (Purwadianto, 2015).
Fraktur ditimbulkan dari berbagai faktor antara lain stress, cidera dan
melemahnya fungsi tulang akibat abnormalitas misalnya fraktur patologis,
adapun penyebab terjadinya fraktur sebagai berikut :
a. Trauma langsung, akibat terjadinya benturan dalam tulang bisa
mengakibatkan fraktur.
b. Trauma tidak langsung, tidak terjadi ditempat benturan tetapi terjadi
ditempat lain, sehingga kekuatan trauma diteruskan sumbu tulang ke
tempat lain.
c. Kondisi patologis terjadi, lantaran adanya penyakit pada bagian tulang
degeneratif dan kanker tulang (Apleys, 2018).

3. Tanda dan gejala


Manifestasi klinis fraktur diantaranya, deformitas, edema lokal,
pemendekan ekstreminatas, krepitasi, kehilangan fungsi dan perubahan
warna. Tanda-tanda ini tidak muncul pada setiap fraktur misalnnya
impacted frakture tidak ada tanda-tanda tersebut. Manifestasi klinis
dialami oleh pasien, tanda fisik, dan temuan radiografis seperti X-Ray
digunakan untuk mendiagnosis fraktur.
a. Nyeri
Nyeri terjadi lantaran spasme pada otot disekeliling tulang fraktur
sebagai bidai tulang tersebut.
b. Kehilangan fungsi
Setelah fraktur, ektermitas kurang berfungsi dengan sempurna
lantaran fungsi normal pada otot bergantung dalam kebutuhan tulang
yang ditempeli otot-otot tersebut. Nyeri bisa mengakibatkan
kehilangan pada fungsi ektermitas.
c. Deformitas
Deformitas merupakan perubahan pada bentuk ditimbulkan dari posisi
fragmen tulang, rotasi fragmen tulang dalam kaki atau lengan, dapat
dilihat atau dipalpasi. Dapat dibuktikan dengan membandingkan
ektermitas yang terkena cedera dengan tidak terkena cedera.
Deformitas bisa ditimbulkan karena adanya pembengkakan pada
jaringan lunak.
d. Pemendekan
Fraktur tulang pancang masih ada pemendekan ekstremitas
disebabkan terjadi kontraksi antara otot-otot yang melekat dibawah
dan diatas tulang patah. Fragmen tulang bisa menumpuk kurang lebih
2,5cm hingga 5cm.
e. Krepitasi
Krepitasi merupakan sensasi berdesir yang dapat dirasakan tangan
pada saat melakukan palpasi dilokasi tulang patah. Hal tersebut
ditimbulkan adanya fragmen tulang yang bergesekan. Memeriksa
krepitasi bisa melukai pada jaringan lunak di sekitarnya, usahakan
dihindari.
f. Bengkak dan perubahan warna
Bengkak dan perubahan warna dalam kulit (ekimosis) terjadi adanya
trauma dan pendarahan pada jaringan. Tanda ini muncul beberapa jam
setelah terjadi cedera.

4. Klasifikasi Fraktur
a. Fraktur Tertutup ( Simple Fracture )
b. Kulit Masih Utuh Tetapi Terjadi Tulang Patah
c. Fraktur Terbuka (Compound Fractures)

Fraktur terbuka ada tiga macam yaitu:

a. Derajat I, luka yang kurang dari 1 cm.


b. Derajat II, luka lebih besar tanpa kerusakan jaringan luas.
c. Derajat III, luka terkontaminasi, adanya jaringan kulit mengalami
kerusakan luas, sangat parah
d. Tulang patah dan terdapat kerusakan kulit akibat dorongan tulang
dari bawah, atau adanya objek masuk dari luar atau dekat dengan
lokasi fraktur. Fraktur terbuka bisa beresiko terinfeksi.
Berdasarkan tipe fraktur, ada beberapa diantaranya:
a. Tranversal : Tekanan angulasi atau trauma langsung
b. Spiral : Tekanan memutar
c. Comminuted : Trauma langsung sangat parah, misalnya cedera akibat
remuk atau tembakan peluru, yang mengakibatkan lebih dari dua
fragmen tulang yang terlepas.
d. mpacted : Trauma berat mengakibatkan fraktur masuk menuju bagian
tulang akhir.
e. Compressed : tekanan secara langsung yang berat pada kepala karena
adanya cidera akselerasi atau desselerasi.
f. Greenstick : benturan menggunakan tekanan, biasannya terjadi pada
anak-anak usia di bawah 10 tahun.
g. Avulsion : otot berkontraksi dengan kuat mengakibatkan tulang keluar
dari insersinya, keluarnya ligamen dari tulang.
h. Depressed : trauma tumpul pada tulang pipih, melibatkan kerusakan
pada jaringan lunak bagian luar.

5. Patofisiologi
Fraktur dapat terjadi saat tulang tidak mampu menahan tekanan terlalu
besar. Fraktur ditimbulkan karena trauma langsung, penekanan secara
berlebihan, gerakan otot yang berlebihan dan gerakan memutar dengan
tiba-tiba. Ketika struktur tulang patah jaringan pada sekitarnya ikut rusak
yang mengakibatkan perdarahan, edema dalam otot dan sendi, dislokasi
sendi, kerusakan saraf, rupture tendon, dan pembuluh darah. Selain itu,
organ tubuh dapat terluka karena adanya fragmen tulang yang patah (Ikhda
Ulya, B.Ratih, 2017).

6. Pemeriksaan Fisik
Menurut (Ikhda Ulya, B.Ratih, 2017)
a. Penampakan umum: terjadi perubahan gaya saat berjalan,
ketidaknyamanan atau distress.
b. Insfeksi : luka, deformitas, pucat, bengkak, spasme otot, fraktur
terbuka, cairan keluar berdasarkan luka.
c. Palpasi : adanya pergerakan abnormal berdasarkan sendi atau tulang,
krepitasi (sensasi berderik akibat tabrakan tulang), nyeri pada area
cedera, denyut nadi proksimal dan distal dibagian terkena
cedera,bandingkan menggunakan ektermitas yang berlawanan, denyut
sensasi, dan kekuatan saraf motorik

7. Kompilkasi
Komplikasi terdiri atas 2 kategori yaitu, terjadi komplikasi awal dan
komplikasi lanjut. Dalam konteks kegawat daruratan hal yang wajib
diantisipasi terlebih dahulu adanya komplikasi awal. Komplikasi
diantaranya emboli lemak, emboli pulmonal, syok, sindrom kompartemen
deep vien thrombosis, diseminated intravascular coagulopathy, dan terjadi
infeksi.

B. Konsep Teori Nyeri


1. Definisi nyeri
Nyeri merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan pada emosional
dan sensori, dampak dari rusaknya jaringan aktual serta potensial, Nyeri
dalam fraktur akan dipengaruhi keadaan emosional dan menggunakan
pengalaman sebelumnnya. Persepsi nyeri bersifat langsung secara
subyektif. Nyeri pula disebut dengan mekanisme pertahanan pada tubuh
akan timbul apabila terjadi rusaknya jaringan dan mengakibatkan individu
bereaksi dengan memindahkan stimulus nyeri. Nyeri adalah keadaan
sensasi atau emosional yang tidak menyenangkan terlokalisasi 11 dalam
bagian tubuh. Dalam ikatan distruktif tak jarang kali dijelaskan bahwa
jaringan misalnya seperti di tusuk-tusuk , perasaan takut dan menggunakan
rasa emosi (Mandagi et al., 2017).
2. Klasifikasi nyeri
a. Nyeri dapat dibedakan menjadi :
1) Nyeri somatik luar yang stimulusnya berasal menurut kulit,
jaringan membran mukosa dan subkotan. Biasanya terjadi rasa
terbakar, terlokalisasi dan jatam.
2) Nyeri somatik pada Nyeri tumpul (dullness) dan tidak
terlokalisasi menggunakan dampak rangsangan dalam otot-otot
rangka, sendi, tulang, dan jaringan ikat.
3) Nyeri viseral dapat Terjadi lantaran adanya perangsangan pada
organ viseral atau organ yang menutupi (pleura parietalis,
periteneum, pericardium).
b. Berdasarkan 5 aksin:
1) Aksin I : lokasi anatomi pada nyeri.
2) Aksin II : sistem organ primer dalam tubuh berhubungan
dengan timbulnya nyeri.
3) Aksin III : karakteristik nyeri (regular, tunggal, dan kontinu).
4) Aksin IV : awal terjadin nyeri
5) Aksin V : etiologi pada nyeri
c. Berdasarkan jenisnya nyeri dapat diklasifikasikan
menjadi :
1) Nyeri nosiseptif
Lantaran kerusakan pada jaringan somatic maupun viseral.
Stimulasi nosiseptor secara langsung maupun tidak langsung
bisa menyebabkan pengeluaran mediator inflamasi menurut
sel imun, jaringan, ujung saraf sensoris dan simpatik.
2) Nyeri neurogenic
Nyeri diawali atau ditimbulkan adanya lesi atau disfungsi
utama dalam sistem saraf perifer. Hal ini disebabkan
terdapatnya cidera pada jalur saraf perifer, infiltrasi pada sel
kanker dalam serabut saraf, dan terputusnya saraf perifer.
Sensasi yang dirasakan merupakan rasa panas, misalnya
ditusuk-tusuk kadang disertai hilangnya rasa atau rasa tidak
enak dalam perabaan. Nyeri nerogenik bisa mengakibatkan
terjadi allodynia. Hal ini terjadi secara mekanik dan
peningkatan sensitivitas menurut noradrenalin lalu membuat
sympathetically maintained pain.
3) Nyeri psikogenik
Nyeri ini terjadi sebab adanya gangguan pada jiwa
contohnya cemas dan depresi. Nyeri bisa hilang setelah
keadaan jiwa pasien sudah merasa tenang.
d. Berdasarkan timbulnya nyeri bisa diklasifikasikan menjadi :
1) Nyeri akut
Nyeri secara mendadak dan berlangsung hanya sementara. Nyeri
ini biasanya ditandai menggunakan kegiatan saraf otonom seperti :
takikardi, hiperhidrosis, hipertensi, midriasis, perubahan wajah,
menyeringai atau menangis dan pucat. Bentuk nyeri akut bisa
berupa:
2) Nyeri somatik luar : nyeri tajam pada kulit, subkutis dan
mukosa.
3) Nyeri somatik dalam : nyeri tumpul dalam otot-otot rangka, sendi
dan jaringan.
4) Nyeri viseral : nyeri dampak dari disfungsi organ visceral.
5) Nyeri kronik
Nyeri yang berkepanjangan bisa berbulan-bulan tanpa adanya
perindikasi kegiatan secara otonom kecuali serangan yang akut.
Nyeri bisa terjadi secara permanen yang bertahan sampai
selesainya penyembuhan luka („penyakit/operasi‟) atau berupa
nyeri akut kemudian menetap hingga melebihi tiga bulan
e. Berdasarkan derajatnya nyeri dikelompokkan menjadi:
1) Nyeri ringan merupakan nyeri hilang timbul, terjadi ketika
menjelang tidur dan beraktivitas sehari hari.
2) Nyeri sedang merupakan nyeri secara terus-menerus, kegiatan
terganggu yang bisa hilang apabila penderita tidur.
3) Nyeri berat merupakan nyeri yang terjadi secara terus menerus
sepanjang hari, penderitanya sering terjaga dan tidak bisa tidur
akibat adanya nyeri.

jenis-jenis nyeri diantaranya :

a. Visual Analog Scale (VAS)


Skala analog visual (VAS) yaitu skala yang dilakukan buat
menilai nyeri. Skala VAS pengukuran ini di lakukan
menggunakan gambar garis sepanjang 10 cm. Serta pada masing-
masing ujung terdapat tidak nyeri pada bagian titik awal dan
sangat nyeri pada titik akhir.

No
Work posible Plain
Plain

Gambar 2. 1 Skala nyeri VAS

b. Verbal Rating scale ( VRS )


Skala nyeri VRS merupakan tingkatan nyeri dari tidak sakit
sampai sangat sakit yang terbagi sebagai angka, biasanya dari 0-
10. Saat memakai skala pasien akan diminta buat menilai rasa
sakit yang sedang dirasakan.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak Nyeri
Nyeri Akut
Nyeri Sedang

Gambar 2. 2 Skala nyeri VRS

c. Numeric Rating Scale (NRS)


Dianggap sederhana dan gampang dimengerti, sensitif terhadap
dosis, perbedaan etnis dan jenis kelamin. Lebih baik daripada
VAS terutama buat menilai terjadinya nyeri akut. Namun,
kekurangan merupakan keterbatasan pilihan istilah buat
mendeskripsikan rasa nyeri, tidak memungkinkan buat
membedakan tingkatan nyeri lebih teliti dan dipercaya masi ada
jeda sama antar kata yang menggambarkan.

Gambar 2.3 Skala nyeri NRS

d. Wong Baker Pain Rating Scale


Digunakan dalam pasien dewasa dan anak-anak >3 tahun yang
bisa mendeskripsikan intensitas nyeri menggunakan angka.
Gambar 2.4 Skala nyeri BRS

3. Etiologi
Etiologi fraktur terdiri dari (Sulistyaningsih, 2016) :
1. Trauma dalam jaringan tubuh, bisa menghambat jaringan disekitarnya
2. Luka parah dimana kerusakan langsung dalam jaringan lunak
3. Adanya pembengkakan jaringan
4. Post op
5. Efek perilaku
6. Tanda dan gejala fisik

4. Manifestasi klinik
Tanda dan gejala sebagai berikut :
1. Gangguan pada saat tidur
2. Kegiatan sehari-hari
3. Kegiatan seksual
4. Perubahan nafsu makan
5. Kegiatan lainnya

5. Patofisiologi
Pada waktu sel saraf mengalami kerusakan dampak dari trauma jaringan,
terbentuklah zat-zat kimia misalnya serotonin, bradikinin dan enzim
proteotik. Kemudian zat-zat tadi merangsang dan menghambat ujung saraf
reseptor nyeri dan rangsangan tadi dihantarkan ke hypothalamus melalui
saraf asenden. Sedangkan pada korteks nyeri akan mempersiapkan sebagai
akibatnya individu timbul rasa nyeri. Selain dihantarkan ke hypotalamus
nyeri bisa menurunkan stimulasi terhadap reseptor mekanik sensitif pada
termosensitif sehingga mengalami nyeri.

6. Faktor yang mempengaruhi nyeri


Nyeri merupakan hal yang komplek, banyak faktor yang mempengaruhi
pengalaman seseorang terhadap nyeri. Seorang perawat harus
mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam menghadapi klien yang
mengalami nyeri.
a. Usia
Usia merupakan variabel yang penting dalam mempengaruhi nyeri
pada individu. Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan dalam
memahami nyeri dan prosedur pengobatan yang dapat menyebabkan
nyeri. Anak-anak kecil yang belum dapat mengucapkan kata-kata
juga mengalami kesulitan dalam mengungkapkan nyeri yang dialami,
takut akan tindakan keperawatan yang harus di terima nantinya
(Potter & Perry, 2015).
Pada pasien lansia, perawat harus melakukan pengkajian lebih rinci
ketika seorang lansia melaporkan adanya nyeri. Seringkali lansia
memiliki sumber nyeri lebih dari satu. Terkadang penyakit yang
berbeda-beda yang diderita lansia menimbulkan gejala yang sama,
sebagai contoh nyeri dada tidak selalu mengindikasikan serangan
jantung, Nyeri dada dapat timbul karena gejala arthritis pada spinal
dan gangguan abdomen. Sebagai lansia terkadang pasrah terhadap hal
yang dirasakan, menganggap bahwa hal tersebut merupakan
kopnsekuensi penuaan yang tidak bisa dihindari Potter & Perry,
2015).
b. Jenis kelamin
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam
berespon terhadap nyeri. Hanya beberapa budaya yang menganggap
bahwa seorang anak laki-laki harus lebih berani dan tidak boleh
menangis dibandingkan anak perempuan dalam situasi yang sama
ketika merasakan nyeri. Akan tetapi dari penelitian memperlihatkan
hormon seks pada mamalia berpengaruh terhadap tingkat toleransi
terhadap nyeri. Hormon seks testosteron menaikkan ambang nyeri
pada percobataan binatang, sedangkan estrogen meningkatkan
pengenalan/sensitivitas terhadap nyeri. Pada manusia lebih komplek,
dipengaruhi oleh personal, sosial, budaya dan lain-lain (Nugroho,
2010).
c. Ansietas
Meskipun pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan meningkatkan
nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua keadaaan. Riset
tidak memperlihatkan suatu hubungan yang konsisten antara ansietas
dan nyeri juga tidak memperlihatkan bahwa pelatihan pengurangan
stress praoperatif menurunkan nyeri saat pasca operatif. Namun,
ansietas yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat
meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Ansietas yang tidak
berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi pasien dan secara
aktual dapat menurunkan persepsi nyeri. Secara umum, cara yang
efektif untuk nyeri adalah dengan mengarahkan pengobatan nyeri
ketimbang ansietas (Smeltzer & Bare, 2015).
d. Dukungan keluarga
Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah
kehadiran dari orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam
keadaan nyeri sering bergantung pada keluarga untuk mensupport,
membantu atau melindungi. Ketidakhadiran keluarga atau teman
terdekat mungkin akan membuat nyeri semakin bertambah. Kehadiran
orangtua merupakan hal khusus yang penting untuk anak-anak dalam
menghadapi nyeri (Potter & Perry, 2015).
e. Pola koping
Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalani perawatan di rumah
sakit adalah hal yang sangat tak tertahankan. Secara terus- menerus
klien kehilangan kontrol dan tidak mampu untuk mengontrol
lingkungan termasuk nyeri. Klien sering menemukan jalan untuk
mengatasi efek nyeri baik fisik maupun psikologis. Penting untuk
mengerti sumber koping individu selama nyeri. Sumber-sumber
koping ini seperti berkomunikasi dengan keluarga, latihan dan
bernyanyi dapat digunakan sebagai rencana untuk mensupport klien
dan menurunkan nyeri klien.
Sumber koping lebih dari sekitar metode teknik. Seorang klien
mungkin tergantung pada support emosional dari anak-anak,
keluarga atau teman. Meskipun nyeri masih ada tetapi dapat
meminimalkan kesendirian. Kepercayaan pada agama dapat memberi
kenyamanan untuk berdo’a, memberikan banyak kekuatan untuk
mengatasi ketidak nyamanan yang datang (Potter & Perry, 2015).
f. Kelelahan
Rasa kelelahan menyebabkan sensai nyeri semakin intensif dan
menurunkan kemampuan koping sehingga meningkatkan persepsi
nyeri (Mubarak,2015).
g. Pendidikan
Faktor pendidikan merupakan salah satu hal yang mempengaruhi
keputusan dalam pengambilan suatu pengobatan. Pendidikan
merupakan dasar terbentuknya suatu pengembangan wawasan dengan
ini akan mempermudahkan bagi seseorang dalam menerima suatu
pengetahuan serta perilaku yang sifatnya baru8. Pendidikan formal
yang pernah didapat atau diperoleh akan meningkatkan daya nalar
seseorang dalam menerima hal yang sifatnya baru, dimana semakin
tinggi pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam mengambil
suatu tindakan, lebih berhati- hati dalam bertindak melakukan
pengobatan. Peran faktor pendidikan dalam pemilihan penanganan
nyeri yaitu memilih pengobatan yang aman, tepat dan rasional dengan
pergi atau mencari pelayanan medis (Notoatmodjo, 2012).
h. Budaya
Petugas kesehatan seringkali berasumsi bahwa cara yang dilakukan
dan hal yang diyakini adalah sama dengan cara dan keyakinan orang
lain. Dengan demikian, mencoba mengira klien akan berespon
terhadap nyeri. Misalnya, apabila seorang perawat yakin bahwa
menangis dan merintih mengindikasikan suatu ketidakmampuan untuk
mentolerasi nyeri, Akibatnya pemberian terapi mungkin tidak cocok
untuk klien. Seorang klien yang menangis keras tidak selalu
mempersepsikan pengalaman nyeri sebagai sesuatu yang berat atau
mengharapkan perawat melakukan intervensi (Potter & Perry, 2015).
Mengenali nilai-nilai budaya yang dimiliki seseorang dan memahami
nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya
membantu untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien
berdasarkan harapan dan nilai budaya seseorang. Perawat yang
mengetahui perbedaan budaya akan mempunyai pemahaman yang
lebih besar tentang nyeri pasien dan akan lebih akurat dalam mengkaji
nyeri dan respon-respon perilaku terhadap nyeri juga efektif dalam
menghilangkan nyeri pasien (Smeltzer & Bare, 2013).

C. Konsep Teori
1. Usia
Menurut Lasut (2017) Usia adalah usia individu yang terhitung
mulai saat dilahirkan sampai dengan berulang tahun. semakin cukup
usia, tingkat kematangan, dan kekuatan seseorang akan lebih matang
dalam berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyakarakat,
seorang yang lebih dewasa dipercaya dari oran gyang belum tinggi
kedewasaanya. Hal ini sebagai pengalaman dan kematangan jiwa.
Kategori usia menurut DepKes RI (2009) dibagi menjadi :
a. Usia 0 sampai dengan 5 Tahun merupakan Masa Balita
b. Usia 5 sampai dengan 11 Tahun merupakan Masa Kanak – kanak
c. Usia 12 sampai dengan 16 Tahun merupakan Masa Remaja Awal
d. Usia 17 sampai dengan 25 Tahun merupakan Masa Remaja Akhir
e. Usia 26 sampai dengan 35 Tahun merupakan Masa Dewsa Awal
f. Usia 36 sampai dengan 45 Tahun merupakan Masa Dewasa Akhir
g. Usia 46 sampai dengan 55 Tahun merupakan Masa Lansia Awal
h. Usia 56 sampai dengan 65 Tahun merupakan Masa Lansia Akhir
i. Sesorang dengan Usia 65 Tahun keatas masuk Masa Manula
2. Jenis kelamin
Menurut Hungu (2016) jenis kelamin adalah perbedaan antara
perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seorang itu dilahirkan.
Perbedaan biologis dan fungsi biologis laki-laki dan perempuan tidak
dapat dipertukarkan diantara keduanya, dan fungsinya tetap dengan
laki-laki dan perempuan yang ada di muka bumi. Gender merupakan
penggolongan secara gramatikal terhadap kata-kata dan kata-kata lain
yang berkaitan dengannya yang secara garis besar berhubungan dengan
keberadaan dua jenis kelamin atau kenetralan. Gender juga berkaitan
dengan pembedaan peran, fungsi dan tanggung jawab laki-laki dan
perempuan sebagai hasil kesepakatan atau hasil bentukan masyarakat.
Gender juga merupakan suatu konstruksi budaya yang sifatnya terbuka
bagi segala perubahan (Juditha, 2015). Selain pembedaan fungsi, peran
dan tanggungjawab secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara
signifikan dalam berespon terhadap nyeri. Hanya beberapa budaya yang
menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus lebih berani dan tidak
boleh menangis dibandingkan anak perempuan dalam situasi yang sama
ketika merasakan nyeri.
3. Dukungan keluarga
Dukungan keluarga menurut Friedman (2013) adalah sikap tindakan
penerimaan keluarga terhadap anggota keluarganya, berupa dukungan
informasional, dukungan penilaian, dukungan instrumental dan
dukungan emosional. Jadi dukungan keluarga adalah suatu bentuk
hubungan interpersonal yang meliputi sikap, tindakan dan penerimaan
terhadap anggota keluarga, sehingga anggota keluarga merasa ada yang
memperhatikan. Orang yang berada dalam lingkungan sosial yang
suportif umumnya memiliki kondisi yang lebih baik dibandingkan
rekannya yang tanpa keuntungan ini, karena dukungan keluarga
dianggap dapat mengurangi atau menyangga efek kesehatan mental
individu. Bentuk dan dimensi dukungan keluarga di bagi menjadi 4
dimensi yaitu :
a. Dukungan emosional
Dukungan emosional adalah keluarga sebagai tempat yang aman
dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu
penguasaan terhadap emosi. Aspek-aspek dari dukungan emosional
meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya
kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan. Dukungan
emosional melibatkan ekspresi empati, perhatian, pemberian
semangat, kehangatan pribadi, cinta, atau bantuan emosional
(Friedman, 2013). Dengan semua tingkah laku yang mendorong
perasaan nyaman dan mengarahkan individu untuk percaya bahwa
ia dipuji, dihormati, dan dicintai, dan bahwa orang lain bersedia
untuk memberikan perhatian (Sarafino, & Smith 2011)
b. Dukungan fasilitas
Dukungan fasilitas adalah keluarga merupakan sumber pertolongan
praktis dan konkrit, diantaranya adalah dalam hal kebutuhan
keuangan, makan, minum, dan istirahat (Friedman, 2013).
c. Dukungan informasi
Dukungan informasional adalah keluarga berfungsi sebagai pemberi
informasi, dimana keluarga menjelaskan tentang pemberian saran,
sugesti, informasi yang dapat digunakan mengungkapkan suatu
masalah. Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, usulan,
saran, petunjuk dan pemberian informasi (Friedman, 2013).
d. Dukungan penghargaan
Dukungan penghargaan atau penilaian adalah keluarga bertindak
membimbing dan menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber
dan validator identitas anggota keluarga diantaranya memberikan
support, penghargaan, dan perhatian (Friedman, 2013).

Menurut Friedman (2013) ada bukti kuat dari hasil penelitian yang
menyatakan bahwa keluarga besar dan keluarga kecil secara kualitatif
menggambarkan pengalaman-pengalaman perkembangan. Anak-anak
yang berasal dari keluarga kecil menerima lebih banyak perhatian
daripada anak-anak yang berasal dari keluarga yang lebih besar. Selain
itu dukungan keluarga yang diberikan oleh orang tua (khususnya ibu)
juga dipengaruhi oleh usia. Ibu yang masih muda cenderung untuk lebih
tidak bisa merasakan atau mengenali kebutuhan anaknya dan juga lebih
egosentris dibandingkan ibu-ibu yang lebih tua.

Friedman (2013) juga menyebutkan bahwa faktor yang


mempengaruhi dukungan keluarga adalah kelas sosial ekonomi meliputi
tingkat pendapatan atau pekerjaan dan tingkat pendidikan. Dalam
keluarga kelas menengah, suatu hubungan yang lebih demokratis dan
adil mungkin ada, sementara dalam keluarga kelas bawah, hubungan
yang ada lebih otoritas dan otokrasi. Selain itu orang tua dan kelas
sosial menengah mempunyai tingkat dukungan, afeksi dan keterlibatan
yang lebih tinggi daripada orang tua dengan kelas sosial bawah. Faktor
lainnya adalah tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan
kemungkinan semakin tinggi dukungan yang diberikan pada keluarga
yang sakit.

Untuk mengungkap variabel dukungan keluarga, dapat menggunakan


skala dukungan keluarga yang diadaptasi dan dikembangkan dari teori
Friedman yang telah dimodifikasi oleh Nurwulan (2017). Aspek-aspek
yang digunakan untuk mengukur dukungan keluarga adalah dukungan
emosional, dukungan instrumental, dukungan penilaian/penghargaan,
dan dukungan informasional.

Tabel 1. Indikator Alat Ukur Dukungan Keluarga

NO Indikator
1 Dukungan emosional
2 Dukungan instrumental
3 Dukungan penghargaan
4 Dukungan informasi

Pada pengisian skala ini, sampel diminta untuk menjawab


pertanyaan yang ada dengan memilih salah satu jawaban dari beberapa
alternatif jawaban yang tersedia. Skala ini menggunakan skala model
likert yang terdiri dari pernyataan dari empat alternatif jawaban yaitu
1= tidak pernah, 2= kadang-kadang, 3= sering , 4=selalu.

4. Ansietas
Menurut Stuart (2013) kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak
jelas dan menyebar yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan
tidak berdaya. Kecemasan merupakan suatu kondisi emosional yang
ditandai dengan rasa takut yang tidak jelas sumbernya. Ia diliputi oleh
kekhawatiran terhadap berbagai hal yang mungkin dialami dalam
perjalanan hidupnya.
Stuart (2013) mengelompokkan kecemasan (anxiety) dalam respon
perilaku, kognitif, dan afektif, diantaranya :
a. Perilaku, diantaranya: gelisah, ketegangan fisik, tremor, reaksi
terkejut, bicara cepat, kurang koordinasi, cenderung mengalami
cedera, menarik diri dari hubungan interpersonal, inhibisi,
melarikan diri dari masalah, menghindar, hiperventilasi, dan sangat
waspada.
b. Kognitif, diantaranya: perhatian terganggu, konsentrasi buruk,
pelupa, salah dalam memberikan penilaian, preokupasi, hambatan
berpikir, lapang persepsi menurun, kreativitas menurun,
produktivitas menurun, bingung, sangat waspada, keasadaran diri,
kehilangan objektivitas, takut kehilangan kendali, takut pada
gambaran visual, takut cedera atau kematian, kilas balik, dan mimpi
buruk.
c. Afektif, diantaranya: mudah terganggu, tidak sabar, gelisah, tegang,
gugup, ketakutan, waspada, kengerian, kekhawatiran, kecemasan,
mati rasa, rasa bersalah, dan malu.

Kemudian Shah (dalam Ghufron & Risnawita, 2014) membagi


kecemasan menjadi tiga aspek, yaitu:
a. Aspek fisik, seperti pusing, sakit kepala, tangan mengeluarkan
keringat, menimbulkan rasa mual pada perut, mulut kering, grogi,
dan lain-lain.
b. Aspek emosional, seperti timbulnya rasa panik dan rasa takut.
c. Aspek mental atau kognitif, timbulnya gangguan terhadap perhatian
dan memori, rasa khawatir, ketidakteraturan dalam berpikir, dan
bingung.
Menurut Stuart (2013), ada beberapa tingkat kecemasan dan
karakteristiknya antara lain:
a. Kecemasan Ringan
Berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari,
kecemasan ini menyebabkan individu menjadi waspada dan
meningkatkan lapang persepsinya. Kecemasan ini dapat memotivasi
belajar dan menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas.
b. Kecemasan Sedang
Memungkinkan individu untuk berfokus pada hal yang penting dan
mengesampingkan yang lain. Ansietas ini mempersempit lapang
persepsi individu. Dengan demikian, individu mengalami tidak
perhatian yang selektif namun dapat berfokus pada lebih banyak
area jika diarahkan untuk melakukannya.
c. Kecemasan Berat
Sangat mengurangi lapang persepsi individu. Individu cenderung
berfokus pada sesuatu yang rinci dan spesifik serta tidak berpikir
tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi
ketegangan. Individu tersebut memerlukan banyak arahan untuk
berfokus pada area lain.
d. Tingkat Panik
Berhubungan dengan terperangah, ketakutan, dan teror. Hal yang
rinci terpecah dari proporsinya karena mengalami kehilangan
kendali, individu yang mengalami panik tidak mampu melakukan
sesuatu walaupun dengan arahan. Panik mencakup disorganisasi
kepribadian dan menimbulkan peningkatan aktivitas motorik,
menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain,
persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang
rasional.
Alat ukur yang digunakan untuk megukur kecemasan
menggunakan skala HARS. Skala  HARS (Hamilton Anxiety Rating
Scale) penilaian kecemasan terdiri dan 14 item, meliputi :

a. Perasaan Cemas firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah


tersinggung.
b. Ketegangan merasa tegang, gelisah, gemetar, mudah terganggu dan
lesu.
c. Ketakutan: takut terhadap gelap, terhadap orang asing, bila tinggal
sendiri dan takut pada binatang besar.
d. Gangguan tidur: sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari,
tidur tidak pulas dan mimpi buruk.
e. Gangguan kecerdasan: penurunan daya ingat, mudah lupa dan sulit
konsentrasi.
f. Perasaan depresi: hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada
hobi, sedih, perasaan tidak menyenangkan sepanjang hari.
g. Gejala somatik: nyeri pada otot-otot dan kaku, gertakan gigi, suara
tidak stabil dan kedutan otot.
h. Gejala sensorik: perasaan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur, muka
merah dan pucat serta merasa lemah.
i. Gejala kardiovaskuler: takikardi, nyeri di dada, denyut nadi
mengeras dan detak jantung hilang sekejap.
j. Gejala pernapasan: rasa tertekan di dada, perasaan tercekik, sering
menarik napas panjang dan merasa napas pendek.
k. Gejala gastrointestinal: sulit menelan, obstipasi, berat badan
menurun, mual dan muntah, nyeri lambung sebelum dan sesudah
makan, perasaan panas di perut
l. Gejala urogenital: sering kencing, tidak dapat menahan kencing,
aminorea.
m. Gejala vegetatif: mulut kering, mudah berkeringat, muka merah, bulu
roma berdiri, pusing atau sakit kepala.
n. Perilaku sewaktu wawancara: gelisah, jari-jari gemetar,
mengkerutkan dahi atau kening, muka tegang, tonus otot meningkat
dan napas pendek dan cepat.

Cara penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai

dengan kategori :

0 = Tidak ada gejala sama sekali

1 = Satu dari gejala yang ada

2 = Sedang/separuh dari gejala yang ada

3 = Berat/lebih dari ½ gejala yang ada

4 = Sangat berat semua gejala ada

Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlahkan

nilai skor dan item 1-14 dengan hasil :

a. Skor kurang dari 14 = Tidak ada kecemasan

b. Skor 14 – 20 = Kecemasan ringan

c. Skor 21 – 27 = Kecemasan sedang

d. Skor 28 – 41 = Kecemasan berat

e. Skor 42 – 56 = Kecemasan berat sekali/panik

5. Pendidikan
Tingkatan Pendidikan menurut Lestari dalam Wirawan (2016) adalah
merupakan suatu kegiatan seseorang dalam mengembangkan kemampuan,
sikap , dan bentuk tingkah lakunya, baik untuk kehidupan masa yang akan
datang dimana melalui organisasi tertentu ataupun tidak teroganisasi.
Tujuan pendidikan dalam Republik Indonesia. 2003. Undang- Undang
No 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan. Pasal 3 menyatakan bahwa
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Indikator tingkat pendidikan menurut Lestari dalam Edy Wirawan
(2016:3), yaitu :
a. Pendidikan Formal
Indikator nya berupa pendidikan terakhir yang ditamatkan oleh
setiap pekerja yang meliputi Sekolah Dasar, Sekolah Menengah
Pertama, Sekolah Menengah Atas dan perguruan tinggi.
b. Pendidikan Informal
Indikator nya berupa sikap dan kepribadian yang dibentuk dari
keluarga dan lingkungan.
D. Kerangka teori

Faktorv yang
berhubungan
dengan nyeri

1. Pola koping
2. Kelelahan
3. Budaya

Nyeri pada fraktur


Faktor yang
berhubungan
dengan nyeri

1. Usia
2. Jenis
kelamin
3. Pendidikan
4. Ansietas
5. Dukungan
keluarga

Sumber : Potter & Pery (2015), Notoatmodjo (2012), Nugroho (2010)

Diteliti

Tidak di teliti

Bagan 2.1 kerangka teori


E. Kerangka konsep

Variabel bebas variabel terikat

Faktor yang
berhubungan
dengan nyeri

1. Usia Nyeri pada fraktur


2. Jenis
kelamin
3. Pendidikan
4. Ansietas
5. Dukungan
keluarga

F. Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian secara
teoritis dianggap paling mungkin dan paling tinggi kebenarannya.
b) Hipotesis kerja (Ha)1 dalam penelitian ini adalah ada hubungan usia
dengan nyeri pada pasien fraktur di IGD RSUD Sultan Fatah Demak
c) Hipotesis kerja (Ha)2 dalam penelitian ini adalah ada hubungan jenis
kelamin dengan nyeri pada pasien fraktur di IGD RSUD Sultan Fatah
Demak
d) Hipotesis kerja (Ha)3 dalam penelitian ini adalah ada hubungan
pendidikan dengan nyeri pada pasien fraktur di IGD RSUD Sultan
Fatah Demak
e) Hipotesis kerja (Ha)4 dalam penelitian ini adalah ada hubungan
ansietas dengan nyeri pada pasien fraktur di IGD RSUD Sultan Fatah
Demak
f) Hipotesis kerja (Ha)5 dalam penelitian ini adalah ada hubungan
dukungan keluarga dengan nyeri pada pasien fraktur di IGD RSUD
Sultan Fatah Demak
g) Hipotesis nol (Ho)1 dalam penelitian ini adalah tidak ada hubungan
usia dengan nyeri pada pasien fraktur di IGD RSUD Sultan Fatah
Demak
h) Hipotesis nol (Ho)2 dalam penelitian ini adalah tidak ada hubungan
jenis kelamin dengan nyeri pada pasien fraktur di IGD RSUD Sultan
Fatah Demak
i) Hipotesis nol (Ho)3 dalam penelitian ini adalah tidak ada hubungan
pendidikan dengan nyeri pada pasien fraktur di IGD RSUD Sultan
Fatah Demak
j) Hipotesis nol (Ho)4 dalam penelitian ini adalah tidak ada hubungan
ansietas dengan nyeri pada pasien fraktur di IGD RSUD Sultan Fatah
Demak
k) Hipotesis nol (Ho)5 dalam penelitian ini adalah tidak ada hubungan
dukungan keluarga dengan nyeri pada pasien fraktur di IGD RSUD
Sultan Fatah Demak

Anda mungkin juga menyukai